Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut WHO kematian ibu (maternal death) adalah kematian selama

kehamilan atau dalam periode 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, akibat

semua sebab yang terkait dengan atau diperberat oleh kehamilan atau

penanganannya, tetapi bukan disebabkan oleh kecelakaan/cedera. Berdasarkan

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian

ibu di Indonesia masih tinggi sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini

sedikit menurun jika dibandingkan dengan SDKI tahun 1991, yaitu sebesar 390

per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini sedikit menurun meskipun tidak terlalu

signifikan. Target global MDGs (Millenium Development Goals) ke-5 adalah

menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup

pada tahun 2015.1

Angka Kematian Ibu sudah mengalami penurunan, namun masih jauh dari

target MDGs tahun 2015, meskipun jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga

kesehatan mengalami peningkatan. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh

antara lain kualitas pelayanan kesehatan ibu yang belum memadai, kondisi ibu

hamil yang tidak sehat dan faktor determinan lainnya. Penyebab utama kematian

ibu yaitu hipertensi dalam kehamilan dan perdarahan postpartum. Penyebab ini

dapat diminimalisir apabila kualitas Antenatal Care dilaksanakan dengan baik.2

Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan kondisi ibu hamil tidak sehat

antara lain adalah penanganan komplikasi, anemia, ibu hamil yang menderita

1
diabetes, hipertensi, malaria, dan empat terlalu (terlalu muda 35 tahun, terlalu

dekat jaraknya 2 tahun dan terlalu banyak anaknya > 3 tahun). Sebanyak 54,2 per

1000 perempuan dibawah usia 20 tahun telah melahirkan, sementara perempuan

yang melahirkan usia di atas 40 tahun sebanyak 207 per 1000 kelahiran hidup. Hal

ini diperkuat oleh data yang menunjukkan masih adanya umur perkawinan

pertama pada usia yang amat muda (<20 tahun) sebanyak 46,7% dari semua

perempuan yang telah kawin.

Potensi dan tantangan dalam penurunan kematian ibu dan anak adalah

jumlah tenaga kesehatan yang menangani kesehatan ibu khususnya bidan sudah

relatif tersebar ke seluruh wilayah Indonesia, namun kompetensi masih belum

memadai. Demikian juga secara kuantitas, jumlah Puskesmas PONED dan RS

PONEK meningkat namun belum diiringi dengan peningkatan kualitas pelayanan.

Peningkatan kesehatan ibu sebelum hamil terutama pada masa remaja, menjadi

faktor penting dalam penurunan AKI dan AKB.

Peserta KB cukup banyak merupakan potensi dalam penurunan kematian

ibu, namun harus terus digalakkan penggunaan kontrasepsi jangka panjang.

Keanekaragaman makanan menjadi potensi untuk peningkatan gizi ibu hamil,

namun harus dapat dikembangkan paket pemberian makanan tambahan bagi ibu

hamil yang tinggi kalori, protein dan mikronutrien.

Mengacu dari kondisi saat ini, potensi untuk mencapai target MDGs ke-5

untuk menurunkan AKI adalah off-track, artinya diperlukan kerja keras dan

sungguh-sungguh untuk mencapainya. Dengan demikian disusunlah suatu gerakan

yang disebut dengan Safe Motherhood. Safe motherhood merupakan upaya untuk

2
menyelamatkan wanita agar kehamilan dan persalinannya sehat dan aman, serta

melahirkan bayi yang sehat. Gerakan ini pertama kali dicanangkan pada

International Conference on Safe Motherhood, Nairobi, 1987. Program ini telah

dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1988 dengan melibatkan secara aktif

berbagai sektor pemerintah dan non-pemerintah, masyarakat, serta dukungan dari

berbagai badan internasional.1

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Safe Motherhood

Berbagai upaya terus diusahakan dalam rangka menurunkan angka kematian

ibu. Salah satunya adalah mengimplementasikan program Safe Motherhood. Safe

Motherhood adalah usaha-usaha yang dilakukan agar seluruh perempuan

menerima perawatan yang mereka butuhkan selama hamil dan bersalin. Dalam

arti luas tujuan Safe Motherhood dan Making Pregnency Safer itu sama, yaitu

melindungi hak reproduksi dan hak asasi manusia dengan mengurangi beban

kesakitan, kecacatan dan kematian yang berhubungan dengan kehamilan dan

persalinan yang sebenarnya dapat dicegah dan tidak perlu terjadi. Dapat dilihat

bahwa tujuan upaya Safe Motherhood adalah menurunkan angka kesakitan dan

kematian ibu hamil, bersalin, nifas, dan menurunkan angka kesakitan dan

kematian bayi baru lahir. Upaya ini terutama ditunjukan pada negara yang sedang

berkembang karena 99% kematian ibu di dunia terjadi di negara-negara tersebut.3

Menurut the International Classification of Diseases and Related Health

Problems, Tenth Revision, 1992 (ICD-10) WHO mendefinisikan kematian ibu

sebagai kematian wanita hamil atau dalam 42 hari setelah persalinan, tanpa

memandang lama dan tempat terjadinya kehamilan yang disebabkan oleh atau

dipicu oleh kehamilannya atau penanganan kehamilannya, tetapi bukan karena

kecelakaan. Menurut pengertian ini penyebab kematian ibu dapat dibagi menjadi

penyebab langsung maupun tak langsung.4

4
Penyebab kematian langsung yaitu setiap komplikasi persalinan disetiap

fase kehamilan (kehamilan, persalinan dan pasca persalinan), akibat tindakan,

kesalahan pengobatan atau dari kesalahan yang terjadi disetiap rangkaian kejadian

diatas. Contohnya seperti perdarahan, pre-eklamsia/eklamsia, akibat komplikasi

anestesi atau bedah kaisar, perdarahan, sepsis, kelahiran prematur akibat

hipertensi, lahir mati, dan komplikasi akibat aborsi yang tidak aman menjadi

penyebab langsung yang berkontribusi pada 80% kematian. Penyebab kematian

tak langsung yaitu akibat penyakit lain yang telah ada sebelumnya atau

berkembang selama kehamilan dan yang tidak berhubungan dengan penyebab

langsung tetapi dipicu secara fisiologis oleh kehamilan. Contohnya seperti

kematian akibat penyakit ginjal atau jantung.

WHO mengembangkan konsep Four Pillars of Safe Motherhood untuk

menggambarkan ruang lingkup upaya penyelamatan ibu dan bayi (WHO, 1994).

Empat pilar upaya Safe Motherhood tersebut adalah keluarga berencana, asuhan

antenatal, pelayanan bersih dan aman dan pelayanan obstetri esensial.

2.2 Pelaksanan Safe Motherhood

Dalam pelaksanaannya intervensi strategis dari pelaksanaan Safe

Motherhood dinyatakan sebagai Empat Pilar Safe Motherhood. Empat pilar upaya

Safe Motherhood tersebut adalah keluarga berencana, asuhan antenatal, pelayanan

bersih dan aman dan pelayanan obstetri esensial.5

1. Keluarga berencana

AKI adalah indikator dampak dari berbagai upaya yang ditujukan untuk

meningkatkan derajat Kesehatan Ibu. Kematian ibu tidak akan terjadi tanpa

5
adanya kehamilan. Oleh karena itu kehamilan merupakan determinan proksi dari

kematian ibu, di samping komplikasi kehamilan dan persalinan. Untuk

menurunkan kejadian kematian ibu, kehamilan perlu diatur sedemikian rupa

sehingga tidak terjadi pada kondisi yang berisiko tinggi untuk mengalami

komplikasi. Kehamilan, misalnya, seharusnya tidak terjadi pada kondisi “4

Terlalu”, yaitu terlalu muda, terlalu sering, terlalu banyak dan terlalu tua. Dalam

konteks inilah Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (Program KKB)

dan khususnya Pelayanan Keluarga Berencana memiliki peran penting. Dari 6

indikator Kesehatan Ibu yang menjadi target RPJMN Tahun 2010-2014 maupun

MDGs Tahun 2015, dua diantaranya berkaitan dengan Pelayanan KB, yaitu CPR

dan unmet need. Hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa pencapaian kedua

indikator tersebut juga masih jauh dari yang diharapkan.6

Keluarga berencana merupakan usaha untuk mengukur jumlah anak dan

jarak kelahiran anak yang diinginkan.6 Banyak hal yang menyebabkan pencapaian

Pelayanan KB belum sesuai harapan. Salah satunya adalah berkurangnya jumlah

petugas lapangan KB Berencana sehingga menyebabkan pembinaan kesertaan

ber-KB menjadi terbatas, jangkauan Pelayanan KB tidak merata, dan belum

optimalnya kualitas Pelayanan KB. Kegiatan advokasi untuk memberikan

pemahaman tentang pentingnya KB kepada berbagai pemangku kepentingan juga

belum menghasilkan komitmen yang kuat untuk mendukung penyelenggaraan

Pelayanan KB. Selain itu kegiatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

yang dilakukan kepada masyarakat belum mampu mengubah nilai tentang jumlah

6
anak ideal yang diinginkan maupun perilaku masyarakat dalam mendapatkan

pelayanan kontrasepsi sesuai kebutuhan.

Melemahnya struktur organisasi dan menurunnya ketersediaan sumber daya

untuk Program KKB di daerah pada gilirannya mengakibatkan menurunnya

kinerja Program KKB. Kegiatan advokasi, KIE dan konseling tidak dilaksanakan

sebagaimana seharusnya, sehingga terjadi perubahan nilai pada masyarakat

tentang jumlah anak ideal, yang kemudian menyebabkan menurunnya permintaan

terhadap Pelayanan KB. Melemahnya kegiatan advokasi juga menyebabkan

menurunnya dukungan dan partisipasi berbagai pemangku kepentingan terhadap

penyelenggaraan Pelayanan KB. Perlu dilakukan langkah-langkah terobosan yang

tajam untuk memperbaikisituasi ini.Disatu sisi, penyediaan Pelayanan KB perlu

ditingkatkan ketersediaan, keterjangkauan dan kualitasnya,sementara disisi lain

permintaan masyarakat akan Pelayanan KB juga perlu ditingkatkan.

Pelayanan KB adalah bagian dari implementasi pendekatan siklus hidup dan

prinsip continuum of care dalam upaya peningkatan derajat Kesehatan Ibu dan

Anak (KIA). Peningkatan akses dan kualitas Pelayanan KIA dimulai sejak remaja,

wanita usia subur hingga masa pra-hamil, kehamilan, persalinan dan nifas, bayi,

dan Balita. Pelayanan KB adalah salah satu bentuk upaya kesehatan promotif dan

preventif perorangan. Implementasi pendekatan life cycle dan prinsip continuum

of care dalam Pelayanan KB terlihat dari jenis pelayanan dan sasaran yang dituju.

Pelayanan KB mulai diberikan kepada remaja berupa pemberian informasi tentang

Kesehatan Reproduksi yang terintegrasi dalam Pelayanan Kesehatan Peduli

Remaja (PKPR). Untuk calon pengantin, pelayanan KB diberikan dalam bentuk

7
pemberian informasi sebagai bagian dari pelayanan kesehatan reproduksi.

Pelayanan KB kepada ibu hamil diberikan terintegrasi dengan pelayanan antenatal

dalam bentuk konseling KB pasca-persalinan, penggunaan Buku KIA, Program

Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), maupun pemberian

informasi dalam Kelas Ibu Hamil. Apabila setelah melahirkan seorang ibu belum

menggunakan kontrasepsi, maka pada saat memberikan pelayanan nifas petugas

kesehatan dapat melakukan konseling KB pasca-persalinan dan pelayanan KB

pasca-persalinan. Untuk PUS yang tidak sedang hamil Pelayanan KB diberikan

dalam bentuk konseling dan pelayanan KB dengan tujuan merencanakan dan

menjarangkan atau membatasi kehamilan.7

Tujuan umum program KB adalah membentuk keluarga kecil sesuai dengan

kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan kelahiran anak,

agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi

kebutuhan hidupnya. Tujuan lain meliputi pengaturan kelahiran, pendewasaan

usia perkawinan, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga.Sehingga

dapat disimpulkan tujuan program KB adalah memperbaiki kesehatan dan

kesejahteraan ibu, anak, keluarga dan bangsa, mengurangi angka kelahiran untuk

menaikkan taraf hidup rakyat dan bangsa, memenuhi permintaan masyarakat akan

pelayanan KB dan kesehatan remaja yang berkualitas, termasuk upaya-upaya

menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak serta penanggulangan masalah

kesehatan reproduksi. KB dapat menurunkan angka kematian ibu karena dapat

merencanakan waktu yang tepat untuk hamil, mengatur jarak kehamilan,

menentukan jumlah anak. Sehingga tidak ada kehamilan yang tidak diinginkan.

8
Terdapat tiga indikator tambahan yang berkaitan dengan KB dalam

Millenium Development Goals (MDGs) 2015 target 5b (Akses Universal terhadap

Kesehatan Reproduksi) yang diharapkan akan memberikan kontribusi dalam

upaya peningkatan kesehatan ibu. Indikator tersebut adalah Contraceptive

Prevalence Rate (CPR), Age Specific Fertility Rate (ASFR), dan unmet need.

Target nasional indikator tersebut pada tahun 2015 adalah CPR sebesar 65%,

ASFR usia 15-19 tahun sebesar 30/1000 perempuan usia 15-19 tahun dan unmet

need 5%.

Dalam upaya akselerasi pembangunan Kependudukan dan Keluarga

Berencana (KKB), dengan memperhatikan RPJMN dan Renstra BKKBN tahun

2010-2014, maka telah direvisi sasaran yang hendak dicapai pada tahun 2014.

Sasaran yang hendak dicapai pada tahun 2014 adalah TFR sebesar 2,36, CPR

sebesar 60,1% dan unmet need sebesar 6,5%. Dalam satu dekade terakhir,

keberhasilan pelayanan Keluarga Berencana di Indonesia mengalami suatu

keadaan stagnan yang ditandai dengan kurangnya perbaikan beberapa indikator

KB yaitu CPR, unmet need dan Total Fertility Rate (TFR). Tulisan ini mengkaji

situasi pelayanan KB di Indonesia, termasuk indikator-indikator tersebut, juga

perbandingan dengan negara -negara ASEAN, dalam upaya mendukung

peningkatan pelayanan KB serta kesehatan ibu dan bayi.8

Situasi KB di Indonesia Dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN8

9
Gambar 1. Jumlah WUS Indonesia Dibandingkan dengan Negara-negara
Anggota ASEAN

Berdasarkan grafik di atas dapat kita ketahui bahwa jumlah Wanita Usia

Subur (WUS) Indonesia merupakan jumlah terbesar di Asia Tenggara, kemudian

diikuti Vietnam dan Filipina. Sedangkan negara dengan jumlah WUS terendah di

Asia Tenggara adalah Timor Leste.

Gambar 2. Penggunaan Kontrasepsi di Indonesia Dibandingkan dengan


Negara-negara Anggota ASEAN

Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa angka kontrasepsi Indonesia

melebihi rata-rata penggunaan kontrasepsi di negara ASEAN.

10
Gambar 3. TFR Indonesia Dibandingkan dengan Negara-negara Anggota
ASEAN

Pada grafik di atas dapat kita ketahui bahwa angka TFR Indonesia masih

lebih rendah daripada TFR rata-rata negara ASEAN

Gambar 4. Unmet Need Indonesia Dibandingkan dengan Negara-negara


Anggota ASEAN

Kondisi unmet need ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya

kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi yang tidak aman, yang pada akhirnya

dapat menyebabkan kesakitan dan kematian ibu. Pada grafik di atas dapat kita

lihat bahwa unmet need di Indonesia lebih baik dibandingkan Kamboja, Vietnam

dan Thailand namun kurang baik dibandingkan Filipina, Laos, dan Timor Leste.

11
Angka pemakaian kontrasepsi (contraceptive prevalence rate) di Indonesia

baru mencapai 54,2% pada tahun 2006. Bila KB ini terlaksana dengan baik maka

dapat menurunkan intervensi obstetri khusus.

2. Pelayanan Antenatal9

Pelayanan antenatal sangat penting untuk mendeteksi lebih dini komplikasi

kehamilan. Selain itu, juga menjadi sarana edukasi bagi perempuan tentang

kehamilan. Komponen penting pelayanan antenatal meliputi skrining dan

pengobatan anemia, malaria, dan penyakit menular seksual, deteksi dan

penanganan komplikasi seperti kelainan letak, hipertensi, edema, dan pre-

eklampsia, penyuluhan tentang komplikasi yang potensial, serta kapan dan

bagaimana cara memperoleh pelayanan rujukan.

Malaria pada kehamilan seringkali menimbulkan komplikasi yang

berbahaya bagi ibu, janin dan bayinya. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013

bahwa proporsi ibu hamil malaria dengan pemeriksaan RDT sebesar 1,9% dimana

1,3% spesies parasit Plasmodium Falcifarum, 0,4% Plasmodium Vivax, dan 0,2%

Mix (Campuran Plasmodium Falcifarum dan Vivax). Hal ini dapat berpotensi

menyumbang kematian ibu di Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, kegiatan

yang telah dilakukan meliputi pemberian kelambu berinsektisida, skrining malaria

dengan menggunakan RDT / mikroskopis, dan pengobatan sedini mungkin bagi

ibu hamil yang positif malaria dengan menggunakan Kina/ ACT. Berdasarkan

data P2PL tahun 2013, dari 26 provinsi endemis malaria merah dan kuning

(kecuali provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan

Bali) bahwa ibu hamil yang diberikan kelambu berinsektisida sebesar 81%

12
(391.640 ibu hamil), ibu hamil yang dilakukan skrining dengan menggunakan

RDT/ Mikroskopis sebesar 74,64% (337.796 ibu hamil), ibu hamil yang positif

malaria sebanyak 940 ibu hamil dan yang diobati sebesar 744 ibu hamil. Hal ini

menunjukkan masih ada missed opportunity ibu hamil di daerah endemis malaria

merah dan kuning yang belum mendapatkan pelayanan antenatal terpadu dengan

malaria secara optimal.

Masalah lain adalah HIV pada ibu hamil, selain mengancam keselamatan

ibu juga dapat menular kepada bayinya (mother-to-child transmission). Menurut

data Kementerian Kesehatan tahun 2013, dari 100.296 ibu hamil yang menjalani

test HIV, sebanyak 3.135 (3,1%) ibu hamil dinyatakan positif HIV. Sifilis

merupakan salah satu infeksi menular seksual yang juga perlu mendapat

perhatian. Ibu hamil yang menderita sifilis berpotensi untuk melahirkan bayi

dengan sifilis kongenital. Data Kementerian Kesehatan, dari bulan Januari – Juni

2013, sebanyak 10.353 ibu hamil yang dites sifilis , sebanyak 264 (2,5%) ibu

hamil dinyatakan positif sifilis. Penyakit menular lain yang masih merupakan

masalah utama kesehatan masyarakat adalah Tuberkulosis (TB). Pada ibu hamil

TB dapat memperburuk kesehatan dan status gizi ibu, serta mempengaruhi

tumbuh kembang janindan risiko tertular pada bayinya. Penyakit kronis seperti

hipertensi, diabetes mellitus, jantung, asma berat, dan gangguan jiwa sangat

mempengaruhi kondisi kesehatan ibu, janin dan bayi baru lahir.

Penanganan penyakit kronis pada ibu hamil masih belum seperti yang

diharapkan dan datanya juga belum terekam dengan baik. Kekurangan gizi pada

ibu hamil juga masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu

13
mendapat perhatian khusus. Kurang asupan zat besi pada perempuan khususnya

ibu hamil dapat menyebabkan anemia yang akan menambah risiko perdarahan dan

melahirkan bayi dengan berat lahir rendah, prevalensi anemia pada pada ibu hamil

sekitar 37,1% (Riskesdas2013). Di samping kekurangan asupan zat besi, anemia

juga dapat disebabkan karena kecacingan dan malaria. Masalah gizi yang lain

adalah kurang energi kronik (KEK) dan konsumsi garam beryodium yang masih

rendah. Berdasarkan data Riskesdas 2013 bahwa prevalensi risiko ibu hamil KEK

sebesar 24,2%. Selain penanganan masalah kehamilan dan komplikasi yang

menyertainya, perlu diupayakan peningkatan kualitas bayi yang akan dilahirkan,

melalui kegiatan brain booster meliputi stimulasi otak janin dan asupan gizi

seimbang pada ibu hamil.

Masalah Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) merupakan masalah global

yang terkait dengan kesehatan dan hak asasi manusia. Ibu hamil yang mendapat

kekerasan secara fisik dan psikis baik dari suami maupun orang-orang terdekatnya

dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin.

Selama masa kehamilan petugas kesehatan harus memberi pendidikan pada

ibu hamil tentang cara menjaga diri agar tetap sehat dalam masa tersebut,

membantu wanita hamil serta keluarganya untuk mempersiapkan kelahiran bayi,

meningkatkan kesadaran mereka tentang kemungkinan adanya risiko tinggi atau

terjadinya komplikasi dalam kehamilan/ persalinan dan cara mengenali

komplikasi tersebut secara dini. Petugas kesehatan diharapkan mampu

mengindentifikasi dan melakukan penanganan risiko tinggi/komplikasi secara dini

serta meningkatkan status kesehatan wanita hamil.

14
Perawatan Ante Natal (ANC) adalah pemeriksaan yang sistematik dan teliti

pada ibu hamil dan perkembangan / pertumbuhan janin dalam kandungannya serta

penanganan ibu hamil dan bayinya saat dilahirkan dalam kondisi yang terbaik.

Tujuan umum ANC berupa melakukan pemenuhan hak setiap ibu hamil dengan

memperoleh pelayanan antenatal yang berkualitas sehingga mampu menjalani

kehamilan dengan sehat, bersalin dengan selamat dan melahirkan bayi yang sehat

dan berkualitas. Tujuan khusus ANC adalah menyediakan pelayanan antenatal

terpadu, komprehensif dan berkualitas, termasuk konseling kesehatan dan gizi ibu

hamil, konseling KB dan pemberian ASI, menghilangkan “missed opportunity”

pada ibu hamil dalam mendapatkan pelayanan antenatal terpadu, komprehensif,

dan berkualitas, mendeteksi secara dini kelainan/penyakit/gangguan yang diderita

ibu hamil, melakukan intervensi terhadap kelainan/penyakit/gangguan pada ibu

hamil sedini mungkin, melakukan rujukan kasus ke fasiltas pelayanan kesehatan

sesuai dengan sistem rujukan yang ada.

Indikator yang digunakan untuk menggambarkan akses ibu hamil terhadap

pelayanan antenatal adalah cakupan K1 - kontak pertama dan K4- kontak 4 kali

dengan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi, sesuai standar.

1. Kunjungan pertama (K1)

K1 adalah kontak pertama ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang

mempunyai kompetensi, untuk mendapatkan pelayanan terpadu dan komprehensif

sesuai standar. Kontak pertama harus dilakukan sedini mungkin pada trimester

pertama, sebaiknya sebelum minggu ke 8.

2. Kunjungan ke-4 (K4)

15
K4 adalah ibu hamil dengan kontak 4 kali atau lebih dengan tenaga

kesehatan yang mempunyai kompetensi, untuk mendapatkan pelayanan terpadu

dan komprehensif sesuai standar (1-1-2). Kontak 4 kali dilakukan sebagai berikut:

minimal satu kali pada trimester I(0-12 minggu), minimal satu kali pada trimester

ke2(>12 - 24 minggu), dan minimal 2 kali pada trimester ke-3 (> 24 minggu

sampai dengan kelahiran). Kunjungan antenatal bisa lebih dari 4 kali sesuai

kebutuhan dan jika ada keluhan, penyakit atau gangguan kehamilan.

3. Penanganan Komplikasi (PK)

PK adalah penanganan komplikasi kebidanan, penyakit menular maupun

tidak menular serta masalah gizi yang terjadi pada waktu hamil, bersalin dan

nifas. Pelayanan diberikan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi.

Komplikasi kebidanan, penyakit dan masalah gizi yang sering terjadi adalah:

perdarahan, preeklampsia/eklampsia, persalinanmacet, infeksi, abortus, malaria,

HIV/AIDS, sifilis, TB, hipertensi, diabetesmeliitus, anemia gizi besi (AGB) dan

kurang energi kronis (KEK).

Dalam pelayanan antenatal terpadu, tenaga kesehatan harus dapat

memastikan bahwa kehamilan berlangsung normal, mampu mendeteksi dini

masalah dan penyakit yang dialami ibu hamil, melakukan intervensi secara

adekuat sehingga ibu hamil siap untuk menjalani persalinan normal. Setiap

kehamilan, dalam perkembangannya mempunyai risiko mengalami penyulit atau

komplikasi. Oleh karena itu, pelayanan antenatal harus dilakukan secara rutin,

sesuai standar dan terpadu untuk pelayanan antenatal yang berkualitas. Pelayanan

16
antenatal terpadu merupakan pelayanan kesehatan komprehensif dan berkualitas

yang dilakukan melalui:

a. Pemberian pelayanan dan konseling kesehatan termasuk stimulasidan

gizi agar kehamilan berlangsung sehat dan janinnya lahir sehat dan

cerdas

b. Deteksi dini masalah, penyakit dan penyulit/komplikasi kehamilan

c. Penyiapan persalinan yang bersih dan aman

d. Perencanaan antisipasi dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika

terjadi penyulit/komplikasi.

e. Penatalaksanaan kasus serta rujukan cepat dan tepat waktu bila

diperlukan

f. Melibatkan ibu hamil, suami dan keluarganya dalam menjaga kesehatan

dan gizi ibu hamil, menyiapkan persalinan dan kesiagaan bila terjadi

penyulit/komplikasi.

Dalam melakukan pemeriksaan antenatal, tenaga kesehatan harus

Memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai standar terdiri dari:

1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan

Penimbangan berat badan pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan

untuk mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan janin. Penambahan berat badan

yang kurang dari 9 kilogram selama kehamilan atau kurang dari 1 kilogram setiap

bulannya menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan janin. Pengukuran tinggi

badan pada pertama kali kunjungan dilakukan untuk menapis adanya faktor risiko

17
pada ibu hamil. Tinggi badan ibu hamil kurang dari 145 cm meningkatkan risiko

untuk terjadinya CPD (Cephalo Pelvic Disproportion)

2. Ukur Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan

untuk mendeteksi adanya hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg) pada

kehamilan dan preeklampsia (hipertensi disertai edema wajah dan atau tungkai

bawah; dan atau proteinuria)

3. Nilai status Gizi (Ukur lingkar lengan atas /LiLA)

Pengukuran LiLA hanya dilakukan pada kontak pertama oleh tenaga

kesehatan di trimester I untuk skrining ibu hamil berisiko KEK. Kurang energi

kronis disini maksudnya ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi dan telah

berlangsung lama (beberapa bulan/tahun) dimana LiLA kurang dari 23,5 cm. Ibu

hamil dengan KEK akan dapat melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR).

4. Ukur Tinggi fundus uteri

Pengukuran tinggi fundus pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan

untuk mendeteksi pertumbuhan janin sesuai atau tidak dengan umur kehamilan.

Jika tinggi fundus tidak sesuai dengan umur kehamilan, kemungkinan ada

gangguan pertumbuhan janin. Standar pengukuran menggunakan pita pengukur

setelah kehamilan 24 minggu.

5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ)

Menentukan presentasi janin dilakukan pada akhir trimester II dan

selanjutnya setiap kali kunjungan antenatal. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk

mengetahui letak janin. Jika, pada trimester III bagian bawah janin bukan kepala,

18
atau kepala janin belum masuk ke panggul berarti ada kelainan letak, panggul

sempit atau ada masalah lain. Penilaian DJJ dilakukan pada akhir trimester I dan

selanjutnya setiap kali kunjungan antenatal. DJJ lambat kurang dari 120 kali/menit

atau DJJ cepat lebih dari 160 kali/menit menunjukkan adanya gawat janin.

6. Skrining Status Imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus

Toksoid (TT) bila diperlukan

Untuk mencegah terjadinya tetanus neonatorum, ibu hamil harus mendapat

imunisasi TT. Pada saat kontak pertama, ibu hamil diskrining status imunisasi T-

nya. Pemberian imunisasi TT pada ibu hamil, disesuaikan dengan status imunisasi

T ibu saat ini. Ibu hamil minimal memiliki status imunisasi T2 agar mendapatkan

perlindungan terhadap infeksi tetanus. Ibu hamil dengan status imunisasi T5

(TTLong Life) tidak perlu diberikan imunisasi TT lagi. Pemberian imunisasi TT

tidak mempunyai interval maksimal, hanya terdapat interval minimal. Interval

minimal pemberian imunisasi TT dan lama perlindungannya dapat dilihat pada

tabel berikut:

Selang waktu minimal


Imunisasi TT Lama Perlindungan
pemberian imunisasi
Langkah awal
pembentukan kekebalan
TT1
tubuh terhadap penyakit
tetanus
TT2 1 bulan setelah TT1 3 tahun
TT3 6 bulan setelah TT2 5 tahun
TT4 12 bulan setelah TT3 10 tahun
TT5 12 bulan setelah TT4 ≥25 tahun

19
7. Beri Tablet tambah darah (tablet besi)

Untuk mencegah anemia gizi besi, setiap ibu hamil harus mendapat tablet

tambah darah (tablet zat besi)dan Asam Folat minimal 90 tablet selama kehamilan

yang diberikan sejak kontak pertama.

8. Periksa laboratorium (rutin dan khusus)

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada ibu hamil adalah

pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus. Pemeriksaan laboratorium rutin

adalah pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan pada setiap ibu hamil

yaitu golongan darah, hemoglobin darah, dan pemeriksaan spesifik daerah

endemis/epidemi (malaria, HIV, dll). Sementara pemeriksaan laboratorium khusus

adalah pemeriksaan laboratorium lain yang dilakukan atas indikasi pada ibu hamil

yang melakukan kunjungan antenatal. Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada

saat antenatal tersebut meliputi:

a. Pemeriksaan golongan darah

Pemeriksaan golongan darah pada ibu hamil tidak hanya untuk mengetahui

jenis golongan darah ibu melainkan jugauntuk mempersiapkan calon pendonor

darah yang sewaktu-waktu diperlukan apabila terjadi situasi kegawatdaruratan.

b. Pemeriksaan kadar Hemoglobin darah (Hb)

Pemeriksaan kadar hemoglobin darah ibu hamil dilakukan minimal sekali

pada trimester pertama dan sekali pada trimester ketiga. Pemeriksaan ini ditujukan

untuk mengetahui ibu hamil tersebut menderita anemia atau tidak selama

kehamilannya karena kondisi anemia dapat mempengaruhi proses tumbuh

20
kembang janin dalam kandungan. Pemeriksaan kadarhemoglobin darah ibu hamil

pada trimester kedua dilakukan atas indikasi.

c. Pemeriksaan protein dalam urin

Pemeriksaan protein dalam urin pada ibu hamil dilakukan pada trimester

kedua dan ketiga atas indikasi. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui

adanya proteinuria pada ibu hamil. Proteinuria merupakan salah satu indikator

terjadinya pre-eklampsia pada ibu hamil.

d. Pemeriksaan kadar gula darah.

Ibu hamil yang dicurigai menderita diabetes melitus harus dilakukan

pemeriksaan gula darah selama kehamilannya minimal sekali pada trimester

pertama, sekali pada trimester kedua, dan sekali pada trimester ketiga.

e. Pemeriksaan darah Malaria

Semua ibu hamil di daerah endemis Malaria dilakukan pemeriksaan darah

Malaria dalam rangka skrining pada kontak pertama. Ibu hamil di daerah non

endemis Malaria dilakukan pemeriksaan darah Malaria apabila ada indikasi.

f. Pemeriksaan tes Sifilis

Pemeriksaan tes sifilis dilakukan di daerah dengan risiko tinggi dan ibu

hamil yang diduga menderita sifilis. Pemeriksaaan sifilis sebaiknya dilakukan

sedini mungkin pada kehamilan.

g. Pemeriksaan HIV

Di daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, tenaga kesehatan di

fasilitas pelayanan kesehatan wajib menawarkan tes HIV kepada semua ibu hamil

secara inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan

21
antenatal atau menjelang persalinan. Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran

tes HIV oleh tenaga kesehatan diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB

secara inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan

antenatal atau menjelang persalinan.

Teknik penawaran ini disebut Provider Initiated Testing and Councelling

(PITC) atau Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling

(TIPK).

h. Pemeriksaan BTA

Pemeriksaan BTA dilakukan pada ibu hamil yang dicurigai menderita

tuberkulosis sebagai pencegahan agar infeksi tuberkulosis tidak mempengaruhi

kesehatan janin. Selain pemeriksaaan tersebut diatas, apabila diperlukan dapat

dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya di fasilitas rujukan. Mengingat kasus

perdarahan dan preeklamsi/eklamsi merupakan penyebab utama kematian ibu,

maka diperlukan pemeriksaan dengan menggunakan alat deteksi risiko ibu hamil

oleh bidan termasuk bidan desa meliputi alat pemeriksaan laboratorium rutin

(golongan darah, Hb), alat pemeriksaan laboratorium khusus (gluko-protein urin),

dan tes hamil.

Berdasarkan hasil pemeriksaan antenatal di atas dan hasil pemeriksaan

laboratorium, setiap kelainan yang ditemukan pada ibu hamil harus ditangani

sesuai dengan standar dan kewenangan tenaga kesehatan. Kasus-kasus yang tidak

dapat ditangani dirujuk sesuai dengan sistem rujukan.

22
3. Persalinan yang bersih dan aman

Fokus asuhan persalinan normal adalah persalinan bersih dan aman serta

mencegah terjadinya komplikasi. Hal ini merupakan pergeseran paradigma dari

menunggu terjadinya dan kemudian menangani komplikasi, menjadi pencegahan

komplikasi. Persalinan bersih dan aman serta pencegahan komplikasi selama dan

pasca persalinan terbukti mampu mengurangi kesakitan atau kematian ibu dan

bayi baru lahir.

Persalinan yang bersih dan aman memiliki tujuan memastikan setiap

penolong kelahiran/persalinan mempunyai kemampuan, ketrampilan, dan alat

untuk memberikan pertolongan yang bersih dan aman, serta memberikan

pelayanan nifas pada ibu dan bayi. Dalam persalinan wanita harus ditolong oleh

tenaga kesehatan profesional yang memahami cara menolong persalinan secara

bersih dan aman, tenaga kesehatan juga harus mampu mengenali secara dini

gejala dan tanda komplikasi persalinan serta mampu melakukan penatalaksanaan

dasar terhadap gejala dan tanda tersebut, tenaga kesehatan harus siap untuk

melakukan rujukan komplikasi persalinan yang tidak dapat diatasi ke tingkat

pelayanan

yang lebih mampu.

Sebagian besar komplikasi obstetri yang berkaitan dengan kematian ibu

tidak dapat dicegah dan diramalkan, tetapi dapat ditangani bila ada pelayanan

yang memadai. Kebanyakan pelayanan obstetri esensial dapat diberikan pada

tingkat pelayanan dasar oleh bidan atau dokter umum. Akan tetapi, bila

komplikasi yang dialami ibu tidak dapat ditangani di tingkat pelayanan dasar,

23
maka bidan atau dokter harus segera merujuk dengan terlebih dahulu melakukan

pertolongan pertama. Dengan memperluas berbagai pelayanan kesehatan ibu

sampai ke tingkat masyarakat dengan jalur efektif ke fasilitas rujukan, keadaan

tersebut memastikan bahwa setiap wanita yang mengalami komplikasi obstetri

mendapat pelayanan gawat darurat secara cepat dan tepat waktu.

4. Pelayanan obstetri esensial

Memastikan bahwa tempat pelayanan kesehatan dapat memberikan

pelayanan obstetri untuk risiko tinggi dan komplikasi tersedia bagi ibu hamil yang

membutuhkan.

Pelayanan obstetri esensial bagi ibu yang mengalami kehamilan risiko tinggi

atau komplikasi diupayakan agar berada dalam jangkauan setiap ibu hamil.

Pelayanan obstetri esensial meliputi kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan

‘untuk melakukan tindakan dalam mengatasi risiko tinggi dan komplikasi

kehamilan/persalinan.

Pelayanan obstetri esensial pada hakekatnya adalah tersedianya pelayanan

secara terus menerus dalam waktu 24 jam untuk bedah cesar, pengobatan penting

(anestesi, antibiotik, dan cairan infus), transfusi darah, pengeluaran plasenta

secara manual, dan aspirasi vakum untuk abortus inkomplet. Tanpa peran serta

masyarakat, mustahil pelayanan obstetri esensial dapat menjamin tercapainya

keselamatan ibu. Oleh karena itu, diperlukan strategi berbasis masyarakat yang

meliputi: Melibatkan anggota masyarakat, khususnya wanita dan pelaksanaan

pelayanan setempat, dalam upaya memperbaiki kesehatan ibu, bekerjasama

dengan masyarakat, wanita, keluarga, dan dukun untuk mengubah sikap terhadap

24
keterlambatan mendapat pertolongan, menyediakan pendidikan masyarakat untuk

meningkatkan kesadaran tentang komplikasi obstetri serta kapan dan dimana

mencari pertolongan.

25
BAB III

KESIMPULAN

Berbagai upaya terus diusahakan dalam rangka menurunkan angka kema-

tian ibu. Salah satunya adalah mengimplementasikan program Safe Motherhood.

tujuan upaya Safe Motherhood adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian

ibu hamil, bersalin, nifas, dan menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi

baru lahir.

26

Anda mungkin juga menyukai