PIRNGADI MEDAN
BAB 1
PENDAHULUAN
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru
yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam
parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Abses paru harus dibedakan dengan
kavitas pada pasien tubekulosis paru. Abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan yang umumnya terjadi pada umur tua karena terdapat
peningkatan insiden penyakit periodontal dan peningkatan prevalensi aspirasi.
Kemajuan ilmu kedokteran saat ini menyebabkan kejadian abses paru menurun
(jarang ditemukan) karena adanya perbaikan resiko terjadinya abses paru seperti
teknik operasi dan anastesi yang lebih baik dan penggunaan antibiotik lebih dini,
kecuali pada kondisi-kondisi yang memudahkan untuk terjadinya aspirasi dan
populasi dengan immunocompromised. Karena angka harapan hidup yang lebih
baik pada pasien HIV maka pada tahun-tahun belakangan ini kasus abses paru
tampak mengalami peningkatan.
Gejala penyakit timbul satu sampai tiga hari setelah aspirasi, berupa malaise
dengan panas badan tinggi disertai menggigil, kemudian disusun dengan batuk
dan nyeri pleuritik atau rasa nyeri yang dirasakan dalam dada dan gejala akan
terus meningkat sampai menimbulkan sesak napas dan sianosis. Bila tidak diobati
maka gejala akan terus meningkat sampai kurang lebih hari kesepuluh. Penderita
mendadak batuk dengan mengeluarkan pus dalam bentuk darah dalam jumlah
banyak, mungkin berbau busuk bila terinfeksi oleh kuman anaerob, setelah itu
penderita merasa lebih enak.
Gejala yang khas ini tidak selalu ada. Gejala yang kurang khas dapat
bervariasi, dari ringan sampai sedang, seperti flu saja yang timbul perlahan-lahan
perjalanan penyakit sering dipengaruhi oleh pengobatan yang tidak memadai.
Gejala klinis dapat sebagai pneumonia yang tidak sembuh dengan obat-obat anti
infeksi yang memadai. Abses yang pucat ke pleura menimbulkan pio-
pneuomothoraks.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
a. Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus)
dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Abses paru lebih sering
terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dan umumnya terjadi pada
umur tua karena terdapat peningkatan insidens penyakit periodontal dan
peningkatan prevalensi aspirasi.
b. Menurut Rassner, abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur
ke dalam suatu rongga (rongga abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas
tegas.
c. Menurut Smeltzer, abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai
dengan pengumpulan pus (bakteri, jaringan nekrotik).
d. Abses adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga yang terbentuk
akibat kerusakan jaringan.
e. Abses paru adalah proses infeksi paru supuratif yang menimbulkan
destruksi parenkim dan pembentukan satu atau lebih kavitas yang
mengandung pus sehingga membentuk gambaran radiologi Air Fluid
Level.
f. Abses paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material
purulen berisikan sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh
proses terinfeksi. Bila diameter kavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak
(multiple small abscesses) dinamakan “Necrotizing Pneumonia”. Abses
besar atau abses kecil mempunyai manifestasi klinik berbeda namun
mempunyai predisposisi yang sama dan prinsip differential diagnose sama
pula. Abses timbul karena aspirasi benda terinfeksi, penurunan mekanisme
pertahanan tubuh atau virulensi kuman yang tinggi. Pada umumnya kasus
abses paru ini berhubungan dengan karies gigi, epilepsi tak terkontrol,
2.2 Etiologi
1) Bacteriodes melaninogenus
2) Bacteriodes fragilis
3) Peptostreptococcus species
4) Bacillus intermedius
5) Fusobacterium nucleatum
6) Microaerophilic streptococcus
Bakteri anaerobik meliputi 89% penyebab abses paru dan 85%-100% dari
spesimen yang didapat melalui aspirasi transtrakeal.
