Anda di halaman 1dari 4

Kota Berkelanjutan: Membangun Kota Tanpa Luka

Oleh :
Doni J. Widiantono

Apa itu Kota Berkelanjutan?


Secara umum konsep pengembangan kota berkelanjutan
didefinisikan sebagai pengembangan kota yang mengedepankan
adanya keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial-budaya dan
lingkungan hidup. Keseimbangan ini penting untuk menjamin
adanya keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang
tersedia, tanpa mengurangi peluang generasi yang akan datang
untuk menikmati kondisi yang sama.

Gambar. 1 Infrastruktur kota yang pro-lingkungan

Hal ini ditegaskan dalam definisi berikut:


" Economy, ecology and social cohesion are the pillars of a
sustainable city. These must be in balance and therefore require an
integrated approach. Dialogue is the basic principle for achieving
this for Local Agenda 21." - Conference Strategies for Sustainable
Gambar. 2 Ruang-ruang sosial di perkotaan
Cities, 1999.
Sehingga beberapa kata kunci yang harus digarisbawahi adalah 3
pilar utama yaitu ekonomi, lingkungan hidup, ikatan sosial yang dikembangkan secara seimbang dan terpadu.

Zero-Sum Game
Selama tiga dasa warsa terakhir ini, kota-kota kita mengalami
penurunan kualitas lingkungan hidup yang luar biasa. RTH
perkotaan kita berkurang dari rata-rata 35% menjadi kurang dari
10%, lahan-lahan produktif dan persawahan teknis kita mengalami
alih fungsi menjadi pabrik-pabrik maupun rumah-rumah hunian
dengan laju di atas 50.000 hektar per tahun.
Kawasan kumuh yang menempati ruang-ruang yang bersifat
lindung seperti bantaran sungai, di bawah SUTET, kolong
jembatan dan kawasan resapan, serta ruang-ruang lainnya yang
Gambar. 3 Alih fungsi sawah menjadi pabrik
tidak kita alokasikan sebagai ruang hunian, makin berkembang tak
terkendali. Di sisi lain desakan pemilik modal juga memaksakan
pengembangan kawasan-kawasan hunian pada lokasi-lokasi yang
seharusnya kita lindungi seperti sempadan pantai, kawasan rawa, dan kawasan genangan (retention basin) seperti
yang kita lihat di Pantai Indah Kapuk, Kelapa Gading dan Sudirman CBD.
Beberapa Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan jalur hijau yang ada, banyak yang dimanfaatkan untuk keperluan lain
yang tidak semestinya seperti SPBU, kios-kios PKL, maupun aktivitas hunian illegal (squatters). Akibat
“penganiayaan” yang di luar batas tersebut, sekarang kita mulai merasakan akibatnya, yaitu banjir, longsor,
kekeringan, land-subsidence dan ruang kota yang centang perenang dan carut marut.

1
Tentu kita tidak bisa melakukan apology dengan mengatakan
bahwa ini merupakan suatu konsekuensi logis dari pembangunan
yang kita lakukan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi
yang kita inginkan. Walaupun ekonomi dan lingkungan
merupakan dua hal yang cancelling each other out, nampaknya
kita memang harus memilih: membayar saat ini atau nanti. Jika
kita tidak mau membayar biaya investasi tata ruang sekarang,
maka kita akan menuai bencana di masa yang akan datang,
karena tata ruang adalah sebuah zero-sum game!.

Gambar. 4 Banjir akibat berkurangnya RTH.

Konsep Kota yang Pro-poor


Dari kacamata sosial, pengembangan perkotaan tentu harus
dapat meningkatkan kualitas kehidupan sosial
masyarakatnya, terutama yang memiliki social-handicap
seperti kaum marjinal perkotaan. Perencanaan tata ruang
perkotaan kita umumnya belum cukup memberikan
perhatian terhadap keberadaan dan kebutuhan ruang kaum
marjinal ini. Mereka akhirnya terpaksa menempati sudut-
sudut ruang kota yang ‘tersisa’ seperti bantaran-bantaran
sungai, kolong-kolong jembatan, maupun lahan-lahan
terlantar.
Konsep perencanaan yang pro-poor ini pada dasarnya harus
dapat mengakomodasikan dan mentransformasikan kawasan-
kawasan kumuh perkotaan yang ada menjadi kawasan yang
layak huni dan higinis. Perencana kota harus mulai
memperhatikan perlunya ruang-ruang hunian dan ruang
Gambar. 5. Kawasan kumuh di sempadan sungai. aktivitas sosial bagi kaum marjinal ini agar mereka tidak
mengalami alienasi dan tersegregasi dari warga kota lainnya
(Jo Santoso, 2008).
Namun demikian, harus disadari bahwa persoalan kemiskinan adalah persoalan yang jauh lebih kompleks dari
sekedar persoalan tata ruang. Agak naif rasanya kalau kita berharap bahwa tata ruang dapat menyelesaikan
seluruh persoalan termasuk kemiskinan. Tata ruang bukanlah panacea yang dapat menghilangkan segala
persoalan dalam sekejap.

Zoning Regulation untuk Mewujudkan Kota Berkelanjutan


Rencana tata ruang kota yang baik nampaknya juga belum cukup untuk mewujudkan keberlanjutan. Dalam upaya
implementasinya rencana tata ruang harus disertai dengan perangkat peraturan zonasi (zoning code), yang
mengatur secara tegas kegiatan apa yang boleh, apa yang bersyarat dan apa yang dilarang pada setiap jenis zona
peruntukan. Pelanggaran terhadap peraturan pemanfaatan tersebut akan diancam dengan sanksi. Tanpa peraturan
semacam ini, rencana tata ruang hanya akan menjadi macan kertas. Bisa menggonggong tapi tidak bisa menggigit.
Sehingga benar apabila dikatakan: better regulation without planning, than planning without regulation.
Peraturan zonasi ini tentu juga harus bersifat pro-lingkungan, terutama terkait dengan upaya perlindungan dan
pemulihan terhadap kawasan-kawasan yang berpotensi menurunkan daya dukung kawasan, seperti pengaturan
tentang persyaratan RTH di lahan-lahan privat dan kawasan hunian, ketentuan tentang sempadan sungai, danau,
dan pantai serta lokasi-lokasi yang diperuntukkan sebagai daerah resapan dan genangan sementara (retention
basin). Artinya pengembangan kawasan perkotaan harus mendahulukan kawasan mana yang tidak boleh
dibangun, bukan sebaliknya (Lokakarya Ruang Terbuka Hijau, 2006).

2
Quo Vadis Pengembangan Perkotaan kita?
Pertanyaan yang lebih paradigmatis adalah: kearah mana sebetulnya kebijakan pengembangan perkotaan kita? Di
negara-negara maju seperti Amerika sekarang ini terdapat dua kubu cara pandang dalam menata ruang kota, yaitu
smart growth dan libertarian (Hank Dittmar & Gloria Ohland, the New Transit Town, 2004). Kubu pertama
adalah kelompok yang sangat mempercayai kekuatan perencanaan dan regulasi (regulatory) dalam mengarahkan
dan mengendalikan pembangunan kawasan. Namun pendekatan ini dinilai mengabaikan kekuatan-kekuatan pasar
(baca: korporasi) dan trend yang berkembang di masyarakat, yang pada kenyataannya juga banyak mempengaruhi
pembentukan ruang-ruang yang ada.
Sebaliknya, kelompok kedua lebih mengedepankan pentingnya
kekuatan pasar, dan menafikan upaya-upaya perencanaan
terhadap pengembangan ruang. Menurut mereka, pasarlah
yang paling berhak memutuskan apakah suatu pengembangan
kawasan perlu dilakukan atau tidak. Sehingga kebijakan
pengembangan ruang cukup dilakukan secara discretionary,
karena menurut mereka rencana yang tidak memihak pasar
tidak akan cukup seksi untuk dijual.
Lalu ke arah manakah kecenderungan pendekatan kita dalam
menata ruang? Smart-growth atau libertarian? Regulatory atau
discretionary? Apakah penataan ruang dapat kita perlakukan
Gambar. 6 Konsep pembanguna kota yang kompak secara hitam putih seperti itu? Apa kita tidak bisa menganut
aliran smart-growth yang pro-pasar atau libertarian yang
regulatory? Belakangan memang muncul konsep-konsep
pengembangan kawasan yang cenderung mengambil jalan tengah semacam ini. Seperti konsep Transit Oriented
Development misalnya, yang cenderung untuk mengembangkan kawasan-kawasan terpadu yang kompak, dengan
peruntukan yang beragam namun sangat handy dan ramah lingkungan. Jadi, barangkali persoalan pendekatan
dalam tata ruang bukanlah persoalan benar-salah tapi persoalan pilihan yang lebih baik. Barangkali ini yang
dimaksud dengan : there is no right or wrong in doing planning; there’s only a better way.

Membangun Kota tanpa Luka, Mungkinkah?


Lalu bagaimana sebaiknya kebijakan pengembangan kawasan perkotaan kita untuk mewujudkan kota yang
berkelanjutan. Mungkinkah pembangunan kota dilakukan tanpa luka?. Nampaknya pertanyaan ini harus dijawab
oleh jargon politik SBY: bersama kita bisa!. Untuk itu semua pihak harus menyadari fungsi dan perannya masing-
masing : pemerintah, swasta dan masyarakat harus bahu membahu.
Untuk itu, kita harus dapat membuat rencana-rencana tata ruang
yang lebih ‘seksi’ dan peka terhadap tuntutan pasar. Tentu
melalui pendekatan participatory planning yang efektif melalui
pelibatan masyarakat, baik orang-perseorangan maupun swasta
sebagai pemangku kepentingan yang memiliki saham dalam
pembentukan ruang-ruang kita di perkotaan.
Pada akhirnya tidak dapat dipungkiri bahwa mewujudkan ruang
yang aman, nyaman dan layak huni bukanlah sesuatu yang
“murah”. Tapi itulah nilai tambah yang selama ini dijual oleh
Gambar. 7 Membangun perkotaan untuk semua para perencana (baca: pengembang) sehingga masyarakat
bersedia membayar lebih mahal untuk dapat tinggal di
lingkungan hunian yang lebih nyaman. Jadi persoalannya adalah bahwa ternyata bagi sebagian besar masyarakat
kita, tata ruang masih merupakan “barang mewah”.
Pemerintah sendiri tentu tidak akan sanggup untuk membiayai seluruh pembangunan kawasan. Yang penting
adalah bagaimana kita secara bersama-sama dapat menata ruang secara cermat, memanfaatkan secara tepat dan
mengendalikan secara ketat. Barangkali dengan demikian kita dapat berharap untuk bisa mewujudkan
pembangunan kota yang tanpa luka.

3
Referensi:
Santoso, Jo (2008). Rethinking the Concept of Sustainable Urban Development: The Case of Greater Jakarta.
Dittmar, Hank dan Ohland, Gloria (2004). The New Transit Town: Best Practices in Transit-Oriented
Development. Island Press, Washington.
Conference Strategies for Sustainable Cities (1999). http:/www.denhaag.nl/sust.cities99
Papanek, Victor (1995). The Green Imperative: Natural Design for the Real World. Thames and Hudson,
Singapore.

Anda mungkin juga menyukai