Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
ada bab sebelumnya penulis sudah mengajukan pandangan Adorno sebagaimana ditafsirkan
P oleh Peter Dews, bahwa kejahatan itu bersifat total, sosial, dan radikal. Artinya kejahatan itu
tidaklah terhindarkan. Manusia individual menjadi bagian darinya, walaupun ia tidak me-
nyadarinya. Akan tetapi apakah kejahatan itu melulu bersifat sosial? Jangan-jangan manusia memiliki
aspek kejahatan yang bersifat internal di dalam dirinya sendiri? Pada bab ini dengan berpijak pada
pemikiran Paul Ricoeur, penulis akan mencoba memaparkan aspek-aspek jahat di dalam diri manu-
sia.
Di dalam tulisannya di rubrik Bentara Kompas beberapa tahun lalu, Thomas Hidya Tjaya ber-
u~~~a rnemaparkan argumen-argumen yang menunjukkan bahwa setiap orang itu punya sisi imoral.
Sis1 Irn ora I itulah yang merupakan ruang-ruang kosong tempat keJa· hatan bermuk'1m. KeJa . hatan 'tI u
sendir'
• 1 b'Isa mengambil beragam rupa, mulai· dan· pembunu h an massa I sampa1. pencunan
. ayam, mu-
la, .dar·1Pemerkosaan sampai pencurian roti. Ada keJahatan
· yang su d ah d'1rencanakan, d an ad a yang
teriadi secara spontan. Tindak pembobolan bank-bank besar adalah kejahatan yang sudah diren-
canakan. Hal ini, menurut Hidya TJ'aya menunjukkan baga:mana manusia ,mampu merencanakan
secara
d k nyaris sempurna kejahatan mereka. ' Ada dua kecenderungan daIam d'1n,manus1a,
· · yakni· kehen-
a · • baik dan keinginan untuk memburu k eni'kmatan )·
untuk men1ad1
Menjadi Manu .
66
s,a 0
tem;k
1,gui/t). Di dal~m tiga pengalaman primordial inilah kejahatan di dalam diri ma-
nusia bermuk1m.
symbolism of Evil
Ricoeur menu Iis karyanya yang paling termasyur berjudul The Symbolism
of Evil pada 1960. lni adalah karya awalnya yang berkaitan dengan hermeneu-
tika. Penulis menggunakan buku The Symbolism of Evil terjemahan Emerson
Buchanan yang diterbitkan pada 1967. Sebagai teks pembantu penulis meng-
gunakan tulisan Theodoor Marius Van Leeuwen yang berjudul The Surplus of
Meaning. Di dalam Symbolism of Evil, Ricoeur banyak menulis tentang hakekat
dari bahasa. Baginya bahasa simbolik adalah "bahasa yang paling mungkin un-
tuk terjadinya kejahatan" (SE 9; fr. 16). Artinya bahasa selalu dalam tegangan di-
alektis dengan realitas. Bahasa tidak mampu mengungkapkan realitas seakurat-
akuratnya. Di sinilah celah dari bahasa yang akhirnya justru menjadi ruang bagi
kejahatan. Hal yang sama juga terjadi dengan hakekat dari kejahatan itu sendiri.
Bagi Ricoeur hakekat dari kejahatan bersifat konfliktual, dan tidak pernah
stabil. Dimensi konfliktual dari kejahatan tersebut paling tampak memang di
dalam bahasa simbol. la pun menambahkan bahwa ada tiga metafor simbolik
yang menjadi fondasi dari semua kejahatan, yakni Noda jiwa (defilement), dosa
(sin), dan rasa bersalah (guilt). "Di sini", demikian tulis Ricoeur, "kita berbi-
cara kejahatan dalam arti metaforik, yakni sebagai keterasingan (estrangement),
perbudakan (bondage), dan beban hidup (burden)." (seperti dikutip Leeuwen,
1981, 136.) Nah, ia kemudian berpendapat bahwa symbolism of evil meru-
pakan totalitas dari tiga fondasi itu. Yang paling mendasar disebutnya sebagai
simbol-simbol primer (primary symbols). Pada level ke dua adalah narasi-narasi
(narratives), di mana berbagai mitos tentang dosa, Noda jiwa manusia, dan rasa
bersalah ditafsirkan. Yang ketiga disebutnya sebagai simbol-simbol spekulatif
(speculative symbols), di mana berbagai argumen teologis-religius yang ada di
dalam tradisi diangkat ke level reflektif, dan kemudian ditafsirkan. (ibid)
Nah, argumen yang diajukan Ricoeur a?alah, bahw~ tiga level tafsiran
tersebut haruslah dimengerti sebagai suatu tafs1ran yang salmg terkait. "Adalah
keseluruhan lingkaran," demikian tulisnya, "yang terdiri dari pengakuan, mitos
dan spekulasilah yang harus kita mengerti." (SE 9; fr. 17, seperti dikutip Leeu~
wen, ibicfJ. Artinya mitos dan spekulasi teologis-religius harus selalu dimengerti
dalam kaitannya dengan bahasa simbolik-metaforik yang ada di dalam tradisi,
terutama tradisi tulisan . lni salah satu kontribusi penting pemikiran Ricoeur,
yakni mengajak kita untuk menempatkan kembali berbagai mitos maupun spe-
kulasi teologis di dalam konteks yang lebih luas, yakni dalam arti simbolik-
metaforik. Jadi buku Symbolism of Evil mau menganalisis berbagai simbol keja-
hatan di dalam tradisi teologis-religius yang diturunkan di dalam bentuk tulisan.
