PENDAHULUAN
1
2000 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus diakhir tahun 2013, dengan sebagian
besar kasus dengue terjadi pada anak usia kurang dari 15 tahun (Scott, 2014).
Berdasarkan patofisiologi infeksi dengue merupakan penyakit self limited.
Perdarahan merupakan salah satu dari komplikasi yang paling ditakutkan dan
berkaitan dengan tingginya angka mortalitas pada DBD ataupun Dengue dengan
syok. Mekanisme perdarahan pada dengue melibatkan multifaktor, tidak hanya
berkaitan dengan trombositopenia saja. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa derajat trombositopenia itu sendiri tidak berhubungan dengan
meningkatnya risiko perdarahan pada kasus dengue (RN Mikroo et al, 2007).
Melihat dari bukti empiris diatas, pendekatan diagnosa dan
penatalaksanaan terhadap Dengue, sangatlah penting. Pengetahuan yang tepat
dapat menghindarkan penderita dari keadaan yang lebih parah dan berpotensi
fatal. Pedoman tata laksana dengue juga terus mengalami perkembangan sesuai
dengan epidemiologi dan prognosis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue terdiri dari empat serotipe yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang ditularkan melalui gigitan nyamuk yang
terinfeksi khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Ae. Albopictus.(Suhendro,2006)
Manifestasi klinis dari infeksi ini dapat berupa demam, nyeri otot dan/atau
nyeri sendi dan nyeri retro orbital yang disertai dengan leukopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi
kebocoran plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi atau penumpukan cairan
di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah
demam berdarah dengue yang disertai dengan tanda-tanda syok.(WHO,2012)
2.2 Epidemiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue merupakan masalah
kesehatan yang sedang berkembang di daerah subtropis. Di Asia Tenggara,
dengan total populasi 1,5 miliar, 1,3 miliar dari jumlah tersebut berisiko terinfeksi
virus dengue. Banyak faktor yang mempengaruhi epidemiologi demam dengue,
dari segi lingkungan, biologis, dan faktor demogafi. Insiden dengue terkait dengan
iklim yang hangat dan lembab. Suhu yang meningkat serta curah hujan yang
tinggi telah terbukti meningkatkan efisiensi vektor dan pola gigitan nyamuk
terutama pada awal-awal tahun. Epidemiologi infeksi dengue memuncak pada
bulan Oktober-April di masa-masa musim hujan (Ona, 2011).
Pada tahun 2017, jumlah kasus DBD yang dilaporkan sebanyak 68.407
kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 493 orang. Angka tersebut lebih
rendah dibandingkan tahun sebelumnya,yakni tahun 2016 dengan jumlah
penderita sebanyak 204.171 dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 1.598
orang (Depkes,2017)
3
2.3 Etiologi
Virus Dengue merupakan suatu virus berukuran kecil (50nm) terbungkus
kapsul lipoprotein yang mengandung single-strand RNA.Virus ini termasuk
kedalam genus Flavivirus dan keluarga (family) Flaviviridae.Dengue terdiri dari
tiga protein structural yaitu nucleoaprid atau core protein (C), protein membrane
(M), envelope protein (E), dan tujuh protein non-struktural (NS). Dari
keseluruhan protein non-sruktural, hanya glikoprotein selaput (NS1) yang
memiliki kepentingan diagnosis dan patologis karena berkaitan dengan
hemaglutinasi dan aktivitas netralisasi (WHO, 2011).
Terdapat 4 serotip virus dengue, yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-
3,DENV-4. Pada anak-anak, virus yang biasa menyerang adalah DEN 1 dan
DEN3 yang menyebabkan infeksi ringan serta DEN 2 dan 4 yang tidak
memberikan gejala. Sedangkan pada dewasa, DEN 1 dan 3 merupakan infeksi
berat sedangkan DEN 2 dan 4 memberikan gejala ringan sampai sedang. Infeksi
sekunder dengan serotip berbeda atau adanya infeksi ganda dapat menyebabkan
klinis dengue yang berat seperti DBD atau syok dengue (Scott, 2010).
Beberapa faktor yang diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi
biakan virus dengue yang berhubungan dengan tingginya angka kejadian DBD
telah dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar yaitu (Suhendro,2006)
1)
Vektor : perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di
lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.
2)
Pejamu/hospes : terdapat penderita dilingkungan keluarga, mobilisasi, usia, dan
jenis kelamin
3)
Lingkungan : curah hujan, sanitasi, suhu, dan kepadatan penduduk.
4
Pada demam dengue, virus masuk ke dalam tubuh dan berkembang di dalam
peredaran darah dan segera terjadi viremia. Kemudian ditangkap oleh makrofag
yang kemudian menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel
di makrofag akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang
sudah memfagosit virus. Juga mengaktivasi sel B yang akan melepas antibodi
yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.
Proses tersebut menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang
gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise, dll. Pendarahan terjadi
karena adanya agregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia, tetapi
masih bersifat ringan. (Amin P. Et al, 2001)
Pada DBD dan DSS terjadi kebocoran plasma ke dalam ruang
ekstravaskuler disebabkan karena peningkatan akut permeabilitas vaskuler,
sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah.
Pathogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua
teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan pathogenesis pada DBD dan
DSS yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan
hypothesis antibody dependent enhancement (ADE). (Amin P. Et al, 2001)
Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang
mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan
terhadap infeksi virus tersebut untuk jangka waktu yang lama. Seseorang yang
pernah mendapat infeksi primer virus dengue, akan mempunyai antibodi yang
dapat menetralisasi yang sama/homologous. (Soegijanto,2010)
Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis
serotipe virus lain, maka terjadi infeksi yang berat. Karena pada infeksi
selanjutnya, antibodi heterologous yang telah terbentuk dari infeksi primer akan
membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue baru dari serotipe berbeda,
namun tidak dapat dinetralisasi, bahkan membentuk kompleks yang infeksius.
(Soegijanto,2010)
Akibat adanya kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan
dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag maka virus tidak
dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
5
makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue
di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga menagkibatkan keadaan hipovolemia dan
syok. (Soegijanto,2010)
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dirumuskan oleh Suvatte tahun 1977. Sebagai akibat
infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien,
respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer
tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga
dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam
jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-
antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi
sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada
pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 %
dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan
adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi
secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir
fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
(Soegijanto,2010)
6
Bagan 2.1 Patogenesis terjadinya syok pada DBD
Sumber, Suvatte,1977
7
Bagan 2.2 Patogenesis Perdarahan pada DBD
8
1. Undifferentiated Fever
Merupakan gejala demam yang dapat dialami bayi, anak, maupun
dewasa yang terinfeksi oleh virus dengue untuk pertama kalinya. Demam
yang terjadi biasanya ringan dan tidak dapat dibedakan dengan infeksi
virus lainnya.
2. Dengue fever
Demam dengue lebih sering dialami anak-anak, remaja, dan
dewasa. Demam berlangsung akut dan terkadang bersifat bifasik disertai
nyeri kepala, myalgia, athralgia, rash, leukopenia, dan trombositopenia.
Gejala demam dengue yang paling berat biasanya hanya sebatas “break-
bone fever” yaitu nyeri otot, tulang, dan sendi khususnya pada dewasa.
Clinical features
3. Dengue Haemorrhagic fever
Demam berdarah dengue (DBD) lebih sering menyerang anak-
anak usia kurang dari 15 tahun di area hiperendemik akibat infeksi
berulang. DBD ditandai dengan demam mendadak tinggi disertai gejala-
gejala lain seperti demam dengue di awal fase. Manifestasi perdarahan
yang muncul adalah rumpleed test atau tes tourniquet yang positif, petekie,
memar, dan perdarahan saluran cerna. Di akhir fase demam, penderita
rentan mengalami syok hipovolemik (Dengue shock syndome) akibat
adanya kebocoran plasma.
Tanda bahaya yang perlu diwaspadai ialah muntah terus-menerus,
nyeri abdomen, gelisah, iritatif, dan oliguria. Patofisiologi DBD adalah
gangguan hemostasis dan kebocoran plasma. Temuan laboratorium seperti
trombositopenia dan peningkatan hematokrit biasa ditemukan sebelum
onset syok muncul. DBD umumnya terjadi pada anak-anak dengan infeksi
dengue sekunder dengan infeksi primer oleh DENV-1 dan DENV-3
seperti pada bayi.
4. Expanded dengue syndrome
9
Manifestasi yang jarang yang berkaitan dengan gangguan liver,
ginjal, otak, maupun jantung. Komplikasi ini terjadi akibat dari syok dan
komobid koinfeksi.
2.6 Diagnosis
Diagnosis DHF ditegakkan bila semua dari kriteria ini terpenuhi:
- Demam akut 2-7 hari, biasanya bifasik.
- Terdapat minimal 1 dari Manifestasi perdarahan berikut:
o Rumpleed test atau tourniquet test (+)
o Petekie
o Ekimosis atau purpura
o Perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gusi)
o hematemesis melena
- Trombositopenia (platelet count <100.000 cell/mm3)
10
- Adanya minimal 1 tanda kebocoran plasma akibat peningkatan
permeabilitas vaskular
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur
dan jenis kelamin
o Penurunan hematokrit >20% setelah pemberian terapi cairan
dibandingkan dengan hematokrit sebelumnya
o Tanda kebocoran plasma: efusi pleura, ascites, hipoalbumin
(PAPDI, 2010; WHO, 2011).
Warning signs (tanda Bahaya):
- Tidak ada perbaikan klinis atau justru terjadi perburukan kondisi
selama perjalanan penyakit
- Muntah terus menerus tanpa intake yang baik
- Nyeri hebat abdomen
- Gelisah dan iritatif
- Perdarahan: epistaksis, melena, hematemesis, hematuria, dll.
