Anda di halaman 1dari 24

A.

JUDUL :
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING TERHADAP
HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA MATERI KELILING DAN LUAS SEGI
EMPAT SISWA KELAS VII SMP NEGERI 5 BANJARMASIN.
B. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal penting untuk membekali peserta didik


menghadapi masa depan. Di Indonesia pendidikan diatur dalam Undang-undang
tersendiri mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Seperti yang
tercantum dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 bahwa :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlaq mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Walau telah diatur sedemikian rupa, pada dasarnya masalah utama pendidikan
di Indonesia saat ini adalah berkaitan dengan rendahnya daya serap peserta didik
terhadap pelajaran, sehingga tujuan pendidikan nasional sulit untuk dicapai.
Seperti yang kita ketahui sampai saat ini bahwa matematika merupakan salah satu
mata pelajaran yang dirasa sulit dipahami, bersifat abstrak, menakutkan,
menjemukan dan membosankan oleh sebagian besar siswa, sehingga minat untuk
mempelajarinya semakin rendah dan tidak sedikit peserta didik yang mengalami
kesulitan dalam memahami pelajaran matematika sehingga hasil belajarnyapun
rendah. Padahal matematika merupakan pelajaran dasar yang sangat penting dan
termasuk salah satu mata pelajaran yang diujikan pada waktu Ujian Akhir
Nasional untuk menentukan keberhasilan peserta didik. Selain digunakan untuk
kebutuhan akademik, matematika juga sangat diperlukan dalam dunia nyata ketika
para siswa terjun di masyarakat, sehingga tidak ada salahnya ketika para siswa
dituntut untuk mampu menguasai ilmu matematika dengan baik. Oleh karena itu
agar matematika benar-benar bisa dipahami oleh peserta didik, maka proses
pembelajaran yang berlangsung harus diperhatikan.
Anggapan peserta didik yang salah itupun ditambah dengan model
pembelajaran yang dipakai oleh guru matematika dalam mengajar yang masih
konvensional dan cenderung teacher centered (berpusat pada guru) yang
membuat peserta didik kurang merasa dilibatkan dalam kegiatan belajar
mengajar. Hal itu tentu akan membuat mereka bosan dan tidak bisa aktif secara
mandiri dalam mempelajari matematika.

Berdasarkan dari hasil penelitian di Indonesia, ditemukan bahwa tingkat


penguasaan peserta didik dalam matematika pada semua jenjang pendidikan
masih sekitar 34%. Matematika oleh sebagian besar siswa masih dianggap
sebagai momok, ilmu yang kering, teoetis, penuh dengan lambang–lambang,
rumus–rumus yang sulit dan sangat membingungkan. Akibatnya, matematika
tidak lagi menjadi disiplin ilmu yang objektif–sistematis, tapi justru menjadi
bagian yang sangat subjektif dan kehilangan sifat netralnya.3
Dari kesulitan yang dihadapi peserta didik dalam mempelajari matematika,
terlihat bahwa kemampuan siswa dalam mempelajari matematika dipengaruhi
oleh bagaimana cara guru mengajarkan mata pelajaran yang bersangkutan
kepada peserta didik. Guru dapat mengubah rasa takut peserta didik terhadap
pelajaran matematika, dengan mengusahakan dalam penyampaian materi
pelajaran yang membuat peserta didik senang, sehingga membangkitkan
motivasi, keaktifan serta keterampilan proses peserta didik dalam mengikuti
pelajaran. Banyak cara bagi seorang guru untuk menyampaikan materi pelajaran
yang akan membuat peserta didik merasa senang, diantaranya adalah dengan
menggunakan pendekatan yang tepat dan dibantu dengan adanya media yang
mendukung kegiatan belajar mengajar.
Para ahli konstruktivisme mengatakan bahwa ketika siswa mencoba
menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka pengetahuan matematika dikonstruksi
secara aktif. Para ahli konstruktivis yang lain mengatakan bahwa dari
perspektifnya konstruktivistik, belajar matematika bukanlah suatu proses
„pengepakan‟ pengetahuan secara hati-hati, melainkan tentang mengorganisir
aktifitas, dimana kegiatan ini diinterpretasikan secara luas termasuk aktifitas dan
berfikir konseptual. Didefinisikan oleh Cobb(1992) bahwa belajar matematika
merupakan proses dimana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan
matematika. Para ahli konstruktifis setuju bahwa belajar matematika melibatkan
manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja.
Berdasarkan pandangan ahli konstruktivistik di atas, maka dewasa ini
banyak ahli pendidikan matematika yang menciptakan model-model
pembelajaran terbaru yang berdasarkan pada pendekatan konstruktivisme.
Dengan model-model pembelajaran yang baru ini, diharapkan dapat
menciptakan situasi dan kondisi kelas yang kondusif agar proses belajar
mengajar dapat berlangsung sesuai dengan tujuan yang diharapkan, salah
satunya hasil belajar yang tinggi.
Dari sekian banyaknya model-model pembelajaran yang berdasarkan pada
pendekatan konstruktivisme, salah satunya adalah model pembelajaran problem
posing. Pada tahun 1989 untuk pertama kalinya istilah problem posing secara
resmi oleh National Council of Teacher Mathematics (NCTM) sebagai bagian
dari national program for re-direction of mathematics education (reformasi
pendidikan matematika). Selanjutanya istilah ini dipopulerkan dalam berbagai
media seperti buku teks, jurnal, serta menjadi saran yang konstruktif dan
mutakhir dalam pembelajaran matematika. Dalam pembelajaran problem posing,
siswa diharapkan mampu untuk membuat soal sendiri dan memecahkannya.
Selain itu, siswa mampu untuk menguasai materi secara konseptual maupun
procedural. Pemahaman konseptual mengacu pada pemahaman konsep, dan
kemampuan memecahkan masalah. Sedangkan pemahaman procedural
mengacu pada ketrampilan melakukan pengajaran prosedural.

Lynn D. English menjelaskan pendekatan pengajuan masalah dapat


membantu siswa dalam mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap
matematika, sebab ide-ide matematika siswa dicobakan untuk memahami
masalah yang sedang dikerjakan dan dapat meningkatkan performannya dalam
pemecahan masalah.
Berdasarkan wawancara peneliti dengan beberapa peserta didik kelas VII
SMP Negeeri 5 Banjarmasin, diperoleh informasi bahwa mereka cukup kesulitan
dalam mempelajari matematika. Mereka masih menganggap bahwa matematika
itu cukup sulit dan membosankan sehingga hasil belajar matematika mereka
lebih rendah dibanding mata pelajaran yang lainnya.
Peneliti juga melakukan dokumentasi terhadap hasil ulangan harian peserta
didik kelas VII SMP. Dari data yang telah terkumpul dapat diketahui bahwa
sekitar 41,6% nilai ulangan harian peserta didik kelas VII masih berada di
bawah KKM.
Sedangkan berdasarkan wawancara dengan guru matematika, diperoleh
informasi bahwa model pembelajaran yang selama ini diterapkan dalam mata
pelajaran matematika merupakan pembelajaran langsung. Guru menggunakan
model ceramah dan diskusi, serta jarang menerapakan model pembelajaran
Problem Posing.
Dari fakta itulah, maka peneliti bermaksud untuk mengetahui apakah
penerapan problem posing dapat mempengaruhi hasil belajar matematika peserta
didik, sehingga peneliti ingin mengadakan penelitian dengan judul, “Pengaruh
Model Pembelajaran Problem Posing Terhadap Hasil Belajar Matematika Pada
Materi Keliling dan Luas Bangun Segi Empat Siswa Kelas VII SMP Negeri 5
Banjarmasin “.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, masalah yang
diungkap dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Bagaimanakah hasil belajar matematika materi pokok keliling dan luas
bangun segi empat pada peserta didik kelas VII SMP Negeri 5 Banjarmasin
yang diajar menggunakan model pembelajaran problem posing ?
(2) Bagaimanakah hasil belajar matematika materi pokok keliling dan luas
bangun segi empat yang diajar menggunakan pembelajaran langsung ?
(3) Apakah ada pengaruh model pembelajaran Problem Posing terhadap hasil
belajar matematika materi pokok keliling dan luas bangun segi empat?
3. Tujuan Penelitian
Dari uraian rumusan masalah di atas, peneliti mempunyai tujuan
penelitian sebagai berikut.
(1) Untuk mengetahui hasil belajar matematika materi materi pokok keliling dan
luas bangun segi empat pada peserta didik kelas VII SMP Negeri 5
Banjarmasin setelah diajar menggunakan model pembelajaran problem
posing.
(2) Untuk mengetahui hasil belajar matematika materi pokok keliling dan luas
bangun segi empat pada peserta didik kelas VII SMP Negeri 5 Banjarmasin
setelah diajar menggunakan pembelajaran langsung
(3) Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh model pembelajaran Problem
Posing terhadap hasil belajar matematika materi pokok keliling dan luas
bangun segi empat pada peserta didik kelas VII SMP Negeri 5 Banjarmasin.
4. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat,
antara lain:
(1) Bagi peserta didik, memperoleh suatu cara belajar matematika yang lebih
menyenangkan, dan lebih merangsang peserta didik untuk lebih aktif dalam
proses belajar mengajar matematika sehingga dapat meningkatkan hasil
belajarnya.
(2) Bagi guru, memperoleh metode pembelajaran yang kreatif, efektif dan
menarik dalam pembelajaran matematika.
(3) Bagi kepala sekolah, sebagai wacana dalam upaya meningkatkan mutu
pengajaran dan hasil belajar khususnya pada peserta didik kelas VII.
(4) Bagi peneliti, menambah wawasan tentang penerapan model-model
pembelajaran guna penyempurnaan dan bekal saat terjun langsung dalam
dunia pendidikan di masa mendatang.
5. Batasan Masalah
Dalam penelitian tentang pengaruh penerapan model pembelajaran problem
posing terhadap hasil belajar matematika ini, yang menjadi variabel bebasnya
adalah penerapan model pembelajaran problem posing, sedangkan yang menjadi
variabel terikatnya adalah hasil belajar peserta didik.
Sedangkan untuk pembatasan penelitiannya adalah sebagai berikut:
(1) Perbedaan hasil belajar matematika peserta didik yang diberi perlakuan
dengan menggunakan model pembelajaran Problem Posing dengan model
pembelajaran langsung.
(2) Penelitian dilakukan pada kelas VII SMP Negeri 5 Banjarmasin tahun ajaran
2018/ 2019.
(3) Materi difokuskan pada keliling dan luas bangun segi empat
6. Definisi Operasional
Supaya tidak terjadi kesalahan dalam mengartikan istilah-istilah yang
digunakan dalam judul ini, maka diperlukan adanya penegasan istilah sebagai
berikut: . Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda)
yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.
(1) Model pembelajaran adalah pola interaksi siswa dengan guru di dalam kelas
yang menyangkut strategi, pendekatan, metode dan teknik pembelajaran yang
diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas.
(2) Problem Posing adalah perumusan masalah yang berkaitan dengan syarat-
syarat soal yang telah dipecahkan atau alternatif soal yang masih relevan.
(3) Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam
sikap dan tingkah lakunya.
(4) Keliling suatu bangun adalah jumlah total dari semua sisi yang dimiliki oleh
bangun tersebut.
(5) Luas suatu bangun adalah banyaknya persegi dengan sisi 1 satuan panjang
yang menutupi seluruh bangun tersebut.
C. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran adalah interaksi dua arah antara guru dan siswa, dimana antara
keduanya terjadi komunikasi yang intens dan terarah menuju pada suatu target
yang telah ditetapkan sebelumnya (Trianto, 2009:17). Proses pembelajaran
tersusun atas sejumlah komponen atau unsur yang saling berkaitan satu dengan
lainnya. Interaksi antara guru dan siswa pada saat proses belajar mengajar
memegang peran penting dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Kemungkinan kegagalan guru dalam menyampaikan materi disebabkan saat
proses belajar mengajar guru kurang membangkitkan perhatian dan aktivitas
siswa dalam mengikuti pelajaran khususnya matematika.
Menurut Johnson dan Rising (dalam Risnawati, 2008:1) menyatakan bahwa
matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang
logis, bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas
dan akurat representasinya dengan simbol dan padat. Matematika tumbuh dan
berkembang karena proses berfikir, sehingga kita dapat berfikir dengan logis
yang membuat ilmu pengetahuan lainnya bisa berkembang dengan cepat.
Pembelajaran Matematika adalah suatu proses interaksi antara guru dengan
siswa dalam suatu bentuk aktifitas yang terorganisir memperoleh informasi,
mampu memahami dan memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan
kembali informasi yang diperoleh sebelumnya. Interaksi atau hubungan timbal
balik antara guru dan siswa merupakan cara utama untuk kelangsungan proses
pembelajaran matematika.
2. Model Pembelajaran
Eggen menjelaskan bahwa model pembelajaran merupakan strategi
perspektif pembelajaran yang didesain untuk mencapai tujuan-tujuan
pembelajaran tertentu. Model pembelajaran merupakan suatu perspektif
sedemikian sehingga guru bertanggung jawab selama tahap perencanaan,
implementasi, dan penilaian dalam pembelajaran.
Joice dan Weil menggambarkan bahwa model pembelajaran merupakan suatu
perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai desain dalam pembelajaran
di kelas atau pembelajaran tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat
pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, tape recorder, media
program komputer, dan kurikulum. Sedangkan Bell menjelaskan “a
teaching/learning model is a generalized instructional process which may be
used for many different topics in variety subjects”. Kutipan tersebut berarti
bahwa suatu model pembelajaran adalah suatu perumusan proses pembelajaran
yang dapat digunakan untuk topik-topik berbeda dalam bermacam-macam materi
pokok. Setiap model diarahkan untuk membantu siswa mencapai tujuan
pembelajaran.
Joice dan Weil mengemukakan lima unsur penting yang menggambarkan
suatu model pembelajaran, yaitu (1) sintaks, yakni suatu urutan pembelajaran
yang biasa juga disebut fase; (2) sistem sosial, yaitu peran siswa dan guru serta
norma yang diperlukan; (3) prinsip reaksi, yaitu memberikan gambaran kepada
guru tentang cara memandang dan merespon apa yang dilakukan siswa; (4)
sistem pendukung, yaitu kondisi atau syarat yang diperlukan untuk terlaksananya
suatu model, seperti setting kelas, sistem instruksional, perangkat pembelajaran,
fasilitas belajar, dan media belajar; dan (5) dampak instuksional dan dampak
pengiring. Dampak instruksional adalah hasil belajar yang dicapai langsung
dengan cara mengarahkan para pelajar pada tujuan yang diharapkan. Sedangkan
dampak pengiring adalah ahsil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses
belajar mengajar, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami
langsung oleh para pelajar tanpa arahan langsung dari guru.
Selanjutnya Arends memberikan empat ciri khusus dari model pembelajaran
yang tidak dimiliki oleh strategi tertentu, yakni sebagai berikut: (1) rasional
teoritis yang logis yang disusun oleh pencipta atau pengembangnya; (2) landasan
pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang
akan dicapai); (3) tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut
dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan (4) lingkungan belajar yang diperlukan
agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Adapun fungsi dari model pembelajaran
disini adalah sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam
melaksanakan pembelajaran (dalam Lilik Puspitasari, 2014).
Berdasarkan teori-teori di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
model pembelajaran adalah suatu kerangka konseptual atau rancangan yang
digunakan sebagai desain dalam pembelajaran di kelas dengan topik-topik yang
berbeda dalam bermacam-macam materi pokok untuk mencapai tujuan belajar.
3. Macam-Macam Model Pembelajaran
Terdapat macam-macam model pembelajaran yang ada di dalam dunia
pendidikan. Guru dalam melaksanakan proses pembelajaran diharapkan mampu
memilih model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Menurut
Amri (2013: 7-13) ada beberapa macam model pembelajaran yang biasa
digunakan dalam pembelajaran diantaranya (1) model contextual teaching and
learning (CTL), (2) model cooperative learning, (3) model penemuan terbimbing,
(4) model pembelajaran langsung, (5) model missouri mathematics project, (6)
model pembelajaran problem solving, (7) model pembelajaran kontekstual, dan (8)
model pembelajaran problem posing.
Selanjutnya, Maulana (2014: 63-74) mengemukakan beberapa macam model
pembelajaran adalah sebagai berikut (1) model problem based learning, (2) model
problem solving, (3) model problem terbuka (open ended), (4) model creative
problem solving, (5) model probing-promting, (6) model means-ends analysis, (7)
model double loop problem solving, dan (8) model problem posing.
Berdasarkan uraian tentang macam-macam model pembelajaran di atas, maka
peneliti menetapkan model yang dikembangkan dalam pembelajaran di kelas yaitu
model pembelajaran problem posing. Model problem posing merupakan model
pembelajaran yang mengharuskan siswa menyusun pertanyaan sendiri atau
memecah suatu soal menjadi pertanyaan-pertanyaan yang lebih sederhana yang
mengacu pada penyelesaian soal tersebut.

4. Model Pembelajaran Problem Posing

Problem posing merupakan istilah dalam bahasa inggris yaitu dari kata
“problem” artinya masalah, soal atau persoalan dan kata “pose” yang artinya
mengajukan. Jadi problem posing bisa diartikan sebagai pengajuan atau pengajuan
masalah.
Ellerton mengartikan problem posing sebagai pembuatan soal oleh siswa
yang dapat mereka pikirkan tanpa pembatasan apapun baik terkait isi maupun
konteksnya. Selain itu, problem posing diartikan sebagai pembentukan soal
berdasarkan konteks, cerita, informasi, atau gambar yang diketahui.
Elwan mengklasifikasikan problem posing menjadi 3 tipe, yaitu free problem
posing (problem posing bebas), semi-structured problem posing (problem posing
semi terstruktur), dan structured problem posing (problem posing terstruktur).
Pemilihan tipe-tipe itu didasarkan pada materi matematika, kemampuan siswa,
hasil belajar siswa, atau tingkat berpikir siswa. Berikut diuraikan masing-masing
tipe tersebut.
(1) Free problem posing (problem posing bebas). Menurut tipe ini siswa diminta
untuk membuat soal secara bebas berdasarkan situasi kehidupan sehari-hari.
Tugas yang diberikan kepada siswa dapat berbentuk: ”buatlah soal yang
sederhana atau kompleks”, buatlah soal yang kamu sukai, buatlah soal untuk
kompetisi matematika atau tes, „buatlah soal untuk temanmu “, atau “buatlah
soal sebagai hiburan (for fun).
(2) Semi-structured problem posing (problem posing semi terstruktur). Dalam hal
ini siswa diberikan suatu situasi bebas atau terbuka dan diminta untuk
mengeksplorasinya dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan, atau
konsep yang telah mereka miliki. Bentuk soal yang dapat diberikan adalah soal
terbuka (open–ended problem) yang melibatkan aktivitas investigasi
matematika, membuat soal berdasarkan soal yang diberikan, membuat soal
dengan konteks yang sama dengan soal yang diberikan, membuat soal yang
terkait dengan teorema tertentu, atau membuat soal berdasarkan gambar yang
diberikan.
(3) Structured problem posing (problem posing terstruktur). Dalam hal ini siswa
diminta untuk membuat soal yang diketahui dengan mengubah data atau
informasi yang diketahui. Brown dan Walter merancang formula pembuatan
soal berdasarkan soal-soal yang telah diselesaikan dengan memvariasikan
kondisi atau tujuan dari soal yang diberikan.
Dalam pembelajaran matematika, pengajuan masalah menempati posisi
yang strategis. Pengajuan masalah dikatakan sebagai inti terpenting dalam disiplin
matematika dan dalam sifat pemikiran penalaran matematika. English menjelaskan
model pengajuan masalah dapat membantu siswa dalam mengembangkan
keyakinan dan kesukaan terhadap matematika, sebab ide-ide matematika siswa
dicobakan untuk memahami masalah yang sedang dikerjakan dan dapat
meningkatkan performannya dalam pemecahan masalah. Pengajuan masalah juga
sebagai sarana komunikasi siswa.
Kurikulum pendidikan matematika di Amerika (NCTM Curriculum and
Evaluation Standars for School Mathematics ) menganjurkan agar siswa-siswa
diberi kesempatan yang banyak untuk investigasi dan merumuskan pertanyaan-
pertanyaan soal-soal dari situasi masalah. Pengajuan soal juga merangsang
kemampuan matematika siswa. Sebab dalam mengajukan soal siswa perlu
membaca suatu informasi yang diberikan dan mengkomunikasikan pertanyaan
secara verbal maupun tertulis.
Pembelajaran dengan pengajuan soal menurut Menon dapat dilakukan
dengan tiga cara berikut:
(1) Berikan kepada siswa soal cerita tanpa pertanyaan, tetapi semua informasi
yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas siswa adalah
membuat pertanyaan berdasarkan informasi tadi.
(2) Guru menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa untuk membagi kelompok.
Tiap kelompok ditugaskan membuat soal cerita sekaligus penyelesaiannya.
Selanjutnya soal-soal tersebut dipecahkan oleh kelompok-kelompok lain.
Sebelumnya soal diberikan kepada guru untuk diedit tentang kebaikan dan
kesiapannya. Soal-soal tersebut nanti digunakan sebagai latihan. Nama
pembuat soal tersebut ditunjukkan tetapi solusinya tidak. Soal-soal tersebut
didiskusikan dalam masing-masing kelompok dan kelas. Hal ini akan memberi
nilai komunikasi dan pengalaman belajar. Diskusi tersebut seputar apakah soal
tersebut ambigu atau tidak. Soal yang dibuat siswa tergantung ketertarikan
siswa masing-masing.
(3) Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang
berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan kemudian diseleksi dari
daftar tersebut untuk diselesaikan. Pertanyaan dapat bergantung dengan
pertanyaan lain. Bahkan dapat sama, tetapi kata-katanya berbeda. Dengan
mendaftar pertanyaan yang berhubungan dengan masalah tersebut akan
membantu siswa “memahami masalah”, sebagai salah satu aspek pemecahan
masalah oleh Polya.
Dalam model pembelajaran pengajuan soal (problem posing) siswa dilatih
untuk memperkuat dan memperkaya konsep-konsep dasar matematika. Dengan
demikian, kekuatan-kekuatan model pembelajaran problem posing sebagai berikut:
(1) Memberi penguatan terhadap konsep yang diterima atau memperkaya konsep-
konsep dasar
(2) Diharapkan mampu melatih siswa meningkatkan kemampuan dalam belajar
(3) Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya
adalah pemecahan masalah
Bagi siswa, pembelajaran problem posing merupakan keterampilan mental.
Pembelajaran dengan problem posing ini menekankan pada pembentukan atau
perumusan soal oleh siswa baik secara individu maupun secara berkelompok.
Dalam hal ini siswa menghadapi suatu kondisi dimana diberikan suatu
permasalahan dan siswa memecahkan masalah tersebut.
Dalam melaksanakan pembelajaran dengan strategi problem posing,
Lowrie ( dalam Mahmud Ali,2008) menyarankan guru matematika untuk meminta
siswa membuat soal untuk teman dekatnya sehingga mereka lebih menguasai
dalam pembuatan soal. Guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa
berkemampuan rendah untuk bekerja secara kooperatif dengan temannya sehingga
dapat mencapai tingkat kemampuan yang lebih tinggi. Guru juga perlu mendorong
siswa untuk membuat soal kontekstual atau sesuai dengan situasi sehari hari.
Selain itu, siswa juga perlu didorong untuk menmggunakan piranti teknologi
seperti kalkulator dalam membuat soal sebagai upaya pengembangan kemampuan
berpikir matematik.
Adapun langkah-langkah problem posing secara berkelompok adalah
sebagai berikut (dalam Suryosubroto.2009):
(1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar.
(2) Guru menyajikan informasi baik secara ceramah atau tanya jawab selanjutnya
memberi contoh cara pembuatan soal dari informasi yang diberikan. heterogen
baik kemampuan, ras dan jenis kelamin.
(3) Guru memberikan tugas yang berbeda pada setiap kelompok untuk membuat
pertanyaan. Pertanyaan yang dibuat ditulis pada lembar problem posing 1
(4) Semua tugas membuat pertanyaan dikumpulkan kemudian guru melimpahkan
pada kelompok lainnya untuk dikerjakan. Setiap siswa dalam kelompok
berdiskusi untuk menjawab pertanyaan yang mereka terima dari kelompok
lain. Setiap jawaban atas pertanyaan ditulis pada lembar problem posing 2.
(5) Selama kerja kelompok berlangsung guru membimbing kelompok-kelompok
yang kesulitan membuat soal dan menyelesaikannya.
(6) Pertanyaan yang telah ditulis pada lembar problem posing 1 dikembalikan
pada kelompok asal untuk kemudian diserahkan pada guru dan jawaban yang
ditulis pada lembar problem posing 2 diserahkan pada guru.
(7) Guru mengevalusi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari dengan
cara masing-masing kelompok mempresentasikan hasil pekerjaannya.
Langkah-langkah itu dapat dimodifikasi seperti siswa dibuat berpasangan.
Dalam satu pasang siswa membuat soal dengan penyelesaiannya. Soal tanpa
penyelesaian saling dipertukarkan antar pasangan lain atau dalam satu pasang.
Siswa diminta mengerjakan soal temannya dan saling koreksi berdasarkan
penyelesaian yang dibuatnya.
Belajar kelompok memiliki beberapa keuntungan, antara lain sebagai berikut :
(1) Dapat memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menggunakan
keterampilan bertanya dan membahas suatu masalah
(2) Dapat mengembangkan bakat kepemimpinan dan mengajarkan keterampilan
berdiskusi Dapat memungkinkan guru untuk lebih memperhatikan siswa
sebagai individu serta kebutuhan belajar
(3) Para siswa lebih aktif tergabung dalam pelajaran mereka dan mereka lebih
aktif berpartisipasi dalam diskusi
(4) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan rasa menghargai
dan menghormati pribadi temannya, menghargai pendapat orang lain, yang
mana mereka saling membantu kelompok dalam usaha mencapai tujuan
bersama.
Dalam setiap pembelajaran pasti ada sisi kelebihan atau keunggulan dan
kekurangan atau kelemahan. Menurut Rahayuningsih kelebihan dan kekurangan
problem posing diantaranya adalah :
Kelebihan problem posing adalah sebagai berikut :
(1) Kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada guru, tetapi dituntut keaktifan siswa
(2) Minat siswa dalam pembelajaran matematika lebih besar dan siswa lebih
mudah memahami soal karena dibuat sendiri
(3) Semua siswa terpacu untuk terlibat secara aktif dalam membuat soal
(4) Dengan membuat soal dapat menimbulkan dampak terhadap kemampuan
siswa dalam menyelesaikan masalah
(5) Dapat membantu siswa untuk melihat permasalahan yang adadan yang baru
diterima sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman yang mendalam dan
lebih baik, merangsang siswa untuk memunculkan ide-ide yang kreatif dari
yang diperolehnya dan memperluas pengetahuan , siswa dapat memahami soal
sebagai latihan untuk memecahkan masalah .
Sedangkan kekurangan problem posing adalah sebagai berikut :
(1) Persiapan guru lebih karena menyiapkan informasi apa yang dapat
disampaikan.
(2) Waktu yang digunakan lebih banyak untuk membuat soal dan
penyelesaiaannya sehingga materi yang disampaikan lebih sedikit.
Berdasarkan teori-teori tentang problem posing di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa problem posing merupakan suatu model pembelajaran yang
mana siswa diajari mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan menggunakan
bahasa, kemampuan dan pemahaman masing-masing siswa sesuai informasi yang
diberikan oleh guru. Dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran
problem posing ini siswa dituntut untuk membuat/mengajukan pertanyaan
sekreatif mungkin sehingga siswa mampu memahami materi pelajaran yang
diajarkan oleh guru dengan baik dan bisa memperoleh hasil belajar yang lebih
baik.
5. Model Pembelajaran Langsung
Pembelajaran langsung dapat didefinisikan sebagai model pembelajaran di
mana guru mentransformasikan informasi atau keterampilan secara langsung
kepada peserta didik, pembelajaran berorientasi pada tujuan dan distrukturkan
oleh guru. Menurut Killen pembelajaran langsung atau Direct Instruction merujuk
pada berbagai teknik pembelajaran ekspositori (pemindahan pengetahuan dari
guru kepada murid secara langsung, misalnya melalui ceramah, demonstrasi, dan
tanya jawab) yang melibatkan seluruh kelas. Pendekatan dalam model
pembelajaran ini berpusat pada guru, dalam hal ini guru menyampaikan isi materi
pelajaran dalam format yang sangat terstruktur, mengarahkan kegiatan para
peserta didik, dan mempertahankan fokus pencapaian akademik.
Menurut Bruce dan Weil, tahapan model pembelajaran langsung adalah
sebagai berikut :
(1) Orientasi
Sebelum menyajikan dan menjelaskan materi baru, akan sangat
menolong peserta didik jika guru memberikan kerangka pelajaran dan orientasi
terhadap materi yang akan disampaikan. Bentuk-bentuk orientasi dapat berupa :
a. Kegiatan pendahuluan untuk mengetahui pengetahuan yang relevan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik.
b. Mendiskusikan atau menginformasikan tujuan pelajaran
c. Memberikan penjelasan atau arahan mengenai kegiatan yang akan dilakukan
selama pembelajaran
d. Menginformasikan kerangka pelajaran.
(2) Presentasi
Pada fase ini guru dapat menyajikan materi pelajaran baik berupa
konsep-konsep maupun keterampilan. Penyajian materi dapat berupa :
a. Penyajian materi dalam langkah-langkah kecil sehingga materi dapat
dikuasai peserta didik dalam waktu relatif pendek
b. Pemberian contoh-contoh konsep
c. Pemodelan atau peragaan keterampilan dengan cara demonstrasi atau
penjelasan langkah-langkah kerja terhadap tugas
d. Menjelaskan ulang hal-hal yang sulit
(3) Latihan Terstruktur
Pada fase ini guru memandu peserta didik untuk melakukan latihan-
latihan. Peran guru yang penting dalam fase ini adalah memberikan umpan
balik terhadap respon peserta didik dan memberikan penguatan terhadap
respon peserta didik yang benar dan mengkoreksi tanggapan peserta didik yang
salah.
(4) Latihan Terbimbing
Pada fase ini guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
berlatih konsep atau keterampilan. Latihan terbimbing ini baik juga digunakan
oleh guru untuk menilai kemampuan peserta didik untuk melakukan tugasnya.
Pada fase ini peran guru adalah memonitor dan memberikan bimbingan jika
diperlukan.
(5) Latihan Mandiri
Pada fase ini peserta didik melakukan kegiatan latihan secara mandiri.
Fase ini dapat dilalui peserta didik jika telah menguasai tahap-tahap pengerjaan
tugas. (dalam Evi dkk, 2013).
6. Hasil Belajar
(1) Pengertian Hasil Belajar
Jihad dan Haris (2012) menjelaskan bahwa hasil belajar adalah
perubahan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan proses
pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajan yang telah ditetapkan.
hasil belajar menurut Bloom dalam Purwanto (2007: 45) yang menggolongkan
kedalam tiga ranah yang perlu diperhatikan dalam setipa proses belajar
mengajar. Tiga ranah tersebut adalah ranah kognitif, efektif, dan psikomotor.
Ranah kognitif mencakup hasil belajar yang berhubungan dengan ingatan,
pengetahuan, dan kemampuan intelektual. Ranah efektif mencakup hasil
belajar yang berhubungan dengan sikap, nilai-nilai, perasaan, dan minat.
Ranah psikomotor mencakup hasil belajar yang berhubungan dengan
keterampilan fisik atau gerak yang ditunjang oleh kemampian psikis.
Selanjutnya Sudjana menjelaskan bahwa hasil belajar merupakan kemampuan-
kemampuan yang dimiliki setelah menerima pembelajaran. Dari pendapat-
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, hasil belajar merupakan proses
perubahan kemampuan intelektual (kognitif), kemampuan minat atau
emosi(afektif) dan kemampuan motorik halus dan kasar (psikomotor) pada
peserta didik.
(2) Indikator hasil belajar.
Sebagian besar kalangan guru sulit menjelaskan apakah pembelajaran
yang telah dilakukan berhasil atau tidak. Untuk mengetahui keberhasilan suatu
pembelajaran seorang guru harus mengetahui kriteria hasil belajar, setelah itu
guru bisa menetapkan suatu alat untuk menaikkan keberhasilan dari
pembelajarannya tersebut. keberhasilan pembelajaran dapat dilihat dari segi
hasil. Berikut ini adalah beberapa persoalan yang dapat dipertimbangkan
dalam menentukan keberhasilan pembelajaran ditinjau dari segi hasil yang
dicapai siswa:
a. Apakah hasil belajar yang diperoleh siswa dari proses pembelajaran
nampak dalam bentuk perubahan tingkah laku secara menyeluruh?
b. Apakah hasil belajar yang dicapai siswa dari proses pembelajaran dapat
diaplikasikan dalam kehidupan siswa?
c. Apakah hasil belajar yang diperoleh siswa tahan lama diingat dan
mengendap dalam pikirannya, serta cukup mempengaruhi perilaku dirinya?
d. Apakah yakin bahwa perubahan yang ditunjukkan oleh siswa merupakan
akibat dari proses pembelajaran?
(3) Evaluasi Hasil Belajar
Hasil belajar perlu dievaluasi. Evaluasi dimaksudkan sebagai cermin
untuk melihat kembali apakah tujuan yang ditetapkan telah tercapai dan
apakah proses belajar mengajar telah berlangsung efektif untuk memperoleh
hasil belajar.
Evaluasi hasil belajar dapat dikatakan terlaksana dengan baik
apabila dalam pelaksanaannya senantiasa berpegang pada tiga prinsip
dasar berikut ini: 1) Prinsip keseluruhan, 2) prinsip kesinambungan, dan
3) prinsip obyektivitas Evaluasi hasil belajar mempunyai ciri-ciri khusus,
antara lain:
a. Evaluasi dilaksanakan dalam rangka mengukur keberhasilan peserta
didik, yang pengukurannya dilakukan secara tidak langsung.
b. Pengukuran dalam rangka menilai keberhasilan belajar peserta didik
pada umumnya menggunakan ukuran-ukuran yang bersifat kuantitatif.
c. Pada kegiatan evaluasi hasil belajar pada umumnya digunakan unit-unit
atau satuan-satuan yang tetap.
d. Prestasi belajar yang dicapai oleh peserta didik dari waktu ke waktu
adalah bersifat relatif.
e. Dalam kegiatan evaluasi hasil belajar, sulit untuk dihindari terjadinya
kekeliruan pengukuran.
Dalam menilai hasil belajar khususnya dalam bidang kognitif, alat
penilaian yang paling banyak digunakan adalah tes tertulis. Dilihat dari
bentuknya, soal-soal tes tertulis dikelompokkan atas soal-soal bentuk uraian
(essay) dan soal-soal bentuk objektif.
a. Soal-soal bentuk uraian (essay) adalah tes tulis yang meminta siswa siswi
memberikan jawaban berupa uraian. Bentuk-bentuknya berupa : esai
bebas dan esai terbatas.
b. Soal-soal objektif adalah tes tulis yang menuntut siswa siswi memilih
jawaban yang telah disediakan atau memberikan jawaban singkat terbatas.
c. Bentuk-bentuknya berupa: tes benar salah, tes pilihan ganda, tes
menjodohkan, tes melengkapi, dan tes jawaban singkat.