1) Staphylococcus aureus
2) Streptococcus microaerophilic
3) Streptococcus pyogenes
4) Streptococcus pneumonia
1) Klebsiella pneumonia
2) Pseudomonas aeruginosa
3) Escherichia coli
4) Haemophilus Influenza
5) Actinomyces Species
6) Nocardia Species
7) Gram negatif bacilli
c. Kelompok :
Studi yang dilakukan Bartlett et al. (1974) mendapatkan 46% abses paru
disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri anaerob
dan aerob.
2.4 Patofisiologi
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan
hematogen. Yang paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru
bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor dan
striktur bronkial. Keadaan ini menyebabkan obstruksi bronkus dan terbawanya
organisme virulen yang akan menyebabkan terjadinya infeksi pada daerah distal
obstruksi tersebut. Abses jenis ini banyak terjadi pada pasien bronkitis kronis
karena banyaknya mukus pada saluran nafas bawahnya yang merupakan kultur
media yang sangat baik bagi organisme yang teraspirasi. Pada perokok usia lanjut
keganasan bronkogenik bisa merupakan dasar untuk terjadinya abses paru.
Secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau
sebagai fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain
tubuhnya seperti tricuspid valve endocarditis. Penyebarannya hematogen ini
umumnya akan berbentuk abses multipel dan biasanya disebabkan oleh
stafilokokus. Penanganan abses multipel dan kecil-kecil adalah lebih sulit dari
abses singel walaupun ukuranya besar. Secara umum diameter abses paru
bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 5 cm atau lebih.
Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang
terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada
orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi, bronkiektasis
atau gangguan imunitas.
Selain itu abses paru dapat terjadi akibat necrotizing pneumonia yang
menyebabkan terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami
konsolidasi, dengan organisme penyebabnya paling sering ialah Staphylococcus
aureus, Klebsiella pneumonia dan group Pseudomonas. Abses yang terjadi
biasanya multipel dan berukuran kecil-kecil (<2cm).
Bulla atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru. Kista
bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan media kultur
untuk tumbuhnya mikroorganisme yang virulen maka akan terjadilah abses paru.
Abses hepar bakterial atau amubik bisa mengalami ruptur dan menembus
diafragma yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan
rongga pleura.
Abses paru biasanya satu (singel), tapi bisa multipel yang biasanya unilateral
pada satu paru, yang terjadi pada pasien dengan keadaan umum yang jelek atau
pasien yang mengalami penyakit menahun seperti malnutrisi, sirosis hati,
gangguan imunologis yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun, atau
penggunaan sitostatika. Abses akibat aspirasi paling sering terjadi pada segmen
posterior lobus atas dan segmen apikal lobus bawah, dan sering terjadi pada paru
kanan, karena bronkus utama kanan lebih lurus dibandingkan yang kiri.
Abses paru adalah daerah infeksi paru dengan parenkim yang nekrosis. Abses
paru mungkin soliter atau dapat terjadi karena beberapa lesi diskrit. Abses tersebut
paling sering adalah sekunder terhadap aspirasi anaerob atau anaerob dan
organisme aerobik yang penjajah dari saluran pernapasan bagian atas dan
mungkin terkait dengan penyakit peridontal. Superinfeksi rusak atau infark
jaringan paru-paru (misalnya , seperti pada pneumonia aspirasi dengan cedera
kimia dan superinfeksi anaerob atau infeksi anaerob primer) berkembang menjadi
nekrosis dan fokus mikroskopis pembentukan abses.
Pertemuan fokus nekrotik kecil dapat membuat satu atau lebih abses paru-
paru atau menyebabkan fibrosis progresif, menyusut, dan menghancurkan lobus.
Ganggren paru merupakan konsekuensi yang tidak biasa infeksi paru parah yang
ditandai dengan peluruhan dari segmen paru atau lobus. Proses ini mempengaruhi
seluruh segmen atau lobus sekunder trombosis dari kedua arteri bronkial dan paru
dengan infark pulmonal.
Onset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak / akut. Disebut abses akut
bila terjadi kurang dari 4 – 6 minggu. Umumnya pasien mempunyai riwayat
perjalanan penyakit 1 – 3 minggu dengan gejala awal adalah badan terasa lemah,
tidak nafsu makan, penurunan berat badan, batuk kering, keringat malam, demam
8
intermitten bisa disertai menggigil dengan suhu tubuh mencapai 39,40C atau lebih.
Tidak ada demam tidak menyingkirkan adanya abses paru. Setelah beberapa hari
dahak bisa menjadi purulen dan bisa mengandung darah.
Kadang-kadang kita belum curiga adanya abses paru sampai dengan abses
tersebut menembus bronkus dan mengeluarkan banyak sputum dalam beberapa
jam sampai dengan beberapa hari yang bisa mengandung jaringan paru yang
mengalami ganggren. Sputum yang berbau amis dan berwarna anchovy
menunjukkan penyebabnya adalah bakteri anaerob dan disebut dengan putrid
abcesses, tetapi tidak didapatkannya sputum seperti diatas tidak menyingkirkan
kemungkinan infeksi anaerob. Bila terdapat nyeri dada menunjukkan keterlibatan
pleura. Batuk darah bisa dijumpai, biasanya ringan tetapi ada yang masif.
Pada abses paru bisa dijumpai jari tabuh, yang proses terjadinya berlangsung
cepat.
2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan :
a. Badan terasa lemah
b. Tidak nafsu makan
c. Penurunan berat badan
d. Batuk
e. Sputum berbau amis
f. Demam
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Sesak nafas
b. Palpasi
Nyeri tekan lokal
c. Perkusi
Terdengar redup
d. Auskultasi
Terdengar suara bronkial dengan ronki basah atau krepitasi ditempat abses
3. Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologi
Foto dada PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi
dan bentuk abses paru. Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada
hanya menunjukkan gambaran opak dari satu atau lebih segmen paru,
atau hanya berupa gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat.
10
11
12
13
b. Laboratorium
Hitung leukosit umumnya tinggi berkisar 10.000-30.000/mm2 dengan
hitung jenis bergeser ke kiri dan sel polimorfonuklear yang banyak
terutama netrofil yang immatur. Bila abses berulang lama sering
ditemukan adanya anemia. Pemeriksaan dahak dapat membantu dalam
menemukan mikroorganisme penyebab abses, namun dahak tersebut
hendaknya diperoleh dari aspirasi transtrakeal, transtorakal atau
bilasan/sikatan bronkus, karena dahak yang dibatukkan akan
terkontaminasi dengan organisme anaerobik normal pada rongga mulut
dan saluran napas atas. Prosedur invasif ini tidak biasa dilakukan,
kecuali bila respon terhadap antibiotik tidak adekuat. Pemeriksaan
yang dapat dilakukan dari dahak adalah pewarnaan langsung dengan
teknik gram, biakan mikroorganisme aerob, anaerob, jamur, nokardia,
basil mikobakterium tuberkulosis dan mikobakterium lain. Dahak bisa
mengandung spirochaeta, fusiform bacilli, atau sejumlah besar bakteri
baik yang patogen maupun flora manusia seperti streptococcus
viridan. Klostridium dapat ditemukan dari aspirasi transtrakeal. Kultur
darah dapat membantu menemukan etiologi, sedangkan pemeriksaan
serologi juga dapat membantu menemukan etiologi, sedangkan
pemeriksaan serologi juga dapat dilakukan untuk jamur dan parasit. (1)
c. Bronkoskopi
Bronkoskopi dengan biopsi sikatan yang terlindung dan bilasan
bronkus merupakan cara diagnostik yang paling baik dengan akurasi
diagnostik bakteriologi melebihi 80%. Cara ini hendaknya dilakukan
pada pasien AIDS sebelum dimulai pengobatan karena banyaknya
kuman yang terlibat dan sulit diprediksi secara klinis.)
Selain itu 10%-15% dari penyebab abses paru pada orang dewasa
adalah karsinoma bronkogenik, dan 60% di antaranya dapat didiagnosa
dengan memakai bronkoskopi.
14
2.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya dari
patogen penyebab dengan pengobatan yang cukup drainase yang adekuat dari
empiema dan pencegahan komplikasi yang terjadi.
15
Pasien abses paru memerlukan istirahat yang cukup. Bila abses paru pada foto
dada menunjukan diameter 4 cm atau lebih sebaiknya pasien dirawat inap. Posisi
berbaring pasien hendaknya miring dengan paru yang terkena abses berada di atas
supaya gravitasi drainase lebih baik. Bila segmen superior lobus bawah yang
terkena, maka hendaknya bagian atas tubuh pasien/kepala berada di bagian
terbawah (posisi trendelenberg). Diet biasanya bubur biasa dengan tinggi kalori
tinggi protein. Bila abses telah mengalami resolusi dapat diberikan nasi biasa.
Penyembuhann sempurna abses paru tergantung dari pengobatan antibiotik
yang adekuat dan diberikan sedini mungkin segera setelah sampel dahak dan
darah diambil untuk kultur dan tes sensitivitas Kebanyakan kasus abses paru
disebabkan bakteri anaerob kumannya tidak dapat ditentukan secara pasti,
sehingga pengobatan diberikan secara empiris. Kebanyakan pasien mengalami
perbaikan dengan hanya dengan antibiotik dan postural drainage, sedangkan kira-
kira 10% harus dilakukan tindakan operatif.
Antibiotik yang paling baik adalah klindamisin oleh karena mempunyai
spektrum yang lebih baik pada bakteri anaerob. Klindamisin diberikan mula-mula
dengan dosis 3x600mg IV, kemudian 4x300mg oral/hari. Regimen alternatif
adalah penisilin G 2-10 juta unit/hari, ada yang memberikan sampai dengan 25
juta unit atau lebih/hari dikombinasikan dengan streptomisin, kemudian
dilanjutkan dengan penisilin oral 4x 500-750mg/ hari.
Antibiotik parenteral diganti ke oral bila pasien tidak panas lagi dan merasa
sudah baikan. Kombinasi penisilin 12-18 juta unit/hari dan metronidazol 2
gram/hari dengan dosis terbagi yang diberikan selama 10 hari dikatakan sama
efektifnya dengan klindamisin, walaupun begitu harus diingat bahwa beberapa
bakteri anaerob seperti Prevotella, Bakteriodes Spp dan Fusobacterium karena
memproduksi beta-laktamse, resisten terhadap penisilin.
Pengobatan terhadap penyebab patogen aerobik kebanyakan dipakai
klindamisin + penisilin atau klindamisin + sefalosporin. Cefoksitin 3-4 x 2
gram/hari intravena yang merupakan generasi kedua sefalosporin, aktif terhadap
16
bakteri gram positif, gram negatif resisten penisilinase dan bakteri anaerob,
diberikan bila abses paru tersebut diduga disebabkan oleh infeksi polimikrobial.
Kemudian antibiotik diberikan sesuai dengan hasil tes sensitivitas. Abses paru
yang disebabkan stafilokokus harus diobati dengan penicillinase resisitant
penicilin atau sefalosporin generasi pertama sedangkan Staphylococcus aureus
yang methicillin resistant seperti yang disebabkan oleh emboli paru septik
nosokomial, pilihannya adalah vankomisin. Abses paru yang disebabkan nocardia
pilihannya metronidazol 3x750 mg, sedangkan bila penyakitnya serius seperti
terjadi rupur dari abses harus ditambahkan smetin parenteral pada 5 hari pertama.
Antibiotik diberikan sampai dengan pneumonitis telah mengalami resolusi
dan kavitasnya hilang, tinggal berupa lesi sisa yang kecil dan stabil dalam waktu
lebih dari 2-3 minggu. Resolusi sempurna biasanya membutuhkan waktu
pengobatan 6-10 minggu dengan pemberian antibiotik oral sebagai pasien rawat
jalan. Pemberian antibiotik yang kurang dari waktu ini sering menyebabkan
kekambuhan dengan melibatkan organisme yang resisten terhadap antibiotik yang
diberikan sebelumnya.
Perbaikan klinis berupa berkurang atau hilangnya demam tercapai 3-10 hari.
Demam yang resisten menunjukkan kegagalan pengobatan. Pada kasus begini bila
diperiksa lebih lanjut akan ditemukan adanya obstuktif bronkus oleh benda asing,
neoplasma atau disebabkan infeksi bakteri yang resisten mikobakteria, parasit atau
jamur. Respon yang lambat atau tidak respon sama sekali juga bisa dijumpai pada
beberapa keadaan yaitu kavitas yang besar (lebih besar 6 cm), keadaan umum
pasien yang jelek, seleksi antimikrobial yang salah, diagnosis yang salah ada
empiema, abses yang memerlukan drainase, komplikasi pada organ yang jauh
seperti abses otak dan demam obat.
Bronkoskopi juga mempunyai peran penting pada abses paru seperti pada
kasus yang dicurigai karsinoma bronkus atau lesi obstruksi, pengeluaran benda
asing dan untuk melebarkan striktur. di samping itu dengan bronkoskopi dapat
dilakukan aspirasi dan pengosongan abses yang tidak mengalami drainase yang
17
2.10 Komplikasi
Komplikasi lokal meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi lewat bronkus
atau penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru yang
drainasenya kurang baik, bisa mengalami ruptur ke segmen lain dengan
kecenderungan penyebaran infeksi staphylococcus, sedang yang ruptur ke rongga
pleura menjadi piotoraks (empiema). Komplikasi sering lainnya berupa abses
otak, hemoptisis masif, ruptur pleura viseralis sehingga terjadi piopneumotoraks
dan fistula bronkopleura.
Abses paru yang resisten (kronik), yaitu yang resisten dengan pengobatan
selama 6 minggu, akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen dan
mungkin akan menyisakan suatu bronkiektasis, kor pulmonal, dan amiloidosis.
Abses paru kronik bisa menyebabkan anemia, malnutrisi, kaheksia, gangguan
cairan dan elektrolit serta gagal jantung terutama pada manula.
18
2.11 Prognosis
Prognosis abses paru simpel terutama tergantung dari keadaan umum pasien,
letak abses serta luasnya kerusakan paru yang terjadi, dan respon pengobatan yang
kita berikan.
Angka mortalitas pasien abses paru anaerob pada era antibiotik kurang dari
10% dan kira-kira 10-15% memerlukan operasi. Bila pengobatan diberikan dalam
jangka waktu cukup lama angka kekambuhannya rendah.
Faktor-faktor yang membuat prognosis menjadi jelek adalah kavitas yang
besar (lebih besar 6cm), penyakit dasar yang berat, status immunocompromised,
umur yang sangat tua, empiema, nekrosis paru yang progresif, lesi obstruktif,
abses yang disebabkan bakteri aerobik dan abses paru yang belum mendapat
pengobatan dalam jangka waktu yang lama. Angka mortalitas pada pasien-pasien
ini bisa mencapai 75% dan bila sembuh maka angka kekambuhannya tinggi.
19
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru
yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam
parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Abses paru lebih sering terjadi pada
laki-laki dibanding perempuan dan umumnya terjadi pada umur tua karena
terdapat peningkatan insiden penyakit periodontal dan peningkatan prevalensi
aspirasi.
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan
hematogen. Yang paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru
bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor dan
striktur bronkial. Keadaan ini menyebabkan obstruksi bronkus dan terbawanya
organisme virulen yang akan menyebabkan terjadinya infeksi pada daerah distal
obstruksi tersebut.
Untuk memastikan diagnosis dari abses paru dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa rontgen toraks dan pemeriksaan laboratorium. Prognosis pada
penyakit ini baik, apabila tidak terjadi komplikasi.
20
REFERENSI
21