Anda di halaman 1dari 57

PRESENTASI KASUS

Seorang Laki-Laki 49 Tahun Dengan Pnemumoni Bacterial ec Acinetobacter


baumannii, PPOK Eksaserbasi Akut dd TOPD dd ACO, Bekas TB,
Atelektasis Paru Kanan Lobus Superior, dan Hipertensi grade I

Oleh :
Bepriyana Yunitaningrum G99172005
Propana Yuananti G99172134
Maulidi Izzati G991903034
Merina Rachmadina G991903035
Luthfi Adijaya Laksana G991905034
Luthfi Primadani Kusuma G991905035
Handy Nugraha Putra G99172084
Lastry Wardani G99172101
Mochammad Rasyiid Ash Shiddiqqy G991903036
M Yusuf Brilliant P G991905036

Pembimbing
Dr. dr. Reviono Sp.P(K), M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR.MOEWARDI
SURAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik


yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang bersifat progresif dan tidak
sepenuhnya reversibel, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan
memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. PPOK akan memiliki dampak
pada berbagai aspek kehidupan (medis maupun non medis), baik secara
individual maupun komunitas. World Health Organization (WHO)
memperkirakan sekitar 210 juta orang di dunia menderita PPOK dan terjadi
peningkatan angka kematian akibat PPOK lebih dari 30% dalam 10 tahun, bila
intervensi untuk mengurangi faktor resiko, khususnya pajanan asap rokok
tidak dilakukan dengan baik, pada tahun 2020 PPOK bahkan diperkirakan
menjadi penyebab kematian terbanyak ketiga di dunia. (GOLD, 2017; PDPI,
2010)
Prevalensi terjadinya PPOK di Cina adalah 8,2 %. Prevalensi PPOK di
Cina ini secara signifikan lebih tinggi di pedesaan (8,8%) dibandingkan
dengan daerah perkotaan (7,8%) (Zhong et al., 2001). Di Indonesia,
berdasarkan hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan di 5 rumah sakit provinsi
(Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan)
pada tahun 2004, menunjukkan bahwa PPOK menempati urutan pertama
penyumbang angka kesakitan yaitu 35%, asma bronkhial 33%, kanker paru
30% dan lainnya 2% (DepKes R1, 2008).
BAB II
STATUS PASIEN

A. Anamnesis
- Identitas Pasien
Nama : Tn.Kirun
Tanggal lahir : 12 Juli 1969 (49 tahun)
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Pati
Status : Menikah
Pekerjaan : Supir
Tanggal masuk : 30 Juni 2019
Tanggal pemeriksaan : 3 Juli 2019
Nomor rekam medis : 0143xxxx

- Keluhan Utama
Sesak nafas

- Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak 3 tahun SMRS pasien mengeluh sesak nafas. Sesak nafas
dirasakan memberat 3 minggu SMRS. Sesak bertambah berat saat
beraktifitas. Terbangun pada malam hari karena sesak (-). Riwayat
penggunaan obat sesak napas dengan inhalasi (+) sejak 3 yang tahun
lalu diperoleh dari Spesialis Paru. Barotec MDI & Seretide drug.
Batuk (+) sejak 3 tahun SMRS, yang dirasakan memberat sejak 3
minggu SMRS disertai dahak (+) dahak warna putih kental. Batuk
darah (-), riwayat batuk darah (-).
Demam (-), Demam sumer-sumer (-), Keringat malam hari tanpa
aktivitas (-). Nafsu makan menurun (-), mual (-), muntah(-) BAB dan
BAK tidak ada keluhan.
RPD : Riwayat OAT (+) 2017 selama 6 bulan, dinyatakan tuntas
berobat. Bukti bakteriologis (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat HT (+) 3 tahun yang lalu, tidak minum obat
Riwayat PPOK (+) sejak selesai pengobatan TB 2016
Riwayat Sosial ekonomi : riwayat merokok (+) 24 batang perhari
selama 30 tahun, berhenti merokok sejak pengobatan OAT.
Riwayat pekerjaan : Supir
Riwayat memasak dengan kayu bakar (-)
- Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat minum OAT : (+) pada tahun 2017 selama 6
bulan, tuntas berobat
Riwayat lingkungan dengan TB : disangkal
Riwayat hipertensi : (+)
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat mondok : (+) 26 – 30 Juni 2019 dengan
keluhan sesak diagnosis PPOK

- Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluarga MTB (+) : disangkal
Riwayat sesak napas : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat tuberkulosis : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit keganasan : disangkal

- Riwayat Kebiasaan
Merokok : (+) 24 batang/ hari selama 30 tahun.
Berhenti pada tahun 2017 saat pengobatan TB
Minum alkohol : disangkal
Memasak dengan kayu bakar : disangkal
Mempunyai binatang peliharaan : disangkal
Kontak dengan binatang : disangkal
Lingkungan asap dan debu : disangkal

- Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan seorang supir. Pasien berobat menggunakan fasilitas
layanan BPJS.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang, dengan kesadaran compos mentis dengan
GCS E4V5M6.
2. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 170/100 mmHg
b. Frekuensi pernapasan : 28 x/menit
c. Frekuensi nadi : 95 x/menit, regular, isi kesan cukup
d. Suhu : 36,5 °C
e. SpO2 : 97% dengan O2 ruang
BB : 85kg, TB : 165 cm, BMI : 31,25 (Obesitas)
3. Head to toe examination
a. Kulit : warna kuning langsat, pucat (-), ikterik (-), petechie (-),
venektasi (-), spider nevi (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-)
b. Kepala : bentuk mesocephal
c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya
(+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-)
d. Telinga : deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
e. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-),
sekret (-/-)
f. Mulut : malokasi (-), maksila goyang (-), bibir kering (-), lidah
kotor (-), sianosis (-), lidah simetris, tonsil T1-T1, faring hiperemis
(-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), papil lidah
atrofi (-)
g. Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), Jugular Venous
Pressure tidak meningkat, nyeri tekan (-), benjolan (-), leher kaku
(-)
h. Thoraks : dinding dada kiri sama besar dengan dinding dada kanan,
dinding dada kiri pengembangan sama dibanding dinding dada
kanan, tidak didapatkan retraksi dinding dada
i. Pulmo :
1. Paru (anterior)
Inspeksi : pengembangan dada kiri = dada kanan
Palpasi : fremitus taktil kiri = kanan
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : SDV(+/+), Wheezing (+/+), RBH (-/-)
a) Batas jantung paru kanan : SIC II-III linea parasternalis
b) Batas jantung paru kiri : SIC II-V linea mid clavicula
c) Batas paru-hepar : SIC VI linea mid
clavicularis
Auskultasi : SDV(+/+) di seluruh lapang paru
Suara tambahan : Wheezing (+/+), RBH (-/-)
2. Paru (posterior)
a) Inspeksi : permukaan dada kiri = kanan
b) Palpasi : fremitus taktil kiri = kanan
c) Perkusi : sonor (+/+) di seluruh lapang paru, Batas paru-
diafragma : SIC VII-VIII linea midscapula penanjakan
diafragma 5cm
d) Auskultasi
Suara dasar : SDV(+) / SDV(+) di seluruh lapang paru
Suara tambahan : Wheezing (+/+), Ronki basah halus (-/-)
j. Cor :
1) Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
2) Palpasi : iktus kordis teraba di SIC V linea
midclavicularis sinistra, tidak kuat angkat
3) Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
4) Auskultasi : terdengar bunyi jantung I dan II reguler,
bising (-)
k. Abdomen :
1) Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, spider
nevi (-)
2) Auskultasi : bising usus (+), dalam batas normal
3) Perkusi : timpani
4) Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar
l. Ekstremitas :
Akral dingin - - edema - -
- - - -
m. Capillary Refill Time : < 2 detik
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 30 Juni 2019
PemeriksaanHasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 17.7 g/dL 14.0-17.5
Hematokrit 54 % 33-45
Leukosit 16.9 ribu/uL 4.5-14.5
Trombosit 332 ribu/uL 150-450
Eritrosit 5.72 juta/uL 4.10-5.10
INDEX ERITROSIT
MCV 95.8 /um 80.0-96.0
MCH 30.9 Pg 28.0-33.0
MCHC 32.7 g/dL 33.0-36.0
RDW 12.5 % 11.6-14.6
MPV 9.1 Fl 7.2-11.1
RDW 17 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.20 % 0.00-4.00
Basofil 0.00 % 0.00-1.00
Neutrofil 92.60 % 55.00-80.00
Limfosit 3.30 % 22.00-44.00
Monosit 3.90 % 0.00 –6.00
KIMIA KLINIK
SGOT 31 u/L < 35
SGPT 57 u/L < 45
Bilirubin Total 0.49 Mg/dL 0.00-1.00
Creatinin 1.4 Mg/dL 0.9-1.3
Ureum 8.4 Mg/dL <50
LDH 434 u/L 140-300
ELEKTROLIT
Natrium darah 138 mmol/L 136-145
Kalium darah 4.0 mmol/L 3.7-5.4
Chlorida darah 98 mmol/L 98-106
HbsAg Nonreaktif Nonreaktif