7. Kerangka Berpikir
Salah satu karakteristik matematika adalah memiliki kajian yang bersifat
abstrak. Karakteristik inilah yang menyebabkan banyak siswa merasa kesulitan
untuk mempelajarinya. Selama ini, model pembelajaran yang digunakan oleh
dalam kegiatan pembelajaran matematika di sekolah umumnya menggunakan
model pembelajaran yang berpusat pada guru. Oleh sebab itu, perlu dilakukan
suatu inovasi dalam pembelajaran agar hasil belajar matematika siswa dapat
meningkat. Salah satu inovasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru ialah
memilih suatu model pembelajaran.
Salah satu model pembelajaran yang dapat dipilih ialah model
pembelajaran problem posing. Hal itu disebabkan model pembelajaran problem
posing merupakan model pembelajaran yang peserta didik tidak hanya
menerima materi dari pendidik saja, melainkan peserta didik juga berusaha
menggali dan mengembangkan sendiri.
Hasil belajar ialah perubahan dalam pengetahuan, sikap dan kemampuan
secara keseluruhann setelah pembelajaran.
8. Hipotesis Penelitian
Pada penelitian ini, hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut:
“Terdapat pengaruh positif penerapan model pembelajaran Problem Posing
terhadap hasil belajar matematika materi pokok keliling dan luas bangun segi
empat pada peserta didik kelas VII SMP Negeri Banjarmasin.”
D. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimential
untuk menyelidiki ada tidaknya hubungan sebab akibat dengan cara memberikan
perlakuan-perlakuan tertentu pada bebetapa kelompok eksperimential dan
menyediakan kontrol untuk perbandingan siswa kelas VII SMP Negeri 5
Banjarmasin menggunakan model Problem Posing sebanyak 6 kali pertemuan.
1. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VII SMP Negeri
5 Banjarmasin tahun pelajaran 2018-2019 yang berjumlah 140. Teknik
pengambilan sampel yang diguanakan dalam penelitian ini adalah porposiv
sampling yaitu pengambilan sampel bertujuan untuk mengambil dua kelas
berdasarkan berbagai pertimbangan seperti pertimbangan awal dua kelas yang
tidak memiliki perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata ulangan harian
matematika siswa, guru yang sama, dan memungkkinkan diterapkanya model
pembelajaran problem posing. Peneliti mendapatkan kelas yang akan dijadikan
sampel penelitian atas pertimbangan dari guru mata pelajaran matematika,
dengan asumsi kelas yang terpilih memounyai kemampuan homogen. Adapun
distribusi jumlah siswa kelas VII SMP Negeri 5 Banjarmasin tahun pelajaran
2018-2019 dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

