Infeksi tuberkulosis sebenarnya termasuk menjadi salah satu komplikasi diabetes yang
terselubung. Penderita diabetes bahkan dilaporkan berisiko tiga kali lipat untuk terinfeksi
TBC yang lebih parah daripada orang lainnya. Hal ini disebabkan karena diabetes
menyebabkan penurunan sitokin Th-1 yang berperan penting mengontrol dan menghambat
perkembangan bakteri penyebab TBC, yaitu Mycobacterium tuberculosis bacilli.
Sebaliknya pun demikian. Pengidap TBC aktif cenderung mengalami peningkatan kadar gula
darah yang tinggi, terutama jika infeksi tersebut tidak diobati dengan baik. Hal ini telah
dibuktikan dalam riset Baghael, et al. Studi tersebut melaporkan sekitar 16,5-49% pengidap
TB aktif mengalami intoleransi glukosa. Dari riset itu juga ditemukan bahwa sebanyak 56,6%
dari orang tersebut kembali memiliki kadar gula darah normal setelah mendapat pengobatan
TB rutin.
Orang yang mengidap TBC bahkan berisiko tinggi untuk meninggal akibat kekambuhan dan
keparahan infeksinya jika ia juga menderita diabetes.
Misalnya, pemberian obat rifampicin untuk TBC yang dapat menurunkan kadar sulfonilurea
(salah satu jenis obat diabetes) dalam darah. Hal ini disebabkan proses metabolisme
sulfonilurea yang dipengaruhi oleh enzim CYP2C9. Sementara itu, obat rifampisin bekerja
dengan merangsang enzim CYP. Akibatnya, kombinasi dari obat diabetes dan TBC ini dapat
membuat sulfonilurea kurang efektif mengendalikan gula darah.
Tak hanya rifampisin saja. Pemberian obat TB golongan isoniazid juga akan memengaruhi
kerja obat sulfonilurea untuk diabetes. Pasalnya isoniazid bekerja menghambat enzim CYP
sehingga akan menyebabkan peningkatan kadar sulfonilurea dalam darah. Akibatnya,
muncullah efek samping obat DM yang tidak diinginkan berupa hipoglikemia (penurunan
kadar gula darah drastis)
Pastikan pula Anda rutin mengonsumsi obat yang diberikan dan menerapkan pola hidup
sehat. Jaga pola makan Anda dan jangan atau berhenti merokok.