Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ABSES SUBMANDIBULA

DISUSUN OLEH :
Aditia Nurmalita Sari G99172023
Ligya Marline Tobing G991903031
Linda Kartikaningrum G991903032
Karla Monica Praenta G991905031
Khalida Ikhlasiya T. G991905032
Ramadhaningtyas Maghfirotul G991908016

PEMBIMBING :
drg. Eva Sutyowati Permatasari, Sp.BM, MARS

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS

RSUD DR. MOEWARDI

2019
BAB I
PENDAHULUAN

Abses submandibula merupakan salah satu bentuk abses leher dalam (deep
neck infection) yang sering ditemui di masyarakat. Abses submandibular adalah
abses yang paling sering ditemui pada infeksi leher dalam (Motahari, 2015).
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan
membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan merupakan manifestasi
klinis yang disebabkan oleh abses leher dalam. Tanda infeksi di ruang
submandibula semakin nyata bila ditandai dengan munculnya pembengkakan di
bawah rahang, baik unilateral atau bilateral. (Soepardi et al, 2012).
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher
dalam yang dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses submandibulla,
dan ludovici (Ludwig’s Angina). Hal tersebut terjadi sebagai akibat penjalaran
infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga
tengah, dan leher. Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus,
Staphylococcus, kuman anaerob Bacteriodes atau kuman campuran. (Soepardi E et
al, 2012).
Menurut (Santosa, 2017) infeksi ini merupakan masalah kesehatan dengan
morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan. Mengingat struktur regio leher
yang kompleks, dokter maupun ahli bedah memiliki permasalahan dalam
menentukan diagnosis dan tatalaksananya. Meskipun penggunaan antibiotik telah
menurunkan angka kematian akibat abses leher dalam, namun abses leher dalam
masih merupakan masalah yang serius dan menimbulkan komplikasi yang dapat
mengancam nyawa, terlebih kemungkinan abses dapat mengganggu aliran jalan
napas di leher. Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi dan
mendapatkan prognosis yang baik adalah dengan melakukan deteksi awal dan
penatalaksanaan segera.
Oleh karena itu, pada makalah ini akan dilakukan pembahasan lebih lanjut
mengenai hal-hal tersebut sehingga diagnosis abses submandibula dapat ditegakkan
secara tepat.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Abses submandibula adalah pembengkakan berupa kantong yang berisi pus
yang cepat membengkak pada dasar mulut dan ruang submandibular.
Pembengkakan ini merupakan penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah, dan leher. Abses terjadi sebagai
akumulasi dari pus dalam suatu rongga patalogis yang dapat terjadi dibagian tubuh
manapun sebagai reaksi pertahanan tubuh terhadap benda asing. Pada umumnya
sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses infeksi gigi, dasar
mulut, faring, kelenjar limfe submandibula (Soepardi E et al, 2012).
B. ANATOMI
Ruang submandibular terletak diantara m. mylohyoid dan fasia superfisialis.
Sebelah atas dibatasi oleh membrana mukosa dasar mulut dan lidah, sebelah bawah
dibatasi oleh fasia yang membentang dari os hyoid ke mandibula. Ruang
submandibular terbagi dua oleh m.mylohyoid dimana ruang sebelah atasnya berisi
glandula sublingual dan ruang dibawahnya berisi glandula submandibular (Widuri,
2014).

Gambar 1. Letak dari abses submandibular secara anatomi

2
C. EPIDEMIOLOGI
Meskipun insiden dari abses leher dalam menurun seiring tersedianya
antibiotic, namun infeksi ini masih terus terjadi dan memiliki frekuensi dengan
tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Angka kematian akibat abses
submandibular sebelum dikenalinya antibiotic mencapai 50% dari seluruh kasus
yang dilaporkan, sejalan dengan perkembangan antibiotic, perawatan bedah lebih
baik dan tindakan yang cepat dan tepat dapat menurunkan angka kematian menjadi
5% saja (Santosa, 2017).
Mayoritas penderita abses submandibular terjadi pada laki – laki (55,5%)
dan pada usia muda (rata – rata usia 28 tahun). Etiologi paling sering disebabkan
oleh tonsillitis bacterial (31,68%) dan infeksi odontogenik (23,7%) (Brito et al,
2016).
D. ETIOLOGI
Sumber infeksi yang biasanya menyebar ke ruang submandibular sebagian
besar dari gigi dan sumber yang lain dari infeksi kelenjar ludah, faring, tonsil, dan
sinus (dalam persentase yang lebih rendah). Infeksi dapat timbul dari gigi ke
berbagai ruang dimana yang paling sering adalah ruang submental, sublingual, dan
submandibular. Ketiga ruang tersebut terinfeksi melalui penyebaran langsung dari
gigi dan tulang atau melalui kelenjar limfe.
Etiologi abses submandibular terutama disebabkan oleh gingiva atau abses
gigi. Di era modern, tren mode seperti penindikan lidah dan penindikan bibir dapat
menyebabkan infeksi dan perkembangan abses submandibular.
Faktor yang dapat menentukan apakah infeksi terjadi pada ruang sublingual
atau submandibular adalah lokasi perforasi infeksi dengan perlekatan m.
mylohyoid, jika lokasi akar gigi lebih tinggi dari perlekatan m. mylohyoid
(premolar, molar 1) maka infeksi melibatkan ruang sublingual sedangkan jika
lokasi akar gigi lebih rendah dari perlekatan m. mylohyoid (molar 3) maka infeksi
melibatkan ruang submandibular, dan infeksi dapat melibatkan kedua ruang jika
berasal dari molar 2.

3
Gambar 2. Hubungan perlekatan M. mylohyoid dengan posisi akar gigi
Penyebab dari abses mandibular bisa dikarenakan adanya periodontitis
periapical gigi molar atau periodontitis periapical gigi premolar. Selain infeksi yang
bersumber dari gigi, infeksi dapat bersumber dari dasar mulut, faring, kelenjar liur,
atau kelenjar limfa, keganasan oral, dan fraktur mandibula.
. Infeksi bakteri yang menyebar ke rongga mulut atau ke dalam gigi inilah
yang dapat menyebabkan terbentuknya abses dalam ruang submandibular, atau bisa
juga abses tersebut merupakan kelanjutan dari abses ruang leher dalam yang lain
seperti abses peritonsillar dan abses parafaring.
Kuman penyebab dari abses submandibular sering dijumpai berbagai
campuran kuman baik kuman aerob maupun anaerob, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan kultur.
Kuman aerob yang sering ditemukan adalah Stafilokokus, Streptococcus sp,
Haemofilus influenza, Streptococcus Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell
sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam
adalah kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun
Fusobacterium (Widuri, 2014).

E. PATOFISIOLOGI
Beratnya infeksi tergantung dan virulensi kuman, daya tahan tubuh dan
lokasi anatomi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran
infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Infeksi dari
submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring. Perluasan

4
infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya
infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.
Menurut Price, (2006) jika bakteri menyusup kedalam jaringan yang sehat,
maka akan terjadi infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang
berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak kedalam rongga tersebut, dan
setelah menelan bakteri. Sel darah putih akan mati, sel darah putih yang mati inilah
yang membentuk nanah yang mengisi rongga tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan disekitarnya akan terdorong
jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas.
Abses hal ini merupakan mekanisme tubuh mencegah penyebaran infeksi lebih
lanjut jika suatu abses pecah di dalam tubuh maka infeksi bisa menyebar kedalam
tubuh maupun dibawah permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses.

Gambar 3. Penyebaran infeksi melalui gigi

F. GEJALA KLINIS
Gejala utama abses adalah rasa nyeri pada gigi yang terinfeksi. Keadaan
umum dan keluhan yang dapat ditemukan pada pasien antara lain lemah, lesu,
malaise, disfagia, odinofagia, demam, menggigil, suka tidur, dan tidak mampu
membersihkan mulut, hingga sulit bernapas.
Pemeriksaan ekstra oral yang dapat ditemukan :
a. Asimetri wajah
b. Tanda radang jelas seperti memerah dan bengkak dipermukaan mandibula
bagian dalam
c. Dasar mulut memerah, bengkak, dan mengeras di bagian punggung
d. Nyeri tekan unilateral atau bilateral

5
e. Fluktuasi (+)
f. Tepi rahang tidak teraba
g. Kelenjar getah bening leher membesar
h. Trismus

Gambar 4. Gejala klinis pasien abses mandibula


Pemeriksaan intra oral antara lain :
a. Periodontitis akut
b. Muccobuccal fold
c. Nafas berbau busuk
d. Fluktuasi (-)

G. DIAGNOSIS
Dasar penegakan diagnosis dari abses mandibula dapat dimulai dari
anamnesis yang didapatkan, pemeriksaan fisik yang ditemukan, lalu ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang berupa foto polos, pemeriksaan laboratorium dan
darah.
Kasus abses submandibular sering dijumpai kuman aerob dan anaerob
secara bersamaan sehungga perlu dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas
kuman supaya mencapai keberhasilan dalam terapi. Aspirasi pus untuk kultur dan
uji sensitivitas harus dilakukan sebelum pemberian antibiotika secara empiris.
Sedapat mungkin dilakukan kultur aerob dan anaerob. Pus dari aspirasi akan
memberikan hasil kultur yang paling akurat. Hasil kultur yang negatif dapat

6
memberi kesan bahwa penyebab abses leher dalam adalah infeksi oleh bakteri
anaerob.
Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi dan adanya abses pada
gigi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses leher dalam yang diduga
sumber infeksinya berasal dari gigi. Pemeriksaan foto polos jaringan lunak leher
posisi anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk mendiagnosa adanya
proses infeksi di ruang leher dalam dengan adanya udara di daerah subkutan,
adanya pembengkakan, gambaran cairan di daerah jaringan lunak serta adanya
penyempitan di saluran nafas akibat pendorongan trachea. Pemeriksaan foto polos
dada dilakukan untuk mengetahui adanya komplikasi dengan didapatkannya
gambaran pneumotoraks serta pneumomediastinum yang merupakan indikator
pembentukan abses yang berasal dari leher dalam. Jika hasil pemeriksaan foto polos
jaringan lunak menunjukkan kecurigaan abses leher dalam, maka idealnya
dilakukan pemeriksaan Computed tomography atau CT scan (Raharjo, 2013).
CT Scan dengan kontras IV paling sering digunakan untuk membedakan
antara limfadenitis dan abses pada infeksi leher dalam. Sering terjadi
ketidakmampuan menemukan pus pada saat melakukan tindakan maka dapat
dipastikan abses dengan mengguanakan CT scan yang menunjukkan bahwa kontur
dinding abses yang bergelombang merupakan indikator yang lebih baik adanya pus
(Santosa, 2017). Sedangkan Ultrasonografi atau USG adalah pemeriksaan
penunjang diagnostik yang tidak invasif dan relatif lebih murah dibandingkan CT
scan serta dapat menilai lokasi dan perluasan abses (Raharjo, 2013).
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan lekositosis yang
menandakan telah terjadinya infeksi. Pemeriksaan lekosit merupakan cara yang
baik untuk menilai respons terapi yang diberikan kepada pasien. Analisis gas darah
dapat menilai adanya sumbatan jalan nafas. Pemeriksaan glukosa darah diperlukan
untuk mencari faktor predisposisi. Pemeriksaan elektrolit darah diperlukan untuk
menilai keseimbangan elektrolit yang mungkin terjadi akibat gangguan asupan
cairan dan nutrisi (Murray, 2009).

7
H. KOMPLIKASI
Komplikasi abses leher jarang terjadi tetapi dapat membawa angka
kesakitan yang tinggi dan kematian. Hal ini biasanya terkait dengan keterlambatan
dalam diagnosis atau pengobatan. Penderita dengan abses atau ancaman terjadinya
komplikasi terutama terhadap jalan nafas, abses yang tampak pada ruang fasia
kepala leher dan mereka yang keadaannya tidak membaik setelah pemberian
antibiotika parenteral 48 jam. Keberhasilan terapi bedah tergantung pada visualisasi
yang bagus, kontrol pembuluh darah yang memadai, insisi luas, dan drainase
terbuka. Obstruksi jalan nafas dan kematian bisa terjadi. Penyebaran infeksi
sepanjang danger space cepat dapat menyebabkan mediastinitis. Meskipun
komplikasi ini jarang, tetap bisa terjadi jika terdapat keterlambatan dalam
penatalaksanaan abses leher (Santosa, 2017). Manajemen jalan napas menjadi
perhatian utama dalam menangani pasien dengan abses submandibular. Biasanya
pasien datang dengan peningkatan dan tonjolan lidah karena edema submandibular.
Stridor, kesulitan dalam mengelola sekresi, kecemasan, dan sianosis merupakan
tanda-tanda keterlambatan obstruksi jalan napas yang akan datang dan
membutuhkan segera jalan nafas buatan. Temuan seperti trismus, kekakuan nuchal,
dan edema supraglotis dapat memengaruhi pembukaan mulut, kaliber jalan napas
mobilitas leher, dan dapat menyulitkan manajemen dalam skenario darurat. Oleh
karena itu, peralatan jalan nafas yang sulit dan personil berpengalaman harus
tersedia. Intervensi bedah di bawah anestesi tanpa jalan nafas yang aman membawa
risiko pecahnya abses (Sharma et al, 2019).

I. TATALAKSANA
Tatalaksana pada pasien submandibular memiliki tujuan untuk mencegah
terjadinya komplikasi. Penatalaksanaan infeksi submandibular meliputi interbvensi
pembedahan untuk mendrainase pus yang terlokalisir dan dukungan medis untuk
pasien (Litha et al, 2019).
1. Insisi dan Drainase
Insisi dan drainase dapat dilakukan baik secara intraoral maupun esktraoral
tergantung dari lokasi infeksinya. Aspirasi pus sebelum insisi memungkinkan
metode pengambilan sampel lebih akurat karena dapat mengurangi
kontaminasi dan membantu melindungi dari bakteri anaerob.

8
Pembengkakan yang berfluktuasi menunjukkan adanya pus dan didefinisikan
sebagai transmisi fluida. Insisi dilakukan dengan panjang ± 2 cm dari daerah
yang paling fluktuatif. Penderita harus dievaluasi setiap dari dan dilakukan
dilatasi pada luka insisi untuk mengeluarkan pus yang masih diproduksi.
Setelah dilakukan drainase keluhan pasien mulai berkurang begitu juga dengan
trismusnya.
Abses submandibular pada beberapa kasus berhasil diatasi menggunakan
drainase intraoral, hal ini menjadi pilihan yang lebih baik daripada teknik
eksternal dari sisi kosmetik. Perawatan post operasi pada pasien dengan
drainase intraoral juga lebih mudah karena tidak perlu dilakukan irigasi dan
membersihkan perban pada lukanya yang tiap hari. Selain itu, cara ini dapat
menurunkan resiko terjadinya trauma pada nervus di sekitarnya (Ardehali et al,
2012). Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari hingga gejala dan tanda infeksinya
reda (Soepardi, 2012).
2. Antibiotik
Antibiotik dapat diberikan secara empiric atau spesifik berdasarkan tes kultur
dan sensitivitas. Antibiotic empiris dapat diberikan sembari menunggu hasil
kulturnya keluar. Antibiotik empiris yang dapat digunakan berupa amoksisilin
(golongan penisilin yang memiliki sprektum luas) dimana penisilin menjadi
lini pertama infeksi odontogenik.
3. Analgesik
Analgesik diberikan untuk menghilangkan rasa sakit sementara sampai faktor
penyebab infeksi dapat dikendalikan. Paracetamol, ibuprofen, dan aspirin
cukup untuk sebagian besar nyeri ringan akibat dari infeksi gigi.
4. Obati penyebabnya
Sumber dari terjadinya harus segera ditangani agar abses tidak muncul
kembali.

J. PROGNOSIS
Prognosis dapat menjadi sangat baik apabila dapat didiagnosis secara dini dan
dikelola secara medis, sehingga pembedahan dapat dimulai dan dirancang lebih
awal dan segera. Angka kematian yang ditunjukan dari abses submandibular ini

9
hanya sekitar 0,1% (Motahari, 2015). Apabila telah terjadi mediastinitis, angka
mortalitas mencapai 40-50% walaupun dengan pemberian antibiotik.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Ardehali M, Jafari M, Hagh A. 2012. Submandibular Space Abscess : A


Clinical Trial for Testing a New Technique. Volume: 146 issue: 5, page(s):
716-718
2. Motahari S, Poormoosa R, Nikkhah M. 2015. Treatment and Prognosis of
Deep Neck Infections. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 67(Suppl 1):
134–137. Published online 2014 Nov 27. doi: 10.1007/s12070-014-0802-7
3. Murray A.D. MD, Marcincuk MC. MD. 2009. Deep neck infections.
4. Rahardjo P. Infeksi Leher Dalam. Makasar: Graha Ilmu.2013. p.2-16.
5. Sharma J, Patnaik A, Banerjee N. 2019. Management of Submandibular
Abscess with Limited Resources. Department of Anesthesia, PGIMER and
Dr RML Hospital, New Delhi, India.
6. Santosa A. 2017. Abses Submandibula dengan Komplikasi Mediastinitis.
Warmadewa Medical Journal. Vol.2, No.2. p-ISSN 2527-4627 DOI:
10.22225/wmj.1.2.394.71-82.
7. Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., dan Restuti, R.D., 2011. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI
8. Widuri Asti. 2004. Abses Submandibula. Vol 4. No 2. Yogyakarta : Mutiara
Medika.

11

Anda mungkin juga menyukai