Oleh :
Bepriyana Yunitaningrum G99172005
Propana Yuananti G99172134
Maulidi Izzati G991903034
Merina Rachmadina G991903035
Luthfi Adijaya Laksana G991905034
Luthfi Primadani Kusuma G991905035
Handy Nugraha Putra G99172084
Lastry Wardani G99172101
Mochammad Rasyiid Ash Shiddiqqy G991903036
M Yusuf Brilliant P G991905036
Pembimbing
Dr. dr. Reviono Sp.P(K), M.Kes
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Anamnesis
- Identitas Pasien
Nama : Tn.Kirun
Tanggal lahir : 12 Juli 1969 (49 tahun)
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Pati
Status : Menikah
Pekerjaan : Supir
Tanggal masuk : 30 Juni 2019
Tanggal pemeriksaan : 3 Juli 2019
Nomor rekam medis : 0143xxxx
- Keluhan Utama
Sesak nafas
- Riwayat Kebiasaan
Merokok : (+) 24 batang/ hari selama 30 tahun.
Berhenti pada tahun 2017 saat pengobatan TB
Minum alkohol : disangkal
Memasak dengan kayu bakar : disangkal
Mempunyai binatang peliharaan : disangkal
Kontak dengan binatang : disangkal
Lingkungan asap dan debu : disangkal
B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang, dengan kesadaran compos mentis dengan
GCS E4V5M6.
2. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 170/100 mmHg
b. Frekuensi pernapasan : 28 x/menit
c. Frekuensi nadi : 95 x/menit, regular, isi kesan cukup
d. Suhu : 36,5 °C
e. SpO2 : 97% dengan O2 ruang
BB : 85kg, TB : 165 cm, BMI : 31,25 (Obesitas)
3. Head to toe examination
a. Kulit : warna kuning langsat, pucat (-), ikterik (-), petechie (-),
venektasi (-), spider nevi (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-)
b. Kepala : bentuk mesocephal
c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya
(+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-)
d. Telinga : deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
e. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-),
sekret (-/-)
f. Mulut : malokasi (-), maksila goyang (-), bibir kering (-), lidah
kotor (-), sianosis (-), lidah simetris, tonsil T1-T1, faring hiperemis
(-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), papil lidah
atrofi (-)
g. Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), Jugular Venous
Pressure tidak meningkat, nyeri tekan (-), benjolan (-), leher kaku
(-)
h. Thoraks : dinding dada kiri sama besar dengan dinding dada kanan,
dinding dada kiri pengembangan sama dibanding dinding dada
kanan, tidak didapatkan retraksi dinding dada
i. Pulmo :
1. Paru (anterior)
Inspeksi : pengembangan dada kiri = dada kanan
Palpasi : fremitus taktil kiri = kanan
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : SDV(+/+), Wheezing (+/+), RBH (-/-)
a) Batas jantung paru kanan : SIC II-III linea parasternalis
b) Batas jantung paru kiri : SIC II-V linea mid clavicula
c) Batas paru-hepar : SIC VI linea mid
clavicularis
Auskultasi : SDV(+/+) di seluruh lapang paru
Suara tambahan : Wheezing (+/+), RBH (-/-)
2. Paru (posterior)
a) Inspeksi : permukaan dada kiri = kanan
b) Palpasi : fremitus taktil kiri = kanan
c) Perkusi : sonor (+/+) di seluruh lapang paru, Batas paru-
diafragma : SIC VII-VIII linea midscapula penanjakan
diafragma 5cm
d) Auskultasi
Suara dasar : SDV(+) / SDV(+) di seluruh lapang paru
Suara tambahan : Wheezing (+/+), Ronki basah halus (-/-)
j. Cor :
1) Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
2) Palpasi : iktus kordis teraba di SIC V linea
midclavicularis sinistra, tidak kuat angkat
3) Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
4) Auskultasi : terdengar bunyi jantung I dan II reguler,
bising (-)
k. Abdomen :
1) Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, spider
nevi (-)
2) Auskultasi : bising usus (+), dalam batas normal
3) Perkusi : timpani
4) Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar
l. Ekstremitas :
Akral dingin - - edema - -
- - - -
m. Capillary Refill Time : < 2 detik
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 30 Juni 2019
PemeriksaanHasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 17.7 g/dL 14.0-17.5
Hematokrit 54 % 33-45
Leukosit 16.9 ribu/uL 4.5-14.5
Trombosit 332 ribu/uL 150-450
Eritrosit 5.72 juta/uL 4.10-5.10
INDEX ERITROSIT
MCV 95.8 /um 80.0-96.0
MCH 30.9 Pg 28.0-33.0
MCHC 32.7 g/dL 33.0-36.0
RDW 12.5 % 11.6-14.6
MPV 9.1 Fl 7.2-11.1
RDW 17 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.20 % 0.00-4.00
Basofil 0.00 % 0.00-1.00
Neutrofil 92.60 % 55.00-80.00
Limfosit 3.30 % 22.00-44.00
Monosit 3.90 % 0.00 –6.00
KIMIA KLINIK
SGOT 31 u/L < 35
SGPT 57 u/L < 45
Bilirubin Total 0.49 Mg/dL 0.00-1.00
Creatinin 1.4 Mg/dL 0.9-1.3
Ureum 8.4 Mg/dL <50
LDH 434 u/L 140-300
ELEKTROLIT
Natrium darah 138 mmol/L 136-145
Kalium darah 4.0 mmol/L 3.7-5.4
Chlorida darah 98 mmol/L 98-106
HbsAg Nonreaktif Nonreaktif
D. Daftar Masalah
1. Anamnesis
Sesak napas sejak 3 tahun SMRS. Sesak dirasakan semakin
memberat sejak 3 minggu SMRS
Riwayat penggunaan obat sesak napas dengan inhalasi (+) sejak 3
yang tahun lalu diperoleh dari Spesialis Paru. Barotec MDI &
Seretide diskus.
Batuk (+) sejak 3 tahun SMRS, yang dirasakan memberat sejak 3
minggu SMRS disertai dahak ,dahak warna putih kental
Hipertensi 3 tahun tidak terkontrol
Riwayat mondok (+) 26 sd 30 Juni 2019 karena sesak napas
Riwayat merokok 30 tahun x 24 batang = 720 (IB berat)
Riwayat OAT 2017
2. Pemeriksaan Fisik
Tekanan darah : 170/100 mmHg
Frekuensi pernapasan : 28 x/menit
BB : 85kg, TB : 165 cm, BMI : 31,25 (Obesitas)
Pulmo :
o Anterior :
Suara tambahan : Wheezing (+/+)
o Posterior :
Suara tambahan : Wheezing (+/+)
E. Asessment
a. PPOK
b. Bekas TB paru
F. Tatalaksana
ACC mondok
O2 3 lpm
Nebulisasi combivent + pulmicort
Inj. Dexamethasone 1 amp
Konsul jantung
Lain-lain sesuai TS dibangsal
G. Planning
Sputum Mo/G/K/r
Spirometri
Konsul jantung
APE harian
H. Prognosis
Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia
Follow up
Tanggal/Jam Catatan Perkembangan Terintegrasi
30/06/2019 S: Sesak nafas (+)
DPH 0 Pasien rujukan RS. Keluarga Sehat Pati dengan PPOK eksaserbasi
akut. Sesak sejak 3 tahun SMRS, memberat 3 minggu SMRS.
Sesak datang saat beraktivitas, terbangun malam hari karena sesak
(-). Riwayat penggunaan obat semprot (+) sejak 3 tahun yang lalu,
yaitu berotec MDI dan seretide drug. Batuk (+) jarang-jarang,
dahak (+) warna putih kental, batuk darah (-), riwayat batuk darah
(-).
Demam (-), sumer-sumer (-), mual (-), muntah (-), keringat malam
hari tanpa aktivitas, BAK dan BAB tidak ada keluhan.
RDT :
OAT (+) 2017 selama 6 bulan dinyatakan tuntas berobat tetapi
tidak ada bukti bakteriologis.
DM (-)
Hipertensi (+) 3 tahun yang lalu, tidak rutin minum obat
amlodipine
PPOK (+) sejak selesai pengobatan TB 2017
Riwayat social ekonomi: Pekerjaan sopir. Merokok 24 batang
selama 30 tahun (720 batang)
Pekerjaan : sopir
Riwayat paparan kayu bakar (-)
Riwayat mondok : 26-30 juni 2019 dengan keluhan sesak degan
PPOK
Riwayat pemeriksaan :
-TCM : MTB not detected (28/6/2019)
-APE di RSDM → pro BD → APE1 = 130, APE2 = 120, APE3 =
120 → post BD → APE1 = 150, APE2 = 140, APE3 = 180
O:
KU : sakit sedang, CM
VS : TD : 170/90 mmHg Nadi : 95x/ menit RR : 22x/ menit SpO2
: 97% QSOFA = 1, SOFA SCORE = 0
BB ; 85 kg, TB : 165 cm, BMI : 31,25 kg/m2
Kepala : mesocephal
Mata: CA -/- SI -/-
Leher : JVP dalam batas normal, KGB tidak teraba membesar
Thoraks : simetris (+), venektasi (-)
Cor : Bunyi jantung I-II reguler, bising (-), batas jantung melebar,
murmur (-)
Pulmo :
I : Pengembangan dada kiri = kanan
P :Fremitus raba dada kiri = kanan
P : sonor/ sonor
A : SDV +/ SDV +, wheezing (+/+),Rbh (-/-)
Cor : BJ 1 2 reguler, murmur –
Abdomen : supel, BU (+)
Ekstremitas : Akral dingin -/-/-/-, CRT < 2 detik, edema -/-/-/-
Hasil lab
Hb : 17.7
Ht : 54
Leukosit : 16,9
Trombosit : 322
Neutrophil : 92,60
Limfosit : 2,30
SGOT : 31
SGPT : 57
Bilirubin : 0,49
Creatinin : 1,4
Urea : 84
LDH : 434
Elektrolit : 138
Kalium : 4,0
Chloride : 98
HbsAg : NR
Rontgen Thoraks : atelectasis paru kanan lobus superior
Daftar masalah
- Sesak 3 tahun, memberat 3 minggu SMRS
- Batuk berdahak, warna putih kental
- Hipertensi 3 tahun yang lalu, TD : 170/90
- Riwayat OAT 2017
- Pulmo :
I : pengenbangan paru kanan = kiri
P : fremitus raba kanan = kiri
P : sonor/sonor
A : SDV (+/+), wheezing (+/+), Rbh (-/-)
- Lab : leukositosis
- Rontgen : opasitas homogeny di paru kanan lobus superior
A:
1. PPOK eksaserbasi akut dd TOPD dd ACO
2. Bekas TB
3. Atelectasis paru kanan lobus superior
4. Hipertensi grade II, dengan masalah peningkatan enzim
transaminase, azotemia
P:
Terapi
1. O2 2 lpm
2. Diet TKTP 1500kkal
3. Infus NaCL 0.9% 20 tpm
4. Nebulisasi BA/8jam
5. Nebulisasi pulmicort/6jam
6. Nebulisasi combivent (IGD)
7. Inj. Levofloxacin 700 mg/24 jam
8. Inj metilprednisolon 30mg/8jam
9. N asetil sistein 3x200mg
10. Curcuma 3x1
Plan
1. Sputum MO/G/K/R
2. Spirometri
3. Konsul jantung
4. APE jam 22.00 post BD I : 160 II : 160 III : 200 dan jam 05.00
pre BD
5. Bronkoskopi
01/07/2019 S: Sesak (+)
DPH 1 O:
KU : sakit sedang, CM
VS : TD : 170/80 mmHg Nadi : 88x/ menit RR : 22x/ menit SpO2
: 99%
Pulmo :
I : Pengembangan dada kiri = kanan
P :Fremitus raba dada kiri = kanan
P : sonor/ sonor
A : SDV +/ SDV +, wheezing (+/+), RBH (-/-)
Cor : BJ 1 2 reguler, murmur –
Abdomen : supel, BU (+)
Ekstremitas : Akral dingin -/-/-/-, CRT < 2 detik, edema -/-/-/-
A:
1. PPOK eksaserbasi akut dd TOPD dd ACO
2. Bekas TB
3. Atelectasis paru kanan lobus superior
4. Hipertensi grade II, dengan masalah peningkatan enzim
transaminase, azotemia
P:
Terapi
1. O2 2 lpm
2. Diet TKTP 1500kkal
3. Infus NaCL 0.9% 20 tpm
4. Nebulisasi BA/8jam
5. Nebulisasi pulmicort/6jam
6. Inj. Levofloxacin 700mg/24jam
7. Inj metilprednisolon 30mg/8jam
8. N asetil sistein 3x200mg
9. Curcuma 3x1
Plan:
-spirometri
-konsul jantung (+) ACC raber
-APE post BD pukul 20.00 : 200, pre BD pukul 05.00 : 250
Variabilitas harian APE :
𝐴𝑃𝐸 𝑚𝑎𝑙𝑎𝑚 − 𝐴𝑃𝐸 𝑝𝑎𝑔𝑖
𝑥 100%
1
(𝐴𝑃𝐸 𝑚𝑎𝑙𝑎𝑚 + 𝐴𝑃𝐸 𝑝𝑎𝑔𝑖)
2
200 − 250
𝑥 100%
1
(
2 200 + 250)
− 50
𝑥 100% = 22,2%
225
TINJAUAN PUSTAKA
A. PPOK
1. Definisi
Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru
kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial., bersifat
progresif, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang
disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan
gambaran gangguan sistemik.
2. Faktor Resiko
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian PPOK antara lain:
a. Asap rokok
Asap rokok mempunyai prevalens yang tinggi sebagai penyebab
gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Risiko PPOK pada
perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai
merokok, jumlah batang rokok perhari dan lamanya merokok
(Indeks Brinkman). Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman
(IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari
dikalikan lama merokok dalam tahun
- Ringan : 0-199
- Sedang : 200-599
- Berat : >600
b. Polusi udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar
dapat menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam
partikel akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan
beratnya PPOK. Polusi udara terbagi menjadi:
Polusi di dalam ruangan
- Asap kompor
- Asap rokok
Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan bermotor
- Debu jalanan
Polusi di tempat kerja
- Bahan kimia
- Zat iritasi
- Gas beracun
c. Stres oksidatif
Paru yang telah terpajan oksidan endogen dan eksogen. Oksidan
endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan
eksogen dari polutan dan asap rokok. Oksidan intraseluler (endogen)
seperti derivat elektron mitokondria transpor termasuk dalam
mekanisme selular signaling pathway. Sel paru dilindungi oleh
oxydative chalenge yang berkembang secara sistem enzimatik atau
non enzimatik. Ketika keseimbangan antara oksidan dan antioksidan
berubah bentuk misalnya ekses oksidan dan atau deplesi antioksidan
akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya
menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan
aktifitas molekuler sebagai awal inflamasi paru.
d. Infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas
PPOK. Kolonisasai bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas,
berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran
napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan
meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa. Pengaruh berat badan
lahir rendah akan meningkatkan infeksi viral yang juga merupakan
faktor risiko PPOK. Kebiasaan merokok berhubungan dengan
kejadian emfisema. Riwayat infeksi tuberkulosis berhubungan dengan
obstruksi jalan napas pada usia lebih dari 40 tahun.
e. Jenis Kelamin
Kejadian PPOK lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan,ini
dodebakan akibat lak-laki lebih banyak yang merokok dan terkena
paparan polusi daipada wanita. Tapi,akhir-akhir ini kejadian PPOK
pada negaran berpenghasilan tinggi antra laki-laki dan perempuan
hampir sama yang disebabkan karena meningkatnya perilaku merokok
pada perempuan.
f. Gen
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan -1
antitrypsin sebagai inhibitor dan protease serin. Sifat resesif ini jarang,
paling sering dijumpai pada individu yang berasal dari Eropa Utara.
Ditemukan pada usia muda dengan kelainan enfisema panlobular
dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau
bukan perokok dengan kekurangan -1 antitrypsin yang berat.
g. Infeksi
Infeksi yang terjadi pada awal kehidupan bisa berkembang menjadi
bronkiektasis ataupun perubahan pada saluran pernapasan.Paparan
infeksi ini sangat berkaitan dengan perkembangan PPOK. Eksasrbasi
PPOK juga bisa dipengaruhi oleh infeksi bakteri atau virus.
3. Patogenesis
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,
metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta
distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara
anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
a. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan
meluas ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering
akibat kebiasaan merokok lama
b. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli
secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah
c. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai
saluran napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses
terlokalisir di septa atau dekat pleura
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi
karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu: inflamasi,
fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama
obstruksi jalan napas.
Tanda kardiopulmal
e. Diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Tujuan penatalaksanaan :
Mengurangi gejala
Mencegah eksaserbasi berulang
Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan PPOK secara umum, meliputi: edukasi, berhenti
merokok, obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanis,
nutrisi.
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang
sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan
mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.
Manfaat pemberian oksigen:
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi
- PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai kor
pulmonal, perubahan pulmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal
jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain
Macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit.
Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil
derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit
oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat
daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk
penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy =
LTOT )
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau
pada pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi
mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di
rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi
yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan
menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat
penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah. Malnutrisi
dapat dievaluasi dengan:
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan
otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak
akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK
tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme
karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk
denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan
secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah
karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit oxygen comsumption dan respons
ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK
dengan gagal napas, kelebihan pemasukan protein dapat
menyebabkan kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering
terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi
sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit
yang terjadi adalah :
- Hipofosfatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan
pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil
dengan waktu pemberian yang lebih sering.
6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan
dan memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang
dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah
mendapatkan pengobatan optimal yang disertai:
- Gejala pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualitas hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh
suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori
terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,
psikososial dan latihan pernapasan.
1. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti system
transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan
a. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan
b. Endurance exercise
Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan.
Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang
mengalami kelelahan pada otot pernapasannya sehingga tidak
dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk
melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan
khusus pada otot pernapasam akan mengakibatkan
bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum, memperbaiki
kualitas hidup dan mengurangi sesak napas. Pada penderita
yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot
pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk
latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan
lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita
PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan pada
otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan
diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi
dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan
endurance yang diutamakan.
c. Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada
penderita PPOK. Bertambahnya cardiac output maksimal dan
transportasi oksigen tidak sebesar pada orang sehat. Latihan
jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya
toleransi latihan karena meningkatnya toleransi karena
meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya
konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan
resultante dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dari
toleransi terhadap asam laktat.Sesak napas bukan satu-satunya
keluhan yang menyebabkan penderita PPOMJ menghentikan
latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan otot
kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin
merupakan faktor yang dominan untuk menghentikan
latihannya.
Berkurangnya aktivitas kegiatan sehari-hari akan
menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal. Imobilitasasi
selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan
otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti
enzim metabolik. Berbaring di tempat tidur dalam jangka
waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake
dan control kardiovaskuler.
Penatalaksanaan PPOK stabil
B. Pneumonia
1. Definisi
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan
paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit
dan lain-lain). Biasanya pneumonia yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis tidak dimasukkan.
2. Etiologi
a. Bakteri
Pneumonia bakterial dibagi menjadi dua bakteri penyebabnya yaitu
1. Typical organisme
Penyebab pneumonia berasal dari gram positif berupa :
3. Patofisiologi
Patogen yang sampai ke trakea berasal dari aspirasi bahan yang ada di
orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan
sumber patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. Faktor
risiko pada inang dan terapi yaitu pemberian antibiotik, penyakit penyerta
yang berat, dan tindakan invansif pada saluran nafas. Faktor resiko kritis
adalah ventilasi mekanik >48jam, lama perawatan di ICU. Faktor
predisposisi lain seperti pada pasien dengan imunodefisien menyebabkan
tidak adanya pertahanan terhadap kuman patogen akibatnya terjadi
kolonisasi di paru dan menyebabkan infeksi.Proses infeksi dimana patogen
tersebut masuk ke saluran nafas bagian bawah setelah dapat melewati
mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik ( epitel,cilia, dan
mukosa), pertahanan humoral (antibodi dan komplemen) dan seluler
(leukosit,makrofag, limfosit dan sitokinin). Kemudian infeksi
menyebabkan peradangan membran paru ( bagian dari sawar-udara
alveoli) sehingga cairan plasma dan sel darah merah dari kapiler masuk.
Hal ini menyebabkan rasio ventilasi perfusi menurun, saturasi oksigen
menurun. Pada pemeriksaan dapat diketahui bahwa paru-paru akan
dipenuhi sel radang dan cairan , dimana sebenarnya merupakan reaksi
tubuh untuk membunuh patogen, akan tetapi dengan adanya dahak dan
fungsi paru menurun akan mengakibatkan kesulitan bernafas, dapat terjadi
sianosis, asidosis respiratorik dan kematian.
4. Manifestasi Klinik
Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non
produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen,
atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum
lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan
lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi
atau penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu,
kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak
menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara
pernafasan bronkial, pleural friction rub
5. Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya :
a. Community-Acquired Pneumonia
Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksius ini
sering di sebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia
(Penicillin sensitive and resistant strains ), Haemophilus influenza
(ampicillin sensitive and resistant strains) and Moraxella catarrhalis
(all strains penicillin resistant). Ketiga bakteri tersebut dijumpai hampir
85% kasus CAP. CAP biasanya menular karena masuk melalui inhalasi
atau aspirasi organisme patogen ke segmen paru atau lobus paru-paru.
Pada pemeriksaan fisik sputum yang purulen merupakan karakteristik
penyebab dari tipikal bakteri, jarang terjadi mengenai lobus atau
segmen paru. Tetapi apabila terjadi konsolidasi akan terjadi
peningkatan taktil fremitus, nafas bronkial. Komplikasi berupa efusi
pleura yang dapat terjadi akibat infeksi H. Influenza , emphyema terjadi
akibat infeksi Klebsiella , Streptococcus grup A, S. Pneumonia . Angka
kesakitan dan kematian infeksi CAP tertinggi pada lanjut usia dan
pasien dengan imunokompromis. Resiko kematian akan meningkat
pada CAP apabila ditemukan faktor komorbid berupa peningkatan
respiratory rate, hipotensi, demam, multilobar involvement, anemia dan
hipoksia.
b. Hospital-Acquired Pneumonia
Berdasarkan America Thoracic Society (ATS) , pneumonia nosokomial
( lebih dikenal sebagai Hospital-acquired pneumonia atau Health care-
associated pneumonia ) didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul
setelah lebih dari 48 jam di rawat di rumah sakit tanpa pemberian
intubasi endotrakeal . Terjadinya pneumonia nosokomial akibat tidak
seimbangnya pertahanan inang dan kemampuan kolonisasi bakteri
sehingga menginvasi traktus respiratorius bagian bawah. Bakteria yang
berperan dalam pneumonia nosokomial adalah P. Aeruginosa ,
Klebsiella sp, S. Aureus, S.pneumonia. Penyakit ini secara signifikan
akan mempengaruhi biaya rawat di rumah sakit dan lama rawat di
rumah sakit. ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset
(biasanya muncul selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late
onset (biasanya muncul setelah lebih dari 5 hari perawatan di rumah
sakit). Pada early onset pneumonia nosokomial memili prognosis baik
dibandingkan late onset pneumonia nosokomial; hal ini dipengaruhi
pada multidrug-resistant organism sehingga mempengaruhi
peningkatan mortalitas.
c. Ventilator-Acquired pneumonia
6. Diagnosis
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala
klinis pemeriksaan fisik, foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti
pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat
baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah
ini:
Batuk-batuk bertambah
Perubahan karakteristik dahak/purulen
Suhu tubuh >38C (axilla)/ riwayat demam
Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara nafas
bronkial dan ronki
Leukosit > 10.000 atau <4500
Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komuniti dapat
dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian
pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti tabel
berikut:
7. Komplikasi
H. Evaluasi Pengobatan
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72
jam tidak ada perbaikan, kita harus meninjau kembali diagnosis, faktor-
faktor penderita, obat-obat yang telah diberikan dan bakteri
penyebabnya, seperti pada gambar 2.
9. Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor
penderita, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta
adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi
prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka kematian
penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan
, sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%.
Menurut Infectious Disease Society Of America ( IDSA ) angka
kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu
kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar
2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa
meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan
peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap
angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%,
sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -35%
10. Pencegahan
Pola hidup termasuk tidak merokok
Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza)
Sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian tentang
efektivitasnya.
Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk golongan risiko
tinggi misalnya usia lanjut, dan penyakit kronik seperti diabetes,
penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang
direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi
yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang
terjadi yaitu hipersensitiviti tipe 3.
BAB III
ANALISIS KASUS
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif non reversible atau reversible
parsial. Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut adalah :
Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15
tahun) 60-70%
Pertambahan penduduk
Industrialisasi
Polusi udara terutama di kota besar, lokasi industry dan
pertambangan
Batuk ≥2 minggu
Batuk darah
Sesak nafas
Nyeri dada
Setelah mendapat terapi yang sama selama 3 hari, hasil uji sputum keluar
dan menunjukan adanya penumonia bacterialis ec infeksi bakteri
Acinetobacter baumannii, dan disarankan untuk pemberian terapi ampicillin
sulbactam.
BAB V
KESIMPULAN
Hasil AGD terakhir (30 Juni 2019) didapatkan kesan dalam batas normal.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease l. Global Strategy for
diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive lung
disease. 2012.
Dodd JW, Hogg I, Nolan J et al. The COPD assesment test (CAT): response to
pulmonary rehabilitation. A multicentre, prospective study, Thorax 2011
May: 66(15):425-9.