Kelebihan dari tafsiran ini adalah kemampuannya untuk kurang lebih dapat
mencapai obyektifitas penafsiran, terutama tentang pengalaman akan kejahatan
yang dialami manusia di dalam sejarah. Tafsiran tersebut dapat didasarkan lang-
sung pada teks, di mana makna dan tafsiran baru dapat memperkaya pemaha-
man manusia akan dirinya sendiri secara otoritatif.
Noda Jiwa
Seperti sudah disinggung sebelumnya, pengalaman primordial manusia
bersentuhan langsung dengan kejahatan dapat dilihat dalam tiga simbolisme
menda_
sar, yakni Noda jiwa, dosa, dan rasa bersalah . Noda j iwa berkaitan den·
gan keJahatan sebagai sesuatu yang ditularkan dari luar diri manusia ke dalarn
ji_wanya. Dosa berkaitan dengan kejahatan sebagai rusaknya hubungan rnanu·
s1a dengan Tuhan · Dan rasa b ersa Iah sebaga1. rasa tanggung 1awab
• rnanus,·a
terhadap kesalahan personalnya.
70 Menjadi Manusia Ot
entik
Doaa
Walaupun memiliki kaitan dengan Noda jiwa, konsep dosa sebagai pen •
-
alaman primordial manusia berhadapan dengan kejahatan tetap harus ditaf ~
Slr-
kan secara independen. Sebelumnya, yakni di dalam konsep Noda 1'iwa ke·
' Ja-
hatan dianggap sebagai sesuatu yang obyektif. Manusia hidup di dalam kosmos
yang memiliki perbedaan yang jelas antara apa yang murni dan apa yang tidak
mumi (impure). Kejahatan dianggap memiliki status ontologis yang jelas dan
berada di luar manusia. Di dalam simbolisme dosa (sin), kategori sentral yang
digunakan Ricoeur sebagai pisau analisis adalah bahwa manusia merupakan
•mahluk-ciptaan-Tuhan". Tuhan berbicara kepada manusia, dan manusia harus
menjawab. Di sini kejahatan diartikan secara religius, dan bukan secara moral.
(Leeuwen, hal. 139).
Salah satu contoh paling jelas tentang simbolisme ke dua ini adalah tradi-
si Perjanjian Lama di dalam Kitab Suci Kristen. Di dalam perjanjian lama, cinta
Tuhan kepada manusia haruslah dibalas dengan kesetiaan serta kepercayaan
manusia kepada Tuhan. Menurut tafsiran Leeuwen, Ricoeur di sini hendak me-
maparkan simbolisme tentang dosa (symbolism of sin) dengan dua cara. Perta-
ma, manifestasi dari yang kudus tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang ada
di dalam alam, tetapi berada di dalam sejarah antara Tuhan dan manusia. Selu-
ruh tradisi Yudaisme didasarkan pada satu pengandaian bahwa Tuhan bekerja
di dalam sejarah manusia. Kedua, kejahatan lalu dipahami sebagai tanggung-
jawab manusia. Akan tetapi kejahatan ini belum dianggap sebagai sesuatu yang
personal, sehingga belum menciptakan rasa bersalah. Sejarah, dengan derniki-
an, dipandang sebagai sejarah Tuhan dan umatNya. Dosa pun dipahami seba-
gai "'ketidakpatuhan umat" (ibid).
Di dalam tradisi Yudaisme, cinta Tuhan kepada manusia haruslah dibalas
dengan komitmen penuh. Di sini cinta Tuhan itu mengambil dua bentuk, yakni
aspek ketidakterbatasannya, dan aspek keterbatasannya yang terwujud dalam
bentuk hukum-hukum. Di dalam hukum-hukum itu, Tuhan menuntut kepatuh•
an total dan kesetiaan penuh dari manusia. Seorang pendosa adalah seseorang
yang melanggar hukum-hukum Tuhan. Pelanggaran itulah yang mencip · takan
rasa takut di dalam diri manusia. Awalnya di dalam simbolisme Noda jiwa,
manusia takut akan kejahatan yang berada di luar dirinya. Kini di dalam simbo-
.
11sme dosa, manus1a
· ta kut a kan Tuhan yang begitu mencintainya. Manu sia takut
akan murka Tuhan.