- Hepatomegali
- Pucat, akral basah dan dingin
- Oliguria atau anuria dalam 4-6 jam (SEARO-WHO, 2011)
11
DHF I Demam dan manifestasi Trombositopenia ≤
perdarahan (uji tourniquet 100.000 sel/mm3; HCT
positif) dan bukti dari meningkat ≥ 20%
kebocoran plasma
DHF II Seperti grade I ditambah Trombositopenia ≤
dengan perdarahan spontan 100.000 sel/mm3; HCT
meningkat ≥ 20%
DHF* III Seperti grade I dan II Trombositopenia ≤
ditambah dengan kegagalan 100.000 sel/mm3; HCT
sirkulasi (pulsasi lemah, meningkat ≥ 20%
tekanan pulsasi sempit (≤ 20
mmHg), hipotensi, gelisah
DHF* IV Seperti grade III ditambah Trombositopenia ≤
syok dengan tidak terabanya 100.000 sel/mm3; HCT
tekanan darah dan pulsasi meningkat ≥ 20%
12
Gambar 2.4 Klasifikasi dan Derajat Infeksi Virus Dengue, UNICEF, WHO 2009
Kriteria MRS
Semua pasien dengan trombosit ≤100.000/mm3
Semua pasien dengan adanya tanda bahaya atau “warning
signs”
Pasien yang termasuk dalam kategori:
o Bayi (usia < 1thn)
o Pasien obesitas
o Pasien dengan penyakit lain sebagai komorbid
(diabetes, sindroma nefrotik, gagal ginjal kronis,
penyakit hemolitik, asma yang tidak terkontrol)
o Pasien dengan kondisi sosial buruk (hidup dirumah
sendirian, tempat tinggal jauh dari layahan kesehatan,
transportasi sulit)
13
Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada
hari sakit ke-14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun.
Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi
pada hari sakit ke-2. (IKA, 2005)
Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari
infeksi sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi
primer namun apabila IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi
sekunder. (IKA, 2005)
Tabel 2. Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada infeksi dengue
(IKA, 2005)
Antibodi anti dengue Keterangan
IgM IgG
Infeksi Primer positif negatif
Infeksi Sekunder positif positif
Infeksi Lampau negatif positif
Bukan dengue negatif negatif Apabila klinis mengarah
ke infeksi dengue, pada
fase penyembuhan: IgM
dan IgG diulang
Serologi
1. Uji Hambatan Hemaglutinasi yang merupakan gold standard WHO
untuk mendiagnosis infeksi virus dengue.
2. Uji fiksasi komplemen dan uji netralisasi
3. Uji ELISA
4. Uji Dengue Blot Dot imunoasai Dengue Stick
3. Isolasi virus
4. Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RTPCR)
14
2.7.2 Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas
indikasi: (IKA, 2005)
Distres pernafasan/ sesak
Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat
kelainan radiologis terjadi apabila pada perembesan plasma telah
mencapai 20%-40%
Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk
menilai edema paru karena overload pemberian cairan.
Kelainan radiologi yang dapat terjadi adalah dilatasi pembuluh darah
paru terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak
dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada
kanan, dan efusi pleura.
Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding
vesika felea, dan dinding buli-buli.
15
2.9 Penatalaksanaan Demam Dengue dan Demam berdarah Dengue
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan
simtomatis.Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana
diperlukan.Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan
adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran
plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4
hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi
cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk
menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun
asites yang masif perlu selalu diwaspadai (Hadinegoro dkk., 2014).
Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi keingingan makan dan minum
masih baik. Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak diperkenankan
memberikan obat panas paracetamol 10 – 15 mg/kg BB setiap 3-4 jam diulang
jika simptom panas masih nyata diatas 38,5 0C. Sebagian besar kasus DBD yang
berobat jalan ini adalah kasus DBD yang menunjukkan manifestasi panas hari
pertama dan hari kedua tanpa menunjukkan penyulit lainnya.Apabila penderita
DBD ini menunjukkan manifestasi penyulit hipertermi dan konvulsi sebaiknya
kasus ini dianjurkan di rawat inap. Pada kasus DBD derajat I & II pada hari ke 3,
4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini mempunyai resiko
terjadinya syok (Hadinegoro dkk., 2014).
Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah atau
oralit yang biasa dipakai untuk mengatasi diare.Apabila hematokrit meningkat
lebih dari 20% dari harga normal, merupakan indikator adanya kebocoran plasma
dan sebaiknya penderita dirawat di ruang observasi di pusat rehidrasi selama
kurun waktu 12-24 jam.Penderita DBD yang gelisah dengan ujung ekstremitas
yang teraba dingin, nyeri perut dan produksi air kemih yang kurang sebaiknya
dianjurkan rawat inap. Penderita dengan tanda-tanda perdarahan dan hematokrit
16
yang tinggi harus dirawat di rumah sakit untuk segera memperoleh cairan
pengganti (Hadinegoro dkk., 2014).
Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan seperti
yang digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10% kekurangan
cairan) tetapi tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan sebaiknya diberikan
kembali dalam waktu 2-3 jam pertama dan selanjutnya tetesan diatur kembali
dalam waktu 24-48 jam saat kebocoran plasma terjadi.Pemeriksaan hematokrit
secara seri ditentukan setiap 4-6 jam dan mencatat data vital dianjurkan setiap saat
untuk menentukan atau mengatur agar memperoleh jumlah cairan pengganti yang
cukup dan cegah pemberian transfusi berulang. Jumlah cairan yang dibutuhkan
adalah volume minimal cairan pengganti yang cukup untuk mempertahankan
sirkulasi secara efektif selama periode kebocoran (24-48 jam), pemberian cairan
yang berlebihan akan menyebabkan kegagalan faal pernafasan (efusi pleura dan
asites), menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang berakhir dengan edema
(Hadinegoro dkk., 2014).
