Anda di halaman 1dari 2

Stay Hungry Stay Foolish…

HUMAN BEING, MOTIVASI, PENDIDIKAN, PERUBAHAN, RENUNGAN

Lelaki Penghibur (Seri Fatherman bag. 5)

Posted by EKOHARSONO on JULY 17, 2016


by : bendri jaisyurrahman (twitter : @ajobendri)

Zaman sudah berubah. Meski tak secepat power rangers yang langsung berubah hanya dengan mengibaskan lengan dan menggoyangkan kepala. Setidaknya kita dapat melihat perubahan jelas
hidup di era jadul hingga era #kekinian. Dulu punya TV berbentuk kotak sebesar rice cooker dengan layar buram layaknya semut-semut berbaris rapi saja, rasanya sudah bahagia sekali. Meski
kadang yang ditonton hanyalah parade wayang ataupun festival lagu keroncong dimana sebagian besar penyanyinya tidak manual lagi alias matic. Maksudnya tanpa gigi. Atau film-film berbahasa
asing yang tak dimengerti isi dan alur ceritanya, namun sudah mampu membuat kita terkesima hanya dengan memandang wajah pemainnya yang berhidung mancung, kulit putih dan bersih.
Sampai-sampai lalet aja kepleset saat hinggap di kulitnya yang mulus. Intinya saat itu, apapun yang disajikan TV sudah menjadi santapan jiwa yang mampu menghibur diri yang tengah galau dan
resah.

Bagi yang tak memiliki TV di rumah, mereka tak kehilangan akal. Berjalan ke kantor kelurahan atau kecamatan terdekat bisa jadi agenda rutin pekanan. Disana biasanya dipajang televisi yang
lumayan besar. Dan sebagian masyarakat yang sedang mengurus KTP atau administrasi lainnya pun sengaja melama-lamakan urusannya demi sekedar buat nyambi menonton tayangan
kesayangan “Aku Cinta Indonesia” atau “Jendela Rumah Kita” yang sedang ngehits di zaman itu.

Iklan
Kami ditutup
akan
Iklan
oleh
mencoba
ditutup oleh untuk tidak
menampilkan iklan itu lagi
Stop lihat iklan ini

Mengapa iklan ini? 

REPORT THIS AD

Itulah masa dimana masyarakat mengalami ‘miskin’ hiburan dan tontonan. Hingga terkadang hajatan kawinan yang ada di kampung sebelah dijadikan kenduri bersama yang disambut meriah
meski tak mendapatkan kartu undangan. Cukup bermodalkan angpao seribu rupiah sudah bisa menonton layar tancep ataupun panggung musik rakyat. Ditambah bonus makanan yang beraneka
macam sebagai pelengkap kegembiraan.

Era dimana tayangan dan hiburan luar sedemikian minim memang menjadikan kehidupan masyarakat saat itu dianggap statis dan jenuh. Namun justru memberikan nuansa positif bagi kehidupan
keluarga yang lebih harmonis. Dimana masing-masing anggota keluarga ‘memaksakan’ dirinya untuk berkumpul dengan yang lain. Sebab ini cara mereka menghibur diri sendiri. Apalagi bagi yang
jomblo. Bagi mereka, sendiri itu membosankan. Maka kebersamaan adalah kebutuhan. Saat makan bersama, duduk dalam ruang keluarga untuk sekedar berbincang dianggap sesuatu yang
istimewa. Atau mengerjakan tugas rumah tangga secara gotong royong, bersih-bersih rumah misalnya, mampu menjalin ikatan emosi yang positif di antara mereka.

Bukan hanya itu. Omelan emak dan bapak bahkan disertai cubitan yang berbekas di kulit tak mampu membuat mereka merasa ‘terusir’dari rumah. Sakit hati iya. Sakit di badan juga. Sakitnya di
sana sini. Namun tetap memaksa mereka untuk selalu pulang. Tak sampai kabur keluar rumah berlama-lama. Soalnya, di luar rumah juga gak ada apa-apa. Cuma ada kebon dan sawah serta
suasana yang gelap gulita. Daripada kesambet jin, pikir mereka, mending pulang ke rumah. Ada tempat bernaung sekaligus makan gratis. Dan akhirnya komunikasi pun mengalir yang berakibat
hubungan pun kembali mesra. Tidak menyimpan dendam berlama-lama.

