Proposal Fix
Proposal Fix
JUDUL :
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING TERHADAP
HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA MATERI KELILING DAN LUAS SEGI
EMPAT SISWA KELAS VII SMP NEGERI 5 BANJARMASIN.
B. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Problem posing merupakan istilah dalam bahasa inggris yaitu dari kata
“problem” artinya masalah, soal atau persoalan dan kata “pose” yang artinya
mengajukan. Jadi problem posing bisa diartikan sebagai pengajuan atau pengajuan
masalah.
Ellerton mengartikan problem posing sebagai pembuatan soal oleh siswa
yang dapat mereka pikirkan tanpa pembatasan apapun baik terkait isi maupun
konteksnya. Selain itu, problem posing diartikan sebagai pembentukan soal
berdasarkan konteks, cerita, informasi, atau gambar yang diketahui.
Elwan mengklasifikasikan problem posing menjadi 3 tipe, yaitu free problem
posing (problem posing bebas), semi-structured problem posing (problem posing
semi terstruktur), dan structured problem posing (problem posing terstruktur).
Pemilihan tipe-tipe itu didasarkan pada materi matematika, kemampuan siswa,
hasil belajar siswa, atau tingkat berpikir siswa. Berikut diuraikan masing-masing
tipe tersebut.
(1) Free problem posing (problem posing bebas). Menurut tipe ini siswa diminta
untuk membuat soal secara bebas berdasarkan situasi kehidupan sehari-hari.
Tugas yang diberikan kepada siswa dapat berbentuk: ”buatlah soal yang
sederhana atau kompleks”, buatlah soal yang kamu sukai, buatlah soal untuk
kompetisi matematika atau tes, „buatlah soal untuk temanmu “, atau “buatlah
soal sebagai hiburan (for fun).
(2) Semi-structured problem posing (problem posing semi terstruktur). Dalam hal
ini siswa diberikan suatu situasi bebas atau terbuka dan diminta untuk
mengeksplorasinya dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan, atau
konsep yang telah mereka miliki. Bentuk soal yang dapat diberikan adalah soal
terbuka (open–ended problem) yang melibatkan aktivitas investigasi
matematika, membuat soal berdasarkan soal yang diberikan, membuat soal
dengan konteks yang sama dengan soal yang diberikan, membuat soal yang
terkait dengan teorema tertentu, atau membuat soal berdasarkan gambar yang
diberikan.
(3) Structured problem posing (problem posing terstruktur). Dalam hal ini siswa
diminta untuk membuat soal yang diketahui dengan mengubah data atau
informasi yang diketahui. Brown dan Walter merancang formula pembuatan
soal berdasarkan soal-soal yang telah diselesaikan dengan memvariasikan
kondisi atau tujuan dari soal yang diberikan.
Dalam pembelajaran matematika, pengajuan masalah menempati posisi
yang strategis. Pengajuan masalah dikatakan sebagai inti terpenting dalam disiplin
matematika dan dalam sifat pemikiran penalaran matematika. English menjelaskan
model pengajuan masalah dapat membantu siswa dalam mengembangkan
keyakinan dan kesukaan terhadap matematika, sebab ide-ide matematika siswa
dicobakan untuk memahami masalah yang sedang dikerjakan dan dapat
meningkatkan performannya dalam pemecahan masalah. Pengajuan masalah juga
sebagai sarana komunikasi siswa.
Kurikulum pendidikan matematika di Amerika (NCTM Curriculum and
Evaluation Standars for School Mathematics ) menganjurkan agar siswa-siswa
diberi kesempatan yang banyak untuk investigasi dan merumuskan pertanyaan-
pertanyaan soal-soal dari situasi masalah. Pengajuan soal juga merangsang
kemampuan matematika siswa. Sebab dalam mengajukan soal siswa perlu
membaca suatu informasi yang diberikan dan mengkomunikasikan pertanyaan
secara verbal maupun tertulis.
Pembelajaran dengan pengajuan soal menurut Menon dapat dilakukan
dengan tiga cara berikut:
(1) Berikan kepada siswa soal cerita tanpa pertanyaan, tetapi semua informasi
yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas siswa adalah
membuat pertanyaan berdasarkan informasi tadi.
(2) Guru menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa untuk membagi kelompok.
Tiap kelompok ditugaskan membuat soal cerita sekaligus penyelesaiannya.
Selanjutnya soal-soal tersebut dipecahkan oleh kelompok-kelompok lain.
Sebelumnya soal diberikan kepada guru untuk diedit tentang kebaikan dan
kesiapannya. Soal-soal tersebut nanti digunakan sebagai latihan. Nama
pembuat soal tersebut ditunjukkan tetapi solusinya tidak. Soal-soal tersebut
didiskusikan dalam masing-masing kelompok dan kelas. Hal ini akan memberi
nilai komunikasi dan pengalaman belajar. Diskusi tersebut seputar apakah soal
tersebut ambigu atau tidak. Soal yang dibuat siswa tergantung ketertarikan
siswa masing-masing.
(3) Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang
berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan kemudian diseleksi dari
daftar tersebut untuk diselesaikan. Pertanyaan dapat bergantung dengan
pertanyaan lain. Bahkan dapat sama, tetapi kata-katanya berbeda. Dengan
mendaftar pertanyaan yang berhubungan dengan masalah tersebut akan
membantu siswa “memahami masalah”, sebagai salah satu aspek pemecahan
masalah oleh Polya.
Dalam model pembelajaran pengajuan soal (problem posing) siswa dilatih
untuk memperkuat dan memperkaya konsep-konsep dasar matematika. Dengan
demikian, kekuatan-kekuatan model pembelajaran problem posing sebagai berikut:
(1) Memberi penguatan terhadap konsep yang diterima atau memperkaya konsep-
konsep dasar
(2) Diharapkan mampu melatih siswa meningkatkan kemampuan dalam belajar
(3) Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya
adalah pemecahan masalah
Bagi siswa, pembelajaran problem posing merupakan keterampilan mental.
Pembelajaran dengan problem posing ini menekankan pada pembentukan atau
perumusan soal oleh siswa baik secara individu maupun secara berkelompok.
Dalam hal ini siswa menghadapi suatu kondisi dimana diberikan suatu
permasalahan dan siswa memecahkan masalah tersebut.
Dalam melaksanakan pembelajaran dengan strategi problem posing,
Lowrie ( dalam Mahmud Ali,2008) menyarankan guru matematika untuk meminta
siswa membuat soal untuk teman dekatnya sehingga mereka lebih menguasai
dalam pembuatan soal. Guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa
berkemampuan rendah untuk bekerja secara kooperatif dengan temannya sehingga
dapat mencapai tingkat kemampuan yang lebih tinggi. Guru juga perlu mendorong
siswa untuk membuat soal kontekstual atau sesuai dengan situasi sehari hari.
Selain itu, siswa juga perlu didorong untuk menmggunakan piranti teknologi
seperti kalkulator dalam membuat soal sebagai upaya pengembangan kemampuan
berpikir matematik.
Adapun langkah-langkah problem posing secara berkelompok adalah
sebagai berikut (dalam Suryosubroto.2009):
(1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar.
(2) Guru menyajikan informasi baik secara ceramah atau tanya jawab selanjutnya
memberi contoh cara pembuatan soal dari informasi yang diberikan. heterogen
baik kemampuan, ras dan jenis kelamin.
(3) Guru memberikan tugas yang berbeda pada setiap kelompok untuk membuat
pertanyaan. Pertanyaan yang dibuat ditulis pada lembar problem posing 1
(4) Semua tugas membuat pertanyaan dikumpulkan kemudian guru melimpahkan
pada kelompok lainnya untuk dikerjakan. Setiap siswa dalam kelompok
berdiskusi untuk menjawab pertanyaan yang mereka terima dari kelompok
lain. Setiap jawaban atas pertanyaan ditulis pada lembar problem posing 2.
(5) Selama kerja kelompok berlangsung guru membimbing kelompok-kelompok
yang kesulitan membuat soal dan menyelesaikannya.
(6) Pertanyaan yang telah ditulis pada lembar problem posing 1 dikembalikan
pada kelompok asal untuk kemudian diserahkan pada guru dan jawaban yang
ditulis pada lembar problem posing 2 diserahkan pada guru.