Jenis Cairan
1. Kristaloid
a. Ringer Laktat
b. 5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Laktat
c. 5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Ashering
d. 5% Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi
(faali)
e. 5% Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi (faali)
2. Koloidal
a. Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40)
b. Plasma
17
Kebutuhan Cairan
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur
dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan
disesuaikan dengan berat badan ideal anak umur yang sama. Kebutuhan cairan
rumatan dapat diperhitungkan dari tabel berikut.
18
Penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan garam
isotonik (Ringer Laktat, 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Laktat atau 5%
Dekstrose dalam larutan Ringer Asetat dan larutan normal garam faali) dengan
jumlah 10-20 ml/kg/1 jam atau pada kasus yang sangat berat (derajat IV) dapat
diberikan bolus 10 ml/kg (1 atau 2x). Jika syok berlangsung terus dengan
hematokrit yang tinggi, larutan koloidal (dekstran dengan berat molekul 40.000 di
dalam larutan normal garam faal atau plasma) dapat diberikan dengan jumlah 10-
20 ml/kg/jam (Hadinegoro dkk., 2014).
Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur
sesuai dengan plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga
hematokrit dan tanda-tanda vital yang ditemukan selama kurun waktu 24-48
jam.Pemasangan cetral venous pressure dan kateter urinal penting untuk
penatalaksanaan penderita DBD yang sangat berat dan sukar diatasi. Cairan
koloidal diindikasikan pada kasus dengan kebocoran plasma yang banyak sekali
yang telah memperoleh cairan kristaloid yang cukup banyak. Pada umumnya 48
jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi membutuhkan cairan.
Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah membutuhkan waktu 1-
2 hari sesudahnya.Jika pemberian cairan berkelebihan dapat terjadi hipervolemi,
kegagalan faal jantung dan edema baru.Dalam hal ini hematokrit yang menurun
pada saat reabsorbsi jangan diintepretasikan sebagai perdarahan dalam organ.
Pada fase reabsorbsi ini tekanan nadi kuat (20 mmHg) dan produksi urine cukup
dengan tanda-tanda vital yang baik (Hadinegoro dkk., 2014).
Pada kasus yang berat, hiponatremia dan asidosis metabolik sering
dijumpai, oleh karena itu kadar elektrolit dan gas dalam darah sebaiknya
ditentukan secara teratur terutama pada kasus dengan renjatan yang berulang.
Kadar kalium dalam serum kasus yang berat biasanya rendah, terutama kasus
yang memperoleh plasma dan darah yang cukup banyak. Kadanga-kadang terjadi
hipoglemia (Hadinegoro dkk., 2014).
Semua penderita dengan renjatan sebaiknya diberikan oksigen.Penderita
yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan melena
diindikasikan untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar sangat berguna
19
untuk mengganti volume masa sel darah merah agar menjadi normal. Dalam
keadaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskular telah
benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2
ml/kgBB/jam sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka
selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan
untuk jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap
belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik,
maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman
pemberian cairan selanjutnya (Hadinegoro dkk., 2014).
Menurut IDAI (2010) tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor
dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus
diperhatikan pada monitoring adalah:
a. Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30
menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
b. Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis
pasien stabil
c. Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis
cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang
diberikan sudah mencukupi.
d. Jumlah dan frekuensi diuresis.
1. Kriteria A
Pasien dapat dipulangkan, dengan catatan mendapatkan cairan yang
adekuat dan BAK minimal 1 kali per 6 jam, dan tidak ada tanda-tanda dari
warning sign. Pasien diharuskan bed rest, pasien yang datang pada demam >3 hari
diharuskan setiap hari ke sarana kesehatan untuk diperiksa darah lengkap dan
monitoring adanya gejala-gejala dari warning sign, hal ini dilakukan sampai fase
20
kritis terlewati. Berikan pasien paracetamol untuk demamnya, dengan dosis 10
mg/kgbb/x, kompres air hangat apibila demam tidak turun, dilarang memberikan
aspirin, ibuprufen atau NSAID lainnya maupun injeksi intramuskular, hal ini
dapat menyebabkan gastritis atau perdarahan. Apabila tidak ada perbaikan
maupun timbul gejala tambahan seperti nyeri perut, muntah-muntah, ekstremitas
dingin, sesak napas, tidak BAK dalam 6 jam, maupun perdarahan segera ke
fasilitas kesehatan terdekat. Indikasi rawat inap pada pasien dengan manifestasi
demam bila tidak mendapatkan rehidrasi oral yang adekuat, adanya anak kecil
dirumah, serta pasien dengan co-morbid.
2. Kriteria B
Pasien yang diharuskan untuk rawat inap untuk observasi lebih lanjut.
Dalam kriteria ini pasien dengan warning sign, pasien risiko tinggi, pasien yang
menunjukan gejala komplikasi, pasien yang tinggal sendiri, serta pasien yang
tempat tinggalnya jauh dari fasilitas kesehatan. Terapi yang diberikan
Cek hematokrit sebelum diberikan cairan infus. Cairan infus yang
digunakan hanya yang bersifat isotonik seperti NaCl 0,9%, Ringer laktat atau
cairan Hartmann’s. Mulai dengan 5-7 ml/kgbb/jam untuk 1-2 jam pertama,
kemudian kurangi menjadi 3-5ml/kgbb/jam untuk 2-4 jam selanjutnya, kemudian
kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kgbb/jam atau maintenan cairan sesuai manifestasi
klinis yang didapat. Periksa kembali hematrokit, jika tidak ada perbaikan atau
terjadi peningkatan sedikit, ulangi pemberian cairan 2-3 ml/kgbb/jam selama 2-4
jam. Jika tanda vital menurun dan terjadi peningkatan hematrokrit yang cepat,
segera naikan cairan 5-10ml/kgbb/jam selam 1-2 jam. Apabila perfusi jaringan
dan urine output baik (0,5ml/kg/jam) berikan cairan maintenance untuk 24-48
jam. Monitor vital sign, balance cairan, hematrokit sebelum dan sesudah
pemberian cairan infus, atau setiap 6-12 jam sekali. Cek GDS, profil ginjal, profil
liver, profil koagulasi sesuai indikasi.
3. Kriteria C
Pasien dengan dengue berat, pasien dalam kriteria ini harus mendapat
pengobatan segera karena berada dalam fase kritis, berupa :
21
• Kebocoran plasma yang berat, mulai masuk ke dalam keadaan syok
dengan adanya ARDS
• Perdarahan hebat
• Multi organ failure
Pasien harus segera dipindahkan ke fasilitas kesehatan yang memiliki
fasilitas transfusi darah.Segera ganti cairan isotonik dengan cairan kristaloid, pada
keadaan hipotensi syok boleh diberikan cairan koloid. Transfusi darah hanya
diberikan apabila adanya perdarahan hebat.
22
PENATALAKSANAAN KASUS TERSANGKA
DEMAM BERDARAH DENGUE DBD (Bagan 1)
Tersangka DBD
Rawat Jalan
Minum banyak,
Parasetamol bila perlu
Kontrol tiap hari sp demam turun.
Bila demam menetap periksa Hb.Ht, Trombosit.
Perhatikan untuk orang tua pesan bila timbul tanda
syok : gelisah, lemah, kaki tangan dingin, sakit
perut, berat hitam, kencing berkurang
23
PENATALAKSANAAN KASUS DBD DERAJAT I
(Bagan 2)
DBD Derajad I
Pulang
Kriteria memulangkan pasien :
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Secara klinis tampak perbaikan
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit lebih dari 50.000/ml
7. Tidak dijumpai distress pernafasan
24
PENATALAKSANAAN KASUS DBD DERAJAT II
(Bagan 3)
DBD Derajat II
25
PENATALAKSANAAN KASUS DSS ATAU DBD DERAJAT III DAN IV
(Bagan 4)
DBD Derajat III & IV
26
Infus Stop tidak melebihi 48 jam
Tujuan dari resusitasi cairan meliputi:
• Meningkatkan sirkulasi pusat dan perifer, yaitu penurunan takikardi,
meningkatkan TD dan denyut nadi, ekstremitas hangat dan merah muda,
waktu pengisian kapiler <2 detik
• Meningkatkan perfusi end-organ yaitu mencapai tingkat kesadaran stabil
dan output urine ≥ 0,5 ml / kg / jam atau penurunan asidosis metabolik.
Kapan harus menghentikan infus
Observasi tanda-tanda berhentinya kebocoran plasma yang dilihat dari :
• TD, nadi dan perfusi perifer stabil
• hematokrit menurun dengan denyut nadi yang
baik
• apyrexia (tanpa menggunakan antipiretik) selama
lebih dari 24-48 jam;
• gejala usus / gejala yang berhubungan dengan
abdomen teratasi
• peningkatan produksi urine.
Melanjutkan terapi cairan intravena melewati 48 jam dari fase kritis akan
menyebabkan pasien berisiko edema paru dan komplikasi lain seperti
tromboflebitis.
27
B. Komplikasi
Penyebab komplikasi pada infeksi dengue adalah :
1. Kesalahan diagnosis pada primary Care sebagai pengobatan lini pertama
2. Ketidaktepatan monitoring dan misinterpretasi tanda-tanda vital
3. Kesalahan dalam monitoring terapi carang dan urine yang keluar
4. Keterlambatan dalam pengenalan tanda-tanda syok sehingga jatuh dalam
keadaan syok atau memperpanjang syok yang sudah terjadi
5. Keterlambatan dalam mengenal adanya perdarahan hebat
6. Terlalu sedikit atau terlalu banyak terapi cairan infus
7. Ketidakpedulian dalam tehnik aseptic dalam menangani pasien
C. Prognosis
Prognosis DBD ditentukan oleh derajat penyakitnya, cepat tidaknya
penanganan diberikan, umur, jenis kelamin, dan keadaan nutrisi
penderita.Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik.DBD derajat III dan
IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong.Angka
kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50%.Tanda- tanda
prognosis yang baik pada DSS adalah pengeluaran urine yang cukup serta
kembalinya nafsu makan.
28
29
30
2.10 Tanda perbaikan klinis
- Nadi, tekanan darah, dan laju respirasi stabil
- Temperatur normal
- Tidak terdapat tanda perdarahan baik internal maupun eksternal
- Kembalinya nafsu makan
- Tidak ada munta dan nyeri abdomen
- Produksi urin baik
- Hematokrit dalam batas normal
- Mulai menghilangnya peteki terutama pada ekstrimitas (WHO, 2011)
Kriteria KRS:
- Tidak terdapat demam setidaknya 24 jam tanpa pemberian antipiretik
- Kembalinya nafsu makan
- Perbaikan klinis yang dapat terlihat
- Produksi urin baik
- Minimal 2-3 hari setelah perbaikan dari syok
- Tidak terdapat ascites ataupun tanda distres akibat efusi pleura
- Trombosit lebih dari 50.000/mm3. Jika belum tercapai, pasien diharap
menghindari aktivitas traumatik selama 1-2 minggu hingga jumlah
platelet normal. Pada kasus normal, platelet meningkat dalam 3-5 hari
(WHO, 2011)
2.11 Komplikasi
Syok yang berkepanjangan dapat mengakibatkan asidosis metabolik dan
perdarahan masif akibat terjadinya DIC (WHO, 2011). Syok yang tidak diatasi
lebih dari 4 jam akan menyebabkan kegagalan fungsi pada multiorgan seperti
kegagalan fungsi hepar (pognosis 50%) atau kegagalan fungsi hepar dan ginjal
(prognosis 10%). Apabila terdapat kegagalan fungsi dari minimal tiga organ dan
salah satunya adalah fungsi respirasi, maka prognosis sangat buruk.
Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu komplikasi yang
ditakutkan. Angka kejadian perdarahan saluran cerna lebih banyak ditemukan
pada DSS. Kondisi ini dapat dijelaskan karena perdarahan yang timbul akan
31
memperberat kehilangan volume plasma akibat kebocoran sehingga mempercepat
terjadinya syok (Raihan, 2010). Selain komplikasi tersebut, pasien juga dapat
mengalami kelebihan cairan karena pemberian yang terlalu banyak pada saat-saat
terjadi kebocoran plasma (WHO, 2011).
2.12 Prognosis
Prognosis DBD ditentukan oleh derajat penyakitnya, cepat tidaknya
penanganan diberikan, umur, jenis kelamin, dan keadaan nutrisi
penderita.Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik.DBD derajat III dan IV
bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong.Angka kematian pada
syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50%.Tanda- tanda prognosis yang baik pada
DSS adalah pengeluaran urine yang cukup serta kembalinya nafsu makan.
32
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke UGD RSU Parama Sidhi datang dengan keluhan demam.
Keluhan demam dikatakan oleh pasien pertama kali dirasakan sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan demam tersebut dirasakan muncul
mendadak tinggi dan dirasakan terus-menerus oleh pasien. Pasien mengatakan
keluhan demam sempat turun setelah pasien minum obat penurun panas 2 hari
sebelum masuk rumah sakit, namun kemudian demam timbul kembali beberapa
jam setelah minum obat.
Pasien juga mengeluh nyeri kepala dan nyeri pada persendian yang
dirasakan diseluruh tubuh. Keluhan ini muncul bersamaan dengan demam. Pasien
juga mengeluh sempat mimisan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat
mengorek-ngorek hidung disangkal. Pasien juga mengeluh belum BAB sejak 2
33
hari yang lalu. BAK (+) lancar. Mual, muntah disangkal oleh pasien. Nafsu makan
pasien masih baik. Riwayat nyeri perut disangkal oleh pasien.
Riwayat Sosial :
Di lingkungan sekolah dan tempat tinggal pasien tidak ada yang mengalami
keluhan yang sama dengan pasien.
34
Kesan :
IMT : 53/(1,55)2 = 22,06
35
- Kulit : Warna sawo matang, ikterik (-), petechie (+)
3.4 DIAGNOSA
Dengue Hemoragic fever
3.6 PENATALAKSANAAN
Bed Rest
IVFD RL 28 tpm (makro)
Paracetamol 500mg @4 jam
Periksa darah lengkap @24 jam
Monitoring tanda-tanda vital (kesadaran, tekanan darah, nadi, suhu,
respirasi, cairan keluar dan masuk)
3.7 PROGNOSIS
Qua Ad Functionam : Dubia ad bonam
Qua Ad Sanationam : Dubia ad bonam
Qua Ad Vitam : Dubia ad bonam
36
3.8 FOLLOW UP PASIEN
15 Mei 2019
Subyektif
Demam (+) Mimisan (-)
Mual (-) muntah (-), gusi berdarah (-)
Nafsu makan menurun,
Obyektif
KU : cukup
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 90x/m reguler, kuat angkat
RR : 21x/m
Tax : 39,30 C
