Anda di halaman 1dari 23

7

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Pneumonia merupaan infeksi akut parenkim paru yang meliputi
alveolus dan jaringan interstisial
2.2 Epidemiologi
Pneumonia masih merupakan masalah kesehatan utama dan
menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita di negara
berkembang. Penyakit ini juga merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas anak usia < 5 tahun. Insiden pneumonia pada anak < 5 tahun
adalah 10-20 kasus/100 anak/ tahun dinegara berkembang dan 2-4 kasus/
anak/ tahun di negara maju.
2.3 Etiologi
Berdasarkan studi mikrobiologik penyebab utama pneumonia anak
balita adalah streptococcus pneumoniae/ pneumococcus (30-50%) dan
hemophilus influenzae type b/ Hib (10-30%), diikuti staphylococcus aureus
dan klebsiela pneumoniae pada kasus berat. Bakteri lain seperti mycoplasma
pneumonia, chlamydia spp, pseudomonas spp, escherichia coli. Pneumonia
pada neonatus banyak disebabkan bakteri gram negatif seperti klebsiella spp
dan bakteri gram positif seperti S. Pneumoniae, S. Aureus. Penyebab
pneumonia karena virus disebabkan respiratory syncytial virus (RSV),
diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan
adenovirus. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh bahan-bahan lain misal
8

bahan kimia (aspirasi makan/susu atau keracunan hidrokarbon pada minyak


tanah atau bensin)
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia banyak disebabkan
bakteri Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan
dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah
bakteri Gram negatif.

o Klebsiella pneumoniae 45,18%


o Streptococcus pneumoniae 14,04%
o Streptococcus viridans 9,21%
o Staphylococcus aureus 9%
o Pseudomonas aeruginosa 8,56%
o Steptococcus hemolyticus 7,89%
o Enterobacter 5,26%
o Pseudomonas spp 0,9%

2.4 Patofisiologi dan Patomekanisme

Pneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui inhalasi, aspirasi, hematogen


dari fokus infeksi atau penyebaran langsung. Sehingga terjadi infeksi dalam alveoli,
membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan dan
bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk ke dalam alveoli.
Dengan demikian alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan cairan
dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus.
Kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh paru menjadi padat (consolidated) yang
berarti bahwa paru terisi cairan dan sisa-sisa sel.
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat
asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan
memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel
pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel
pneumatosit tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan
multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus
pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri
yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari seluruh
alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.
9

Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :


1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel
imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan
otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.

Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium


sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan
cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh
oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)


Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada
perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat
minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena
berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah
tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.2
10

Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau


penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil
merupakan akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari
infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit
terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk, berkembang
biak dan menimbulkan penyakit.
Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :
 Filtrasi partikel di hidung
 Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
 Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
 Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar
 Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
 Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
 Drainase melalui sistem limfatik.

2.5 Klasifikasi Pneumonia pada Balita


Tabel 2. 1 Klasifikasi pneumoni anak usia 2 bulan – 59 bulan

Klasifikasi Tanda bahaya


Pneumonia Napas cepat
- > 50 kali/menit pda anak usia 2
bulan – < 12bulan
- >40 kali/menit pada usia 12 bulan –
29 bulan
Pnemonia berat - Tarikan dinding dada bagian bawah
ke dalam (retraksi otot bantu napas)
- Saturasi O2 < 90%
Pneumoni sangat berat - Tidak bisa minum
- Kejang
- Kesadaran menurun
- Stridor pada saat anak tenang
- Tampak biru pada lidah (sianosis
sentral
11

- Ujung tangan dan kaki pucat dan


dingin
- Head nodding
- Grunting
- Gizi buruk

2.6 Faktor Risiko Pneumonia


Faktor risiko adalah faktor atau keadaan yang mengakibatkan seorang
anak rentan menjadi sakit atau sakitnya menjadi berat (Kartasasmita, 2010).
A. Faktor Lingkungan
1. Ventilasi Udara Dalam Rumah
Ventilasi mempunyai fungsi sebagai sarana sirkulasi udara segar
masuk ke dalam rumah dan udara kotor keluar rumah dengan tujuan untuk
menjaga kelembaban udara didalam ruangan. Rumah yang tidak dilengkapi
sarana ventilasi akan menyebabkan suplai udara segar didalam rumah
menjadi sangan minimal. Kecukupan udara segar didalam rumah sangat di
butuhkan oleh penghuni didalam rumah, karena ketidakcukupan suplai
udara segar didalam rumah dapat mempengaruhi fungsi sistem pernafasan
bagi penghuni rumah, terutama bagi bayi dan balita. Ketika fungsi
pernafasan bayi atau balita terpengaruh, maka kekebalan tubuh balita akan
menurun dan menyebabkan balita mudah terkena infeksi dari bakteri
penyebab pneumonia
12

Hasil penelitian Hartati (2011) menunjukkan bahwa balita yang


tinggal di rumah yang tidak ada ventilasi udara rumah mempunyai peluang
mengalami pneumonia sebanyak 2,5 kali dibandingkan dengan balita yang
tinggal dirumah yang memiliki ventilasi udara. Berbeda dengan penelitian
Yuwono (2008), pada penelitian ini anak balita yang tinggal di rumah
dengan luas ventilasi rumah tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena
pneumonia sebesar 6,3 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang
tinggal di rumah dengan luas ventilasi rumah memenuhi syarat.

2. Jenis Lantai Rumah


Balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai tidak memenuhi
syarat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 3,9 kali lebih besar
dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai
memenuhi syarat. Hal tersebut menunjukkan bahwa risiko balita terkena
pneumonia akan meningkat jika tinggal di rumah yang lantainya tidak
memenuhi syarat. Lantai rumah yang tidak memenuhi syarat tidak terbuat
dari semen atau lantai rumah belum berubin. Rumah yang belum berubin
juga lebih lembab dibandingkan rumah yang lantainya sudah berubin.
Risiko terjadinya pneumonia akan lebih tinggi jika balita sering bermain di
lantai yang tidak memenuhi syarat (Yuwono, 2008).

Jenis lantai tanah (tidak kedap air) memiliki peran terhadap proses
kejadian pneumonia, melalui kelembaban dalam ruangan karena lantai
tanah cenderung menimbulkan kelembaban. Hubungan antara jenis lantai
dengan kejadian pneumonia pada balita bersifat tidak langsung, artinya jenis
lantai yang kotor dan kondisi status gizi balita yang kurang baik
memungkinkan daya tahan tubuh balita rendah sehingga rentan terhadap
kejadian sakit atau infeksi dan dapat dengan mudah terkena pneumonia
kembali, atau pneumonia berulang.

3. Kepadatan Hunian Rumah


Kepadatan penghuni rumah merupakan luas lantai dalam rumah
dibagi dengan jumlah anggota keluarga penghuni tersebut. Kepadatan
hunian dalam rumah menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan perumahan, luas
ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2
13

orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah usia 5 tahun.
Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit
dan melancarkan aktivitas.
Risiko balita terkena pneumonia akan meningkat jika tinggal di
rumah dengan tingkat hunian padat. Tingkat kepadatan hunian yang tidak
memenuhi syarat disebabkan karena luas rumah yang tidak sebanding

4. Jenis Lantai Rumah


Balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai tidak memenuhi
syarat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 3,9 kali lebih besar
dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai
memenuhi syarat. Hal tersebut menunjukkan bahwa risiko balita terkena
pneumonia akan meningkat jika tinggal di rumah yang lantainya tidak
memenuhi syarat. Lantai rumah yang tidak memenuhi syarat tidak terbuat
dari semen atau lantai rumah belum berubin. Rumah yang belum berubin
juga lebih lembab dibandingkan rumah yang lantainya sudah berubin.
Risiko terjadinya pneumonia akan lebih tinggi jika balita sering bermain di
lantai yang tidak memenuhi syarat (Yuwono, 2008).

Jenis lantai tanah (tidak kedap air) memiliki peran terhadap proses
kejadian pneumonia, melalui kelembaban dalam ruangan karena lantai
tanah cenderung menimbulkan kelembaban. Hubungan antara jenis lantai
dengan kejadian pneumonia pada balita bersifat tidak langsung, artinya jenis
lantai yang kotor dan kondisi status gizi balita yang kurang baik
memungkinkan daya tahan tubuh balita rendah sehingga rentan terhadap
kejadian sakit atau infeksi dan dapat dengan mudah terkena pneumonia
kembali, atau pneumonia berulang.

5. Kepadatan Hunian Rumah


Kepadatan penghuni rumah merupakan luas lantai dalam rumah
dibagi dengan jumlah anggota keluarga penghuni tersebut. Kepadatan
hunian dalam rumah menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan perumahan, luas
ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2
orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah usia 5 tahun.
Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit
dan melancarkan aktivitas.
14

Risiko balita terkena pneumonia akan meningkat jika tinggal di rumah


dengan tingkat hunian padat. Tingkat kepadatan hunian yang tidak
memenuhi syarat disebabkan karena luas rumah yang tidak sebanding
dengan jumlah keluarga yang menempati rumah. Luas rumah yang sempit
dengan jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan rasio penghuni
dengan luas rumah tidak seimbang. Kepadatan hunian ini memungkinkan
bakteri maupun virus dapat menular melalui pernapasan dari penghuni
rumah yang satu ke penghuni rumah lainnya. Tempat tinggal yang sempit,
penghuni yang banyak, kurang ventilasi, dapat meningkatkan polusi udara
didalam rumah, sehingga dapat mempengaruhi daya tahan tubuh balita.
Balita dengan sistem imunitas yang lemah dapat dengan mudah terkena
pnuemonia kembali setelah sebelumnya telah terkena pneumonia atau
pneumonia berulang.
Balita yang tinggal di kepadatan hunian tinggi mempunyai peluang
mengalami pneumonia sebanyak 2,20 kali dibandingkan dengan balita yang
tidak tinggal di kepadatan hunian tinggi (Hartati, 2011). Sedangkan menurut
penelitian Yuwono (2008) yang dilakukan di Kabupaten Cilacap,
menunjukkan bahwa anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat
hunian padat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 2,7 kali lebih besar
dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat hunian tidak
padat.
6. Keberadaan Perokok di Dalam Rumah
Asap rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen, dan setidaknya
200 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan, racun utama pada
rokok adalah tar, nikotin dan karbonmonoksida. Tar adalah substansi
hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru, Nikotin
adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini
bersifat karsinogen, dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan.
Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah,
membuat darah tidak mampu mengikat oksigen (Sugihartono dan Nurjazuli,
2012). Asap rokok yang mencemari di dalam rumah secara terus-menerus
akan dapat melemahkan daya tahan tubuh terutama bayi dan balita sehingga
mudah untuk terserang penyakit infeksi, yaitu pneumonia (Sugihartono dan
Nurjazuli, 2012). Keberadaan Perokok di Dalam Rumah

Asap rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen, dan setidaknya


200 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan, racun utama pada
15

rokok adalah tar, nikotin dan karbonmonoksida. Tar adalah substansi


hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru, Nikotin
adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini
bersifat karsinogen, dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan.
Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah,
membuat darah tidak mampu mengikat oksigen (Sugihartono dan Nurjazuli,
2012).

Berdasarkan penelitian Yuwono (2008), penelitian tersebut


menunjukkan bahwa risiko balita terkena pneumonia akan meningkat jika
tinggal di rumah yang penghuninya memiliki kebiasaan merokok. Asap
rokok bukan menjadi penyebab langsung kejadian pneumonia pada balita,
tetapi menjadi faktor tidak langsung yang diantaranya dapat menimbulkan
penyakit paru-paru yang akan melemahkan daya tahan tubuh balita.

7. Perilaku Membakar Sampah


Membakar sampah merupakan salah satu penanganan dan atau
pengolahan akhir sampah. Proses pembakaran sampah sangat berperan
dalam menambah jumlah zat pencemar di udara terutama debu dan
hidrokarbon. Hal penting yang perlu diperhitungkan dalam emisi
pencemaran udara oleh sampah adalah emisi partikulat akibat pembakaran,
sedangkan emisi dari proses dekomposisi yang perlu diperhatikan adalah
emisi HC dalam bentuk gas metana. Pembakaran sampah di dalam udara
terbuka juga menimbulkan kabut asap yang tebal yang mengandung bahan
lainnya seperti partikel debu yang kecilkecil yang biasa disebut particulate
matter (PM) berukuran 10 mikron, biasa disebut PM10. Alat saring
pernafasan manusia tidak sanggup menyaring PM10 ini, sehingga bisa
masuk ke dalam paru-paru dan bisa mengakibatkan sakit gangguan
pernafasan (asma dan radang paru-paru), infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA).
16

