Anda di halaman 1dari 4

Nama: Alfiya Ma’la

Prodi: HI / 5B

Bumi manusia, salah satu mahakarya terbesar dalam bidang sastra


Indonesia, yang dibuat oleh sastrawan yang memang mengabdikan hidupnya untuk
sebuah proyek keabadian—Pramoedya Ananta Toer. Karyanya novel Bumi
Manusia merupakan buku pertama dalam tetralogi Pramoedya, yang terdiri dari,
berturut-turut Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah
Kaca. Pramoedya menulisnya ketika di tahan di Pulau Buru, sebagai tahanan politik
Orde baru. Meski mendapat sambutan yang luar biasa dari dalam dan luar negeri,
pada tahun pertama penerbitannya—bukunya harus mendapati tantangan yang bisa
bilang suatu kemunduran, karena dilakukannya pelarangan pada karyanya itu—
dikatakan bahwa bukunya mengandung ajaran Marxisme dan Leninisme—sebuah
ajaran yang dilarang pada masa pemerintahan Orde Baru

Sebuah buku yang mengisahkan periode kehidupan di Indonesia dari tahun


1898-1918, dimana periode tersebut merupakan tumbuhnya benih-benih pemikiran
Politik Etis dan masa Kebangkitan Nasional. Nyaris tiada sastrawan yang berhasil
menceritakan kehidupan pada masa itu sebaik Pramoedya dalam tetraloginya,
terutama dalam kisah Bumi Manusia.

Bumi Manusia merupakan sebuah buku bergenre fiksi yang berlatar


belakang kehidupan pada masa penjajahan Belanda. Di dalam buku ini, diceritakan
hiduplah seorang pemuda Pribumi bernama Minke, yang mendapati dirinya
bersekolah di Hogere Burgerschool (HBS), sebuah sekolah yang sekarang
setingkat dengan SMA, dan diperuntukan untuk orang Belanda, Eropa dan Elite
Pribumi.

Sebagai Pribumi, Minke merupakan anak yang cerdas di HBS,


kemampuannya dalam menulis telah membawanya menjadi seorang yang cukup
dikenal di Jawa, karena tulisannya banyak diterbitkan di koran berbahasa Belanda,
dengan nama samaran Max Tollenar.

Namun, pendidikan yang diterima Minke di HBS, menjadikannya pribadi


yang sangat mengagungkan Eropa, terutama karena pengajaran gurunya Juffrouw
Magda Peters. Minke sangat menyanjung Eropa dan dikisahkan tidak lagi
mengindahkan budaya Jawa. Meski pada akhirnya, Minke sendiri mendapati bahwa
Eropa yang Ia sanjung tidak lebih sebagai bangsa pendindas terhadap bangsa lain—
hal itu diceritakan secara dramatis oleh Pramoedya, yaitu bagaimana awalnya
Minke menyanjung Eropa hingga akhirnya Ia dibuat benci untuk melakukan itu.

Seperti diceritakan di awal, kisah Bumi Manusia ini sangatlah kompleks—


namun penekanan yang penulis dapat dari kisah ini adalah mengenai kemanusiaan,
Pramoedya dengan lihai menjelaskan konsep itu dalam kisah yang sangat indah.

Ceritanya berawal ketika Minke yang mendapati dirinya ditantang oleh


seorang teman—bernama Robert Suurhof, untuk pergi ke Wonokromo,
mengunjungi seorang wanita cantik—bernama Annalies Melemma. Suurhof
akhirnya menjadi musuh Minke, karena mencintai wanita yang sama, yaitu
Annalies Melemma, celakanya Annalies juga mencintai Minke daripada Suurhof.
Annalies tinggal disebuah rumah besar yang indah bersama Nyai Ontosoroh, yang
merupakan seorang Nyai, dan kakaknya Robert Mellema.

Selain Minke dan Annalies, Nyai Ontosoroh juga mendapat penekanan


dalam kisah Bumi Manusia, bahkan dalam beberapa pertunjukan teater, justru Nyai
Ontosoroh lah yang menjadi pemeran utamanya. Diceritakan dirinya di jual oleh
ayahnya sendiri kepada orang Belanda, agar ayahnya naik jabatan. Secara
menyedihkan, Nyai Ontosoroh tanpa pernikahan harus rela mendapati dirinya hidup
bersama Tuan Mellema, yang bahkan tidak pernah Ia kenal sebelumnya.

Karena dendam Nyai Ontosoroh pada orang tuanya, Nyai bertekad untuk
mengangkat harkat martabatnya sendiri dengan pengetahuan. Nyai belajar banyak
dari Tuan Mellema—hidup seperti bangsa Eropa, membaca buku Eropa, belajar
baca tulis, dan belajar mengelola perusahaan. Tuan Mellema awalnya baik dan
sangat mencintai Nyai Ontosoroh, meski tidak pernah menikahinya secara resmi
secara hukum dan agama. Namun bencana datang ketika anak sah Tuan Mellema
datang dari Belanda untuk bekerja di Indonesia dan menuntut Tuan Mellema,
semuanya menjadi kacau, Tuan Mellema pergi meninggalkan Nyai Ontosoroh.

Meski begitu, Nyai Ontosoroh sudah banyak belajar, bersama Annalies


kedua perempuan itu membangun sebuah perusahaan yang sangat besar. Bisa
dikatakan meski hanya seorang Nyai, Ontosoroh membikin dirinya dihormati
karena kekayaannya yang melimpah, hasil jerih payahnya sendiri, menjadikannya
wanita yang mandiri. Sementara Robert Mellema sudara Annalies Mellema, lebih
mengikuti ayahnya dan membenci Nyai Ontosoroh sebagai Ibunya.
Minke yang datang ke kehidupan Nyai Ontosoroh dan Annalies disambut
baik oleh mereka berdua. Banyak yang membenci hal itu, termasuk orang tua
Minke, karena Ontosoroh adalah seorang Nyai—begitupun Robert Mellema dan
tentunya Suurhof, keduanya secara terang-terangan menyerang Minke dan
mengatakannya sebagai orang yang ingin mendapati kekayaan Nyai Ontosoroh.

Meski mendapati diri dalam tantangan yang panjang, Minke tetap saja
berusaha untuk mendapatkan Annalies, menurutnya hal itu sebanding—karena
Annales adalah wanita cantik dan berkepribadian baik, hal itu terbukti dari sikapnya
yang bisa mengurusi perusahaan bersama Ibunya, Nyai Ontosoroh.

Setelah perjuangan yang sangat berat, Minke dan Annalies akhirnya


menikah, keduanya sangat bahagia, karier Minke pun melejit dengan baik. Minke
berhasil lulus dari HBS dengan peringkat yang sangat memuaskan, padahal dia
pernah dikeluarkan dari sekolah, karena tuduhan-tuduhann yang mengarah padanya
telah melakukan hal buruk dengan seorang Nyai. Semuanya Minke hadapi, dan
akhirnya dia bisa berhasil.

Setelah kegembiraan Minke dapatkan, bencana datang menghampirinya,


Minke jatuh sejatuh-jatuhnya. Dan yang menjatuhkannya adalah hukum Belanda—
hukum orang Eropa, sebuah negara yang Ia sanjung-sanjung. Setelah kematian
Tuan Mellema yang misterius, anak Sah Tuan Mellema dari Belanda yang sedari
awal telah menghancurkan rumah tangga Tuan Mellema dengan Nyai Ontosoroh
menuntut harta Tuan Mellema yang dikelola Nyai Ontosoroh. Annalies sama-sama
menjadi korban, karena merupakan anak sah Tuan Mellema, Ia harus dipulangkan
ke Eropa dan meninggalkan Minke bersama Nyai Ontosoroh—Nyai tidak dianggap
karena tidak pernah menikah secara sah dengan Tuan Mellema dan harus merelakan
semua perusahaan yang telah Ia rintis dengan Annalies.

Meski Minke dan Nyai Ontosoroh telah berusaha keras untuk


mempertahankan perusahaan dan Annalies yang harus dibawa ke Belanda, tetap
saja hukum tidak pernah memihak pada Pribumi. Annalies pergi, Minke dan Nyai
harus pasrah dan menerima semuanya. Di akhir buku, Minke berkata pada Nyai
Ontosoroh, “Kita kalah Ma,” bisik Minke, dan dengan bijak Nyai Ontosoroh
menjawab, “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,”.
Buku Bumi Manusia ini secara penulisan ditulis dengan sangat apik.
Ceritanya runtut dan penuh makna. Setiap bab diceritan dengan pembabakan yang
jelas, dan terkadang terjadi perubahan pencerita atau orang pertama, misalnya dari
Minke, menuju Annalies, kemudian Nyai Ontorsoroh—tetapi semuanya mudah
dipahami dan justru menambah pemahaman terhadap bagaimana pembangunan
karakter-karakter dalam cerita kisah Bumi Manusia. Seperti ketika Nyai Ontosoroh
sebagai orang pertama, menjelaskan bagaimana bisa dirinya menikah dengan
seorang Eropa, dari hasil dirinya dihinakan oleh adat Jawa—hidupnya hanya
dikehendaki nurut dengan Bapak, apapun kehendak yang dibuat harus dituruti.

Dari segi nilai yang bisa di dapat, buku ini luar biasa memiliki hal itu.
Mungkin dari semua keunggulannya, amanat nilai-nilai kemanusiaan yang
diberikan buku ini adalah yang paling diunggulkan. Berikut penulis kutip kalimat-
kalimat yang menurut penulis sangatlah indah dan bermakna, khususnya bagi
penulis sendiri.

Karena memiliki aspek historis, novel ini selain menyenagkan dibaca untuk
orang yang memang menikmati karya satra romantik, juga bagus untuk kalangan
akademisi yang ingin mengetahui bagaimana kehidupan manusia di Indonesia pada
tahun yang bersangkutan. Bagaiamana kebangkitan nasional dipupuk, termasuk
dalam diri Minke.

Agak sulit mencari apa yang kurang dari novel ini sebab hampir di semua
aspek Novel ini sangat mengagumkan. Mulai dari penyajian masalah yang sangat
rapi, gaya bahasa yang begitu mengalir namun tetap bernilai sastra tinggi, juga
pesan moral yang bertebaran dimana-mana dalam novel ini.

Bukan bermaksud melebih-lebihkan, saya pribadi menilai novel ini tidak


terlalu banyak memiliki kekurangan, terkecuali mungkin karena di buat untuk
mengisahkan zaman kolonial, maka cukup banyak istilah yang kurang akrab di
pikiran pembaca.

Akhirnya, buku ini sangat direkomendasikan untuk siapaun yang menyukai


cerita romantik penuh nilai-nilai kemanusiaan dan pemahaman tentang sejarah.
Bukan hanya menambah pembendaharaan pengetahuan—setiap kutipan yang
disampaikan Pramoedya sangatlah bermakna dan menginspirasi. Selain itu, setiap
kata bijak sangat relevan dengan karakter tokoh dalam cerita, hingga setiap kata-
kata inpirasi itu bisa menancap di otak pembaca, dan menjadi pegangan hidup.

Anda mungkin juga menyukai