Mulut : mukosa bibir kering
Tho: dbn
Abd: nyeri tekan epigastric (-), BU (+), timpani, hepar, lien tidak teraba
membesar
Integument : petekie spontan (+)
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik
Produksi urine :
Pukul 15.00 : 200cc
Lab Tanggal 15 Mei 2019
HEMATOLOGI Hasil Nilai Rujukan
Hb 17,5 mg/dl L 13,3-17,7 P 11,7-15,7
Hematokrit 49,9% L 40-54 P 35-47
Leukosit 5300 cell/cmm 4.000-11.000
Eritrosit 6,28 L 4,5-6,5 P 3,0-6,0
Trombosit 139.000 cell/cmm 150.000-450.000
Assesment
Dengue Fever
37
Planning Diagnosis
DL serial
Planning Terapi
IFVD RL 28 tpm makro/menit
Paracetamol 500mg bila suhu ≥ 38˚C, dapat diulang tiap 4 jam, ditambah
kompres hangat
Observasi warning sign (TTV tiap 4 jam)
16 Mei 2019
Subyektif
Demam (+) Mimisan (-)
Mual (-) muntah (-), gusi berdarah (-)
Nafsu makan menurun,
Obyektif
KU: cukup
TD: 100/60 mmHg
Nadi : 90x/m reguler, kuat, angkat
RR : 20x/m
Tax : 38,50 C
Mulut : mukosa bibir kering
Tho: dbn
Abd: nyeri tekan epigastric (-), BU (+), timpani, hepar, lien tidak teraba
membesar
Integument : petekie spontan (+)
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik
Produksi urine :
Pukul 06.00 : 300cc
Pukul 12.00 : 200cc
Pukul 18.00 : 350cc
38
Lab Tanggal 16 Mei 2019
HEMATOLOGI Hasil Nilai Rujukan
Hb 16 mg/dl L 13,3-17,7 P 11,7-15,7
Hematokrit 45% L 40-54 P 35-47
Leukosit 5400 cell/cmm 4.000-11.000
Eritrosit 5,66 L 4,5-6,5 P 3,0-6,0
Trombosit 71.000 cell/cmm 150.000-450.000
Assesment
Demam Hemorrhagic Fever
Planning Diagnosis
DL serial
Planning Terapi
IFVD RL 28 tpm makro/menit
Paracetamol 500mg bila suhu ≥ 38˚C, dapat diulang tiap 4 jam, ditambah kompres
hangat
Observasi warning sign (TTV tiap 4 jam)
39
Mata : pucat (-), odem palpebra (-)
Thorax : Simetris (+), retraksi (-)
Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
Pulmo : vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : Nyeri tekan (-), Distensi (-)
Ekstremitas : Akral dingin (+), CRT <2 detik
Produksi urine :
Pukul 01.00 : 300cc
Pukul 06.00 : 400cc
Pukul 08.00 : -
Pukul 08.15 : -
Tanggal 17 Mei 2019
HEMATOLOGI Hasil Nilai Rujukan
Hb 19,1 mg/dl L 13,3-17,7 P 11,7-15,7
Hematokrit 54,1% L 40-54 P 35-47
Leukosit 8.200 cell/cmm 4.000-11.000
Eritrosit 6,78 L 4,5-6,5 P 3,0-6,0
Trombosit 16.000 cell/cmm 150.000-450.000
Assesment
DSS Kompensata
Planning Diagnosis
DL serial
Planning Terapi
Loading RL 20cc/kgBB 700ml habis dalam 1 jam Evaluasi TTV
Bila TTV, klinis membaik Cairan 350ml habis dalam 1 jam, dilanjutkan 116
tpm makro/menit
Cek DL pukul 11.00 WITA,
Bila ada hasil, lapor
Evaluasi TTV tiap jam
40
17 Mei 2019 (Pukul 11.20 Wita)
Subyektif
Lemas (+), demam (-), pusing (-), mimisan (-)
Mual (-), Muntah (-)
Obyektif
KU: baik
TD: 100/70 mmHg
Nadi : 70x/m reguler, kuat angkat
RR : 20x/m
Tax : 360 C
Status generalis :
Mata : pucat (-), odem palpebra (-)
Thorax : Simetris (+), retraksi (-)
Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
Pulmo : vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : Nyeri tekan (-), distensi (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT <2 detik
Produksi urine :
Pukul 12.00 : -
Tanggal 17 Mei 2019
HEMATOLOGI Hasil Nilai Rujukan
Hb 18,2 mg/dl L 13,3-17,7 P 11,7-15,7
Hematokrit 51,1% L 40-54 P 35-47
Leukosit 7.500 cell/cmm 4.000-11.000
Eritrosit 6,40 L 4,5-6,5 P 3,0-6,0
Trombosit 22.000 cell/cmm 150.000-450.000
Assesment
DSS Kompensata
Planning Diagnosis
41
DL serial
Planning Terapi
RL 80 tpm makro/menit
Cek DL pukul 17.00 WITA
Lapor hasil DL, kemudian Cek DL ulang pukul 23.00 WITA, evaluasi TTV dan
Keadaan Umum
42
Eritrosit 6,32 L 4,5-6,5 P 3,0-6,0
Trombosit 17.000 cell/cmm 150.000-450.000
Assesment
DSS Kompensata
Planning Diagnosis
DL serial
Planning Terapi
Terapi cairan maintenance 80 tpm
Observas TTV
43
Leukosit 8.100 cell/cmm 4.000-11.000
Eritrosit 6,03 L 4,5-6,5 P 3,0-6,0
Trombosit 17.000 cell/cmm 150.000-450.000
Assesment
DSS Kompensata
Planning Diagnosis
DL serial
Planning Terapi
Terapi lanjut
Observas TTV
44
Tanggal 18 Mei 2019
HEMATOLOGI Hasil Nilai Rujukan
Hb 16,8 mg/dl L 13,3-17,7 P 11,7-15,7
Hematokrit 47,9% L 40-54 P 35-47