Adanya dampak kesehatan dari pembakaran sampah terutama di


area tebuka yang berupa mencemari lingkungan, polusi udara, dan
mengganggu kesehatan masyarakat, sehingga pembakaran sampah sudah
tidak dianjurkan sebagaimana telah ditetapkan dalam UU RI nomor 18
tahun 2008 tentang pengelolaan sampah bahwa setiap orang dilarang untuk
membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan
sampah.
B. Faktor Individu anak
1. Jenis Kelamin
Anak dengan jenis kelamin laki-laki lebih berisiko terserang
pneumonia dibandingkan dengan anak dengan jenis kelamin perempuan
(Astuti dan Rahmat, 2010). Dalam penelitian Hartati dkk (2012), anak
dengan jenis kelamin laki laki lebih berisiko terkena pneumonia, hal ini
disebabkan karena diameter saluran pernafasan anak laki-laki lebih kecil
dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya
tahan tubuh anak laki-laki dan perempuan.
2. Status Gizi
Pemberian Nutrisi yang sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan anak dapat mencegah balita terhindar dari penyakit infeksi
sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi optimal (Hartati
dkk, 2012).
Status gizi pada anak berkontribusi lebih dari separuh dari semua
kematian anak di negara berkembang, dan kekurangan gizi pada anak usia
0-4 tahun memberikan kontribusi lebih dari 1 juta kematian pneumonia
setiap tahunnya. Status gizi menempatkan balita pada peningkatan risiko
pneumonia melalui dua cara. Pertama, kekurangan gizi melemahkan sistem
kekebalan tubuh balita secara keseluruhan, protein dan energi dengan
jumlah yang cukup dibutuhkan untuk sistem kekebalan tubuh balita. Kedua,
balita dengan status gizi kurang dapat melemahkan otot pernapasan, yang
dapat menghambat sistem pernafasan pada balita tersebut (UNICEF, 2006).
17

3. Pemberian ASI Eksklusif


Hal ini secara luas diakui bahwa anak-anak yang mendapatkan ASI
eksklusif mengalami infeksi lebih sedikit dan memiliki penyakit yang lebih
ringan daripada mereka yang tidak mendapat ASI eksklusif. ASI
mengandung nutrisi, antioksidan, hormon dan antibodi yang dibutuhkan
oleh anak untuk bertahan dan berkembang, dan membantu sistem kekebalan
tubuh agar berfungsi dengan baik. Kekebalan tubuh atau daya tahan tubuh
yang tidak berfungsi dengan baik akan menyebabkan abak mudah terkena
infeksi. Namun hanya sekitar sepertiga dari bayi di negara berkembang yang
diberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupannya. Bayi di
bawah enam bulan yang tidak diberi ASI ekslusif berisiko 5 kali lebih tinggi
mengalami pneumonia, bahkan sampai terjadi kematian. Selain itu, bayi 6 -

11 bulan yang tidak diberi ASI juga meningkatkan risiko kematian akibat
pneumonia dibandingkan dengan mereka yang diberi ASI (UNICEF, 2006)

2.7 Manifestasi Klinis


Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu
tubuh meningkat dapat melebihi 40˚C, batuk dengan dahak mukoid atau
purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin
disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada
stadium resolusi.
18

Tabel 2. 2 Tanda dan Gejala Pneumonia pada Balita

Gejala Klasifikasi Tindakan


Ada tanda bahaya Pneumonia berat Berikan dosis antiniotik yang
umum atau tarikan Atau sesuai, segera rujuk
dinding dada ke dalam Penyakit sangat berat
atau stridor
Napas Cepat Pneumonia Beri antibiotik yang sesuai
selama 5 hari.
Beri pelega tenggorokan dan
pereda batuk yang aman
Kunjunga ulang setelah 2 hari
Tidak ada tanda-tanda Batuk bukan Jika batuk > 30 hari, rujuk
pneumonia atau pneumonia untuk pemeriksaan lebih
penyakit sangat berat lanjut
Beri pelega tenggorokan dan
pereda batuk yang aman
Kunjungan ulang setelah 5
hari bila tidak ada perbaikan

Adapun manifestasi klinik sederhana untuk anak (WHO): Napas


cepat (tachypnea) dan Chest Indrawing (tarikan dinding dada ke dalam).

Tabel 2. 3 Frekuensi Napas Penderita Pneumonia Balita

Usia Frekuensi Napas


< 2 bulan 60 kali per menit
2 - 12 bulan 50 kali per menit
1 - 5 tahun 40 kali per menit

2.8 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
19

Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis


hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung
jenis. Lekosit > 30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia
streptokokus. Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia bakterial.
Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan
cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak-
anak kecil.
a. C-Reactive Protein (CRP)
C-Reactive Protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh
hepatosit.sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara
cepat distimulasi oleh sitokin, terutama interleukin (IL)-6, IL-1, dan tumor
necrosis factor (TNF). Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat
mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang rusak.
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antaara faktor terinfeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi
bakteari superfisisalis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada
infeksi virus dan infeksi bakteri superfisials daripada infeksi bakteari profunda.
CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik. Sutu
penelitian melaporkan bahwa CRP cukup sensitif tidak hanya untuk diagnosis
empiema torasis, tetapi juga untuk memantau respon pengobatan.
b. Uji serologis
Uji serologis untuk mendeteksi ntigen dn ntibodi pada infeksi bakteri
tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis
sreptokokus grup streptozim, atau antiDnase B. Peningkatan titer dapat juga
berarti adanya infeksi terdahulu. Untuk konformasi diperlukan serum fase akut
dan serum fase konvalesen (paired test).
c. Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan
bronkus,darah, pungdi leura atau aspirasi paru. Dianosis dikatakan definitif bila
kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi peru. Kecuai pada
neonatus, kejadian bakterimia sangat rendah sehingga kultur darah jarang
positif. Pada pneumonia anak diaporkan hanya 10-30% ditemukan bakteri pada
kultur darah. Pada naka besar dan remaja, sesimen untuk pemeriksaan
mikrobiologik dapat berasal dari sputum, baik untuk pewarnaan gram mauun
20

kultur. Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum yang mengandung kebih
dari 25 eukosit dan kurang dari 40 sel epitel/lapangan pada pemeriksaan
mikroskopis dengna pembesaran kecil. Spesimen nasofaring untuk kultur
maupun untuk deteksi antigen bakteri kurang bermanfaat karena tingginya
prevalens kolonisasi bakteri di nasofaring.
Kultur darah jarang positif pada infeksi mikoplasma dan klamidia, oleh
karena itu tidak rutin dianurkan. Pemeriksaan PCR memerlukan laboratorium
yang canggih, dismaping tidak selalu tersedia, hasil PCR positif pun tidak selalu
menunjukkan diagnosis pasti.
d. Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Foto PA dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi
anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien
bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau
beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus
pneumonia.

Gambar 3 : Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak


infiltrat pada paru kanan.

e. Analisa gas darah


Analisa gas darah (AGD) merupakan pemeriksaan laboratorium yang
sangat untuk mengukur kadar oksigen, karbon dioksida, dan tingkat asam basa
(pH) di dalam darah.Hal ini bertujuan untuk mengetahui status oksigenasi
pasien, status keseimbangan asam basa, fungsi paru dan status metabolisme
pasien.
Sampel untuk pemeriksaan analisa gas darah adalah darah arteri yang
diambil dari arteri brachialis atau arteri radialis atau arteri femoralis
21

(pergelangan tangan, lengan atau pangkal paha). Analisa gas darah umumnya
dilakukan untuk;
1. Memeriksa fungsi organ paru yang menjadi tempat sel darah merah
mengalirkan oksigen dan karbon dioksida dari dan ke seluruh tubuh.
2. Memeriksa kondisi organ jantung dan ginjal, serta gejala yang disebabkan
oleh gangguan distribusi oksigen, karbon dioksida atau keseimbangan pH
dalam darah,
3. Pada pasien penurunan kesadaran, gagal nafas, gangguan metabolik berat.
4. Tes ini juga dilakukan pada pasien yang sedang menggunakan alat bantu
napas untuk memonitor efektivitasnya.

Sampel darah dianalisa oleh alat analisa gas darah yang ada di
laboratorium. Sampel darah harus dianalisis dalam waktu 10 menit dari waktu
pengambilan untuk memastikan hasil tes yang akurat. Analisa gas darah meliputi
pemeriksaan PO2, PCO3, PH, HCO3, dan saturasi O2.
Nilai Normal Analisa Gas Darah;
Hasil analisa gas darah dapat membantu dokter mendiagnosa berbagai penyakit
atau menentukan seberapa baik perawatan yang telah diterapkan.
Hasil akan didapat meliputi:
 PH darah arteri, menunjukkan jumlah ion hidrogen dalam darah.
pH < 7,0 disebut asam,
pH > 7,0 disebut basa (alkali).
Jika pH darah menunjukkan bahwa darah lebih asam, maka hal ini terjadi
akibat kadar karbon dioksida yang lebih tinggi. Jika Sebaliknya ketika pH darah
tinggi yang menunjukkan bahwa darah lebih basa, maka hal ini terjadi akibat
kadar bikarbonat yang lebih tinggi.
 Bikarbonat adalah bahan kimia yang membantu mencegah pH darah
menjadi terlalu asam atau terlalu basa.
 Tekanan parsial oksigen adalah ukuran tekanan oksigen terlarut dalam
darah. Hal ini menentukan seberapa baik oksigen bisa mengalir dari paru-
paru ke dalam darah.
 Tekanan parsial karbon dioksida adalah ukuran tekanan karbon dioksida
terlarut dalam darah. Hal ini menentukan seberapa baik karbon dioksida
dapat mengalir keluar dari tubuh.
 Saturasi oksigen adalah ukuran dari jumlah oksigen yang dibawa oleh
hemoglobin dalam sel darah merah.
22

Berdasarkan unsur pengukuran ada dua jenis hasil analisa gas darah, yaitu
normal dan abnormal
 Hasil normal. Hasil analisa gas darah dikatakan normal jika:
- pH darah arteri: 7,38-7,42.
- Tingkat penyerapan oksigen (SaO2) : 94-100%.
- Tekanan parsial oksigen (PaO2) : 75-100 mmHg.
- Tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) : 38-42 mmHg.
- Bikarbonat (HCO3) : 22-28 mEq/L.
 Hasil abnormal dapat menjadi indikator dari kondisi medis tertentu.
Berikut ini beberapa kondisi medis yang mungkin terdeteksi melalui
analisa gas darah.

pH darah Bikarbonat PaCO2 Kondisi Penyebab Umum


 <7,4 Rendah Rendah Asidosis metabolik Gagal
ginjal, syok, ketoasidosis diabetik.
 >7,4 Tinggi Tinggi Alkalosis metabolik Muntah yang bersifat
kronis, hipokalemia.
 <7,4 Tinggi Tinggi Asidosis respiratorik Penyakit paru,termasuk
pneumonia atau penyakit paru obstruktif kronis (COPD).
 >7,4 Rendah Rendah Alkalosis respiratorik Saat nyeri
atau cemas.

Indikasi Pemeriksaan Analisa Gas Darah


Pemeriksaan AGD akan memberikan hasil pengukuran yang tepat dari
kadar oksigen dan karbon dioksida dalam tubuh. Hal ini dapat membantu dokter
menentukan seberapa baik paru-paru dan ginjal bekerja. Biasanya dokter
memerlukan tes analisa gas darah apabila menemukan gejala-gejala yang
menunjukkan bahwa seorang pasien mengalamai ketidakseimbangan oksigen,
karbon dioksida, atau pH darah. Gejala yang dimaksud meliputi: Sesak napas,
Sulit bernafas, Kebingungan, Mual.

