2018
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/3254
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
OBSTRUKSI DUKTUS NASOLAKRIMAL
Disusun oleh:
Dr. dr. Rodiah Rahmawaty, M.Ked(Oph), Sp.M(K)
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................. i
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2. Tujuan ...................................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2
2.1. Anatomi .................................................................................... 2
2.2. Fisiologi .................................................................................... 4
2.3. Obstruksi Duktus Nasolakrimal ............................................... 5
2.3.1.Definisi ......................................................................... 5
2.3.2.Klasifikasi ..................................................................... 6
2.3.3.Epidemiologi ................................................................. 8
2.3.4. Etiologi dan Faktor Resiko........................................... 8
2.3.5.Patofisiologi ................................................................. 9
2.3.6. Penegakan Diagnosa .................................................... 10
2.3.7. Tatalaksana .................................................................. 16
2.3.8. Prognosis ...................................................................... 20
BAB 3 KESIMPULAN .................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 23
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Anatomi Sistem Drainase Lakrimal ............................................ 2
Gambar 2.2. Fisiologi Pompa Lakrimal ........................................................... 5
Gambar 2.3. Obstruksi Duktus Nasolakrimal Kongenital .............................. 6
Gambar 2.4. Dakriosistitis Akut....................................................................... 7
Gambar 2.5. Dakriosistitis Kronik ................................................................... 7
Gambar 2.6. Gambaran Klinis ......................................................................... 12
Gambar 2.7. Marginal Tear Strip Pada Uji Flouresens ................................... 13
Gambar 2.8. Irigasi Lakrimal ........................................................................... 14
Gambar 2.9. Uji Pewarnaan Jones ................................................................... 15
Gambar 2.10. Dakriosistografi ......................................................................... 16
Gambar 2.11. Scintigraphy Duktus Nasolakrimal ........................................... 16
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
A. Unit Sekretori
Kelenjar lakrimal yang utama adalah kelenjar eksokrin yang berada di
bagian superolateral orbital fossa kelenjar lakrimal. Pada proses
perkembangan embriologinya bagian ini terbagi menjadi dua yaitu lobus
orbital dan lobus palpebra. Kelenjar lakrimal tersusun atas lobus orbital
(yang lebih besar) dan lobus palpebral (yang lebih kecil). Kelenjar ini
terletak pada fossa os frontalis di superotemporal orbita. Ligamen superior
transversal (ligamen Whitnall) melewati kedua bagian ini. Duktus kedua
lobus ini akan melewati lobus palpebra.1,2
2
Lapisan film air mata tersusun atas:4
a. Sel goblet yang melapisi bagian dalam lapisan air mata dan akan
mensekresi musin
b. Kelenjar lakrimal utama dan aksesori yang akan mensekresikan lapisan
intermediet.
c. Kelenjar meibomian yang akan memproduksi lapisan luar yang
mengandung minyak untuk mengurangi tingkat penguapan lapisan air
mata.
Kelenjar lakrimal diperdarahi oleh arteri lakrimal, salah satu cabang
arteri oftalmikus, begitupun aliran venanya dibawa oleh vena lakrimal dan
akan dialirkan ke vena oftalmikus. Pembuluh limfenya mengikuti aliran
limfatik subkonjungtiva. 1,3
Adanya iritasi pada permukaan mata akan mengaktifasi produkasi
kelenjar lakrimal. Cabang oftaklmikus nervus trigiminal berperan sebagai
jalur aferen (sensorik). Jalur eferennya lebih rumit lagi. Serabut
parasimpatis yang berasal dari superior nukleus salivasi di pons, keluar
melalui nervus fasialis (N. VII). Serabut lakrimal tampak sebagai nervus
petrosal dan melewati ganglion sfenopalatina. Lalu memasuki kelenjar
lakrimal melalui cabang superior nervus zigomatikus dan akan
beranastomosis dengan nervus zigomatikustemporal dan nervus lakrimal,
namun hal ini masih diperdebatkan.1,3
B. Unit Eksretori
Jalur awal sistem drainase air mata adalah melalui punctum yang
berada di medial pinggir kelopak mata bagian atas dan bawah. Punctum
bagian bawah terletak sedikit lateral bila dibandingkan dnegan yang atas.
Disekitar punctum akan dilapisi oleh ampulla. Setiap punctum akan
menuju masing-masing kanalikulus. Kanalikus dilapisi oleh epitel non-
keratinized dan epitel skuamus yang tidak memproduksi musin. Pada 90%
orang kanalikulus akan bergabung menjadi satu saluran sebelum
memasuki dinding sakus lakrimal.1,3,5
3
Sistem drainase lakrimal tersusun atas beberapa bagian, sebagai berikut:3,5
- Punctum yang terletak pada posterior pinggir kelopak mata. Secara
normal akan tampak pada inspeksi kelopak mata yang dieversikan.
- Kanalikulus akan melewati pinggiran kelopak mata secara vertikal
sekitar 2 mm. Lalu akan mengarah ke medial dan berjarak 8 mm secara
horizontal untuk mencapai sakkus lakrimal. Kanalikulus superior dan
inferior akan menyatu dan 90% akan terbuka kearah dinding lateral
sakus lakrimal. Terdapat katup kecil (katup Rosenmuller) pada
perbatasan kanalikulus komunikata dan sakus lakrimal. Katup ini
berfungsi mencegah refluks air mata ke kanalikulus.
- Sakus lakrimal sepanjang 10-12 mm dan berada di fossa lakrimal
diantara krista lakrimal anterior dan posterior. Sakkus lakrimal terpisah
dari meatus media kavitas nasal karena dipisahkan oleh prosessus
frontalis maksila. Pada tindakan dakriostorinostomi dibuat sebuah
anastomosis antara sakkus dan mukosa hidung untuk melewati
obstruksi pada duktus nasolakrimal.
- Duktus nasolakrimal sepanjang 12-18 mm terletak pada bagian inferior
sakkus lakrimal. Duktus ini terletak pada lateral dan posterior meatus
nasal inferior. Pintu pembukaan duktus tertutupi oleh katup Hasner.
2.2. Fisiologi
Air mata disekresikan oleh kelenjar lakrimal utama dan aksesori serta akan
melewati permukaan mata. Sejumlah penyusun cairan akan menghilang akibat
penguapan.Aliran air mata akan tampak seperti pada gambar. Air mata akan
mengalir melalui batas atas dan bawah kelopak mata, menumpuk pada sakus
lakrimal dan menuju kanalikulus. Setiap kedipan mata mengakibatkan otot
orbikularis okuli akan menekan ampula, dan menekan kanalikuli untuk mencegah
refluks aliran. Secara simultan, kontraksi lakrimal orbikularis okuli akan membuat
sebuah tekanan positif yang membuat air mata mengalir ke duktus nasolakrimal
dan kehidung. Saat mata kembali terbuka, kanalikulus dan sakus kembali
4
mengembang dan menciptakan tekanan negatif yang menerik air mata dari
kanalikulus menuju sakus.1,3
Saat kelopak mata terbuka secara penuh, punctum akan terbuka dan tekanan
negatif akan menarik kembali air mata kekanalikulis. Kedipan mata yang
melemah dengan mekanisme lakrimasi yang normal menjadi alasan mengapa pada
beberapa pasien yang mengalami kelumpuhan nervus fasila mengalami epifora. 3
5
melemah, atau kelumpuhan nervus VII) dan kelainan anatomi yang terjadi
kongenital ataupun didapat.6
2.3.2. Klasifikasi
Obstruksi duktus nasolakrimal diklasifikasikan sebagai berikut ini, yaitu :3,7,8,9
1. Obstruksi duktus nasolakrimal kongenital
Ini adalah penyebab epifora pada anak. Dapat disebabkan oleh
stenosis/atresia punctum dan kanalikula kongenital, malformasi nasal, dan
abnormalitas kraniofasial. Terlihat sejak lahir akibat perforasi katup Hasner
ataupun akibat kegagalan terbukanya duktus nasolakrimal.
6
a. Dakriosistitis Akut
Ini adalah proses inflamasi akut pada skaus lakrimal yang kebnayakan
disebabkan oleh obstruksi duktus nasolakrimal. Pertumbuhan bakteri dan
proses inflamasi akan menyebabkan abses dan menimbulkan nyeri dan
massa eritem dibawah tendon kantus medial dan membutuhkan drainase
perkutaneus manual.
b. Dakriosistitis Kronik
Gejala berupa epifora berulang, bengkak, dan kemerahan disekitar kantus
medial, atau dapat muncul massa yang tidak nyeri di bawah tendon kantus
medial. Sakus lakrimal terisi discharge mukoid ataupun purulen.
Ada sebuah laporan kasus mengenai mieloid sarkoma, salah satu variasi
leukemia mieloblastik akut yang sering diderita anak-anak, pada saat dewasa
7
ditemukan adanya massa pada kelopak mata dengan gejala berupa massa pada
kelopak mata sehingga mengakibatkan munculnya gejala tersumbatnya kelenjar
nasolakrimal. Banyak kasus seperti salah didiagnosa oleh seorang ahli
oftalmologis. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran homogen dengan
massa yang melekat pada tulang dan struktur sekitarnya. 13
2.3.3. Epidemiologi
Obstruksi duktus nasolakrimal kongenital diapatkan pada 2- 4% bayi
baru lahir. Penelitian terbaru menunjukkan insidensi obstruksi duktus
nasolakrimal pada anak penderita Down syndrome sebanyak 22% hingga 36%.
Diketahui pula selain Down syndrome, anak dengan kraniosinostosis, bibir
sumbing, mikrosomia hemifasial, dan anomali fasial lainnya mengalami
peningkatan resiko terjadinya obstruksi duktus nasolakrimal.7,9,10
Kejadian obstruksi duktus nasolakrimal yang didapat secara umum
insidensinya belum diketahui. Pada beberapa penelitian didapatkann insidensi
tinggi kejadian obstruksi duktus nasolakrimal yang didapat primer pada
individu berusia 50-70 tahun.8,9,10
8
menjadi purulen seiring bertambahnya usia dan muncullah dakriosistitis
neonatus.6,7,11
Etiologi obstruksi duktus nasolakrimal didapat adalah setelah terjadi
trauma, konjungtivitis viral, dakriosistitis akut, dan penggunaan terapi antivirus
topikal.8,11
2.3.5. Patofisiologi
Obstruksi duktus nasolakrimal kongenital disebabkan oleh perforasi katup
Hasner ataupun kegagalan terbukanya duktus nasolakrimal. Kanalisasi sistem
duktus nasolakrimal telah terbentuk sempurna pada usia minggu ke 8 kehamilan.
Sehingga apabila terjadi gangguan proses perkembangan pada masa ini dapat
menyebabkan terjadinya gangguan ini, Saat lahir, sebagian jalur nasolakrimal
belum sepenuhnya terbuka sempurna. Mekanisme apoptosis spontan dimulai sejak
usia 3-4 minggu setelah lahir. Walaupun demikian, 20% kasus obstruksi terjadi
pada masa ini.3,7,11,12
Obstruksi duktus nasolakrimal didapat terbagi menjadi dua, yaitu primer
dan sekunder. Obsttruksi duktus nasolakrimal didapat primer baanyak didapati
pada wanita dewasa muda dan tua. Groessl et al mendemonstrasikan melalui CT
scan bahwa perempuan memilki ukuran lebih kecil pada fossa nasolakrimal dan
duktus nasolakrimal media. Adanya perbedaan ukuran ini menjelaskan mengapa
insidensi penyakit ini tinggi pada golongan ini. 8,11
Beberapa peneliti juga menduga keterkaitan antara menstruasi dan
fluktuasi hormon dan juga status imun yang berkontribusi dalam proses terjadinya
penyakit ini. Hal ini dikarenakan pada wanita dewasa muda dan lansia perubahan
hormon mengubah proses epitelisasi ditubuh yang juga terjadi pada sakus
lakrimal dan duktus. Sebelumnya telah ada fossa lakrimal yang sempit, lalu
diperparah adanya obstruksi akibat debris yang menumpuk. Sedangkan pada
obstruksi duktus nasolakrimal didapat sekunder dikategorikan berdasarkan
penyebabnya yaitu akibat infeksi, inflamasi, neoplasma, trauma, dan
8,11,12
mekanik.
9
Penyebab infeksi dapat disebebkan oleh bakteri, virus, jamur, dan parasit.
Virus sebagai penyebab infeksi pada penyakit ini dapat terlihat pada infeksi
herpes diman aterjadi obstruksi akibat kerusakan substansia propia jaringan elastis
kanalikular. Jamur dapat mengobstruksi dengan membentuk batu (dakrolit).
Obstruksi akibat parasit dilaporkan pada penderita Ascaris lumbricoides yang
memasuki sitem lakrimal melalui katup Hasner. 8,11,12
Proses inflamasi dapat terjadi akibat endogen ataupun eksogen. Wegener
granulomatosis dan sarcoidosis adalah contoh penyakit yang dapat menyebabkan
obstruksi akibat inflamais progresif pada mukosa hidung dan sakus lakrimal.
Penyebab endogen dapat berasal dari sikatrical pemphigoid, Kawasaki disease,
dan skleroderma. Penyebab eksogen dapat berasal dari obat tetes mata, radiasi,
kemoterapi sitemik, dan transplantasi sumsum tulang belakang. 8,11,12
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup:3,7,8,10,12
10
- Pada inspeksi akan tampak aliran air mata berlebih, disertai masa lunak
pada sakus lakrimal dan kantus media, terkadang tampak pula
discharge mukoid atau purulen.
- Punctum dan kelopak mata harus diperiksa menggunakan slit lamp.
Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk mengetahui apaka ada
masalah pada aliran melalui tindakan dilatasi punctum. Pada slit lamp
akan tampak jarak meniskus yang melebar (normalnya 2 mm), punctal
stenosis, kanalikulitis, atau tampak bahan purulen saat punctum
dibuka.
- Sakus lakrimal harus dipalpasi. Apabila terdapat punctal refleks berupa
material purulen pada saat penekanan maka hal ini mengindikasi
adanya mukokel (dilatasi sakus berisi mukus). Tindakan palpasi pada
akut dakriosistitis akan menimbulkan nyeri sehingga harus dihindari.
Dapat pula ditemukan batu ataupun tumor melalui palpasi.
11
Gambar 2.6. Gambaran Klinis
A. Punctal stenosis; B. Punctal ektropion dan stenosis; C. Konjungtivokalasis, D. Obstruksi
punctum akibat bulu mata; E. Karunkel; F. Pouting punctum
Dikutip dari: Bowling, Brad. Lacrimal drainage system. In.
Kanski’s Clinical Ophthalmology 8th ed. Elsevier. 2016
C. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Pewarnaan Flouresens
Marginal tear strip pada kedua ujung pinggiran kelopak mata
harus diperiksa mengunakan slit lamp. Banyak penderita dengan
keluhan air mata berlebih tidak merasakan kelebihan aliran ini, namun
saat dilakukan pemeriksaan didapatkan gambaran meniskus yang
lebar (marginal tear strip) yaitu 0,6 mm ataupun lebih (dengan nilai
normal 0,2-0,4mm). Uji flouresens ini menggunakan flouresens 1-2%
yang diteteskan pada kedua forniks konjungtiva, dimana pada keadaan
normal dalam 5-10 menit tidak akan tampak lagi zat warna. Retensi
berkepanjangan menunjukkan adanya drainase lakrimal yang tidak
12
adekuat. Pemeriksaan ini tidaklah sama dengan pemeriksaan
flouresens yang dilakukan pada mata kering.3,4,10
b. Irigasi lakrimal
Uji ini dilakukan setelah patensi punctum terbukti tidak terganggu. Uji
ini dikontraindikasikan pada infeksi akut. Sebelum tindakan dilakukan,
anestesi lokal disuntikkan pad asakus konjungtiva. Lalu dengan dilator
punctum dilakukan tindakan pendilatasian orifisium punctum. Kanul
lakrimal berukuran 26/27 gauge yang berisi 3 ml larutan salin dimasukkan
ke punctum bawah. Jika larutan salin melewati hidung dan tenggorokan
maka akan terasa oleh pasien. Apabila larutan salin tidak mencapai
kerongkongan maka hal ini menjadi indikasi adanya obstruksi total
diduktus lakrimal dan akan terlihat pula adanya refluks melalui punctum
atas dan bawah. 3,4,10
13
Gambar 2.8. Irigasi Lakrimal
A. Dilatasi punctum inferior; B dan C. Teknik Dilatasi; D. Gambaran Teknik Irigasi
Dikutip dari: Bowling, Brad. Lacrimal drainage system. In.
Kanski’s Clinical Ophthalmology 8th ed. Elsevier. 2016
14
- Uji Sekunder
Ini dilakukan untuk mengidentifikasi apakah terjadi kegagalan pompa
lakrimal ataupun lokasi obstruksi yang terjadi. Anestesi topikal
dimasukkan lalu residu flourens sebelumnya dibersihkan. Lalu sistem
drainase dilakukan tindakan irigasi ulang. Hasil uji positif bila
didapatkan salin disertai floresens pada hidung yang menunjukkan
bahwa floresens memasuki sakus lakrimal dan mungkin terjadi
obstruksi parsial pada duktus nasolakrimal distal. Hasil uji negatif bila
saline ditemukan tanpa adanya zat pewarna yang menunjukkan bahwa
flourens tidak memasuki sakus lakrimal. Hal ini menunjukkan bahwa
lakrimal atas (punctum ataupun kanalikular) mengalami disfungsi
sehingga tampak sebagai oklusi fisik partial dan/atau kegagalan
pompa.
15
obstruksi drainase lakrimal untuk dilakukan pembedahan. Tindakan ini
tidak dapat dilakukan apabila terdapat infeksi akut. Gambaran
dakriosistogram normal dapat terlihat pada keluhan epifora dengan
kegagalan pompa lakrimal. 3,4,10
16
lokasi onstruksi parsial ataupun fungsional (seperti mengetahui penyebab
tidak adanya aliran air mata yang melalui kanalikuli, melokalisir lokasi
obstruksi pada kelopak mata), mengkonfirmasi obstruksi fungsional, dan
dapat pula digunakan untuk mengkonfirmasi aliran normal yang tidak
diindikasikan dilakukan pembedahan. 3,4,10
f. CT dan MRI
Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
dipilih sebagia pemeriksaan tambahan pada obstruksi lakrimal, terutama
bila diduga adanya kelainan pada sinus paranasal ataupun sakus lakrimal. 3
2.3.7. Tatalaksana
a. Tatalaksana Obstruksi Duktus Nasolakrimalis
Beberapa ahli berpendapat bahwa stenosis parsial duktus nasolakrimal
dengan gejala epifora terkadang memberikan respon dengan intervensi
intubasi pada sistem drainase lakrimal. Prosedur ini sebaiknya dilakukan
jika tube dapat masuk dengan mudah. Pada obstruksi komplit, intubasi
saja tidak efektif, dakriosistorinostomi (DSR) sebaiknya menjadi pilihan.
Banyak ahli bedah merasa stening tidak menjadi pilihan pada obstruksi
DNL didapat, dan mereka biasanya langsung melakukan DSR. 3,4,6,11
Dakriosistorinostomi (DSR) menjadi pilihan pada kasus obstruksi
DNL didapat. Indikasi DSR meliputi dakrosistitis rekuren, refluks mukoid
kronis, distensi sakus lakrimal yang nyerri, dan epiforia yang mengganggu.
Pasien dengan dakriosistitis, infeksi aktif harus diobati terlebih dahulu jika
memungkinkan sebelum DSR. 3,4,6,11
17
Meskipun terdapat beberapa variasi minor pada teknik operasi, DSR
meliputi pembuatan anastomosis antara sakus lakrimal dan rongga hidung
melalui ostium. Perbedaan substansial antara beberapa teknik terletak
apakah menggunakan pendekatan internal (intranasal) atau yang lebih
tradisional, ekternal (transkutan). 3,4,6,11
Keuntungan DSR internal meliputi tidak ada skar, waktu pulih yang
singkat, dan lebih nyaman. Selanjutnya, DSR internal pengerjaannya lebih
singkat. Meskipun demikian, angka kesuksesan DSR ekternal lebih tinggi
daripada DSR internal. Banyak laporan DSR ekternal 90% atau lebih
sedangkan DSR internal sekitar 70%. Pasien yang gagal DSR internal juga
menurunkan kesuksesan DSR ekternal pada pembedahan selanjutnya. DSR
eksternal juga lebih superior dalam terapi neoplasma atau komplikasi
intraoperatif. Jadi DSR ekternal masih menjadi prosedur pilihan pada ahli
bedah lakrimal optalmologis. DSR biasanya dikerjakan dengan
menggunaankan anestesi umum, tetapi pada kebanyakan orang dewasa,
infiltasi anestesi lokal dengan kombinasi tampon nasal anestetik dan
vasokontriksi dapat digunakan. 3,4,6,11
18
nasolakrimalis pada ujung dekat hidung. Pada kasus yang berkaitan
dengan obstruksi jalan nafas atau dakriosistitis, penanganan yang cepat
dibutuhkan. Meskipun demikian, pada kasus ringan, terdapat perbedaan
berapa lama dokter harus dilakukan terapi konservatif sebelum
probing.3,7,9
Pada banyak kasus obstruksi duktus nasolakrimalis kongenital,
termasuk infan dengan gejala simptomatik pada usia 6 bulan kemudian
menghilang pada usia 1 tahun. Beberapa laporan menunjukan penundaan
probing hingga usia 13 bulan menunjukan penurunan angka kesuksesan.
Kebanyakan, rendahnya angka kesuksesan probing setelah usia 1 tahun
dikarenakan akibat kesalahan seleksi/ bias seleksi. Jika probing ditunda
hingga usia setelah 1 tahun, beberapa pasien akan menunjukan perbaikan
spontan. Jika probing dilakukan pada pasien tersebut sebelum usia 1 tahun,
kasus tersebut menunjukan kesuksesan terapi probing. saat ini para ahli
bedah mengobservasi pasien dengan penyakit ini dengan harapan resolusi
spontan sampai pasien usia 1 tahun.3,7,9,12
Meskipun dalam melakukan probing pasien dalam keadaan sedasi jika
gejala menetap sampai usia 1 tahun, beberapa ahli melakukan lebih cepat,
pada usia 6 bulan. Pada anak yang lebih muda, probing di poliklinik lebih
mudah dilakukan dan dapat menggunakan topikal anestesi, sedangkan
anak usia 1 tahun atau lebih biasanya membutuhkan anestesi umum.
Probing dengan anestesi topikal lebih murah dan relatif aman pada klinisi
yang terlatih. Probing lebih awal di poli mencegah potensi sektert
mukopurulen dan penggunaan ruang operasi. Beberapa keuntungan
lainnya probing lebih awal menunjukan ttingkat nyeri yang diakibatkan
prosedur ini sama dengan suntik imunisasi. 3,7,9,12
Pemasangan sten Masterika menunjukkan tingkat perbaikan yang
tinggi dan dapat meningktkan angka perbaikan obstruksi duktus
nasolakrimal kongenital dengan kelainan akibat stenosis duktus, kelainan
kraniofasial, dan berbagai variasi lainnya. Pada beberapa obstruksi duktus
nasolakrimal kongenital, dakriosistitis dapat terjadi akibat inflamasi akut
19
sakus lakrimal dengan selulitis pada kulit di atasnya. Terapi yang dapat
diberikan berupa antibiotik sistemik segera. 9,12,14
20
masih paten secara langsung dianastomose ke mukosa sakrum lakrimal.
Penggunaan stent silikon untuk sistem kanalikuli merupakan bagian
penting dari tipe rekonstruksi ini. Karena angka kegagalan reseksi
kanalikuli untuk obstruksi total signifika, pengguanaan Jones tube dapat
sebagai alternatif. 3,6,11
2.3.8. Prognosis
Resolusi obstruksi duktus nasolakrimal dengan prosedur operasi adalah
baik. Data menunjukkan bahwa tingkat kesuksesan penggunaan probing juga
sangat memuaskan. Anak yang mengalami keadaan yang dapat meningkatkan
resiko kekagagal pemasangan probing memilki prognosis yang lebih buruk namun
dapat ditangani dengan prosedur tambahan lainnya. 4,6,10
Telah dilaporkan sebuah kasus pada anak perempuan berusia 6 tahun
dengan riwayat obstruksi duktus nasolakrimal bilateral yang telah dilakukan
intervensi probing dan stenting silikon binokular dan telah dilepaskan 7 bulan
yang lalu, ia datang dengan keluhan air mata berdarah dan ostruksi berulang. Hal
ini terjadi akibat terbentuknya piogenik granuloma akibat reaksi pemasangan stent
terdahulu. Air mata berdarah, dikenal dengan hemolakria, adalah keadaan ringan,
unilateral, dan dapat sembuh sendiri. 15
21
BAB 3
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
23
11. Crick, Ronald and Khaw, Peng Tee. Watering Eyes. In A Textbook of
Clinical Ophthalmology 3rd Ed. Singapore: World Scientific Publishing.
2003. p. 209-215
12. American Academy of Ophthalmology. Abnormalities of the Lacrimal
Secretory and Drainage Systems. In Orbit, Eyelids, and Lacrimal System.
2014-2015. p. 249-273
13. Pruksakorn, V, Tirakunwichcha, S, Assanasen, T. Orbital myelosarcoma
in adult mimicking nasolacrimal duct obstruction: A case report. American
Journal of Ophthalmology Case Report (4):16. 2016. p 35-37
14. Khatib, L., Nazemzadech, M., Reverek, Katowitz. Use of the Masterka for
complex Nasolacrimal Duct Obstruction in Children. American Assistant
for Pediatric Ophthalmology and Strabismus. 2017. P 380-384
15. Kempi, P., Allen, R. Bloody Tears and Recurrent Nasolacrimal Duct
Obstruction due to Retained Silicone Stent. American Assistant for
Pediatric Ophthalmology and Strabismus (18). 2014. p 285-286
24