Kelas Jumlah Siswa Keterangan


VII A 35 Sampel
VII B 37 -
VII C 38 Sampel
VII D 34 -
Jumlah 144
Berdasarkan tabel diketahui bahwa dari kelas yang terdapat pada kelas
VII SMP Negeri 5 Banjarmasin tahun pelajaran 2018-2019 dipilih 2 kelas yaitu
kelas eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran problem posing
dan kelas sebagai kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran
langsung.

2. Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat pelaksanaan penelitian di SMP Negeri 5 Banjarmasin pada semester
genap tahun 2018-2019 yang beralamat di Jalan Belitung Darat No. 132,
Belitung Utara, Banjarmasin Barat, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan
70116.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan peneliti dalam mengumpulkan
data , agar dalam penelitian diperoleh informasi dan data-data yang relevan
sesuai dengan topik yang diteliti. Dalam penellitian ini yang digunakan adalah
pendekatan kuantitatif sehingga data yang dikumpulkan berupa angka-angka
yang berasal dari hasil tes dan dokumentasi. Adapun tekhnik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mengetahui informasi berupa nilai hasil
ulangan harian matematika siswa kelas VII SMP Negeri 5 Banjarmasin
semester II tahun 2018-2019 yang digunakan sebagai salah satu pertimbangan
peneliti dalam mengambil dua kelas sebagai sampel dalam penelitian ini,
kemudian informasi berupa data identitas atau profil sekolah juga digunakan
sebagai tambahan informasi guna menunjang untuk keperluan dalam
penelitian.
2. Tes
Tes digunakan untuk mengumpulkan data yang sifatnya mengevaluasi
hasil proses atau untuk mendapatkan kondisi awal sebelum proses (pre-test
dan post-test) teknik ini dapat dipakai. Instrumennya dapat berupa soal-soal
ujian atau soal-soal tes. Soal-soal tes yang dipakai dalam penelitian ini
berbentuk soal essay, dengan materi keliling dan luas bangun segi empat.
Sedangkan untuk kompetensi dasarnya adalah menghitung keliling dan luas
bangun segi empat serta menggunakannya dalam pemecahan masalah.
Indikator dari soal adalah sebagai berikut: (1) Menemukan keliling bangun
segi empat dan menentukan ukurannya, (2) Menemukan luas suatu bangun
segi empat, (3) Menghitung keliling dan luas bangun segi empat.
4. Instrumen Penelitian
Instumen yang digunakan dalam metode tes ini adalah soal tes berbentuk
tes subjektif yang terdiri dari 5 soal.
Kompetensi dasarnya adalah menghitung keliling dan luas bangun segi
empat serta menggunakannya dalam pemecahan masalah. Sedangkan indikator
soal adalah sebagai berikut: (1) Menemukan keliling bangun segi empat dan
menentukan ukurannya, (2) Menemukan luas suatu bangun segi empat, (3)
Menghitung keliling dan luas bangun segi empat. Adapun soal-soal tesnya dapat
dilihat pada lampiran Sebelum tes dilaksanakan, perlu dilakukan uji validitas
dan uji reliabilitas terhadap instrumen tes yang telah dipersiapkan

5. Uji Validitas dan Realibilitas Instrumen

Soal Tes
Uji validitas soal tes oleh 2 Dosen Pendidikan Matematika FKIP ULM dan
1 Guru Matematika kelas X SMAN 4 Banjarmasin.
6. Teknik Analisis Data
(1) Analisis data awal.
Untuk yang pertama, peneliti akan melakukan analisis data ulangan harian.
Hal ini perlu dilakukan untuk melihat kesamaan pada kedua kelas sampel,
sehingga perlu dilakukan uji homogenitas, yang rumusnya adalah sebagai
berikut:
varian tertingi
Fmax =
varianterenda h
Varian :
∑ X ¿2
¿
¿N
SD12 = ¿
X 2−¿
∑¿
¿
(2) Analisis Data Akhir
Setelah melakukan kegiatan eksperimen, peneliti mengumpulkan data
nilai tes. Nilai tes yang telah dikumpulkan selanjutnya akan di analisa untuk
memperoleh suatu kesimpulan. Adapun langkah-langah analisa datanya
adalah sebagai berikut:
a. Uji Normalitas.
Uji normalitas dilakukan terhadap nilai post test. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui apakah data yang dianalis berdistribusi normal atau
tidak.
Langkah-langkah dalam menghitung normalitas adalah sebagai berikut:
(a) Menentukan jumlah kelas interval. Untuk pengujian normalitas dengan
Chi Kuadrat ini, jumlah kelas interval ditetapkan 6 , hal ini sesuai
dengan 6 bidang yang ada pada kurva normal baku.
(b) Menentukan panjang kelas interval.
(c) Panjang kelas interval = (data terbesar-data terkecil)/6
(d) Menyusun ke dalam tabel distribusi frekuensi sekaligus tabel penolong.
(e) Menghitung fh.
(f) Menghitung nilai Chi Kuadrat.
(g) Membandingkan harga Chi Kuadrat hitung dengan Chi Kuadrat tabel.
Jika Chi Kuadrat hitung < Chi Kuadrat tabel maka data dinyatakan
berdistribusi normal.
b. Uji Perbedaan dua rata-rata data hasil belajar.
Uji perbedaan dua rata-rata data hasil belajar digunakan untuk mengetahui
apakah ada perbedaan rata-rata nilai tes hasil belajar pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol.
Untuk menganalisa data ini, peneliti menggunakan t-test yang rumusnya
adalah sebagai berikut :

Keterangan :
X1 : Mean pada distribusi hasil sampel 1
X2 : Mean pada distribusi hasil sampel 2
SD12 : Nilai varian pada distribusi sampel 1
SD2 : Nilai varian pada distribusi sampel 2
N1 : Jumlah individu pada sampel 1
N2 : Jumlah individu pada sampel 2
Hasil perhitungan t selanjutnya disebut sebagai thitung yang akan
dibandingkan dengan ttabel pada taraf signifikasi 5% dan 1%.
Jika thitung ≤ + t tabel maka Ho diterima, dan sebaliknya jika thitung > t
tabel maka Ho ditolak.
Sedangkan untuk mengetahui besarnya pengaruh penerapan
problem posing terhadap hasil belajar siswa dapat diketahui dengan rumus
berikut:
X 1−X
Y= 2
x 100%
X2
Keterangan: X1= rata-rata pada distribusi sampel 1
X2= rata-rata pada distribusi sampel 2
Selain dengan menghitung manual menggunakan rumus, peneliti
juga melakukan perhitungan dengan bantuan program komputer SPSS.
E. Jadwal Penelitian
Jadwal Penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Jadwal Penelitian
Bulan
No Kegiatan
Feb Mar Apr Mei Jun
1. Pembuatan Proposal x
2. Seminar Proposal x
3. Revisi Proposal x
Persiapan
4. a) Perizinan x
b) Pembuatan dan Validasi Instrumen x
5. Pelaksanaan Penelitian x
6. Pengolahan Data x
7. Penyusunan Skripsi x
8. Seminar Hasil x
9. Penyelesaian Artikel dan Revisi x x
10. Ujian Skripsi x

DAFTAR PUSTAKA

Amri, Sofan. 2013. Pengembangan & Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013.
Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta.
Evi, Afandi dan Oktarina. (2013). Model dan Metode Pembelajaran di Sekolah.
Semarang: Unissula Press.
Mahmudi,Ali. 2008. Pembelajaran Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika. (Makalah yang disampaikan pada Seminar
Nasional Matematika Universitas Negeri Yogyakarta).
Puspitasari, L. (2014). Pengaruh model pembelajaran problem posing Terhadap Hasil
Belajar Matematika Materi Himpunan Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2
Kampak Trenggalek Semester Genap Tahun Pelajaran 2013/2014 Kelas VA SD
Negeri 1 Sidodadi. Skripsi. Tulungangung:Institut Agama Negeri Tulungangung.
Risnawati. (2008). Strategi Pembelajaran Matematika .Pekanbaru: Suska Press.
Sari, RK. (2016). Penerapan model pembelajaran problem posing untu Meningkatkan
Hasil Belajar Matematika siswa Kelas VA SD Negeri 1 Sidodadi. Skripsi.
Lampung:Universitas Lampung.
Suryosubroto.2009. Proses Belajar Menagajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Surabaya:
Kharisma Putra Utama.

Anda mungkin juga menyukai