Anda di halaman 1dari 10

ARTIKEL

PENGANTAR MEMAHAMI UNDANG-UNDANG


TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

Oleh : Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH.

1. Pendahuluan
Pada tanggal 24 Mei 2004, Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan
Pemerintah telah menyetujui bersama Rancangan Undang-Undang tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi Undang-Undang,
dan telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia menjadi
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU P3). Undang-undang tersebut merupakan
undang-undang organik, karena melaksanakan secara tegas perintah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22A
yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai tata cara pembentukan
undang-undang diatur dengan undang-undang.
UUD 1945, Pasal 20 ayat (5): “Dalam hal rancangan undang-undang
yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam
waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui,
rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan.” Dalam hal Presiden tidak menandatanganinya sampai dengan
batas waktu yang ditetapkan Undang-Undang Dasar 1945, dan Menteri
Sekretaris Negara tidak pula menjalankan kewajiban konstitusional untuk
mengundangkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, telah
mendorong timbulnya perbincangan publik yang melahirkan berbagai
tanggapan.1
Sebagian berpendapat bahwa berdasarkan konstitusi suatu rancangan
undang-undang yang telah memperoleh persetujuan bersama DPR dan
Presiden namun Presiden tidak menandatanganinya setelah melampaui
batas waktu 30 hari, maka rancangan tersebut sah menjadi undang-undang,
hanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat orang banyak (legally
binding force) jika belum dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
dan tidak ada nomornya.2 Pendapat lain mengatakan bahwa hak veto
1
Presiden pada beberapa tahun lalu “mengembalikan” RUU tentang Penyiaran yang telah disetujui DPR, karena
terdapat beberapa substansi yang tidak sesuai dengan kebijakan Presiden. Pengembalian ini dianggap sebagai
sikap menolak mengesahkan RUU yang menyebabkan MPR mengubah dan menambah ketentuan baru dalam Pasal
20 ayat (5) yang mewajibkan Presiden mengesahkan RUU.
2
Pemberitaan di sebuah koran ibukota beberapa waktu lalu mengutip pernyataan seorang anggota DPR bahwa
RUU P3 telah menjadi UU No. 10 Tahun 2004 tentang P3, namun setelah dikonfirmasi ke Sekretariat Kabinet, tidak
ada penegasan tentang kebenaran berita tersebut.

Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 2 - September 2004 1


Presiden berdasarkan konstitusi untuk tidak mengesahkan undang-undang
berarti Presiden sebagai kepala pemerintahan tidak bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan undang-undang tersebut. Pandangan lain
menyebutkan Sekretaris Negara dianggap tidak menjalankan kewajiban
konstitusi jika tidak mengundangkan suatu undang-undang yang telah
mendapatkan persetujuan bersama walaupun Presiden tidak
menandatangani (mengesahkan)nya. Ada pula pendapat lain yang
menganggap undang-undang belum ada, karena persetujuan bersama DPR
dan Presiden sebagaimana dimaksud Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 oleh
Presiden persetujuan tadi diwujudkan dengan pembubuhan tanda tangan atas
undang-undang sebelum dimuat dalam lembaran negara.

2. Pembentukan Undang-Undang dalam Konstitusi


Sebagai telaah sejarah perundang-undangan (wetshistorie), dapat
dikemukakan bahwa sejak proklamasi 17 Agustus 1945, Republik Indonesia
telah melewati 4 kali berlakunya Undang-Undang Dasar, yaitu: (1) Undang-
Undang Dasar 1945;3 (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat;4 (3) Undang-
Undang Dasar Sementara Republik Indonesia;5 dan (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 yang diubah (diamendemen) dengan empat
kali perubahan.6
UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak menjelaskan tentang
pembentukan undang-undang dengan lengkap, melainkan hanya menegaskan
bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan DPR7 Mengenai proses pembentukan undang-undang hanya
menyebutkan bahwa rancangan undang-undang yang tidak mendapat
persetujuan DPR tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan berikutnya.8
Selain itu pada bagian lain, yaitu mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja,
UUD 1945 menyatakan bahwa hal itu ditetapkan dengan undang-undang,
dan apabila DPR tidak menyetujui yang diusulkan Pemerintah, maka
Pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu. (Pasal 23 ayat (1).9

3
Dimuat dalam Berita Republik Indonesia, II, t, hal. 45 – 48, dan Penjelasan hal. 51 – 56.
4
Lihat Keputusan Presiden RIS 31 Januari 1950 Nr. 48; LN 50 – 3, d.u. 6 Pebruari 1950.
5
Lihat Undang-undang 15 Agustus 1950 No. 7; LN 50 – 56, d.u. 15 Agustus 1950, Penjelasan dalam TLN 37.
6
Perubahan pertama pada tanggal 19 Oktober 1999; perubahan kedua tanggal 18 Agustus 2000; perubahan ketiga
10 November 2001; dan perubahan keempat 10 Agustus 2002.
7
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1)
8
Pasal 20 ayat (2)
9
Menurut Hamid At Tamimi, mempersamakan Undang-undang yang lahir dari Pasal 5 ayat (1) UUD 1945) dengan
Undang-undang yang lahir dari Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 tidak tepat sama sekali. UUD 1945 dan penjelasannya
dengan sengaja membedakan secara terpisah antara Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membentuk
Undang-Undang (Gesetzgebung) dan Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk menetapkan angaran
Pendapatan dan Belanja Negara (Staatsbegroting). Menurut Hamid, Undang-undang yang lahir dari Gesetzgebung
selalu mengandung ketentuan-ketentuan yang “regelgevend” atau mengatur sedangkan Undang-undang yang lahir
dari “Staatsbegroting” tidak “regelgevend” atau tidak mengatur, dalam hal APBN hanyalah “consent” DPR. (lihat
Hamid Attamimi, Beberapa Catatan untuk Sdr. Yusuf Indradewa, S.H. Sehubungan dengan Tulisan Sanggahannya
dalam Majalah Hukum dan Pembangunan No. 5 Tahun XI September 1981, dalam Arifin P. Soeria Atmadja, Kapita
Selekta Keuangan Negara(Universitas Tarumanagara, UPT Penerbitan, 1996), 71.)

2 Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 2 - September 2004


Konstitusi RIS (1950) yang terdiri dari 197 pasal dan UUDS (1950)
yang terdiri dari 146 pasal mengatur tentang pembentukan undang-undang.
Pasal 127 – Pasal 143 Konstitusi RIS memuat Bagian II tentang “Perundang-
undangan” yang mengatur tentang kekuasaan perundang-undangan
federal.10 Bagian II UUDS (1950) yang terdiri dari 146 pasal juga memuat
pengaturan tentang “Perundang-undangan” (Pasal 89 – Pasal 100).11
UUD 1945 mengalami empat kali perubahan fundamental dalam waktu
relatif sangat pendek. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diberi
wewenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar [Pasal
3 ayat (1)], sebagai perwujudan keinginan rakyat untuk melakukan reformasi
di bidang hukum.
Perubahan UUD 1945 sangat mempengaruhi mekanisme
penyelenggaraan negara dan urusan pemerintahan, sehingga berbagai
lembaga negara diwajibkan untuk melakukan pembenahan yang
menyangkut fungsinya untuk disesuaikan dengan perubahan tersebut.
Berkaitan dengan pembentukan undang-undang yang melibatkan
fungsi DPR dan Presiden, terdapat berbagai landasan pengaturan baru
dalam UUD 1945 (setelah perubahan) antara lain sebagai berikut:
a. beralihnya kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden kepada
DPR (Pasal 20 ayat (1) walaupun setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
(Pasal 20 ayat (2);
b. kewajiban Presiden mengesahkan rancangan undang-undang menjadi
undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-
undang. (Pasal 20 ayat (4);
c. sahnya undang-undang setelah lewat waktu 30 hari sejak persetujuan

10
Di antara yang menarik dari Konstitusi RIS adalah ketentuan Pasal 127 yang menganut politik hukum konstitusi
dengan membagi kekuasaan perundang-undangan federal menjadi dua bagian, yaitu kekuasaan yang dipegang oleh
Pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat jika berkaitan dengan pengaturan mengenai daerah bagian atau
perhubungan antara RIS dengan daerah-daerah tersebut, dan kekuasaan yang dipegang oleh Pemerintah bersama-
sama dengan DPR dalam seluruh lapangan pengaturan selebihnya. Jadi Konstitusi RIS menekankan “kekuasaan
bersama” (joint authority) yang bersifat berimbang antara Presiden dan DPR. Ini berbeda dengan UUD 1945 (sebelum
perubahan) yang menerapkan politik hukum dengan konsentrase kekuasaan (concentrated authority) dengan
menegaskan “Presiden sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang” dengan persetujuan DPR (Pasal
5 ayat (1), UUD 1945 (setelah perubahan) diubah secara dramatis yaitu Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (1) dan kewajiban suatu rancangan undang-undang dibahas
oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2). Demikian pula pengaturan Pasal
138 ayat (2) yang menyatakan bahwa Pemerintah harus mensahkan usul undang-undang yang sudah diterima,
kecuali jika Pemerintah dalam satu bulan sesudah usul itu disampaikan kepadanya untuk disahkan menyatakan
keberatannya yang tak dapat dihindarkan. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa pensahan oleh Pemerintah ataupun
keberatan Pemerintah diberitahukan kepada DPR dan kepada Senat dengan amanat Presiden. Ini lebih jelas dibanding
dengan perubahan UUD 1945 Pasal 20 ayat (5) yang seolah-olah “membiarkan” masalah keberatan Presiden tidak
mensahkan undang-undang tanpa ada kewajiban memberitahukan kepada DPR tentang hal itu. Sekretaris Negara
tentu mengalami hal dilematis. Di satu pihak, sebagai “pembantu Presiden” (Pasal 17 ayat (1) dia harus bekerja atas
dasar perintah Presiden (hubungan mandatoris), sedangkan di pihak lain dia wajib menjalankan perintah UUD 1945
untuk “mengundangkan” UU dalam Lembaran Negara walaupun Presiden tidak mensahkannya (Pasal 20 ayat (5).
11
Seperti juga pada Konstitusi RIS, dalam UUDS juga ditegaskan bahwa kekuasaan perundang-undangan “dilakukan
oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR. (Pasal 89). Demikian pula tentang kewajiban Pemerintah
memberitahukan kepada DPR, dengan amanat Presiden, jika Pemerintah menyatakan “keberatan yang tak dapat
dihindarkan” untuk mengesahkan usul undang-undang. (Pasal 94 ayat (2) dan ayat (3).

Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 2 - September 2004 3


bersama atas rancangan undang-undang dalam hal RUU tersebut tidak
disahkan oleh Presiden (Pasal20 ayat 5);
d. kewajiban mengundangkan undang-undang (Pasal 20 ayat (5).
e. adanya undang-undang organik yang mengatur tentang tata cara
pembentukan undang-undang (Pasal 22A); dan
f. tugas pengundangan peraturan perundang-undangan diserahkan
kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan
perundang-undangan. (Pasal 48).

3. Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan
Memenuhi amanat Pasal 22A UUD 1945 dan Pasal 6 TAP MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum danTata Urutan Peraturan Perundang-
undangan, DPR bersama dengan Presiden telah membentuk Rancangan
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang telah mendapat persetujuan bersama pada tanggal 24 Mei 2004. Pada
dasarnya UU P3 dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku
mengenai tata cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.12
Substansi UU P3 terdiri 13 bab dan 58 pasal disertai penjelasan umum
dan pasal perpasal dan lampiran yang berisi teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan yang dahulunya dimuat dalam Keppres No. 44/1999
setelah diadakan modifikasi dan penyempurnaan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa UU P3 memuat ketentuan
mengenai asas peraturan perundang-undangan (asas pembentukan, materi
muatan, jenis dan hierarki), materi muatan, pembentukan peraturan
perundang-undangan, pembahasan dan pengesahan, teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan, pengundangan dan penyebarluasan, dan
partisipasi masyarakat dalam penyiapan atau pembahasan rancangan
undang-undangan rancangan peraturan daerah.
UU P3 meningkatkan status berbagai pengaturan yang terdapat dalam
Keputusan Presiden Nomor 188 tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-undang, dan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999
tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (dimuat dalam
lampiran UU P3), dan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
Nomor 23 Tahun 2001 mengenai mekanisme penyusunan rancangan peraturan
perundang-undangan di daerah dan berbagai produk lain yang pernah ada yang
sifatnya mengatur tentang teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
Ini berarti bahwa sudah ada undang-undang yang mengatur tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan, dan berdasarkan Pasal 54 UU P3, semua teknik

12
Penjelasan Umum Alinea 6 UU P3.

4 Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 2 - September 2004


penyusunan peraturan perundang-undangan yang pernah ada harus berpedoman
pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam UU P3.
UU P3 mengikat Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPR, MPR,
Mahkamah Agung, BPK, Bank Indonesia, Mahkamah Konstitusi, menteri,
kepala badan, lembaga dan komisi yang setingkat dan yang lainnya dalam
tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan untuk menaatinya.
Ketentuan UU P3 yang mengatur tentang asas, jenis dan hierarki, materi
muatan, pembentukan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan
penyebarluasan peraturan perundang-undangan menjadi landasan bagi
kebijakan unifikasi pembentukan peraturan perundang-undangan di seluruh
Indonesia, sehingga proses penyusunan dan pembahasan RUU dan Raperda
makin lebih sederhana karena sudah ada pedoman mengenai proses dan
teknik yang harus ditaati.

4. Asas, Jenis, dan Materi


Ada 7 “asas pembentukan peraturan perundang-undangan” yang
dicantumkan dalam dalam Pasal 5 huruf a s/d g. Di samping itu ada 10 “asas
materi muatan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
s/d j. Asas pembentukan perturan perundang-undangan lahir dari asas negara
berdasar hukum,13 yang berarti suatu penetapan penggunaaan kekuasaan yang
secara formal dibatasi dalam dan berdasarkan UUD 1945, yang kemudian
ditegaskan kembali di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.14
Asas P3 dibedakan pada asas formal dan asas material. 7 Asas tersebut diseleksi
dari berbagai asas yang dikembangkan oleh para ahli perundang-undangan
dan disesuaikan dengan P3 di negara kita. Menurut Hamid Attamimi, asas
formal adalah tentang “bagaimananya” (het ‘hoe’) suatu peraturan, dan asas
material yang berhubungan dengan ‘apanya’ (het ‘wat’) suatu peraturan.15
Van der Vlies membahas asas P3 dan menyebutnya sebagai
“beginselen van behooorlijke regelgeving” (asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik). Asas berkaitan dengan norma
yang harus terwujud dalam perbuatan pemerintahan dan yang dapat
dipaksakan berlakunya oleh hakim. Misalnya asas tentang perlakuan yang
sama terhadap semua warganegara (gelijkheidsbeginsel).16
Dikaitkan dengan hukum administrasi, asas P3 dibedakan pada asas
yang berkaitan dengan:
a. proses persiapan dan pembentukan keputusan (het process van

13
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: “Negara ndonesia adalah negara hukum.
14
Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, (disertasi Fakultas
Pascasarjana UI, 1990), hal. 334 – 335.
15
Ibid, hal. 335 – 336.
16
Van der Vlies, Handboek Wetgeving, (Zwolle: Tjeenk Willink, 1987), hal. 175. Bandingkan dengan UU P3, Pasal 6
ayat (1) huruf h “kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan”.

Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 2 - September 2004 5


voorbereiding en besluitvorming);
b. asas yang berkaitan dengan motivasi dan pembentukan keputusan (de
motivering en inrichting van het besluitvorming); dan
c. asas isi keputusan (de inhoud van het besluit).
Ketiga asas di atas lebih dititiberatkan pada asas formal P3 yang dapat
dirumuskan lagi sebagai berikut:
a. asas terwujudnya suatu peraturan (de totstandkoming van een regel);
b. asas sistematika dan pengundangan (pengumuman) suatu peraturan
(de systematiek en bekendmaking van een regel);
c. asas kemendesakan dan tujuan dari peraturan (de noodzaak en de
doelstelling van een regel); dan
d. asas isi (muatan) suatu peraturan (de inhoud van een regel).17
Tidak dicantumkannya asas alasan (motivasi) pembentukan peraturan
perundang-undangan secara eksplisit dalam UUP mungkin dimaksudkan
karena asas tersebut sudah inklusif dalam asas tentang kejelasan tujuan
dalam Pasal 5 huruf a yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa setiap
P3 harus mempunyai tujuan yangjelas yang hendak dicapai. Asas motivasi
lebih mencerminkan tentang kehendak yang sebenarnya dari P3 yang sangat
mungkin ditumpangi atau disusupi oleh kepentingan kelompok tertentu atau
berlatar belakang KKN seperti yang banyak disinyalir akhir-akhir ini.
Dalam UU P3, apakah asas undang-undang harus tercantum secara
eksplisit dalam batang tubuh? Pembentuk undang-undang mungkin
memerlukan pencantuman asas, dan jika demikian asas dapat dimasukkan
dalam bab “ketentuan” umum dan bukan dalam tersendiri. Namun ketentuan
umum sebaiknya hanya “mencerminkan” asas, maksud dan tujuan.18
UU P3 telah menyelesaikan perbincangan sekitar masalah jenis
peraturan perundang-undangan secara cukup memuaskan. Selama ini masih
dipersoalkan tentang kedudukan “keputusan menteri” yang secara eksplisit
tidak tercantum sebagai jenis peraturan perundang-undangan menurut TAP
MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Tertib Hukum. Jenis Peraturan
Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3 ditetapkan 5 jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan yang tidak dicantumkan “peraturan
menteri” didalamnya. Namun dalam Pasal 7 ayat (4) dinyatakan:
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.”

17
Van der Vlies, Op cit, hal. 181
18
Lihat Lampiran UU P3 C1 Ketentuan Umum angka 74 huruf c.

6 Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 2 - September 2004


Penjelasan ayat 4) menyebutkan secara luas tentang jenis peraturan
perundang-undangan, sehingga meliputi semua peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan oleh MPR, DPR, DPRD, MA, MK, BPK, BI,
Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
oleh undang-undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD,
Gubernur, BupatiWalikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Dengan demikian, selain UUD, UU/Perpu, PP, Peraturan Presiden,
dan Perda, terdapat banyak jenis peraturan perundang-undangan yang lain
dengan kualifikasi sebagai berikut:
a. diakui keberadaannya;
b. mempunyai kekuatan hukum mengikat;
c. dibentuk atas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
dan
d. dibentuk oleh badan yang diberi kewenangan.
Dalam jenis dan hierarki tersebut terdapat instrumen hukum yang
disebut “peraturan presiden” (yang digunakan dalam masa orde lama)
pengganti dari “keputusan presiden” yang bersifat mengatur. Penggantian
instrumen hukum tersebut tentu dimaksudkan untuk menyederhanakan
penyebutan jenis peraturan perundang-undangan dan untuk menghindari
peran ganda keputusan presiden, baik yang bersifat mengatur (regeling)
maupun yang bersifat penetapan (beschikking). Disadari bahwa penggantian
itu dikritik oleh sejumlah ahli perundang-undangan karena pengaturan yang
lama (keputusan presiden yang bersifat mengatur) masih cukup valid.19
UU P3 memberikan pedoman pasti tentang materi muatan bagi Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, Peraturan
Desa/yang setingkat, dan materi muatan ketentuan pidana. Hal ini perlu

19
Hamid Attamimi menguraikan secara luas luas tentang “peranan keputusan presiden” dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Pemikiran untuk mempertahankan keputusan presiden yang bersifat mengatur bertitik tolak dari pemahaman
UUD 1945 (sebelum perubahan) tentang kekuasaan pengaturan oleh Presiden berdasarkan Pasal 5 ayat (1), Pasal 22
ayat (1), dan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 4 ayat 1), Hamid membedakan kekuasaan pengaturan presiden pada: (1)
kekuasaan legislatif oleh Presiden dengan persetujuan DPR; (2) kekuasaan reglementer yang dijalankan Presiden tanpa
persetujuan DPR; dan (3) kekuasaan eksekutif Presiden yang mengandung kekuasaan pengaturan. Dengan mengutip
berbagai teori yang ada, dapat dipahami bahwa pemerintahan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) mengandung arti formal yaitu
mengandung kekuasaan mengatur (verordenungsgewalt) dan pemerintahan dalam arti material yang berisi dua unsur
yang terkait menjadi stu, yaitu unsur memerintah dan unsur melaksanakan (das Element der Regierung und der vollziehung).
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang tidak mengalami perubahan mengatakan dengan jelas bahwa Presiden memegang
kekuasaan pemerintahan “menurut Undang-Undang Dasar. Kekuasaan pemerintahan mengandung kekuasaan
“memutuskan” (beslissende bevoegdheid) dan kekuasaan mengatur (regelende bevoegdheid) Di zaman Orde Lama,
peraturan presiden dapat dijadikan lembaga pengaturan yang bersumber kepada kewenangan Presiden selaku
penyelenggara tertinggi pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 namun dapat pula bersumber pada penetapan
presiden (PENPRES) yang digunakan sebagai peraturan pelaksanannya. Perpres adakalanya memuat ketentuan pidana
(Perpres No. 14 tahun 1964) yang pada hakekatnya adalah ketentuan bagi tindakan administratif, dan diundangkan
dalam lembaran negara agar setiap orang mengetahuinya. Hamid menyebutkan tiga keuntungan memakai nama Perpres
yaitu lebih mudah disebut, langsung menunjuk kepada peraturan, dan diundnagkan dalam lembaran negara. Sedangkan
unsur negatifnya, Perpres berkedudukan lebih tinggi dari keputusan presiden lainnya, dapat bersumber pada penetapan
presiden yang tidak mempunyai dasar dalam UUD 1945, dan memasuki materi muatan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi seperti materi muatan undang-undang. Unsur positif keputusan presiden adalah berfungsi pengaturan
yang mandiri mandiri berpegang kepada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. (lihat Hamid Attamimi, Op cit, hal. 75-276).

Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 2 - September 2004 7


dipertimbangkan dengan teliti oleh pembentuk rancangan undang-undang.
Khusus untuk materi Peraturan Presiden, disebutkan bahwa materi Peraturan
Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi
untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Sepintas lalu terlihat bahwa
Peraturan Presiden tidak bersumber dari Pasal 4 ayat (1) yaitu peraturan
yang dikeluarkan Presiden untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar, melainkan adalah materi muatan delegasian
dari Undang-Undang atau materi melaksanakan Peraturan Pemerintah. Jika
demikian, pemikiran mengenai materi muatan Peraturan Presiden memang
berbeda dengan paradigma konsepsional Keputusan Presiden yang bersumber
dari Pasal 4 ayat (1).20 Jika demikian, bagaimana penjabaran kekuasaan
pengaturan oleh Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1)?21

5. Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi


RUU
Substansi Pasal 18 ayat (2) tentang pengharmonisasian, pembulatan
dan pemantapan konsepsi RUU mirip dengan substansi Keppres No. 188/
1998. Tugas koordinasi masih tetap dibebankan kepada menteri yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
Pasal 18 mengandung konsekuensi bahwa rancangan undang-undang
harus melewati mekanisme tertentu, yaitu pembahasan bersama Panitia
Antar Departemen (PAD) agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan dalam
sebuah RUU. Menteri di bidang perundang-undangan diserahi tugas
koordinasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai pembantu
Presiden dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang hukum
pembinaan hukum nasional.
Bagaimana jika instansi pemerintah yang memprakarsai RUU tidak
menempuh prosedur tersebut? Bagaimana pula dengan prosedur yang harus
ditempuh dalam rangka mempersiapkan rancangan peraturan daerah?
Memang tidak ada pengaturan yang tegas memberikan semacam sanksi.
Sebab hal itu sepenuhnya tergantung kepada kewenangan Presiden, apakah
masih akan menerima sebuah rancangan undang-undang yang akan

20
Menurut Hamid, paradigma konsepsional tentang keputusan presiden yang berfungsi pengaturan yang mandiri
adalah: (a) dari segi kewenangan membentuknya, didasarkan pada kekuasaan pemerintahan dimaksud Pasal 4 ayat
(1); (b) dari segi sifat normanya melakukan pengaturan yang berlaku ke luar dan berlaku umum dalam arti luas; (c)
dari segi materi muatannya mengandung materi muatan yang mandiri (bukan materi muatan delegasian UU melalui
PP); dan (d) dari segi kepentingan masyarakat hukum, perlu diketahui secara luas oleh rakyat atau masyarakat
hukum yang bersangkutan. (lihat Hamid Attamimi, Op cit, hal. 272 – 273)
21
Dalam penjelasan UUD 1945 yang lama, Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan telah dihapus dari UUD 1945 (setelah
perubahan), Presiden ialah kepala kekuasaan eksekutif dalam negara. Untuk menjalankan undang-undang, ia
mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintah. (pouvoir reglementaire). Hamid Attamimi mengartikan
bahwa di dalam kekuasaan eksekutif terdapat kekuasaan pengaturan, yaitu pengaturan dengan Keputusan Presiden.
(Hamid Attamimi, Op cit, hal. 144).

8 Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 2 - September 2004


disampaikan kepada DPR tanpa memenuhi ketentuan Pasal 18 atau
menolaknya?
Menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non-departemen yang
berfungsi sebgai pembantu Presiden seharusnya menyadari bahwa
kewajiban Pasal 18 dimaksudkan sebagai upaya pengawasan bersama oleh
Panitia Antar Departemen yang bersifat mencegah terhadap kemungkinan
sebuah rancangan mengandung cacat hukum(preventief toezicht), yang tidak
terlihat dengan jeli oleh departemen pemrakarsa. UUD 1945 memang
memberikan peluang bahwa rancangan yang tidak disetujui oleh Panitia
Antar Departemen dapat diteruskan ke DPR sebagai usul hak inisiatif, namun
produk awal (initial draft) yang dikirimkan tersebut mungkin akan
mengandung berbagai norma yang berbenturan dengan peraturan
perundang-undangan dari departemen lain (conflicting norms), sehingga
akan menyulitkan Presiden atau menteri yang bersangkutan dalam
pelaksanaannya. Sangat terbuka kemungkinan bagi para pihak yang merasa
dirugikan untuk mengajukan gugatan terhadap sebuah undang-undang yang
“bermasalah” (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi, seperti yang
banyak terjadi akhir-akhir ini.

6. Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan


Pasal 37 s/d Pasal 39 memberi dua kemungkinan tentang pengesahan,
yaitu :
(1) pengesahan dengan pembubuhan tanda tangan oleh Presiden terhadap
rancangan undang-undang yang disampaikan oleh DPR; atau
(2) pengesahan tanpa pembubuhan tanda tangan oleh Presiden, jika telah
melewati waktu paling lambat 30 hari sejak rancangan undang-undang
disetuji bersama.
Untuk kasus kedua tanda pengesahan berbunyi: “Undang-Undang ini
dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
UU P3 tidak menjelaskan tentang langkah-langkah yang seyogyanya
dilakuan Presiden dalam hal dia tidak setuju atau menolak sebuah rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama. Sebagai perbandingan dalam
mekanis perundang-undangan menurut Konstitusi RIS (Pasal 138) dan
UUDS, walaupun dalam sistem pemerintahan yang berbeda, Presiden
berkewajiban memberitahukan kepada DPR jika dia merasa masih ada
keberatan terhadap rancangan undang-undang yang disampaikan oleh DPR.
Pengundangan (bekendmaking) peraturan perundang-undangan
dilakukan dengan menempatkan peraturan perundang-undangan pada:
Lembaran Negara RI, Berita Negara RI, Lembaran Daerah, atau Berita

Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 2 - September 2004 9


Daerah. (Pasal 45). Pengundangan peraturan perundang-undangan yang
ditempatkan dalam Lembaran Negara atau dalam Berita Negara dilakukan
oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perudang-
undangan. (Pasal 48)
Ketentuan mengenai pengundangan tidak secara tegas menyebutkan
status Tambahan Lembaran Negara yang selama ini berlaku sebagai tempat
pengundangan bagi penjelasan peraturan perundang-undangan. Apakah ini
berarti bahwa untuk masa akan datang tidak dikenal lagi Tambahan
Lembaran Negara?
Penyebarluasan (afkondiging) peraturan perundang-undangan yang
diundangkan dalam Lembaran Negara dan Berita Negara dibebankan
kepada Pemerintah, sedangkan penyebarluasan Peraturan Daerah dan
peraturan di bawahnya yang dimuat dalam Berita Daerah dibebankan kepada
Pemerintah Daerah.
Fungsi penyebarluaan sebenarnya tidak termasuk dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan, walaupun terkait dengan teori
fictieleer yang masih dianut dalam frasa penutup sebuah undang-undang
“agar setiap orang mengetahuinya”, karena pada umumnya masyarakat
mengetahui adanya undang-undang bukan dari Lembaran Negara atau
Lembaran Daerah melainkan dari pemberitaan mass-media atau publikasi
khusus perundang-undangan.

7. Penutup dan Saran


UU P3 merupakan master piece di bidang perundang-undangan dan
diharapkan sebagai handboek wetgeving bagi para perancang peraturan
perundang-undangan. Tentu terdapat beberapa titik kelemahan dalam UU
P3 yang mungkin akan menimbulkan perbedaan tafsir di kalangan
penggunanya. Berbagai permasalahan yang muncul dalam rangka
pemahaman UU P3 seperti diuraikan dalam makalah ini sama sekali bukan
merupakan alasan untuk tidak menaati ketentuan yang terdapat di dalamnya.
Justeru berbagai titik-titik lemah itu membuka peluang bagi para analis ilmu
perundang-undangan untuk melahirkan berbagai karya akademis guna
menggantikan berbagai tulisan sebelumnya.
UU P3 melahirkan berbagai paradigma konsepsional baru yang harus
dijelaskan kepada masyarakat luas, dan untuk itu memerlukan masa transisi
yang cukup lama. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (atau
nama lain dalam kabinet baru) dibebankan tugas yang cukup berat. Tidak
hanya tugas mensosialisasikan UU P3 melainkan juga kewajiban
mempersiapkan berbagai infrastruktur dan sarana yang diperlukan untuk
menunjang pelaksanaannya.

10 Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 2 - September 2004

Anda mungkin juga menyukai