LAPORAN
PRAKTIKUM BIOFARMASI-FARMAKOKINETIKA
III. Teori
Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam
pelarut menghasil kan suatu larutan. Dalam sistem biologik pelarutan obat dalam
media aqueous merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi absorbs sistemik.
Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk
sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering
mengendalikan laju absorpsi sistemik obat (Shargel dan Andrew, 1998).
Disolusi merupakan proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut
menghasilkan suatu larutan. Laju pelarutan obat dalam cairan saluran cerna
merupakan salah satu tahapan penentu (rate limiting step) absorpsi sistemik obat.
Laju pelarutan obat di dalam saluran cerna dipengaruhi oleh kelarutan obat itu
sendiri. Peningkatan laju disolusi obat merupakan salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk memperbaiki permasalahan bioavaibilitas (Sutriyo dkk, 2005).
Uji disolusi merupakan hal yang harus dilakukan untuk merancang suatu sediaan
tablet agar laju pelepasan obat dari tablet tersebut dapat diketahui. Obat yang
memiliki disolusi yang baik akan memberi kan bioavailabilitas yang baik pula
sehingga semakin banyak jumlah obat yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh dan
masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Laju disolusi dapat berhubungan langsung
dengan kemanjuran suatu obat dan merupakan suatu karakteristik mutu yang
penting dalam menilai mutu obat yang digunakan peroral untuk mendapatkan efek
sistemik. Selain itu uji disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam
pengembangan produk dan pengendalian mutu obat (Gunawi, 2011).
2
Ketika suatu tablet atau sediaan padat masuk ke dalam saluran cerna, obat
tersebut mulai bergerak dari padatan utuh ke dalam larutan. Kecuali tablet tersebut
merupakan bahan polimerik yang bergandengan, matriks padat juga berdisintegrasi
menjadi granul-granul. Granul-granul yang dihasilkan selanjutnya berdeagregasi
menjadi partikel-partikel halus. Disentegrasi deagregasi dan disolusi dapat dapat
terjadi bersamaan dengan pelepasan obat dari bentuk penghantarannya.
Keefektifan suatu tablet melepaskan kandungan obatnya untuk absorpsi sistemik
sedikit banyak bergantung pada kecepatan disintegrasi bentuk sediaan dan
deagregasi granul. Namun biasanya yang lebih berpengaruh adalah kecepatan
disolusi sediaan padat tersebut. Disolusi sering kali merupakan tahap penentu atau
pengendali kecepatan pada absorpsi obat berkelarutan rendah karena disolusi kerap
kali menjadi tahap paling lambat diantara berbagai tahap yang terlibat dalam
pelepasan obat dari bentuk sediaan dan pergerakan ke dalam sirkulasi sistemik.
Kecepatan suatu padatan melarut dalam suatu pelarut dinyatakan secara kuantitatif
oleh Noyes dan Whitney, kemudian diuraikan dengan persamaan :
𝑑𝑀 𝐷.𝑆
= (𝐶𝑠 − 𝐶)
𝑑𝑡 ℎ
M adalah massa zat terlarut yang terlarut selama waktu t; dM/dt adalah
kecepatan disolusi massa (massa/waktu); D adalah koefisien difusi zat terlarut
dalam larutan; S adalah luas permukaan padatan; h adalah tebal lapisan difusi; Cs
adalah kelarutan padatan (yakni konsentrasi ssenyawa dalam larutan jenuh pada
permukaan padatan dan pada temperatur percobaan); dan C adalah konsentrasi zat
terlarut dalam larutan bulk pada waktu t. Kuantitas dC/dt adalah kecepatan disolusi
dan V adalah volume larutan.
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika
obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat
yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus
pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat,
misalnya karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan proses
disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses
absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju
rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam
3
beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah pemberian oral, karena batasan
waktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus
(Sinko, 2006).
Adapun macam-macam disolusi, antara lain:
A. Disolusi intrinsik
Didefinisikan sebagai suatu kecepatan disolusi zat aktif murni dibawah kondisi luas
permukaan yang konstan. Kaplan dan wood menyarankan bahwa absorbsi dengan
kecepatan disolusi intrinsic kurang lebih 1 mg/menit/cm2 akan sangat mungkin
bebas dari masalah kecepatan disolusi.
