Anda di halaman 1dari 3

Nama : Mayuriko Olivia Pertiwi

NIM : 11140163000019
Kelas : Fisika 1A
Sumber : S. Nasution (Asas-asas kurikilum, halaman 22-56)

Filsafat adalah cara berpikir sedalam-dalamnya, yakni sampai akarnya tentang hakikat sesuatu. (S.
Nasution, 2011). Filsafat merupakan cara berpikir sampai ke dasar suatu hal dengan cara
mempertimbangkan sesuatunya dan menghubungkannya dengan hal lainnya. Filsafat penting sebab dalam
mengambil keputusan terutama dalam hal ini keputusan mengenai aspek kurikulum maupun pendidikan
perlu mempertimbangkan hal-hal yang bersangkutan serta mengkajinya sampai ke akar-akarnya. Sebab
apabila tidak sampai ke dasarnya maka akan dihasilkan pertimbangan yang kurang akurat.

Pendapat bahwa seorang guru tidak perlu memahami itu filsafat dianggap S. Nasution sebagai hal yang
picik sebab apa yang dilakukan oleh seorang guru harus didasarkan pada apa yang dipercayai,
diyakininya sebagai benar dan baik. Maka dalam merealisasikannya seorang guru harus mengkaji
keyakinannya terlebih dahulu apakah akan berdampak baik bagi dirinya maupun siswanya bahkan bagi
orang lain. Guru harus betul-betul matang dalam memahami apa yang diyakininya, sebab apa yang
dilakukan seorang guru akan berdampak besar terutama pada siswanya. Siswa merupakan tokoh utama
dalam sebuah pendidikan. Sebab dengan adanya siswa yang butuh ilmu pengetahuan maka muncullah
segala sesuatu yang bersangkutan dengan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan si siswa yang butuh
ilmu pengetahuan ini. Maka jangan sampai kepercayaan seorang guru mencederai seorang siswa, maka
dari itu guru perlu memahami filsafat.

Para pengembang kurikulum harus mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang mereka junjung
tinggi. (S. Nasution, 2011 halaman 22). Filsafat yang tidak dikaji sampai ke dasar maka hanya akan
mengambang terombang ambing tak tentu arah sehingga keputusannya pun tidak dapat dikokohkan atau
dipertahankan bahkan akan menggaggu sampai merusai komponen-komponen lain dalam
penyelenggaraan pendidikan. Terdapat aliran filsafat yang memiliki dasar pemikirannya sendiri.

1. Aliran Parennialisme
Aliran ini bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual anak melalui pengetahuan yang abadi,
universal, dan absolut. Menurutnya hanya mata pelajaran yang sungguh mereka anggap dapat
mengembangkan kemampuan intelektual seperti matematika, fisika, biologi, kimia yang diajarkan
sementara pelajaran mengenai emosi dan jasmani dikesampingkan. Hal ini tentu menyulitkan bagi siswa
yang kemampuannya lebih condong kepada emosi atau sosial maupun jasmanio. Mereka akan kesulitan
mengikuti pelajaran tersebut. Siswa tidak akan enjoy dalam menuntut ilmu bahkan terbebani dan mungkin
saja tidak akan berkembang sebab kemampuannya ada pada bidang lain. Hal ini tentu tidak sepenuhnya
dapat dibenarkan karena disisi lain hal ini mematahkan sayap seorang anak yang ingin terbang melalui
jalan dan minat lain.

2. Aliran Idealisme
Aliran ini berpendapat bahwa kebenaran itu berasal dari Tuhan. Kebenaran ini termasuk dogma dan
norma-normanya bersifat mutlak. Tujuan hidup ialah memenuhi kehendak Tuhan. Filsafat ini biasanya
dianut dan diterapkan di lingkup oendidikan religious dimana semua siswa wajib mengikuti pelajaran
yang berbau agama. Namun pendidikan intelektual juga sangat penting diutamakan dengan menentukan
standar mutu yang tinggi. Disini dibentuk tujuan pendidikan yang menyeimbangkan pentingnya urusan
dunia dan akhirat. Dituntut untuk ideal atau sempurna antara segala urusan dunia berupa intelektual dan
urusan akhirat berupa agama.

3. Aliran Realisme
Tujuan hidup dalam aliran ini adalah memperbaiki kehidupan melalui penelitian ilmiah. Mutu kehidupan
dapat ditingkatkan melaui kemajuan dalm ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekolah yang menganut aliran
ini mengutamakan pengetahuan yang sudah mantap sebagai hasil penelitian ilmiah yang sudah dituangkan
pada berbagai disiplin ilmu. Kurikulumnya tidak memperhatikan minat anak namun menghapkan anak
dapat menaruh minat terhadap pelajaran akademis. Ia harus bersungguh-sungguh mempelajari berbagai
disiplin ilmu dan menguasainya. Sementara tidak semua siswa menaruh minat pada bidang ini. Ada siswa
yang memiliki minat dibidang sosial atau bahkan keterampilan. Siswa yang dipaksa untuk menganut
aliran ini akan sulit untuk mengembangkan dirinya sendiri dan akan cenderung menyingkir aau bahkan
tersingkir dikalangannya.

4. Aliran Pragmatisme
Tujuan hidup aliran ini ialah mengabdi kepada masyarakat dengan peningkatan kesejahteraan manusia.
Tugas guru bukan mengajar dalam arti menyampaikan pengetahuan yang dimiliki guru melaikan memberi
ruang kepada anak untuk melakukan berbagai kegiatan guna memecahkan masalah. Belajar itu hanya
dapat dilakukan oleh anak sendiri bukan dipompakan kedalam otaknya, bukan what to think tetapi how to
think. Sekolah mengajak siswa menganalisis apa yang terjadi disekitarnya dan menganalisis secara kritis.
Hal ini dapat mengasah analisa seorang anak namu akan menyulitkan siswa yang pribadinya butuh untuk
dituntun dalam mempelajari sesuatu. Ia akan kesulitan menyesuaikan diri dan memenuhi tuntutan sekolah
yang dibebankan padanya.

5. Aliran Ekstensialisme
Filsafat ini mengutamakan individu sebagai factor dalam menentukan apa yang baik dan benar. Individu
diberi kebebasan dalam menentukan norma yang dianutnya. Tujuan hidupnya adalah menyempurnakan
diri, merealisasikan diri. Sekolah ini menolak segala kurikulum, pedoman, instruksi, buku waji, dan laim-
lain dari pihak luar. Anak harus mencari identitasnya sendiri. Anak diberi kebebasan da tidak diharuskan
mengikuti aturan berupa kurikulum dan sebagainya. Hal ini baik sehingga anak bisa mengikuti alur minat
dan kemampuannya sendiri tanpa dibebani harus mengikuti yang bukan minatnya. Tetapi ini juga akan
menimbulkan ‘blank’ bagi sejumlah anak sebab tidak semua anak sudah tahu bakat, minat, da
kemampuannya. Mereka butuh dituntun juga dan diberi beberapa pengarahan sehingga mereka tahu apa
yang harus mereka lakukan. Bimbingan pada aliran ini bersifat non-directive dimana guru banyak
mendengarkan dan mengajukan pertanyaan tanpa mengingatkan apa yang harus dilakukan anak, hal ini
hamper mirip seperti di bangku perkuliahan. Padahal sedewasa apapun anak seperti mahasiswa, perlu
adanya bimbingan dan arahan tidak hanya dilepas begitu saja sebab se ‘mahasiswa’ apapun seseorang ia
tetap dalam masa pendidikan dan perlu arahan dan bimbingan, bukankah itu tujuan pendidikan?
Filsafat ialah sesuatu yang menunjukkan suatu sistem, yang dapat menentukan arah hidup dan serta
menggambarkan nilai-nilai apa yang paling dihargai dalam hidup seseorang. Filsafat serupa inilah yang
harus dimiliki setiap guru agar dapat membantu anak membentuk pandangan hidup yang sehat. Nah,
begitu pula seorang mahasiswa, bagaimanapun juga walau mereka sudah dewasa tetapi mereka butuh
pendidik yang mengarahkan dan membimbing agar terpentuk pandangan yang sehat pula.
Sekolah tanpa filsafat laksana kapal tanpa kemudi. Filsafat yangbertentangan dikalangan pendidik tak
akan membawa bahtera pendidikan kearah tujuan tertentu. Tujuan pendidikan yang ingin dicapai dengan
pendidikan ditentukan oleh filsafat yang dianut oleh pemerintah, atau penguasa dalam suatu Negara.
Kalau pemerintahan bertukar, dengan sendirinya tujuan pendidikan pun berubah sebab pandangan setiap
pemimpin berbeda-beda, maka ia mengarahkan pendidikan negaranya juga dengan cara yang berbeda.

Dalam Tap. MPR No.II/MPR/1988 tentang GBHN, tercantum:


Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia,
yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, dan terampil serta sehat
jasmani dan rohani.

Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta kesetakawanan
sosial. Mulai dari lingkup kecil kita belajar dilingkungan keluarga, dengan pendidikan itu sendiri kita
harus mampu menciptakan hubungan sosial yang baik kepada keluarga, begitu seterusnya sampai kepada
masyarakat, keluarga sekolah, antarsekolah, antar wilayah, bahkan sampai tingkat nasional kita harus tahu
bagaimana kita bersikap dan berjiwa sosial akibat pendidikan dan pembelajaran yang telah kita pelajari
selama ini. Dengan begitu banyak aspek nasional yang akan berjalan baik akibat adanya pendidikan yang
menumbuhkan hubungan sosial yang me-nasional.

Tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk manusia pembangunan yang berpancasila yang kemudian
diuraikan dalam sejumlah butir-butir sebagai penjelasan makna tiap sila. Disini tertulis membentuk
manusi pembangunan yang berpancasila, maksudnya dengan terselenggaranya pendidikan maka
diharapkan tercipta manusia-manusia hasil dari proses pendidikan yang mampu membangun dirinya
sendiri, keluarganya, sekitarnya bahkan negaranya to be more develop and make their country to be the
same level with other country. So, dengan majunya Negara kita, maka pendidikannya juga akan semakin
maju dan lebih baik lagi.

Herbert Spencer mengajukan pertanyaan yang sampai sekarang masih harus dipertimbangkan oleh setiap
pengembang kurikulum: “ What knowledge is of most worth?”. Pengetahuan apa yang paling berharga?
Herbert Spencer sangat mengutamakan relevansi pendidikan. Banyak yang diajarkan disekolah yang tidak
jelas apa kaitannya dengan kehidupan anak sehari-hari. Alasan memberinya ialah bahwa pelajaran itu
berguna kelak bila melanjutkan pelajaran.

Anda mungkin juga menyukai