Anda di halaman 1dari 37

Grand Case Report Session

Vesikolitiasis

Oleh

Vanny Asrytuti

1210312100

Pembimbing:

Dr. Alvarino, Sp. B, Sp. U

BAGIAN ILMU BEDAH RSUP DR. M. DJAMIL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2017

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit batu saluran kemih (BSK) telah dikenal sejak zaman Babilonia dan zaman
mesir kuno, tetapi sampai sekarang masih banyak dipersoalkan karena pembahasan tentang
diagnosis, etiologi, penatalaksanaan dan pencegahannya belum tuntas.
Penyakit batu saluran kemih adalah penyebab nyeri ketiga tersering pada saluran
kemih setelah infeksi dan gangguan patologis pada prostat. Penyakit ini merupakan penyakit
umum yang sering ditemukan baik pada hewan maupun manusia. Penamaan yang
menyangkut penyakit batu saluran kemih dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu (Stoller,
2008).
Batu saluran kemih adalah bentuk agregat polycrystalline yang dibentuk oleh berbagai
macam kristaloid dan matriks organik. Terdapat beberapa jenis batu saluran kemih yang
utama berdasarkan komponen pembentuknya yaitu: batu kalsium oksalat, batu kalsium fosfat,
batu struvit, batu asam urat, dan batu sistin. Batu saluran kemih dapat berada dimanapun
dalam saluran kemih seperti di ginjal, ureter dan kandung kencing (Stoller et al, 2009).
Pembentukan batu dipengaruhi oleh kepekatan urin yang bergantung pada pH urin,
kandungan ion dalam urin, konsentrasi zat terlarut dan lainlain. Beberapa faktor lain yang
mempengaruhi pembentukan batu pada manusia seperti faktor usia, jenis kelamin, ras, letak
geografis, diet dan konsumsi cairan, penggunaan obat obatan dan ada tidaknya penyakit
penyerta. Riwayat keluarga juga menjadi salah satu faktor dimana 25% penderita memiliki
keluarga dengan riwayat penyakit batu saluran kemih (Stoller et al, 2009).
Diperkirakan 10% pria dan 5% wanita di Amerika Serikat akan mengalami penyakit
batu saluran kemih dalam hidupnya (Pearle et al, 2007). Prevalensi kejadian penyakit ini
telah bertambah dua kali lipat dari periode 1964 sampai 1972 dan cenderung stabil sejak
tahun 1990an (Romero et al, 2010).
Pada tahun 2000, insiden kejadian batu saluran kemih di Amerika Serikat dilaporkan
116 individu per 100.000 populasi. Populasi tersebut berusia 18-64 tahun dari 2 perusahaan
asuransi terbesar. Insiden ini cenderung meningkat secara signifikan dari studi yang
dilakukan sebelumnya. (Romero et al, 2010)
Di Jepang, insiden kejadian batu saluran kemih telah meningkat dua kali lipat dalam
periode 40 tahun baik pada pria maupun wanita. Pada tahun 1965, insidennya berkisar 54
2
individu per 100.000 populasi. Kenaikan ini terjadi secara signifikan pada 10 tahun terakhir
sehingga pada tahun 2005 insiden batu di Jepang mencapai 115 individu per 100.000
populasi. Insiden pada pria meningkat secara drastis sejak tahun 1990an, sementara pada
wanita peningkatan terjadi lebih perlahan (Yasui et al, 2005).
Di Indonesia penyakit batu saluran kemih masih menempati porsi terbesar dari jumlah
pasien di klinik urologi. Dari data yang pernah dipublikasi didapatkan peningkatan jumlah
penderita batu ginjal yang mendapat tindakan di RSUPN-Cipto Mangunkusumo dari tahun ke
tahun mulai 182 pasien pada tahun 1997 menjadi 847 pasien pada tahun 2002. Peningkatan
ini sebagian besar disebabkan mulai tersedianya alat pemecah batu ginjal non-invasif
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) yang secara total mencakup 86% dari
seluruh tindakan bidang urologi (Rahardjo, 2004).
Terdapat beberapa cara dalam penatalaksanaan batu saluran kemih. Hal ini bergantung
pada ukuran, bentuk, dan lokasi batu serta ada tidaknya edema pada ureter. Batu dengan
ukuran 4-5 mm memiliki kemungkinan 40- 50% untuk dapat keluar secara spontan,
sementara batu dengan ukuran diatas 6 mm kemungkinannya dibawah 5% untuk dapat keluar
secara spontan. Modalitas lain yang dapat dilakukan seperti penggunaan obat yang dapat
melarutkan batu, dan tindakan seperti ESWL, PCNL dan URS (Stoller, 2008).
Penatalaksanaan dengan menggunakan konsep gelombang kejut pada ESWL
diperkenalkan pada tahun 1950an di Rusia. Tindakan ESWL membutuhkan sumber energi
untuk membentuk gelombang kejut, mekanisme coupling untuk mengirimkan gelombang dari
luar ke dalam tubuh, dan moda untuk mengidentifikasi dan menentukan posisi batu pada
sebuah fokus. Perbedaan bergantung pada nyeri dan anastesi yang digunakan, ukuran,
mobilitas dan durability (Stoller, 2008). Tingkat keberhasilan suatu tindakan ESWL
ditentukan oleh jenis kelamin, ukuran dan letak batu serta pelaksanaan tindakan ESWL
(Farrands et al, 2011). Berdasarkan data diatas, maka perlu dilakukan analisis lebih lanjut
mengenai kasus batu saluran kemih.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batu Saluran Kemih


2.1.1 Definisi
Batu Saluran Kemih (BSK) adalah penyakit dimana didapatkan masa keras seperti
batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih baik saluran kemih atas (ginjal dan ureter)
dan saluran kemih bawah (kandung kemih dan uretra), yang dapat menyebabkan nyeri,
perdarahan, penyumbatan aliran kemih dan infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal
(batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Batu ini terbentuk dari
pengendapan garam kalsium, magnesium, asam urat, atau sistein.
BSK dapat berukuran dari sekecil pasir hingga sebesar buah anggur. Batu yang
berukuran kecil biasanya tidak menimbulkan gejala dan biasanya dapat keluar bersama
dengan urine ketika berkemih. Batu yang berada di saluran kemih atas (ginjal dan ureter)
menimbulkan kolik dan jika batu berada di saluran kemih bagian bawah (kandung kemih dan
uretra) dapat menghambat buang air kecil. Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis
maupun tubulus renalis dapat menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik
yang hebat di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggang yang menjalar ke perut juga
daerah kemaluan dan paha sebelah dalam). Hal ini disebabkan karena adanya respon ureter
terhadap batu tersebut, dimana ureter akan berkontraksi yang dapat menimbulkan rasa nyeri
kram yang hebat.

2.2 Sistem Kemih


Sistem kemih (urinearia) adalah suatu sistem tempat terjadinya proses penyaringan
darah dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih di
pergunakan oleh tubuh. Zat- zat yang tidak di pergunakan oleh tubuh larut dalam air dan
dikeluarkan berupa urine (air kemih). Sistem kemih terdiri atas saluran kemih atas (sepasang
ginjal dan ureter), dan saluran kemih bawah (satu kandung kemih dan uretra).
Gambar sistem saluran kemih pada manusia dapat dilihat pada gambar berikut :

4
Gambar 2.1. Sistem kemih Pada Manusia
1, Diaphragm. 2, Inferior vena cava. 3, Right adrenal gland. 4, Upper pointer, celiac artery; lower pointer, celiac autonomic nervous plexus.
5, Right kidney. 6, Right renal vein. 7, Gerota fascia. 8, Pararenal retroperitoneal fat. 9, Perinephric fat. 10, Upper pointer, right gonadal
vein; lower pointer, right gonadal artery. 11, Lumbar lymph nodes. 12, Retroperitoneal fat. 13, Right common iliac artery. 14, Right ureter.
15, Sigmoid colon (cut). 16, Esophagus (cut). 17, Right crus of diaphragm. 18, Left inferior phrenic artery. 19, Upper pointer, left adrenal
gland; lower pointer, left adrenal vein. 20, Upper pointer, superior mesenteric artery; lower pointer, left renal artery. 21, Left kidney. 22,
Upper pointer, left renal vein; lower pointer, left gonadal vein. 23, Aorta. 24, Perinephric fat. 25, Aortic autonomic nervous plexus. 26,
Upper pointer, Gerota fascia; lower pointer, inferior mesenteric ganglion. 27, Inferior mesenteric artery. 28, Aortic bifurcation into common
iliac arteries. 29, Left gonadal artery and vein. 30, Left ureter. 31, Psoas major muscle covered by psoas sheath. 32, Cut edge of peritoneum.
33, Pelvic cavity.