Leukosit 9.100 cell/cmm 4.000-11.000
Eritrosit 6,04 L 4,5-6,5 P 3,0-6,0
Trombosit 13.000 cell/cmm 150.000-450.000
Assesment
DSS Kompensata
Planning Diagnosis
DL serial
Planning Terapi
Cek DL sesuai klinis
Rencana besok BPL
45
Pulmo : vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : Nyeri tekan (-), distensi (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT <2 detik
Produksi urine :
Pukul 12.00 : 200cc
Tanggal 18 Mei 2019
HEMATOLOGI Hasil Nilai Rujukan
Hb 17,2 g/dl L 13,3-17,7 P 11,7-15,7
Hematokrit 48,8% L 40-54 P 35-47
Leukosit 8.800 cell/cmm 4.000-11.000
Eritrosit 6,04 L 4,5-6,5 P 3,0-6,0
Trombosit 16.000 cell/cmm 150.000-450.000
Assesment
DSS Kompensata
Planning Diagnosis
DL serial
Planning Terapi
Apabila pasien makan minum masih bagus = IVFD RL Asnet, bila tidak, IVFD
maintenance 20 tpm makro/menit
KIE : kurangi aktivitas/gerak
46
Tanggal 19 Mei 2019
HEMATOLOGI Hasil Nilai Rujukan
Hb 17,2 g/dl L 13,3-17,7 P 11,7-15,7
Hematokrit 48,8% L 40-54 P 35-47
Leukosit 8.800 cell/cmm 4.000-11.000
Eritrosit 6,16 L 4,5-6,5 P 3,0-6,0
Trombosit 37.000 cell/cmm 150.000-450.000
Assesment
DSS Kompensata
Planning Diagnosis
DL serial
Planning Terapi
BPL
47
BAB IV
PEMBAHASAN
48
Diawali dengan pemberian cairan sebesar 2160cc/hari (Holliday Segar).
Selanjutnya mengikuti klinis.
Setelah dilakukan terapi cairan dari UGD pasien dimonitoring nilai Hb,
hematokrit, dan trombositnya. Untuk itu penegakan diagnosis meenggunakan
perbandingan nilai hematokrit sebelum dan sesudah resusitasi. Setelah pemberian
cairan, hematokrit pasien turun menjadi 45%. Meski penurunan ini sebesar 4,9%,
tidak mencapai 20%, dan tidak terdapat tanda kebocoran plasma, namun pasien
tetap disuspek diagnosis DHF.
Berdasarkan SEARO-WHO 2011, penurunan hematokrit 10-20% harus
tetap dicurigai sebagai DHF karena bisa jadi saat itu pasien masih dalam tahap
DHF fase febris yang hanya dalam hitungan jam dapat menjadi DHF fase kritis
dengan peningkatan hematokrit > 20%. Adanya perdarahan spontan sebagai
komplikasi dengan trombosit <100.000 cell/mm3 (71.000 cell/mm3)) , maka pasien
disuspek diagnosis DHF grade II.
Sesuai protokol C, pasien mengalami kebocoran plasma (edem palpebra,
peningkatan hematokrit, penurunan trombosit) disertai dengan syok (takikardi,...).,
untuk itu diruangan pasien terapi dimulai dengan bolus cairan RL 20cc/kgBB/jam
( setara 700cc) dan dilanjutkan dengan maintenance 80tpm yang kemudian
berkurang sesuai dengan klinis dan laboratorium.
Selain terapi cairan, terapi simtomatis juga diperlukan. Pasien diberikan
paracetamol per oral 4x500mg bila suhu >380 untuk menurunkan panas.
Pada tanggal 19 Mei 2019 pasien dapat keluar rumah sakit (rawat inap hari
ke 5) dengan pertimbangan nilai trombosit semakin meningkat (terakhir 37.000
cell/mm3), manifestasi perdarahan telah berhenti, dan fase kritis demam dengue
telah terlewati.
49
BAB V
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Telah dilaporkan kasus pasien laki-laki, 16 tahun, dengan keluahan
utama demam dan gejala lain sesuai kriteria dari penegakan diagnosis kerja
Dengue hemoragic Fever (DF) dan “warning sign” berupa perdarahan yaitu
epistaksis disertai syok. Pasien mendapatkan terapi cairan sesuai dengan
pedoman tatalaksana terbaru dari WHO. Pasien telah menerima penanganan
yang tepat dan adekuat dari rumah sakit. Pasien mengalami kemajuan yang
baik dan dapat KRS pada hari ke 5 rawat inap.
1.2 Saran
Diharapkan tenaga medis selalu memperbaharui pemahaman
mengenai diagnosis, dan penatalaksanaan demam dengue secara tepat dan
adekuat untuk pengobatan yang optimal karena pedoman penatalaksaan
dengue selalu berkembang dari waktu ke waktu.
50
DAFTAR PUSTAKA
51
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI, Infeksi Virus Dengue dalam Ilmu
Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2005. h: 607-621
Soegijanto, Soegeng. 2010. Patogenesa Infeksi Virus Dengue Recent Update.
Applied Management of Dengue Viral Infection in Children. 6 November
2010
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Buletin Jendela Epidemiologi
Demam Berdarah Dengue
52