Anda di halaman 1dari 5

TUGAS PPKN

MENGANALISIS PERJALANAN HAM DALAM PERSPEKTIF


PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN
BERNEGARA

NAMA KELOMPOK :
1. ANJJELI PERMATA JELI
2. FAJAR DEZWAN
3. YOHANA
4. ANGELA
5. DHENA
Pelanggaran HAM dalam Perspektif Pancasila
Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegra

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai
anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Menurut UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dinyatakan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatannya,
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Dari penjelasan di atas, pelanggaran dari hak asasi manusia merupakan hal yang menentang
kandungan dari Pancasila. Sebagai contoh pelanggaran hak asasi manusia kaitannya dengan sila
pertama adalah pelanggaran HAM dengan banyak korban jiwa di Ambon tahun 1996 yang
melibatkan dua agama. Pelanggaran tersebut sungguh bertentangan dengan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa karena jika kita jabarkan arti dari sila pertama kita seharusnya saling
menghormati antar umat beragama agar tercipta perdamaian.

Kaitannya dengan sila kedua pelanggaran hak asasi manusia merupakan tindakan yang
tidak bersifat kemanusiaan dan menentang keadilan di Indonesia. Dalam pelanggaran HAM
sering terjadi tindakan penganiayaan, pengrusakan dan pembunuhan yang tidak sesuai dengan
hakekat dari sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. Hal itu pula yang menimbulkan banyak
tuntutan untuk menyelesaikan dan mengungkap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di
Indonesia.

Pelanggaran HAM juga bertentangan dengan sila ketiga dalam Pancasila yang menekankan
pentingnya persatuan dari semua anggota masyarakat Indonesia. Kaitannya dengan sila ketiga,
pelanggaran hak asasi manusia merupakan tindakan yang dapat memecah belah bangsa. Selain
itu pelanggaran HAM juga menentang kandungan dari sila keempat pada Pancasila, karena
pelanggaran yang terjadi tidak mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat melainkan
lebih mengutamakan tindakan fisik.

Tidak berbeda dengan sila kedua, sila kelima dalam Pancasila yang menegaskan adanya
keadilan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan juga menentang adanya pelanggaran hak
asasi manusia di Indonesia. Dan keadilan yang dimaksud dalam sila kelima merupakan keadilan
yang mencakup semua aspek kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

Di Indonesia sendiri telah terjadi berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia,
diantaranya adalah pembantaian missal pada tahun 1965 yang dilakukan terhadap anggota PKI
dan ormas yang dianggap berafiliasi dengannya, kasus di Timor Timur pra Referendum, kasus
Marsinah pada masa Orde Baru, peristiwa Talangsari di Lampung, kasus penembakan
mahasiswa Trisakti pada tahun 1998, penculikan dan penghilangan terhadap aktivis pro
demokrasi pada tahun 1998 dan masih banyak pelanggaran hak asasi manusia lainnya.

Begitu banyaknya pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dan sebagian besar dari
kasus tersebut tidak dapat diungkap oleh aparat penegak hukum, walaupun sebagian kasus
sudah didesak untuk diselesaikan oleh keluarga korban yang merasa kehilangan atas korban
pelangggaran hak asasi manusia tersebut. Mereka menuntut agar pelaku pelanggaran tersebut
dapat menerima sanksi yang setimpal atas apa yang telah diperbuat. Namun ada juga kasus yang
sudah tersentuh tangan hukum negeri ini tetapi tidak diselesaikan dengan baik, bahkan pelaku
yang mendapat proses hukum bukanlah otak dari peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi.

Beberapa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia merupakan perbuatan pemimpin dan
aparat negeri ini dengan alasan untuk menegakkan kebenaran. Seperti yang pembantaian
terhadap anggota PKI dan ormas yang dianggap berafiliasi dengannya yang dilakukan oleh
aparat negara kala itu dengan alasan memberantas paham komunis di Indonesia. Sebenarnya
tindakan tersebut merupakan pelanggaran HAM berat karena menghabisi nyawa manusia dalam
jumlah massal tanpa adanya proses hukum terlebih dahulu. Hal tersebut dengan jelas
menentang Pancasila, karena dalam Pancasila tidak dibenarkan untuk menghabisi nyawa
individu atau sekelompok orang tanpa adanya proses hukum yang jelas.

Dari peristiwa yang telah ditulis di atas dapat kita sadari bahwa Pancasila merupakan
landasan negara yang dapat kita gunakan untuk melawan pelanggaran hak asasi manusia dalam
bentuk apapun. Kandungan dari setiap sila dari Pancasila dengan tegas menentang setiap
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh siapaun termasuk oleh pemimpin dan aparat negeri ini.
Kaitannya dengan hal ini adalah Indonesia harus tegas menindak aparat atau pemimpin
pemerintahan baik yang menjabat di masa sekarang atau masa lalu yang dengan sengaja
melakukan pelanggaran HAM. Hal ini juga berkaitan dengan doktrin tentang hak-hak asasi
manusia yang diterima secara universal sebagai ‘a moral, political, legal framework and as
aguideline’ dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan
penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Rumusan Pancasila yang menentang adanya
pelanggaran HAM juga ada dalam Declaration of Human Right 1948 yang dilakukan oleh PBB.
Deklarasi sedunia tentang hak-hak asasi manusia tersebut menjelaskan bahwa bangsa-bangsa
sedunia melalui wakil-wakilnya memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridis formal
walaupun realisasinya juga disesuaikan dengan kondisi serta peraturan perundangan yang
berlaku dalam setiap negara di dunia ini.Di Indonesia sendiri landasan yang berkaitan dengan
penjelasan di atas adalah Pancasila dan UUD 1945.

Namun demikian, dikukuhkannya naskah Universal Declaration of Human Right ini,


ternyata tidak cukup mampu untuk mencabut akar-akar penindasan di berbagai negara termasuk
di Indonesia.Oleh karena itu PBB secara terus-menerus berupaya untuk
memperjuangkannya.Akhirnya setelah kurang lebih 18 tahun kemudian, PBB berhasil juga
melahirkan Convenant on Economic, Social and Cultral (Perjanjian tentang ekonomi, social dan
budaya) dan Convenant on Civil and Political Rights (Perjanjian tentang hak-hak sipil dan
politik) (Asshiddiqie, 2006: 92).

Melihat kembali sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang dilakukan
pemimpin dan aparat pemerintahan pada masa itu dapat kita ketahui bahwa pelaku dengan jelas
mengetahui adanya Pancasila, UUD 1945 dan Declaration of Human Right namun mereka
dengan sengaja memutar balikkan hukum yang ada demi kepentingan pihak atau golongan yang
dianut dengan mengatasnamakan kebenaran yang harus ditegakkan atas nama hukum negeri ini.
Peranan Pancasila dalam hal ini sangatlah besar karena kandungannya telah mengatur hak-hak
dan kewajiban warga negara yang telah ditentukan juga dalam UUD 1945 dan tidak dapat
dilanggar. Sebagai contoh dalam masa Orde Baru ada salah satu pelanggaran HAM yang ironis
yaitu pembunuhan berencana terhadap pelopor yang menuntut dipenuhinya hak-hak buruh di
Indonesia, yang sekarang kita kenal dengan kasus Marsinah. Pelaku utama dari kasus tersebut
tidak tersentuh hukum, sementara orang lain menjadi kambing hitam, dan hal tersebut
merupakan bukti represi militer di bidang pembunuhan yang membenarkan tindakannya dan
tidak ambil pusing terhadap permasalahan rakyat Indonesia. Selain melanggar Pancasila,
pelanggaran HAM di atas juga melanggar UUD 1945, khususnya Pasal 28 A yang berbunyi
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Dalam realisasi kehidupan, Pancasila memang berperan dalam menekan tindakan


pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia karena unsur-unsur yang terkandung dalam
Pancasila selalu mengajarkan tentang bagaimana cara menghormati hak-hak sesama manusia
yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan pandangan filosofis tentang hakekat manusia
yang melatarbelakanginya. Menurut pandangan filsafat bangsa Indonesia yang terkandung
dalam Pancasila hakikat manusia adalah ‘monopuralis’. Susunan kodrat manusia adalah
jasmani dan rohani, atau jiwa dan raga, sifat kodrat manusia adalah makhluk individu dan
makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia adalah sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri
dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Dalam rentangan berdirinya bangsa dan negara
Indonesia, secara resmi Deklarasi Pembukaan dan pasal-pasal UUD telah lebih dahulu
merumuskan hak-hak asasi manusia dari pada Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia
PBB. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Pembukaan UUD 1945 beserta pasal-pasalnya
disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, sedangkan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi
Manusia PBB pada tahun 1948.Hal ini menunjukkan kepada dunia bahwa sebenarnya bangsa
Indonesia sebelum tercapainya pernyataan hak-hak asasi manusia beserta convenantnya, telah
mengangkat hak-hak asasi manusia dan melindunginya dalam kehidupan negara, yang tertuang
dalam UUD 1945.Hal ini juga telah ditekankan oleh The Founding Fathers bangsa Indonesia,
misalnya pernyataan Moh. Hatta dalam siding BPUPKI yang berbunyi “Walaupun yang
dibentuk itu negara kekeluargaan, tetapi masih perlu ditetapkannya beberapa hak dari warga
negara, agar jangan sampai timbul negara kekuasaan atau ‘Machtsstaat’, atau negara penindas
(Yamin, 1959: 207)”. Deklarasi bangsa Indonesia pada prinsipnya terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945, dan Pembukaan inilah yang merupakan sumber normative bagi hukum
positif Indonesia terutama penjabarannya dalam pasal-pasal UUD 1945. Dalam Pembukaan
UUD 1945 alinea I dinyatakan bahwa : “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Dalam
pernyataan ini terkandung pengakuan secara yuridis hak-hak asasi manusia tentang
kemerdekaan sebagaimana terkandung dalam Deklarasi PBB pasal I. Dasar filosofis hak asasi
manusia tersebut adalah bukan kemerdekaan manusia secara individualis saja, melainkan
menempatkan manusia sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial yaitu sebagai suatu
bangsa. Oleh karena itu hak asasi ini tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban asasi manusia.

Anda mungkin juga menyukai