Iklan
Kami ditutup
akan
Iklan
oleh
mencoba
ditutup oleh untuk tidak
menampilkan
Stop lihat iklan itu lagi
iklan ini

Mengapa iklan ini? 

REPORT THIS AD

Beda dengan sekarang. Ortu berteriak keras menaikkan desibel suara sedikit saja, anak mendadak minggat tak mau pulang. Mereka tak kuat dimarahi. Padahal tidak semua teriak berarti marah.
Tarzan contohnya. Hampir setiap hari teriak-teriak. Dan teriakannya malah menarik perhatian kita. Sebelum dan sesudah makan teriak. Gelayutan di pohon teriak. Manggil teman-temannya teriak.
Cuma tidur aja yang tarzan diam. Apakah ortu harus menjadi tarzan dulu, agar setiap teriakannya malah dianggap hiburan?

Kini, ketika anak suka kelayapan, barulah kita sadar bahwa rumah tak lagi punya daya magnet untuk membuat anak betah di dalamnya. Rumah kini berubah menjadi tempat transit layaknya
terminal. Anak sekedar numpang lewat. Rumah kalah bersaing dengan dunia luar. Mereka terpesona dengan beraneka hiburan yang berseliweran di luar.

Menjamurnya game station, warnet, tempat nongkrong yang 24 jam non stop serta panggung hiburan di berbagai avenue membuat mereka tak lagi ingin pulang kecuali saat saldo di rekening sudah
menyerupai hotline McD, 14045. Pun kalau ada di rumah, mereka sibuk “mengeja wirid” lewat tombol keyboard HP. Terhipnotis memandangi layar berlama-lama. Tak lagi peka terhadap yang
lainnya. Tak ada kehangatan sesama anggota keluarga. Ya. Kini semua berubah. Persis seperti syair dewi yull “Kau bukan dirimu lagi. Kau bukan yang dulu lagi”.

Iklan
Kami ditutup
akan
Iklan
oleh
mencoba
ditutup oleh untuk tidak
menampilkan
Stop lihat iklan itu lagi
iklan ini

Mengapa iklan ini? 

REPORT THIS AD

Apa yang terjadi saat ini memberikan gambaran, jika ortu tak mampu menjadikan rumah sebagai pusat hiburan bagi anak, maka bersiaplah menerima kenyataan bahwa anak akan keluyuran di
luar rumah. Di mall-mall, cafe-cafe dan tempat nongkrong lainnya. Atau terpaku menatap layar gadget dan TV di kamarnya masing-masing. Jarang bertegur sapa atau berbincang mesra. Sebab, bagi
anak, hiburan ibarat makanan. Jika tak diberikan oleh orang tuanya, maka anak akan banyak ‘jajan’ di luar. Sekedar memuaskan rasa lapar mereka akan hiburan.

Disinilah peran ayah, sang Fatherman, amat dibutuhkan sebagai sosok lelaki penghibur. EntertainMan. Ini topi baru milik Fatherman. Dimana ayah menjadi aktor utama yang menjadi pusat
hiburan bagi anak. Bukan TV. Bukan gadget. Bukan game station. Atau hiburan lainnya yang bukan-bukan.

Ketika fatherman tak mampu memberikan entertainment, maka anak mudah bosan. Di saat itulah, godaan hiburan luar mampu menarik mereka dari kelekatan dengan ayahnya. Meskipun wajah
ayahnya setampan dude herlino atau nicholas saputra, anak lebih memilih fokus memandang tukul atau sule di layar kaca. Bukan meragukan kegantengan ayahnya. Namun apalah artinya tampan
jika membosankan. Anak butuh sesuatu yang mampu membuatnya gembira dan tertawa lepas. Inilah tugas Fatherman berikutnya yang tak boleh diabaikan.
Iklan
Kami ditutup
akan
Iklan
oleh
mencoba
ditutup oleh untuk tidak
menampilkan
Stop lihat iklan
itu lagi
iklan ini

Mengapa iklan ini? 

