Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Biografis Immanuel Kant

Immanuel Kant lahir pada tanggal 22 April 1724 di Königsberg, Prusia Timur, Jerman. Kant lahir sebagai
anak keempat dari suatu keluarga miskin. Keluarganya menganut kristiani yang shaleh.[1] Keyakinan
agamanya itu sekaligus merupakan latar belakang yang cukup penting bagi pemikiran filosofisnya,
terutama masalah etika. Orang tua Kant adalah pembuat pelana kuda dan penganut setia
gerakan Peitisme. Pada usia 8 tahun Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium
Fridericianum, sekolah yang berlandaskan semangat Peitisme.

Pada tahun 1740 Kant meninggalkan gymnasium dan melanjutkan studinya tentang teologi di Universits
Königsberg saat usianya 16 tahun. Namun perhatiannya justru tercurah pada filsafat, ilmu pasti dan
fisika. Karena tidak mampu membiayai studinya, Kant memperoleh uang studinya dari beasiswa. Setelah
selesai ia menjadi guru privat.

Sejak kecil ia tidak meninggalkan desanya, kecuali hanya selama beberapa waktu singkat untuk
mengajar di desa tetangganya. Kemudian pada tahun 1755, ia kembali ke Universitas Königsberg
menjadi dosen.

Hidupnya dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pra-kritis dan tahap kritis. Semula Kant
dipengaruhi oleh rasionalisme Leibniz dan Wolf, kemudian dipengaruhi oleh empirisme Hume, sedang
Rousseau juga menampakkan pengaruhnya. Menurut Kant sendiri Hume-lah yang menjadikan ia bangun
dari tidurnya dalam dogmatism. Hume berpendapat bahwa empiris adalah sebuah pengetahuan yang
tak lebih dari kesan-kesan inderawi saja, namun Kant menentangnya. Kant menulis tentang berbagai
masalah dari bidang ilmu alam, ilmu pasti, dan filsafat. Kemudian, selama 11 tahun tak ada tulisan Kant
apapun, itulah saat pemikiran Kant berubah, kira-

kira tahun 1770 sebagai garis perbatasannya, yaitu ketika ia menerima jabatan Guru Besar Logika dan
Metafisika di Königsberg.[2] Sejak itu ia menyodorkan filsafatnya kepada dunia dengan penuh
kepastian, sedang sebelumnya masih terdapat perubahan-perubahan dalam tulisan
tulisannya. Immanuel Kant meninggal menjelang usia 80 tahun pada 12 Februari 1804 di Königsberg.

B. Latar Belakang Pemikiran Immanuel Kant

Pemikiran Kant mengalami empat periode perkembangan, yaitu:

- Periode pertama ialah ketika ia masih dipengaruhi oleh Leibniz-Wolf, yaitu sampai tahun 1760.
Periode ini sering disebut periode rasionalistik.
- Periode kedua berlangsung antara tahun 1760–1770, yang ditandai dengan semangat skeptisisme.
Periode ini sering disebut periode empiristik karena dominasi pemikiran empirisme Hume. Karyanya
yang muncul dalam periode ini adalahDream of a Spirit Seer.

- Periode ketiga dimulai dari inaugural disertasinya pada tahun 1770. Periode ini bisa dikenal
sebagai periode kritis. Karyanya yang muncul dalam periode ini diantaranya: The Critique of Pure
Reason (1781), Prolegomena to any Future Methaphysics (1787), Metaphysical Foundation of Rational
Science (1786), Critique of Practical Reason (1788), Critique of Judgment (1790).

- Periode keempat berlangsung antara tahun 1790 sampai tahun 1804. Pada periode ini Kant
mengalihkan perhatiannya pada masalah religi dan problem-problem sosial. Karya Kant yang terpenting
pada periode keempat adalah Religion within the Limits of Pure Reason (1794) dan sebuah kumpulan
essei berjudul Eternal Peace (1795).

