Anda di halaman 1dari 5

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Status gizi balita menjadi salah satu indikator untuk menilai kesejahteraan

masyarakat. Kondisi status gizi balita dapat memprediksi bagaimana output SDM

di masa mendatang. Untuk menjadi calon penerus dalam membangun bangsa

yang unggul dibutuhkan status gizi yang baik. Menurut Black, et al. (2013),

masalah gizi yang sering menjadi penyebab kematian balita adalah masalah

kurang gizi.1 Status gizi balita masih menjadi salah satu indikator keberhasilan

pelayanan kesehatan.1 Status gizi balita diukur berdasarkan umur (U), berat badan

(BB), dan tinggi badan/ panjang badan (TB). Variabel U, BB, dan TB ini diolah

menjadi tiga indikator antropometri, yaitu: berat badan menurut umur (BB/U),

tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan

(BB/TB).2

Gizi kurang (underweight) dan gizi buruk dapat menyebabkan gangguan

jasmani dan kesehatan pada balita. Kejadian gizi buruk akan menyebabkan daya

tahan tubuh anak menurun dan anak juga akan lebih mudah terkena penyakit

infeksi. Gizi buruk yang terjadi pada anak apabila tidak ditangani dengan baik dan

cepat karena dapat mempengaruhi kualitas generasi selanjutnya.3

Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun

2008-2009 menunjukkan angka kematian balita sebesar 46 per 1.000 kelahiran

hidup atau setiap hari ada 566 kematian balita. Sedangkan status gizi pada tahun

2009 jumlah anak kurang gizi sebesar 5 juta dan anak dengan status gizi buruk

1
2

sekitar 1,5 juta dan 150.000 anak menderita gizi buruk tingkat berat

(marasmuskwasiorkor). Terdapat tiga (3) Provinsi yang mempunyai status gizi

balita yang paling rendah di Indonesia yaitu provinsi Nusa Tenggara Timur

(NTT), Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Dan Terdapat tiga (3) provinsi

yang mempunyai status gizi balita baik (tinggi) yaitu DI Yogyakarta, DKI Jakarta

dan Sumatera Barat.4

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa

prevalensi underweight (berat-kurang) secara nasional pada balita adalah sebesar

19,6% yang terdiri dari 5,7% persen gizi buruk dan 13,6% balita yang mengalami

gizi kurang. Prevalensi tersebut meningkat jika dibandingkan dengan prevalensi

underweight pada tahun 2007 yaitu sebesar 18,4% dan pada tahun 2010 sebesar

17,9%. Prevalensi ini juga melebihi target millenium development goals (MDG’s)

sendiri pada tahun 2015 yaitu sebesar 15,5% untuk underweight, sehingga perlu

dilakukan upaya penurunan angka underweight untuk mencapai target tersebut.5

Penyebab masalah gizi yang terjadi pada anak sangat beragam, diantaranya

yaitu kurangnya asupan, penyakit yang diderita, pola asuh dan masih banyak

penyebab lainnya. Apabila terjadi ketidaksesuaian antara jumlah zat gizi yang

masuk dengan kebutuhan tubuh maka akan mendorong balita mengalami masalah

gizi.6 Beberapa penelitian yang dilakukan menyatakan determinan kejadian

malnutrisi pada anak adalah usia anak, jenis kelamin anak, anak kembar, interval

kelahiran, pendidikan ibu, status pernikahan, tingkat kesejahteraan rendah,

perilaku pencarian kesehatan, dan jumlah anak. Beberapa penelitian menunjukkan


3

variabel pendidikan ibu merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap

kejadian malnutrisi pada balita.7

Ada beberapa perbadaan analisa data antara ibu yang menyedikan diet

kembar dan yang tidak. Hasl riset secara keseluruhan pada semua anak dibatasi

fakta bahwa anak kembar sering BBLR dan premature. Kehidupan mereka juga

berbeda, karena mereka tumbuh bersama orang yang usianya sama persis dan

sering diperlakukan sebagai “pasangan”. Namun, perbandingan dengan data

terbaru diet Diet and Nutrition Survey of Infants and Young Children untuk bayi

berusia 4-18 bulan dan Diet and Nutrition Survey of Infants and Young Children

untuk anak usia 1,5- 3 tahun menunjukkan bahwa diet anak kembar adalah

relative sama untuk semua populasi umum. 8

Kesimpulannya, efek lingkungan secara substansial lebih kuat pengaruhnya

pada asupan makanan anak-anak dibandingkan faktor genetic. Ini menerangkan

pentingnya lingkungan makanan di rumah dan praktik pemberian makan anak

dalam menentukan kebiasaan diet sehat pada anak. Orang tua dan wali adalah

target penting untuk pendidikan dan intervensi untuk meningkatkan diet balita. 8

1.2 Tujuan Studi Kasus

1.2.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran kasus malnutrisi kronis pada balita kembar di

Puskesmas Simpang Keuramat Kabupatan Aceh Utara .


4

1.2.2 TujuanKhusus

1. Untuk mengetahui penyebab, patofisiologi, dan faktor risiko malnutrisi

kronis pada balita kembar berusia 20 bulan Puskesmas Simpang Keuramat

Kabupatan Aceh Utara Tahun 2019.

2. Untuk mengkaji tatalaksana dan melakukan intervensi dalam pencegahan

komplikasi pada kasus malnutrisi kronis pada balita kembar berusia 20 bulan

Puskesmas Simpang Keuramat Kabupatan Aceh Utara Tahun 2019.

1.3 Manfaat Studi Kasus

1. Bagi institusi pendidikan

Studi kasus ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi di Instansi

Fakultas Kedokteran dan sebagai data untuk penelitian berikutnya.

2. Bagi bidang kesehatan

Sebagai sumbe informasi ilmiah tentang malnutrisi kronis pada balita kembar.

3. Bagi masyarakat

Menambah pengetahuan masyarakat tentang malnutrisi kronis pada balita

kembar sehingga diharapkan dapat mencegah terjadinya malnutrisi kronis pada

masyarakat.

4. Bagi tempat penelitian

Diharapkan dapat melakukan suatu pencegahan untuk menghindari terjadinya

penyakit malnutrisi kronis pada balita kembar.

5. Bagi penulis

Dengan adanya studi kasus ini, diharapkan akan mendapatkan tambahan ilmu

dan meningkatkan pengetahuan dalam melakukan studi kasus sehingga dapat


5

menyampaikan pada masyrakat tentang penyakit malnutrisi kronis pada balita

kembar di Puskesmas Simpang Keuramat Kabupaten Aceh Utara.

Anda mungkin juga menyukai