B. Disolusi partikulat
Luas permukaan solida tidak dibuat konstan. Disolusi partikulat digunakan untuk
mempelajari pengaruh ukuran partikel terhadap kecepatan disolusi.
Menurut USP XXI uji pelarutan dapat digunakan dengan beberapa cara, yaitu:
A. Metode Keranjang (Basket)
Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor.
Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media
pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37oc.
Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus
dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar kalibrasi pelarutan untuk
meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi (Agoes,
2008).
B. Metode Dayung (Paddle)
Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang berfungsi
memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara
vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali.
Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga
berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan
dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket
dipertahankan pada 37oc. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP.
Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk
obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil
4
pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa
peralatan sebelum uji dilaksanakan (Agoes, 2008).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi obat, antara lain:
A. Sifat fisika kimia obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas
permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju
disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan
obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada
umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas.
Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika
pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat
bentuk kristal secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini
menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal
(Shargel dan Andrew, 1998).
B. Faktor formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat
mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka
antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara
langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob
seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan
medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks
dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk
kompleks dengan bahan obat, yang membentuk kompleks tidak larut dengan
tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan
berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang terabsorpsi (Shargel dan Andrew,
1998).
C. Faktor Alat Uji Disolusi dan Parameter Uji
Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang meliputi
kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang dipakai.
Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi
sehingga memperluas permukaan partikel yang berkontak dengan pelarut. Suhu
medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Untuk zat yang kelarutannya
5
tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi tidak akan mempengaruhi laju
disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan in vitro penting karena kondisi pH
akan berbeda pada lokasi obat di sepanjang saluran cerna sehingga akan
mempengaruhi kelarutan dan laju disolusi obat. Metode penentuan laju disolusi
yang berbeda dapat menghasilkan laju disolusi yang sama atau berbeda tergantung
pada metode uji yang digunakan (Syukri, 2002).
MONOGRAFI
TEOFILIN ( FI IV hal 783, FI III hal 597, Martindale 35 hal 1023)
6
IV. Alat dan Bahan
4.1 Alat
Alat yang digunakan adalah seperangkat alat disolusi tipe II, Spektrofotometri UV
– VIS, Kuvet Kuarsa, Labu ukur 10 mL, Beaker glass, Mikropipet 100 – 1000
mikroliter, Mikropipet 10 – 100 mikroliter, pH meter, Vial, Jerigen 5 L.
4.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah Teofilin Monohidrat, Teofilin Anhidrat, Aquadest,
HCl 0,1N.
V. Prosedur
5.1 Pembuatan HCl 0,1N
Ambil 8,5 ml asam klorida p kemudian dilarutkan ke dalam labu takar ukuran 1000
ml yang berisi aquadest 500 ml. Tambahkan aquadest hingga tanda batas melalui
dinding labu.
7
VI. Data Pengamatan
Tabel 6.1. Hasil uji disolusi teofilin monohidrat dan teofilin anhidrat
menggunakan media dapar HCl 0,1N
% Terdisolusi
Time Point
(menit) Teofilin Teofilin
Monohidrat Anhidrat
5 97,673 96,809
10 102,737 101,102
20 118,570 104,406
30 123,054 107,220
45 127,827 108,774
60 135,190 110,588
140.000
120.000
100.000
% Terdisolusi
80.000
Teofilin Monohidrat
60.000 Teofilin Anhidrat
40.000
20.000
0.000
5 10 20 30 45 60
Waktu (Menit)
Gambar 6.1. Kurva profil disolusi teofilin monohidrat dan teofilin anhidrat dalam
media dapar HCl 0,1N
8
Tabel 6.2. Hasil uji disolusi teofilin monohidrat dalam berbagai media disolusi
% Terdisolusi Teofilin Monohidrat dalam Media
Time Point
(Menit) Fosfat Asetat HCl
Air HCl 0,1N
pH 6,8 pH 4,5 pH 1,2
5 81.740 83.257 114.365 78.199 97.673
10 89.454 94.052 120.873 107.590 102.737
20 92.128 100.858 132.287 139.308 118.570
30 98.140 130.968 134.096 158.813 123.054
45 108.545 145.528 136.165 162.660 127.827
60 110.359 151.280 139.009 170.617 135.190
120
Air
100
Fosfat pH 6,8
80
Asetat pH 4,5
60
HCl pH 1,2
40
HCl 0,1N
20
0
5 10 20 30 45 60
Waktu (Menit)
9
VII. Pembahasan
Disolusi merupakan proses dimana suatu zat padat melarut. Dalam
penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlihat berbagai
macam proses disolusi yang melibatkan zat murni agar partikel padat
terdisolusi. Molekul solut pertama-tama harus memisahkan diri dari
permukaan padatan, kemudian bergerak menjauhi permukaan memasuki
pelarut, tergantung pada kedua proses ini dan bagaimana cara transport
berlangsung. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena
ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut
melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Perilaku disolusi dapat digambarkan secara fisika. Ada 3 dasar model
fisika yang dapat menggambarkan mekanisme kecepatan disolusi yang
terlibat dalam zat murni yakni model lapisan difusi (diffusion layer model),
model halangan antar muka (interfacial barier model), dan model dankwert
(Dankwert model).
Praktikum kali ini membahas tentang disolusi partikulat, yaitu disolusi
yang menggunakan sampel dalam bentuk serbuk untuk mengetahui uji
disolusi dari suatu zat aktif yang memiliki perbedaan sifat fisikokimia.
Pengujian dilakukan terhadap zat teofilin monohidrat dan teofilin anhidrat
berdasarkan pada proses pelarutan zat aktif dalam media pelarut dengan
menggunakan alat disolusi tipe dayung. Metode dayung terdiri atas suatu
dayung yang dilapisi khusus yang berfungsi memperkecil turbulensi yang
disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor
yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Serbuk diletakkan
dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk
memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu
bak air yang bersuhu konstan, yaitu pada suhu 37˚C. Posisi dan kesejajaran
dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap
kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang
tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar
kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum
uji dilaksanakan (Agoes, 2008).
10
Medium disolusi yang digunakan adalah HCl 0,1 N sebanyak 500 ml
dengan 37˚C ± 0,5˚C disesuaikan dengan suhu tubuh manusia. Penggunaan
medium HCl 0,1 N untuk menyesuaikan keadaan fisiologis di dalam
lambung dengan kecepatan pengadukan 50 rpm menggambarkan gerakan
peristaltik lambung.
Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor,
diantaranya adalah sifat fisika kimia obat. Sifat fisika kimia obat
berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat
diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan
diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat
dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada
umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa
bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa
kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang
identik. Polimorfisme dan sifat permukaan zat akan sangat mempengaruhi
kelarutan suatu zat, adanya polimorfisme seperti struktur internal zat yang
berlainan, akan mempengaruhi kelarutan zat tersebut dimana kristal
metastabil akan lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya
Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara
termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan
obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi dari pada bentuk kristal (Shargel
dan Yu, 1999).
Pengambilan sampel dilakukan pada menit ke 5, 10, 20, 30, 45, dan
60. Perbedaan waktu pengambilan sampel dimaksudkan untuk mengetahui
kelarutan obat tersebut dalam waktu tertentu. Untuk setiap kali pengambilan
sampel maka ditambahkan dapar HCl 0,1 N ke dalam labu disolusi sebanyak
sampel yang diambil. Hal ini dikarenakan volume cairan tubuh tidak
berkurang. Sebagaimana pengambilan sampel dalam labu disolusi.
Cuplikan harus diambil 10-25 mm dari dinding bejana disolusi, karena
bagian ini diperkirakan merupakan bagian yang paling baik pengadukannya
(Martin, et. Al, 2008).
11
Dari data yang didapat % disolusi teofillin monohidrat dan teofillin
anhidrat menunjukkan hasil yang baik, karena setiap menit pengujian
sampel yang dilakukan mengalami kenaikan % disolusi. Seperti pada %
disolusi teofillin monohidrat pada menit ke-5, 10, 20, 30, 45, dan 60 berturut
adalah sebesar 97,673 %; 102,737 %; 118,570 %; 123,054 %; 127,827 %;
135,190%. Kenaikan % disolusi ini juga terjadi pada sampel teofilin
anhidrat pada menit ke-5, 10, 20, 30, 45, dan 60 berturut adalah sebesar
96,809 %; 101,102 %; 104,406 %; 107,220 %; 108,774 %; 110,588 %.
Dapat dilihat dari data yang didapat bahwa % disolusi teofilin monohidrat
lebih besar daripada teofilin anhidrat dalam media HCl 0,1 N.
Pada teofilin anhidrat dan teofilin monohidrat proses disolusi
yang berlangsung dengan cepat adalah teofilin monohidrat. Air dapat
membentuk suatu suatu kristal tertentu dengan obat yang disebut hidrat
(Shargol, 2005). Zat berbentuk amorf akan lebih mudah melarut daripada
kristal. Namun dari hasil data pengamatan, disolusi pada teofilin monohidrat
lebih cepat dimana seharusnya yang memberikan nilai disolusi yang tinggi
adalah teofilin anhidrat. Teofilin anhidrat akan memberikan kelarutan yang
lebih tinggi karena bentuk anhidrat (tanpa molekul air) tidak stabil sehingga
ketika masuk pada larutan uji akan lebih mudah air atau pelarut masuk,
berbeda dengan teofilin monohidrat yang memiliki gugus air dimana gugus
air tersebut akan membuat air sulit masuk kedalam teofilin monohidrat,
dengan kata lain teofilin monohidrat lebih stabil sehingga sulit pecah dan
melarut. Monohidrat teofilin mengandung lebih banyak ikatan hydrogen
dibandingkan dengan anhidrat teofilin. Sehingga monohidrat teofilin lebih
kuat secara mekanik daripada teofilin anhidrat. Teofilin anhidrat lebih rapuh
secara mekanik daripada teofilin monohidrat (Datta, 2004).
Pengujian teofilin monohidrat dilakukan pula dalam media yang
berbeda diantaranya air, fosfat pH 6,8, asetat pH 4,5, HCl pH 1,2 dan HCl
0,1 N. Diperoleh % terdisolusi tertinggi dan terendah pada menit ke 60
adalah HCl pH 1,2 dan air dengan nilai % disolusi sebesar 170.617 ;
110.359.
12
VIII. Kesimpulan
Berdasarkan data pengamatan yang diperoleh, dalam media HCl 0,1N, %
terdisolusi teofilin monohidrat lebih besar daripada teofilin anhidrat dimana pada
menit 60 mencapai kadar 135,190% untuk teofilin monohidrat dan 110,558% untuk
teofilin anhidrat. Sedangkan pada menit ke-60, kadar tertinggi teofilin monohidrat
dalam berbagai media disolusi secara berturt-turut adalah dapar HCl pH 1,2
(170,617%), dapar fosfat pH 6,8 (151,280%), dapar asetat pH 4,5 (139,009%), HCl
0,1N (135,190%), dan air (110,359%).
13
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, G., 2008, Pengembangan Sediaan Farmasi, Edisi Revisi & Pelunasan,
ITB, Bandung, 199 – 200
Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Diterjemahkan oleh Farida
Ibrahim, Edisi IV, Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Shargel, L., dan Yu, A. B. C., 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.
Edisi Kedua. Surabaya : Airlangga University Press.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting. Jakarta : PT. Elex
Media Komputindo.
Voigt, R., 1995, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Diterjemahkan oleh Soendani
N. S., Yogyakarta : UGM Press.
14
LAMPIRAN
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 5 10 15 20
Konsentrasi (ppm)
15
Lampiran 2. Hasil Uji Disolusi dengan Dapar HCl 0,1N sebagai Media Disolusi
16
Lampiran 3. Hasil Uji Disolusi Teofilin Monohidrat dengan Menggunakan
Beberapa Media Disolusi
Tabel Persen Terdisolusi Teofilin Monohidrat dalam Media Dapar Fosfat pH 6,8
Tabel Persen Terdisolusi Teofilin Monohidrat dalam Media Dapar Asetat pH 4,5
17
Tabel Persen Terdisolusi Teofilin Monohidrat dalam Media Dapar HCl pH 1,2
18