Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jantung merupakan sebuah organ yang terdiri dari otot. Otot jantung
merupakan jaringan istimewa, karena kalau dilihat dari bentuk dan susunannya
sama dengan otot serat lintang, tetapi cara kerjanya menyerupai otot polos, yaitu diluar
kemauan kita (dipengaruhi oleh susunan saraf otonom). Pekerjaan jantung adalah
memompa darah keseluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh
setiap saat, baik saat istirahat maupun saat bekerja atau menghadapi beban. Satu dari
tiga penderita AMI meninggal karena gagal jantung. Gagal jantung adalah suatu
keadaan yang serius, dimana jumlah darah yang dipompa oleh jantung setiap menitnya
(cardiac output, curah jantung) tidak mampu memenuhi kebutuhan normal tubuh akan
oksigen dan zat makanan. Insiden penyakit pada pria lebih tinggi dibandingkan
pada wanita dengan rata-rata mortalitas selama lima tahun untuk pria 60% dan wanita
40%. Selain gagal jantung kebanyakan dari penderita AMI juga mengalami serangan
jantung. Serangan jantung (infark miokardial) adalah suatu keadaan dimana secara tiba-
tiba terjadi pembatasan atau pemutusan aliran darah ke jantung, yang menyebabkan
otot jantung (miokardium) mati karena kekurangan oksigen. Proses iskemik
miokardium lama yang mengakibatkan kematian (nekrosis) jaringan otot miokardium
tiba-tiba.
Hasil riset kesehatan tahun 2018 menyatakan prevalensi penyakit jantung di
Indonesia sebanyak 1,5%, dimana pada karakteristik usia 75 keatas paling tinggi dengan
persentase 4,7% dibanding karakteristik usia lainnya. Pada kasus ini persentase penyakit
jantung lebih banyak dialami oleh perempuan yaitu 1,6% dibandingkan dengan laki-laki
yaitu 1,3%.
Prinsip penatalaksanaan IMA adalah mengembalikan aliran darah coroner dengan
trombolitik atau percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA) primer untuk
menyelamatkan jantung dari infark miokard, membatasi luasnya infark miokard, dan
mempertahankan fungsi jantung. Tenggang waktu antara mulai keluhan-diagnosis dini
sampai dengan mulai terapi reperfusi akan sangat mempengaruhi prognosis. Terapi IMA
harus dimulai sedini mungkin, reperfusi/rekanalisasi sudah harus terlaksana sebelum 4-6
jam (Muchid, 2006). Luaran pasien IMA dipengaruhi oleh implementasi pedoman
penatalaksanaan seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Badano et al. (1999). Pada
penelitiannya, diketahui bahwa pencapaian tingkat aPTT yang adekuat pada 24 jam
pertama lebih tinggi dibandingkan kelompok subyek yang ditangani sebelum
implementasi pedoman (62% banding 14% ; p<0,0001). Lama hari rawat di ICCU juga
lebih singkat 0,5 hari dibandingkan kelompok subyek yang ditangani sebelum
implementasi pedoman (p<0,0001). Keoptimalan terapi medik juga mempengaruhi luaran
pasien IMA. Huffman et al. (2013) membandingkan dampak terapi medik yang optimal
dan nonoptimal pada pasien IMA. Pada penelitiannya, terapi yang optimal didefinisikan
mendapat lima obat berikut : aspirin, klopidogrel, heparin, dan starin. Penelitian tersebut
memberikan hasil bahwa pasien yang mendapat terapi medic rawat inap yang optimal
memiliki tingkat mortalitas sebesar 3,6% dibandingkan 4,1% pada yang mendapat terapi
medic yang nonoptimal. Pada tahun 2012, Berwanger et al. mengevaluasi pengaruh
materi edukasi terhadap peningkatan penggunaan terapi berbasis bukti dan insiden
kejadian kardiovaskuler mayor pada pasien IMA. Salah satu materi edukasi yang
diberikan adalah terapi IMA berbasis bukti. Pada penelitiannya, terapi IMA berbasis bukti
minimal yang diterapkan untuk diberikan dalam 24 jam pertama pasien masuk rumah
sakit adalah aspirin, klopidogrel, antikoagulan dan satrin. Penelitian tersebut memberikan
hasil bahwa angka kejadian kardiovaskuler di rumah sakit pada kelompok intervensi lebih
rendah disbanding control (5,5% banding 7,0%) dan kematian karena semua penyebab
pada 30 hari pada kelompok intervensi lebih rendah dibandingkan kontrol (7,0% banding
8,4%).
Pada tahun 2012, Vavalle et al. mencari factor-faktor yang mempengaruhi lama
hari rawat pasien NSTEMI. Pada penelitiannya, luaran klinik dikategorikan menjadi lama
hari rawat ≥4 hari dan lama hari rawat <4 hari cenderung kurang mendapat terapi berbasis
bukti dibandingkan pasien dengan lama hari rawat <4 hari. Pada kasus STEMI,
berdasarkan penelitian terdahulu telah berhasil diketahui bahwa penggunaan obat
fibrinolysis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi lama hari rawat pasien
STEMI (Newby et al,2000). Rawat inap yang lama dapat menyebabkan meningkatnya
risiko infeksi nosokomial, trombosis vena dalam, emboli paru, dan medical error (Mark
and Newby,2003; Saleh et al, 2010). Selain itu lama perawatan di rumah sakit yang tidak
berkontribusi terhadap perbaikan yang berarti pada kondisi pasien merupakan pengeluaran
layanan kesehatan yang bersifat boros, sedangkan rumah sakit dan penyedia layanan
kesehatan terus ditekan untuk menurunkan biaya pengobatan. Pentingnya penghematan
biaya layanan kesehatan menggaris bawahi perlunya pemahaman yang lebih baik terhadap
faktor-faktor yang berhubungan dengan lama hari rawat pasien IMA (Anderson, 2013).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mendapatkan gambaran tentang pemenuhan kebutuhan aktivitas pada pasien
dengan Acut Myocard Infark (AMI) serta dalam pemberian asuhan keperawatan
yang benar supaya penderita AMI tidak mengalami komplikasi yang semakin
berat.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tentang penyakit Akut Miokard Infark (AMI)
b. Mengetahui bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan kepada
penderita AMI dan menentukan Intervensi keperawatan yang tepat untuk
mencapai hasil yang optimal

Anda mungkin juga menyukai