(7) Guru mengevalusi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari dengan
cara masing-masing kelompok mempresentasikan hasil pekerjaannya.
Langkah-langkah itu dapat dimodifikasi seperti siswa dibuat berpasangan.
Dalam satu pasang siswa membuat soal dengan penyelesaiannya. Soal tanpa
penyelesaian saling dipertukarkan antar pasangan lain atau dalam satu pasang.
Siswa diminta mengerjakan soal temannya dan saling koreksi berdasarkan
penyelesaian yang dibuatnya.
Belajar kelompok memiliki beberapa keuntungan, antara lain sebagai berikut :
(1) Dapat memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menggunakan
keterampilan bertanya dan membahas suatu masalah
(2) Dapat mengembangkan bakat kepemimpinan dan mengajarkan keterampilan
berdiskusi Dapat memungkinkan guru untuk lebih memperhatikan siswa
sebagai individu serta kebutuhan belajar
(3) Para siswa lebih aktif tergabung dalam pelajaran mereka dan mereka lebih
aktif berpartisipasi dalam diskusi
(4) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan rasa menghargai
dan menghormati pribadi temannya, menghargai pendapat orang lain, yang
mana mereka saling membantu kelompok dalam usaha mencapai tujuan
bersama.
Dalam setiap pembelajaran pasti ada sisi kelebihan atau keunggulan dan
kekurangan atau kelemahan. Menurut Rahayuningsih kelebihan dan kekurangan
problem posing diantaranya adalah :
Kelebihan problem posing adalah sebagai berikut :
(1) Kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada guru, tetapi dituntut keaktifan siswa
(2) Minat siswa dalam pembelajaran matematika lebih besar dan siswa lebih
mudah memahami soal karena dibuat sendiri
(3) Semua siswa terpacu untuk terlibat secara aktif dalam membuat soal
(4) Dengan membuat soal dapat menimbulkan dampak terhadap kemampuan
siswa dalam menyelesaikan masalah
(5) Dapat membantu siswa untuk melihat permasalahan yang adadan yang baru
diterima sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman yang mendalam dan
lebih baik, merangsang siswa untuk memunculkan ide-ide yang kreatif dari
yang diperolehnya dan memperluas pengetahuan , siswa dapat memahami soal
sebagai latihan untuk memecahkan masalah .
Sedangkan kekurangan problem posing adalah sebagai berikut :
(1) Persiapan guru lebih karena menyiapkan informasi apa yang dapat
disampaikan.
(2) Waktu yang digunakan lebih banyak untuk membuat soal dan
penyelesaiaannya sehingga materi yang disampaikan lebih sedikit.
Berdasarkan teori-teori tentang problem posing di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa problem posing merupakan suatu model pembelajaran yang
mana siswa diajari mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan menggunakan
bahasa, kemampuan dan pemahaman masing-masing siswa sesuai informasi yang
diberikan oleh guru. Dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran
problem posing ini siswa dituntut untuk membuat/mengajukan pertanyaan
sekreatif mungkin sehingga siswa mampu memahami materi pelajaran yang
diajarkan oleh guru dengan baik dan bisa memperoleh hasil belajar yang lebih
baik.
5. Model Pembelajaran Langsung
Pembelajaran langsung dapat didefinisikan sebagai model pembelajaran di
mana guru mentransformasikan informasi atau keterampilan secara langsung
kepada peserta didik, pembelajaran berorientasi pada tujuan dan distrukturkan
oleh guru. Menurut Killen pembelajaran langsung atau Direct Instruction merujuk
pada berbagai teknik pembelajaran ekspositori (pemindahan pengetahuan dari
guru kepada murid secara langsung, misalnya melalui ceramah, demonstrasi, dan
tanya jawab) yang melibatkan seluruh kelas. Pendekatan dalam model
pembelajaran ini berpusat pada guru, dalam hal ini guru menyampaikan isi materi
pelajaran dalam format yang sangat terstruktur, mengarahkan kegiatan para
peserta didik, dan mempertahankan fokus pencapaian akademik.
Menurut Bruce dan Weil, tahapan model pembelajaran langsung adalah
sebagai berikut :
(1) Orientasi
Sebelum menyajikan dan menjelaskan materi baru, akan sangat
menolong peserta didik jika guru memberikan kerangka pelajaran dan orientasi
terhadap materi yang akan disampaikan. Bentuk-bentuk orientasi dapat berupa :
a. Kegiatan pendahuluan untuk mengetahui pengetahuan yang relevan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik.
b. Mendiskusikan atau menginformasikan tujuan pelajaran
c. Memberikan penjelasan atau arahan mengenai kegiatan yang akan dilakukan
selama pembelajaran
d. Menginformasikan kerangka pelajaran.
(2) Presentasi
Pada fase ini guru dapat menyajikan materi pelajaran baik berupa
konsep-konsep maupun keterampilan. Penyajian materi dapat berupa :
a. Penyajian materi dalam langkah-langkah kecil sehingga materi dapat
dikuasai peserta didik dalam waktu relatif pendek
b. Pemberian contoh-contoh konsep
c. Pemodelan atau peragaan keterampilan dengan cara demonstrasi atau
penjelasan langkah-langkah kerja terhadap tugas
d. Menjelaskan ulang hal-hal yang sulit
(3) Latihan Terstruktur
Pada fase ini guru memandu peserta didik untuk melakukan latihan-
latihan. Peran guru yang penting dalam fase ini adalah memberikan umpan
balik terhadap respon peserta didik dan memberikan penguatan terhadap
respon peserta didik yang benar dan mengkoreksi tanggapan peserta didik yang
salah.
(4) Latihan Terbimbing
Pada fase ini guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
berlatih konsep atau keterampilan. Latihan terbimbing ini baik juga digunakan
oleh guru untuk menilai kemampuan peserta didik untuk melakukan tugasnya.
Pada fase ini peran guru adalah memonitor dan memberikan bimbingan jika
diperlukan.
(5) Latihan Mandiri
Pada fase ini peserta didik melakukan kegiatan latihan secara mandiri.
Fase ini dapat dilalui peserta didik jika telah menguasai tahap-tahap pengerjaan
tugas. (dalam Evi dkk, 2013).
6. Hasil Belajar
(1) Pengertian Hasil Belajar
Jihad dan Haris (2012) menjelaskan bahwa hasil belajar adalah
perubahan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan proses
pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajan yang telah ditetapkan.
hasil belajar menurut Bloom dalam Purwanto (2007: 45) yang menggolongkan
kedalam tiga ranah yang perlu diperhatikan dalam setipa proses belajar
mengajar. Tiga ranah tersebut adalah ranah kognitif, efektif, dan psikomotor.
Ranah kognitif mencakup hasil belajar yang berhubungan dengan ingatan,
pengetahuan, dan kemampuan intelektual. Ranah efektif mencakup hasil
belajar yang berhubungan dengan sikap, nilai-nilai, perasaan, dan minat.
Ranah psikomotor mencakup hasil belajar yang berhubungan dengan
keterampilan fisik atau gerak yang ditunjang oleh kemampian psikis.
Selanjutnya Sudjana menjelaskan bahwa hasil belajar merupakan kemampuan-
kemampuan yang dimiliki setelah menerima pembelajaran. Dari pendapat-
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, hasil belajar merupakan proses
perubahan kemampuan intelektual (kognitif), kemampuan minat atau
emosi(afektif) dan kemampuan motorik halus dan kasar (psikomotor) pada
peserta didik.
(2) Indikator hasil belajar.
Sebagian besar kalangan guru sulit menjelaskan apakah pembelajaran
yang telah dilakukan berhasil atau tidak. Untuk mengetahui keberhasilan suatu
pembelajaran seorang guru harus mengetahui kriteria hasil belajar, setelah itu
guru bisa menetapkan suatu alat untuk menaikkan keberhasilan dari
pembelajarannya tersebut. keberhasilan pembelajaran dapat dilihat dari segi
hasil. Berikut ini adalah beberapa persoalan yang dapat dipertimbangkan
dalam menentukan keberhasilan pembelajaran ditinjau dari segi hasil yang
dicapai siswa:
a. Apakah hasil belajar yang diperoleh siswa dari proses pembelajaran
nampak dalam bentuk perubahan tingkah laku secara menyeluruh?
b. Apakah hasil belajar yang dicapai siswa dari proses pembelajaran dapat
diaplikasikan dalam kehidupan siswa?
c. Apakah hasil belajar yang diperoleh siswa tahan lama diingat dan
mengendap dalam pikirannya, serta cukup mempengaruhi perilaku dirinya?
d. Apakah yakin bahwa perubahan yang ditunjukkan oleh siswa merupakan
akibat dari proses pembelajaran?
(3) Evaluasi Hasil Belajar
Hasil belajar perlu dievaluasi. Evaluasi dimaksudkan sebagai cermin
untuk melihat kembali apakah tujuan yang ditetapkan telah tercapai dan
apakah proses belajar mengajar telah berlangsung efektif untuk memperoleh
hasil belajar.
Evaluasi hasil belajar dapat dikatakan terlaksana dengan baik
apabila dalam pelaksanaannya senantiasa berpegang pada tiga prinsip
dasar berikut ini: 1) Prinsip keseluruhan, 2) prinsip kesinambungan, dan
3) prinsip obyektivitas Evaluasi hasil belajar mempunyai ciri-ciri khusus,
antara lain:
a. Evaluasi dilaksanakan dalam rangka mengukur keberhasilan peserta
didik, yang pengukurannya dilakukan secara tidak langsung.
b. Pengukuran dalam rangka menilai keberhasilan belajar peserta didik
pada umumnya menggunakan ukuran-ukuran yang bersifat kuantitatif.
c. Pada kegiatan evaluasi hasil belajar pada umumnya digunakan unit-unit
atau satuan-satuan yang tetap.
d. Prestasi belajar yang dicapai oleh peserta didik dari waktu ke waktu
adalah bersifat relatif.
e. Dalam kegiatan evaluasi hasil belajar, sulit untuk dihindari terjadinya
kekeliruan pengukuran.
Dalam menilai hasil belajar khususnya dalam bidang kognitif, alat
penilaian yang paling banyak digunakan adalah tes tertulis. Dilihat dari
bentuknya, soal-soal tes tertulis dikelompokkan atas soal-soal bentuk uraian
(essay) dan soal-soal bentuk objektif.
a. Soal-soal bentuk uraian (essay) adalah tes tulis yang meminta siswa siswi
memberikan jawaban berupa uraian. Bentuk-bentuknya berupa : esai
bebas dan esai terbatas.
b. Soal-soal objektif adalah tes tulis yang menuntut siswa siswi memilih
jawaban yang telah disediakan atau memberikan jawaban singkat terbatas.
c. Bentuk-bentuknya berupa: tes benar salah, tes pilihan ganda, tes
menjodohkan, tes melengkapi, dan tes jawaban singkat.
7. Kerangka Berpikir
Salah satu karakteristik matematika adalah memiliki kajian yang bersifat
abstrak. Karakteristik inilah yang menyebabkan banyak siswa merasa kesulitan
untuk mempelajarinya. Selama ini, model pembelajaran yang digunakan oleh
dalam kegiatan pembelajaran matematika di sekolah umumnya menggunakan
model pembelajaran yang berpusat pada guru. Oleh sebab itu, perlu dilakukan
suatu inovasi dalam pembelajaran agar hasil belajar matematika siswa dapat
meningkat. Salah satu inovasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru ialah
memilih suatu model pembelajaran.
Salah satu model pembelajaran yang dapat dipilih ialah model
pembelajaran problem posing. Hal itu disebabkan model pembelajaran problem
posing merupakan model pembelajaran yang peserta didik tidak hanya
menerima materi dari pendidik saja, melainkan peserta didik juga berusaha
menggali dan mengembangkan sendiri.
Hasil belajar ialah perubahan dalam pengetahuan, sikap dan kemampuan
secara keseluruhann setelah pembelajaran.
8. Hipotesis Penelitian
Pada penelitian ini, hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut:
“Terdapat pengaruh positif penerapan model pembelajaran Problem Posing
terhadap hasil belajar matematika materi pokok keliling dan luas bangun segi
empat pada peserta didik kelas VII SMP Negeri Banjarmasin.”
D. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimential
untuk menyelidiki ada tidaknya hubungan sebab akibat dengan cara memberikan
perlakuan-perlakuan tertentu pada bebetapa kelompok eksperimential dan
menyediakan kontrol untuk perbandingan siswa kelas VII SMP Negeri 5
Banjarmasin menggunakan model Problem Posing sebanyak 6 kali pertemuan.
1. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VII SMP Negeri
5 Banjarmasin tahun pelajaran 2018-2019 yang berjumlah 140. Teknik
pengambilan sampel yang diguanakan dalam penelitian ini adalah porposiv
sampling yaitu pengambilan sampel bertujuan untuk mengambil dua kelas
berdasarkan berbagai pertimbangan seperti pertimbangan awal dua kelas yang
tidak memiliki perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata ulangan harian
matematika siswa, guru yang sama, dan memungkkinkan diterapkanya model
pembelajaran problem posing. Peneliti mendapatkan kelas yang akan dijadikan
sampel penelitian atas pertimbangan dari guru mata pelajaran matematika,
dengan asumsi kelas yang terpilih memounyai kemampuan homogen. Adapun
distribusi jumlah siswa kelas VII SMP Negeri 5 Banjarmasin tahun pelajaran
2018-2019 dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
1. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mengetahui informasi berupa nilai hasil
ulangan harian matematika siswa kelas VII SMP Negeri 5 Banjarmasin
semester II tahun 2018-2019 yang digunakan sebagai salah satu pertimbangan
peneliti dalam mengambil dua kelas sebagai sampel dalam penelitian ini,
kemudian informasi berupa data identitas atau profil sekolah juga digunakan
sebagai tambahan informasi guna menunjang untuk keperluan dalam
penelitian.
2. Tes
Tes digunakan untuk mengumpulkan data yang sifatnya mengevaluasi
hasil proses atau untuk mendapatkan kondisi awal sebelum proses (pre-test
dan post-test) teknik ini dapat dipakai. Instrumennya dapat berupa soal-soal
ujian atau soal-soal tes. Soal-soal tes yang dipakai dalam penelitian ini
berbentuk soal essay, dengan materi keliling dan luas bangun segi empat.
Sedangkan untuk kompetensi dasarnya adalah menghitung keliling dan luas
bangun segi empat serta menggunakannya dalam pemecahan masalah.
Indikator dari soal adalah sebagai berikut: (1) Menemukan keliling bangun
segi empat dan menentukan ukurannya, (2) Menemukan luas suatu bangun
segi empat, (3) Menghitung keliling dan luas bangun segi empat.
4. Instrumen Penelitian
Instumen yang digunakan dalam metode tes ini adalah soal tes berbentuk
tes subjektif yang terdiri dari 5 soal.
Kompetensi dasarnya adalah menghitung keliling dan luas bangun segi
empat serta menggunakannya dalam pemecahan masalah. Sedangkan indikator
soal adalah sebagai berikut: (1) Menemukan keliling bangun segi empat dan
menentukan ukurannya, (2) Menemukan luas suatu bangun segi empat, (3)
Menghitung keliling dan luas bangun segi empat. Adapun soal-soal tesnya dapat
dilihat pada lampiran Sebelum tes dilaksanakan, perlu dilakukan uji validitas
dan uji reliabilitas terhadap instrumen tes yang telah dipersiapkan
Soal Tes
Uji validitas soal tes oleh 2 Dosen Pendidikan Matematika FKIP ULM dan
1 Guru Matematika kelas X SMAN 4 Banjarmasin.
6. Teknik Analisis Data
(1) Analisis data awal.
Untuk yang pertama, peneliti akan melakukan analisis data ulangan harian.
Hal ini perlu dilakukan untuk melihat kesamaan pada kedua kelas sampel,
sehingga perlu dilakukan uji homogenitas, yang rumusnya adalah sebagai
berikut:
varian tertingi
Fmax =
varianterenda h
Varian :
∑ X ¿2
¿
¿N
SD12 = ¿
X 2−¿
∑¿
¿
(2) Analisis Data Akhir
Setelah melakukan kegiatan eksperimen, peneliti mengumpulkan data
nilai tes. Nilai tes yang telah dikumpulkan selanjutnya akan di analisa untuk
memperoleh suatu kesimpulan. Adapun langkah-langah analisa datanya
adalah sebagai berikut:
a. Uji Normalitas.
Uji normalitas dilakukan terhadap nilai post test. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui apakah data yang dianalis berdistribusi normal atau
tidak.
Langkah-langkah dalam menghitung normalitas adalah sebagai berikut:
(a) Menentukan jumlah kelas interval. Untuk pengujian normalitas dengan
Chi Kuadrat ini, jumlah kelas interval ditetapkan 6 , hal ini sesuai
dengan 6 bidang yang ada pada kurva normal baku.
(b) Menentukan panjang kelas interval.
(c) Panjang kelas interval = (data terbesar-data terkecil)/6
(d) Menyusun ke dalam tabel distribusi frekuensi sekaligus tabel penolong.
(e) Menghitung fh.
(f) Menghitung nilai Chi Kuadrat.
(g) Membandingkan harga Chi Kuadrat hitung dengan Chi Kuadrat tabel.
Jika Chi Kuadrat hitung < Chi Kuadrat tabel maka data dinyatakan
berdistribusi normal.
b. Uji Perbedaan dua rata-rata data hasil belajar.
Uji perbedaan dua rata-rata data hasil belajar digunakan untuk mengetahui
apakah ada perbedaan rata-rata nilai tes hasil belajar pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol.
Untuk menganalisa data ini, peneliti menggunakan t-test yang rumusnya
adalah sebagai berikut :
Keterangan :
X1 : Mean pada distribusi hasil sampel 1
X2 : Mean pada distribusi hasil sampel 2
SD12 : Nilai varian pada distribusi sampel 1
SD2 : Nilai varian pada distribusi sampel 2
N1 : Jumlah individu pada sampel 1
N2 : Jumlah individu pada sampel 2
Hasil perhitungan t selanjutnya disebut sebagai thitung yang akan
dibandingkan dengan ttabel pada taraf signifikasi 5% dan 1%.
Jika thitung ≤ + t tabel maka Ho diterima, dan sebaliknya jika thitung > t
tabel maka Ho ditolak.
Sedangkan untuk mengetahui besarnya pengaruh penerapan
problem posing terhadap hasil belajar siswa dapat diketahui dengan rumus
berikut:
X 1−X
Y= 2
x 100%
X2
Keterangan: X1= rata-rata pada distribusi sampel 1
X2= rata-rata pada distribusi sampel 2
Selain dengan menghitung manual menggunakan rumus, peneliti
juga melakukan perhitungan dengan bantuan program komputer SPSS.
E. Jadwal Penelitian
Jadwal Penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Jadwal Penelitian
Bulan
No Kegiatan
Feb Mar Apr Mei Jun
1. Pembuatan Proposal x
2. Seminar Proposal x
3. Revisi Proposal x
Persiapan
4. a) Perizinan x
b) Pembuatan dan Validasi Instrumen x
5. Pelaksanaan Penelitian x
6. Pengolahan Data x
7. Penyusunan Skripsi x
8. Seminar Hasil x
9. Penyelesaian Artikel dan Revisi x x
10. Ujian Skripsi x
DAFTAR PUSTAKA
Amri, Sofan. 2013. Pengembangan & Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013.
Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta.
Evi, Afandi dan Oktarina. (2013). Model dan Metode Pembelajaran di Sekolah.
Semarang: Unissula Press.
Mahmudi,Ali. 2008. Pembelajaran Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika. (Makalah yang disampaikan pada Seminar
Nasional Matematika Universitas Negeri Yogyakarta).
Puspitasari, L. (2014). Pengaruh model pembelajaran problem posing Terhadap Hasil
Belajar Matematika Materi Himpunan Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2
Kampak Trenggalek Semester Genap Tahun Pelajaran 2013/2014 Kelas VA SD
Negeri 1 Sidodadi. Skripsi. Tulungangung:Institut Agama Negeri Tulungangung.
Risnawati. (2008). Strategi Pembelajaran Matematika .Pekanbaru: Suska Press.
Sari, RK. (2016). Penerapan model pembelajaran problem posing untu Meningkatkan
Hasil Belajar Matematika siswa Kelas VA SD Negeri 1 Sidodadi. Skripsi.
Lampung:Universitas Lampung.
Suryosubroto.2009. Proses Belajar Menagajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Surabaya:
Kharisma Putra Utama.