REPORT THIS AD

Menjadi lelaki penghibur bagi anak, tak melulu bermakna sang ayah harus jadi komedian atau biduan. Sebab ayah tetaplah ayah dengan beragam karakternya. Jangan paksakan jadi stand up
comedian jika saat ayah melucu malah jadi adegan horror bagi anak. Ataupun jangan paksakan menyanyi jika nyanyian ayah malah dianggap ruqyah. Bisa mengusir jin, setan termasuk juga
manusia saking memekakkan telinga. Ini malah membuat anak bersumpah takkan menginjakkan kakinya ke rumah.

Memberi suguhan entertainment bagi anak pada intinya adalah mengatur irama hidup anak agar dinamis dan tidak bosan. Inilah makna sabda rasul “sa’atan, sa’atan”. Sejenak sejenaklah. Hidup
dinamis penuh dengan kejutan. Sebab sesuatu yang asyik jika terus-terusan kelak akan membosankan. Sop iga yang mak nyuss jika disajikan setiap hari selama sebulan, akan ditinggalkan dan kalah
oleh ikan asin yang mentah. Bukan kalah rasa. Tapi karena kita sudah bosan. Inilah hakikat jiwa manusia. Butuh variasi kesenangan.

Maka, jangan paksakan hidup anak harus berpola seperti nyanyian siswa TK, “bangun tidur, kuterus mandi. Tidak lupa menggosok gigi.” Jika anak mau bangun tidur langsung menenteng TV,
silahkan. Asal jangan dibawa lari. Nanti dikira pencuri. Nah, ayah selaku Fatherman, belajar untuk membuat hidup anak dinamis. Hal ini dimulai dengan kemampuan memahami siklus hidup anak.
Di antaranya yang sederhana adalah trik menyapa anak sehabis pulang sekolah. Jangan pernah tanyakan PR kepadanya. Sebab masalah anak sudah sedemikian banyak di sekolah. Diledek
temannya, dikejar-kejar anjing, kepentok tiang listrik, menginjak tai kucing, dicium bencong, dipalak preman, dicolek nenek-nenek, keserempet metro mini, dan keapesan lainnya. Sungguh amat
menyakitkan kalau yang ditanya malah PR. Sebab memang bukan itu yang dimau oleh anak.

We'llAd
try closed
Adnot
by
to show
closed by that ad again
Stop seeing this ad

Why this ad? 

REPORT THIS AD

Seorang fatherman harus pandai mengambil hati anak dengan pertanyaan yang berkesan. Contohlah rasul. Saat bertemu seorang anak kecil bernama Abu Umair. Beliau tak pernah bertanya :
“sudah kerjakan PR?”, “sudah makan?” dan pertanyaan yang membosankan lainnya. Beliau tahu cara membuka hati anak. Dimulai dengan pertanyaan “apa kabar burung pipitmu ya abu umair?”.
Inilah cerdasnya rasul. Ia tahu bahwa Abu Umair punya burung pipit kesayangan. Namanya Nughair. Dan seorang anak amat senang jika hobby atau kesayangan nya ditanya. Ia akan antusias
menjawab. Dan bercerita panjang lebar tentang pengalamannya setelah itu.

Disinilah sosok lelaki penghibur berperan. Dimulai dari sapaan yang berkesan. Sapaan yang membuat anak merasa bergairah menceritakan pengalamannya. Ya, sang fatherman harus belajar untuk
memulai menyapa anak dengan pertanyaan akan hobby nya atau aktivitas kesenangannya di hari itu. Ini senjata awal. Sebab ciri anak menempel dan terhibur dengan kehadiran ayah adalah ia
antusias menceritakan pengalaman hariannya. Tinggal ayah siap-siap memasang telinganya hingga panas. Sebab, sudah bukan rahasia lagi bahwa anak yang ketagihan bercerita ibarat kaset yang
distel berulang-ulang. Hanya berhenti kalau energinya habis atau dipukul tombol stopnya.

Nah, itu baru teknik dasar Fatherman dengan topi peran EntertainMan. Masih banyak skill lainnya yang akan diulas di tulisan berikutnya. Jangan kemana-mana. Tetap di tempat anda. Kecuali kalau
gak tahan mau pup. Ya harus ke WC lah.. Masa’ disitu aja terus-terusan? (bersambung)

Advertisements

REPORT THIS AD

REPORT THIS AD
anak anak ayah Fatherman hati hiburan hidup orang tua

Blog at WordPress.com.

Anda mungkin juga menyukai