ANALISA GAS DARAH (AGD)


pH 7.390 7.350-7.450
BE 0.7 ↑ mmol//L -2 - +3
PCO2 43.0 ↓ mmHg 27.0-41.0
PO2 73.0 ↓ mmHg 83.0-108.0
Hematokrit 55 ↑ % 37-50
HCO3 26.0 mmol/L 21.0-28.0
Total CO2 27.3 ↑ mmol/L 19.0-24.0
O2 Saturasi 94.0 ↑ % 94.0-98.0
Laktat arteri 2.70 ↓ mmol/L 0.36-0.75

Kesan : Normal Asam Basa

H+ 39.69 (layak baca)


AH -0.10 (kronis)
PaO2 88.85
Target PaO2 85.19
FiO2 koreksi 0.19 (2 ruang)
AaDO2 15.85
HS 395
2. Foto thoraks PA dan Lateral (30 Juni 2019)

Hasil bacaan foto thoraks PA/Lateral :


Cor : ukuran dan bentuk normal
Paru :
Tampak fibroinfiltrat disertai airbronchogram di suprahilar kanan
kiri, tampak pula infiltrat disertai airbronchogram di para hilar kiri
Sinus costhophrenicus kanan anterior posterior tajam, kiri anterior
posterior tumpul
Retrosternal normal dan retrocardiac space tertutup perselubungan
Hemidiaphragma kanan dan kiri tertutup perselubungan
Trache ditengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan:
TB paru lama aktif lesi luas mixed pneumonia (mohon konfirmasi
klinis dan laboratorium)
Efusi pleura kiri
4. EKG (30 Juni 2019)

Hasil bacaan EKG


Irama Sinus takikardi dengan detak jantung 100x/menit
Axis janting dalam batas normal (normoaxis)
Tidak ditemukan adanya hipertrofi ventrikel kanan dan kiri
Ditemukan adanya ST elevasi lead V1-V3 dan V5
5. APE
Pre BD APE1 : 130, APE II : 120, APE III : 120
Post BD BD APE1 : 150, APE II : 140, APE III : 180

D. Daftar Masalah
1. Anamnesis
 Sesak napas sejak 3 tahun SMRS. Sesak dirasakan semakin
memberat sejak 3 minggu SMRS
 Riwayat penggunaan obat sesak napas dengan inhalasi (+) sejak 3
yang tahun lalu diperoleh dari Spesialis Paru. Barotec MDI &
Seretide diskus.
 Batuk (+) sejak 3 tahun SMRS, yang dirasakan memberat sejak 3
minggu SMRS disertai dahak ,dahak warna putih kental
 Hipertensi 3 tahun tidak terkontrol
 Riwayat mondok (+) 26 sd 30 Juni 2019 karena sesak napas
 Riwayat merokok 30 tahun x 24 batang = 720 (IB berat)
 Riwayat OAT 2017
2. Pemeriksaan Fisik
 Tekanan darah : 170/100 mmHg
 Frekuensi pernapasan : 28 x/menit
 BB : 85kg, TB : 165 cm, BMI : 31,25 (Obesitas)
 Pulmo :
o Anterior :
Suara tambahan : Wheezing (+/+)
o Posterior :
Suara tambahan : Wheezing (+/+)
E. Asessment
a. PPOK
b. Bekas TB paru
F. Tatalaksana
 ACC mondok
 O2 3 lpm
 Nebulisasi combivent + pulmicort
 Inj. Dexamethasone 1 amp
 Konsul jantung
 Lain-lain sesuai TS dibangsal
G. Planning
 Sputum Mo/G/K/r
 Spirometri
 Konsul jantung
 APE harian
H. Prognosis
 Ad vitam : dubia
 Ad sanationam : dubia
 Ad fungsionam : dubia
Follow up
Tanggal/Jam Catatan Perkembangan Terintegrasi
30/06/2019 S: Sesak nafas (+)
DPH 0 Pasien rujukan RS. Keluarga Sehat Pati dengan PPOK eksaserbasi
akut. Sesak sejak 3 tahun SMRS, memberat 3 minggu SMRS.
Sesak datang saat beraktivitas, terbangun malam hari karena sesak
(-). Riwayat penggunaan obat semprot (+) sejak 3 tahun yang lalu,
yaitu berotec MDI dan seretide drug. Batuk (+) jarang-jarang,
dahak (+) warna putih kental, batuk darah (-), riwayat batuk darah
(-).
Demam (-), sumer-sumer (-), mual (-), muntah (-), keringat malam
hari tanpa aktivitas, BAK dan BAB tidak ada keluhan.
RDT :
OAT (+) 2017 selama 6 bulan dinyatakan tuntas berobat tetapi
tidak ada bukti bakteriologis.
DM (-)
Hipertensi (+) 3 tahun yang lalu, tidak rutin minum obat
amlodipine
PPOK (+) sejak selesai pengobatan TB 2017
Riwayat social ekonomi: Pekerjaan sopir. Merokok 24 batang
selama 30 tahun (720 batang)
Pekerjaan : sopir
Riwayat paparan kayu bakar (-)
Riwayat mondok : 26-30 juni 2019 dengan keluhan sesak degan
PPOK
Riwayat pemeriksaan :
-TCM : MTB not detected (28/6/2019)
-APE di RSDM → pro BD → APE1 = 130, APE2 = 120, APE3 =
120 → post BD → APE1 = 150, APE2 = 140, APE3 = 180
O:
KU : sakit sedang, CM
VS : TD : 170/90 mmHg Nadi : 95x/ menit RR : 22x/ menit SpO2
: 97% QSOFA = 1, SOFA SCORE = 0
BB ; 85 kg, TB : 165 cm, BMI : 31,25 kg/m2
Kepala : mesocephal
Mata: CA -/- SI -/-
Leher : JVP dalam batas normal, KGB tidak teraba membesar
Thoraks : simetris (+), venektasi (-)
Cor : Bunyi jantung I-II reguler, bising (-), batas jantung melebar,
murmur (-)

Pulmo :
I : Pengembangan dada kiri = kanan
P :Fremitus raba dada kiri = kanan
P : sonor/ sonor
A : SDV +/ SDV +, wheezing (+/+),Rbh (-/-)
Cor : BJ 1 2 reguler, murmur –
Abdomen : supel, BU (+)
Ekstremitas : Akral dingin -/-/-/-, CRT < 2 detik, edema -/-/-/-

Hasil lab
Hb : 17.7
Ht : 54
Leukosit : 16,9
Trombosit : 322
Neutrophil : 92,60
Limfosit : 2,30
SGOT : 31
SGPT : 57
Bilirubin : 0,49
Creatinin : 1,4
Urea : 84
LDH : 434
Elektrolit : 138
Kalium : 4,0
Chloride : 98
HbsAg : NR
Rontgen Thoraks : atelectasis paru kanan lobus superior
Daftar masalah
- Sesak 3 tahun, memberat 3 minggu SMRS
- Batuk berdahak, warna putih kental
- Hipertensi 3 tahun yang lalu, TD : 170/90
- Riwayat OAT 2017
- Pulmo :
I : pengenbangan paru kanan = kiri
P : fremitus raba kanan = kiri
P : sonor/sonor
A : SDV (+/+), wheezing (+/+), Rbh (-/-)
- Lab : leukositosis
- Rontgen : opasitas homogeny di paru kanan lobus superior
A:
1. PPOK eksaserbasi akut dd TOPD dd ACO
2. Bekas TB
3. Atelectasis paru kanan lobus superior
4. Hipertensi grade II, dengan masalah peningkatan enzim
transaminase, azotemia
P:
Terapi
1. O2 2 lpm
2. Diet TKTP 1500kkal
3. Infus NaCL 0.9% 20 tpm
4. Nebulisasi BA/8jam
5. Nebulisasi pulmicort/6jam
6. Nebulisasi combivent (IGD)
7. Inj. Levofloxacin 700 mg/24 jam
8. Inj metilprednisolon 30mg/8jam
9. N asetil sistein 3x200mg
10. Curcuma 3x1
Plan
1. Sputum MO/G/K/R
2. Spirometri
3. Konsul jantung
4. APE jam 22.00 post BD I : 160 II : 160 III : 200 dan jam 05.00
pre BD
5. Bronkoskopi
01/07/2019 S: Sesak (+)
DPH 1 O:
KU : sakit sedang, CM
VS : TD : 170/80 mmHg Nadi : 88x/ menit RR : 22x/ menit SpO2
: 99%
Pulmo :
I : Pengembangan dada kiri = kanan
P :Fremitus raba dada kiri = kanan
P : sonor/ sonor
A : SDV +/ SDV +, wheezing (+/+), RBH (-/-)
Cor : BJ 1 2 reguler, murmur –
Abdomen : supel, BU (+)
Ekstremitas : Akral dingin -/-/-/-, CRT < 2 detik, edema -/-/-/-
A:
1. PPOK eksaserbasi akut dd TOPD dd ACO
2. Bekas TB
3. Atelectasis paru kanan lobus superior
4. Hipertensi grade II, dengan masalah peningkatan enzim
transaminase, azotemia
P:
Terapi
1. O2 2 lpm
2. Diet TKTP 1500kkal
3. Infus NaCL 0.9% 20 tpm
4. Nebulisasi BA/8jam
5. Nebulisasi pulmicort/6jam
6. Inj. Levofloxacin 700mg/24jam
7. Inj metilprednisolon 30mg/8jam
8. N asetil sistein 3x200mg
9. Curcuma 3x1
Plan:
-spirometri
-konsul jantung (+) ACC raber
-APE post BD pukul 20.00 : 200, pre BD pukul 05.00 : 250
Variabilitas harian APE :
𝐴𝑃𝐸 𝑚𝑎𝑙𝑎𝑚 − 𝐴𝑃𝐸 𝑝𝑎𝑔𝑖
𝑥 100%
1
(𝐴𝑃𝐸 𝑚𝑎𝑙𝑎𝑚 + 𝐴𝑃𝐸 𝑝𝑎𝑔𝑖)
2

200 − 250
𝑥 100%
1
(
2 200 + 250)
− 50
𝑥 100% = 22,2%
225

02/07/2019 S: Sesak (+)


DPH 2 O:
06.00 KU : sakit sedang, CM
VS : TD : 130/80 mmHg Nadi : 75x/ menit RR : 22x/ menit SpO2
: 98%
Kepala : mesocephal
Mata: CA -/- SI -/-
Pulmo :
I : Pengembangan dada kiri = kanan
P :Fremitus raba dada kiri = kanan
P : sonor/ sonor
A : SDV +/ SDV +, wheezing (+/+), RBH (-/-)
Cor : BJ 1 2 reguler, murmur –
Abdomen : supel, BU (+)
Ekstremitas : Akral dingin -/-/-/-, CRT < 2 detik, edema -/-/-/-
A:
1. PPOK eksaserbasi akut dd TOPD dd ACO
2. Bekas TB
3. Atelectasis paru kanan lobus superior
4. Hipertensi grade I, dengan masalah peningkatan enzim
transaminase, azotemia
P:
Terapi
1. O2 2 lpm
2. Diet TKTP 1500kkal
3. Infus NaCL 0.9% 20 tpm
4. Nebulisasi BA/8jam
5. Nebulisasi pulmicort/6jam
6. Inj. Levofloxacin 700mg/24jam (H3)
7. Inj metilprednisolon 30mg/12jam
8. N asetil sistein 3x200mg
9. Curcuma 3x1
Plan:
-spirometri
-konsul jantung (+) ACC raber
- bronkoscopy
Hasil Pemeriksaan Laboratorium 2 Juli 2019

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


HEMATOLOGI HEMOSTASIS
PT 12.8 Detik 10.0-15.0
APTT 23.4 detik 20.0-40.0
INR 1.000

Hasil Pemeriksaan dalam batas normal

03/07/2019 S: Sesak (-), batuk (-)