Pada awalnya Immanuel Kant memandang rasionalisme dan empirisme senantiasa berat sebelah dalam
menilai akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Rasionalisme berpendirian bahwa rasio
merupakan sumber pengenalan atau pengetahuan. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi
pembukaan realitas pada diri subyeknya, lepas dari pengalaman. Sedangkan empirisme berpendirian
bahwa pengalaman menjadi sumber pengetahuan. Empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan
dari pengalaman saja.[3]

Menurut Kant, pengenalan manusia merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori dan unsur-unsur a
posteriori, yaitu unsur rasio/akal dan juga unsur inderawi/pengalaman. Menurutnya akal murni itu
terbatas, menghasilkan pengetahuan tanpa dasar inderawi atau independen dari alat pancaindera.[4]

Hal inilah yang kemudian memicu Kant bersikap kritis untuk menyelidiki batas-batas kemampuan rasio
sebagai sumber pengetahuan manusia, yang kemudian melahirkan filsafat kritisisme, atau ada juga yang
menyebutnya dengan Kanteisme. Dari sikap kritis Kant itulah muncul pertanyaan-pertanyaan dalam
benaknya:

1. Apa yang dapat saya ketahui?

2. Apa yang harus saya lakukan?

3. Apa yang boleh saya harapkan?

C. Teori Pengetahuan Immanuel Kant

Dari pertanyaan-pertanyaan kritis dalam benak Immanuel Kant seperti yang telah disebutkan di atas, ia
menjawabnya sebagai berikut:
1. Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Lain daripada
itu merupakan “ilusi” (noumenon) saja,

2. Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini
disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal
ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan.

3. Yang bisa diharapkan manusia, ditentukan oleh akal budinya.

Menurut Kant, syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah:[5]

1. bersifat umum dan mutlak

2. memberi pengetahuan yang baru

Menurutnya Kant juga, ada tiga tingkatan pengetahuan manusia, yaitu:[6]

a. Tingkat Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)

Unsur a priori, pada taraf ini, disebut Kant dengan ruang dan waktu. Dengan unsur a prioriini
membuat benda-benda objek pencerapan ini menjadi ‘meruang’ dan ‘mewaktu’. Pengertian Kant
mengenai ruang dan waktu ini berbeda dengan ruang dan waktu dalam pandangan Newton. Kalau
Newton menempatkan ruang dan waktu ‘di luar’ manusia, kant mengatakan bahwa keduanya
adalah apriori sensibilitas. Maksud Kant, keduanya sudah berakar di dalam struktur subjek. Ruang
bukanlah ruang kosong, ke dalamnya suatu benda bisa ditempatkan; ruang bukan merupakan “ruang
pada dirinya sendiri” (Raum an sich). Dan waktu bukanlah arus tetap, dimana pengindraan-pengindraan
berlangsung, tetapi ia merupakan kondisi formal dari fenomena apapun, dan bersifat apriori yang bisa
diamati dan diselidiki hanyalah fenomena-fenomena atau penampakan-penampakannya saja, yang tak
lain merupakan sintesis antara unsur-unsur yang datang dari luar sebagai materi dengan bentuk-bentuk
apriori ruang dan waktu di dalam struktur pemikiran manusia.

b. Tingkat Akal Budi (Verstand)

Bersamaan dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan. Tugas akal budi adalah
menyusun dan menghubungkan data-data indrawi, sehingga menghasilkan putusan-putusan. Dalam hal
ini akal budi bekerja dengan bantuan fantasinya (Einbildungskraft). Pengetahuan akal budi baru
diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi dengan bentuk-bentuk apriori yang
dinamai Kant dengan ‘kategori’, yakni ide-ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri
manusia.

c. Tingkat intelek / Rasio (Versnunft)


Idea ini sifatnya semacam ‘indikasi-indikasi kabur’, petunjuk-petunjuk untuk pemikiran (seperti juga kata
‘barat’ dan ‘timur’ merupakan petunjuk-petunjuk; ‘timur’ an sich tidak pernah bisa diamati). Tugas
intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat dibawahnya, yakni akal
budi (Verstand) dan tingkat pencerapan inderawi (Senneswahnehmung). Dengan kata lain, intelek
dengan idea-idea argumentatif.

Kendati Kant menerima ketiga idea itu, ia berpendapat bahwa mereka tidak bisa diketahui lewat
pengalaman. Karena pengalaman itu, menurut kant, hanya terjadi di dalam dunia fenomenal, padahal
ketiga Idea itu berada di dunia noumenal (dari noumenan = “yang dipikirkan”, “yang tidak tampak”, bhs.
Yunani), dunia gagasan, dunia batiniah. Idea mengenai jiwa, dunia dan Tuhan bukanlah pengertian-
pengertian tentang kenyataan indrawi, bukan “benda pada dirinya sendiri” (das Ding an Sich). Ketiganya
merupakan postulat atau aksioma-aksioma epistemologis yang berada di luar jangkauan pembuktian
teoretis-empiris.

Dari beberapa pemikiran Immanuel Kant di atas, dapat diketahui beberapa teori pengetahuan
yang dikemukakannya, antara lain:[7]

Teori a priori dan a posteriori

Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang bersumber tidak dari pengalaman langsung,
melainkan dari ‘aturan umum’ yang ‘dipinjam’ dari pengalaman. Menurut Kant, kriteria pengetahuan a
priori ada dua:

(1) Idea of necessity (keharusan), misalnya setiap peristiwa tentu ada penyebabnya.

(2) ٍStrict-absolute (benar-benar absolut), misalnya semua benda memiliki berat. Menurut Kant, ada
jenis pengetahuan yang bersumber dari dunia empirik yang bisa mencapai tingkat absolut karena
kebenarannya mencapai tingkat kepastian.

Sedangkan pengetahuan a posteriori atau pengetahuan empirik adalah pengetahuan yang


bersumber dari pengalaman.

Analitik dan Sintetik

Pengetahuan diformulasikan dalam bentuk putusan (judgement), ada dua bentuk:

(1) Putusan analitik adalah putusan dimana predikatnya ada di dalam subyek, misalnya semua
lingkaran adalah bulat.

(2) Putusan sintetik adalah putusan dimana predikatnya di luar subyek, yaitu sesuatu yang berbeda
dari subyek dan memberikan tambahan terhadap subyek, misalnya semua benda memiliki berat.

Obyek pengetahuan
Menurut Kant, obyek pengetahuan ada dua, yaitu:

(1) Nomena, adalah eksistensi yang dinalar akal (intelligible existence), yaitu sesuatu yang ada di
dalam diri mereka sendiri dan difikirkan oleh akal. Masalah-masalah rasional itu adalah Tuhan,
kebebasan dan keabadian jiwa.

(2) Fenomena, adalah eksistensi indrawi dan menjadi obyek pengalaman dan obyek intuisi indrawi
(sensuous existence), bukan sesuatu yang ada di dalam dirinya sendiri. Fenomena itu berupa materi dan
ada dalam realitas indrawi. Fenomena adalah obyek dari pengalaman yang bersifat mungkin.

Sumber pengetahuan

(1) Indera (sense), inilah yang menyerahkan obyek kepada kita. Tanpa kemampuan indrawi tidak akan
ada obyek yang diberikat kepada kita.

(2) Pemahaman (understanding), inilah yang memberi kita pemikiran. Tanpa pemahaman tidak akan
ada obyek yang dipikirkan.

Pemikiran-pemikiran Immanuel Kant kemudian juga melahirkan filsafat kritik atau biasa dikenal dengan
kritisisme, dengan ciri-ciri dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. menganggap bahwa obyek pengenalan itu berpusat pada subyek dan bukan pada obyek.

2. menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat
sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.

3. menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara
peranan unsur Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu, dan peranan
unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.

Dari pemikiran-pemikirannya tersebut, Kant menghasilkan beberapa karya buku-buku yang cukup
fenomenal, antara lain:

1. Kritik atas Rasio Murni (1781)

(Jerm.: “Kritik der Reinen Vernunft”, Ingg.: “Critique of Pure Reason”)

Dalam kritik ini, atara lain Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan
memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu:

a. Putusan analitis a priori; dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena
sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang).
b. Putusan sintesis a posteriori, misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan
dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (post, bhs latin) mempunyai
pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.

c. Putusan sintesis a priori; disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat
sintetis, namun bersifat apriori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai
sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak, namun putusan ini juga bersifat sintetis
dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi
dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika dan ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan sintetis
yang bersifat apriori ini.

Pada taraf indra, ia berpendapat bahwa dalam pengetahuan indrawi selalu ada dua bentuk a priori yaitu
ruang dan waktu.

Pada taraf akal budi, Kant membedakan akal budi dengan rasio. Tugas akal budi ialah memikirkan suatu
hal atau data-data yang ditangkap oleh indrawi. Pengenalan akal budi juga merupakan sintesis antara
bentuk dengan materi. Materi adalah data-data indrawi dan bentuk adalah apriori, bentuk apriori ini
dinamakan Kant sebagai kategori.

Pada taraf rasio, Kant menyatakan bahwa tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari keputusan-
keputusan. Dengan kata lain, rasio mengadakan argumentasi-argumentasi. Kant memperlihatkan bahwa
rasio membentuk argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga ide, yaitu Allah, jiwa dan dunia. Apa yang
dimaksud ide menurut Kant ialah suatu cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam gejala psikis
(jiwa), gejala jasmani (dunia) dan gejala yang ada (Allah) .

Akal murni adalah akal yang bekerja secara logis. Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak benarnya
memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indra.

Menurut Kant, jiwa kita merupakan organ yang aktif, dimaksudkan sebagai jiwa yang inheren, secara
aktif mengkoordinasi sensasi-sensasi yang masuk dengan idea-idea kita. Karena dikoordinasi itulah maka
pengalaman yang masuk, yang tadinya kacau, menjadi tersusun teratur.

Apa makna kata sensasi dan persepsi menurut Kant? Sensasi ialah pengindraan, sensasi itu hanyalah
suatu keadaan jiwa menanggapi rangsangan (stimulus). Sensasi itu masuk melalui alat indra, melalui
indra itu lalu masuk ke otak, lalu objek itu diperhatikan, kemudian disadari. Akan tetapi, bagaimana
caranya? Ternyata, sensasi-sensasi itu masuk ke otak melalui saluran-saluran tertentu. Saluran itu
adalah hukum-hukum . Karena hukum-hukum itulah maka tidak semua stimulus yang menerpa alat
indra dapat masuk ke otak. Penangkapan itu diatur oleh persepsi sesuai dengan tujuan. Contohnya, Jam
berdetak, Anda tidak mendengarnya, akan tetapi, detak yang sama bahkan lebih rendah, akan didengar
bila kita bertujuan ingin mendengarkannya.

Kemudian Jiwa (mind) yang memberi arti terhadap stimulus itu mengadakan seleksi dengan
menggunakan dua cara yang amat sederhana, Menurut Kant, Pesan-pesan (dari Stimulus) disusun sesuai
dengan ruang (tempat) datangnya sensasi, dan waktu terjadinya itu. Mind itulah yang mengerjakan
sesuatu itu, yang menempatkan sensasi dalam ruang dan waktu, menyifatinya dengan ini atau itu.
Ruang dan waktu bukanlah sesuatu yang dipahami, ruang dan waktu itu adalah alat persepsi. Oleh
karena itu ruang dan waktu itu apriori.

Kant kemudian memberikan penjelasan lagi, Dunia mempunyai susunan seperti yang kita pahami
bukanlah oleh dirinya sendiri, melainkan oleh pikiran kita. Mula-mula berupa klasifikasi sensasi,
selanjutnya klasifikasi sains, seterusnya klasifikasi filsafat. Hukum-hukum itulah yang mengerjakan
klasifikasi itu.

Selanjutnya Kant membatasi sains, namun kepastian, keabsolutan dasar sains tetap terbatas, Objek yang
tampak merupakan fenomenon (penampakan) . Keutuhan objek yang kita tangkap dengan daya struktur
mental yang inheren, melalui sensasi, terus ke persepsi lalu ke konsep idea, Contoh, Kita tidak tahu pasti
dengan bulan, yang kita tahu hanya idea tentang bulan.

Sains tidak mengetahui noumenon (tidak tampaknya suatu) ia hanya tahu fenomenon saja. Dari sini jelas
bahwa Kant mampu memisahkan fenomenon dengan noumenon.

2. Kritik atas Rasio Praktis (1788)

(Jerm.: “Kritik der Practischen Vernunft”, Ingg.: “Critique of Practical Reason”)

Maxime (aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang perseorangan (individu),
sedangkan imperative (perintah) merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk
melakukan perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan
bersyarat (hypothetical) atau dapat juga tanpa syarat (categorical). Imperatif kategorik tidak mempunyai
isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal (solen). Menurut Kant, perbuatan susila adalah
perbuatan yang bersumber pada kewajiban dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban
merupakan sikap hormat (achtung). Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.

Kant, ada akhirnya ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya kesadaran susila mengandung adanya
praanggapan dasar. Praanggapan dasar ini oleh Kant disebut “postulat rasio praktis”, yaitu kebebasan
kehendak, immortalitas jiwa, dan adanya Tuhan.

Pemikiran etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang disebut dengan
“argumen moral” tentang adanya Tuhan. Sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai postulat. Sama
dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis ‘bekerja’ melahirkan perbuatan susila.

Kehidupan memerlukan kebenaran, sedangkan kebenaran tidak dapat seluruhnya diperoleh dengan
indera dan akal, karena indera dan akal itu terbatas kemampuannya. Menurut Kant, dasar apriori itu ada
pada sains, akan tetapi, indra (sains) itu terbatas, disinilah Critique of The Practical Reason berbicara,
Kant bertanya “Bila akal dan indra tidak dapat diandalkan dalam mempelajari agama, apa selanjutnya?”.
Jawabannya adalah akal atau indra dapat terus berkembang dan dikembangkan, namun setelah semua
itu, moral merupakan ukuran kebenaran.
Apa moral itu? Moral adalah suara hati, Perasaan, menentukan sesuatu itu benar atau salah. Moral itu
Imperatif Kategori, Perintah tanpa syarat yang ada dalam kesadaran kita. Kata hati itu memerintah,
perintah itu ialah perintah untuk berbuat sesuai dengan keinginan tetapi dalam batas kewajaran. Hukum
kewajaran bersifat universal. Menurut Kant, apa yang dianggap sebagai sikap moral sering kali
merupakan sikap yang secara moral justru harus dinilai negatif. Heteronomi moral adalah sikap dimana
orang memenuhi kewajibannya bukan karena ia insaf bahwa kewajiban itu pantas dipenuhi, melainkan
karena tertekan, takut berdosa, dan sebagainya. Dalam tuntutan agama, Moralitas heteronom berarti
bahwa orang menaati peraturan tetapi tanpa melihat nilai dan maknanya. Heteronomi moral ini
merendahkan pandangan terhadap seseorang, dan merupakan penyimpangan dari sikap moral yang
sebenar-benarnya.

Sikap moral yang sebenarnya adalah sikap otonomi moral, otonomi moral berarti bahwa manusia
menaati kewajibannya karena ia sadar diri, bukan karena terbebani, terkekang, tuntutan, dsb. Otonomi
juga menuntut kerendahan hati untuk menerima bahwa kita menjadi bagian dari masyarakat dan
bersedia untuk hidup sesuai dengan aturan-aturan masyarakat yang berdasarkan hukum. Hukum adalah
tatanan normatif lahiriah masyarakat .

3. Kritik atas Daya Pertimbangan (1790)

(Jerm.: “Kritik der Arteilskraft”, Ingg.: “Critique of Judgement”)

Kritik atas daya pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu.
Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan
objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah
yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan
keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.

Buku ini tentang persesuaian antara keperluan bidang duniawi (alam) dengan tingkah laku manusia,.
Dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Menjelaskan ulang secara lengkap tentang buku
pertama dan kedua Finalitas dapat bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif,
manusia mengarahkan objek pada diri manusia itu sendiri. Dengan finalitas yang bersifat objektif
dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Dari beberapa pemikiran Immanuel Kant di atas, dapat diketahui beberapa teori pengetahuan yang
dikemukakannya, antara lain:[8]

Teori a priori dan a posteriori

Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang bersumber tidak dari pengalaman langsung.
Kriteria pengetahuan a priori ada dua:

(1) Idea of necessity (keharusan)

(2) ٍStrict-absolute (benar-benar absolut)

Sedangkan pengetahuan a posteriori atau pengetahuan empirik adalah pengetahuan yang


bersumber dari pengalaman.

Analitik dan Sintetik

Pengetahuan diformulasikan dalam bentuk putusan (judgement), ada dua bentuk:

(1) Putusan analitik adalah putusan dimana predikatnya ada di dalam subyek.

(2) Putusan sintetik adalah putusan dimana predikatnya di luar subyek.

Obyek pengetahuan

Menurut Kant, obyek pengetahuan ada dua, yaitu:

(1) Nomena, adalah eksistensi yang dinalar akal (intelligible existence.

(2) Fenomena, adalah eksistensi indrawi dan menjadi obyek pengalaman dan obyek intuisi indrawi
(sensuous existence), bukan sesuatu yang ada di dalam dirinya sendiri.

Sumber pengetahuan

(1) Indera (sense).

(2) Pemahaman (understanding).

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Abdullah Khozin. Perkembangan Epistemologi dari Periode Klasik Sampai Modern. Surabaya:
IAIN Sunan Ampel, 2008.

Bernadien, Win Usuluddin. Membuka Gerbang Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Ewing, A.C. Persoalan-Persoalan Mendasar Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Fearn, Nicholas. Cara Mudah Berfilsafat. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.

Hakim, Atang Abdul, dkk. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Isma’il, Fu’ad Farid, dkk. Cara Mudah Belajar Filsafat. Yogyakarta: IRCiSoD, 2012.

Kebung, Konrad. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Prestasi Pustakarya, 2011.

Magee, Bryan. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008.

Praja, Juhaya. S. Aliran-Aliran Filsafat & Etika. Jakarta: Kencana, 2010.

Russel, Bertrand. History of Western Philosiphy. London: George Allen & Unwin Ltd., 1991,

Watloly, Aholiab. Tanggung Jawab Pengetahuan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.

Zubaedi. Filsafat Barat: Dari Logika Baru rene Descrates hingga Revolusi Sains Ala Thomas
Khun. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2007.

[1] Bertrand Russel, History of Western Philosiphy, (London: George Allen & Unwin Ltd., 1991), 675.

[2] Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru rene Descrates hingga Revolusi Sains Ala Thomas Khun,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2007), 67.

[3] Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat & Etika. (Jakarta: Kencana, 2010), 116.

[4] Atang Abdul Hakim, dkk. Filsafat Umum. (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 280.

[5] Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat & Etika. (Jakarta: Kencana, 2010), 116.

[6] Atang Abdul Hakim, dkk. Filsafat Umum. (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 280.

[6] Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat. (Jakarta: Kencana, 2010), 116.

[7] Abdullah Khozin Afandi, Perkembangan Epistemologi dari Periode Klasik Sampai Modern, (Surabaya:
IAIN Sunan Ampel, 2008), 81.

[8] Abdullah Khozin Afandi, Perkembangan Epistemologi dari Periode Klasik Sampai Modern, (Surabaya:
IAIN Sunan Ampel, 2008), 81.

Anda mungkin juga menyukai