Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Promosi Kesehatan


2.1.1 Pengertian Promosi Kesehatan
Menurut WHO, Promosi Kesehatan adalah proses yang memungkinkan orang untuk
meningkatkan kontrol atas faktor-faktor penentu kesehatan dan dengan demikian
meningkatkan kesehatan mereka. Promosi kesehatan berarti membangun kebijakan publik
yang sehat menciptakan lingkungan yang mendukung, memperkuat aksi komunitas,
mengembangkan keterampilan pribadi, dan mengorientasikan layanan kesehatan.
Program promosi kesehatan dan pencegahan penyakit fokus pada menjaga orang sehat.
Promosi kesehatan melibatkan dan memberdayakan individu dan masyarakat untuk terlibat
dalam perilaku sehat, dan membuat perubahan yang mengurangi risiko pengembangan
penyakit kronis dan morbiditas lainnya.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1114 / Menkes / SK / VII / 2005 tentang
Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah menyatakan bahwa promosi kesehatan
adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh,
untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri serta
mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan
didukung kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Departemen Kesehatan, 2012).
Menurut Green (Notoatmodjo, 2007), promosi kesehatan adalah segala bentuk
kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi yang terkait dengan ekonomi, politik, dan
organisasi, yang direncanakan untuk memudahkan perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi
kesehatan. Green juga mengemukakan bahwa perilaku ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu

1. Faktor predisposisi (predisposising factors), yang meliputi pengetahuan dan


sikap seseorang.
2. Faktor pemungkin (enabling factors), yang meliputi sarana, prasarana, dan
fasilitas yang mendukung terjadinya perubahan perilaku.
3. Faktor penguat (reinforcing factors) merupakan faktor penguat bagi seseorang
untuk mengubah perilaku seperti tokoh masyarakat, undang-undang, peraturan-
peraturan dan surat keputusan.
Menurut Lawrence Green (1984), promosi kesehatan adalah segala bentuk kombinasi
pendidikan kesehatan dan intervensi yang terkait dengan ekonomi, politik, dan organisasi yang
dirancang untuk memudahkan perubahan perilaku dan lingkungan yang baik bagi kesehatan.
Pada dasarnya tujuan utama promosi kesehatan adalah untuk mencapai 3 hal, yaitu :
1) Peningkatan pengetahuan atau sikap masyarakat
2) Peningkatan perilaku masyarakat
3) Peningkatan status kesehatan masyarakat
Menurut Lawrence Green (1990) dalam buku Promosi Kesehatan Notoatmodjo (2007) tujuan
promosi kesehatan terdiri dari 3 tingkatan, yaitu :
1) Tujuan Program
Merupakan pernyataan tentang apa yang akan dicapai dalam periode waktu
tertentu yang berhubungan dengan status kesehatan.
2) Tujuan Pendidikan
Merupakan deskripsi perilaku yang akan dicapai untuk mengatasi masalah
kesehatan yang ada.
3) Tujuan Perilaku
Merupakan pendidikan atau pembelajaran yang harus tercapai (perilaku
yang diinginkan). Oleh sebab itu tujuan perilaku berhubungan dengan
pengetahuan dan sikap.
2.1.2 Ruang Lingkup Promosi Kesehatan
Ruang lingkup promosi kesehatan berdasarkan aspek pelayanan kesehatan menurut
Notoatmodjo (2007), meliputi :
a) Promosi kesehatan pada tingkat promotif.
Sasaran promosi kesehatan pada tingkat pelayanan promotif adalah pada
kelompok orang sehat, dengan tujuan agar mereka mampu meningkatkan
kesehatannya.
b) Promosi kesehatan pada tingkat preventif.
Sasaran promosi kesehatan pada tingkat ini selain pada orang yang sehat juga
bagi kelompok yang beresiko. Misalnya, ibu hamil, para perokok, para pekerja
seks, keturunan diabetes dan sebagainya. Tujuan utama dari promosi kesehatan
pada tingkat ini adalah untuk mencegah kelompok-kelompok tersebut agar tidak
jatuh sakit (primary prevention).

c) Promosi kesehatan pada tingkat kuratif.


