Anda di halaman 1dari 7

Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu

Salmonella Typhi.Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia,


dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja.

Demam tifoid, juga dikenal sebagai demam enterik, adalah penyakit multisistemik fatal terutama disebabkan oleh Salmonella typhi. Manifestasi protean demam tifoid membuat penyakit ini
menjadi tantangan diagnostik benar. Presentasi klasik mencakup demam, malaise, sakit perut menyebar, dan sembelit. Tidak diobati, demam tifoid adalah penyakit

melelahkan yang dapat berkembang menjadi delirium, obtundation, perdarahan usus, perforasi usus, dan kematian dalam waktu satu bulan onset. Korban dapat dibiarkan dengan komplikasi
neuropsikiatri jangka panjang atau permanen.

S typhi telah menjadi patogen utama manusia selama ribuan tahun, berkembang dalam kondisi sanitasi yang buruk, kelebihan populasi, dan kekacauan sosial. Hal itu mungkin karena
bertanggung jawab atas Wabah Besar Athena pada akhir Perang Pelopennesian. Typhi Nama S berasal dari typhos Yunani kuno, sebuah asap halus atau awan yang diyakini menyebabkan
penyakit dan kegilaan. Pada tahap lanjutan dari demam tifoid, tingkat pasien kesadaran benar-benar mendung. Meskipun antibiotik telah nyata mengurangi frekuensi demam tipus di negara
maju, tetap endemik di negara berkembang masih saja terjadi

Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi
cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak
berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara
aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º
C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah,
bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.

Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil
panas. Kuman ini dapat hidup lama di air yang kotor, makanan tercemar, dan alas tidur yang kotor. Siapa saja dan kapan saja dapat menderita penyakit ini. Termasuk bayi yang dilahirkan dari
ibu yang terkena demam tifoid. Lingkungan yang tidak bersih, yang terkontaminasi dengan Salmonella typhi merupakan penyebab paling sering timbulnya penyakit tifus. Kebiasaan tidak
sehat seperti jajan sembarangan, tidak mencuci tangan menjadi penyebab terbanyak penyakit ini. Penyakit tifus cukup menular lewat air seni atau tinja penderita. Penularan juga dapat
dilakukan binatang seperti lalat dan kecoa yang mengangkut bakteri ini dari tempat-tempat kotor.

Patogenesis

Masa inkubasi penyakit ini rata-rata 7 sampai 14 hari. Manifestasi klinik pada anak umumnya bervariasi. Demam adalah gejala yang paling utama di antara semua gejala klinisnya. Pada
minggu pertama, tidak ada gejala khas dari penyakit ini. Bahkan, gejalanya menyerupai penyakit infeksi akut lainnya. Gejala yang muncul antara lain demam, sering bengong atau tidur melulu,
sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau justru sembelit (sulit buang air besar) selama beberapa hari. Peningkatan suhu bertambah setiap hari. Setelah minggu
kedua, gejala bertambah jelas. Demam yang dialami semakin tinggi, lidah kotor, bibir kering, kembung, penderita terlihat acuh tidak acuh, dan lain-lain.

S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Setelah mencapai usus,
Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II. Interaksi Salmonella dengan makrofag
memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum
tulang dll. Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk
memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh Salmonalla intraseluler

Banyak orang yang tidak terlihat sakit tapi berpotensi menyebarkan penyakit tifus. Inilah yang disebut dengan pembawa penyakit tifus. Meski sudah dinyatakan sembuh, bukan tidak mungkin
mantan penderita masih menyimpan bakteri tifus dalam tubuhnya. Bakteri bisa bertahan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Sebagian bakteri penyebab tifus ada yang bersembunyi di
kantong empedu. Bisa saja bakteri ini keluar dan bercampur dengan tinja. Bakteri ini dapat menyebar lewat air seni atau tinja penderita.

Epidemiologi

Sejak 1900, sanitasi yang baik dan pengobatan antibiotik yang sukses telah terus menurun kejadian demam tifoid di Amerika Serikat. Pada tahun 1920, 35.994 kasus demam tifoid yang
dilaporkan. Pada tahun 2006, ada 314. Antara tahun 1999 dan 2006, 79% kasus demam tifoid terjadi pada pasien yang telah di luar negeri dalam 30 hari sebelumnya. Dua pertiga dari orang-
orang ini baru saja berangkat dari anak benua India. The 3 wabah dikenal demam tifoid di Amerika Serikat yang ditelusuri ke makanan impor atau untuk penangan makanan dari daerah
endemik. Hebatnya, hanya 17% kasus yang diperoleh di dalam negeri yang dilacak ke carrier .

Demam tifoid terjadi di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang yang kondisi sanitasi buruk. Demam tifoid adalah endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin, Karibia, dan Oceania,
tetapi 80% kasus berasal dari Bangladesh, Cina, India, Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan, atau Vietnam. Di negara-negara tersebut, tipus demam paling sering terjadi pada daerah tertinggal.
Demam tifoid menginfeksi sekitar 21,6 juta orang atau angka kejadian 3,6 per 1.000 penduduk dan membunuh 200.000 orang setiap tahun.
Di Amerika Serikat, sebagian besar kasus demam tifoid terjadi pada wisatawan internasional. Insiden tahunan rata-rata demam tifoid per juta wisatawan dari 1999-2006 oleh daerah atau
wilayah keberangkatan adalah sebagai berikut: Kanada – 0, Belahan Barat di luar Kanada / Amerika Serikat – 1,3, Afrika – 7,6, Asia – 10,5, India – 89 (122 tahun 2006) atau Jumlah (untuk
semua negara kecuali Kanada / Amerika Serikat) – 2,2

Dengan terapi antibiotik yang cepat dan tepat, demam tifoid adalah penyakit yang biasanya jangka pendek demam membutuhkan rata-rata 6 hari rawat inap. Diobati, ia memiliki beberapa
gejala sisa jangka panjang dan risiko 0,2% dari kematian [17] demam tifoid yang tidak diobati adalah penyakit yang mengancam jiwa durasi beberapa minggu ‘dengan morbiditas jangka
panjang sering melibatkan sistem saraf pusat.. Angka kematian di Amerika Serikat pada era pra-antibiotik adalah 9% -13%. Demam tifoid tidak memiliki predileksi rasial. Lima puluh empat
persen kasus demam tifoid di Amerika Serikat dilaporkan antara 1999 dan 2006 pria yang sering mengalami. Kasus tipus yang paling banyak melibatkan anak usia sekolah dan dewasa muda.
Namun, kejadian benar di antara anak yang sangat muda dan bayi dianggap lebih tinggi. Presentasi dalam kelompok usia mungkin atipikal, mulai dari penyakit demam ringan sampai kejang
parah, dan infeksi S typhi mungkin tidak dikenali. Ini dapat menjelaskan laporan yang saling bertentangan dalam literatur bahwa kelompok ini memiliki baik tingkat yang sangat tinggi atau
sangat rendah morbiditas dan mortalitas

Manifestasi klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran
penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.

1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma.

Berbagai tanda dan gejala yang bisa timbul :

 demam tinggi dari 39° sampai 40 °C (103° sampai 104 °F) yang meningkat secara perlahan

 tubuh menggigil

 denyut jantung lemah (bradycardia)

 badan lemah (“weakness”)

 sakit kepala

 nyeri otot myalgia

 kehilangan nafsu makan

 konstipasi

 sakit perut

 pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda (“rose spots”)

Diagnosis Banding

 Abdominal Abscess

 Amebic Hepatic Abscesses

 Appendicitis

 Brucellosis

 Dengue Fever

 Influenza

 Leishmaniasis

 Malaria

 Rickettsial diseases

 Toxoplasmosis

 Tuberculosis

 Tularemia

 Influenza

 Malaria

 Bronchitis

 Sepsis

 Broncho Pneumonia

 I.S.K (Infeksi Saluran kencing)

 Gastroenteritis (infeksi Saluran Cerna: muntah atau diare)

 Keganasan : – Leukemia

 Tuberculosa – Lymphoma

Diagnosis

 Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai
penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh

 Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.
Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang
sesuai secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran
penyakit melalui identifikasi karier.

 Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : pemeriksaan darah tepi; pemeriksaan bakteriologis
dengan isolasi dan biakan kuman; uji serologis; dan pemeriksaan kuman secara molekuler.

Identifikasi kuman melalui isolasi atau biakan Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan
pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung
pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang diambil; perbandingan volume darah dari media empedu; dan waktu pengambilan darah.

Identifikasi kuman melalui uji serologis

 Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi
antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang
dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : uji Widal; tes TUBEX®; metode enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA),dan
pemeriksaan dipstik.

 Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas
dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk
melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).

 Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum
penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

 Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam
prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan. Tes TUBEX® merupakan tes
aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas.
Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.

 Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal.

 Metode Enzyme Immunoassay Dot didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah
endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut,
konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan
pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4

 Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas
uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji
Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

 Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam
lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya
mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum
ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

 Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.
Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama
sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

 Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang
lengkap. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid
dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

 Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam
nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

 Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam
empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.

Tes Widal yang tidak akurat sumber kesalahan diagnosis

 Di Indonesia pemeriksaan widal sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis tifus paling sering digunakan. Meskipun ternyata pemeriksaan ini sering
menimbulkan kerancuan dan mengakibatkan kesalahan diagnosis. Dalam penelitian penulis didapatkan infeksi virus yang sering menjadi penyebab demam pada anak dan orang
dewasa ternyata juga terjadi peningkatan hasil widal yang tinggi pada minggu pertama.

 Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi
yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang
digunakan.9,13

 Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita
demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan
secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk
mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan
peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.

 Dalam penelitian kecil yang dilakukan terhadap 29 anak didapatkan hasil widal yang tinggi pada hari ke tiga hingga ke lima antara 1/320 hingga 1/1280. Setelah dilakukan follow
up dalam waktu demam pada minggu ke dua hasil widal tersebut menurun bahkan sebagian kasus menjadi negatif. Padahal seharusnya pada penderita tifus nilai widal tersebut
seharusnya semakin meningkat pada minggu ke dua. Dalam follow up pada minggu ke dua ternyata hasil nilai widal menghilang atau jauh menurun. Padahal seharusnya akan
pada penderita tifus seharusnya malahan semakin meningkat. Karakteristik penderita adalah usia 8 bulan hingga 5 tahun, dengan rata-rata usia 2,6 tahun. Jenis kelamin laki-laki
41% dan perempuan 59%. Semua penderita menunjukkan hasil kultur darah gall degatif dan semua penderita tidak diberikan antibiotika dan mengalami self limiting disease
atau penyembuhan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa penyebab infeksi pada kasus tersebut adalah infeksi virus.

 Yang menarik dalam kasus tersebut 10 penderita (34%) sebelumnya mengalami diagnosis penyakit tifus sebanyak 2-4 kali dalam setahun. Sebagian besar penderita atau sekitar
89% pada kelompok ini adalah kelompok anak yang sering mengalami infeksi berulang saluran napas. Dan sebagian besar lainnya atau sekitar 86% adalah penderita alergi.
Penelitian lain yang dilakukan penulis pada 44 kasus penderita demam beradarah, didapatkan 12 (27%) anak didapatkan hasil widal O berkisar antara 240-360 dan 15 (34%)
anak didapatkan hasil widal O 1/120. Semua penderita tersebut menunjukkan hasil kultar darah gall negatif dan tidak diberikan terapi antibiotika membaik.

 Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada infeksi virus pada penderita tertentu terutama penderita alergi dapat meningkatkan nilai Widal. Banyak penderita alergi
pada anak yang mengalami peningkatan hasil widal dalam saat mengalami infeksi virus tampak menarik untuk dilakukan penelitian lebih jauh. Diduga mekanisme hipersensitif
atau proses auto imun yang sering terganggu pada penderita alergi dapat ikut meningkatkan hasil widal. Dengan adanya penemuan awal tersebut tampaknya sangat berlawanan
dengan pendapat yang banyak dianut sekarang bahwa peningkatan hasil widal terjadi karena Indonesia merupakan daerah endemis tifus. Fenomena ini perlu dilakukan
penelitian lebih jauh khusus dalam hal biomolekuler dan imunopatofisiologi.

 Banyak akibat atau konsekuensi nyang ditimbulkan bila terjadi ”overdiagnosis tifus”. Pertama penderita harus mengkonsumsi antibiotika jangka panjang padahal infeksi yang
terjadi adalah infeksi virus. Konsekuensi lain yang diterima adalah penderita seringkali harus dilakukan rawat inap di rumah sakit. Hal lain yang terjadi seringkali penderita
seperti ini mengalami diagnosis tifus berulang kali. Semua kondisi tersebut diatas akhirnya berakibat peningkatan biaya berobat yang sangat besar padahal seharusnya tidak
terjadi. Belum lagi akbat efek samping pemberian obat antibiotika jangka panjang yang seharusnya tidak diberikan.

Penanganan
 Pasien tanpa komplikasi dapat diobati secara rawat jalan. Mereka harus disarankan untuk menggunakan teknik mencuci tangan yang ketat dan untuk menghindari menyiapkan
makanan untuk orang lain selama sakit. Rawat pasien harus ditempatkan di isolasi kontak selama fase akut infeksi. Tinja dan urine harus dibuang secara aman.

 Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif melipu+ti istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang
terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurag
lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.

 Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien.
Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat
diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan umum pasien.

 Pada penderita penyakit tifus yang berat, disarankan menjalani perawatan di rumah sakit. Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi penyakit tifus. Waktu penyembuhan
bisa makan waktu 2 minggu hingga satu bulan.

 Tifus dapat berakibat fatal. Antibiotika, seperti ampicillin, kloramfenikol, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ciproloxacin sering digunakan untuk merawat demam tipoid di
negara-negara barat. Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat
pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon. Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau
intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diber ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,
intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari
kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama 14 hari.

 Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada
kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.

 Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu sampai sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang tidak terawat. Vaksin untuk demam
tifoid tersedia dan dianjurkan untuk orang yang melakukan perjalanan ke wilayah penyakit ini biasanya berjangkit (terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin).

 Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan manifestasi nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis awal 3 mg/kg BB,
intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian disusul pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana bedah
dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus

 Pembedahan biasanya dilakukan dalam kasus perforasi usus. Kebanyakan ahli bedah lebih suka sederhana penutupan perforasi dengan drainase peritoneum. Kecil usus reseksi
diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda.

 Jika pengobatan antibiotik gagal untuk membasmi kereta hepatobiliary, kandung empedu harus direseksi. Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam memberantas carrier
karena infeksi hati yang terus ada.

 Para peneliti dalam laporan Kamerun bahwa senyawa yang berasal dari biji Turraeanthus africanus, sebuah obat tradisional Afrika untuk demam tifoid, aktif terhadap S typhi
secara in vitro. Tim meneliti sedang mengembangkan untuk menciptakan tambahan untuk efektifitas antimikroba.

Rekomendasi Antibiotik sesuai negara dan severitasnya

Negara Severitas First-Line Second-Line


Antibiotik Antibiotik
South Asia, East Asia Uncomplicated Cefixime PO Azithromycin PO
Complicated Ceftriaxone IV or Aztreonam IV or
Cefotaxime IV Imipenem IV
Eastern Europe, Middle East, sub- Uncomplicated Ciprofloxacin Cefixime POor
Saharan Africa, South America PO or Amoxicillin PO or
Ofloxacin PO TMP-SMZ PO
or Azithromycin PO
Complicated
Ceftriaxone IV or Ciprofloxacin
Cefotaxime IV or IV or
Ampicillin IV Ofloxacin IV
or
TMP-SMZ IV
Unknown geographic origin or Uncomplicated Cefixime POplus Azithromycin PO*
Southeast Asia Ciprofloxacin
PO or
Ofloxacin PO
Complicated Ceftriaxone IV or Aztreonam IV or
Cefotaxime Imipenem IV, plus
IV, plus Ciprofloxacin IV
Ciprofloxacin or
IV or Ofloxacin IV
Ofloxacin IV
Kombinasi dari azitromisin dan fluoroquinolones tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan perpanjangan QT dan relatif kontraindikasi.

 Kloramfenikol (Chloromycetin) Mengikat 50S ribosomal subunit-bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis protein. Efektif terhadap
bakteri gram negatif dan gram positif. Sejak diperkenalkan pada 1948, telah terbukti sangat efektif untuk seluruh dunia demam enterik. Untuk strain sensitif, masih paling
banyak digunakan antibiotik untuk mengobati demam tifoid. Pada tahun 1960, S typh i strain dengan plasmid-mediated resistensi terhadap kloramfenikol mulai muncul dan
kemudian menjadi tersebar luas di negara-negara endemik di Amerika dan Asia Tenggara, menyoroti kebutuhan untuk agen alternatif.
Menghasilkan peningkatan yang cepat dalam kondisi umum pasien, diikuti oleh penurunan suhu badan sampai yg normal dalam 3-5 d. Mengurangi preantibiotic era fatalitas
kasus tarif dari 10% -15% menjadi -4% 1%. Cures sekitar 90% pasien. Diperintah PO kecuali pasien adalah diare atau mengalami mual, dalam kasus tersebut, IV rute harus
digunakan pada awalnya. IM rute harus dihindari karena dapat menyebabkan darah tidak memuaskan, menunda penurunan suhu badan sampai yg normal.

 Amoksisilin (Trimox, Amoxil, Biomox) Mengganggu sintesis dinding sel mucopeptides selama multiplikasi aktif, sehingga aktivitas bakterisidal terhadap bakteri rentan.
Setidaknya seefektif kloramfenikol dalam percepatan penurunan suhu badan sampai yg normal dan tingkat kambuh. Kereta pemulihan lebih jarang terjadi dibandingkan dengan
agen lain ketika organisme sepenuhnya rentan. Biasanya diberikan PO dengan dosis harian 75-100 mg / kg tid selama 14 d.

 Trimetoprim dan sulfametoksazol (Bactrim DS, Septra) Menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis asam dihydrofolic. Aktivitas antibakteri TMP-
SMZ termasuk patogen saluran kemih biasa, kecuali Pseudomonas aeruginosa. Sama efektifnya dengan kloramfenikol dalam penurunan suhu badan sampai yg normal dan
tingkat kambuh. Trimetoprim sendiri telah efektif dalam kelompok kecil pasien.

 Ciprofloxacin (Cipro) Fluorokuinolon dengan aktivitas terhadap pseudomonad, streptokokus, MRSA, Staphylococcus epidermidis, dan sebagian gram negatif organisme
namun tidak ada aktivitas terhadap anaerob. Menghambat sintesis DNA bakteri dan, akibatnya, pertumbuhan. Teruskan pengobatan untuk minimal 2 d (7-14 d khas) setelah
tanda dan gejala hilang. Terbukti sangat efektif untuk tifoid dan demam paratifoid. Penurunan suhu badan sampai yg normal terjadi pada 3-5 d, dan kereta sembuh dan kambuh
jarang terjadi. Kuinolon lain (misalnya, ofloksasin, norfloksasin, pefloxacin) biasanya efektif. Jika muntah atau diare hadir, harus diberikan IV. Fluoroquinolones sangat efektif
terhadap strain multiresisten dan memiliki aktivitas antibakteri intraseluler.
Tidak direkomendasikan untuk digunakan pada anak-anak dan wanita hamil karena potensi diamati untuk menyebabkan kerusakan tulang rawan pada hewan berkembang.
Namun, arthropathy belum dilaporkan pada anak-anak setelah penggunaan asam nalidiksat (sebuah kuinolon sebelumnya dikenal untuk menghasilkan kerusakan sendi yang
sama pada hewan muda) atau pada anak dengan fibrosis kistik, meskipun dosis tinggi pengobatan.

 Sefotaksim (Claforan) Penangkapan dinding sel bakteri sintesis, yang menghambat pertumbuhan bakteri. Generasi ketiga sefalosporin dengan spektrum gram negatif. Lebih
rendah efikasi terhadap organisme gram positif. Sangat baik dalam kegiatan vitro terhadap S typhi dan salmonella lain dan memiliki khasiat yang dapat diterima pada demam
tifoid. Hanya IV formulasi yang tersedia. Baru-baru munculnya negeri diperoleh ceftriaxone tahan infeksi Salmonella telah dijelaskan.

 Azitromisin (Zithromax) Dapat diberikan pada infeksi mikroba ringan sampai sedang. DPemberian PO 10 mg / kg / hari (tidak melebihi 500 mg), tampaknya efektif untuk
mengobati demam tipus tanpa komplikasi pada anak 4-17 tahun . Konfirmasi hasil ini bisa memberikan alternatif bagi pengobatan demam tifoid pada anak di negara
berkembang, di mana sumber daya medis yang langka.

 Ceftriaxone (Rocephin) Generasi ketiga sefalosporin dengan spektrum luas gram negatif aktivitas terhadap organisme gram positif; Bagus aktivitas in vitro terhadap S typhi
dan salmonella lainnya.

 Cefoperazone (Cefobid) Dihentikan di Amerika Serikat. Generasi ketiga sefalosporin dengan spektrum gram negatif. Lebih rendah efikasi terhadap organisme gram positif.

 Ofloksasin (Floxin) Suatu asam turunan piridin karboksilat dengan spektrum luas efek bakterisidal.

 Levofloksasin (Levaquin) Untuk infeksi pseudomonas dan infeksi karena resistan terhadap organisme gram negatif.

 Kortikosteroid Deksametason dapat mengurangi kemungkinan kematian pada kasus demam tifoid berat rumit oleh delirium, obtundation, stupor, koma, atau syok jika bakteri
meningitis telah definitif dikesampingkan oleh penelitian cairan cerebrospinal. Untuk saat ini, percobaan yang paling sistematis ini telah menjadi studi terkontrol secara acak
pada pasien berusia 3-56 tahun dengan demam tifoid berat yang menerima terapi kloramfenikol. Penelitian ini membandingkan hasil pada 18 pasien diberikan plasebo dengan
hasil pada 20 pasien diberikan deksametason 3 mg / kg IV selama 30 menit diikuti dengan deksametason 1 mg / kg setiap 6 jam selama 8 dosis. Tingkat kematian pada kelompok
deksametason adalah 10% dibandingkan 55,6% pada kelompok plasebo (P = .003) [52].
Meskipun demikian, hal ini masih diperdebatkan. Sebuah pernyataan 2003, WHO mendukung penggunaan steroid seperti dijelaskan di atas, tapi review oleh penulis terkemuka
dalam New England Journal of Medicine (2002) [6] dan British Medical Journal (2006) tidak mengacu pada steroid sama sekali. Sebuah uji coba 1991 dibandingkan pasien yang
diobati dengan 12 dosis deksametason 400 mg atau 100 mg sampai kohort retrospektif di antaranya steroid tidak diberikan. Percobaan ini tidak menemukan perbedaan hasil
antara kelompok-kelompok. [54]
Data adalah jarang, tetapi penulis artikel ini setuju dengan WHO deksametason yang harus digunakan dalam kasus-kasus demam tifoid berat.
 Deksametason (Decadron) Pemberian dosis tinggi deksametason mengurangi mortalitas pada pasien dengan demam tifoid berat tanpa meningkatnya insiden komplikasi,
menyatakan pembawa, atau kambuh antara korban.

Komplikasi :

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :

1. Komplikasi intestinal
o Perdarahan usus
o Perforasi usus
o Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintetstinal
o Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
o Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
o Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
o Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
o Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
o Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
o Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.

Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang
sempurna.

Pencegahan

 Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena
perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan
menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling)
minuman/makanan. (Darmowandowo, 2006)

 Vaksinasi tifoid sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit. Apalagi jika si kecil terkenal doyan jajan. Juga, anak balita yang sudah pandai �nenangga�, atau yang belum bisa
cebok dengan benar. Vaksinasi harus diperkuat setiap 3 tahun. Ini karena setelah kurun waktu itu, kekebalan terhadap penyakit tifus akan berkurang. Umumnya, seusai
divaksinasi, tubuh akan kebal, atau kalupun terkena maka penyakit yang menyerang tidak sampai membahayakan anak

 Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang
dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanta direkomendasikan untuk pelancong yang
berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium.

 Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah
diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-
orang yang memiliki resiko terjangkit.

 Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan untuk
proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan
setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit.

 Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang
memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin
tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang
memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah
penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem imunitas
tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak
boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik.

 Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya serius atau
kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah :
demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang
dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi).

Daftar pustaka

 Diagnosis of typhoid fever. In : Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.

 Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.

 Pang T. Typhoid Fever : A Continuing Problem. Dalam : Pang T, Koh CL, Puthucheary SD, Eds. Typhoid Fever : Strategies for the 90’s. Singapore : World Scientific, 1992:1-2.

 Hoffman SL. Typhoid Fever. In : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of Pediatrics, edition7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-58.

 Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of typhoid fever. MJAFI 2003;59:130-5. Lim PL, Tam FCH, Cheong YM, Jegathesan M. One-step
2-minute test to detect typhoid-specific antibodies based on particle separation in tubes. J Clin Microbiol 1998;36(8):2271-8.

 Parry CM, Hien TT, Dougan G, et al. Typhoid fever. N Engl J Med. Nov 28 2002;347(22):1770-82.

 Ramsden AE, Mota LJ, Münter S, Shorte SL, Holden DW. The SPI-2 type III secretion system restricts motility of Salmonella-containing vacuoles. Cell Microbiol. Oct
2007;9(10):2517-29.
 Gotuzzo E, Frisancho O, Sanchez J, Liendo G, Carrillo C, Black RE, et al. Association between the acquired immunodeficiency syndrome and infection with Salmonella typhi or
Salmonella paratyphi in an endemic typhoid area. Arch Intern Med. Feb 1991;151(2):381-2.

 Manfredi R, Chiodo F. Salmonella typhi disease in HIV-infected patients: case reports and literature review. Infez Med. 1999;7(1):49-53.

 Gordon MA, Graham SM, Walsh AL, Wilson L, Phiri A, Molyneux E, et al. Epidemics of invasive Salmonella enterica serovar enteritidis and S. enterica Serovar typhimurium
infection associated with multidrug resistance among adults and children in Malawi. Clin Infect Dis. Apr 1 2008;46(7):963-9.

 Monack DM, Mueller A, Falkow S. Persistent bacterial infections: the interface of the pathogen and the host immune system. Nat Rev Microbiol. Sep 2004;2(9):747-65.

 Ali S, Vollaard AM, Widjaja S, Surjadi C, van de Vosse E, van Dissel JT. PARK2/PACRG polymorphisms and susceptibility to typhoid and paratyphoid fever. Clin Exp Immunol.
Jun 2006;144(3):425-31.

 van de Vosse E, Ali S, de Visser AW, Surjadi C, Widjaja S, Vollaard AM, et al. Susceptibility to typhoid fever is associated with a polymorphism in the cystic fibrosis
transmembrane conductance regulator (CFTR). Hum Genet. Oct 2005;118(1):138-40.

 Poolman EM, Galvani AP. Evaluating candidate agents of selective pressure for cystic fibrosis. J R Soc Interface. Feb 22 2007;4(12):91-8.

 Ram PK, Naheed A, Brooks WA, Hossain MA, Mintz ED, Breiman RF. Risk factors for typhoid fever in a slum in Dhaka, Bangladesh. Epidemiol Infect. Apr 2007;135(3):458-65.

 Dutta TK, Beeresha, Ghotekar LH. Atypical manifestations of typhoid fever. J Postgrad Med. Oct-Dec 2001;47(4):248-51.

 Lynch MF, Blanton EM, Bulens S, Polyak C, Vojdani J, Stevenson J. Typhoid fever in the United States, 1999-2006. JAMA. Aug 26 2009;302(8):859-65.

 Chau TT, Campbell JI, Galindo CM, Van Minh Hoang N, Diep TS, Nga TT, et al. Antimicrobial drug resistance of Salmonella enterica serovar typhi in asia and molecular
mechanism of reduced susceptibility to the fluoroquinolones. Antimicrob Agents Chemother. Dec 2007;51(12):4315-23.

 Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull World Health Organ. May 2004;82(5):346-53.

 Crump JA, Ram PK, Gupta SK, Miller MA, Mintz ED. Part I. Analysis of data gaps pertaining to Salmonella enterica serotype Typhi infections in low and medium human
development index countries, 1984-2005. Epidemiol Infect. Apr 2008;136(4):436-48.

 Mulligan TO. Typhoid fever in young children. Br Med J. Dec 11 1971;4(5788):665-7.

 Rahaman MM, Jamiul AK. Rose spots in shigellosis caused by Shigella dysenteriae type 1 infection. Br Med J. Oct 29 1977;2(6095):1123-4

 Cunha BA. Malaria or typhoid fever: a diagnostic dilemma?. Am J Med. Dec 2005;118(12):1442-3; author reply 1443-4.

 Woodward TE, Smadel JE. Management of typhoid fever and its complications. Ann Intern Med. Jan 1964;60:144-57.

 Hermans P, Gerard M, van Laethem Y, et al. Pancreatic disturbances and typhoid fever. Scand J Infect Dis. 1991;23(2):201-5.

 Butler T, Islam A, Kabir I, et al. Patterns of morbidity and mortality in typhoid fever dependent on age and gender: review of 552 hospitalized patients with diarrhea. Rev Infect
Dis. Jan-Feb 1991;13(1):85-90.

 Butler T, Knight J, Nath SK, et al. Typhoid fever complicated by intestinal perforation: a persisting fatal disease requiring surgical management. Rev Infect Dis. Mar-Apr
1985;7(2):244-56.

 Crum NF. Current trends in typhoid Fever. Curr Gastroenterol Rep. Aug 2003;5(4):279-86.

 Huang DB, DuPont HL. Problem pathogens: extra-intestinal complications of Salmonella enterica serotype Typhi infection. Lancet Infect Dis. Jun 2005;5(6):341-8.

 Hatta M, Goris MG. Simple dipstick assay for the detection of Salmonella typhi-specific IgM antibodies and the evolution of the immune response in patients with typhoid fever.
Am J Trop Med Hyg 2002;66(4):416-21.

 Pang T. Molecular biology as a diagnostic tool in Salmonellosis. Dalam : Sarasombath S, Senawong S, Eds. Second Asia-Pacific symposium on typhoid fever and other
Salmonellosis. Thailand : SEAMEO Regional Tropical Medicine and Public Health Network, 1995:213-6.

 Massi MN, Shirakawa T, Gotoh A, Bishnu A, Hatta M, Kawabata M. Rapid diagnosis of typhoid fever by PCR assay using one pair of primers from flagellin gene of Salmonella
typhi. J Infect Chemother 2003;9(3):233-7

Anda mungkin juga menyukai