2.9 Kriteria Diagnosis


Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah
ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini :
a. Sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding
dada
23

b. Demam
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang
predominan)

Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumuniti dapat


dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian
Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT).
Gambar 1. Sistem Skor Pneumonia Komunitas (PORT)

Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu


atau lebih' kriteria di bawah ini.
1. Kriteria minor:
 Frekuensi napas > 30/menit
 PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
 Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
 Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
 Tekanan sistolik < 90 mmHg
 Tekanan diastolik < 60 mmHg
2. Kriteria mayor:

 Membutuhkan ventilasi mekanik


24

 Infiltrat bertambah > 50%


 Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
 Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada
penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang
membutuhkan dialysis
25

Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat


inap pneumonia komuniti adalah :

a. Skor PORT lebih dari 70


b. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini :
• Frekuensi napas > 30/menit
• PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg

2.10 Penatalaksanaan
Tatalaksana pasien pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi etiologik.
Terapi suportif yang diberikan pada penderita pneumonia adalah :
1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau nasofaring. Jika penyakitnya
berat dan sarana tersedia, alat bantu napas mungkin diperlukan terutama dalam 24-48 jam
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang diberikan mengandung gula dan
elektrolit yang cukup.
3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.
4. Mengatasi penyakit penyerta.
5. Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata laksana rutin yang harus
diberikan.
Tatalaksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena berbagai
kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan antibiotik secara
empiris. Walaupun sebenarnya pneumonia viral tidak memerlukan antibiotik, tapi pasien tetap
diberi antibiotik karena kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri.

Usia Rawat jalan Rawat Inap Bakteri Patogen


0-2 minggu 1. Ampisillin + - E. Coli
Gentamisin - Streptococcus B
2. Ampisillin + - Nosokomial
Cefotaksim enterobacteria
>2-4 1. Ampisillin + - E. Coli
minggu Cefotaksim atau - Nosokomial
Ceftriaxon Enterobacteria
2. Eritromisin - Streptococcus B
26
- Klebsiella
- Enterobacter
- C. trachomatis
>1-2 bulan 1. Ampisillin + - E. Coli and other
Gentamisin Enterobacteria
2. Cefotaksim atau - H. influenza
Ceftriaxon - S. pneumonia
- C. trachomatis
>2-5 bulan 1. Ampisillin 1. Ampisillin - H. influenza
2. Sefuroksim 2. Ampisillin + - S. pneumonia
Sefiksim Kloramfenikol
Sefuroksim
Ceftriaxon
>5 tahun 1. Penisillin A 1. Penisillin G - S. pneumonia
2. Amoksisilin 2. Sefuroksim - Mycoplasma
Eritromisin Seftriakson
Vankomisin

Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun, dilanjutkan
dengan pemberian per oral selama 7-10 hari. Bila diduga penyebab pneumonia adalah
S. Aureus, kloksasilin dapat segera diberikan. Bila alergi terhadap penisilin dapat
diberikan cefazolin, klindamisin, atau vancomycin. Lama pengobatan untuk
stafilokokkus adalah 3-4 minggu
27

DAFTAR PUSTAKA

1. Monita, O., Yani, F. and Lestari, Y. (2019). Profil Pasien


Pneumonia Komunitas di Bagian Anak RSUP DR. M. Djamil
Padang Sumatera Barat.
2. Adhia, L. (2016). Hubungan Faktor Risiko dan Karakteristik Gejala
Klinis dengan Kejadian Pneumonia pada Balita. Global Medical and
Health Communication,, Vol. 4(1).
3. Hadisuwarno, W., Setyoningrum, R. and Umiastuti, P. (2015). Host
factors related to pneumonia in children under 5 years of age.
Paediatrica Indonesiana, 55(5), p.248.
4. le Roux, D., Myer, L., Nicol, M. and Zar, H. (2015). Incidence and
severity of childhood pneumonia in the first year of life in a South
African birth cohort: the Drakenstein Child Health Study. The Lancet
Global Health, 3(2), pp.e95-e103.
5. Hasan R, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta. 2002.
6. Price SA, Wilson LM, 1995, Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease
Processes (Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Prose Penyakit), Edisi 4,
Penerbit EGC, Jakarta, hal: 709-712.
7. Behrman RE, Vaughan VC, 1992, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Bagian II,
Edisi 12, Penerbit EGC, Jakarta, hal: 617-628.
8.
28
29

Anda mungkin juga menyukai