Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan

sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Tidak ada institusi maupun

personalnya, baik itu militer (TNI), kepolisian (Polri), maupun sipil kebal terhadap ketentuan

hukum dan perundangan yang berlaku bila melakukan suatu tindak pidana pada umumnya,

termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat kategori kejahatan terhadap

kemanusiaan. Segala upaya untuk memberi perlindungan terhadap pelanggaran HAM berat

kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di berbagai negara termasuk Indonesia, tidak dapat

diterima begitu saja, tapi memerlukan proses panjang yang terkait dengan tiga variabel utama,

yaitu adanya dinamika internasional, instrumen hukum yang ada, dan bagaimana menentukan

pendekatan terhadap warisan masa lalu.

Upaya perampasan terhadap nyawa yang termasuk tindak kekerasan lainnya yang melanggar

harkat dan martabat kemanusiaan adalah merupakan bentuk pelanggaran HAM berat jika

dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum dan

perundangan yang berlaku. Pelanggaran HAM masuk kedalam golongan delik khusus

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selanjutnya dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dikenal dua bentuk

pelanggaran HAM, yaitu pelanggaran HAM biasa dan pelanggaran HAM berat.
Pengertian pelanggaran HAM terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia Pasal 1 butir 6 dan pengertian Pelanggaran HAM berat terdapat dalam

penjelasan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yaitu dalam Pasal 104 ayat (1).

Pasal 1 butir 6 menyatakan :

“Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku”.

Pengertian pelanggaran HAM berat diuraikan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dalam

Pasal 104 ayat (1) yang menyatakan :

“Pelanggaran HAM yang berat adalah pembunuhan massal (genoside), pembunuhan


sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing),
penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, deskriminasi yang dilakukan
secara sistematis (systematic descrimination).”

Pasal 104 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut diatas, berbeda dengan

pengertian pelanggaran HAM berat yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan

pelanggaran HAM berat meliputi: genoside dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7).

Uraian pengertian dari kedua hal tersebut terdapat dalam Pasal 8 dan 9.

Yang dimaksudkan dengan pertanggungjawaban komando (command responsibility) adalah

bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil

lainnya atas tindak pidana pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di
Indonesia yang dilakukan anak buah atau bawahan yang berada dibawah komando atau kendali

efektifnya.

Tanggung jawab komando di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Serta diatur juga antara lain di dalam Konvensi Den

Haag IV tahun 1907. Doktrin tentang tanggung jawab komando ini juga digunakan dalam IMT

(Tokyo Tribunal dan Nuremberg Tribunal), Statuta International Criminal Tribunal for The

Former Yugoslavia (ICTY), Statuta International Criminal Tribunal for The Former Rwanda

(ICTR) dan Statuta International Criminal Court (ICC). Di lingkup nasional doktrin inilah yang

kemudian diatur pertama kali dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

Hak Asasi Manusia tersebut.

Pertanggungjawaban komando yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah

sebagai sarana untuk menuntut pertanggungjawaban komando atas pelanggaran HAM berat.

Pertanggungjawaban negara atas tindakan atau perbuatan yang melanggar hukum, yang dalam

hal ini adalah pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, dapat dilakukan

dengan cara mengadili para pelaku berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando

sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyebutkan bahwa :

“Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer
dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi
Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando
dan pengendaliannya yang efektif, atau dibawah kekuasaan dan pengendaliannya yang
efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian
pasukan secara patut, yaitu :
a. Komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu
seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran HAM berat; dan
b. Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan
diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan
perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk
dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan”.

Pasal 42 ayat (2) menyebutkan :

“Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggungjawab secara pidana terhadap
pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada dibawah kekuasaan
dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan
pengendalianterhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni :
a. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas
menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran
HAM berat; atau
b. Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang
lingkup kewenanganya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau
menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan”.

Ditinjau dari aspek perkembangan hukum HAM, ada beberapa hal yang belum terwadahi

didalam hukum nasional, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang belum

mengatur kejahatan-kejahatan paling serius yaitu, genosida, kejahatan perang dan kejahatan

terhadap kemanusiaan. KUHP juga belum mengatur tentang tanggung jawab komando.

Pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia yang pelakunya

dapat dituntut dan diadili berdasarkan prinsip pertanggunggungjawaban komando, merupakan

bentuk tindak pidana yang bersifat extraordinary crimes, yang mana penyelesaiannya pun

memerlukan perangkat hukum khusus di luar KUHP yang terancang untuk tindak pidana yang

bersifat extraordinary crimes.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna mengetahui

bagaimana pertanggungjawaban komando terhadap atasan militer dalam pelanggaran HAM berat
kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh pasukan dibawah komandonya di

Indonesia. Dari hasil penelitian ini akan dituangkan dalam sebuah skripsi dengan judul “Analisis

Pasal 42 Undang-Undang Pelanggaran HAM tentang Pertanggungjawaban Komandan Atas

Pelanggaran HAM Berat yang Dilakukan Pasukan Dibawah Komandonya”.

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penulisan

skripsi ini adalah :

a. Bagaimana penerapan Pasal 42 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia tentang

pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan

dibawah komandonya?

b. Apakah faktor-faktor penghambat Pasal 42 terhadap pertanggungjawaban komandan atas

pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup permasalahan dalam skripsi ini hanya di batasi terhadap penerapan Pasal 42

Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia tentang pertanggungjawaban komandan atas

pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya dan faktor-faktor

penghambat Pasal 42 terhadap pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat

yang dilakukan pasukan dibawah komandonya. Wilayah penelitian dalam penulisan skripsi ini

adalah Komando Resort Militer 043 Garuda Hitam Bandar Lampung dan Komisi Nasional Hak

Asasi Manusia pada tahun 2012.


C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian

Sesuai dengan pokok bahasan, tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui penerapan Pasal 42 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia

tentang pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan

pasukan dibawah komandonya.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat Pasal 42 terhadap pertanggungjawaban

komandan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

a. Secara Teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran akademis

atau teoritis terhadap upaya pengkajian, penelaahan dan pengembangan terhadap ilmu hukum

berkaitan dengan substansi atau permasalahan pertanggungjawaban komando terhadap

pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia;

b. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam

proses ilmu pengetahuan, dan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak eksekutif selaku

pemerintah maupun pihak legislatif selaku DPR-RI dalam merumuskan berbagai kebijakan
legislatifnya, khususnya yang berkaitan dengan persoalan pertanggungjawaban komando

dalam pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana

termuat dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep–konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil–hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap

dimensi–dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. (Soerjono Soekanto, 1986: 125).

Perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik atau tindak pidana dalam undang- undang, belum

tentu dapat dipidana karena harus dilihat dulu si orang pelaku tindak pidana tersebut. Orang yang

dapat dituntut di muka pengadilan dan diminta pertanggungjawabannya haruslah melakukan

tindak pidana dengan kesalahan. Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya dapat disamakan

dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Didalamnya terkandung makna

dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. (Tri Andrisman, 2007: 106).

Unsur–unsur tindak pidana menurut Van Bemmelen adalah:

1. Dapat dipertanggungjawabkannya atas suatu perbuatan terhadap pelakunya;

2. Dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya;

3. Dapat dipersalahkan sesuatu tindakan kepada seseorang oleh perbuatannya;

4. Sifat melawan hukum.


Pertanggungjawaban pidana atas seseorang pelaku perlu mendapat perhatian karena didasarkan

pemikiran bahwa suatu tindakan yang dilakukan pasti mempunyai hubungan yang erat dengan

suasana hati atau batin seseorang saat melakukan tindak pidana. Dalam mengetahui hal tersebut

dapat dilihat dari kesalahan pelaku berupa kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi unsur dari

kesalahan yaitu adanya kemampuan bertanggungjawab pada pelaku, yang berarti keadaan jiwa

seseorang tersebut haruslah normal, jadi dalam keadaan normal tersebut tidak ada satu pun

alasan yang dapat menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf dalam suatu

pertanggungjawaban pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP yaitu:

“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana terhadap seseorang, kecuali apabila dengan

sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu

tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan”.

Pertanggungjawaban komando (command responsibility) adalah bentuk pertanggungjawaban

pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak pidana

pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia yang dilakukan

anak buah atau bawahan yang berada dibawah komando atau kendali efektifnya.

Pertanggungjawaban komando membutuhkan dan membuktikan adanya kesalahan pada diri

komandan/atasan. Kesalahan yang dimaksud di sini tentunya bukan mencerminkan sebuah

kesengajaan, melainkan kelalaian. Oleh karena itu bentuk pertanggungjawaban komando

merupakan pertangggungjawaban tidak langsung. Tanggung jawab komando digunakan untuk

kasus-kasus pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang mana

komandan/atasan tidak memberikan perintah langsung untuk dilakukannya kejahatan oleh anak

buah/bawahannya, karena jika ternyata komanda/atasan memberikan perintah sebagaimana yang


dimaksud maka, komandan/atasan tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan komando,

melainkan harus bertanggung jawab langsung atas kesengajaan yang dilakukannya tersebut.

Komandan memiliki pengendalian secara langsung dan penuh terhadap pengadilan umum

maupun pengadilan militer. Dalam beberapa sistem militer, komandan tingkat atas dapat

memerintahkan dilakukannya penyelidikan dan diadilinya pelaku, tetapi dalam sistem militer ini

juga para pelaku berhak untuk mendapatkan pengadilan yang adil dan tidak memihak. Seorang

komandan tidak dapat memerintahkan bahwa pelaku bersalah dan harus dihukum. Komandan

harus memenuhi tanggung jawabnya untuk menjamin bahwa pelaku yang diduga melakukan

tindak pidana diperiksa secara layak dan mendapatkan putusan pengadilan yang adil, untuk

melakukan pengendalian terhadap tindakan bawahannya.

Tanggung jawab komando menggunakan unsur-unsur, dimana komandan militer tersebut harus

mengetahui atas situasi yang terjadi saat itu, sedangkan tanggung jawab atasan non militer (sipil)

meliputi unsur-unsur kejahatan yang terjadi berkaitan dengan aktivitas yang berada di bawah

tanggung jawab atasan tersebut dan dalam kendali efektifnya, sehingga dia sepatutnya

mengetahui, atau atasan tersebut secara sengaja mengabaikan informasi yang menunjukkan

bahwa kejahatan tertentu telah atau akan dilakukan.

Berdasarkan definisi mengenai tanggung jawab komando di atas maka subyek yang harus

bertanggung jawab adalah komandan militer. Tapi dalam praktek dan perkembangannya, prinsip

tanggung jawab komando bukan hanya diberlakukan para komandan militer saja tetapi juga

terhadap atasan atau penguasa sipil yang memiliki kewenangan untuk memberikan komando

atau perintah kepada pejabat militer atau menggerakkan kekuatan militer. Berdasarkan hal

tersebut maka muncullah istilah tanggung jawab atasan di samping tanggung jawab komandan.
Selain itu, penerapan doktrin tanggung jawab komando dan tanggung jawab atasan tidak terbatas

pada kejahatan yang terjadi di waktu perang belaka, tetapi mencakup kejahatan terhadap

kemanusiaan dan hak asasi manusia yang universal yang terjadi baik di waktu perang maupun

dimasa damai.

Berdasarkan hal tersebut maka baik komandan militer maupun penguasa sipil dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana atas kejahatan perang dan/atau kejahatan kemanusiaan yang

dilakukan oleh bawahannya baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Kaitannya

dengan istilah tanggung jawab atasan dan tanggung jawab komandan merupakan dua hal yang

berbeda, dalam hal tanggung jawab atasan berkaitan dengan pemidanaan terhadap komandan

apabila memerintahkan anak buah/bawahan melakukan kejahatan perang. Sedangkan tanggung

jawab komandan adalah dasar pemidanaan terhadap para komandan/atasan apabila anak

buah/bawahan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya terlibat kejahatan pada

waktu pelaksanan tugas.

Teori yang digunakan dalam membahas faktor-faktor penghambat dalam penerapan Pasal 42

Undang-Undang Pengadilan HAM tentang pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran

HAM berat yang dilakukan pasukan di bawah komandonya adalah teori yang dikemukakan oleh

Soerjono Soekanto mengenai penghambat penegakan hukum, yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri.

Terdapat beberapa asas dalam berlakunya undang-undang yang tujuannya adalah agar undang-

undang tersebut mempunyai dampak positif. Artinya, agar undang-undang tersebut mencapai

tujuannya secara efektif di dalam kehidupan masyarakat.


2. Faktor penegak hukum.

Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Seorang yang mempunyai

kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak

sebenarnya wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau

tugas.

3. Faktor sarana atau fasilitas.

Penegakan hukum tidak mungkin berlangsung lancar tanpa adanya faktor sarana atau fasilitas.

Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan

terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seharusnya.

4. Faktor masyarakat.

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam

masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat

mempengaruhi penegakan hukum tersebut.

5. Faktor kebudayaan

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang

berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik

(sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari) (Soerjono Soekanto, 1983:

34-35, 40).
2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep–konsep

khusus yang merupakan kumpulan dari arti–arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau

akan diteliti. (Soerjono Soekanto, 1986: 132).

Ada beberapa konsep yang betujuan untuk menjelaskan pengertian dasar dari istilah–istilah yang

akan dipergunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan sebenarnya.

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001: 43).

b. Pertanggungjawaban pidana adalah kemampuan seseorang untuk mempertanggungjawabkan

perbuatannya dilihat dari suasana batin seseorang ketika melakukan suatu tindak pidana. (R.

O Siahaan, 2008: 261 ).

c. Pelaku tindak pidana adalah orang yang telah membuat suatu tindak pidana atau melakukan

tindak pidana yang memenuhi rumusan tindak pidana. (PAF Lamintang, 1996: 585).

d. Tindak pidana menurut Simons adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan

dengan sengaja atupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang–undang telah dinyatakan

sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. (PAF Lamintang, 1996: 185).

e. Pertanggungjawaban komando (command responsibility) adalah bentuk pertanggungjawaban

pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak

pidana pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. (Roichatul Aswiah

dan Sondang Friska Simanjuntak, 2007: 137)


B. Sistematika Penulisan

Pada sub bab ini agar penulisan dapat mencapai tujuan yang diharapkan dan mudah di pahami

maka sistematika penulisan yang memuat uraian secara garis besar mengenai urutan kegiatan

dalam melakukan penulisan bab demi bab maupun sub bab. Sistematika dalam penulisan ini

yaitu:

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang mengemukakan tentang latar belakang, perumusan permasalahan dan ruang

lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teori dan konseptual serta sistematika

penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab yang mengemukakan tentang landasan-landasan teori untuk memecahkan

beberapa persoalan yang berhubungan dengan skripsi ini yang terdiri dari beberapa bagian, yaitu

konsep pertanggungjawaban pidana, pengertian pelaku tindak pidana, kejahatan terhadap

kemanusiaan atau pelanggaran HAM berat dan tanggungjawab komando terhadap pelanggaran

HAM berat.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini

yaitu mengenai karakteristik responden, penerapan Pasal 42 Undang-Undang Pengadilan Hak

Asasi Manusia tentang pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat yang

dilakukan pasukan dibawah komandonya, serta faktor-faktor penghambat Pasal 42 terhadap


pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan dibawah

komandonya.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan hasil penelitian dan hasil pembahasan dilapangan terhadap permasalahan

dalam penulisan ini yang akan menjelaskan bagaimana penerapan Pasal 42 Undang-Undang

Pengadilan Hak Asasi Manusia tentang pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM

berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya, serta apa saja faktor-faktor penghambat

Pasal 42 UU Pengadilan HAM terhadap pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM

berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan yang diambil dari permasalahan serta dari hasil penelitian dan

berisikan saran yang dimungkinkan dari permasalahan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai