Bab I PDF
Bab I PDF
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan
sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Tidak ada institusi maupun
personalnya, baik itu militer (TNI), kepolisian (Polri), maupun sipil kebal terhadap ketentuan
hukum dan perundangan yang berlaku bila melakukan suatu tindak pidana pada umumnya,
termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat kategori kejahatan terhadap
kemanusiaan. Segala upaya untuk memberi perlindungan terhadap pelanggaran HAM berat
kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di berbagai negara termasuk Indonesia, tidak dapat
diterima begitu saja, tapi memerlukan proses panjang yang terkait dengan tiga variabel utama,
yaitu adanya dinamika internasional, instrumen hukum yang ada, dan bagaimana menentukan
Upaya perampasan terhadap nyawa yang termasuk tindak kekerasan lainnya yang melanggar
harkat dan martabat kemanusiaan adalah merupakan bentuk pelanggaran HAM berat jika
dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum dan
perundangan yang berlaku. Pelanggaran HAM masuk kedalam golongan delik khusus
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Selanjutnya dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dikenal dua bentuk
pelanggaran HAM, yaitu pelanggaran HAM biasa dan pelanggaran HAM berat.
Pengertian pelanggaran HAM terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia Pasal 1 butir 6 dan pengertian Pelanggaran HAM berat terdapat dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yaitu dalam Pasal 104 ayat (1).
“Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku”.
Pengertian pelanggaran HAM berat diuraikan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dalam
Pasal 104 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut diatas, berbeda dengan
pengertian pelanggaran HAM berat yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan
pelanggaran HAM berat meliputi: genoside dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7).
Uraian pengertian dari kedua hal tersebut terdapat dalam Pasal 8 dan 9.
bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil
lainnya atas tindak pidana pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di
Indonesia yang dilakukan anak buah atau bawahan yang berada dibawah komando atau kendali
efektifnya.
Tanggung jawab komando di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Serta diatur juga antara lain di dalam Konvensi Den
Haag IV tahun 1907. Doktrin tentang tanggung jawab komando ini juga digunakan dalam IMT
(Tokyo Tribunal dan Nuremberg Tribunal), Statuta International Criminal Tribunal for The
Former Yugoslavia (ICTY), Statuta International Criminal Tribunal for The Former Rwanda
(ICTR) dan Statuta International Criminal Court (ICC). Di lingkup nasional doktrin inilah yang
kemudian diatur pertama kali dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Pertanggungjawaban komando yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah
sebagai sarana untuk menuntut pertanggungjawaban komando atas pelanggaran HAM berat.
Pertanggungjawaban negara atas tindakan atau perbuatan yang melanggar hukum, yang dalam
hal ini adalah pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, dapat dilakukan
sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 26
“Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer
dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi
Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando
dan pengendaliannya yang efektif, atau dibawah kekuasaan dan pengendaliannya yang
efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian
pasukan secara patut, yaitu :
a. Komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu
seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran HAM berat; dan
b. Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan
diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan
perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk
dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan”.
“Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggungjawab secara pidana terhadap
pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada dibawah kekuasaan
dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan
pengendalianterhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni :
a. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas
menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran
HAM berat; atau
b. Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang
lingkup kewenanganya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau
menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan”.
Ditinjau dari aspek perkembangan hukum HAM, ada beberapa hal yang belum terwadahi
didalam hukum nasional, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang belum
mengatur kejahatan-kejahatan paling serius yaitu, genosida, kejahatan perang dan kejahatan
terhadap kemanusiaan. KUHP juga belum mengatur tentang tanggung jawab komando.
Pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia yang pelakunya
bentuk tindak pidana yang bersifat extraordinary crimes, yang mana penyelesaiannya pun
memerlukan perangkat hukum khusus di luar KUHP yang terancang untuk tindak pidana yang
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna mengetahui
bagaimana pertanggungjawaban komando terhadap atasan militer dalam pelanggaran HAM berat
kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh pasukan dibawah komandonya di
Indonesia. Dari hasil penelitian ini akan dituangkan dalam sebuah skripsi dengan judul “Analisis
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penulisan
dibawah komandonya?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup permasalahan dalam skripsi ini hanya di batasi terhadap penerapan Pasal 42
pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya dan faktor-faktor
yang dilakukan pasukan dibawah komandonya. Wilayah penelitian dalam penulisan skripsi ini
adalah Komando Resort Militer 043 Garuda Hitam Bandar Lampung dan Komisi Nasional Hak
1. Tujuan penelitian
komandan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara Teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran akademis
atau teoritis terhadap upaya pengkajian, penelaahan dan pengembangan terhadap ilmu hukum
b. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam
proses ilmu pengetahuan, dan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak eksekutif selaku
pemerintah maupun pihak legislatif selaku DPR-RI dalam merumuskan berbagai kebijakan
legislatifnya, khususnya yang berkaitan dengan persoalan pertanggungjawaban komando
termuat dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep–konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil–hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap
dimensi–dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. (Soerjono Soekanto, 1986: 125).
Perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik atau tindak pidana dalam undang- undang, belum
tentu dapat dipidana karena harus dilihat dulu si orang pelaku tindak pidana tersebut. Orang yang
tindak pidana dengan kesalahan. Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya dapat disamakan
pemikiran bahwa suatu tindakan yang dilakukan pasti mempunyai hubungan yang erat dengan
suasana hati atau batin seseorang saat melakukan tindak pidana. Dalam mengetahui hal tersebut
dapat dilihat dari kesalahan pelaku berupa kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi unsur dari
kesalahan yaitu adanya kemampuan bertanggungjawab pada pelaku, yang berarti keadaan jiwa
seseorang tersebut haruslah normal, jadi dalam keadaan normal tersebut tidak ada satu pun
alasan yang dapat menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf dalam suatu
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana terhadap seseorang, kecuali apabila dengan
sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan”.
pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak pidana
pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia yang dilakukan
anak buah atau bawahan yang berada dibawah komando atau kendali efektifnya.
kasus-kasus pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang mana
komandan/atasan tidak memberikan perintah langsung untuk dilakukannya kejahatan oleh anak
melainkan harus bertanggung jawab langsung atas kesengajaan yang dilakukannya tersebut.
Komandan memiliki pengendalian secara langsung dan penuh terhadap pengadilan umum
maupun pengadilan militer. Dalam beberapa sistem militer, komandan tingkat atas dapat
memerintahkan dilakukannya penyelidikan dan diadilinya pelaku, tetapi dalam sistem militer ini
juga para pelaku berhak untuk mendapatkan pengadilan yang adil dan tidak memihak. Seorang
komandan tidak dapat memerintahkan bahwa pelaku bersalah dan harus dihukum. Komandan
harus memenuhi tanggung jawabnya untuk menjamin bahwa pelaku yang diduga melakukan
tindak pidana diperiksa secara layak dan mendapatkan putusan pengadilan yang adil, untuk
Tanggung jawab komando menggunakan unsur-unsur, dimana komandan militer tersebut harus
mengetahui atas situasi yang terjadi saat itu, sedangkan tanggung jawab atasan non militer (sipil)
meliputi unsur-unsur kejahatan yang terjadi berkaitan dengan aktivitas yang berada di bawah
tanggung jawab atasan tersebut dan dalam kendali efektifnya, sehingga dia sepatutnya
mengetahui, atau atasan tersebut secara sengaja mengabaikan informasi yang menunjukkan
Berdasarkan definisi mengenai tanggung jawab komando di atas maka subyek yang harus
bertanggung jawab adalah komandan militer. Tapi dalam praktek dan perkembangannya, prinsip
tanggung jawab komando bukan hanya diberlakukan para komandan militer saja tetapi juga
terhadap atasan atau penguasa sipil yang memiliki kewenangan untuk memberikan komando
atau perintah kepada pejabat militer atau menggerakkan kekuatan militer. Berdasarkan hal
tersebut maka muncullah istilah tanggung jawab atasan di samping tanggung jawab komandan.
Selain itu, penerapan doktrin tanggung jawab komando dan tanggung jawab atasan tidak terbatas
pada kejahatan yang terjadi di waktu perang belaka, tetapi mencakup kejahatan terhadap
kemanusiaan dan hak asasi manusia yang universal yang terjadi baik di waktu perang maupun
dimasa damai.
Berdasarkan hal tersebut maka baik komandan militer maupun penguasa sipil dapat dimintai
dengan istilah tanggung jawab atasan dan tanggung jawab komandan merupakan dua hal yang
berbeda, dalam hal tanggung jawab atasan berkaitan dengan pemidanaan terhadap komandan
jawab komandan adalah dasar pemidanaan terhadap para komandan/atasan apabila anak
buah/bawahan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya terlibat kejahatan pada
Teori yang digunakan dalam membahas faktor-faktor penghambat dalam penerapan Pasal 42
HAM berat yang dilakukan pasukan di bawah komandonya adalah teori yang dikemukakan oleh
Terdapat beberapa asas dalam berlakunya undang-undang yang tujuannya adalah agar undang-
undang tersebut mempunyai dampak positif. Artinya, agar undang-undang tersebut mencapai
Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Seorang yang mempunyai
kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak
sebenarnya wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau
tugas.
Penegakan hukum tidak mungkin berlangsung lancar tanpa adanya faktor sarana atau fasilitas.
Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seharusnya.
4. Faktor masyarakat.
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam
masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat
5. Faktor kebudayaan
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
(sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari) (Soerjono Soekanto, 1983:
34-35, 40).
2. Konseptual
khusus yang merupakan kumpulan dari arti–arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau
Ada beberapa konsep yang betujuan untuk menjelaskan pengertian dasar dari istilah–istilah yang
a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan sebenarnya.
perbuatannya dilihat dari suasana batin seseorang ketika melakukan suatu tindak pidana. (R.
c. Pelaku tindak pidana adalah orang yang telah membuat suatu tindak pidana atau melakukan
tindak pidana yang memenuhi rumusan tindak pidana. (PAF Lamintang, 1996: 585).
d. Tindak pidana menurut Simons adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan
dengan sengaja atupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat
sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. (PAF Lamintang, 1996: 185).
pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak
pidana pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. (Roichatul Aswiah
Pada sub bab ini agar penulisan dapat mencapai tujuan yang diharapkan dan mudah di pahami
maka sistematika penulisan yang memuat uraian secara garis besar mengenai urutan kegiatan
dalam melakukan penulisan bab demi bab maupun sub bab. Sistematika dalam penulisan ini
yaitu:
I. PENDAHULUAN
Merupakan bab yang mengemukakan tentang latar belakang, perumusan permasalahan dan ruang
lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teori dan konseptual serta sistematika
penulisan.
beberapa persoalan yang berhubungan dengan skripsi ini yang terdiri dari beberapa bagian, yaitu
kemanusiaan atau pelanggaran HAM berat dan tanggungjawab komando terhadap pelanggaran
HAM berat.
Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini
Asasi Manusia tentang pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat yang
komandonya.
Bab ini berisikan hasil penelitian dan hasil pembahasan dilapangan terhadap permasalahan
dalam penulisan ini yang akan menjelaskan bagaimana penerapan Pasal 42 Undang-Undang
Pengadilan Hak Asasi Manusia tentang pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM
berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya, serta apa saja faktor-faktor penghambat
V. PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan yang diambil dari permasalahan serta dari hasil penelitian dan