DPH 3 O:
08.00 KU : sakit sedang, CM
VS : TD : 130/80 mmHg Nadi : 90x/ menit RR : 22x/ menit SpO2
: 99%
Kepala : mesocephal
Mata: CA -/- SI -/-
Pulmo :
I : Pengembangan dada kiri = kanan
P :Fremitus raba dada kiri = kanan
P : sonor/ sonor
A : SDV +/ SDV +, wheezing (-/-), RBH (-/-)
Cor : BJ 1 2 reguler, murmur –
Abdomen : supel, BU (+)
Ekstremitas : Akral dingin -/-/-/-, CRT < 2 detik, edema -/-/-/-
A:
1. PPOK eksaserbasi akut dd TOPD dd ACO
2. Bekas TB
3. Atelectasis paru kanan lobus superior
4. Hipertensi grade I, dengan masalah peningkatan enzim
transaminase, azotemia
P:
Terapi
1. O2 2 lpm
2. Diet TKTP 1500kkal
3. Infus NaCL 0.9% 20 tpm
4. Nebulisasi BA/8jam
5. Nebulisasi pulmicort/6jam
6. Inj. Levofloxacin 700mg/24jam (H4)
7. Inj metilprednisolon 30mg/8jam
8. N asetil sistein 3x200mg
9. Curcuma 3x1
Plan:
-spirometri
-konsul jantung (+)
-bronkoskopi – (02/07/2017)

Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi Klinik (03/07/2019)


Microorganism : Acinetobacter baumannii
 Ampicilin/silbactam : S
 Ciprofloxacin : S
 Ceftazidime : S
 Gentamicin : S
Komentar/saran : ampicilin/sulbactam

04/07/2019 S: Sesak (-)


DPH 4 O:
07.00 KU : sakit sedang, CM
VS : TD : 140/80 mmHg Nadi : 80x/ menit RR : 22x/ menit SpO2
: 99%
Kepala : mesocephal
Mata: CA -/- SI -/-
Pulmo :
I : Pengembangan dada kiri = kanan
P :Fremitus raba dada kiri = kanan
P : sonor/ sonor
A : SDV +/ SDV +, wheezing (-/-), RBH (-/-)
Cor : BJ 1 2 reguler, murmur –
Abdomen : supel, BU (+)
Ekstremitas : Akral dingin -/-/-/-, CRT < 2 detik, edema -/-/-/-
A:
1. Pnemumoni bacterial ec Acinetobacter baumannii
2. PPOK eksaserbasi akut dd TOPD dd ACO
3. Bekas TB
4. Atelectasis paru kanan lobus superior
5. Hipertensi grade I, dengan masalah peningkatan enzim
transaminase, azotemia
P:
Terapi
1. O2 2 lpm
2. Diet TKTP 1500kkal
3. Infus NaCL 0.9% 20 tpm
4. Nebulisasi BA/8jam
5. Nebulisasi pulmicort/6jam
6. Inj. Ampisilin sulbactam 1,5mg/8jam
7. N asetil sistein 3x200mg
8. Curcuma 3x1
Plan:
-spirometri
-bronkoskopi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PPOK
1. Definisi
Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru
kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial., bersifat
progresif, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang
disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan
gambaran gangguan sistemik.
2. Faktor Resiko
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian PPOK antara lain:
a. Asap rokok
Asap rokok mempunyai prevalens yang tinggi sebagai penyebab
gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Risiko PPOK pada
perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai
merokok, jumlah batang rokok perhari dan lamanya merokok
(Indeks Brinkman). Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman
(IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari
dikalikan lama merokok dalam tahun
- Ringan : 0-199
- Sedang : 200-599
- Berat : >600
b. Polusi udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar
dapat menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam
partikel akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan
beratnya PPOK. Polusi udara terbagi menjadi:
Polusi di dalam ruangan
- Asap kompor
- Asap rokok
Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan bermotor
- Debu jalanan
Polusi di tempat kerja
- Bahan kimia
- Zat iritasi
- Gas beracun
c. Stres oksidatif
Paru yang telah terpajan oksidan endogen dan eksogen. Oksidan
endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan
eksogen dari polutan dan asap rokok. Oksidan intraseluler (endogen)
seperti derivat elektron mitokondria transpor termasuk dalam
mekanisme selular signaling pathway. Sel paru dilindungi oleh
oxydative chalenge yang berkembang secara sistem enzimatik atau
non enzimatik. Ketika keseimbangan antara oksidan dan antioksidan
berubah bentuk misalnya ekses oksidan dan atau deplesi antioksidan
akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya
menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan
aktifitas molekuler sebagai awal inflamasi paru.
d. Infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas
PPOK. Kolonisasai bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas,
berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran
napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan
meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa. Pengaruh berat badan
lahir rendah akan meningkatkan infeksi viral yang juga merupakan
faktor risiko PPOK. Kebiasaan merokok berhubungan dengan
kejadian emfisema. Riwayat infeksi tuberkulosis berhubungan dengan
obstruksi jalan napas pada usia lebih dari 40 tahun.
e. Jenis Kelamin
Kejadian PPOK lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan,ini
dodebakan akibat lak-laki lebih banyak yang merokok dan terkena
paparan polusi daipada wanita. Tapi,akhir-akhir ini kejadian PPOK
pada negaran berpenghasilan tinggi antra laki-laki dan perempuan
hampir sama yang disebabkan karena meningkatnya perilaku merokok
pada perempuan.
f. Gen
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan -1
antitrypsin sebagai inhibitor dan protease serin. Sifat resesif ini jarang,
paling sering dijumpai pada individu yang berasal dari Eropa Utara.
Ditemukan pada usia muda dengan kelainan enfisema panlobular
dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau
bukan perokok dengan kekurangan -1 antitrypsin yang berat.
g. Infeksi
Infeksi yang terjadi pada awal kehidupan bisa berkembang menjadi
bronkiektasis ataupun perubahan pada saluran pernapasan.Paparan
infeksi ini sangat berkaitan dengan perkembangan PPOK. Eksasrbasi
PPOK juga bisa dipengaruhi oleh infeksi bakteri atau virus.
3. Patogenesis
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,
metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta
distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara
anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
a. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan
meluas ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering
akibat kebiasaan merokok lama
b. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli
secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah
c. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai
saluran napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses
terlokalisir di septa atau dekat pleura
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi
karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu: inflamasi,
fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama
obstruksi jalan napas.

Gambar 2.1 Patogenesis PPOK


d. Klasifikasi

Derajat Gejala Faal Paru


Ringan Tidak ada gejala waktu VEP1 >80% prediksi,
istirahat VEP/KVP <75%
Tidak ada gejala waktu
istirahat namun gejala
Sedang ringan saat latihan sedang
Tidak ada gejala waktu VEP1 30-80% prediksi,
istirahat tetapi mulai VEP/KVP <75%
Berat terasa saat latihan ringan
Gejala ringan pada VEP1 <30% prediksi,
waktu istirahat VEP/KVP <75%
Gejala sedang pada
waktu istirahat

Tanda kardiopulmal
e. Diagnosis

Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi

1. Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)


2. Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding)
3. Penggunaan otot bantu napas
4. Hipertropi otot bantu napas
5. Pelebaran sela iga
6. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis leher dan edema tungkai
7. Penampilan pink puffer atau blue bloater

Palpasi

Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.

Perkusi

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak


diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.

Auskultasi

1. Suara napas vesikuler normal, atau melemah


2. Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa
atau pada ekspirasi paksa ekspirasi memanjang bunyi jantung
terdengar jauh.
3. Pemeriksaan Darah Rutin
 Hemoglobin
 Hematokrit
 Trombosit
 Leukosit
 Analisa gas darah
4. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran:
 Hiperinflasi
 Hiperlusen
 Ruang retrosternal melebar
 Diafragma mendatar
 Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik:
 Normal
 Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
5. Pemeriksaan penunjang lanjutan
 Faal paru lengkap
 Uji latih kardiopulmoner
 Uji provokasi bronkus
 Analisa gas darah
 Radiologi
 EKG
 Ekokardiografi
 Bakteriologi
 Kadar -1 antitripsin
f. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan :

 Mengurangi gejala
 Mencegah eksaserbasi berulang
 Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
 Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan PPOK secara umum, meliputi: edukasi, berhenti
merokok, obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanis,
nutrisi.

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan non reversible,


sehingga penatalaksanaannya dibedakan menjadi penatalaksanaan pada
kondisi stabil dan penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
Penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut
1. Edukasi
Tujuan edukasi pada pasien PPOK:
- Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
- Melaksanakan pengobatan yang maksimal
- Mencapai aktivitas optimal
- Meningkat kualitas hidup penderita

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut


secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri
maupun bagi keluarganya. Edukasi yang tepat diharapkan dapat
mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup
walaupun dengan keterbatasan.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah:

- Pengetahuan dasar tentang PPOK


- Obat-obata, manfaat, dan efek samping
- Cara mencegah perburukan penyakit
- Menghindari pencetus (berhenti merokok)
- Penyesuaian aktivitas

Pemberian edukasi berdasarkan derajat penyakit:


Ringan Penyebab dan pola penyakit PPOK yang
irreversible
Mencegah penyakit menjadi berat dengan
menghindari pencetus
Segera berobat bila timbul gejala
Sedang Menggunakan obat dengan tepat
Mengenai dan mengatasi eksaserbasi dini
Program latihan fisik dan pernafasan
Berat Informasi tentang komplikasi yang dapat
terjadi
Penyesuaian aktivitas dengan
keterbatasan
Penggunaan oksigen di rumah
2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas
lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam - macam bronkodilator:
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali
perhari).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya
eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan
bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat
digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk
tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas),
bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi,
dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk
inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang
digunakan:
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin,
kuinolon, makrolid baru
Apabila dilakukan perawatan di rumah sakit :
dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian
yang rutin.
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis
kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi
pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin.

3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang
sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan
mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.
Manfaat pemberian oksigen:
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup

Indikasi
- PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai kor
pulmonal, perubahan pulmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal
jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain
Macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit.
Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil
derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit
oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat
daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk
penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy =
LTOT )
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada


keadaan stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama
pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul
1 - 2 liter/menit. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan
mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak
napas dan meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter
digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri.
Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
Alat bantu pemberian oksigen
- Nasal kanul
- Sungkup venturi
- Sungkup rebreathing
- Sungkup nonrebreathing

Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen


dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut.

4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau
pada pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi
mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di
rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi

5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi
yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan
menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat
penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah. Malnutrisi
dapat dievaluasi dengan:
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan
otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak
akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK
tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme
karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk
denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan
secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah
karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit oxygen comsumption dan respons
ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK
dengan gagal napas, kelebihan pemasukan protein dapat
menyebabkan kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering
terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi
sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit
yang terjadi adalah :
- Hipofosfatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan
pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil
dengan waktu pemberian yang lebih sering.

6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan
dan memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang
dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah
mendapatkan pengobatan optimal yang disertai:
- Gejala pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualitas hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh
suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori
terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,
psikososial dan latihan pernapasan.
1. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti system
transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan
a. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan
b. Endurance exercise
Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan.
Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang
mengalami kelelahan pada otot pernapasannya sehingga tidak
dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk
melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan
khusus pada otot pernapasam akan mengakibatkan
bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum, memperbaiki
kualitas hidup dan mengurangi sesak napas. Pada penderita
yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot
pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk
latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan
lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita
PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan pada
otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan
diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi
dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan
endurance yang diutamakan.
c. Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada
penderita PPOK. Bertambahnya cardiac output maksimal dan
transportasi oksigen tidak sebesar pada orang sehat. Latihan
jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya
toleransi latihan karena meningkatnya toleransi karena
meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya
konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan
resultante dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dari
toleransi terhadap asam laktat.Sesak napas bukan satu-satunya
keluhan yang menyebabkan penderita PPOMJ menghentikan
latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan otot
kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin
merupakan faktor yang dominan untuk menghentikan
latihannya.
Berkurangnya aktivitas kegiatan sehari-hari akan
menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal. Imobilitasasi
selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan
otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti
enzim metabolik. Berbaring di tempat tidur dalam jangka
waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake
dan control kardiovaskuler.
Penatalaksanaan PPOK stabil

Kriteria PPOK stabil adalah :


- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah
menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
- Dahak jernih tidak berwarna
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil
spirometri)
- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :
- Mempertahankan fungsi paru
- Meningkatkan kualiti hidup
- Mencegah eksaserbasi
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi
berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah
eksaserbasi.
Penatalaksanaan di rumah

Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang


stabil. Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien
sendiri maupun oleh keluarganya. Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga
bagi penderita PPOK berat yang harus menggunakan oksigen atau ventilasi
mekanik.
Tujuan penatalaksanaan di rumah :
a. Menjaga PPOK tetap stabil
b. Melaksanakan pengobatan pemeliharaan
c. Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini

d. Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan


e. Menjaga penggunaan ventilasi mekanik
f. Meningkatkan kualiti hidup
Penatalaksanaan di rumah meliputi :
1. Penggunakan obat-obatan dengan tepat.
Obat-obatan sesuai klasifikasi (tabel 2). Pemilihan obat dalam bentuk
dishaler, nebuhaler atau tubuhaler karena penderita PPOK biasanya berusia
lanjut, koordinasi neurologis dan kekuatan otot sudah berkurang.
Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang efektif. Nebuliser sebaiknya tidak
digunakan secara terus menerus. Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya
bila timbul eksaserbasi, penggunaan terus menerus, hanya jika timbul
eksaserbasi.
2. Terapi oksigen
Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat
sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan
pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang terapi oksigen di rumah
pada waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu
tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter.
3. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya. Beberapa penderita
PPOK dapat menggunakan mesin bantu napas di rumah (lihat hal 25)
4. Rehabilitasi
- Penyesuaian aktiviti
- Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough)
- "Pursed-lips breathing"
- Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas
5. Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :
- Tanda eksaserbasi
- Efek samping obat
- Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen

B. Pneumonia
1. Definisi
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan
paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit
dan lain-lain). Biasanya pneumonia yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis tidak dimasukkan.

Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di


paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila
terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme
dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit.

Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan


mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran
napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan yaitu
inokulasi langsung, penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan
aerosol, kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut di atas yang terbanyak adalah secara


kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme
atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran
0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol
dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran
napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas
bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan
permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian
kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat
(drug abuse).

Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di


Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara
pengambilan bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda
didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut : Klebsiella
pneumoniae (45,18%), Streptococcuspneumoniae (14,04%),
Streptococcus viridans (9,21%), Staphylococcus aureus (9%),
Pseudomonas aeruginosa (8,56%), Steptococcus hemolyticus (7,89%),
Enterobacter(5,26%), dan Pseudomonas spp (0,9%).

2. Etiologi
a. Bakteri
Pneumonia bakterial dibagi menjadi dua bakteri penyebabnya yaitu
1. Typical organisme
Penyebab pneumonia berasal dari gram positif berupa :

- Streptococcus pneumonia : merupakan bakteri anaerob


facultatif.7 Bakteri patogen ini di temukan pneumonia komunitas
rawat inap di luar ICU sebanyak 20-60%, sedangkan pada
pneumonia komunitas rawat inap di ICU sebanyak 33%.
- Staphylococcus aureus : bakteri anaerob fakultatif. Pada pasien
yang diberikan obat secara intravena (intravena drug abusers)
memungkan infeksi kuman ini menyebar secara hematogen dari
kontaminasi injeksi awal menuju ke paru-paru. Kuman ini
memiliki daya taman paling kuat, apabila suatu organ telah
terinfeksi kuman ini akan timbul tanda khas, yaitu peradangan,
nekrosis dan pembentukan abses. Methicillin-resistant S. Aureus
(MRSA) memiliki dampak yang besar dalam pemilihan
antibiotik dimana kuman ini resisten terhadap
beberapa antibiotik.
- Enterococcus (E. faecalis, E faecium) : organisme streptococcus
grup D yang merupakan flora normal usus.
Penyebab pneumonia berasal dari gram negatif sering
menyerang pada pasien defisiensi imun (immunocompromised) atau
pasien yang di rawat di rumah sakit, di rawat di rumah sakit dalam
waktu yang lama dan dilakukan pemasangan endotracheal tube.
Contoh bakteri gram negatif dibawah adalah :

- Pseudomonas aeruginosa : bakteri anaerob, bentuk batang


dan memiliki bau yang sangat khas.7
- Klebsiella pneumonia : bakteri anaerob fakultatif, bentuk
batang tidak berkapsul. Pada pasien alkoholisme kronik,
diabetes atau PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
dapat meningkatkan resiko terserang kuman ini.
- Haemophilus influenza : bakteri bentuk batang anaerob
dengan berkapsul atau tidak berkapsul. Jenis kuman ini yang
memiliki virulensi tinggu yaitu encapsulated type B (HiB).
2. Atipikal organisme
Bakteri yang termasuk atipikal ada alah Mycoplasma sp. ,
chlamedia sp. , Legionella sp.
a. Virus
Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui
droplet, biasanya menyerang pada pasien dengan
imunodefisiensi. Diduga virus penyebabnya adalah
cytomegalivirus, herpes simplex virus, varicella zooster virus.
b. Fungi
Infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur
oportunistik, dimana spora jamur masuk kedalam tubuh saat
menghirup udara. Organisme yang menyerang adalah Candida
sp. , Aspergillus sp. , Cryptococcus neoformans.

3. Patofisiologi

Patogen yang sampai ke trakea berasal dari aspirasi bahan yang ada di
orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan
sumber patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. Faktor
risiko pada inang dan terapi yaitu pemberian antibiotik, penyakit penyerta
yang berat, dan tindakan invansif pada saluran nafas. Faktor resiko kritis
adalah ventilasi mekanik >48jam, lama perawatan di ICU. Faktor
predisposisi lain seperti pada pasien dengan imunodefisien menyebabkan
tidak adanya pertahanan terhadap kuman patogen akibatnya terjadi
kolonisasi di paru dan menyebabkan infeksi.Proses infeksi dimana patogen
tersebut masuk ke saluran nafas bagian bawah setelah dapat melewati
mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik ( epitel,cilia, dan
mukosa), pertahanan humoral (antibodi dan komplemen) dan seluler
(leukosit,makrofag, limfosit dan sitokinin). Kemudian infeksi
menyebabkan peradangan membran paru ( bagian dari sawar-udara
alveoli) sehingga cairan plasma dan sel darah merah dari kapiler masuk.
Hal ini menyebabkan rasio ventilasi perfusi menurun, saturasi oksigen
menurun. Pada pemeriksaan dapat diketahui bahwa paru-paru akan
dipenuhi sel radang dan cairan , dimana sebenarnya merupakan reaksi
tubuh untuk membunuh patogen, akan tetapi dengan adanya dahak dan
fungsi paru menurun akan mengakibatkan kesulitan bernafas, dapat terjadi
sianosis, asidosis respiratorik dan kematian.

4. Manifestasi Klinik
Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non
produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen,
atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum
lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan
lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi
atau penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu,
kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak
menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara
pernafasan bronkial, pleural friction rub
5. Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya :
a. Community-Acquired Pneumonia
Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksius ini
sering di sebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia
(Penicillin sensitive and resistant strains ), Haemophilus influenza
(ampicillin sensitive and resistant strains) and Moraxella catarrhalis
(all strains penicillin resistant). Ketiga bakteri tersebut dijumpai hampir
85% kasus CAP. CAP biasanya menular karena masuk melalui inhalasi
atau aspirasi organisme patogen ke segmen paru atau lobus paru-paru.
Pada pemeriksaan fisik sputum yang purulen merupakan karakteristik
penyebab dari tipikal bakteri, jarang terjadi mengenai lobus atau
segmen paru. Tetapi apabila terjadi konsolidasi akan terjadi
peningkatan taktil fremitus, nafas bronkial. Komplikasi berupa efusi
pleura yang dapat terjadi akibat infeksi H. Influenza , emphyema terjadi
akibat infeksi Klebsiella , Streptococcus grup A, S. Pneumonia . Angka
kesakitan dan kematian infeksi CAP tertinggi pada lanjut usia dan
pasien dengan imunokompromis. Resiko kematian akan meningkat
pada CAP apabila ditemukan faktor komorbid berupa peningkatan
respiratory rate, hipotensi, demam, multilobar involvement, anemia dan
hipoksia.
b. Hospital-Acquired Pneumonia
Berdasarkan America Thoracic Society (ATS) , pneumonia nosokomial
( lebih dikenal sebagai Hospital-acquired pneumonia atau Health care-
associated pneumonia ) didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul
setelah lebih dari 48 jam di rawat di rumah sakit tanpa pemberian
intubasi endotrakeal . Terjadinya pneumonia nosokomial akibat tidak
seimbangnya pertahanan inang dan kemampuan kolonisasi bakteri
sehingga menginvasi traktus respiratorius bagian bawah. Bakteria yang
berperan dalam pneumonia nosokomial adalah P. Aeruginosa ,
Klebsiella sp, S. Aureus, S.pneumonia. Penyakit ini secara signifikan
akan mempengaruhi biaya rawat di rumah sakit dan lama rawat di
rumah sakit. ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset
(biasanya muncul selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late
onset (biasanya muncul setelah lebih dari 5 hari perawatan di rumah
sakit). Pada early onset pneumonia nosokomial memili prognosis baik
dibandingkan late onset pneumonia nosokomial; hal ini dipengaruhi
pada multidrug-resistant organism sehingga mempengaruhi
peningkatan mortalitas.

Pada banyak kasus, diagnosis pneumonia nosokomial dapat


diketahui secara klinis, serta dibantu dengan kultur bakteri; termasuk
kultur semikuantitatif dari sample bronchoalveolar lavange (BAL).

c. Ventilator-Acquired pneumonia

Pneumonia berhubungan dengan ventilator merupakan pneumonia


yang terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi trakea.
Ventilator adalah alat yang dimasukan melalui mulut atau hidung, atau
melalu lubang di depan leher. Infeksi dapat muncul jika bakteri masuk
melalui lubang intubasi dan masuk ke paru-paru.

6. Diagnosis
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala
klinis pemeriksaan fisik, foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti
pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat
baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah
ini:

 Batuk-batuk bertambah
 Perubahan karakteristik dahak/purulen
 Suhu tubuh >38C (axilla)/ riwayat demam
 Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara nafas
bronkial dan ronki
 Leukosit > 10.000 atau <4500
Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komuniti dapat
dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian
pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti tabel

berikut:

Tabel Penilaian keparahan pneumonia /Pneumonia Severity Index (PSI)

Tabel Derajat Skor Risiko


Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk
indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah:

1. Skor PSI lebih dari 70


2. Bila skor PSI kurang dari 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria berikut:
 Frekuensi napas >30x/menit
 PaO2/FiO2 kurang dari 250mmHg
 Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
 Foto toraks paru melibatkan >2 lobus
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
Alur diagnosis dan tatalaksana pneumonia komuniti

7. Komplikasi

1. Pneumonia ekstrapulmoner, pneumonia pneumokokus dengan


bakteriemi.
2. Pneumonia ekstrapulmoner non infeksius gagal ginjal, gagal jantung,
emboli paru dan infark miokard akut.
3. ARDS ( Acute Respiratory Distress Syndrom)
4. Komplikasi lanjut berupa pneumonia nosokomial
5. Sepsis
6. Gagal pernafasan, syok, gagal multiorgan
7. Penjalaran infeksi (abses otak, endokarditis)
8. Abses paru
9. Efusi pleura
Komplikasi pneumonia yang dapat menyebabkan kematian
memiliki mekanisme sebagai berikut,

Gambar 1. Komplikasi pneumonia yang menyebabkan kematian


8. Terapi
PEMBERIAN ANTIBIOTIK SECARA EMPIRIS PADA CAP
Pasien berobat jalan
Pasien yang sebelumnya sehat dan tidak menggunakan
antibiotika pada 3 bulan terakhir
Macrolide [klaritromisin (500mg PO bid) atau
azitromisisn (500mg PO sekali, kemudian 250 mg od)]
atau
Doksisiklin (100mg PO bid)
Pasien dirawat, non ICU
Fluorokuinolon respirasi [moksifloksasin (400 mg PO
atau IV od), gemifloksasin (320mg PO od), levofloksasin
(750 mg PO atau IV od)
Pasien dirawat , ICU
- β – laktam (sefotaksim 1-2 g IV q8h), seftriakson (2 g IV
od) plus
Azitromisisn atau fluoroquinolon

Pemberian Antibiotik Secara Empiris Pada Pneumonia


Tanpa Faktor Resiko Multi-drug Resistant (MDR)
Seftriakson (2g IV q24h) atau
Moksifloksasin (400mg IV q24h), ciprofloksasin (400mg IV
q8h), atau levofloksasin (750 mg IV q24h) atau
Ampisilin/sulbaktam (3 g IV q6h) atau Ertapenem (1 g IV
q24h)

Pemberian antibiotik secara empiris pada pneumonia


dengan faktor resiko multi-drug resistant (MDR)
1. β-laktam : seftazidim (2 g IV q8h) atau sefepim (2 g IV
q8-12h) atau Pipersilin (4,5 g IV q6h), imipenem (500
mg IV q6h)
2. Obat kedua yang aktif terhadap patogen gram negatif
Gentamisin ( 7 mg/kg IV q24h) atau amikasin (20
mg/kg IV q24h) atau siprofloksasin (400 mg IV q8h)
atau levofloksasin (750 mg IV q24h)
3. Obat aktif terhadap bakteri patogen gram positif :
Linezolid (600mg IV q12h) atau
Vankomisin (15 mg/kg, sampai 1 g IV, q12h)

H. Evaluasi Pengobatan
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72
jam tidak ada perbaikan, kita harus meninjau kembali diagnosis, faktor-
faktor penderita, obat-obat yang telah diberikan dan bakteri
penyebabnya, seperti pada gambar 2.

Gambar 2. Faktor-faktor yang menentukan evaluasi pengobatan

9. Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor
penderita, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta
adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi
prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka kematian
penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan
, sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%.
Menurut Infectious Disease Society Of America ( IDSA ) angka
kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu
kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar
2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa
meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan
peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap
angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%,
sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -35%

10. Pencegahan
 Pola hidup termasuk tidak merokok
 Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza)
 Sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian tentang
efektivitasnya.
 Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk golongan risiko
tinggi misalnya usia lanjut, dan penyakit kronik seperti diabetes,
penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang
direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi
yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang
terjadi yaitu hipersensitiviti tipe 3.
BAB III

ANALISIS KASUS

Pasien merupakan seorang laki-laki usia 54 tahun rujukan dari RS Swasta


di Pati dengan keterangan PPOK Eksaserbasi Akut. Pasien dirujuk dengan
keluhan sesak nafas sejak 3 tahun SMRS. Sesak nafas dirasakan memberat 10
hari SMRS, terutama pada saat aktivitas. Terbangun pada malam hari karena
sesak (-), riwayat penggunaan obat semprot (+) sejak 3 tahun yang lalu dengan
Berotec MDI dan Seretide Diskus, mengi (+).

Pada pasien juga didapatkan keluhan batuk berdahak berwarna putih,


batuk darah (-) dan riwayat batuk darah (-). Demam (-), sumer sumer (-), mual
(-), muntah (-), riwayat keringat malam tanpa aktivitas (-), BAK dan BAB
tidak ada keluhan.

Pasien memiliki riwayat keluhan serupa (PPOK) sejak selesai pengobatan


TB tahun 2016, riwayat meminum obat anti tuberkulosis (OAT) pada tahun
2016 selama 6 bulan dan dinyatakan tuntas berobat namun tidak ada bukti.
Kemudian didapatkan riwayat hipertensi sejak 3 tahun yang lalu namun tidak
meminum obat hipetensi. Pasien mengaku merupakan perokok aktif sebanyak
24 batang rokok/hari selama 30 tahun, namun sudah berhenti sejak
pengobatan TB. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pengembangan dan
fremitus dada kanan-kiri simetris, suara sonor pada perkusi seluruh lapang
paru, suara dasar vesikuler simetris kanan-kiri, didapatkan suara tambahan
wheezing dan ronkhi basah kasar di kedua lapang paru. Hasil anamnesis dari
keluhan utama, riwayat pasien, dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis
PPOK dan bekas TB paru.

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif non reversible atau reversible
parsial. Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut adalah :
 Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15
tahun) 60-70%
 Pertambahan penduduk
 Industrialisasi
 Polusi udara terutama di kota besar, lokasi industry dan
pertambangan

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium tuberculosis kompleks. Cara penularan TB melalui droplet
dari penderita TB lain dengan tes BTA positif. Faktor yang memungkinkan
seseorang terpajan kuman TB adalah berdasarkan jumlah konsentrasi kuman
pada droplet yang terkena. Setelah itu kuman TB akan memasuki tubuh dan
membentuk fokus primer atau disebut fokus Gohn. Sekitar 98% fokus primer
terletak di paru, sehingga menyebabkan gejala utama pada paru. Gejala klinis
yang berhubungan dengan sistem respiratori pada TB paru adalah:

 Batuk ≥2 minggu
 Batuk darah
 Sesak nafas
 Nyeri dada

Sedangkan gejala sistemik yang terjadi dapat berupa demam, malaise,


keringan malam, anoreksia, dan berat badan menurun.

Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar


penderita yang sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian besar penderita,
secara klinik timbul gejala sesak terutama pada saat beraktivitas. Pada
pemeriksaan radiologi akan tampak gambaran bekas TB (fibrotic, kalsifikasi)
yang minimal dan uji fungsi paru akan tampak gambaran obstruksi jalan napas
yang tidak reversible. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam
kategori penyakit Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT).
Pada pasien ini saat di IGD, didapatkan adanya kemungkinan PPOK
eksaserbasi akut yang didapatkan akibat dari bekas infeksi TB yang pertama
muncul ditambah dengan adanya faktor kebiasaan merokok yang berperan
dalam peningkatan penyakit PPOK. Selain itu, didapatkan juga diagnosis
atelektasis paru kanan lobus superior dan hipertensi grade I. Pasien kemudian
dirawat di bangsal paru RSDM dan mendapatkan terapi O2 2 lpm untuk
meningkatkan uptake O2, pemberian nebulisasi combivent/8 jam di IGD,
BA/8 jam dan pulmicort/6 jam diberikan sebagai antiinflamasi untuk PPOK
eksaserbasi akut, injeksi levofloxacin 750mg/24 jam untuk menangani
kemungkinan infeksi yang terliha dari peningkatan leukosit dan presentase
neeutrofil pasien, injeksi metilprednisolon 30mg/8 jam diberikan sebagai
antiinflamasi PPOK eksaserbasi akut, pemberian N-acetyl cystein 3x200mg
sebagai pengencer dan memecah kekentalan dahak karena pada pasien ini juga
mengalami keluhan batuk berdahak putih kental, diet TKTP 1500 kkal untuk
menangani penurunan nafsu makan disertai penurunan berat badan serta IVFD
NaCl 0,9% 20 tpm. Pasien juga mendapat curcuma 3x1 tablet diberikan
sebagai suplemen penambah nafsu makan.

Selain itu, pasien direncanakan untuk pemeriksaan sputum untuk evaluasi


TB, pemeriksaan insentif spirometri untuk mengecek fungsi paru dan konsul
ke bagian jantung. Setelah konsul ke bagian jantung, pasien mendapatkan
terapi ramipril 5 mg/24jam.

Setelah mendapat terapi yang sama selama 3 hari, hasil uji sputum keluar
dan menunjukan adanya penumonia bacterialis ec infeksi bakteri
Acinetobacter baumannii, dan disarankan untuk pemberian terapi ampicillin
sulbactam.
BAB V

KESIMPULAN

Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 3 tahun SMRS. Sesak nafas


dirasakan memberat 10 hari SMRS, terutama pada saat aktivitas. Terbangun
pada malam hari karena sesak (-), riwayat penggunaan obat semprot (+) sejak
3 tahun yang lalu dengan Berotec MDI dan Seretide Diskus, mengi (+). Batuk
berdahak berwarna putih (+), batuk darah (-) dan riwayat batuk darah (-).
Demam (-), sumer sumer (-), mual (-), muntah (-), riwayat keringat malam
tanpa aktivitas (-), BAK dan BAB tidak ada keluhan.

Pasien memiliki riwayat PPOK sejak selesai pengobatan TB tahun 2016,


riwayat meminum obat anti tuberkulosis (OAT) pada tahun 2016 selama 6
bulan dan dinyatakan tuntas berobat namun tidak ada bukti. Kemudian
didapatkan riwayat hipertensi sejak 3 tahun yang lalu namun tidak meminum
obat hipetensi. Pasien mengaku merupakan perokok aktif sebanyak 24 batang
rokok/hari selama 30 tahun, namun sudah berhenti sejak pengobatan TB.

Berdasarkan hasil pemeriksaan rontgen thorax (30 Juni 2019) didapatkan


tampak fibroinfiltrat disertai airbronchogram di suprahillar kanan kiri, tampak
pula infiltrat disertai airbronchogram di para hillar kiri. Kemudian tampak
sinus costophrenicus kanan anterior posterior tajam, kiri anterior posterior
tumpul, retrosternal normal dan retrocardiac space tertutup perselubungan.
Kesimpulan hasil pemeriksaan didapatkan TB paru lama aktif lesi luas mixed
pneumonia dan efusi pleura kiri.

Hasil AGD terakhir (30 Juni 2019) didapatkan kesan dalam batas normal.

Di bangsal paru RSDM pasien mendapatkan terapi mendapatkan terapi O2


2 lpm, nebulisasi BA/8 jam dan pulmicort/6 jam, injeksi levofloxacin
750mg/24 jam, injeksi metilprednisolon 30mg/8 jam, pemberian N-acetyl
cystein 3x200mg, diet TKTP 1500 kkal, IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, curcuma
3x1 tablet, dan ramipril 5mg/24 jam sesuai TS Jantung.
DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK (Pemyakit Paru Obstruksi


Kronik). Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
2011.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease l. Global Strategy for
diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive lung
disease. 2012.

Dodd JW, Hogg I, Nolan J et al. The COPD assesment test (CAT): response to
pulmonary rehabilitation. A multicentre, prospective study, Thorax 2011
May: 66(15):425-9.

Wibisono MJ, Winariani, Hariadi S. Penyakit Paru Obstruksi Kronik. Buku


Ajar Penyakit Paru. Surabaya,2010:37-51.

Casburi R, ZuWallack R. Pulmonary for management of chronic obstructive


pulmonary disease. N English J med. 2009. 360: 1329.

Anda mungkin juga menyukai