Nabi-nabi Yudaisme mengklaim bahwa pada hari terakhir, Tuhan akan
datang ke b um,. dan membalas semua ketidakadilan yang ddaku
. k manu-
an
Meneropong Sisi Gelap Kejiwaan Manusia 71
Rasa Bersalah
Seperti sudah disinggung sebelumnya, noda jiwa mendominasi dimensi
kosmik (cosmic dimension) manusia, sementara dimensi manusiawi (human di-
mension) manusia didominasi oleh 'rasa bersalah'. Jika noda jiwa dan dosa ma-
sih berada di level pra-etis, maka menurut Ricoeur, rasa bersalah sudah berada
di tahap etis. Rasa bersalah tidak lagi berkaitan dengan Tuhan yang menuduh
manusia atas kejahatannya. Pada titik ini manusia sadar akan tanggungjawab
pribadinya. la pun menuduh dirinya sendiri. t<riteria pengukuran rasa bersa·
lah adalah kesadarannya sendiri. 0engan demikian perasaan bersalah adalah
sesuatu yang bersifat individL•alistik. "Sementara manusia secara radikal dan
~enyeluruh adalah seorang pendosa," demikian tulis Ricoeur, • ia kurang lebih
. . R'rcoeur memberr'kan satu
Juga seorang yang bersalah • " (SE 108·, fr • 10G) 0 1. smr
c~ntoh tentang orang-orang Phariaism di dalam tradisi Yudaisme. Di dalarn
et1ka .Y_udarsme,
· · me l1hat
ia · adanya ~egangan antara hukum-hukum positif· d',
satu s1s1, dan tuntutan t•a 1I-d · . but
. . . ' ng a~ mungkm dicapa i dari hukum-hukum terse ·
Set1ap nab, dr dalam y d · ~ _ , d · Tu·
h . u arsm.__ :.,e,alu ~ er,ekankan tuntutan mutlak arr .
an. Akan tetap1 di dalam - ., 4 an d1
•
tetapi menjadi masalah individual saja. "Jika salah dan dosa adalah masalah
individual,* demikian tulis Ricoeur, "maka penyelamatan juga merupakan ma-
salah individual" (SE 105; fr. 104 dalam Leeuwen, 142). Pada titik ini dosa tidak
lagi menjadi masalah kolektif, t.etapi menjadi masalah individual.
Ketika sedang membaca ini, penulis jadi teringat argumen menarik yang
pernah dipaparkan Budi Hardiman di dalam bukunya yang berjudul Mema-
hami Negativitas. Di dalam buku itu, ia mengutip dari C.P Snow begini, •Bila
orang menelusuri sejarah umat manusia yang panjang dan kelabu", demikian
Snow, • orang akan menemukan bahwa lebih banyak ·kejahatan yang menji-
jikan dilakukan atas nama kepatuhan daripada atas nama pembangkangan.'
(Budi Hardiman, hal. 115) Kiranya kutipan ini mempertegas apa yang ingin
disampaikan Ricoeur dengan simbolisme rasa bersalahnya (symbolism of guilt).
titik ini, bertindak jahat bukaniah berarti melakukan tindakan yang merusak
tatanan, melainkan melakukan tindakan yang melanggar perintah Tuhan . Sim-
bol ini pertama kali tampak di dalam kesadaran religius bangsa Israel pada
jaman nabi-nabi (Bertens, 264). Dosa merupakan tanda pengkhianatan orang
pada Tuhannya. Oleh karena itu, hukuman bagi seorang pendosa adalah mur-
ka dari Tuhan. Dosa adalah momen, ketika hati seseorang menjadi keras, dan
tidak lagi mampu mendengar sapaan Tuhan. Simbolisme ketiga adalah rasa
bersalah. Rasa bersalah ini muncul, karena manusia menjadi fanatik terl 1adap
hukum-hukum dan aturan-aturan. Melalui sikap fanatiknya itu, ia menjadikan
hukum sebagai Tuhan. Padahal manusia itu pada dasarnya selalu tidak mampu
mematuhi hukum secara mutlak. la selalu mempunyai kelemahan . Maka ketika
ia tidak mampu mematuhi hukum, ia menjadi merasa bersalah pada dirinya
sendiri. la mengutuk dirinya sendiri. Niat awalnya adalah patuh pada hukum.
Akan tetapi hasil akhirnya adalah kejahatan itu sendiri.
0engan tiga simbol isme kejahatan ini, Ricoeur mencoba mengangkat
akar-akar dari kejahatan itu sendiri, baik sebagai kejahatan obyektif, kejahatan
terhadap Tuhan, maupun kejahatan personal manusia terhadap dirinya sendiri.
Apakah pemaparannya ini cukup memadai? Jawabannya bisa beragam. Mung-
kin sisi gelap manusia merupakan bagian dari diri manusia yang terus menjadi
misteri, dan karena itu selalu disebut sebagai "gelap", karena pada dasarnya,
kita hanya bisa meraba dan mengais, tanpa bisa memahaminya secara mutlak.
Mungkin ... • • •
Pertanyaan-pertanyaan Reflektif
1. Di mana akar kejahatan, menurut Paul Ricoeur? Jelaskan jawabanmul
2. Apa yang dimaksud dengan kejahatan yang terkandung di dalam simbol
t.:\. nodajiwa?
~ Apa yang dimaksud dengan kejahatan yang terkandung di dalam simbol
r-~ dosa dan rasa bersalah?
\ : ) Mengapa Paul Ricoeur ingin melukiskan kejahatan melalui simbol? Jelas-
kan jawabanmul
-ooOoo-