Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM

MIKROTEKNIK
VIABILITAS POLEN

OLEH :
kelompok Formatted: Indonesian

ATIQA ZHAFIRA SYAHPUTRI RINALDI (1410422024) Formatted: Left

RIZNA WITA (1410421002) Commented [AA1]: Tolong dirapi kan

Formatted: Indent: Left: 0.69", First line: 0"

Formatted: Indonesian
LABORATORIUM STRUKTUR PERKEMBANGAN TUMBUHAN
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2017
Kata pengantar
Daftar isi Formatted: Indonesian

1. Pengamatan anatomi daun


2. Pengamatan stomata
3. Pengamatan kromosom
4. Pengamatan anatomi kayu
5. Pengamatan pollen
6. Daftar pustaka Formatted: Numbered + Level: 1 + Numbering Style: 1, 2,
3, … + Start at: 1 + Alignment: Left + Aligned at: 0.25" +
Indent at: 0.5"
Commented [AA2]: pembatas
1. Pengamatan anatomi daun Formatted: Font: 20 pt
Formatted: Centered, Outline numbered + Level: 1 +
Numbering Style: 1, 2, 3, … + Start at: 1 + Alignment: Left +
Aligned at: 0.5" + Indent at: 0.75"
Formatted: Font: 20 pt
1.1 pendahuluan Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt, Bold
Formatted: List Paragraph, Outline numbered + Level: 2 +
1.2 metode Numbering Style: 1, 2, 3, … + Start at: 1 + Alignment: Left +
Aligned at: 0.5" + Indent at: 0.75"
1.3 hasil
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt, Bold
Formatted: List Paragraph, Outline numbered + Level: 2 +
Numbering Style: 1, 2, 3, … + Start at: 1 + Alignment: Left +
Aligned at: 0.5" + Indent at: 0.75"
Commented [AA3]: page 4 3 3 2,5
2.Pengamatan stomata Formatted: Font: 24 pt
Formatted: Centered, Outline numbered + Level: 1 +
Numbering Style: 1, 2, 3, … + Start at: 1 + Alignment: Left +
Aligned at: 0.5" + Indent at: 0.75"
Formatted: Font: 24 pt
2.1 Latar belakang Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt, Bold

Respirasi merupakan kebutuhan setiap makhluk hidup. Pada tumbuhan terdapat Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt
Formatted: Normal, Indent: Left: 0.5", Line spacing: 1.5
stomata yang berperan sebagai alat respirasi. Stomata merupakan derivat lines, No bullets or numbering

epidermis. Stomata merupakan celah diantara epidermis yang diapit oleh 2 sel
epidermis khusus yang disebut sel penutup. Di dekat sel penutup terdapat sel-sel
yang mengelilinginya disebut sel tetangga. Sel penutup dapat membuka dan
menutup sesuai dengan kebutuhan tanaman akan transpirasinya, sedangkan sel-
sel tetangga turut serta dalam perubahan osmotik yang berhubungan dengan
pergerakan sel – sel penutup. Stomata terdapat pada semua bagian tumbuhan
yang terdedah ke udara, tetapi lebih banyak terdapat pada daun (Pandey, 1982).
Stomata berperan penting bagi kehidupan tumbuhan, karena pori Formatted: Normal, Indent: Left: 0.5", First line: 0.5", Line
spacing: 1.5 lines, No bullets or numbering
stomata merupakan tempat terjadinya pertukaran gas dan air antara atmosfer
dengan sistem ruang antar sel yang berada pada jaringan mesofil di bawah
epidermis (Mulyani, 2006). Stomata berperan penting dalam proses fotosintesis,
karena proses terjadinya fotosintesis pada tumbuhan berada di stomata. Keadaan
stomata pada tumbuhan dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor-faktor internal meliputi ukuran daun, tebal tipisnya daun,
ada tidaknya lapisan lilin pada permukaan daun, banyak sedikitnya bulu pada
permukaan daun dan lain-lain. Sedangkan faktor-faktor eksternal seperti suhu,
intensitas cahaya, kelembapan udara, kandungan air dan lain-lain
(Dwidjoseputro, 1978).
Tipe stomata pada daun sangat bervariasi. Berdasarkan hubungan stomata Formatted: Normal, Indent: Left: 0.5", Line spacing: 1.5
lines, No bullets or numbering
dengan sel epidermis sel tetangga ada banyak tipe stomata, Klasifikasi ini
terpisah dari klasifikasi berdasarkan perkembangan. Walaupun tipe yang berbeda
dapat terjadi pada satu familia yang sama ataudapat juga pada daun dari spesies
yang sama. Struktur aparatus stomata dapat digunakan dalam studi taksonomi
(Fahn, 1991).
Mikroteknik secara umum didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari
metode pembuatan preparat mikroskopis, baik preparat hewan maupun
tumbuhan, menganalisis preparat mikroskopis dan melakukan mikrometri, serta
membahas manfaat preparat bagi perkembangan keilmuan dan dukungan
terhadap kehidupan manusia. Sedangkan mikroteknik tumbuhan merupakan
teknik dalam pembuatan preparat mikroskopis tumbuhan (Arimurti, 2001).
Berdasarkan latar belakang diatas maka dilakukan praktikum ini untuk
mengetahui struktur stomata dan cara preparasi stomata untuk pengamatan
dibawah mikroskop.
2.2 Tujuan Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt
Formatted: List Paragraph, Outline numbered + Level: 2 +
Adapun tujuan praktikum ini yaitu untuk mengetahui struktur stomata dan Numbering Style: 1, 2, 3, … + Start at: 1 + Alignment: Left +
metode-metode pengamatan stomata. Aligned at: 0.5" + Indent at: 0.75"
Formatted: Normal, Indent: Left: 0.5", No bullets or
numbering
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt,
2.3 metode Indonesian
Formatted: Indent: Left: 0.75", Space After: 0 pt, Line
Praktikum Mikroteknik Stomata dilakukan pada hari jumat tanggal 6 Oktober 2017, spacing: 1.5 lines, No bullets or numbering

bertempat di Laboratorium Struktur Perkembangan Tumbuhan, Jurusan Biologi, Formatted: List Paragraph, Outline numbered + Level: 2 +
Numbering Style: 1, 2, 3, … + Start at: 1 + Alignment: Left +
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Padang. Adapun alat yang digunakan Aligned at: 0.5" + Indent at: 0.75"
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt, Bold
pada praktikum mikroteknik stomata adalah kaca objek, cover glass, pipet tetes,
mikroskop, tissue, lakban dan alat tulis, sedangkan bahan yang dibutuhkan yaitu daun
dan kutek bening.

Metode yang digunakan pada praktikum ini, yaitu:

1. Metode Whole mount


Daun diambil dari tangkainyaPermukaan bagian bawah daun disayat tipis secara Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt
Formatted: Normal, No bullets or numbering
paradermal dan diletakkan pada object glass serta ditutup dengan cover glass
- Preparat diamati dibawah mikroskop Commented [AA4]: di kalimatkan

2. Metode Jiplakan
- Kuteks bening dioleskan pada permukaan bawah daun secukupnya.
- Kuteks ditunggu sampai kering
- Selotip digunting dan ditempelkan pada olesan kuteks yang telah kering
sebelumnya
- Selotip ditarik dan hasil jiplakan diletakkan pada object glass
- Hasil jiplakan diamati dibawah mikroskop
2.4 HASIL DAN diskusi Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt

Formatted: List Paragraph, Left, Indent: Left: 0.75"


Formatted: Indonesian

Tabel 1. Hasil Pengamatan Cetakan Stomata

Gambar 3, Stomata pada daun apa; keterangan A. Metode whoule mount, b. Metode
cetakan, Commented [AA5]: tambah skala bar pada foto dan keterangan
yg mana stomata dan bagian-bagian lainnya

Dari gambar 3. Dapat dibandingkan bahwa .....

Kekurangan dan kelebihan dari metode whoule mout

Kekurangan dan kelebihan dari metode cetakan Formatted: Indonesian

Pada pengamatan stomata terlihat adanya sel penjaga serta stoma. Adapun tipe stomata
yang terlihat yaitu anomositik dimana stomata dikelilingi tiga sel penjaga yang sama
ukurannya. Selain itu, pada praktikum ini digunakan dua metode dalam pengamatan
stomata, yaitu metode whole mount dan metode cetakan. Pada pengamatan stomata
dengan metode whole mount terlihat stomata cukup jelas namun pada beberapa sisi sel
stomata masih tertutupi jaringan epidermis. Hal ini disebabkan sayatan yang tidak
merata dan kurang tipis. Adapun pada pengamatan stomata dengan metode cetakan
dengan menggunakan kuteks, stomata terlihat lebih jelas dibandingkan dengan metode
whole mount. Hal ini karena kuteks mampu mengikat lapisan epidermis sehingga saat
dilapisi lakban epidermis terangkat dan stomata dapat diamati.

Menurut
Menurut Khoiroh, Harijati dan Mastuti (2014), pengamatan stomata dengan
menggunakan metode cetakan dan metode whole mount memiliki kelebihan dan
kekurangan tersendiri. Pada tumbuhan yang memiliki stomata yang rapat, metode
cetakan cukup baik dalam pengamatan stomata namun kurang sesuai digunakan untuk
mendapatkan cetakan epidermis dan stomata. Hal ini dikarenakan terkait metode
printing untuk mendapatkan cetak epidermis dan stomata dimana tebal dan tipis olesan
cairan pencetak (kuteks atau gelatin) akan mempengaruhi hasil cetakan. Oleh karena itu
ke depannya lebih baik digunakan metode whole mount untuk mendapatkan preparat
permukaan daun. Selain itu, untuk keakuratan data untuk cetak epidermis dan
penghitungan stomata dilakukan dengan cara mengoles tiga daun yang berbeda tiap
ulangan dan percetak epidermis dihitung kerapatannya pada tiga bidang pandang yang
berbeda ketika dilakukan penghitungan di bawah mikroskop. Selain jumlah stomata juga
dapat diukur lebar bukaan stomata, serta lebar dan panjang stomata.

Whole mounth merupakan metode pembuatan preparat yang nantinya akan Formatted: Justified

diamati dengan mikroskop tanpa didahului adanya proses pemotongan. Jadi pada metode
ini, preparat yang diamati adalah preparat yang utuh baik itu berupa sel, jaringan, organ
maupun individu. Gambar yang dihasilkan oleh preparat whole mounth ini terlihat
dalam wujud utuhnya seperti ketika organisme tersebut masih hidup sehingga
pengamatan yang dapat dilakukan hanya terbatas terhadap morfologi secara umum saja.
Metode pembuatan preparat yang digunakan untuk pengamatan secara menyeluruh,
artinya mempelajari struktur vegetatif dan reproduktifnya tanpa melakukan penyayatan
terhadap tanaman tersebut karena metode ini menggunakan semua bagian tanaman
sebagai preparatnya (Kartasaputra, 1998).

2.5 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang didapat pada penelitian ini adalah

1. tipe stomata yang ditemukan pada daun Alstonia scholaris yaitu anomositik.
2. Pengamatan stomata dengan metode cetakan menghasilkan cetakan yang lebih
baik dan jelas untuk pengamatan stomata dibandingkan metode whole mount

2.6 Saran

Adapun saran pada praktikum ini diharapkan praktikum dirancang dengan baik dengan
menambahkan beberapa parameter seperti jumlah stomata dan lebar stomata agar
menambah informasi terkait stomata daun yang diamati.
Formatted: Font: 16 pt
3. Pengamatan kromosom
Formatted: Centered, Outline numbered + Level: 1 +
Numbering Style: 1, 2, 3, … + Start at: 1 + Alignment: Left +
Aligned at: 0.25" + Indent at: 0.5"
3.1 Latar belakang Formatted: Normal, No bullets or numbering
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt
Kromosom adalah suatu struktur makromolekul yang berisi DNA di mana informasi
genetik dalam sel disimpan. Masitah (2008) menjelaskan bahwa kromosom adalah
susunan beraturan yang mengandung DNA yang berbentuk seperti rantai panjang. Setiap
kromosom dalam genom biasanya dapat dibedakan satu dengan yang lainnya oleh
beberapa kriteria, termasuk panjang relatif kromosom, posisi suatu struktur yang disebut
sentromer yang memberi kromosom dalam dua tangan yang panjangnya berbeda-beda,
kehadiran dan posisi bidang (area) yang membesar yang disebut knot (tombol) atau
kromomer. Selain itu, adanya perpanjangan arus pada terminal dan material kromatin
yang disebut satelit, dan sebagainya.

Sebagian besar sel bereproduksi secara aseksual, yaitu tanpa terjadinya


pertukaran atau pemerolehan informasi hereditas baru. Sebagian besar sel yang
membentuk tubuh organisme eukarriota multiseluler juga bereproduksi secara aseksual
dalam suatu proses yang dikenal sebagai mitosis. Selama pembelahan mitosis, sel akan
tumbuh, menduplikasi genomnya, memisahkan kromosom yang telah berduplikasi ke
kutub-kutub sel yang berlawanan, dan membagi sitoplasma sehingga terbentuklah sel
anakan (William D. Stanfield dkk,2003) .

Mitosis adalah pembelahan sel yang terjadi secara tidak langsung. Hal ini
dikarenakan pada pembelahan sel secara mitosis terdapat adanya tahapan-tahapan
tertentu. Tahapan-tahapan (fase-fase) yang terdapat pada pembelahan mitosis ini
meliputi: profase, metafase, anafase, dan telofase. P sel paling banyak dijumpai pada
bagian akar yaitu ujung akar. Pada mitosis, bahan inti sel terbagi sedemikian rupa
sehingga dari satu sel dihasilkan dua buah sel anakan. Mitosis merupakan alat untuk
duplikasi teratur (dalam fase S) dan pemisahan (pada anafase) kromosom. Biasanya,
mitosis diikuti dengan pembelahan sel yang disebut dengan sitokenesis dimana sel akan
terpisah menjadi dua (Kimball, 1999).

Prinsip mitosis terletak pada tingkah laku kromosom selama berkembang.


Adapun kromosom merupakan benda-benda dalam inti sel yang hanya dapat terlihat
pada waktu sel membelah diri karena dapat mengikuti zat warna tertentu. kromosom
mempunyai kemampuan menduplikasikan diri dengan membentuk kromosom-
kromosom baru yang serupa dengan kromosom semula, selanjutnya kromosom-
kromosom ini akan diberikan ke sel anak. Jaringan yang mudah untuk ditelah mitosis
ialah mensistem pada titik tumbuhan akar bawang mewarnainya dengan zat pewarna
yang sesuai akan tampak kromosom-kromosom dalam sel-sel yang membelah dari.
Semua mahluk hidup di susun oleh sel akan tetapi jumlah dan ukuran sel yang dimiliki
oleh setiap jenis mahluk hidup sudah tentu memiliki pebedaan-perbadaan adanya
perbedaan ini kita dapatkan makluk hidup yang besar, kecil bahkan mikroskopis seperti
jamur dan protozoa. Pertumbuhan dan perkembangan setiap organisme tergantung pada
pertumbuhan dan perkembangan sel-sel yang di milikinya secara terus menerus dalam
proses pembelahan sel biasanya kita melihat adanya benang-benang. Pada mitosis
bahkan inti sal terbagi sedemikian rupa sehingga suatu sel dihasilkan dan dua buah sel
anaknya yang masing-masing memiliki sifat genetik sama, mitosis berlangsung pada
semua sel, kecuali pada sel-sel yang akan menjadi sel kelamin (Khayasar. 2012).

Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan praktikum ini untuk mengetahui


teknik preparasi dalam pengamatan mitosis yang terjadi pada sel meristematik, yaitu
ujung akar bawang merah (Allium ascalonicum).

3.2 Tujuan Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt


Formatted: Outline numbered + Level: 2 + Numbering
Adapun tujuan praktikum ini yaitu untuk mengetahui proses pengamatan mitosis pada Style: 1, 2, 3, … + Start at: 2 + Alignment: Left + Aligned at:
akar bawang dan mengetahui fase-fase mitosis. 0" + Indent at: 0.25"

3.3 Metode Formatted: Indonesian

Praktikum Mikroteknik Tumbuhan “Mitosis” dilakukan pada hari jumat tanggal 27


Oktober 2017, bertempat di Laboratorium Struktur Perkembangan Tumbuhan, Jurusan
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Padang.

Adapun alat yang dibutuhkan dalam pengamatan mitosis pada akar bawang Formatted: Indent: First line: 0.5"

merah, yaitu Mikroskop, gelas objek, cover glass, jarum, petridis, bunsen, silet dan tisu.
Adapun bahan yang digunakan yaitu akar bawang merah (Allium ascalonicum), larutan
carnois, HCl, asam asetat, dan acetoarcein

Allium cepa (bawang merah) dipilih dengan kualitas yang baik untuk dikecambahkan.
akar Allium cepa (bawang merah) dikecambahkan pada media tumbuh yang dibuat dari
gelas air mineral yang sudah tidak terpakai yang sudah diisi dengan air dengan cara
menusuk bawang merah dengan lidi dan dibiarkan menggantung diatas permukaan air
selama beberapa hari. Akar Allium cepa (bawang merah) yang sudah tumbuh dipotong
dengan panjang ± 1cm. Potongan akar difiksasi dalam larutan yang berisi alkohol
absolute dan asam asetat glacial dengan perbandingan 3:1 kemudian memasukkannya ke
dalam refrigerator selama 2-3 jam. Potongan akar Allium cepa (bawang merah) dicuci
dengan air sebanyak 3 kali.

Untuk pembuatan preparat dilakukan dengan cara mengambil potongan ujung akar
bawang merah (Allium cepa) dari botol ampul denagn pinset. Kemudian
memindahkannya kedalam gelas arloji dan menambahkan alkohol 70 % dan dibiarkan
terendam selama 2 menit. Potongan akar Allium cepa (bawang merah) dicuci dengan air
sebanyak 3 kali. Potongan akar Allium cepa (bawang merah) diwarnai dengan
acetoarsein dan ditunggu selama 3 menit. Kemudian potongan akar Allium cepa
(bawang merah) yang telah diwarnai dicuci dengan air sebanyak 3 kali. Memotong
ujung akar yang berwarna merah tua kemudian diletakkan pada gelas benda. Menekan
sediaan hingga diperoleh lapisan yang tipis. Mengamatinya di bawah mikroskop.

3.5 hasil dan diskusi

Formatted: Font:
Formatted: Justified, Line spacing: Multiple 1.15 li

Gambar Commented [AA6]: samakan dengan yg diatas


Formatted: Indonesian

Pada gambar yang ditampilkan pada tabel, terlihat bahwa tidak ada fase yang terlihat
pada sel akar bawang yang telah dimaserasi. Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan
preparat gagal. Adapun kegagalan dapat terjadi karena akar bawang yang digunakan
sudah terlalu tua sehingga sel sudah tidak aktif lagi membelah. Beberapa kesalahan
lainnya yaitu pengamatan tidak dilakukan pada ujung akar sehingga tidak terlihat proses
pembelahan pada inti sel karena sebagaimana yang diketahui bahwa sel meristematik
terdapat pada ujung akar. Selain itu pencacahan tidak maksimal sehingga sel masih
bertumpuk dan inti sel tidak dapat diamati dengan jelas.

Menurut Wahyuni dan Kandari (2014), beberapa faktor yang menyebabkan


percobaan ini tidak dapat menemukan secara jelas proses mitosis, faktor pertama adalah
pada teknik squash yang dilakukan. Untuk dapat menghasilkan percobaan yang baik
memang diperlukan teknik squash yang tepat yakni harus ditekan hingga sangat tipis
namun tidak diperbolehkan juga terlalu keras karena dapat menyebabkan sel mengalami
kerusakan. Sedangkan hal yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan kualitas
gambar adalah keterbatasan alat yang digunakan baik kualitas mikroskop, kurangnya
perbesaran, maupun camera yang digunakan untuk mengambil gambar.

Pada mitosis setiap induk yang diploid (2n) akan menghasilkan dua buah sel
anakan yang masing-masing tetap diploid serta memiliki sifat keturunan yang sama
dengan sel induknya. Proses terjadinya mitosis terbagi ke dalam 5 fase, yaitu interfase,
profase, metafase, anafase dan telofase. Interfase adalah fase dimana inti sel nampak
keruh dan nampak benang-benang kromatin yang halus, kromosom yang diduplikasi
pada fase S belum terlihat secara individual karena belum. Profase adalah fase dimana
benang- benang kromatin memendek dan menebal, terbentuklah kromosom. Proses
terjadinya fase profase ditandai dengan hilangnya nucleus dan diganti dengan mulai
tampaknya pilinan-pilinan kromosom yang terlihat tebal. Metaphase merupakan tahap
kromosom menempatkan diri di bidang tengah dari sel. Ciri utama fase ini adalah
terbentuknya gelendong pembelahan, gelendong pembelahan ini dibentuk oleh
mikrotubula.Pada fase anafase, sentromer membelah dan kedua kromatid memisahkan
diri dan bergerak menuju kutub dari sel yang berlawanan. Tiap kromatid hasil
pembelahan itu memiliki sifat yang sama dengan sel induknya, sejak saat itu kromatid-
kromatid tersebut menjadi kromosom baru. Telofase merupakan tahap terakhir saat
nukleus-nukleus anakan terbentuk dan sitokinesis telah dimulai. Dengan ciri dimana
di tiap kutub sel terbentuk stel kromosom yang identik. Selaput gelendong inti lenyap
dan dinding inti terbentuk lagi. Kemudian plasma sel terbagi lagi menjadi dua bagian,
proses tersebut dikenal sebagai sitokinesis. Pada sel tumbuhan sitokinesis ditandai
dengan terbentuknya dinding pemisah di tengah- tengah sel (Campbell, 2010).
4.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan praktikum ini tidak ditemukan tahapan mitosis pada sel akar
bawang karena kesalahan dalam pembuatan preparat. Kesalahan dapat terjadi karena
akar yang dibawa terlalu tua, pencacahan yang kurang maksimal sehingga hasil yang
didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan

4.2. Saran

Diharapkan pada pengamatan ini untuk membawa akar yang muda, karena sel pada akar
muda cenderung sedang aktif membelah. Selain itu, pahami cara kerja dan lakukan
pencacahan secara maksimal agar tahapan fase mitosis dapat terlihat pada sel yang
dimaserasi
Formatted: Indonesian
Formatted: List Paragraph, Left
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Proses polinasi dan fertilisasi merupakan tahapan yang sangat penting pada reproduksi
seksual tumbuhan Spermatophyta. Keberhasilan polinasi akan diikuti dengan
pembentukan buluh serbuk sari yang berfungsi membawa gamet jantan menuju kantung
embrio tempat berkembangnya gamet betina. Pada tumbuhan berbunga perkecambahan
serbuk sari secara in vivo terjadi di kepala putik (stigma) (Tjitrosoepomo, 1991). Setelah
serbuk sari kontak dengan kepala putik, serbuk sari akan membesar karena
mengabsorbsi cairan pada permukaan kepala putik. Dinding lapisan dalam (intin) beserta
protoplasma serbuk sari akan menonjol membentuk buluh melalui apertura yang biasa
disebut lubang perkecambahan (germ pore). Buluh tersebut akan memanjang dan
mencari jalan melalui jaringan-jaringan pada kepala putik dan tangkai putik hingga
memasuki kantung embrio yang berada di dalam bakal biji (ovulum). Di dalam kantung
embrio tepatnya di dalam sel sinergid, buluh serbuk sari akan pecah dan membebaskan
inti sperma. Jika tidak ada hambatan, selanjutnya akan terjadi proses fertilisasi
(Budiawati, 2014).
Perkecambahan serbuk sari merupakan tahap yang sangat peka terhadap
pengaruh kondisi lingkungan. Menurut Darjanto dan Siti Satifah (1984) banyak fakta
yang menunjukkan adanya kegagalan polinasi dan fertilisasi pada cuaca yang kurang
baik, misalnya hujan. Selain dipengaruhi oleh faktor luar, kualitas serbuk sari juga
dipengaruhi oleh umurnya. Makin tua umur serbuk sari makin lamban
perkecambahannya dan tabung serbuk sari yang terbentuk akan lebih pandek. Pada
umumnya serbuk sari setelah lepas dari antera hanya bertahan hidup satu atau beberapa
hari saja sebelum dapat mencapai kepala putik yang reseptif (Swamy dan
Krishnamurthy, 1980; Lestern, 2004). Untuk mengetahui apakah serbuk sari masih
hidup atau tidak, perlu dilakukan uji viabilitas. Menurut Tuinstra dan Wadel (Lyra et. al.
2011) uji viabilitas serbuk sari dapat dilakukan dengan teknik pewarnaan atau dengan
mengecambahkan serbuk sari secara in vitro. Teknik pewarnaan bertujuan untuk
memastikan aktivitas. enzim dan kekuatan membran serbuk sari. Sedangkan dengan
mengecambahkan serbuk sari secara in vitro dapat diketahui kemampuan serbuk sari
berkecambah pada kondisi tertentu (Budiawati, 2014).
Viabilitas serbuk sari sangat di pengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu
dan kelembapan. Seiring dengan lamanya penyimpanan serbuk sari viabilitas serbuk sari
juga akan menurun (Widiastuti, 2008). Serbuk sari dinyatakan viable apabila mampu
menunjukkan kemampun atau fungsinya menghantarkan sperma ke kandung lembaga,
setelah terjadinya penyerbukan. Serbuk sari dapat kehilangan viabilitasnya pada suatu
periode waktu tertentu. Hilangnyaa viabilitas sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan, terutama suhu dan kelembaban relative. Serbuk sari segar menunjukkan
kemampuan berkecambah 85-90% (Issirep et al, 1995).
Terdapat dua metode yang sering digunakan untuk melihat viabilitas polen yaitu
metode Hanging Drop dan pewarnaan. Menurut Tuinstra dan Wadel (Lyra et. al. 2011)
uji viabilitas serbuk sari dapat dilakukan dengan teknik pewarnaan atau dengan
mengecambahkan serbuk sari secara in vitro. Teknik pewarnaan bertujuan untuk
memastikan aktivitas. enzim dan kekuatan membran serbuk sari. Sedangkan dengan
mengecambahkan serbuk sari secara in vitro dapat diketahui kemampuan serbuk sari
berkecambah pada kondisi tertentu.
Salah satu tumbuhan yang dikenal sebagai obat tradisional adalh tumbuhan
dengan nama latin Hippobroma longiflora (L.) G.Don di Indonesia tanaman ini sering
disebut dengan ki tolod atau bunga katakarak sesuai dengan khasiatnya yang dapat
mengobati penyakit mata. Kitolod merupakan salah satu tanaman yang banyak dijumpai
di Indonesia serta pembudidayaannya cukup mudah cukup dengan menjaga
kelembabannya dengan cara menyiram tanaman ini (Ali, 2003). Selain menjaga
kelembaban dapat juga dilakukan pembudidayaan menggunakan biji dimana pada
prinsipnya tidak berbeda jauh dari tanaman semusim lainnya, seperti bayam atau
kangkung. Oleh sebab itu pemupukan kitolod harus menggunakan pupuk dasar yang
berupa pupuk humus atau pupuk organik (Ali, 2003). Hal tersebut membuat kitolod
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai pengobatan tradisional untuk
mengobati gangguan mata, seperti mata gatal, mata berair, bahkan untuk pengobatan
katarak (Dalimartha, 2008). Mudahnya tumbuhan kitolod untuk berkembang biak
dipengaruhi oleh kelembapan dimana ia tumbuh, hal ini karena kelambapan berkaitan
dengan viabilitas polen yang dimiliki tumbuhan kitolod. Pada praktikum ini akan
dilakukan pengujian terhadap viabilitas dari polen Hippobroma longiflora (L.) dengan
menggunakan metode Hanging drop atau secara invitro.
1.2 Tujuan Praktikum
Adapaun tujuan dari praktikum adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui metode dan prosedur menguji viabilitas polen dengan metode
Hanging Drop
2. Mengetahui kecepatan yang diperlukan polen (Hippobroma longiflora (L.)
G.Don) untuk berkecambah.
3. Menghitung Viabilitas polen (Hippobroma longiflora (L.) G.Don.
II. PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum Viabilitas polen dilakukan pada hari Selasa tanggal 3 Oktober 2017,
bertempat di Laboratorium Struktur Perkembangan Tumbuhan, Jurusan Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

3.2 Alat dan Bahan


Adapun alat yang digunakan pada paraktikum viabilitas polen adalah kaca objek
cekung, cover glass, pipet tetes, mikroskop, tissue, stopwatch, alat tulis, sedangkan
bahan yang dibutuhkan yaitu larutan pemicu perkecambahan (100 ml air, 10 gr
sukrosa, 10 ml gram asam borat, 20 mg MgSo4, 20 mg Potasium nitrat ), vasellin dan
Bunga Hippobroma longiflora (L.) G.Don yang baru mekar.

3.3 Cara Kerja


Metode yang digunakan yaitu metode Hanging drop dengan langkah sebagai berikut
- Setelah dibuat larutan pemicu perkecambahan, kemudian diteteskan larutan
diatas Cover glass sebanyak dua tetes.
- Kotak polen diambil dari bunga segar dan dipecahkan di atas cover glass yang
telah di bubuhi larutan tadi.
- Pada kaca objek cekung, bubuhi tepi-tepi cekungan dengan vasellin agar
coverglass menempel dengan baik ke kaca objek.
- Cover glass yang berisi polen tadi diletakkan di atas lengkungan kaca objek
dengan posisi polen menghadap sisi cekungan kaca objek.
- Diamati pertumbuhan kecampah polen setiap 5 menit dengan menggunakan
mikroskop cahaya

3.4 Analisis Data


Menghitung viabilitas polen dengan rumus :

Jumlah polen berkecambah


𝑉iabilitas = 𝑥 100 %
Total polen pada bidang
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Hasil Pengamatan germinasi polen pada beberapa waktu


No Gambar Germinasi Polen Waktu (menit)
1. 10-13 menit

Ctt : Polen mulai


berkecambah setelah
10 menit polen diberi
larutan pemicu
perkecambahan
2. 24 menit

3. 54 menit
4. 72 menit

Ctt : Setelah 72 menit


polen berhenti
kecambah

Menghitung Viabilitas polen


Jumlah polen berkecambah
𝑉iabilitas = 𝑥 100 %
Total polen pada bidang

Jumlah polen berkecambah = 94


Total polen pada bidang = 105

94 butir polen
𝑉iabilitas = 𝑥 100 % = 89 %
105 butir polen

Dari tabel 1 diatas menunjukkan perkembangan tabung polen sejak pertama kali polen
ditetesi larutan pemicu perkecambahan, dimana tabung polen mulai tumbuh setelah 10
menit dan berhenti berkecambah setelah 72 menit dengan waktu pengamatan total
selama 120 menit. Tabung polen muncul pada salah satu aperture pada polen. Tumbuhan
Hippobroma longiflora (L.) G.Don memiliki tiga aperture pada permukaan polennya.
Dilihat dari viabilitas polennya yaitu 89 % menunjukkan polen
Hippobroma longiflora (L.) G.Don memiliki viabilitas yang tinggi. Menurut Lubis
(1993) serbuk sari dikatakan memiliki viabilitas rendah jika persentasenya dibawah
60%. Serbuk sari yang viabel ditandai dengan munculnya buluh serbuk sari dengan
panjang yang sama atau lebih panjang dari diameter serbuk sari (Shivanna dan
Rangaswamy, 1992). Serbuk sari yang tidak viabel ditandai dengan serbuk sari tidak
mampu membentuk buluh atau membentuk buluh, tetapi panjang buluhnya kurang dari
diameter serbuk sari. Viabilitas polen di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu
lingkungan, waktu lama penyimpanan polen, dan lainnya (ulfah, 2016).
Pada praktikum ini pengambilan bunga dilakukan pada waktu pagi atau bunga
baru saja mekar, hal ini menunjukkan bahwa waktu penyimpanan polen singkat atau
pada saat bunga siap untuk polinasi dan fertilisasi sehingga polen memiliki viabilitas
yang tinggi. Hal ini juga terjadi pada spesies tumbuhan Vinca rosea dimana serbuk sari
pada bunga yang hampir mekar dan baru mekar memiliki viabilitas yang tinggi
dibanding bunga yang mekarnya telah lama (budiwati, 2014). Serbuk sari merupakan
jaringan hidup yang dapat mengalami kemunduran dan kematian. Daya hidup serbuk
sari berbeda pada setiap spesies, dari beberapa jam, beberapa bulan, hingga beberapa
tahun. Lama simpan serbuk sari dapat ditingkatkan dengan mengendalikan faktor-faktor
yang mempengaruhi viabilitasnya. Faktor ini mencakup cahaya, suhu, udara, dan
kelembaban (Galetta, 1983).
Dilihat dari tingkat viabilitas polen yang tinggi, hal ini dapat menjadi salah satu
ciri bahwa tumbuhan ini mudah untuk tumbuh dan berbunga dikarenakan potensi
viabilitas polen yang banyak menandakan bahwa potensi untuk terjadi fertilisasi akan
semakin tinggi, serta potensi tumbuhan ini untuk menyebar atau tumbuh subur juga akan
semakin tinggi, sehingga tumbuhan ini dapat dikatakan tumbuhan gulma. Menurut
Wijayakusuma (1996), Kitolod (Hippobroma longiflora) merupakan salah satu jenis
tanaman liar dan tumbuh di pinggir-pinggir selokan, disela-sela bebatuan yang lembab,
bahkan di areal tanaman hias dan sering dianggap sebagai gulma. Keberhasilan
penyerbukan sangat dipengaruhi oleh kualitas bunga betina dan bunga jantan (serbuk
sari). Keberhasilan penyerbukan ini tampak dari jumlah buah dan kualitas benih yang
dihasilkan (Buana et al., 1994). Jumlah buah yang tinggi dapat dicapai jika pada saat
bunga betina mekar, terdapat serbuk sari yang viabel dalam jumlah cukup, sehingga
semua bunga dapat diserbuki. Di samping itu viabilitas serbuk sari juga dapat
mempengaruhi viabilitas benih yang dihasilkan. Serbuk sari dengan viabilitas tinggi
akan lebih dahulu membuahi sel telur, serta menghasilkan buah bermutu baik dan benih
berviabilitas tinggi (Widiastuti, 2008).

1V. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Pada bunga Hippobroma longiflora (L.) G.Don dimana tabung polen mulai
tumbuh setelah 10 menit dan berhenti berkecambah setelah 72 menit dengan
waktu pengamatan total selama 120 menit.
2. Viabilitas polennya yaitu 89 % menunjukkan polen Hippobroma longiflora (L.)
G.Don memiliki viabilitas yang tinggi.
4.2 Saran
Adapun saran pada praktikum ini diharapkan praktikum dirancang dengan baik dengan
cara menambah parameter waktu perbungaannya yaitu sebelum mekar , baru mekar dan
beberapa lama setelah mekar. Sehingga dapat diketahui pengaruh lamanya penyimpanan
terhadap polen.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, I. 2003, Khasiat & Manfaat Kitolod Penakluk Gangguan Pada Mata, Agromedia
Pustaka, Depok.

Buana, L., T. Hutomo, Dan M. Chairani. 1994. Faktor Penentu Viabilitas Benih Kelapa
Sawit. Bulletin Ppks 2 (2): 71-76.

Budiawati, 2014. Pemanfaatan Pekecambahan Serbuk Sari Tapak Dara (Vinca Rosea
L.) Secara In Vitro Sebagai Alternatif Bahan Praktikum Biologi Perkembangan.
Jurnal Pendidikan Matematika Dan Sains (1).

Dalimarta, S. 2008, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid 5, Pustaka Bandung, Jakarta.
Darjanto Dan Siti Satifah. 1984. Pengetahuan Dasar Biologi Bunga Dan Teknik
Penyerbukan Silang. Jakarta: Gramedia.

Galletta, G.J. 1983. Pollen And Seed Management, P. 23-35. In: J.N. Moore And J.
Janick (Eds.). Methods In Fruit Breeding. Purdue Univ. Press, West Lafayette,
Ind.

Issirep, S., Sumardi Dan Siti, S. 1995. Pengawetan Serbuk Sari Salak Secara In Vivo.
Jurusan Botani Fakultas Biologi Vol 1.

Lersten, N.R. 2004. Flowering Plant Embryology With Emphasis On Economic Species.
Iowa: Blackwell Publishing.

Lubis, U.A. 1993. Pedoman Pengadaan Benih Kelapa Sawit. Pematang Siantar: Pusat
Penelitan Kelapa Sawit.

Lyra,D.H., Sampalo, L.S., Paraira, D.A., Silva, A.P. And C.L.F. Amaral. 2011. Pollen
Viabillity And Germination In Jatropa Ribifolia And Jatropa Mollissima
(Euphorbiaceae): Species With Potential For Biofuel Production. African Journal
Of Biotechnology Vol 10(3), Pp.368-374.

Shivanna, K.R. Dan N. S. Rangaswamy, 1992. Pollen Biology A Laboratory Manual.


Berlin, Springs-Verlag. Hlm.119.

Swamy, B.G.L. And K.V. Krishnamurthy. 1980. Form Flower To Fruit (Embryology Of
Flowering Plants). New Delhi: Tata Mc. Graw Hill Publishing Company
Limited.

Tjitrosoepomo, C., 1991. Taksonomi Tumbuhan. Gajah Mada Universy Press,


Yogyakarta

Ulfah S.M, Dorly, Dan S. Rahayu. 2016. Perkembangan Bunga Dan Uji Viabilitas Serbuk Sari
Bunga Lipstik Aeschynanthus Radicans Var. 'Monalisa' Di Kebun Raya Bogor. Buletin
Kebun Raya 19 (1) : 21-32.

Widiastuti, A. Dan E. R. Palupi. 2008. Viabilitas Serbuk Sari Dan Pengaruhnya


Terhadap Keberhasilan Pembentukan Buah Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis
Jacq.) Biodiversitas 1(9):35-38.

Wijayakusuma, H., Dalimartha, S., Dan Wirian, A., 1996, Tanaman Berkhasiat Obat Di
Indonesia, Jilid Ke-4, Pustaka Kartini, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai