Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN REFERAT

“BANTUAN HIDUP DASAR DAN BANTUAN HIDUP LANJUT”

PEMBIMBING:

dr. Fauzi Abdilah Susman, Sp.An

DISUSUN OLEH:

Cendy Andestria (2015730020)

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEKARWANGI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


PERIODE 22 Juli – 16 Agustus 2019
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya kepada kita semua. Tak lupa salawat serta salam kepada junjungan besar
Rasulullah SAW beserta para sahabatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat
mengenai “Bantuan Hidup Dasar dan Bantuan Hidup Lanjut” dalam rangka mengikuti
kepanitraan Klinik di bagian/SMF Anestesi RSUD Sekarwangi Cibadak.

Pada kesempatan ini, penyusun ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya


kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis:

1. dr. Fauzi Abdilah Susman, Sp.An selaku dokter pembimbing serta Dokter Spesialis Ilmu
Anestesi RSUD Sekarwangi Cibadak
2. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan
kepada penyusun
Akhirnya penyusun menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan
pengetahuan khususnya kepada penyusun dan kepada pembaca. Terimakasih

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Sekarwangi, 8 Agustus 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

Resusitasi jantung-paru (RJP) adalah suatu usaha kedokteran gawat darurat untuk
memulihkan fungsi respirasi dan/atau sirkulasi pada pasien yang masih memiliki harapan hidup.
RJP dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut, dan bantuan
hidup jangka panjang. Bantuan hidup dasar bertujuan untuk oksigenasi darurat dengan tiga
langkah, yaitu Airway, Breathing, dan Circulation. Sedangkan bantuan hidup lanjut bertujuan
untuk memulihkan dan mempertahankan sirkulasi spontan dengan tiga langkah, yaitu Drugs and
fluid treatment, Electrocardiography, dan Fibrillation treatment. Bantuan hidup jangka panjang
bertujuan untuk pengelolaan intensif mentasi manusia yang terdiri dari tiga langkah, yaitu
Gauging, Human mentation, dan Intensive care.5
Bantuan Hidup Lanjut (BHL) merupakan tindakan yang dilakukan secara simultan
dengan bantuan hidup dasar dengan tujuan memulihkan dan mempertahankan fungsi sirkulasi
spontan sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan dapat segera dipulihkan dan dipertahankan.
Untuk mengembalikan sirkulasi secara spontan, diperlukan pemberian obat-obatan serta cairan,
diagnosis dengan elektrokardiografi, dan juga terapi fibrilasi. Ketiga tahapan ini dapat dilakukan
dengan urutan yang berbeda-beda tergantung keadaan yang dihadapi.6
Peralatan yang dipakai pada BHL meliputi alat jalan napas (pipa orofaring, nasofaring,
endotrakea, sungkup muka, alat isap, laringoskop, forsep Magil), perlengkapan untuk memasang
infus, EKG monitor dengan defibrillator arus searah, dan papan datar yang kuat untuk resusitasi.
Obat-obatan yang diperlukan adalah golongan simpatomimetik (adrenalin, noradrenalin,
dopamine, ephedrine, efortil, metaraminol, dan isoproterenol), golongan pelumpuh otot (suksinil
kolin, pankuronium, atau derivate kurare yang lain), golongan sedatif dan anti kejang, lidokain,
prokainamid, atropin, morfin atau petidin, nalokson, bronkodilator, dan cairan infus. Tinjauan
pustaka ini akan membahas lebih lanjut tentang langkah-langkah BHL serta jenis peralatan dan
juga obat-obatan yang dipakai.6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya
serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh
benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglottis,
tercekik, trauma dan lain-lainnya.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian oksigen
ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Kalau henti napas mendapat
pertolongan dengan segera, maka pasien akan terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau
terlambat akan berakibat henti jantung yang mungkin menjadi fatal.1
Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) adalah ketidak sanggupan curah jantung untuk
memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik
normal, kalau dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan
otak menetap kalau tindakan tidak adekuat. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau
penyakit kronis tertentu tidak termasuk henti jantung. Sebagian besar henti jantung disebabkan
oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa denyut dan ventrikel asistol dan disosiasi elektro-
mekanik.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis, femoralis, radialis)
disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping,apnu),
dilatasi pupil tak bereaksi dengan rangsang cahaya dan pasien dalam keadaan tidak sadar.
Pengiriman oksigen ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin, saturasi Hb
terhadap oksigen dan fungsi pernapasan. Resusitasi jantung paru diperlukan kalau oksigen ke
otak tidak cukup, sehingga otak tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Iskemia
melebihi 3 – 4 menit pada suhu normal akan menyebabkan korteks serebri rusak menetap,
walaupun setelah itu kita dapat membuat jatung berdenyut kembali.1
Resusitasi dibagi menjadi beberapa tahap :
1. Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support)
2. Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Life Support)
3. Bantuan Hidup Perpanjangan (Prolonged Life Support)1

Resusitasi merupakan usaha untuk mengembalikan fungsi system pernapasan, peredaran


darah dan saraf yang terganggu ke fungsi yang optimal sehingga muncul istilah resusitasi jantung
paru (RJP). Resusitasi jantung paru dibagi dalam 3 tahap, yaitu (1) bantuan hidup dasar (BHD);
(2) bantuan hidup lanjut; (3) bantuan hidup jangka panjang.
Resusitasi jantung paru dan perawatan jantung darurat (CPR-ECC) harus
dipertimbangkan kapan saja saat seseorang tidak dapat mencukupi oksigenasi atau perfusi organ
vital — tidak hanya setelah henti jantung atau pernapasan. Bab ini menyajikan tinjauan umum
American Heart Association 2015 (AHA) yang merupakan pedoman pembaruan untuk
Resusitasi Kardiopulmoner dan Darurat Perawatan Kardiovaskular, yang memberikan
rekomendasi revisi untuk pembentukan dan mempertahankan "CABD" resusitasi
kardiopulmoner : Sirkulasi, Jalan napas, Pernafasan, dan Defibrilasi.2

2.1 Bantuan Hidup Dasar


Bantuan hidup dasar adalah usaha untuk memperbaiki dan / atau memelihara jalan napas,
pernapasan dan sirkulasi serta kondisi darurat yang terkait. Bantuan hidup dasar terdiri dari
penilaian awal, penguasaan jalan napas, ventilasi pernapasan dan kompresi dada. Urutan
langkah-langkah dalam resusitasi telah diubah sejak 2010 pedoman dari ABC (jalan nafas
dan pernapasan pertama, sebelum kompresi) ke CAB (kompresi terlebih dahulu, dengan
jalan nafas dan pernapasan dirawat kemudian). 3
Tindakan Awal
Setelah ditemukannya korban yang kolaps, tindakan medis pertama harus dilakukan
adalah menilai korban dan menentukan apakah korban tersebut sebenarnya responsif atau
tidak. Namun, sebelum mendekati korban yang kolaps, keamanan lingkungan harus dinilai
sepenuhnya apakah bahaya atau tidak. Keamanan sangat penting. Sebelum penolong dapat
membantu korban yang sakit atau terluka, pastikan bahwa tempat kejadian aman untuk
penolong dan orang yang berada di dekatnya, dan kumpulkan kesan awal tentang situasi ini.
Sebelum penolong mencapai korban, terus gunakan indera untuk mendapatkan kesan awal
tentang penyakit atau cedera dan kenali apa yang mungkin salah. Carilah tanda-tanda yang
mungkin mengindikasikan keadaan darurat yang mengancam jiwa seperti ketidaksadaran,
warna kulit abnormal atau pendarahan yang mengancam jiwa.
Begitu korban tercapai, evaluasi tingkat responsif korban. Ini terlihat jelas dari kesan
awal misalnya, korban bisa berbicara dengan penolong, atau korban mungkin mengeluh,
menangis, membuat suara lain atau bergerak. Jika korban responsif, mintalah persetujuan
korban, yakinkan korban dan coba cari tahu apa yang terjadi. Jika korban tersebut diam dan
tidak bergerak, dia mungkin tidak responsif. Untuk memeriksa responsif, tepuk bahu korban
dan berteriak, "Apakah Anda baik-baik saja?" Gunakan nama orang itu jika penolong
mengetahuinya. Berbicara dengan keras. Selain itu, gunakan AVPU untuk membantu
menentukan tingkat kesadaran korban. AVPU terdiri dari :
A - Alert/Awas: korban bangun, meskipun mungkin masih dalam keadaan bingung terhadap
apa yang terjadi.
V - Verbal/Suara: korban merespon terhadap rangsang suara yangdiberikan oleh penolong.
Oleh karena itu, penolong harus memberikan rangsang suara yang nyaring ketika melakukan
penilaian pada tahap ini.
P - Pain/Nyeri: korban merespon terhadap rangsang nyeri yang diberikan oleh penolong.
Rangsang nyeri dapat diberikan melalui penekanan dengan keras di pangkal kuku atau
penekanan dengan menggunakan sendi jari tangan yang dikepalkan pada tulang
sternum/tulang dada. Namun, pastikan bahwa tidak ada tanda cidera di daerah tersebut
sebelum melakukannya.
U - Unresponsive/tidak respon: korban tidak merespon semua tahapan yang ada di atas. Jika
korban tidak merespon, inilah saatnya untuk mencari pertolongan sebelum memulai ventilasi
dan kompresi dada. Selain itu, upaya harus dilakukan untuk mendapatkan defibrilator..4
Jalan Napas (Airway)
Selama keadaan aliran darah rendah seperti henti jantung, pengiriman oksigen ke jantung
dan otak dibatasi oleh aliran darah dibandingkan dengan kandungan oksigen arteri; dengan
demikian, pedoman saat ini menempatkan kompresi lebih penting dibandingkan dengan
pernapasan.
Pasien diposisikan terlentang pada permukaan yang keras. Setelah inisiasi kompresi dada,
jalan nafas dievaluasi. Jalan nafas paling umum terhalang oleh perpindahan posterior lidah
atau epiglotis. Jika ada tidak ada bukti ketidakstabilan tulang belakang leher, head-tilt chin-
lift dapat di coba terlebih dahulu.
Satu tangan (telapak tangan) diletakkan di dahi pasien tekanan untuk memiringkan kepala
ke belakang sambil mengangkat dagu dengan jari telunjuk dan jari tangan yang
berlawanan..2

Gambar 1 : Hilangnya kesadaran sering disertai dengan hilangnya nada otot submandibular
(A). Penyumbatan jalan nafas oleh lidah bisa berkurang head-tilt chin-lift (B) atau dorong
rahang (C). Pada pasien dengan kemungkinancedera tulang belakang leher, sudut rahang
harus diangkat ke anterior tanpa hiperekstensi leher.

Muntah atau benda asing apa pun yang terlihat di mulut pasien yang tidak sadar harus
disingkirkan. Jika pasien sadar atau benda asing tidak bisa dihilangkan oleh sapuan jari,
manuver Heimlich dapat dilakukan. Dengan cara mendorong perut subdiaphragmatic
mengangkat diafragma, mengeluarkan semburan udara dari paru-paru yang menggeser
benda asing. Komplikasi manuver Heimlich termasuk fraktur tulang rusuk, trauma pada
organ dalam, dan regurgitasi dengan aspirasi. Kombinasi pukulan punggung dan dada
direkomendasikan untuk membersihkan obstruksi benda asing pada bayi

Gambar 2 : Manuver Heimlich dapat dilakukan dengan korban berdiri (A) atau berbaring
(B). Tangan diposisikan sedikit di atas pusar dan di bawah proses xiphoid dan kemudian
ditekan ke perut dengan dorongan ke atas yang cepat. Manuver mungkin perlu diulang.
Jika setelah membuka jalan nafas, napas tetap tidak adekuat, penyelamat harus
memulai bantuan ventilasi dengan menggembungkan paru-paru korban setiap napas
menggunakan perangkat bag-mask. Napas dikirimkan secara perlahan-lahan (waktu inspirasi
½ -1 detik) pada laju sekitar 10 napas / menit, sehingga meminimalkan efek buruk pada
preload jantung.2
Dengan ventilasi tekanan positif, bahkan dengan VT yang kecil, inflasi lambung
dengan regurgitasi dan aspirasi dapat mungkin terjadi. Karena itu, secepatnya jalan nafas
harus diamankan dengan ETT, atau bila tidak memungkinkan jalan nafas alternatif harus
dimasukkan seperti LMA dan ETC. Selain itu, intubasi endotrakeal mungkin secara teknis
tidak mungkin dilakukan (misalnya, trauma wajah parah, trauma tulang belakang leher).
Dalam keadaan ini, cricothyrotomy atau tracheotomy dapat dilakukan Cricothyrotomy
melibatkan penempatan kateter intravena yang besar atau kanula yang tersedia secara
komersial ke dalam trakea melalui garis tengah membran krikotiroid.2

Ventilasi yang adekuat dinilai dengan pengamatan gerakan dinding dada dan auskultasi
bunyi napas. Komplikasi akut termasuk pneumotoraks, emfisema subkutan, emfisema
mediastinum, perdarahan, tusukan kerongkongan, aspirasi, dan asidosis pernapasan.
Komplikasi jangka panjang termasuk trakeomalacia, stenosis subglotic, dan perubahan pita
suara. Cricothyrotomy umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak yang lebih muda dari usia
10 tahun.2
Berikut ini maneuver yang membantu membuka jalan napas dengan cara menggeser
mandibula dan lidah secara mekanis.7
 Manuver Head Tilt-Chin Lift
Head tilt-chin lift biasanya merupakan manuver pertama yang dicoba jika tidak ada
kekhawatiran akan cedera pada tulang belakang servikal. Head tilt dilakukan dengan
ekstensi leher secara lembut, yaitu menempatkan satu tangan di bawah leher korban dan
yang lainnya di dahi lalu membuat kepala dalam posisi ekstensi terhadap leher. 7
 Manuver Jaw Thrust
Jaw thrust adalah metode paling aman untuk membuka jalan napas jika ada kemungkinan
cedera tulang belakang servikal. Ini membantu mempertahankan tulang belakang servikal
dalam posisi netral selama resusitasi. Penolong yang diposisikan di kepala korban,
meletakkan tangan di sisi wajah korban, menjepit rahang bawah pada sudutnya, dan
mengangkat mandibula ke depan. Siku penolong bisa diletakkan di permukaan tempat korban
berada kemudian mengangkat rahang dan membuka jalan napas dengan gerakan kepala
minimal.7

Pernapasan (Breathing)
Penilaian pernapasan spontan harus segera dilakukan saat menilai jalan napas. Kompresi
dada dan ventilasi tidak boleh ditunda untuk intubasi jika jalan nafas paten dengan jaw-
thrust; intubasi dapat terjadi selama CPR atau pemeriksaan denyut nadi. Apnea dapat dinilai
dari kurangnya gerakan dada, tidak adanya suara nafas, dan kurang aliran udara.
Penggunaan bag-mask dapat dilakukan pada pasien apnu. Bantuan napas berhasil bila nilai
volume tidal mencapai 400 – 700 mL , 8-10 kali per menit pada orang dewasa dengan jalan
napas yang aman dan rasio kompresi 30 kali dan ventilasi 2 kali ventilasi jika jalan napas
tidak aman, hal ini dapat dilihat dengan mengamati naik turunnya dada setiap napas,
mendengarkan dan merasakan pernapasannya saat ekspirasi.2
Pernapasan Agonal dalam korban yang baru saja mengalami serangan jantung tidak
dianggap memadai. Pernapasan agonal adalah napas yang terisolasi atau terengah-engah
yang terjadi tanpa adanya pernapasan normal pada korban yang tidak sadar. Napas ini bisa
terjadi setelah jantung berhenti berdetak dan dianggap sebagai tanda serangan jantung. Jika
korban menunjukkan pernapasan agonal, perlu dilakukan perawatan korban seolah-olah dia
sama sekali tidak bernapas. Ventilasi tekanan positif intermiten, jika memungkinkan dengan
udara yang diperkaya oksigen, harus dimulai.4
Teknik Ventilasi
Ada sejumlah teknik untuk melakukan ventilasi termasuk mulut ke mulut, mulut ke
hidung, mulut ke stoma, mulut ke mask. Waktu inspirasi penolongan dari masing-masing 1
1/2 sampai 2 detik harus diberikan selama 10 sampai 12 per menit, dengan volume yang
cukup untuk membuat dada naik 800-1200 mL di sebagian besar orang dewasa. Terlalu
besar volume atau terlalu cepat kecepatan aliran inspirasi akan menyebabkan distensi
lambung, yang dapat menyebabkan regurgitasi dan aspirasi. Udara ekspirasi memiliki FiO2
16 sampai 17 persen. Oksigen tambahan harus diberikan sesegera mungkin.7
 Mulut ke Mulut
Dengan jalan napas terbuka, hidung korban harus ditutup dengan hati-hati dengan
jempol dan jari telunjuk penolong. Hal ini untuk mencegah udara keluar. Setelah menarik
napas dalam-dalam, penolong meletakkan bibirnya di sekitar mulut korban. Penolong
perlahan mengembuskan napas dan berikan waktu yang cukup untuk pernapasan pasif
oleh korban lalu ulangi prosedurnya.7
Saat memberi ventilasi, jika dada tidak naik setelah bantuan napas pertama, buka
kembali jalan napas dan coba napas kedua. Jika napas tidak berhasil, kembalilah
langsung ke penekanan dan periksa jalan napas untuk mendapatkan obstruksi sebelum
mencoba ventilasi berikutnya. Jika terjadi penyumbatan, keluarkan dan coba ventilasi.
Dengan ventilasi mulut ke mulut, korban mendapat konsentrasi oksigen sekitar 16 persen
dibandingkan dengan konsentrasi oksigen ambien udara sekitar 20 persen. Memberikan
ventilasi individual dapat membantu mempertahankan tingkat konsentrasi oksigen ini.
Namun, jika penolong tidak menarik napas di antara ventilasi, ventilasi kedua mungkin
mengandung konsentrasi oksigen 0 persen dengan konsentrasi tinggi karbon dioksida
(CO2).4
 Mulut ke Hidung
Terkadang pada trauma maksilaofagus berat, ventilasi dari mulut ke hidung lebih
efektif. Dengan jalan napas terbuka, penolong mengangkat rahang korban lalu menutup
mulutnya. Setelah menarik napas dalamdalam, penolongan menempatkan bibirnya di
sekitar hidung korban dan perlahan mengembuskan napas.7
 Mulut ke Stoma atau Trakeostomi
Setelah laringektomi atau trakeostomi, stoma atau trakeostomi menjadi jalan
napas korban. Seperti teknik sebelumnya, napas diberikan melalui tabung stoma atau
trakeostomi, dan penolongan perlahan menghembuskan napas.7
 Mulut ke Sungkup Muka
Penempatan sungkup muka dengan benar dan aman di wajah korban adalah
penting saat menggunakan sungkup muka untuk ventilasi. Entah dengan bag atau via
mulut ke sungkup muka. Sungkup muka harus menutupi hidung dan mulut korban.
Pastikan untuk menggunakan yang sesuai dengan ukuran korban dan pastikan
menempatkan dan menutup sungkup muka dengan benar sebelum meniup sungkup muka.
Penolong menempatkan ibu jari pada bagian sungkup muka yang terletak di hidung
korban dan meletakkan jari telunjuk dari tangan yang sama pada bagian sungkup muka
yang terletak di dagu korban. Tiga jari lainnya dari tangan yang sama kemudian
diletakkan di sepanjang pinggiran rahang. Sungkup muka kemudian bisa ditutup rapat ke
wajah korban. Dua tangan dapat digunakan untuk teknik ini jika tersedia penolong kedua.
Ventilasi kemudian dilakukan melalui sungkup muka.7

Sirkulasi (Ciculation)
Sirkulasi lebih diutamakan daripada intervensi jalan nafas pada pasien henti jantung.
Seperti disebutkan sebelumnya, kompresi dada harus dilakukan terlebih dahulu sebelum
bantuan napas.
Jika pasien memiliki denyut nadi yang adekuat (arteri karotis pada orang dewasa atau
anak, arteri brakialis atau femoralis pada bayi) atau tekanan darah yang adekuat, maka
pernapasan dilanjutkan 10 - 12 napas / menit untuk orang dewasa atau anak di atas 8 tahun,
dan 20 tahun napas / menit untuk bayi atau anak di bawah 8 tahun. Jika nadi pasien tidak
teraba atau sangat hipotensi, sistem peredaran darah harus didukung oleh kombinasi
kompresi dada eksternal, obat intravena, dan defibrilasi bila perlu.

Kompresi Dada Eksternal (External Chest Compression)


Kompresi dada akan memaksa darah mengalir dengan meningkatkan tekanan intra
torakal (pompa toraks) atau dengan langsung menekan jantung (pompa jantung). Selama
RJP berdurasi pendek, aliran darah lebih banyak diciptakan oleh mekanisme pompa jantung.
Pentingnya tingkat dan kekuatan kompresi adalah untuk menjaga aliran darah, perfusi yang
efektif pada jantung dan otak adalah saat kompresi dada mencapai 50% siklus, dengan 50%
sisanya dikhususkan untuk fase relaksasi (memungkinkan darah kembali ke dada dan
jantung).
Untuk melakukan kompresi dada pada pasien yang tidak responsif atau denyut nadi tidak
ada , tumit tangan penyelamat ditempatkan di bagian setengah dari bawah sternum. Tangan
yang lain diletakkan di atas tangan di atas tulang dada dengan jari-jari terjalin. Bahu
penolong harus diposisikan langsung di atas tangan dengan siku terkunci dan lurus sehingga
berat badan bagian atas digunakan untuk kompresi. Dengan dorong lurus ke bawah, tulang
dada tertekan sekitar 2 inchi (5 cm) pada orang dewasa, 1 hingga 1½ inchi (2-4 cm), untuk
bayi kompresi ½ - 1 inchi (1½ – 2½ cm) dengan menggunakan jari tengah dan jari manis
satu jari di bawah garis papilla mamae. Kompresi dan waktu rilis harus sama.
Resusitasi pada orang dewasa dapat dilakukan oleh satu atau dua penolong, dengan
memberikan 30 kompresi dada dan 2 kali ventilasi. Ventilasi diberikan dengan jarak waktu
3- 4 detik tiap napasnya. Laju kompresi dada yang harus di capai adalah 100 kali per menit.2
Jumlah kompresi dada yang diberikan per menit saat RJP berlangsung adalah faktor
penentu utama kondisi RSOC (return of spontaneous circulation) dan kelangsungan hidup
dengan fungsi neurologis yang baik.8 Untuk korban dewasa, RJP terdiri dari 30 penekanan
dada diikuti 2 ventilasi. Dengan satu penolong, ventilasi harus diberikan setelah setiap 15
penekanan. Dengan dua regu penolong, ventilasi harus diberikan setelah setiap penekanan
kelima. Penting bagi penolong untuk tidak bertumpu di atas dada di antara kompresi untuk
memberi kesempatan rekoil di antara setiap penekanan sehingga memungkinkan darah
mengalir kembali ke jantung mengikuti penekanan.4

Penggunaan Automated External Defibrillator (AED)


Automated external defibrillator (AED) aman dan efektif bila digunakan oleh orang
awam dengan pelatihan minimal atau tidak terlatih. Disarankan bahwa program AED untuk
korban dengan OHCA diterapkan di lokasi umum tempat adanya kemungkinan korban
serangan jantung terlihat relatif tinggi (misalnya, bandara dan fasilitas olahraga). Terdapat
bukti mengenai perbaikan tingkat kelangsungan hidup korban setelah serangan jantung bila
penolong melakukan RJP dan dengan cepat menggunakan AED. Dengan begitu, akses cepat
ke defibrilator merupakan komponen utama dalam sistem perawatan. AED memungkinkan
untuk mengalami defibrilasi beberapa menit sebelum bantuan profesional tiba. Penyedia RJP
harus melanjutkan RJP saat memasang AED dan selama penggunaannya. Standar AED
sesuai untuk digunakan pada anak-anak di atas 8 tahun. Agar AED efektif, penolong harus
menggunakannya dengan benar dengan melakukan hal berikut:4
 Hidupkan dulu.
 Pastikan dada pasien terekspos dan kering. Jika perlu, lepaskan atau potong pakaian
dalam yang mungkin menghalangi. Bantalan harus dipatuhi kulit agar syok bisa diantar
ke jantung.
 Letakkan pads berukuran sesuai untuk usia pasien di dada. Tempatkan satu pad di dada
kanan atas di bawah klavikula kanan sebelah kanan sternum, tempatkan pad yang lain di
sebelah kiri sisi dada pada midaxillary line beberapa inci di bawah ketiak kiri.
 Colokkan konektornya, dan tekan tombol analisa, jika perlu.
 Beritahu semua orang untuk "clear" sementara AED menganalisis untuk memastikan
analisis yang akurat. Pastikan tidak ada yang menyentuh pasien selama analisis atau
kejutan.
 Saat "clear" diumumkan, penolong berhenti melakukan kompresi dan melayang beberapa
inci di atas dada, namun tetap dalam posisi untuk melanjutkan penekanan segera setelah
kejutan diantarkan.
 Amati analisis AED dan siapkan kejutan untuk disampaikan jika disarankan. Minta
penyelamat di posisi siap untuk segera melanjutkan kompresinya setelah kejutan
disampaikan atau AED menyarankan agar kejutan tidak diindikasikan.
 Kirimkan kejutan dengan menekan tombol kejutan, jika diindikasikan.
 Setelah terjadi kejutan, segera mulailah kompresi dan lakukan 2 menit RJP (sekitar 5
siklus 30:2) sampai AED meminta agar analisis ulang, pasien menunjukkan tanda ROSC
atau penolong diinstruksikan oleh pemimpin tim atau personil yang lebih profesional
untuk berhenti.
 Jangan menunggu AED untuk segera memulai RJP setelah pesan mengejutkan atau tidak
ada kejutan.
2.2 Bantuan Hidup Lanjut
Bantuan Hidup Lanjut (BHL) merupakan tindakan yang dilakukan secara simultan
dengan spontan sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan dapat segera dipulihkan dan
dipertahankan. BHL memiliki tiga tahapan, yaitu terapi obat dan cairan, electrokardiografi,
dan terapi fibrilasi.5
Dalam kasus henti jantung, terapi obat dan cairan merupakan terapi yang paling penting
setelah teknik kompresi dada dan defibrilasi. Walaupun terapi obat dan cairan itu penting,
pemberiannya jangan sampai mengganggu tindakan kompresi dada dan ventilasi. Dalam
melakukan terapi obat dan cairan tentunya harus dipikirkan juga jalur masuknya obat dan
cairan. Jalur yang sering digunakan dalam resusitasi adalah jalur intravena dan
intraosseous.3 Di bawah ini akan dijelaskan mengenai terapi obat dan cairan yang meliputi
jalur masuknya obat dan cairan dan jenis obat serta cairan yang digunakan dalam bantuan
hidup lanjut.8

Pemberian Obat-Obatan dan Cairan


Dalam kasus henti jantung, terapi obat dan cairan merupakan terapi yang paling penting
setelah teknik kompresi dada dan defibrilasi. Walaupun terapi obat dan cairan itu penting,
pemberiannya jangan sampai mengganggu tindakan kompresi dada dan ventilasi. Dalam
melakukan terapi obat dan cairan tentunya harus dipikirkan juga jalur masuknya obat dan
cairan. Jalur yang sering digunakan dalam resusitasi adalah jalur intravena dan intraosseous.
Atropin tidak termasuk sebagai obat untuk aktivitas kelistrikan / asistol dalam
pedoman CPR-ECC yang baru; Namun, tetap digunakan untuk bradikardia simptomatik.
Infus obat kronotropik (dopamine, epinferin, isoproterenol) dapat diberikan sebagai
alternative atropine.2
Terapi cairan intravena dengan larutan koloid atau garam seimbang adalah diindikasikan
pada pasien dengan penurunan volume intravaskular (misalnya, kehilangan darah akut,
ketoasidosis diabetikum, luka bakar termal). Cairan yang mengandung Dextrose dapat
menyebabkan diuresis hyperosmotic dan dapat memperburuk hasil neurologis. Mereka
seharusnya dihindari kecuali diduga hipoglikemia. Begitu juga dengan pemberian cairan
(misalnya, D5W) dapat menyebabkan edema serebral.2
Obat-obatan
Obat-obatan yang digunakan dalam BHL ini seperti yang sudah disebutkan sebelumnya
memiliki banyak jenis. Namun, obat-obatan yang penting untuk diberikan dalam BHL, yaitu
adrenalin, amiodaron, atropine, lidokain, kalsium, magnesium, dan natrium bikarbonat.
1. Adrenalin
Adrenalin atau epinefrin merupakan obat yang harus segera diberikan pada pasien
yang mengalami henti jantung selama kurang dari dua menit dan disaksikan. Adrenalin
termasuk golongan katekolamin yang bekerja pada reseptor alfa dan beta sehingga
menyebabkan vasokonstriksi perifer melalui reseptor alfa adrenergik. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian adrenalin dengan dosis tinggi pada
penderita henti jantung dapat memberikan perbaikan klinis (Return of Spontaneous
Circulation) dibandingkan dengan pemberian dengan dosis standar. Indikasi pemberian
adrenalin adalah pada pasien dengan asistol dan PEA (Pulseless Electrial Activity) dan
fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi yang gagal dengan terapi
defibrilasi.
Adrenalin pada kasus asistol atau PEA diberikan sejak siklus pertama dan diulang
setiap 2 siklus berakhir. Sedangkan pada kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel
tanpa nadi, adrenalin diberikan setelah defibrilasi pertama gagal (setelah defibrilasi
kedua dan diulang kembali setiap 2 siklus berakhir).
Dosis yang diberikan untuk dewasa adalah 0.5-1.0 mg secara intravena atau dapat
diencerkan dengan akuades menjadi 10 ml. Dosis yang digunakan pada anakanak yaitu
10 mcg/kgBB. Adrenalin juga dapat diberikan intratrakea melalui pipa endotrakea (1 ml
adrenalin 1:1.000 diencerkan dengan 9 ml akuades steril). Pemberiannya dapat diulang
setelah 3-5 menit pemberian pertama dengan dosis sama seperti dosis pertama. Setelah
ROSC, untuk mencapai tekanan darah adekuat, adrenalin dapat diberikan 1-20
mcg/menit lewat infus kateter sentral sesegera mungkin.
Menurut AHA 2015, penelitian acak terhadap orang dewasa di luar rumah sakit
mendapatkan bahwa penggunaan epinefrin berkaitan dengan peningkatan ROSC dan
ketahanan hidup bagi pasien yang akan memasuki rumah sakit, tapi tidak berkaitan
untuk pasien yang akan dipulangkan. Penggunaan epinefrin sewaktu serangan jantung
merupakan hal yang wajar namun pemberiannya bukan sebuah keharusan karena
rekomendasi tentang pemberian epinefrin selama serangan jantung telah diturunkan
sedikit pada Kelas Rekomendasi. Pemberian adrenalin memiliki efek yang merugikan,
yaitu takiaritmia, hipertensi berat setelah tindakan resusitasi, dan nekrosis jaringan jika
terjadi ekstravasasi. Pemberian adrenalin yang dikombinasikan dengan vasopressin
tidak menimbulkan gejala klinis yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian
adrenalin itu sendiri, sehingga pemberian adrenalin sebaiknya tidak perlu
dikombinasikan dengan vasopressin.
2. Amiodaron
Amioidaron merupakan anti-aritmia yang memiliki efek pada kanal natrium, kalium,
kalsium, dan juga memblokade reseptor alfa dan beta adrenergik. Amiodaron sendiri
memiliki farmakokinetik dan farmakologik yang kompleks. Penelitian menunjukkan
bahwa pemberian amiodaron setelah pemberian adrenalin dapat meningkatkan ROSC
dibandingkan dengan tidak diberikan amiodaron. Amiodaron diberikan kepada pasien
dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi tanpa nadi. Obat ini diberikan diantara
fibrilasi ketiga dan keempat pada pasien yang tidak merespon dengan pemberian
vasopressor dan terapi defibrillator.
Dosis pemberian amiodaron adalah sebagai berikut: 300 mg bolus untuk pemberian
pertama kali dan kemudian dapat ditambah 150 mg. Selanjutnya, pemberian amiodaron
dapat dilanjutkan dengan pemberian melalui infus dengan dosis pemberian 15 mg/kgBB
selama 24 jam. Pemberian amiodaron ini juga dapat dipertimbangkan sebagai
profilaksis kambuhnya fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel. Amiodaron memiliki
efek hipotensi dan bradikardi, sehingga pemberiannya perlu diperhatikan.
3. Atropine
Sulfas atropine meningkatkan konduksi atrioventricular dan automatisitasnodus
sinus dengan efek vagolitik. Atropine diindikasikan pada kasus bradikardia yang
disertai dengan hipotensi, ventricular ektopi, atau gejala yang berhubungandengan
iskemia miokardium. Atropine juga dapat diberikan sebagai terapi pada second-
degree heart block, third-degree heart block, dan irama idioventricular lambat.
Atropin sering digunakan pada kasus henti jantung dengan elektrokardiografi (EKG)
asistol atau PEA. Tidak ada penelitian yang menunjukkan secara pasti penggunaan
atropine meningkatkan prognosis pada kasus henti jantung irama asistol atau
bradisitolik. Penanganan kasus asistol atau PEA yang paling efektif adalah dengan
melakukan kompresi dada, ventilasi, dan epinefrin karena dapat meningkatkan
perfusi arteri koroner dan oksigenasi miokardium. Henti jantung dengan irama
asistol memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan irama lainnya.
Oleh karena atropine memiliki efek samping yang sangat sedikit, maka penggunaan
atropine pada kasus henti jantung dapat dipertimbangkan selain penggunaan
epinefrin dan oksigenasi. Namun penggunaan secara rutin pada kasus henti jantung
tidak direkomendasikan.
Dosis yang direkomendasikan pada kasus bradikardia untuk dewasa adalah 0.5
mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis yang diberikan 3 mg. Untuk anak anak
dapat diberikan dengan dosis 0.02 mg/kgBB dengan minimum dosis 0.1 mg dan
dosis maksimal 1 mg (anak-anak), 3 mg (remaja) yang dapat diulang setiap 3- 5
menit. Dosis pemberian atropine pada kasus irama tanpa denyut untuk orang dewasa
adalah 1 mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis 3 mg. Perlu diperhatikan bahwa
pemberian atropine dapat menyebabkan irama sinus takikardia setelah resusitasi.
4. Kalsium
Kalsium memegang peranan penting dalam aktivitas saraf dan otot normal.
Kalsium biasanya diberikan pada pasien dengan hiperkalemia, hipokalsemia, dan
overdosis obat kalsium channel blocker. Kalsium sangat diperlukan pada kasus henti
jantung karena disosiasi elektromekanis setelah gagal memulihkan sirkulasi dengan
pemberian adrenalin. Kalsium ini juga diperlukan bila henti jantung disebabkan oleh
karena obat-obatan yang menekan otot jantung. Efek samping dari pemberian
kalsium ini adalah kemungkinan cedera miokardiak dan otak dengan kematian sel-sel
miokardiak dan otak serta dapat mengakibatkan nekrosis jaringan dengan
ekstravasasi.
Dosis yang biasanya digunakan pada resusitasi orang dewasa adalah 5-10 ml dari
10% kalsium klorida dihidrat. Atau dapat juga menggunakan sediaan kalsium dengan
dosis 10 ml dari 10% kalsium glukonas.
5. Lidokain
Lidokain termasuk dalam golongan natrium channel blocker yang biasanya
digunakan sebagai alternatif anti-aritmia. Pemberian lidokain tidak dapat
meningkatkan ROSC secara konstan dan tidak berhubungan dengan perbaikan klinis
pasien untuk dapat dipulangkan dari rumah sakit. Dibandingkan amiodaron,
efektivitas lidokain sedikit lebih rendah dalam pencapaian ROSC pada pasien dengan
fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi yang tidak respon terhadap RJP, defibrilasi,
dan vasopressor.
Dosis pemberian lidokain dibagi menjadi sebagai berikut : dosis awal diberikan 1
mg/kgBB bolus yang dapat ditambah 0.5 mg/kgBB selama resusitasi. Pemberian
infus lidokain untuk ROSC tidak direkomendasikan. Efek samping dari pemberian
lidokain adalah bicara tidak jelas (slurred speech), penurunan kesadaran, kejang,
hipotensi, bradikardi, dan asistol.
Menurut AHA 2015, tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung penggunaan
lidokain secara rutin setelah serangan jantung. Namun, inisiasi atau kelanjutan
lidokain dapat dipertimbangkan segera setelah ROSC dari serangan jantung akibat
fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel. Penelitian pada pasien yang selamat dari
serangan jantung menunjukkan adanya penurunan dalam insiden fibrilasi ventrikel
atau takikardi ventrikel berulang, namun tidak menunjukkan manfaat maupun
kerugian jangka panjang.
6. Magnesium
Magnesium merupakan vasodilator dan berperan sebagai kofaktor dalam regulasi
natrium, kalium, dan kalsium melewati membrane sel. Magnesium tidak dapat
mengembalikan sirkulasi spontan pada pasien dengan henti jantung dan juga tidak
memberikan perbaikan klinis atau neurologis sehingga pemberian magnesium tidak
direkomendasikan. Magnesium diberikan pada kasus hipomagnesemia, hypokalemia,
henti jantung yang disebabkan oleh toksisitas digoxin, kasus fibrilasi ventrikel atau
takikardi ventrikel tanpa nadi, dan torsade de pointes.
Dosis yang diberikan adalah 5 mmol magnesium yang dapat diulang 1 kali
kemudian diberikan intravena sebanyak 20 mmol/4 jam. Efek samping yang dapat
ditimbulkan adalah dapat menyebabkan lemah otot dan gagal napas pada
penggunaan kalsium yang berlebihan.
7. Natrium Bikarbonat
Natrium bikarbonat merupakan larutan alkalin yang bercampur dengan ion
hydrogen membentuk asam karbonat lemah. Pada kasus henti jantung, resusitasi
jantung-paru yang efisien dan ventilasi yang adekuat dapat mengurangi penggunaan
natrium bikarbonat. Sebagian besar penelitian menyatakan tidak ada keuntungan dari
pemberian natrium bikarbonat pada pasien henti jantung sehingga pemberian natrium
bikarbonat secara rutin pada pasien dengan henti jantung tidak direkomendasikan.
Dosis awal pemberian natrium bikarbonat adalah 1 mmol/kg yang diberikan
selama 2-3 menit. Pemberian obat ini dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
analisis gas darah untuk memantau koreksi asidosis metabolik, sehingga pemberian
bikarbonat selanjutnya bisa digunakan rumus seperti berikut: Dosis bikarbonat =
defisit basa x 0.25 berat badan. Pemberian natrium bikarbonat dipertimbangkan
diberikan pada pasien dengan hyperkalemia, terapi asidosis metabolik yang sudah
terdokumentasi, terapi pada overdosis trisiklik anti depresan, dan protracted arrest
(lebih dari 15 menit).
Efek samping pemberian natrium bikarbonat adalah alkalosis metabolik,
hypokalemia, hypernatremia, hyperosmolar. Pemberian natrium bikarbonat
kontraindikasi pada kasus asidosis intraseluler karena dapat semakin memperparah
asidosis jika karbon dioksida yang dihasilkan natrium bikarbonat masuk kedalam sel.
Natrium bikarbonat dan adrenalin atau kalsium tidak boleh dicampurkan bersamaan
karena dapat saling menginaktivasi, mengendap, dan menyumbat jalur intravena.

Cairan
Pemberian cairan IV selama resusitasi darurat dan bantuan hidup paska resusitasi memiliki
tujuan sebagai berikut:
1. Mengembalikan volume darah sirkulasi normal setelah kehilangan cairan,
penggunaan kombinasi larutan yang mengandung elektrolit, koloid, dan sel darah
merah. Infus garam isotonik atau koloid yang cepat dan masif dapat menyelamatkan
nyawa, terutama pada kasus perdarahan luar atau dalam yang berat.
2. Mengekspansi volume darah sirkulasi normal setelah henti jantung dengan cairan
kira-kira 10% volume darah taksiran (10 ml/kgBB) guna mengganti volume darah
relatif akibat vasodilatasi, penimbunan di vena, dan kebocoran kapiler.
3. Mempertahankan jalur intravena terbuka untuk pemberian obat dan sekaligus
memberikan hidrasi dasar dan kebutuhan glukosa.
4. Mengatur cairan intravena dalam tubuh agar memperoleh komposisi darah optimal,
yaitu kadar elektrolit, osmolaritas, dan tekanan osmotik koloid normal, albumin
serum (3-5 gr/dl); hematokrit (30-40%), dan glukosa serum (100-300 mg/dl).
Pada pasien syok hipovolemik tanpa henti jantung, atau pada masa paska henti
jantung, diperlukan monitoring tekanan arteri, aliran urin, dan tekanan vena sentral untuk
menuntun penggantian volume. Jenis cairan yang dipilih, yaitu kristaloid (Ringer Laktat dan
NaCl 0.9%) atau koloid, yang dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi.
Jalur Obat-obatan dan Cairan
1. Jalur Intravena Perifer
Meskipun membuat akses intravena adalah prioritas tinggi, itu tidak harus
diutamakan daripada kompresi dada di awal, manajeman jalan napan, atau defibrilasi.
Kateter jugular internal atau subklavikula ideal untuk akses vena selama resusitasi. Jika
tidak ada akses, harus diupayakan untuk membuat jalur intravena perifer di vena jugular
antekubital atau vena jugular eksterna. Jika pemasangan jalur vena perifer sulit untuk
dilakukan, penyuntikan adrenalin pertama secara intravena dapat dilakukan. Penyuntikan
dilakukan menggunakan jarum kecil di vena perifer. Lokasi intravena perifer
berhubungan dengan keterlambatannya pengiriman obat ke jantung 1 – 2 menit karena
aliran darah di perifer secara drastis menurun saat CPR dan pemberian obat dengan jalur
ini harus diikuti dengan pemberian cairan intravena secara bolus 20 mL pada dewasa atau
elevasi ektremitas 10 – 20 derajat agar kerja obat lebih dipercepat. 2
2. Jalur Intraosseous
Bila kanulasi intravena sulit dilakukan, infus intraosseous dapat dilakukan saat
keadaan darurat pada dewasa dan anak. Rute ini efektif dalam penyaluran obat, kristaloid,
koloid. Namun, pemberian obat-obatan melalui jalur ini akan sedikit lebih lambat
dibandingkan dengan jalur intravena sehingga dosis obat yang diberikan harus sedikit
lebih banyak dibandingkan dengan dosis yang dianjurkan dalam pemberian melalui jalur
intravena. Jalur intraosseous tidak dapat digunakan terus menerus sebagai jalur untuk
pemberian obat dan cairan karena dapat meningkatkan resiko terjadinya osteomyelitis
dan sindrom kompartemen. Penggunaan infus intraoseus dapat digunakan untuk induksi
dan pemeliharaan anestesi umum, terapi antibiotik, kontrol kejang, dan dukungan
inotropik.
Angka kesuksesan pemasangan jalur intraosseous pada orang dewasa terbilang
cukup rendah, namun masih dapat dilakukan pada tibia dan pada distal radius dan ulna.
Jarum spinal yang rigid dan berukuran 16-18 gauge dengan stylet atau jarum khusus
spinal dapat digunakan pada distal femur dan anterior proksimal tibia. Jika melakukan
pemasangan jalur intraosseous di tibia, maka jarum ditusukkan 2-3 cm dibawah
tuberositas tibia dengan sudut 90° menuju bagian tengah tulang atau sedikit inferior
untuk menjauhi epifisis. Pemasangan dikatakan berhasil jika jarum dapat berdiri tegak
tanpa penyangga dan sumsum tulang dapat diaspirasi melalui jarum yang terpasang

Gambar 4 : Infus intraoseus memberikan akses darurat ke sirkulasi vena pada pasien anak-
anak melalui saluran vena meduler yang besar. Jarum diarahkan menjauh dari lempeng
epifisis untuk meminimalkan risiko cedera.
3. Jalur Endotrakeal
Dalam beberapa kasus resusitasi jantung-paru, terkadang pemasangan kateter
pada vena perifer atau intraosseous secara cepat sulit untuk dilakukan sehingga jalur
endotrakeal ini dapat dijadikan alternatif. Jalur endotrakeal dapat dilakukan selama
terdapat pipa endotrakeal dan pasien tidak sedang menggunakan laryngeal mask airway
(LMA). Hanya beberapa obat yang dapat diberikan melalui jalur intrapulmonum. Obat-
obatan itu meliputi lidokain, epinephrine, atropine, naloxone, dan vasopressin (kecuali
natrium bikarbonat). Jalur intrapulmonum ini tidak direkomendasikan untuk rutin
dilakukan pada keadaan darurat. Jalur yang direkomendasikan dalam resusitasi jantung-
paru adalah jalur intravena dan intraosseous.9
Pemberian obat melalui jalur intrapulmonum ini memiliki kecepatan yang kurang
efektif dibanding jalur intravena atau intraosseous serta jumlah obat yang masuk secara
sistemik melalui jalur ini tidak konsisten. Sehingga dosis yang diberikan 3-10 kali lebih
banyak dibanding dengan dosis yang dianjurkan untuk jalur intravena. Obat-obatan
tersebut kemudian dilarutkan dalam 10 ml normal salin. Obat-obatan selain yang
disebutkan sebelumnya tidak boleh diberikan melalui jalur endotrakeal karena dapat
menyebabkan kerusakan pada mukosa atau alveolar. Menurut AHA 2015, dikatakan
bahwa tidak ada cukup bukti yang mendukung penggunaan atropin secara rutin untuk
mencegah terjadinya bradikardia pada intubasi pediatrik darurat.9
4. Jalur Vena Sentral
Jalur vena sentral sebaiknya dilakukan segera setelah kembalinya sirkulasi
spontan sehingga tekanan vena sentral dapat dikontrol. Nilai normal dari tekanan vena
sentral adalah 3-10 mmHg. Pembuluh vena yang biasanya digunakan untuk pemasangan
kateter vena sentral adalah vena kava superior melalui vena jugularis interna kanan.
Cara pemasangan kateter vena sentral melalui vena jugularis interna kanan
dimulai dengan melakukan prosedur asepsis pada daerah yang akan dipasang kateter vena
sentral sambil mempersiapkan alat yang dibutuhkan untuk memasang kateter vena
sentral. Setelah itu, putar kepala pasien kearah kiri, palpasi arteri karotis dengan sebelah
tangan dan memasukkan jarum kateter tepat pada lateral arteri karotis, dalam bidang
paramedian, 45° kaudal, menembus kulit pada puncak segitiga yang dibentuk oleh dua
bagian otot sternokleidomastoideous. Emboli udara harus dicegah pada semua kanulasi
vena sentral dengan upaya sebagai berikut: kepala pasien sedikit lebih rendah..6

Elektrokardiorafi
Alat pantau elektrokardiografi (EKG) adalah alat pantau standar yang wajib disediakan di
masing-masing unit gawat darurat karena diagnostik henti jantung mutlak harus ditegakkan
melalui pemeriksaan EKG. Gambaran EKG sangat menentukan langkah-langkah terapi
pemulihan yang akan dilakukan. Ada tiga pola EKG pada henti jantung, yaitu asistol
ventrikel, Pulseless Electrical Activity (PEA), dan fibrilasi ventrikel.
1. Asistol Ventrikel
Asistol ventrikel merupakan ketiadaan denyut jantung dengan gambaran EKG
yang isoelektris. Paling sering disebabkan oleh hipoksia, asfiksia, dan blok jantung.
2. Pulseless Electrical Activity
PEA merupakan gambaran EKG yang sering ditemukan pada anak-anak dan
biasanya dikaitkan dengan prognosis yang buruk. PEA adalah suatu keadaan dimana
tidak terabanya denyut nadi ketika irama jantung masih terdeteksi oleh EKG. Terdapat
jenis-jenis PEA, yaitu disosiasi elektromekanik (EMD), disosiasi
pseudoelektromekanik, irama idioventrikular, irama ventricular escape, irama
bradiasistolik, dan irama idioventrikular postresusitasi. EMD merupakan gambaran
EKG yang paling sering muncul.
EMD merupakan salah satu jenis dari PEA dimana terdapat gambaran ketiadaan
denyut dengan EKG agonal (aneh atau abnormal) atau kadang relative normal tetapi
tidak terdapat pola QRS yang khas. Mekanisme kontraksi tidak efektif sehingga denyut
nadi tidak teraba.1 Disosiasi pseudoelektromekanik merupakan keadaan dimana denyut
nadi tidak teraba namun masih ditemukan denyut jantung pada gambaran EKG dengan
ETCO2 yang tinggi. Disosiasi pseudoelektromekanik memiliki prognosis yang lebih
baik dibandingkan dengan EMD. Irama ventricular escape adalah adanya denyut
ventrikel setelah hilangnya nodus atrial sehingga gambaran EKG akan menunjukkan
adanya gelombang QRS disertai dengan tidak adanya gelombang p. Irama bradiasistolik
merupakan irama jantung yang terdapat irama ventricular kurang dari 60 kali per menit
pada dewasa atau tidak adanya denyut jantung.3 Sedangkan irama idioventrikular
postresusitasi dikarakterisasi dengan adanya aktivitas gelombang yang teratur yang
terlihat segera setelah dilakukan cardioversion pada kasus dimana sebelumnya tidak ada
denyut yang teraba

Disosiasi Elektromekanik
Irama Idioventrikular

Irama Ventricular Escape


3. Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel merupakan keadaan gerak getar ventrikel jantung secara
kontinu dan tidak teratur sehingga tidak bisa memompakan darah ke seluruh tubuh.
Gambaran EKG akan tampak osilasi yang khas kompleks QRS. Irama jantung ini paling
sering menyebabkan kematian jantung mendadak. Penyebab dari fibrilasi ventrikel
dibedakan menjadi dua, primer dan sekunder. Mekanisme dari penyebab tersebut masih
belum diketahui dengan pasti. Penyebab primer yang paling sering adalah iskemik otot
jantung, reaksi obat, tersengat listrik, dan kateterisasi pada jantung yang iritatif.
Sedangkan penyebab sekunder adalah usaha resusitasi pada asistol karena asfiksia,
tenggelam, dan akibat perdarahan.

Fibrilasi Ventrikel

4. Takikardi Ventrikel
Takikardi ventrikel merupakan takikardi yang bersumber dari ventrikel. Potensi
menjadi aritmia yang fatal sangat tinggi akibat menurunnya curah jantung dan gagal
sirkulasi. Definisi dari takikardi ventrikel adalah ventricular ekstrasistol yang timbul
berurutan dengan kecepatan >100 kali/menit, takikardi ventrikel juga memiliki
kompleks QRS yang lebar.

Takikardi Ventrikel
Defibrilasi
Dengan peralatan elektrokardiogram (EKG/ECG) maka jenis henti jantung dapat
diketahui. Pada ventrikel fibrilasi, gambaran EKG menunjukkan gelombang listrik tidak
teratur baik amplitudo atau frekuensinya. Terapi definitif fibrilasi ventrikel atau takikardi
ventrikel tanpa denyut nadi ialah syok listrik (DC shock) dan tidak ada satupun obat sampai
sekarang yang dapat menghilangkan fibrilasi.1
Fibrilasi ventrikel paling sering ditemukan pada orang dewasa yang mengalami henti
jantung nontraumatik. Waktu dari kolaps hingga defibrilasi adalah waktu penentu paling
penting untuk bertahan hidup. Peluang untuk bertahan hidup menurun 7% hingga 10% untuk
setiap menit tanpa defibrilasi. Karena itu, pasien yang mengalami henti jantung harus di
defibrilasi sedini mungkin.. Defibrillator menghantarkan energi dalam bentuk monofasik
atau bentuk gelombang bifasik. Bentuk gelombang bifasik direkomendasikan untuk keadaan
kardioversi dimana secara teori hanya sedikit mengakibatkan kerusakan miokard.2

Terapi fibrilasi merupakan usaha untuk segera mengakhiri disaritmia takikardi ventrikel
dan fibrilasi ventrikel menjadi irama sinus normal dengan menggunakan syok balik listrik.
Syok balik listrik menghasilkan depolarisasi serentak semua serat otot jantung dan setelah
itu jantung akan berkontraksi spontan, asalkan otot jantung mendapatkan oksigen yang
cukup dan tidak menderita asidosis.
Fibrilasi ventrikel merupakan irama yang sering muncul pada kasus henti jantung.
Penanganan yang paling efektif untuk henti jantung dengan irama tersebut adalah dengan
defibrilasi. Jantung yang terfibrilasi akan mengkonsumsi oksigen lebih banyak sehingga
akan memperburuk iskemia miokardium. Defibrilasi harus dilakukan sesegera mungkin,
karena semakin lama fibrilasi dibiarkan, maka semakin sulit untuk dilakukan defibrilasi dan
banyak kerusakan sel jantung yang ireversibel sehingga semakin kecil kemungkinan
resusitasi akan berhasil.
Ventrikel takikardi, khususnya ventrikel takikardi monomorfik, merespons dengan baik
pada tingkat energi awal 100 J. Untuk ventrikel takikardi polimorfik atau ventrikel fibrilasi,
energi awal dapat diatur pada 120 hingga 200 J, tergantung pada jenis gelombang bifasik
yang digunakan.2
Kardioversi harus disinkronkan dengan kompleks QRS dan direkomendasikan untuk
takikardia hemodinamik stabil, kompleks luas yang membutuhkan kardioversi, PSVT,
fibrilasi atrium, dan flutter atrium. 2
Terdapat hubungan antara ukuran tubuh dan energi yang dibutuhkan untuk defibrilasi.
Anak-anak membutuhkan energi yang lebih sedikit dibanding dewasa dengan serendah-
rendahnya 0.5 J/kgBB. Namun, ukuran tubuh tidak terlalu berpengaruh pada dewasa.
Beberapa studi menunjukkan bahwa defibrilasi yang sukses dengan menggunakan energi
yang rendah (160-200 J). Penelitian yang dilakukan di luar dan di rumah sakit menunjukkan
bahwa terdapat kesuksesan defibrilasi yang sama ketika menggunakan 200 J atau lebih
rendah dari itu dibandingkan dengan menggunakan 300 J atau lebih.
Pada defibrillator yang menggunakan gelombang bifasik, dikenal ada dua jenis
gelombang bifasik yaitu biphasic truncated exponential waveform dan rectilinear biphasic
waveform. Pada AED, energi yang disalurkan akan diatur secara otomatis oleh alat.
Sedangkan pada manual defibrillator, akan diberikan range energi yang efektif. Untuk
defibrillator dengan jenis biphasic truncated exponential waveform, maka energi yang
disediakan berkisar antara 150-200 J dengan tingkat kesuksesan lebih dari 90%. Sedangkan
untuk defibrillator jenis rectilinear biphasic waveform, energi yang disediakan 120 J dengan
tingkat kesuksesan yang sama dengan biphasic truncated exponential waveform.3
Gelombang monofasik direkomendasikan pemberian energi sebesar 360 Joule untuk
dewasa, sedangkan gelombang bifasik direkomendasikan pemberian energi sebesar 200
Joule. Energi dapat ditingkatkan bertahap apabila keadaan takikardi ventrikel atau fibrilasi
ventrikel tidak membaik setelah kejutan pertama. Tipe bifasik lebih direkomendasikan untuk
melakukan cardioversion karena tipe bifasik memberikan tingkat kesuksesan yang sama
dengan menggunakan lebih sedikit energi. Penggunaan gelombang bifasik lebih
direkomendasikan dibandingkan dengan gelombang monofasik karen penggunaan
defibrillator dengan energi besar akan meningkatkan potensi kerusakan otot jantung.
Sebelum memulai terapi fibrilasi, defibrillator harus diperiksa dan dicoba terlebih dahulu
kemampuannya memberikan energi mulai dari rendah hingga tinggi. Pedal defibrillator luar
(dada) untuk dewasa memiliki diameter 14 cm, sedangkan untuk anak-anak memiliki
diameter 8 cm, dan untuk bayi memiliki diameter 4.5 cm. Pedal defibrillator dalam (jantung)
pada dada terbuka dewasa adalah 6 cm, untuk anak-anak 4 cm, dan untuk bayi 2 cm.1
Lokasi pedal defibrillator diletakkan dengan posisi anterior-lateral dengan satu pedal
diletakkan di ICS keenam pada midaxillary line kiri, sedangkan pedal lainnya diletakkan di
ICS kedua parasternal kanan. Jika penderita memiliki payudara besar, pedal kiri dapat
diletakkan di bawah payudara dengan menghindari jaringan payudara terkena kejutan.
Gambar 5 : Algoritma henti jantung dewasa — pembaruan 2015. Algoritma untuk
mengobati ventrikel fibrilasi dan ventrikel takikardi (VF / VT). Ventrikel takikardi dengan
nadi tidak teraba harus diperlakukan dengan cara yang sama dengan ventrikel fibrilasi.

Gambar 6 : Algoritma bradikardia pada dewasa dengan denyut nadi. AV, atrioventrikular;
EKG, elektrokrokardiogram; IV, intravena.
Gambar 7 : Algoritma takikardia dewasa dengan nadi. CHF, kongestif gagal jantung; EKG,
elektrokardiogram; IV, intravena; VT, ventrikel takikardia; WPW, sindrom Wolff-
Parkinson-White
Henti Jantung Asistol Ventrikel
Gambara EKG asistol ventrikel adalah garis lurus tanpa defleksi yang dapat terganggu
oleh aliran listrik, napas buatan atau tindakan resusitasi. Dalam mendiagnosis henti jantung
asistolik, kita harus hati-hati, karena dapat terkecoh oleh fibrilasi ventrikel yang halus atau
lembut akibat gangguan perekam alat EKG. Dalam hal ini defbrilator automatis tidak dapat
berkerja karena tidak dapat mengenal amplitudo lembut yang sensitifnya di bawah alat.
Henti Jantung Disosiasi Elektro-Mekanikal (DEM)
Gambaran henti jantung jenis ini ialah menyerupai gambaran EKG normal seakan-akan
tidak ada kelainan, tetapi klinis tidak ada denyut nadi atau curah jantung.
Penyebabnya dapat primer atau sekunder .
Primer, akibat kegagalan kopling eksitasi-kontraksi, misalnya pada :
1. Infark miokard akut yang masif, terutama dinding inferior
2. Keracunan obat (beta-bloker, antagonis kalsium) atau toksin lainnya.
3. Gangguan elektrolit (hipokalsemi, hiperkalemi)
4. Thrombus atrium.
Sekunder, akibat gangguan (embrassment) curah jantung secara mekanik.
1. Pneumotorak tegang (tension pneumothorax)
2. Tamponade perikardial
3. Rupture jantung
4. Emboli paru
5. Oklusi katup jantung prostetik
6. Hipovolemi 1
DAFTAR PUSTAKA

1. dr. Said A Latief, dr. Kartini A Suryadi, dr. M.Ruswan Dachlan. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
2. Morgan GE et al. 2018. Clinical Anesthesiology, Sixth edition. McGraw-Hill.
3. Basic Life Support Policy. Policy B4 First Date of Issue: 23rd July 2010. 2015; 8-33.
4. American Red Cross. 2015. Basic Life Support for Healthcare Providers Handbook
5. Mangku G dan Senapathi TG. 2010. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Editor. Wiryana IM,
Sinardja IK, Sujana IBG, Budiarta IG. Jakarta: Indeks
6. Safar P. 1984. Resusitasi Jantung Paru Otak. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
7. Tintinalli J, Kelen G, Stapczynski J. 2004. Emergency medicine. 1st ed. NewYork:
McGraw-Hill, Medical Pub. Division
8. Longnecker, D., Newman, M., Mackey, S., Sandberg, W. and Zapol, W. 2012.
Anesthesiology. 2nd ed. Mc Graw Hill
9. Australian Resuscitation Council. 2016. ANZCOR Guideline 11.5 – Medications in Adult
Cardiac Arrest
10. 2015. Association American Heart Guidline 2015 CPR & ECC.

Anda mungkin juga menyukai