Sasaran promosi kesehatan pada tingkat ini adalah para penderita penyakit,
terutama yang menderita penyakit kronis seperti asma, diabetes mellitus,
tuberculosis, hipertensi dan sebagainya. Tujuan dari promosi kesehatan pada
tingkat ini agar kelompok ini mampu mencegah penyakit tersebut tidak menjadi
lebih parah (secondary prevention).

d) Promosi kesehatan pada tingkat rehabilitatif.


Sasaran pokok pada promosi kesehatan tingkat ini adalah pada kelompok
penderita atau pasien yang baru sembuh dari suatu penyakit. Tujuan utama
promosi kesehatan pada tingkat ini adalah mengurangi kecacatan seminimal
mungkin. Dengan kata lain, promosi kesehatan pada tahap ini adalah pemulihan
dan mencegah kecacatan akibat dari suatu penyakit (tertiary prevention)
(Notoatmodjo, 2007).
2.1.3 Visi dan Misi Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan memiliki visi dan misi tertentu. Visi promosi kesehatan membahas
mengenai pembanguan kesehatan Indonesia yang diatur dalam UU Kesehatan No. 23 Tahun
1992. Isi dari visi tersebut yaitu meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan, baik fisik, mental dan sosial sehingga masyarakat dapat
produktif secara ekonomi maupun sosial (Notoatmodjo, 2012). Visi lainnya yaitu menerapkan
pendidikan kesehatan pada program-program kesehatan, baik pemberantasan penyakit
menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan kesehatan, maupun program
kesehatan lainnya.
Sedangkan misi promosi kesehatan ialah terkait upaya pencapaian suatu visi, di
antaranya yaitu advokasi, mediasi dan kemampuan atau keterampilan. Advokasi merupakan
kegiatan terencana yang ditujukan kepada para penentu kebijakan untuk mempengaruhi para
pembuat keputusan bahwa program kesehatan yang ditawarkan perlu mendapat dukungan
melalui suatu keputusan (Notoatmodjo, 2012). Mediasi (penghubung) berarti pelaksanaan
promosi kesehatan perlu menjalin kemitraan dengan berbagai program yang berkaitan dengan
kesehatan. Kemampuan (enable) berarti masyarakat diberikan suatu keterampilan agar mampu
memelihara dan meningkatkan kesehatannya secara mandiri.
2.1.4 Strategi Promosi Kesehatan
Berdasarkan rumusan WHO (1994), dalam Notoatmodjo (2007), strategi promosi
kesehatan secara global terdiri dari tiga hal, yaitu :
1) Advokasi (Advocacy)
Advokasi adalah kegiatan untuk meyakinkan orang lain, agar orang lain tersebut membantu
atau mendukung terhadap tujuan yang akan dicapai. Dalam konteks promosi kesehatan,
advokasi adalah pendekatan kepada para pembuat keputusan atau penentu kebijakan di
berbagai sektor, dan di berbagai tingkat, sehingga para pejabat tersebut dapat mendukung
program kesehatan yang kita inginkan.
2) Dukungan sosial (social support)
Strategi dukungan sosial adalah suatu kegiatan untuk mencari dukungan sosial melalui
tokoh-tokoh formal maupun informal. Tujuan utama kegiatan ini adalah agar tokoh
masyarakat sebagai penghubung antara sektor kesehatan sebagai pelaksana program
kesehatan dengan masyarakat penerima program kesehatan. Bentuk kegiatan dukungan
sosial antara lain pelatihan-pelatihan para tokoh masyarakat, seminar, lokakarya,
bimbingan kepada tokoh masyarakat dan sebagainya.
3) Pemberdayaan masyarakat (empowerment)
Pemberdayaan merupakan strategi promosi kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat
langsung. Tujuan utama pemberdayaan adalah mewujudkan kemampuan masyarakat dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatan untuk diri mereka sendiri. Bentuk kegiatan ini
antara lain penyuluhan kesehatan, keorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam
bentuk koperasi, pelatihan-pelatihan untuk kemampuan peningkatan pendapatan keluarga
(Notoatmodjo, 2007).
2.2 Advokasi
2.2.1 Pengertian Advokasi
Advokasi adalah usaha sistimatis secara bertahap (inkremental) dan terorganisir yang
dilakukan oleh kelompok atau organisasi profesi untuk menyuarakan aspirasi anggota, serta
usaha mempengaruhi pembuat kebijakan publik untuk membuat kebijakan yang berpihak
kepada kelompok tersebut, sekaligus mengawal penerapan kebijakan agar berjalan efektif.
(LBH Malang, 2008:7).
Advokasi secara harfiah berarti pembelaan, sokongan atau bantuan terhadap seseorang
yang mempunyai permasalahan. Istilah advokasi mula-mula digunakan dibidang hukum atau
pengadilan. Sesorang yang sedang tersangkut perkara atau pelanggaran hukum, agar
memperoleh keadilan yang sesungguh-sungguhnya. Mengacu kepada istilah advokasi dibidang
hukum tersebut, maka advokasi dalam kesehatan diartikan upaya untuk memperoleh
pembelaan, bantuan, atau dukungan terhadap program kesehatan.
Menurut Wesbter Encyclopedia advokasi adalah "act of pleading for supporting or
recommending active espousal" atau tindakan pembelaan Menurut ahli retorika ( Foss and
Foss, et al : 1980) advokasi diartikan sebagai upaya persuasi yang mencakup kegiatan :
penyadaran, rasionalisasi, argumentasi dan rekomendasi tindak lanjut mengenai sesuatu hal.
Menurut Hopkins (1990) advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik
melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif. Dari beberapa catatan tersebut dapat
disimpulkan secara ringkas, bahwa advokasi adalah upaya atau proses untuk memperoleh
komitmen yang dilakukan secara persuasif dengan menggunakan informasi yang akurat dan
tepat.
2.2.2 Tahap Advokasi
Komitmen yang didapat dari proses advokasi tentunya tidak berjalan dengan cepat
karena melewati beberapa tahapan. Pertama, mengetahui atau menyadari adanya masalah.
Kedua, tertarik untuk ikut mengatasi masalah. Ketiga, peduli terhadap pemecahan masalah
(dengan mencari alternatif pemecahan masalah). Keempat, sepakat untuk memecahkan
masalah dengan memilih caranya. Kelima, memutuskan tindak lanjut kesepakatan. Bahan-
bahan advokasi pun perlu disiapkan terlebih dahulu dan matang, diataranya ialah sesuai minat
dan sasaran advokasi, memuat rumusan masalah dan alternatif pemecahan masalah, memuat
peran sasaran dalam pemecahan masalah, berdasarkan fakta dan bukti (evidence-based),
dikemas secara menarik dan jelas, serta sesuai dengan waktu yang tersedia (Depkes, 2011).
2.2.3 Proses Advokasi
Proses dalam advokasi kesehatan ialah pendekatan persuasive, dewasa, dan bijak.
Menurut UNFPA dan BKKBN (2002) terdapat lima pendekatan utama yaitu, melibatkan para
pemimpin, bekerja sama dengan media massa, membangun kemitraan, memobilisasi massa,
dan membangun kapasitas (Maulana, 2007). Advokasi akan lebih efektif jika dilaksanakan
dengan prinsip kemitraan, dengan membentuk jejaring advokasi atau forum kerjasama. Hal
tersebut dapat mendukung proses advokasi karena akan terjadinya proses kerja sama yang
didalamnya terdapat pembagian tugas dan saling mendukung, maka sasaran advokasi akan
dapat diarahkan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, metode dan media advokasi perlu
ditentukan secara cermat, sehingga dapat terjalin kerjasama yang baik (Depkes, 2011).
2.2.4 Indikator keberhasilan Advokasi
1) Indikator output : Adanya kepedulian, keterlibatan dan dukungan, serta kesinambungan
upaya kesehatan baik berupa kebijakan, tenaga, dana, sarana, kemudahan, keterlibatan
dalam kegiatan/gerakan, dll.
2) Indikator proses : Adanya rencana kegiatan dan pelaksanaan kegiatan advokasi. Juga
berupa : Adanya forum, jaringan, kerjasama, dll.
3) Indikator input :Adanya sasaran yang jelas, bahan informasi/advokasi, serta siapnya
pelaku advokasi.
2.3 Stunting
2.3.1 Pengertian Stunting
WHO menetapkan batas toleransi stunting (bertubuh pendek) maksimal 20 persen atau
seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Sementara, di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta
balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6 persen. Sebanyak 18,5 persen kategori sangat
pendek dan 17,1 persen kategori pendek. Ini juga yang mengakibatkan WHO menetapkan
Indonesia sebagai Negara dengan status gizi buruk nomor 5 di dunia.
Menurut UNICEF, stunting didefinisikan sebagai persentase anak-anak usia 0 sampai
59 bulan, dengan tinggi di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting
kronis) diukur dari standar pertumbuhan anak keluaran WHO.
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang
kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan
yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita
stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi
sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi.
Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai
perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.
Stunting juga dapat diartikan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan
gizi kronis sehingga anak lebih pendek untuk usianya, kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam
kandungan dan masa awal kehidupan setelah lahir, tetapi baru tampak setelah anak berusia 2
tahun.
2.3.2 Stunting Dunia
Menurut WHO (2014) dalam Global Nutrition Targets 2025, stunting dianggap sebagai
suatu gangguan pertumbuhan irreversibel yang sebagian besar dipengaruhi oleh asupan
nutrisi yang tidak adekuat dan infeksi berulang selama 1000 hari pertama kehidupan.
Insiden stunting secara global diperkirakan sekitar 171 juta sampai 314 juta yang terjadi
pada anak berusia di bawah 5 tahun dan 90% diantaranya berada di negara-negara benua
Afrika dan Asia (Fenske et al, 2013). Tingginya prevalensi stunting di dunia menyebabkan
stunting mendasari kematian pada anak secara global sekitar 14-17% (Prendergast et al,
2014).
Di Asia tahun 2007 prevalensi stunting sebesar 30,6% (UNSCN, 2008). Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan di Ludhiana India dimana prevalensi stunting pada
anak berusia 12-59 bulan adalah sebesar 74,55% (Sengupta et al, 2010). Menurut Remans et
al (2011) diperkirakan sekitar 1 dari 3 anak yang berusia dibawah 5 tahun mengalami stunting
di negara berkembang.
2.3.3 Stunting Indonesia
Ada 178 juta anak didunia yang terlalu pendek berdasarkan usia dibandingkan dengan
pertumbuhan standar WHO. Prevalensi anak stunting di seluruh dunia adalah 28,5% dan di
seluruh negara berkembang sebesar 31,2%. Prevalensi anak stunting dibenua Asia sebesar
30,6% dan di Asia Tenggara sebesar 29,4%. Permasalahan stunting di Indonesia menurut
laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF yaitu diperkirakan sebanyak 7,8 juta anak mengalami
stunting, sehingga UNICEF memposisikan Indonesia masuk kedalam 5 besar negara dengan
jumlah anak yang mengalami stunting tinggi. Data Riset Kesehatan Dasarpada tahun 2013
diketahui bahwa prevalensi kejadian stunting secara nasional adalah 37,2 %, dimana terdiri dari
18,0 % sangat pendek dan 19,2 % pendek, yang berarti telah terjadi peningkatan sebanyak 1,6
% pada tahun 2010 (35,6 %) dan tahun 2007 (36,8 %).

2.3.4 Stunting Sumatera Selatan


Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan mencatat penderita stunting di Wilayah
Sumatera Selatan bertambah selama dua sampai tiga tahun terakhir (2016-2017) Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi Sumsel Lesty Nuraini mengatakan, data pada 2016 lalu Sumsel tercatat
sebagai provinsi kedua terendah jumlah penderita stunting yakni 19,2 persen. Dan pada 2017,
penderita stunting bertambah menjadi 22,8 persen (NusantaraMedcom)
Adapun beberapa daerah yang tercatat banyak ditemukan stunting di antaranya Ogan
Komering Ilir, Banyuasin, Empat Lawang, dan Musi Rawas Utara. penyebab banyaknya
ditemukan stunting karena faktor kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat. Serta
kurangnya pendidikan mengenai kesehatan dan juga SDM (Tenaga Ahli Kesehatan) yang ada
di daerah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai