Anda di halaman 1dari 22

Daftar Isi

ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL............................................................................. 2


Sinus Maksila ............................................................................................................................................ 2
Sinus Frontal ............................................................................................................................................. 3
Sinus Etmoid ............................................................................................................................................. 3
Sinus Sfenoid ............................................................................................................................................ 4
Rhinosinusitis............................................................................................................................................ 6
1.1 Definisi.......................................................................................................................................... 6
Rhinosinusitis Akut..................................................................................................................................... 7
1.1 Definisi.......................................................................................................................................... 7
2.1 Epidemiologi ................................................................................................................................. 8
3.1 Etiologi.......................................................................................................................................... 8
4.1 Patofisiologi ................................................................................................................................ 11
5.1 Manifestasi Klinis ....................................................................................................................... 11
6.1 Diagnosis..................................................................................................................................... 12
7.1 Penatalaksanaan .......................................................................................................................... 14
Daftar Pustaka ............................................................................................................................................. 22

1
ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL

Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus
sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung.

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus
maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari dari
sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus
ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.
Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu
menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung.

Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.

Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila
yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding
inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum etmoid.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi
molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi
gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.

2
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik,
lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah
bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah
ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitus.
Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal
dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai
berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan
dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukurannya
sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya
bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya gambaran septumn-septum atau lekuk-
lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan
oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal
mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontal. Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.

Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada
orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya
dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5
cm di bagian posterior.

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang
terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding
medial orbita, karenanya seringkali disebut sel-sel etmoid. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara
4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior
yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior.
Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka
media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya
dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.

3
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal,
yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa.
Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari
rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatsan dengan sinus sfenoid.

Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid
dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn tingginya,
dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid.1,2

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa,
sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan
a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan
fosa serebri posterior di daerah pons.

Kompleks Ostio-Meatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit
dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di
belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila.

4
Gambar 1 : sinus paranasal12

Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada
yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya
sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Namun ada beberapa pendapat yang dicetuskan
mengenail fungsi sinus paranasal yakni :

1.1 Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)


Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban
udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran
udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak
mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
2.1 Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

3.1 Membantu keseimbangan kepala


Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi,
bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat
sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.

5
4.1 Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas
suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan
sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi
suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
5.1 Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak misalnya pada
waktu bersin atau membuang ingus

6.1 Membantu produksi mukus


Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan
partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus
medius, tempat yang paling strategis.

Rhinosinusitis

1.1 Definisi

Rhinosinusitis pada orang dewasa didefinisikan sebagai:


Peradangan hidung dan sinus paranasal yang ditandai oleh dua gejala atau lebih, salah
satunya termasuk hidung tersumbat atau obstruksi atau kongesti disertai nyeri wajah dan/atau
penurunan sensitivitas pembau. Pada endoskopi didapatkan pula tanda-tanda seperti polip nasal,
dan/atau mucopurulent discharge dari meatus media, dan/atau edema/ obstruksi mukosa pada
meatus media.

Rhinosinusitis pada anak didefinisikan sebagai:

Peradangan hidung dan sinus paranasal yang ditandai oleh dua gejala atau lebih, dimana
salah satunya selalu ada blokade daerah nasal atau obstruksi, atau kongesti atau nasal discharge
(anterior/posterior nasal drip), serta dapat disertai nyeri wajah dan batuk. Pada endoskopi
didapatkan polip nasal, dan/atau mucopurulent discharge dari meatus media, dan/atau edema/
obstruksi mukosa pada meatus media.

6
2.1 Tingkat keparahan penyakit pada anak dan dewasa

3.1 Durasi penyakit pada anak dan dewasa


 Akut < 12 minggu
 Kronik >12 minggu

Rhinosinusitis Akut

1.1 Definisi
Rinosinusitis akut pada dewasa didefinisikan sebagai onset tiba-tiba pada dua
gejala atau lebih dimana salah satunya termasuk hidung tersumbat atau obstruksi atau
kongesti disertai nyeri wajah dan/atau penurunan sensitivitas pembau. Lama <12 minggu;
dengan interval bebas gejala jika masalahnya berulang, dengan validasi melalui telepon
atau wawancara.
Rinosinusitis akut pada anak didefinisikan sebagai onset tiba-tiba pada dua gejala
atau lebih dimana salah satunya termasuk hidung tersumbat atau obstruksi atau kongesti
atau discoloured nasal discharge, serta batuk (pada siang dan malam hari), Lama <12
minggu; dengan interval bebas gejala jika masalahnya berulang, dengan validasi melalui
telepon atau wawancara.

7
2.1 Epidemiologi

Gambar 1: Epos 2012

Belum ada data epidemiologi khusus mengenai sinusitis secara nasional di Indonesia.
Namun, data terbaru berdasarkan Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) menurut diagnosis tenaga kesehatan dan gejala di Indonesia adalah sebesar
9,3%.[15] Kemungkinan kejadian sinusitis belum dilaporkan secara baik atau belum
diklasifikasikan terpisah dari ISPA pada survei kesehatan nasional.

Sebuah penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan di tahun 2010 menunjukkan adanya
96 kasus yang ditangani sebagai sinusitis. Pasien paling banyak pada kelompok usia 40-49 tahun
dan lebih banyak pasien berjenis kelamin wanita (60,4%).

3.1 Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis
terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti
deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osti-meatal (KOM), infeksi tonsil,
infeksi gigi, kelainan imunologik, diskenesia silia seperti pada sindrom Kartgener, dan di luar
negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal
yang timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat sinus.

8
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu
dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya.
Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.

Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta
kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.

Penyebab sinusitis dibagi menjadi:

1. Rhinogenik
Penyebab kelainan atau masalah di hidung. Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan
pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip,
diaviasi septum dan lain-lain. Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena
terjadi edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak menyebabkan
infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus
seterusnya berulang.
2. Dentogenik/odontogenik
Penyebab oleh karena adanya kelainan gigi. Sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi
pada gigi geraham atas (premolar dan molar). Bakteri penyebab adalah Streptococcus
pneumoniae, Hemophilus influenza, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus,
Branchamella catarhalis dan lain-lain.
Penyebab yang yang cukup sering terjadinya sinusitis adalah disebabkan oleh adanya
kerusakan pada gigi.

 Sinusitis Dentogen
Merupakan penyebab paling sering terjadinya sinusitis kronik. Dasar sinus maksila
adala prosessus alveolaris tempat akar gigi, bahkan kadang-kadang tulang tanpa pembatas.
Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi gigi apikal akar gigi, atau inflamasi jaringan
periondontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan
limfe. Harus dicurigai adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang
mengenai satu sisi dengan ingus yang purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati
sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut dan dirawat, pemberian antibiotik yang
mencakup bakteria anaerob. Seringkali juga diperlukan irigasi sinus maksila.

9
 Sinusitis Jamur
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang
jarang ditemukan. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya pemakaian antibiotik,
kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis jamur antara lain diabetes mellitus, neutopenia, penyakit
AIDS dan perawatan yang lama di rumah sakit. Jenis jamur yang sering menyebabkan
infeksi sinus paranasal ialah spesis Aspergillus dan Candida.
Perlu di waspadai adanya sinusitis jamur paranasal pada kasus seperti berikut :
Sinusitis unilateral yang sukar sembuh dengan terapi antibiotik. Adanya gambaran
kerusakkan tulang dinding sinus atau adanya membran berwarna putih keabu-abu pada
irigasi antrum. Para ahli membagikan sinusitis jamur terbagi menjadi bentuk yang invasif
dan non-invasif. Sinusitis jamur yang invasif dibagi menjadi invasif akut fulminan dan
invasif kronik indolen. Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur ke jaringan dan
vaskular. Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, pasien dengan
imunosupresi seperti leukemia atau neutropenia, pemakain steroid yang lama dan terapi
imunosupresan. Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah meyebabkan penyebaran
jamur menjadi sangat cepat dan merusak dinding sinus, jaringan orbita dan sinus
kavernosus. Di kavum nasi, mukosa konka dan septum warna biru-kehitaman dan ada
mukosa konka atau septum yang nekrotik. Sering kali berakhir dengan kematian.
Sinusitis jamur inavasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan ganguan
imunologik atau metabolik seperti diabetes. Bersifat kronik progresif dan bisa menginvasi
sampai ke orbita atau intrakranial, tetapi gejala klinisnya tidak sehebat gejala klinis pada
fulminan kerana perjalanan penyakitnya berjalan lambat. Gejala-gejalanya sama seperti
sinusitis bakterial, tetapi sekret hidungnya kental dengan bercak-bercak kehitaman yang
bila dilihat dengan mikroskop merupakan koloni jamur. Sinusitis jamur non-invasif, atau
misetoma, merupakan kumpulan jamur di dalam ronggasinus tanpa invasi ke mukosa dan
tidak mendestruksi tulang. Sering mengenai sinus maksila. Gejala klinik merupai sinusitis
kronik berupa rinore purulen, post nasal drip, dan napas bau. Kadang-kadang ada massa
jamur di kavum nasi. Pada operasi bisa ditemukan materi jamur berwarna coklat kehitaman
dan kotor dengan atau tanpa pus di dalam sinus.

10
4.1 Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel
respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous
superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh
bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan
mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan.

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu
apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan
terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan
cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi
mukus yang kurang baik pada sinus. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan
dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan, akan saling bertemu sehingga silia tidak dpat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini boleh dianggap sebagai
rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam waktu beberapa hari tanpa pengobatan.

Bila kondisi ini menetap, sekret yang dikumpul dalam sinus merupakan media baik untuk
pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai
rinosinusitis aku bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa
patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan
kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan
menyebabkan sinusitis.

5.1 Manifestasi Klinis


Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai dengan nyeri/rasa tekanan
pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai
dengan gejala sistemik seperti demam dan lesu.

Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut,
serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain) . nyeri pipi menandakan

11
sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoida,
nyeri di dahi atau kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis maksila kadang-kadang
terdapat nyeri alih ke gigi dan telinga. Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis,
post-nasal drip yang dapat menyebabkan batuk dan sesak pada anak.

6.1 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior, dan posterior, pemeriksaan naso-
endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya
pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan ethmoid anterior dan frontal) atau di meatus
superior (pada sinusitis ethmoidalis posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema
dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan pada kantus medius.
Infectious Diseases Society of America (IDSA) 2012 menentukan diagnosa berdasarkan tabel
gejala dibawah ini dimana rinosinusitis dapat ditegakkan jika didapatkan setidaknya 2 gejala
mayor atau 1 gejala mayor dan lebih dari sama dengan 2 gejala minor.

IDSA Guideline for ABRS 2012

Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT-Scan. Foto polos posisi
Waters, PA, lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus
maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan,air-fluid level , atau penebalan mukosa.
Rontgen sinus dapat menunjukkan kepadatan parsial pada sinus yang terlibat akibat

12
pembengkakan mukosa atau dapat juga menunjukkan cairan apabila sinus mengandung pus.
Pilihan lain dari rontgen adalah ultrasonografi terutama pada ibu hamil untuk menghindari paparan
radiasi.

Gambar 2: Foto rontgen sinus yang menunjukkan air-fluid level pada sinus etmoid

CT-Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai secara
anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
perluasannya. CT scan mampu memberikan gambaranyang bagus terhadap penebalan mukosa,
air-fluid level, struktur tulang, dan kompleks osteomeatal. Namun karena mahal hanya dikerjakan
sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronis yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-
operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.

MRI sinus lebih jarang dilakukan dibandingkan CT scan karena pemeriksaan ini tidak
memberikan gambaran terhadap tulang dengan baik. Namun, MRI dapat membedakan sisa mukus

13
dengan massa jaringan lunak dimana nampak identik pada CT scan. Oleh karena itu, MRI akan
sangat membantu untuk membedakan sinus yang terisi tumor dengan yang diisi oleh sekret.

Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Hal ini
lebih mudah diamati bila sinusitis terjadi pada satu sisi wajah,karena akan nampak perbedaan
antara sinus yang sehat dengan sinus yang sakit. Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan karena
sangat terbatas kegunaannya. Endoskopi nasal kaku atau fleksibel dapat digunakan untuk
pemeriksaan sinusitis. Endoskopi ini berguna untuk melihat kondisi sinus ethmoid yang
sebenarnya, mengkonfirmasi diagnosis, mendapatkan kultur dari meatus media dan selanjutnya
dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. Ketika dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari
kontaminasi dari hidung, kultur meatus media sesuai dengan aspirasi sinus yang mana merupakan
baku emas. Karena pengobatan harus dilakukan dengan mengarah kepada organisme penyebab,
maka kultur dianjurkan.

7.1 Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung pada etiologi dari gejala rhinosinus. Tujuan terapi sinusitis adalah:

a) Mempercepat penyembuhan,
b) Mencegah komplikasi
c) Mencegah perubahan menjadi kronik.
Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus
pulih alami.

Medika Mentosa

1. Kebanyakan infeksi sinus akut disebabkan oleh virus, di mana mayoritas pasien dapat
membaik dalam 2 minggu tanpa pengobatan antibiotik.
2. Gejala awal dari infeksi saluran pernapasan atas dapat diobati dengan obat-obatan lokal
atau obat-obatan over-the-counter (OTC).
3. Irigasi dengan larutan salin normal direkomendasikan.
4. Dekongestan topikal, seperti oxymetazoline, dikombinasikan dengan dekongestan oral,
seperti pseudoephedrine, dapat membantu hidung tersumbat dan untuk drainase. Pasien
dinasihatkan tidak menggunakan vasokonstriktor nasal topikal untuk jangka masa yang
panjang karena adanya risiko rinitis medikamentosa. Drainase medis dicapai dengan

14
vasokonstriktor topikal dan sistemik. Vasokonstriktor alpha-adrenergik per oral termasuk
pseudoefedrin dan fenilefrin bisa digunakan selama 10-14 hari untuk mengembalikan
fungsi mukosiliar dan drainase menjadi normal. Vasokonstriktor alpha-adrenergik per oral
bisa menyebabkan hipertensi dan takikardi, maka mereka dikontraindikasikan pada pasien
dengan penyakit kardiovaskular. Obat ini juga dikontraindikasikan pada atlit yang mau
berkompetisi karena peraturan pertandingannya. Vasokonstriktor topikal (Oxymetazoline
hydrochloride) membantu drainase menjadi baik, tetapi harus digunakan maksimal 3-5
hari, dengan peningkatan risiko rebound congestion, vasodilatasi dan rinitis
medikamentosa bila digunakan untuk periode yang lama.
5. Untuk rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri didapatkan dari komunitas
(community-acquired bakteri), antibiotik mengurangi durasi penyakit dan membantu
membasmi infeksi. Berdasarkan uji klinis, amoksisilin, doxycycline, atau trimethoprim-
sulfametoksazol merupakan antibiotik yang disukai dan direkomendasikan selama 10
sampai 14 hari. Pilihan lain termasuk macrolide seperti azitromisin atau klaritromisin, atau
sefalosporin generasi kedua/ketiga. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan
pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa
serta membuka sumbatan ostium sinus. Pada sinusitis, antibiotik diberikan selama 10-14
hari meskipun gejala klinik sudah hilang.
Antibiotik harus disediakan untuk pasien dengan gejala yang disebabkan oleh
bakteri. Namun, gejala rinosinusitis bakteri biasanya tidak berbeda dari yang disebabkan
oleh virus. Simptom yang menunjukkan rinosinusitis bakteri termasuk demam, malaise
seluruh badan dan sakit kepala pada bagian frontal unilateral. Selain itu rinosinusitis bakteri
juga merupakan tanda komplikasi dini dan terjadi pada pasien berisiko (immunodeficiency,
usia lanjut, dll). Infeksi bakteri harus dipertimbangkan jika gejala memburuk atau gagal
untuk membaik dalam 7-10 hari. Karena adanya peningkatan resistensi penisilin pada
bakteri patogen utama pada rinosinusitis, jadi pemilihan antibiotik harus dipertimbangkan.
Pada pasien yang tidak beresiko resisten, amoksisilin merupkan terapi lini pertama.
Alternatif lini pertama yang lain termasuk trimethoprimsulfamethoxazole atau
doxycycline.

6. Flurokuinolon mungkin juga berguna, tetapi belum disetujui untuk populasi anak.
Penggunaan selama 10 hari dapat memberikan pemberantasan 90 %.

15
7. Jika tidak ada perbaikan gejala klinis seperti penurunan batuk, penurunan nanah hidung,
resolusi demam atau berkurangnya hidung tersumbat, standar pendekatan adalah dengan
antibiotik lini kedua dengan spektrum yang lebih luas dan diberikan lebih lama. Jika
responnya kurang pada antibiotik lini pertama, maka antibiotik harus beralih ke cakupan
yang lebih luas. Antibiotik lini kedua termasuk amoksisilin-asam klavulanat, sefalosporin
dan makrolida.
8. Respons klinis dan pengobatan biasanya tergantung individual.
9. Parameter praktis oleh Joint Task Force on Practice Parameters for Allergy and
Immunology menetapkan penilaian respons gejala setelah 3-5 hari terapi dan diteruskan
untuk tambahan 7 hari jika ada perbaikan. Namun, jika tiada respon, antibiotik seharusnya
ditukar.
10. Tambahan steroid hidung dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan lebih tinggi.
Kortikosteroid yang digunakan intranasal bisa efektif dengan melemahkan respon
inflamasi, meskipun pada saat ini manfaat mereka masih tidak menyakinkan. Penggunaan
kortikosteroid sistemik mungkin memiliki kelebihan dibandingkan dengan penggunaan
intranasal, seperti tingkat terapeutik yang tinggi dan tidak ada risiko pelepasan buruk
disebabkan oleh penyumbatan hidung. Review Cochrane baru-baru ini yang mengenai
terapi kortikosteroid sistemik untuk rinosinusitis akut, melaporkan obat ini mempunyai
efek mengguntungkan jangka pendek.
11. Pengobatan tambahan lainnya termasuk mucoevacuants untuk menipis sekresi lendir. Ini
termasuk guaifenesin dan kalium iodida. Golongan mukolitik (guaifenesin) secara teori
mempunyai manfaat seperti menipiskan sekresi mukus dan memperbaiki drainase. Ia
jarang digunakan untuk praktek klinis pengobatan sinusitis akut.
12. Belum data tersedia yang menunjukkan bahwa antihistamin bermanfaat pada sinusitis akut.
Antihistamin mungkin berbahaya karena ia mengeringkan membran mukus dan
menurunkan klirens sekresi. Antihistamin bermanfaat untuk mengurangkan obstruksi
ostiomeatal pada pasien dengan alergi dan sinusitis akut; tetapi ia tidak direkomendasikan
untuk penggunaan rutin pada pasien sinusitis akut. Antihistamin mungkin memburukkan
drainase dengan terjadinya penebalan dan tertumpuknya(pooling) sekresi sinonasal.
Antihistamin tidak diberikan rutin karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan

16
sekret menjadi lebih kental. Bila ada alergi berat, sebaiknya diberikan antihistamin generasi
kedua.
13. Peran antibiotik pada rinosinusitis kronis(CRS) masih dipertanyakan. Pada penyakit ini
sangat penting untuk mengidentifikasikan faktor penyebab seperti rinitis alergi, kelainan
struktur, immunodeficiency, asap tembakau dan faktor lingkungan atau kerja. Menurut
Kelompok Kerja 2008 tentang CRS pada Dewasa, antibiotik harus disediakan untuk pasien
dengan sinus drainase yang purulen. Lama pengobatan antibiotik masih kontroversial, tapi
pengobatan antibiotik untuk jangka panjang selama 3-6 minggu mungkin lebih efektif
daripada jangka waktu yang lebih pendek. Seperti pada rinosinusitis akut, perawatan lain
termasuk steroid topikal dan irigasi sinus. Steroid oral jangka pendek mungkin bermanfaat
dalam mengobati CRS terutama CRSwNP(chronic rhinosinusitis with nasal polyps).
Evaluasi lebih lanjut diperlukan pada pasien yang gagal terapi medis dan mungkin
memerlukan intervensi bedah.
14. Pada AFRs(allergic fungal rhinosinusitis), operasi biasanya diperlukan untuk menegakkan
diagnosis dan menghapuskan mukus yang menebal. Setelah intervensi bedah, diberikan
kortikosteroid oral yang biasanya ditampering off secara bertahap ke dosis terendah yang
diperlukan untuk mengendalikan simptom. Selain itu, semprotan hidung kortikosteroid
topikal digunakan untuk mengendalikan peradangan.
15. Pengobatan antibiotik kronis mungkin memerlukan cakupan anaerobik, seperti
klindamisin, amoksisilin/klavulanat, metronidazole yang dikombinasikan dengan
macrolide, atau moksifloksasin. Lamanya pengobatan adalah 4 sampai 6 minggu. 7
16. Pasien sinusitis dengan penyebabnya dental atau mereka dengan discharge yang berbau
busuk, pengobatan anaerobik diperlukan dengan menggunakan klindamisin atau
amoksisilin dengan metronidazole.
17. Pasien dengan sinusitis nosokomial akut memerlukan pengobatan intravena yang adekuat
untuk organisme gram negatif. Antibiotik aminoglikosida biasanya merupakan drug of
choice karena mempunyai cakupan yang baik pada gram negatif dan penetrasi sinus.
Seleksi antibiotik biasanya berdasarkan hasil kultur yang diambil dari sekresi maksila.
18. Selain dari pembedahan, komplikasi sinusitis akut ditangani dengan antibiotik intravena.
Sefalosporin generasi ketiga (cefotaxime, ceftriaxone) dengan kombinasi vancomycin
yang memberikan penetrasi intrakranial yang adekuat, merupakan pilihan pertama.

17
19. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.
Non Medika Mentosa

1. Pembedahan umumnya dicadangkan untuk pasien dengan kelainan anatomi dan hanya
setelah terapi medis maksimal gagal. Kriteria mutlak untuk operasi meliputi setiap
perluasan infeksi atau adanya tumor di rongga hidung atau sinus. Indikasi relatif termasuk
sinusitis bakteri akut berulang, obstruksi oleh poliposis hidung, rinosinusitis kronis yang
tidak responsif terhadap pengobatan dan penyakit penyerta seperti asma yang recalcitrant.
Kerjasama yang erat dengan otolaryngologist berpengalaman sangat penting dalam kasus-
kasus yang sulit. Bedah sinus endoskopi fungsional(BSEF/FESS) merupakan operasi
terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan
hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan
dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.
2. Jika perlu, dapat diberikan terapi seperti analgetik, pencucian rongga hidung dengan NaCl
atau pemanasan (diatermi).1
Selain itu, simptomnya juga dapat dikurangkan dengan humidifikasi/vaporizer, kompresi hangat,
hidrasi yang adekuat dan nutrisi seimbang.

Pencegahan

1. Menghindari penularan infeksi saluran pernapasan atas dengan menjaga kebiasaan cuci
tangan yang ketat dan menghindari orang-orang yang menderita pilek atau flu .
2. Disarankan mendapatkan vaksinasi influenza tahunan untuk membantu mencegah flu dan
infeksi berikutnya dari saluran pernapasan bagian atas .
3. Obat antivirus untuk mengobati flu, seperti zanamivir (Relenza), oseltamivir (Tamiflu),
rimantadine (Flumadine) dan amantadine (Symmetrel), jika diambil pada awal gejala,
dapat membantu mencegah infeksi .
4. Dalam beberapa penelitian, lozenges seng karbonat telah terbukti mengurangi durasi gejala
pilek.
5. Pengurangan stres dan diet yang kaya antioksidan terutama buah-buahan segar dan sayuran
berwarna gelap, dapat membantu memperkuat sistem kekebalan tubuh .
6. Rencana serangan alergi musiman .

18
a. Jika infeksi sinus disebabkan oleh alergi musiman atau lingkungan, menghindari
alergen sangat penting. Jika tidak dapat menghindari alergen, obat bebas atau obat
resep dapat membantu. OTC antihistamin atau semprot dekongestan hidung dapat
digunakan untuk serangan akut.
b. Orang-orang yang memiliki alergi musiman dapat mengambil obat antihistamin yang
tidak sedasi(non sedative) selama bulan musim-alergi.
c. Hindari menghabiskan waktu yang lama di luar ruangan selama musim alergi. Menutup
jendela rumah dan bila mungkin, pendingin udara dapat digunakan untuk menyaring
alergen serta penggunaan humidifier juga dapat membantu.
d. Suntikan alergi, juga disebut "imunoterapi", mungkin efektif dalam mengurangi atau
menghilangkan sinusitis karena alergi. Suntikan dikelola oleh ahli alergi secara teratur
selama 3 sampai 5 tahun, tetapi sering terjadi pengurangan remisi penuh gejala alergi
selama bertahun-tahun.
7. Menjaga supaya tetap terhidrasi dengan:
a. Menjaga kebersihan sinus yang baik dengan minum banyak cairan supaya sekresi
hidung tipis.
b. Semprotan hidung saline (tersedia di toko obat) dapat membantu menjaga saluran
hidung agar lembab, membantu menghilangkan agen infeksius. Menghirup uap dari
semangkuk air mendidih atau mandian panas beruap juga dapat membantu.
c. Hindari perjalanan udara. Jika perjalanan udara diperlukan, gunakan semprotan
dekongestan nasal sebelum keberangkatan untuk menjaga bagian sinus agar terbuka
dan sering menggunakan saline nasal spray selama penerbangan.
8. Hindari alergen di lingkungan: Orang yang menderita sinusitis kronis harus menghindari
daerah dan kegiatan yang dapat memperburuk kondisi seperti asap rokok dan menyelam di
kolam diklorinasi.
Komplikasi

Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi infeksi rinosinusitis
sangat jarang dan paling sering terjadi pada anak dan imunocompromised. Perluasan yang tidak
terkendali dari penyakit bakteri atau jamur mengarah kepada invasi struktur sekitarnya terutama
orbital dan otak.

19
Komplikasi mungkin timbul dengan cepat. Komplikasi yang sering adalah selulitis atau
abses pada daerah preseptal atau orbita. Infeksi preseptal diobati dengan antibiotik dan tidak
diperlukan pembedahan. Komplikasi yang lain mungkin memerlukan pengobatan pembedahan
segera. Perluasan pada postseptal mungkin terjadi dari penyebaran infeksi melalui lamina
papyracea(lapisan kertas), tulang tipis lateral pada sinus ethmoid. Sinus yang paling sering terkena
adalah sinus ethmoid, kemudian sinus frontal dan maksila. Penyebaran infeksi melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum. Perluasan ini dapat melibatkan pembuluh darah ethmoid
yang mengakibatkan terjadinya trombosis . Gejalanya meliputi edema kelopak mata yang
progresif, eritema, chemosis dan proptosis, yang jika tidak diobati, dapat berkembang menjadi
oftalmoplegia dan kebutaan. Perluasan pada intrakranial termasuk terjadinya meningitis, abses
epidural atau subdural, abses otak atau sagital, atau trombosis sinus cavernosus. Setiap pasien
dengan sejarah rinosinusitis dan demam tinggi, peningkatan sakit kepala atau terjadi perubahan
status mental harus dicurigai memiliki komplikasi intrakranial.

Osteomielitis dapat menyebabkan komplikasi lokal. Pada tumor Pott bengkak(Pott’s puffy
tumor), osteomyelitis dari plate anterior dari tulang frontal menyebabkan dahi edema. Hal ini
merupakan komplikasi akut yang membutuhkan bedah drainase. Osteomelitis dan abses
subperiostal paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak.
Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.

Komplikasi lokal juga dapat terjadi dari mucoceles atau mucopyoceles. Mereka merupakan
lesi kronis, dimana terjadinya cystic pada sinus. Sinus frontal adalah yang paling sering terlibat.
Mereka lambat tumbuh dan mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun sebelum gejala terjadi.
Keterlibatan sinus frontal dapat menyebabkan perubahan pada mata, mengakibatkan diplopia.
Dekompresi sering menyebabkan hilangnya gejala. Erosi posterior oleh mucopyocele dapat
menyebabkan infeksi . Mucoceles terlihat pada anak-anak dengan cystic fibrosis.

Komplikasi lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya
kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru disebut sinobronkitis. Selain itu juga dapat
menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya
disembuhkan.

20
Prognosis

Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan sendirinya. Namun,


sinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan morbiditas dan dalam kasus yang jarang dapat
menyebabkan kematian. Sekitar 40 % kasus sinusitis akut membaik secara spontan tanpa
antibiotik. Perbaikan spontan pada sinusitis virus adalah 98 %. Pasien dengan sinusitis akut, jika
diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan yang cepat. Tingkat
kekambuhan setelah pengobatan yang sukses adalah kurang dari 5 %. Jika tidak adanya respon
dalam waktu 48 jam atau memburuknya gejala, pasien dievaluasi kembali. Rinosinusitis yang tidak
diobati atau diobati dengan tidak adekuat dapat menyebabkan komplikasi seperti meningitis,
tromboflebitis sinus cavernous, selulitis orbita atau abses, dan abses otak.

Pada pasien dengan rhinitis alergi , pengobatan agresif gejala hidung dan tanda-tanda
edema mukosa yang dapat menyebabkan obstruksi saluran keluar sinus, dapat mengurangkan
sinusitis sekunder. Jika kelenjar gondok secara kronis terinfeksi, pengangkatan mereka dapat
menghilangkan nidus infeksi dan dapat mengurangi infeksi sinus.

21
Daftar Pustaka

Brook I, Benson BE, Riauba L, Cunha BA. Acute sinusitis. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview. 22 Juni 2019

Fokkens, W.J., Lund, V.J., Mullol, J., Bachert, C., Alobid, I., Baroody, F., Cohen, N.,

Cervin, A., Douglas, R., Gevaert, P., Georgalas, C., Goossens, H., Harvey, R.,

Hellings, P.,Hopkins, C., Jones, N., Joos, G., Kalogjera, L., Kern, B., Kowalski,

M., Price, D., Riechelmann, H., Schlosser, R., Senior, B., Thomas, M., Toskala,

E., Voegels, R., Wang de, Y., Wormald, P.J. (2012). EPOS 2012: European

position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A summary for

otorhinolaryngologists. Rhinology, 50(1), pp.1-12.

Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al(ed). 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-7. Jakarta:Balai

Penerbit FKUI. Hlm 127-130.

Anthony W. Chow,1Michael S. Benninger,2Itzhak Brook,Jan L. Brozek, Ellie J. C.

Goldstein, Lauri A. Hicks,8George A. Pankey,9Mitchel Seleznick,Gregory

Volturo, Ellen R. Wald, and Thomas M. File Jr, 2012 Infectious Diseases Society

of America Clinical Practice Guideline for the Diagnosis and Treatment of Diabetic

Foot Infections, IDSA Guidelines. Diunduh dari www.academic.oup.com 25 Juni

2019

22

Anda mungkin juga menyukai