Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom Down merupakan kelainan akibat dari mutasi kromosom

(chromosomal aberrations), dikenal dengan istilah aneuploidi yaitu keadaan jumlah

kromosom yang tidak normal. Apabila jumlahnya normal disebut euploidi. Aneuploidi

bisa terjadi pada kromosom somatik maupun kromosom sex (Russell, 2003). Pada

kromosom somatik misalnya trisomi 21 (Sindrom Down), trisomi 13 (Sindrom Patau),

trisomi 18 (Sindrom Edward) dan trisomi 16, sedangkan pada kromosom sex,

misalnya XXY (Sindrom Klinefelter), XO (Sindrom Turner), Sindrom XXX, dan

Sindrom XYY (Connor dan Smith, 1997; Russell, 2003).

Diantara kelainan-kelainan tersebut, trisomi 21 (Sindrom Down) merupakan

kasus yang paling sering terjadi, insidensinya menurut Connor dan Smith (1997), 1

dari 700 kelahiran hidup, sedangkan menurut Nussbaum et al. (2001), 1 dari 800

kelahiran hidup. Bila kita menggunakan patokan 1 : 800, maka di Indonesia saat ini

terdapat sekitar 300 ribu jiwa penderita dengan asumsi jumlah penduduk sekitar 240

juta jiwa, yang lebih parah lagi selalu disertai retardasi mental, sehingga tidak bisa

mandiri sepanjang hidupnya, usia harapan hidupnya tidak jauh berbeda dengan

orang normal bila tidak disertai kelainan lain, misalnya jantung, leukimia,

pencernaan, dan penyakit lainnya.

Gejala klinik atau fenotipe kelainan ini tidak selalu sama antar pasien, namun

tetap terlihat fenotipe yang khas, sehingga dapat dilakukan diagnosa sejak lahir.

1
Awalnya Sindrom Down dinamakan Mongolism Syndrome, karena memiliki

karakteristik epicanthal folds (lipatan epicantus) dan upslanting palpebral fissures

(fissura palpebralis miring ke atas), yang menyerupai wajah Ras Mongoloid, namun

karena mempunyai konotasi rasial, maka diganti dengan nama penemunya, yaitu

John Langdon Down. Gejala klinik lainnya adalah hipotoni yang terlihat ketika

neonatus, hidung kecil, muka datar, iris berbintik, perawakan pendek, kepala datar

(brachycephaly), leher pendek, mulut terbuka dan lidah terlihat, simian crease

(lipatan kulit melintang pada palma manus), dan retardasi mental (Nussbaum et al.,

2001).

Resiko terulang melahirkan anak dengan trisomi murni atau mosaik adalah

1% kelahiran hidup untuk ibu berusia muda. Namun, bila ibu berusia > 35 tahun

resiko terulang akan semakin tinggi. Sedangkan untuk balanced translokasi, setelah

dilakukan pemeriksaan amnion, resiko terulang untuk 14;21, jika gamet carrier

translokasi pada paternal, maka resiko terulang melahirkan anak dengan Sindrom

Down adalah 1%, dan jika gamet carrier translokasi pada maternal, maka resiko

terulangnya adalah 15%. Bila balanced translokasi 21;22, jika gamet carrier

translokasi pada paternal resiko terulangnya adalah 5% dan jika pada maternal

resiko terulangnya adalah 10%. Untuk translokasi isokromosom 21;21, baik gamet

carrier pada maternal maupun paternal resiko terulangnya 100% (Connor dan Smith,

1997).

Faktor usia maternal tampaknya mempunyai peran besar sebagai pencetus

kejadian Sindrom Down. Karena proses pembentukan ovum terjadi sejak janin. Saat

lahir baru menyelesaikan profase meiosis I lalu istirahat sampai masa puber dan

2
sebelum menopouse. Tiap satu bulan satu oosit telah selesai meiosis I dan

diovulasikan, bila dibuahi spermatozoa berlanjut ke meiosis II. Fenomena inilah yang

memicu terjadinya nondisjunction (Langman, 1981; Nussbaum et al., 2001; Jorde et

al., 2006).

Dari uraian yang merujuk berbagai sumber tersebut jelas bahwa kelainan ini

bisa terjadi pada siapa saja dan merupakan kasus yang paling sering dibanding

kelainan genetik lainnya. Diagnosis Sindrom Down perlu ditegakkan melalui

pemeriksaan kromosom (sitogenetik), yaitu pemeriksaan materi genetik pada tingkat

kromosom, yang dapat diamati dengan mikroskop cahaya.

Manfaat lain dari pemeriksaan sitogenetik sejak dini adalah mencegah resiko

terulangnya kelahiran Sindrom Down. Meskipun diketahui dalam keadaan trisomi 21

murni, kemungkinan terulang hanya 1%, tapi untuk mencegah terulangnya kelahiran

bayi dengan Sindrom Down, bisa dilakukan diagnosis prenatal, yaitu pemeriksan

kromosom dengan bahan cairan amnion. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan

positif trisomi 21, klinisi memberikan informasi pada orang tua tentang kondisi janin

yang dikandung ibu, sehingga mereka bisa menerima kondisi bayi saat lahir. Selain

itu, klinisi juga memberikan pengetahuan pada orang tua bagaimana cara merawat

anak tersebut agar dapat mandiri dan dapat meningkatkan kesehatannya. Tetapi,

bila dalam keadaan translokasi robertsonian, perlu disarankan pemeriksaan kedua

orang tuanya, karena ada kemungkinan di antara kromosom mereka terdapat

balanced translokasi, jika kedua orang tua normal, berarti kasus tersebut adalah de

novo atau mutasi baru. Bila diketahui di antara orang tuanya balanced translokasi

robertsonian, harus lebih waspada karena peluangnya 50% memiliki anak Sindrom

3
Down. Sedangkan, bila salah satu orang tuanya mempunyai tipe isokromosom,

maka sebaiknya tidak mempunyai anak lagi atau melakukan adopsi, karena 100%

bisa terulang.

Di Indonesia Laboratorium Sitogenetika masih langka, karena mungkin belum

disadari manfaatnya. Padahal ada beberapa indikator yang memerlukan

pemeriksaan kromosom, antara lain keterlambatan pertumbuhan, kelainan bentuk

wajah, sex ambigua, perawakan pendek, retardasi mental, infertilitas, keguguran

berulang, ibu hamil pada usia tua, dan kematian bayi pada bulan-bulan pertama

setelah lahir (Nussbaum et al., 2001).

Atas dasar itulah timbul keinginan untuk melakukan penelitian Penegakan

Diagnosis Klinik Pasien Sindrom Down Melalui Pemeriksaan Sitogenetik Untuk

Mengetahui Variasi dan Hubungannya dengan Usia Maternal.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan permasalahan

penelitian sebagai berikut:

1. Berapa persen pasien dengan diagnosis klinik Sindrom Down setelah

menjalani pemeriksaan sitogenetik menunjukkan kariotipe trisomi 21?

2. Apakah ada hubungan antara usia maternal dengan insidensi Sindrom

Down, baik trisomi murni, translokasi, maupun mosaik?

3. Apakah perbandingan penderita Sindrom Down antarara trisomi murni,

translokasi, dan mosaik saat ini sesuai dengan perbandingan teoritis?

4
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

1.3.1 Tujuan Umum

1. Melakukan pemeriksaan sitogenetik, baik pada diagnosis prenatal maupun

post natal.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk menghitung persentase pasien dengan diagnosis klinik Sindrom Down

yang menunjukkan kariotipe trisomi 21 setelah pemeriksaan sitogenetik.

2. Untuk mencari korelasi antara usia maternal dengan insidensi Sindrom

Down, baik trisomi murni, translokasi, maupun mosaik.

3. Untuk membandingkan jumlah penderita Sindrom Down trisomi murni,

translokasi, dan mosaik antara data saat ini (observasi) dengan data

terdahulu (teoritis).

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini adalah

1.4.1 Teoritis

1. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang kelainan kromosom, terutama

Sindrom Down.

2. Sebagai informasi bagi para klinisi, terutama Pediatri dan Obsgyn, akan

pentingnya penegakan diagnosis klinik melalui pemeriksaan sitogenetik pada

5
kasus-kasus yang berhubungan dengan kelainan kromosom, terutama

Sindrom Down.

3. Sebagai dasar penelitian selanjutnya, apabila ditemukan perbedaan

persentase antara trisomi murni, translokasi, dan mosaik antara dahulu dan

saat ini, untuk mengetahui penyebabnya yang saat ini masih belum jelas,

misalnya mutasi spontan atau mutasi baru (de novo) pada translokasi,

nondisjunction pada meiosis gametogenesis maupun mitosis zigot.

1.4.2 Aplikatif

1. Untuk mencegah terulangnya kelahiran dengan kelainan Sindrom Down.

2. Sebagai stimulus bagi Rumah Sakit Umum Daerah atau Rumah Sakit Besar

untuk membuka Laboratorium Sitogenetik dan memberikan pelayanan

Konseling Genetik.

3. Bagi pasangan suami istri bisa sebagai pertimbangan untuk mengatur

kehamilan, apabila diketahui usia maternal berhubungan dengan kejadian

Sindrom Down.

Anda mungkin juga menyukai