2.2.1 Saluran Kemih Atas


a. Ginjal
Dalam keadaan normal, manusia memiliki 2 ginjal. Ginjal merupakan organ yang
berbentuk seperti kacang berwarna merah tua, panjangnya sekitar 12,5 cm dan tebalnya
sekitar 2,5 cm (kurang lebih sebesar kepalan tangan). Ginjal adalah organ yang berfungsi
sebagai penyaring darah yang terletak di bagian belakang kavum abdominalis di belakang
peritoneum melekat langsung pada dinding belakang abdomen.
Setiap ginjal memiliki ureter, yang mengalirkan air kemih dari pelvis renalis (bagian
ginjal yang merupakan pusat pengumpulan air kemih) ke dalam kandung kemih. Setiap ginjal
terdiri atas 1-4 juta nefron. Selama 24 jam dapat menyaring darah 170 liter. Fungsi yang

5
lainnya adalah ginjal dapat menyaring limbah metabolik, menyaring kelebihan natrium dan
air dari darah, membantu mengatur tekanan darah, pengaturan vitamin D dan Kalsium.
Ginjal mengatur komposisi kimia dari lingkungan dalam melalui suatu proses
majemuk yang melibatkan filtrasi, absorpsi aktif, absorpsi pasif, dan sekresi. Filtrasi terjadi
dalam glomerulus, tempat ultra filtrate dari plasma darah terbentuk. Tubulus nefron, terutama
tubulus kontortus proksimal berfungsi mengabsorpsi dari substansi-substansi yang berguna
bagi metabolisme tubuh, sehingga dengan demikian memelihara homeostatis lingkungan
dalam. Dengan cara ini makhluk hidup terutama manusia mengatur air, cairan intraseluler,
dan keseimbangan osmostiknya.
Gangguan fungsi ginjal akibat BSK pada dasarnya akibat obstruksi dan infeksi
sekunder. Obstruksi menyebabkan perubahan struktur dan fungsi pada traktus urinearius dan
dapat berakibat disfungsi atau insufisiensi ginjal akibat kerusakan dari parenkim ginjal.
Berikut ini adalah gambar anatomi ginjal normal dan ginjal dengan BSK :

Gambar 2.2. Anatomi Ginjal Normal dan Ginjal Dengan BSK

b. Ureter
Ureter merupakan saluran kecil yang menghubungkan antara ginjal dengan kandung
kemih (vesica urinearia), dengan panjang ± 25-30 cm, dengan penampang ± 0,5 cm.20
Saluran ini menyempit di tiga tempat yaitu di titik asal ureter pada pelvis ginjal, di titik saat
melewati pinggiran pelvis, dan di titik pertemuannya dengan kendung kemih. BSK dapat
tersangkut dalam ureter di ketiga tempat tersebut, yang mengakibatkan nyeri (kolik ureter).
Lapisan dinding ureter terdiri dari dinding luar berupa jaringan ikat (jaringan fibrosa),
lapisan tengah terdiri dari lapisan otot polos, lapisan sebelah dalam merupakan lapisan
mukosa. Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik tiap 5 menit sekali
yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam kandung kemih (vesica urinearia).
6
Setiap ureter akan masuk ke dalam kandung kemih melalui suatu sfingter. Sfingter
adalah suatu struktur muskuler (berotot) yang dapat membuka dan menutup sehingga dapat
mengatur kapan air kemih bisa lewat menuju ke dalam kandung kemih. Air kemih yang
secara teratur tersebut mengalir dari ureter akan di tampung dan terkumpul di dalam kandung
kemih.

2.2.2 Saluran Kemih Bawah


a. Kandung Kemih
Kandung kemih merupakan kantong muscular yang bagian dalamnya dilapisi oleh
membran mukosa dan terletak di depan organ pelvis lainnya sebagai tempat menampung air
kemih yang dibuang dari ginjal melalui ureter yang merupakan hasil buangan penyaringan
darah.23 Dalam menampung air kemih kandung kemih mempunyai kapasitas maksimal yaitu
untuk volume orang dewasa lebih kurang adalah 30-450 ml.
Kandung kemih bersifat elastis, sehingga dapat mengembang dan mengkerut. Ketika
kosong atau setengah terdistensi, kandung kemih terletak pada pelvis dan ketika lebih dari
setengah terdistensi maka kandung kemih akan berada pada abdomen di atas pubis. Dimana
ukurannya secara bertahap membesar ketika sedang menampung jumlah air kemih yang
secara teratur bertambah. Apabila kandung kemih telah penuh, maka akan dikirim sinyal ke
otak dan menyampaikan pesan untuk berkemih. Selama berkemih, sfingter lainnya yang
terletak diantara kandung kemih dan uretra akan membuka dan akan diteruskan keluar
melalui uretra. Pada saat itu, secara bersamaan dinding kandung kemih berkontrasksi yang
menyebabkan terjadinya tekanan sehingga dapat membantu mendorong air kemih keluar
menuju uretra.
b. Uretra
Saluran kemih (uretra) merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung
kemih yang berfungsi menyalurkan air kemih keluar. Pada laki-laki uretra berjalan berkelok-
kelok melalui tengah-tengah prostat kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus
tulang pubis ke bagian penis panjangnya ± 20 cm. Uretra pada laki-laki terdiri dari uretra
prostatika, uretra membranosa, dan uretra kavernosa. Uretra prostatika merupakan saluran
terlebar dengan panjang 3 cm, dengan bentuk seperti kumparan yang bagian tengahnya lebih
luas dan makin ke bawah makin dangkal kemudian bergabung dengan uretra membranosa.
Uretra membranosa merupakan saluran yang paling pendek dan paling dangkal. Uretra
kavernosa merupakan saluran terpanjang dari uretra dengan panjang kira-kira 15 cm.

7
Pada wanita, uretra terletak di belakang simfisis pubis berjalan miring sedikit kearah
atas, panjangnya ± 3-4 cm. Muara uretra pada wanita terletak di sebelah atas vagina (antara
clitoris dan vagina) dan uretra disini hanya sebagai saluran ekskresi. Uretra wanita jauh lebih
pendek daripada uretra laki-laki.

2.3 Epidemiologi Penyakit Batu Saluran Kemih


2.3.1 Distribusi dan Frekuensi
Berdasarkan data dari Urologic Disease in America pada tahun 2000, insidens rate
tertinggi kelompok umur berdasarkan letak batu yaitu saluran kemih atas adalah pada
kelompok umur 55-64 tahun 11,2 per-100.000 populasi, tertinggi kedua adalah kelompok
umur 65-74 tahun 10,7 per-100.000 populasi. Insidens rate tertinggi jenis kelamin
berdasarkan letak batu yaitu saluran kemih atas adalah pada jenis kelamin laki-laki 74 per-
100.000 populasi, sedangkan pada perempuan 51 per-100.000 populasi. Insidens rate
tertinggi kelompok umur berdasarkan letak batu yaitu saluran kemih bawah adalah pada
kelompok umur 75-84 tahun 18 per-100.000 populasi, tertinggi kedua adalah kelompok umur
65-74 tahun 11 per-100.000 populasi. Insidens rate tertinggi jenis kelamin berdasarkan letak
batu yaitu saluran kemih bawah adalah jenis kelamin laki-laki 4,6 per-100.000 populasi
sedangkan pada perempuan 0,7 per-100.000 populasi.
Analisis jenis batu berdasarkan jenis kelamin di Amerika Serikat pada tahun 2005,
jenis kelamin laki-laki dengan batu kalsium 75%, batu asam urat 23,1%, batu struvit 5%, dan
batu cysteine 0,5%, sedangkan pada perempuan jenis batu kalsium 86,2%, batu asam urat
11,3%, batu struvit 1,3%, dan batu cysteine 1,3%. Analisis jenis batu berdasarkan jenis
kelamin di Australia Selatan pada tahun 2005 yaitu pada jenis kelamin laki-laki jenis batu
kalsium oksalat 73%, batu asam urat 79%, sedangkan pada perempuan jenis batu struvit 58%.
Analisis jenis batu berdasarkan kelompok umur, jenis batu kalsium oksalat 50-60 tahun, batu
asam urat 60-65 tahun dan batu struvit 20-55 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Hardjoeno dkk pada tahun 2002-2004 di RS
dr.Wahidin Sudirohusodo Makasar berdasarkan jenis kelamin proporsi tertinggi adalah jenis
kelamin laki-laki 79,9 % sedangkan wanita 20,1%.12 Di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun
2007 jumlah pasien rawat inap BSK 113 orang, berdasarkan kelompok umur proporsi
tertinggi adalah kelompok umur 46-60 tahun 39,8%, berdasarkan jenis kelamin proporsi
tertinggi adalah jenis kelamin laki-laki 80,5%, dan berdasarkan jenis batu proporsi yang
tertinggi adalah jenis batu kalsium oksalat 100%, struvite 96,5%, dan Cystine 66,4% .
2.3.2 Determinan
8
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya BSK
pada seseorang. Faktor-faktor tersebut adalah faktor intrinsik, yaitu keadaan yang berasal dari
tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik, yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan
disekitarnya.
a. Faktor Intrinsik
Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam individu sendiri. Termasuk
faktor intrinsik adalah umur, jenis kelamin, keturunan, riwayat keluarga.
a.1 Umur
Umur terbanyak penderita BSK di negara-negara Barat adalah 20-50 tahun,
sedangkan di Indonesia terdapat pada golongan umur 30-60 tahun. Penyebab pastinya belum
diketahui, kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan faktor sosial ekonomi, budaya,
dan diet. Berdasarkan penelitian Latvan, dkk (2005) di RS.Sedney Australia, proporsi BSK
69% pada kelompok umur 20-49 tahun. Menurut Basuki (2011), penyakit BSK paling sering
didapatkan pada usia 30-50 tahun.
a.2 Jenis kelamin
Kejadian BSK berbeda antara laki-laki dan wanita. Jumlah pasien laki-laki tiga kali
lebih banyak dibandingkan dengan pasien perempuan. Tingginya kejadian BSK pada laki-laki
disebabkan oleh anatomis saluran kemih pada laki-laki yang lebih panjang dibandingkan
perempuan, secara alamiah didalam air kemih laki-laki kadar kalsium lebih tinggi
dibandingkan perempuan, dan pada air kemih perempuan kadar sitrat (inhibitor) lebih tinggi,
laki-laki memiliki hormon testosterone yang dapat meningkatkan produksi oksalat endogen di
hati, serta adanya hormon estrogen pada perempuan yang mampu mencegah agregasi garam
kalsium. 3 Insiden BSK di Australia pada tahun 2005 pada laki-laki 100-300 per 100.000
populasi sedangkan pada perempuan 50-100 per 100.000 populasi.
a.3 Heriditer/ Keturunan
Faktor keturunan dianggap mempunyai peranan dalam terjadinya penyakit BSK.
Walaupun demikian, bagaimana peranan faktor keturunan tersebut sampai sekarang belum
diketahui secara jelas. Berdasarkan penelitian Latvan, dkk (2005) di RS. Sedney Australia
berdasarkan keturunan proporsi BSK pada laki-laki 16,8% dan pada perempuan 22,7%.
b. Faktor Ekstrinsik
Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari lingkungan luar individu seperti
geografi, iklim, serta gaya hidup seseorang.
b.1 Geografi

9
Prevalensi BSK banyak diderita oleh masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan.
Hal tersebut disebabkan oleh sumber air bersih yang dikonsumsi oleh masyarakat dimana
sumber air bersih tersebut banyak mengandung mineral seperti phospor, kalsium, magnesium,
dan sebagainya. Letak geografi menyebabkan perbedaan insiden BSK di suatu tempat dengan
tempat lainnya. Faktor geografi mewakili salah satu aspek lingkungan dan sosial budaya
seperti kebiasaan makanannya, temperatur, dan kelembaban udara yang dapat menjadi
predoposisi kejadian BSK.
b.2 Faktor Iklim dan Cuaca
Faktor iklim dan cuaca tidak berpengaruh langsung, namun kejadiannya banyak
ditemukan di daerah yang bersuhu tinggi. Temperatur yang tinggi akan meningkatkan jumlah
keringat dan meningkatkan konsentrasi air kemih. Konsentrasi air kemih yang meningkat
dapat menyebabkan pembentukan kristal air kemih. Pada orang yang mempunyai kadar asam
urat tinggi akan lebih berisiko menderita penyakit BSK.
b.3 Jumlah Air yang di Minum
Dua faktor yang berhubungan dengan kejadian BSK adalah jumlah air yang diminum
dan kandungan mineral yang terdapat dalam air minum tersebut. Bila jumlah air yang
diminum sedikit maka akan meningkatkan konsentrasi air kemih, sehingga mempermudah
pembentukan BSK.
b.4 Diet/Pola makan
Diperkirakan diet sebagai faktor penyebab terbesar terjadinya BSK. Misalnya saja
diet tinggi purine, kebutuhan akan protein dalam tubuh normalnya adalah 600 mg/kg BB, dan
apabila berlebihan maka akan meningkatkan risiko terbentuknya BSK. Hal tersebut
diakibatkan, protein yang tinggi terutama protein hewani dapat menurunkan kadar sitrat air
kemih, akibatnya kadar asam urat dalam darah akan naik, konsumsi protein hewani yang
tinggi juga dapat meningkatkan kadar kolesterol dan memicu terjadinya hipertensi.
b.5 Jenis Pekerjaan
Kejadian BSK lebih banyak terjadi pada orang-orang yang banyak duduk dalam
melakukan pekerjaannya.
b.6 Kebiasaan Menahan Buang Air Kemih
Kebiasaan menahan buang air kemih akan menimbulakan statis air kemih yang dapat
berakibat timbulnya Infeksi Saluran Kemih (ISK). ISK yang disebabkan oleh kuman
pemecah urea dapat menyebabkan terbentuknya jenis batu struvit.

10
2.4. Penyebab Pembentukan Batu Saluran Kemih
Batu saluran kemih merupakan agregat polycrystalline yang terbentuk dari berbagai
macam kristaloid dan matriks organik. Terbentuknya batu dipengaruhi oleh saturasi urin.
Saturasi urin bergantung pada pH urin, ion-ion, konsentrasi zat terlarut, dan lain lain.
Hubungan antara konsentrasi zat terlarut dengan terbentuknya batu sangat jelas. Semakin
besar konsentrasi ion, maka kemungkinan ion akan mengendap akan semakin tinggi. Apabila
konsentrasi ion meningkat, ion akan mencapai suatu titik yang disebut solubility product
(Ksp). Bila konsentrasi ion meningkat diatas titik ini, maka akan dimulai proses
perkembangan kristal dan nukleasi.

Gambar 2.3. Tahapan Saturasi Urin


Sumber : Campbell-Walsh Urology 10th edition. Urinary Lithiasis. Pearle,
M. 45;1257
Teori nukleasi menegaskan bahwa batu saluran kemih terbentuk dari kristal-kristal
atau benda asing dari urin yang kadarnya jenuh. Akan tetapi, batu tidak selalu terbentuk dari
pasien yang tinggi tingkat eksresinya atau beresiko dehidrasi. Teori inhibitor kristal
merupakan teori lain pada pembentukan batu. Menurut teori ini, batu terbentuk karena
rendahnya konsentrasi ion-ion yang menjadi inhibitor alami dari batu tersebut seperti
magnesium, sitrat dan pirofosfat. Akan tetapi, validitas teori ini masih dipertanyakan, akibat
banyak orang yang mengalami defisiensi ion-ion tersebut tidak mengalami gangguan batu
saluran kemih (Stoller, 2008)
11
Bahan utama pembentuk batu adalah komponen kristalin. Terdapat beberapa tahap
dalam pembentukan kristal yaitu nukleasi, growth, dan agregasi. Nukleasi merupakan awal
dari proses pembentukan batu dan dipengaruhi oleh berbagai substansi seperti matriks
proteinaceous, benda asing, dan partikel lain. Nukleasi heterogen (epitaxy) merupakan jenis
nukleasi yang umum terjadi pada pembentukan batu. Hal ini disebabkan nukleasi heterogen
membutuhkan energi yang lebih sedikit daripada nukleasi homogen. Sebuah tipe kristal akan
menjadi nidus untuk nukleasi tipe kristal lain, contohnya kristal asam urat akan menjadi nidus
untuk nukleasi kalsium oksalat (Stoller, 2008)
Komponen matriks pada batu bervariasi tergantung jenis batu. Komponen matriks
biasanya hanya 2-10% dari berat batu tersebut. Komposisi matriks yang dominan adalah
protein dengan sedikit hexose atau hexosamine. Peran matriks pada inisiasi pembentukan batu
masih belum diketahui secara sempurna. Matriks dapat berperan sebagai nidus untuk agregasi
kristal atau sebagai perekat komponen-komponen kristal kecil (Stoller, 2008).
Urin normal mengandung chelating agent seperti sitrat, yang menghambat proses
nukleasi, pertumbuhan dan agrefasi kristal-kristal yang mengandung ion kalsium. Inhibitor
lainnya adalah calgranulin, Tamm-Horsfall protein, glycosaminoglycans, uropontin,
nephrocalcin, dan lain lain. Mekanisme biokimia mengenai hubungan antara substansi
tersebut dengan pembentukan batu masih belum dipahami seluruhnya, akan tetapi bila pada
pemeriksaan substansi tersebut kadarnya dibawah normal, maka akan terjadi agregasi kristal
yang akan membentuk batu (Coe et al, 2005).
Nephrocalcin ,glikoprotein yang bersifat asam dan disekresikan oleh ginjal, dapat
menghambat nukleasi, pertumbuhan dan agregasi dari kalsium oksalat (Pearle et al, 2012).
Batu saluran kemih biasanya terbentuk dari kombinasi berbagai faktor, dan jarang terbentuk
dari kristal yang tunggal. Batu lebih sering terbentuk pada pasien dengan konsumsi protein
hewani yang tinggi atau konsumsi cairan yang kurang. Batu juga dapat terbentuk dari
kondisikondisi metabolic seperti distal renal tubular acidosis, Dent’s disease,
hyperparathyroidism, dan hyperoxalouria (Coe et al, 2005)
Penyebab pasti pembentukan BSK belum diketahui, oleh karena banyak faktor yang
dilibatkannya, sampai sekarang banyak teori dan faktor yang berpengaruh terhadap
pembentukan BSK yaitu :
a. Teori Fisiko Kimiawi
Prinsip dari teori ini adalah terbentuknya BSK karena adanya proses kimia, fisika
maupun gabungan fisiko kimiawi. Dari hal tersebut diketahui bahwa terjadinya batu sangat

12
dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pembentuk batu di saluran kemih. Berdasarkan faktor
fisiko kimiawi dikenal teori pembentukan batu, yaitu:
a.1 Teori Supersaturasi
Supersaturasi air kemih dengan garam-garam pembentuk batu merupakan dasar
terpenting dan merupakan syarat terjadinya pengendapan. Apabila kelarutan suatu produk
tinggi dibandingkan titik endapannya maka terjadi supersaturasi sehingga menimbulkan
terbentuknya kristal dan pada akhirnya akan terbentuk batu.
Supersaturasi dan kristalisasi dapat terjadi apabila ada penambahan suatu bahan yang dapat
mengkristal di dalam air dengan pH dan suhu tertentu yang suatu saat akan terjadi kejenuhan
dan terbentuklah kristal. Tingkat saturasi dalam air kemih tidak hanya dipengaruhi oleh
jumlah bahan pembentuk BSK yang larut, tetapi juga oleh kekuatan ion, pembentukan
kompleks dan pH air kemih.
a.2 Teori Matrik
Di dalam air kemih terdapat protein yang berasal dari pemecahan mitokondria sel
tubulus renalis yang berbentuk laba-laba. Kristal batu oksalat maupun kalsium fosfat akan
menempel pada anyaman tersebut dan berada di sela-sela anyaman sehingga terbentuk batu.
Benang seperti laba-laba terdiri dari protein 65%, heksana 10%, heksosamin 2-5% sisanya
air. Pada benang menempel kristal batu yang seiring waktu batu akan semakin membesar.
Matriks tersebut merupakan bahan yang merangsang timbulnya batu.
a.3 Teori Tidak Adanya Inhibitor
Dikenal 2 jenis inhibitor yaitu organik dan anorganik. Pada inhibitor organik terdapat
bahan yang sering terdapat dalam proses penghambat terjadinya batu yaitu asam sitrat,
nefrokalsin, dan tamma-horsefall glikoprotein sedangkan yang jarang terdapat adalah gliko-
samin glikans dan uropontin.
Pada inhibitor anorganik terdapat bahan pirofosfat dan Zinc. Inhibitor yang paling
kuat adalah sitrat, karena sitrat akan bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat yang
dapat larut dalam air. Inhibitor mencegah terbentuknya kristal kalsium oksalat dan mencegah
perlengketan kristal kalsium oksalat pada membaran tubulus. Sitrat terdapat pada hampir
semua buah-buahan tetapi kadar tertinggi pada jeruk. Hal tersebut yang dapat menjelaskan
mengapa pada sebagian individu terjadi pembentukan BSK, sedangkan pada individu lain
tidak, meskipun sama-sama terjadi supersanturasi.
a.4 Teori Epitaksi

13
Pada teori ini dikatakan bahwa kristal dapat menempel pada kristal lain yang berbeda
sehingga akan cepat membesar dan menjadi batu campuran. Keadaan ini disebut nukleasi
heterogen dan merupakan kasus yang paling sering yaitu kristal kalsium oksalat yang
menempel pada kristal asam urat yang ada.
a.5 Teori Kombinasi
Banyak ahli berpendapat bahwa BSK terbentuk berdasarkan campuran dari beberapa
teori yang ada.
a.6 Teori Infeksi
Teori terbentuknya BSK juga dapat terjadi karena adanya infeksi dari kuman tertentu.
Pengaruh infeksi pada pembentukan BSK adalah teori terbentuknya batu survit dipengaruhi
oleh pH air kemih > 7 dan terjadinya reaksi sintesis ammonium dengan molekul magnesium
dan fosfat sehingga terbentuk magnesium ammonium fosfat (batu survit) misalnya saja pada
bakteri pemecah urea yang menghasilkan urease. Bakteri yang menghasilkan urease yaitu
Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobakter, Pseudomonas, dan Staphiloccocus.
Teori pengaruh infeksi lainnya adalah teori nano bakteria dimana penyebab
pembentukan BSK adalah bakteri berukuran kecil dengan diameter 50-200 nanometer yang
hidup dalam darah, ginjal dan air kemih. Bakteri ini tergolong gram negatif dan sensitif
terhadap tetrasiklin. Dimana dinding pada bakteri tersebut dapat mengeras membentuk
cangkang kalsium kristal karbonat apatit dan membentuk inti batu, kemudian kristal kalsium
oksalat akan menempel yang lama kelamaan akan membesar. Dilaporkan bahwa 90%
penderita BSK mengandung nano bakteria.

b. Teori Vaskuler
Pada penderita BSK sering didapat penyakit hipertensi dan kadar kolesterol darah
yang tinggi, maka Stoller mengajukan teori vaskuler untuk terjadinya BSK, yaitu :
b.1 Hipertensi
Pada penderita hipertensi 83% mempunyai perkapuran ginjal sedangkan pada orang
yang tidak hipertensi yang mempunyai perkapuran ginjal sebanyak 52%. Hal ini disebabkan
aliran darah pada papilla ginjal berbelok 180˚ dan aliran darah berubah dari aliran laminer
menjadi turbulensi. Pada penderita hipertensi aliran turbelen tersebut berakibat terjadinya
pengendapan ion-ion kalsium papilla (Ranall’s plaque) disebut juga perkapuran ginjal yang
dapat berubah menjadi batu.
b.2 Kolesterol

14
Adanya kadar kolesterol yang tinggi dalam darah akan disekresi melalui glomerulus
ginjal dan tercampur didalam air kemih. Adanya butiran kolesterol tersebut akan merangsang
agregasi dengan kristal kalsium oksalat dan kalsium fosfat sehingga terbentuk batu yang
bermanifestasi klinis (teori epitaksi).
Menurut Hardjoeno (2006), diduga dua proses yang terlibat dalam BSK yakni
supersaturasi dan nukleasi. Supersaturasi terjadi jika substansi yang menyusun batu terdapat
dalam jumlah yang besar dalam urine, yaitu ketika volume urine dan kimia urine yang
menekan pembentukan menurun. Pada proses nukleasi, natrium hidrogen urat, asam urat dan
kristal hidroksipatit membentuk inti. Ion kalsium dan oksalat kemudian merekat (adhesi) di
inti untuk membentuk campuran batu. Proses ini dinamakan nukleasi heterogen. Analisis batu
yang memadai akan membantu memahami mekanisme patogenesis BSK dan merupakan
tahap awal dalam penilaian dan awal terapi pada penderita BSK.

2.5 Jenis Batu Saluran Kemih


Komposisi kimia yang terkandung dalam batu ginjal dan saluran kemih dapat
diketahui dengan menggunakan analisis kimia khusus untuk mengetahui adanya kalsium,
magnesium, amonium, karbonat, fosfat, asam urat oksalat, dan sistin.

2.5.1 Batu Kalsium


Kalsium yang didapat dari makanan diserap sebanyak 30-40% di usus halus dan 10%
diserap di usus besar. Absorpsi kalsium bervariasi bergantung pada konsumsi kalsium
tersebut. Kalsium diserap pada fase ionik, dan penyerapan kalsium tidak sempurna karena
pembentukan kompleks kalsium pada lumen usus. Substansi yang dapat menghasilkan
kompleks kalsium adalah fosfat, sitrat, oksalat, sulfat dan asam lemak (Pearle et al, 2012).
Kalsifikasi dapat berlangsung dan berakumulasi pada duktus pengumpul,
menghasilkan batu saluran kemih. Kira-kira 80-85% dari seluruh kejadian batu adalah batu
kalsium. Batu kalsium sangat sering terjadi akibat kenaikan kadar kalsium dalam urin,
kenaikan kadar asam urat dalam urin, naiknya kadar oksalat dan menurunnya sitrat dalam
urin (Stoller, 2008).
Hiperkalsiuria merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada pasien dengan
batu kalsium. Akan tetapi, peran hiperkalsiuria pada pembentukan batu masih kontroversial.
Investigasi terakhir menyatakan bahwa plak adalah perkursor yang potensial pada
pembentukan batu kalsium dan angkanya berhubungan langsung dengan kadar kalsium dalam

15
urin dan angka kejadian batu. (Pearle et al, 2012). Konsentrasi kalsium dalam urin yang
tinggi menyebabkan meningkatnya saturasi garam kalsium pada urin dan menurunnya
aktivitas inhibitor seperti sitrat dan kondroitin sulfat (Stoller, 2008).
a. Absorptive Hypercalciuric Nephrolithiasis
Konsumsi kalsium normal rata-rata per hari adalah 900-1000 mg. Kira-kira 150-200
mg akan dieksresikan melalui urin. Absorptive hypercalciuria (AH) adalah suatu keadaan
meningkatnya absorpsi kalsium pada usus halus, terutama jejunum. Hal ini diakibatkan
meningkatnya jumlah kalsium yang disaring oleh glomerulus, mengakibatkan surpresi dari
hormon paratiroid. Selanjutnya, reabsorpsi kalsium pada tubulus ginjal akan menurun,
mengakibatkan hiperkalsiuria. Kaskade fisiologis ini adalah sebagai respon dari
meningkatnya absorpsi kalsium di usus halus. (Stoller, 2008).
AH terbagi atas 3 tipe yaitu tipe I, II, dan III. Tipe I AH bersifat independen dari diet
dan merupakan 15% dari seluruh kasus batu kalsium. Pada AH tipe I, terdapat peningkatan
kadar kalsium dalam urin meskipun dilakukan restriksi diet kalsium. Tipe II AH merupakan
penyebab batu saluran kemih yang cukup umum dan bergantung pada diet. Pada tipe II AH,
eksresi kalsium normal pada restriksi kalsium diet. Pasien harus membatasi konsumsi
kalsium sekitar 400-600mg/hari. Tipe III AH disebabkan kebocoran fosfat pada ginjal.
Menurunnya kadar fosfat mengakibatkan meningkatnya sintesis 1, 25-dihidroksivitamin D.
Kaskade fisiologis tersebut akan meningkatkan absorpsi fosfat dan kalsium pada usus dan
meningkatnya eksresi kalsium dari ginjal, mengakibatkan hiperkalsiuria (Pearle et al, 2012).
b. Resorptive Hypercalciuric Nephrolithiasis
Sekitar separuh dari pasien dengan hiperparatiroid primer mengalami batu saluran
kemih. Pasien dengan batu kalsium fosfat, wanita dengan batu kalsium berulang harus
dicurigai memiliki hiperparatiroid. Hiperkalsemia merupakan tanda umum dari
hiperparatiroid. Hormon paratiroid menghasilkan peningkatan kadar fosfor dalam urin dan
menurunnya kadar fosfor dalam plasma, diikuti dengan meningkatnya kalsium plasma dan
urin.
c. Renal Hypercalciuria
Ginjal menyaring sekitar 270 mmol kalsium dan melakukan reabsorpsi lebih dari 98%
diantaranya untuk mempertahankan homeostasis kalsium. Sekitar 70% reabsorpsi kalsium
berlangsung di tubulus proksimal. Reabsorpsi kalsium tersebut berlangsung secara
paraselular. Pada hiperkalsiuria renal, kerusakan pada tubulus ginjal mengakibatkan
gangguan pada reabsorpsi kalsium. Hal ini menyebabkan meningkatnya kadar kalsium dalam

16
urin. Kadar kalsium dalam serum tetap normal disebabkan ginjal yang kehilangan kalsium
dikompensasi oleh meningkatnya absorpsi kalsium melalui pencernaan dan mobilisasi
kalsium dari tulang diakibatkan peningkatan hormon paratiroid (Pearle et al, 2012).
d. Hyperoxalouric calcium nephrolithiasis
Hyperoxalouric calcium nephrolithiasis disebabkan oleh meningkatnya kadar oksalat
dalam urin yaitu diatas 40 mg dalam 24 jam. Biasanya hal ini ditemukan pada pasien dengan
inflammatory bowel disease, diare kronik, dan dehidrasi berat dan jarang ditemukan yang
diakibatkan oleh konsumsi oksalat yang berlebih. Diare kronik yang menyebabkan
malabsorpsi mengakibatkan meningkatnya kadar lemak dan empedu. Kalsium intralumen
akan berikatan dengan lemak, menyebabkan terjadinya proses sponifikasi. Kadar kalsium
yang rendah menyebabkan kalsium yang seharusnya berikatan dengan oksalat menurun.
Oksalat yang bebas siap untuk diserap dan tidak terpengaruh dengan inhibitor-inhibitor.
Absorpsi oksalat yang meningkat mengakibatkan meningkatnya pembentukan produk dari
kalsium oksalat. Hal ini mengakibatkan potensi terjadinya nukleasi dan pertumbuhan kristal
(Pearle et al, 2012).
e. Hypocitraturic calcium nephrolithiasis
Sitrat merupakan inhibitor penting dari batu saluran kemih. Meningkatnya permintaan
metabolic di mitokondria sel-sel ginjal menyebabkan menurunnya eksresi urin. Hal ini terjadi
pada asidosis metabolik, hipokalemia, puasa, hipomagnesia, androgen dan glukoneogenesis
(Pearle et al, 2012).
Bila membentuk kompleks dengan kalsium, akan menurunkan konsentrasi kalsium
dan menurunnya energi untuk nukleasi. Sitrat juga menghambat agglomerasi, nukleasi
spontan dan pertumbuhan kristal dari kalsium oksalat dan menurunkan kadar monosodium
urat (Pearle et al, 2012).

2.5.2. Batu Struvite


Menurut Griffith (1978) dalam Sellaturay (2011), batu struvite dibentuk dari
magnesium, ammonium dan fosfat. Pertama kali ditemukan oleh Ulex, seorang geologis asal
Swedia pada abad ke-18. Nama ‘struvite’ berasal dari diplomat dan ilmuwan Rusia H.C.G
von Struve. Brown menemukan bahwa bakteri akan memecah urin dan memfasilitasi
pembentukan batu. Ia mengisolasi Proteus vulgaris dari inti batu yang sekarang diketahu

17
mensekresikan urease. Batu struvite umumnya ditemukan pada wanita dan sering berulang
dalam waktu singkat. Mikroorganisme lain yang memecah urea dan dapat menyebabkan batu
struvite adalah Proteus, Pseudomonas, Providencia, Klebsiella, Staphylococci, dan
Mycoplasma. Kadar amonia yang tinggi dari organisme-organisme tersebut mengakibatkan
alkalinisasi pH urin sampai 7,2 sehingga kristal MAP akan mengendap (Stoller, 2008).
Untuk membentuk batu struvite, urin harus mengandung amonia dan ion trivalent
fosfat pada saat yang sama. Tubulus ginjal hanya menghasilkan amonia apabila organisme
mengeksresikan asam, akan tetapi ion trivalent fosfat tidak tersedia pada saat urin bersifat
asam, oleh karena itu batu struvite tidak terbentuk saat kondisi fisiologis. Pada kondisi
patologis, dimana terdapat bakteri yang menghasilkan urease, urea akan dipecah menjadi
amonia dan asam karbonat. Selanjutnya, amonia akan bercampur dengan air untuk
menghasilkan ammonium hidroksida pada kondisi basa, dan akan menghasilkan bikarbonat
dan ion karbonat. Alkalinisasi urin oleh reaksi urease tadi menghasilkan NH4, yang akan
membentuk ion karbonat dan ion trivalent fosfat. Inilah yang akan membentuk batu struvite
(Sellaturay, 2011)

Gambar 2.4. Skema Pembentukan Batu Struvite


Sumber : Campbell-Walsh Urology 10th edition. Urinary Lithiasis. Pearle, M. 45;1283
2.5.3. Batu Asam Urat
Batu asam urat merupakan jenis batu yang lazim ditemukan pada pria dan memiliki
angka kejadian 5% dari seluruh kejadian batu. Pasien dengan gout, penyakit proliferatif,

18
penurunan berat badan yang cepat serta riwayat penggunaan obat-obat sitotoksik memiliki
insiden yang tinggi pada batu asam urat. Tidak seluruh pasien dengan batu asam urat
mengalami hiperurisemia,. Naiknya kadar asam urat dalam urin dipicu oleh kurangnya cairan
dan konsumsi purin yang berlebihan. Terdapat 3 faktor utama pada pembentukan batu asam
urat yaitu pH urin yang rendah, volume urin yang rendah dan hyperuricosuria. Faktor
patogenesis utama adalah pH urin yang rendah karena umumnya pasien dengan batu asam
uran memiliki kadar eksresi asam urat yang normal (Pak et al, 2003).

Gambar 2.5. Skema Pembentukan Batu Asam Urat


Sumber : Campbell-Walsh Urology 10th edition. Urinary Lithiasis. Pearle, M.
45;1277
Hiperurikosuria menjadi faktor predisposisi pada pembentukan batu asam urat dan
batu kalsium oksalat karena menyebabkan supersaturasi urin. Pasien dengan kadar asam urat
dalam urin dibawah 600mg/hari memiliki batu yang lebih sedikit dari pasien yang memiliki
kadar asam urat diatas 1000mg/hari dalam urin. Batu asam urat dapat dihasilkan secara
kongenital, didapat, atau idiopatik. Kelainan congenital yang berhubungan dengan batu asam
urat melibatkan transpor urat di tubulus ginjal atau metabolisme asam urat menyebabkan
hiperurikosuria. Kelainan didapat dapat berupa diare kronik, turunnya volume urin, penyakit-
penyakit myeloproliferatif, tingginya konsumsi protein hewani, dan obat obatan yang
menyebabkan 3 faktor diatas (Pearle et al, 2012).

2.5.4. Batu sistin


Batu Sistin terjadi pada saat kehamilan, disebabkan karena gangguan ginjal.
Merupakan batu yang paling jarang dijumpai dengan frekuensi kejadian 1-2%. Reabsorbsi
asam amino, sistin, arginin, lysin dan ornithine berkurang, pembentukan batu terjadi saat
19
bayi. Disebabkan faktor keturunan dan pH urine yang asam. Selain karena urine yang sangat
jenuh, pembentukan batu dapat juga terjadi pada individu yang memiliki riwayat batu
sebelumnya atau pada individu yang statis karena imobilitas. Memerlukan pengobatan
seumur hidup, diet mungkin menyebabkan pembentukan batu, pengenceran air kemih yang
rendah dan asupan protein hewani yang tinggi menaikkan ekskresi sistin dalam air kemih.

2.6. Manifestasi Klinis dan Evaluasi Pasien Batu Saluran Kemih


Banyak gejala serta tanda yang dapat menyertai penyakit batu saluran kemih.
Walaupun begitu, ada juga beberapa batu yang tidak menunjukkan gejala atau tanda khusus
tetapi ditemukan pada hasil pemeriksaan radiologi. Manisfestasi klinik adanya batu dalam
saluran kemih bergantung pada adanya obstruksi, infeksi, dan edema. Gejala-gejala yang
sering timbul pada pasien dapat berupa nyeri, hematuria, mual, muntah, demam, dan
gangguan buang air kecil seperti frekuensi, urgensi dan disuria. (Pahira & Pevzner, 2007).
Nyeri merupakan gejala yang paling sering menyertai penyakit batu saluran kemih,
mulai dari nyeri sedang sampai nyeri berat yang memerlukan pemberian analgesik. Nyeri
biasanya terjadi pada batu di saluran kemih bagian atas, dengan karakter nyeri bergantung
pada lokasi batu, ukuran batu, derajat obstruksi, dan kondisi anatomis setiap orang yang
berbeda-beda. Nyeri yang terjadi dapat berupa kolik maupun nonkolik (Pearle et al, 2012)
Nyeri kolik pada ginjal biasanya terjadi diakibatkan meregangnya ureter atau
collecting duct, diakibatkan adanya obstruksi saluran kemih. Obstruksi juga menyebabkan
meningkatnya tekanan intraluminal, meregangnya ujung-ujung saraf, dan mekanisme lokal
pada lokasi obstruksi seperti inflamasi, edema, hiperperistaltik dan iritasi mukosa yang
berpengaruh pada nyeri yang dialami oleh pasien (Stoller, 2008)
Pada obstruksi di renal calyx, nyeri yang terjadi berupa rasa nyeri yang dalam pada
daerah flank atau punggung dengan intensitas bervariasi. Nyeri dapat muncul pada konsumsi
cairan yang berlebihan. Pada obstruksi renal pelvic dengan diameter batu diatas 1 cm, nyeri
akan muncul pada sudut costovertebra. Nyeri yang timbul dapat berupa nyeri yang redup
sampai nyeri yang tajam yang konstan dan tidak tertahankan, dan dapat merambat ke flank
dan daerah kuadran abdomen ipsilateral (Stoller, 2008).
Obstruksi di proximal ureter menimbulkan nyeri pada sudut kostovertebra yang intens
dan dapat merambat sepanjang dermatom dari saraf spinal yang terpengaruh. Pada obstruksi
ureter bagian atas, nyeri merambat ke daerah lumbal, sementara pada obstruksi midureter
nyeri merambat ke daerah lower abdomen. Obstruksi di ureter bagian distal cenderung

20
menyebabkan nyeri yang merambat ke daerah lipat paha dan testis pada pria atau labia
mayora pada wanita. Rambatan nyeri tersebut dihantarkan melalui nervus ilioinguinal atau
cabang genital dari nervus genitofemoral (Stoller, 2008).
Insiden hematuria pada pasien batu saluran kemih diperkirakan mencapai 90%
berdasarkan teori yang ada. Akan tetapi, tidak adanya hematuria tidak menjadi jaminan
bahwa batu saluran kemih tidak terjadi. Diperkirakan 10% pasien memiliki hasil negatif pada
pemeriksaan mikroskopi dan dipstick (Lallas et al, 2011)
Pemeriksaan urinalisis lengkap diperlukan untuk memastikan diagnosa batu saluran
kemih berdasarkan hematuria dan kristaluria dan pH urin. Pasien biasanya mengeluhkan
warna urin yang seperti teh pekat. Pada 10-15 % kasus, mikrohematuria tidak terjadi akibat
obstruksi komplit dari ureter.
Demam yang berhubungan dengan adanya batu saluran kemih menunjukkan suatu
kondisi gawat darurat. Demam merupakan salah satu dari gejala sepsis selain takikardi,
hipotensi dan vasodilatasi. Sementara itu, mual dan muntah terjadi akibat kolik yang
dirasakan oleh pasien (Stoller, 2008).
Tabel 2.1 Hal-hal yang Perlu Dipertimbangkan dalam Identifikasi Pasien Batu Saluran Kemih
Hal-hal yang perlu digali dalam Pertanyaan yang diajukan
Anamnesis
Kronologis kejadian batu Usia, ukuran batu, jumlah batu,
ginjal yang dipengaruhi oleh batu,
batu keluar spontan atau dilakukan
intervensi, infeksi terkait, gejala
yang terjadi
Penyakit penyerta Chrohn’s disease, colectomy,
sarcoidosis, hyperparathyroidism,
hyperthyroidism, gout
Riwayat keluarga yang mengalami
batu saluran kemih
Riwayat pemakaian obat Acetazolamide, asam askorbat,
kortikosteroid, antasida yang
mengandung kalsium, triamterene,
acyclovir, indinavir
Pekerjaan dan gaya hidup
Sumber : Sumber : Penn Clinical Manual of Urology (2008). Urinary Stone Disease.
Pahira, J dan Pevzner, M;8:24
Setelah menggali riwayat pasien, evaluasi yang dilakukan adalah pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik yang detail merupakan komponen penting dalam evaluasi pasien dengan
batu saluran kemih. Hal-hal yang dapat dilihat seperti takikardia, berkeringat, mual, demam,
21
dan menyingkirkan kemungkinan kemungkinan kelainan pada abdomen dan lumbal (Pahira
dan Pevzner, 2007)
Tabel 2.2 Diagnosa Laboratorium Pasien Batu Saluran Kemih
Pengukuran Kadar normal Tujuan
Kalsium darah 8.8-10.3 mg/dl Deteksi hiperparatiroid,
kelebihan
vitamin D, sarkoidosis
Fosfat darah 2.5-5.0 mg/dl Deteksi hiperparatiroid
Kreatinin darah 0.6-1.2 mg/dl Dekteksi Chronic Kidney
Disease
Bikarbonat darah 20-28 mmol/L Deteksi Renal Tubular
Acidosis
Cl- darah 95-105 mmol/L Deteksi Renal Tubular
Acidosis
K+ darah 3.5-4.8 mmol/L Deteksi Renal Tubular
Acidosis,
gangguan makan dan
penyakit
gastrointestinal
Volume urin >1.5 L/hari >1.5 L/hari Deteksi volume urin yang
rendah
akibat batu
Kalsium urin <250mg/hari(wanita) Deteksi hiperkalsiuria
<300mg/ hari (pria)
Oksalat urin <40mg/hari Deteksi Deteksi hiperoksalouria

pH urin 5.8-6.2 Supersaturasi kalsium fosfat


dan asam urat

Fosfat urin 500-1500 mg/hari Supersaturasi kalsium fosfat

Sitrat urin >550mg/hari(wanita) Deteksi kadar sitrat yang


>450mg/hari (pria) rendah

Asam urat <750mg/hari (wanita) Deteksi hiperurikosuria


<800mg/hari (pria)
Sumber : Sumber : Calcium Kidney Stone (2010). Worchester, E.M.

Pemeriksaan anjuran selanjutnya adalah pemeriksaan radiologi. Bila tersedia,


pemeriksaan ultrasonografi merupakan instrumen diagnostik radiologi yang utama pada
pasien. Ultrasonografi dapat mengidentifikasi lokasi batu pada calyx, pelvis, ureter, dan lain-
lain. Di Amerika Serikat, pada pasien batu saluran kemih, pemeriksaan ultrasonografi
memiliki sensitivitas 78% dan spesifisitas 31% (Turk et al, 2013). Selain ultrasonografi,
pemeriksaan radiologi lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan foto polos. Foto polos
22
(KUB) dapat digunakan untuk melihat posisi batu di ginjal, ureter, dan kandung kemih. KUB
memiliki sensitivitas 90% dalam mendeteksi batu saluran kemih, dan 92% batu dapat
ditentukan melalui tindakan ini (Turk et al, 2013). KUB dapat dijadikan pilhan untuk
pemeriksaan yang cepat, ekonomis dan akurat. Akan tetapi, foto polos tidak dapat digunakan
untuk mendeteksi batu yang bersifat non-opaque dan batu berukuran dibawah 2 mm (Pahira
dan Pevzner, 2007).
IVP (Intravenous Pyelogram) adalah prosedur diagnostik untuk menentukan batu
intrarenal dan kondisi anatomi ureter. IVP memiliki sensitivitas dan spesifisits yang tinggi
untuk menentukan lokasi batu dan derajat obstruksi. IVP dapat mendeteksi batu radiolucent
dan kelainan anatomi yang berhubungan dengan pembentukan batu. (Pahira dan Pevzner,
2007).
Non Contrast Computed Tomography (NCCT) telah menjadi standar dalam
mendiagnosa nyeri akut menggantikan Intravenous Urography (IVU) yang telah menjadi
baku emas selama bertahun-tahun. NCCT juga dapat digunakan untuk diagnosa kelainan
peritoneal dan retroperitoneal dan membantu bila diagnosa belum pasti. NCCT dapat
mendeteksi batu asam urat dan batu xanthine yang bersifat radiolucent pada foto polos.
NCCT memiliki sensitivitas 97% dan spesivisitas 96% (Turk et al, 2013).

2.7 Penatalaksanaan Batu Saluran Kemih


2.7.1 Penatalaksanaan Konservatif
Penatalaksanaan konservatif diberikan pada pasien tanpa riwayat batu saluran kemih.
Penatalaksanaan non-farmakologis dapat mengurangi insiden rekuren batu per 5 tahun
sampai 60%. Penatalaksanaan konservatif berupa :
1. Konsumsi cairan minimal 8-10 gelas per hari dengan tujuan menjaga volume urin agar
berjumlah lebih dari 2 liter per hari
2. Mengurangi konsumsi protein hewani sekitar 0,8 – 1,0 gram/kgBB/hari untuk mengurangi
insiden pembentukan batu
3. Diet rendah natrium sekitar 2-3 g/hari atau 80-100 mEq/hari efektif untuk mengurangi
eksresi kalsium pada pasien dengan hiperkalsiuria
4. Mencegah penggunaan obat-obat yang dapat menyebabkan pembentukan batu seperti
calcitrol, suplemen kalsium, diuretic kuat dan probenecid

23
5. Mengurangi makanan yang berkadar oksalat tinggi untuk mengurangi pembentukan batu.
Makanan yang harus dikurangi seperti teh, bayam, coklat, kacang-kacangan dan lain-lain
(Pearle et al, 2012)

Gambar 2.6 Algoritma penatalaksanaan non-invasiv batu saluran kemih


Sumber : Campbell-Walsh Urology 10th Edition. Evaluation and Medical
Management of Urinary Lithiasis. Pearle, M. 46;1331

2.7.2 Penatalaksanaan Spesifik


1. Batu kalsium
Untuk Absorptive hypercalciuria tipe I dapat diberikan diuretik tiazid 25-50 mg untuk
menurunkan kadar kalsium dalam urin sampai 150 mg/hari. Hal ini terjadi melalui turunnya
volume urin yang mengakibatkan kompensasi meningkatnya reabsorpsi natrium dan kalsium
di tubulus proksimal. Alternatif lain yang dapat diberikan yaitu chlorthalidone 25-50 mg,
indapamide 1,25-2,5 mg/hari (Stoller, 2008).
Pada AH tipe II, dilakukan restriksi diet kalsium 600 mg/hari. Restriksi diet natrium
juga penting untuk menurunkan hiperkalsiuria. Tiazid dan suplemen kalium sitrat juga dapat

24
diberikan apabila penatalaksanaan konservatif tidak efektif. Pada AH tipe III, diberikan
orthophospate yang akan menurunkan kadar 1,25(OH)2D3 dan meningkatkan kadar inhibitor
dalam urin. Tiazid juga diberikan pada renal hiperkalsiuria untuk meningkatkan reabsorpsi
kalsium di tubulus. Hal ini akan menormalkan kadar kalsium dalam serum dan menurunkan
kadar hormon paratiroid. Diet natrium juga dikurangi menjadi 2 g/hari dan menjaga natrium
urin dibawah 100 mEq/hari.
Pada hiperoksalouria primer, pyridoxine dapat menurunkan produksi oksalat endogen.
Dosis pyridoxine yang dianjurkan adalah 100-800 mg/hari. Orthophospate oral juga dapat
diberikan dalam dosis 4 kali sehari. Magnesium oral, suplemen kalium sitrat dan konsumsi
cairan yang ditambah dapat membantu terapi (Turk et al, 2013) Pasien dengan hipositraturia
diberikan kalium sitrat untuk meningkatkan pH intraselular dan produksi sitrat. Selain kalium
sitrat, konsumsi jus lemon setiap hari yang dilarutkan dalam 2 liter air akan meningkatkan
kadar sitrat dalam urin (Stoller, 2008).
2. Batu asam urat
Untuk pasien dengan batu asam urat, penatalaksanaan harus dilakukan adalah
penatalaksanaan konservatif dibantu dengan pemberian obat-obatan. Pemberian
acetazolamide 250-500 mg pada malam hari akan berguna untuk mengontrol pH urin.
Allupurinol diberikan apabila kadar asam urat dalam darah diatas 800 mg/hari dan pH urin
diatas 6,5. Suplementasi kalium sitrat berguna untuk menjaga pH urin tetap bersifat alkali
sekitar 6,5. Kadar pH dalam urin harus tetap dijaga agar tidak naik sampai keatas 7, untuk
mengurangi resiko terbentuknya batu kalsium fosfat (Pearle et al, 2012).
3. Batu sistin
Pasien dengan batu sistin harus meningkatkan konsumsi cairan agar mendapatkan urin
sekitar 3,5 liter setiap harinya untuk disolusi maksimal dari batu sistin. Alkalinisasi urin
menggunakan kalium sitrat atau sodium bikarbonat digunakan untuk menjaga pH urin 7,5-
8,5. Urin yang alkali akan meningkatkan larutnya sistin dalam urin (EAU Guideline, 2013).
Bila pengobatan diatas tidak berhasil dan kadar sistin dalam urin diatas 3 mmol per
hari, maka dapat diberikan tiopronin. Dosis tiopronin yang digunakan adalah 250 mg per hari.
Tiopronin dianggap lebih baik dari pendahulunya yaitu D-penicillamine yang dianggap
menimbulkan banyak efek samping (EAU Guideline, 2013).
2.7.3 Modalitas terapi
1. Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)

25
Tehnik PCNL dilakukan melalui akses pada lower calyx, selanjutnya dilakukan
dilatasi menggunakan balloon dilator atau Amplatz dilator dengan bantuan fluoroscopy dan
batu dihancurkan menggunakan elektrohidrolik, ultrasonic atau litotripsi laser (Pearle et al,
2012)
Indikasi melakukan PCNL adalah batu staghorn, batu ginjal dengan ukuran diatas 3
cm, batu sistin, adanya abnormalitas ginjal dan saluran kemih bagian atas, kegagalan pada
ESWL dan uretroscpy, dan batu pada ginjal hasil transplantasi. PCNL tidak dapat dilakukan
pada kondisi perdarahan, infeksi saluran kemih yang tidak terkontrol, dan faktor-faktor yang
mengakibatkan PCNL tidak optimal seperti obesitas dan splenomegaly (Stoller, 2008)
2. Uretroscopy (URS)
URS merupakan baku emas untuk penatalaksanaan batu ureter tengah dan distal.
Penggunaan uretroskop dengan kaliber yang kecil dan balloon dilatation meningkatkan stone-
free rate secara dramatis. Terdapat variasi pada lithotries yang dapat ditempatkan pada
uretroscope termasuk elektrohidrolik, probe ultrasonic, laser dan system pneumatic seperti
Swiss lithoclast. Lithotrites elektrohidrolik memiliki tenaga 120 volt yang dapat
menghasilkan gelombang kejut. Lithotrites ultrasonik memiliki sumber energi piezoceramic
yang dapat mengubah energi listrik menjadi gelombang ultrasonik 25.000 Hz, sehingga dapat
efektik mengakibatkan fragmentasi pada batu tersebut (Stoller, 2008)
URS efektif digunakan pada batu ureter dengan tingkat keberhasilan 98-99% pada
batu ureter distal, 51-97% pada batu mid ureter dan 58-88% pada batu ureter atas. URS
memiliki komplikasi seperti abrasi mukosa, perforasi ureter, dan striktur ureter (Stoller,
2008).
2.7.4 Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
2.7.4.1 Cara Kerja ESWL
Prinsip kerja alat ESWL adalah menggunakan gelombang kejut. Gelombang kejut
adalah gelombang tekanan yang berenergi tinggi yang dapat dialirkan melalui udara maupun
air. Ketika berjalan melewati dua medium yang berbeda, energi tersebut dilepaskan,
menyebabkan batu terfragmentasi. Gelombang kejut tidak menyebabkan kerusakan bila
melewati substansi dengan kepadatan yang sama. Oleh karena air dan jaringan tubuh
memiliki kepadatan yang sama, gelombang kejut tidak merusak kulit dan jaringan dalam
tubuh. Batu saluran kemih memiliki kepadatan akustik yang berbeda, dan bila dikenai
gelombang kejut, batu tersebut akan pecah, Setelah batu terfragmentasi, batu akan keluar dari
saluran kemih (Pahira dan Pevzner, 2007).

26
Terdapat beberapa mekanisme dalam pemecahan batu melalui ESWL bergantung pada
energi yang digunakan, yaitu :
1. Generator elektrohidrolik
Pada generator elektrohidrolik, gelombang kejut yang berbentuk bulat dihasilkan oleh
percikan air. Voltase yang tinggi diberikan pada dua elektroda yang berhadapan dengan jarak
1 mm. Voltase yang tinggi tersebut menyebabkan air menguap pada ujung elektroda.
Selanjutnya gelombang kejut yang terbentuk difokuskan pada batu, dengan meletakkan
elektroda pada suatu fokus dan elektroda lain pada target fokus. Dengan ini, mayoritas
gelombang kejut yang dihasilkan oleh elektroda akan mengenai batu pada F1. Kekurangan
generator elektrohidrolik ini adalah tekanannya yang berfluktuasi dan daya hidup elektroda
yang singkat.
2. Generator elektromagnetik
Generator elektromagnetik menggunakan gelombang kejut yang berbentuk silinder
atau datar. Gelombang yang datar akan difokuskan oleh sebuah lensa akustik sementara
gelombang silinder akan direfleksikan oleh sebuah reflector parabolik. Prinsip kerja generator
ini cukup sederhana, yaitu sebuah shock tube yang diisi air mengandung 2 plat silinder yang
dipisahkan oleh lembaran pelindung. Ketika arus listrik dikirimkan satu atau kedua
konduktor, gerakan plat terhadap air dan sekitarnya menghasilkan suatu gelombang tekanan.
Tenaga elektromagnetik terbentuk yang disebut dengan tekanan magnetik menyebabkan
gelombang kejut di air. Energi dari gelombang kejut yang dihasilkan dikonsentrasikan pada
target melalui lensa akustik. Selanjutnya, tenaga akan difokuskan pada satu titik fokal dan
diposisikan terha dap target (F2) (Pearle et al, 2012).

27
Gambar 2.7 Skema cara kerja generator elektromagnetik menggunakan lensa akustik
Sumber : Campbell-Walsh Urology 10th Edition. Evaluation and Medical Management of
Urinary Lithiasis. Pearle, M. 46;1331

Gambar 2.8 Skema cara kerja generator elektromagnetik menggunakan reflektor parabolik
Sumber : Campbell-Walsh Urology 10th Edition. Evaluation and Medical Management of
Urinary Lithiasis. Pearle, M. 46;1331
28
Generator elektromagnetik lebih mudah dikontrol dan mudah diproduksi. Keuntungan
lainnya adalah pajanan terhadap tubuh pada daerah yang luas menyebabkan nyeri yang
kurang. Titik fokal yang kecil dengan energi yang besar meningkatkan efektifitas dari
pemecahan batu. (Pearle et al, 2012). Akan tetapi, hal ini juga meningkatkan resiko
hematoma subkapsular sekitar 3,1-3,7% menurut Dhar (2004) dalam Pearle (2012).
Hematoma perinefrik juga terjadi pada 12% pasien menurut Piper (2001) dalam
Pearle (2012)..
3. Generator piezoelektrik
Litotripter piezoelektrik menghasilkan gelombang kejut yang datar dan konvergen.
Generator ini dibuat dari elemen barium titanate yang kecil dan terpolarisasi yang dapat
dengan cepat menghantarkan arus gelombang. Oleh karena ukurannya yang kecil, diperlukan
300-3000 kristal piezoelektrik untuk menghasilkan gelombang kejut yang besar. Elemen
piezoelektri diletakkan pada suatu tempat berbentuk seperti mangkok untuk menghasilkan
konvergensi gelombang. Fokusnya adalah pusat geometrik dari bentuk mangkok tersebut.

Gambar 2.9 Skema cara kerja generator piezoelektrik Campbell-Walsh Urology 10th Edition.
Evaluation and Medical Management of Urinary Lithiasis. Pearle, M. 46;1331

Keuntungan dari generator ini adalah fokus yang akurat, dan kemungkinannya untuk
dilakukan tindakan tanpa anastesi karena kekuatan energi yang tendah pada kulit saat
gelombang kejut memasuki tubuh. Oleh karena itu, litotripter piezoelektrik menjai pilihan
karena merupakan pilihan yang paling nyaman dibandingkan sumber energi lain.
Kekurangannya adalah tenaga yang dihasilkan kurang sufisien, sehingga memperlambat

29
proses pemecahan batu secara efektif. Piezoelektrik menghasilkan tekanan puncak yang
paling besar dibandingkan dengan litotripter lain, akan tetapi dikarenakan volume dari
piezoelektrik yang kecil maka energi yang dihantarkan menjadi berkurang (Pearle et al, 2012)
2.7.4.2 Indikasi dan Kontraindikasi Tindakan ESWL
Tindakan ESWL hanya dapat dilakukan pada batu dengan lokasi ginjal dan ureter.
Lebih dari 90% batu pada orang dewasa dapat ditatalaksana dengan ESWL. ESWL
merupakan pilihan utama terapi pada batu proksimal ureter dengan ukuran dibawah 10 mm
dan 10-20 mm, baik pada ureter proksimal maupun distal. Tingkat kesuksesan tindakan
ESWL untuk batu dengan ukuran kurang dari 20 mm adalah 80-90%. Batu yang terletak di
lower calyx dan ureter memiliki tingkat fragmentasi 60-70%. Akan tetapi, tingkat kesuksesan
juga ditentukan oleh komposisi batu dan pelaksanaan ESWL (Stoller, 2008)
Kontraindikasi pelaksanaan ESWL terbagi 2, yaitu kontraindikasi absolut dan
kontraindikasi relatif.
Tabel 2.3 Kontraindikasi Tindakan ESWL
Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relatif

Kehamilan Kalsifikasi arteri


Perdarahan Aneurisma
Obstruksi di bawah lokasi batu Alat pacu jantung
Infeksi saluran kemih yang tidak terkontrol Obesitas
Malformasi skeletal
Sumber : Penn Clinical Manual of Urology (2008). Urinary Stone Disease.
Pahira, J dan Pevzner, M;8:253
2.7.4.3 Komplikasi tindakan ESWL
Sebagaimana tindakan lainnya, ESWL juga memiliki beberapa komplikasi seperti :
• Steinstrasse
• Pertumbuhan fragmen residu
• Kolik renal
• Bakteriuria pada pasien batu non-infeksi
• Sepsis
• Renal hematoma, baik simtomatik atau asimtomatik
• Dysrhythmia
• Hematoma limpa dan hati (Turk et al, 2013)

2.7.5 Tindakan Operasi

30
Penanganan BSK, biasanya terlebih dahulu diusahakan untuk mengeluarkan batu
secara spontan tanpa pembedahan/operasi. Tindakan bedah dilakukan jika batu tidak
merespon terhadap bentuk penanganan lainnya. Ada beberapa jenis tindakan pembedahan,
nama dari tindakan pembedahan tersebut tergantung dari lokasi dimana batu berada, yaitu :
30
a. Nefrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang berada di dalam
ginjal

b. Ureterolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang berada di ureter

c. Vesikolitomi merupakan operasi tebuka untuk mengambil batu yang berada di vesica
urinearia

d. Uretrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang berada di uretra

31
BAB 3
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. AA
Usia : 70 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. RM : 971633
Agama : Islam
Suku : Minang
Masuk RS : 28 Februari 2017
Dirawat di : Bangsal bedah pria
Alamat : Dusun Kumbayan, Kecamatan Talawi, Sawahlunto

Keluhan Utama
Buang Air kecil berdarah sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
 Buang air kecil berdarah sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit.
 Riwayat rasa tidak puas sesudah BAK (+) sejak 1 bulan yang lalu.

 Riwayat mengedan saat BAK (+), BAK sulit keluar, terputus dan menetes (+) sejak 1
bulan yang lalu, dan pasien dirawat di RSUD Sawahlunto selama 19 hari
 Riwayat sering merasa ingin BAK (+) sejak 1 bulan yang lalu.

 Sebulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan sering terbangun malam
hari untuk buang air kecil. Semalam terbangun sampai 3 kali. Pancaran urin tidak
terlalu kuat, pasien merasakan lampias setelah BAK,
 Pada pasien sudah terpasang kateter sejak 1 bulan yang lalu, dan
 Tidak ada keluar nanah dari BAK.
 Tidak ada keluar batu dari BAK.
 Tidak ada riwayat BAK berpasir.
 Nyeri pada di region perut bawah (+), terutama saat akan BAK.

 Keluhan demam ada


 Pasien tidak merasa mual ataupun muntah.
 Riwayat trauma abdomen dan genital tidak ada.
 BAB tidak ada keluhan
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menderita hipertensi lebih kurang sejak 10 tahun yang lalu terkontrol dengan obat,
riwayat DM dan penyakit keganasandisangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
32
Tidak ada riwayat penyakit keturunan, penyakit menular, dan penyakit kejiwaan.
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan dan penyakit yang sama dengan pasien.
Riwayat kebiasaan
- Kebiasaan minum air putih sebanyak 1 liter/hari
- Riwayat merokok, 3 bungkus sehari namun sudah berhenti semenjak 15 tahun yang
lalu.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Keadaan gizi : Sedang
Berat Badan : 70 kg

Vital Sign
Tekanan Darah : 160/100mmHg
Nadi : 80 x/menit
Nafas : 18 x/menit
Temperatur : 36,50 C
Status Generalis
Kepala : Tidak ditemukan kelainan
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor,
d 3mm/3mm, reflek cahaya +/+
Kulit : Tidak ditemukan kelainan
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Tidak ditemukan kelainan
Mulut : Tidak ditemukan kelainan
Leher : Tidak ditemukan kelainan
Thorax : Tidak ditemukan kelainan
Jantung : Tidak ditemukan kelainan
Paru : Tidak ditemukan kelainan
Abdomen : Supel, NT (-) di hipocondrium sinistra dan lumbal sinistra, NL (-), ,
Balotement -/-
Ekstremitas : Tidak ditemukan kelainan

Status Urologikus

Regio Flank/CVA Kanan Kiri


Tanda radang - -
Jaringan parut - -
Ballotement - -
Nyeri tekan - -
Nyeri ketok - -
Massa - -

Regio supra pubis

33
Inspeksi : Tidak tampak membesar, jejas(-), distensi(-)
Palpasi : NT (-), massa (-)
Regio genitalia
Penis
Kulit normal , MUE (+) di bagian bawah penis,terpasang kateter, produksi
urine bewarna merah pekat.
Scrotum
Kulit normal, testis (+/+) konsistensi kenyal

PEMERIKSAAN PENUNJANG(?)
 Pemeriksaan Hematologi
Hb : 10,1 g/dl (11,5-15,5)
Leukosit : 12.300 /mm3 (3.500-13.500)
Trombosit : 197.000 /mm3 (150.000-440.000)
PT : 10,3 detik (10,0-13,60)
APTT : 37,6 detik (29,20-39,40)
Hitung jenis : 0/6/0/64/28/2 % (0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8)
GDS : 136 mg/dl (70-125)
Gula darah 2 jam pp : 87 mg/dl (<200)
Ureum darah : 35 mg/dl (10-50)
Kreatinin darah : 2,0 mg/dl (0,6-1,1)
As. Urat : 11,3 mg/dl (3-7)
Kalsium : 8,2 mg/dl (8,1-10,4)
Natrium : 127 Mmol/l (136-145)
Kalium : 3,5 Mmol/l (3,5-5,1)
Klorida serum : 100 Mmol/l (97-111)
Total protein : 7 g/dl (6,6-8,7)
Albumin : 3 g/dl (3,8-5,0)
Globulin : 4,0 g/dl (1,3-2,7)
SGOT : 23 u/l (<38)
SGPT : 20 u/l (<41)
 Pemeriksaan analisis urin :
Makroskopis
Warna : merah kehitaman
Kekeruhan : +

34
Mikroskopis
Leukosit : 100-120 /LPB (<5)
Eritrosit : 3-4 (<1)
Silinder : negatif
Kristal : negatif
Epitel : gepeng +
Kimia
Protein :+
Glukosa : negatif
Bilirubin : nehatif
Urobilinogen : +
Kesan/ leukosituria, proteinuria, hematuria
 Foto polo abdomen BNO : tidak terlihat adanya batu
 Sistoskopi: Terlihat uretra normal, prostat normal, nodul (-), buli tampak normal, terlihat
adanya batu dengan ukuran ±3cm , massa (-)

35
DIAGNOSA KERJA
Vesikolitiasis

PENATALAKSANAAN
Cefoperazon 2 x 1 gram
Ca polystyrene sulfonate 3 x 1 sachet (15-30 g/hari)
Transfusi PRC sampai Hb >10 gr/dl
Paracetamol 3 x 1 tab
RENCANA
Pro Extended Pyelolithotomi sinistra

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Penn Clinical Manual of Urology (2008). Urinary Stone Disease.


Pahira, J dan Pevzner, M;8:253
2. BUKU AJAR ILMU BEDAH edisi 2, R.Sjamsuhidat, Wim de Jong. EGC, Jakarta
2004. (hal 809-810)

3. American Urological Association. 2005. Urinary Stone. Jurnal

4. Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Jakarta :Sagung Seto

5. Matlaga, Brian R. 2011. Minimal Invasive Surgery Extracorporal Shock Wave


Lithotripsy. 1 Juni 2011. Johns Hopkins Medicine Jurnal. http://urology.jhu.edu

6. Atlas Berwarna & Teks Anatomi Manusia jilid 3, edisi 6, sistem saraf dan alat-alat
sensoris. Kahle, Leonhardt, Platzer. (Hipokrates, hal 262-271)

7. KAMUS KEDOKTERAN DORLAND, Penerbit Buku Kedokteran EGC

8. Campbell-Walsh Urology 10th edition. Urinary Lithiasis. Pearle, M. 45;1257

9. Pedoman diagnosis dan terapi, LAB/UPF ILMU BEDAH 1994, RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH DOKTER SOETOMO SURABAYA (hal 10-12)

37

Anda mungkin juga menyukai