Anda di halaman 1dari 56

Laporan Kasus

SOLUTIO PLASENTA DENGAN PREEKLAMSI


BERAT

OLEH:

Dewi Sri Murniati


Deya Seisora Ismet
Diana Pratiwi
Dilla Ayuni
Elsa Tubella
Irene Yohana
Miyarisahartati
Mutia Dewi Assifa
Nurul Syaidah
Rike Despriyani
Rizcha Fitri Vithya A
Yugfira Ananta Hardiyanti

Pembimbing :
Dr. dr. F. Hamido Hutahuruk, Sp.OG
dr. Febriani, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahuwata’ala, karena atas

rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul

“Solusio Plasenta dengan Preeklamsi Berat”. Penulis menyusun laporan kasus ini

untuk memahami lebih dalam mengenai solusio plasenta dengan preeklamsi berat

khususnya definisi, etiologi, diagnosis, terapi dan pengaplikasian teori dalam klinis

sehari-hari serta sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian Kepaniteraan

Klinik Bagian Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Riau.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih

kepada dokter pembimbing di Bagian Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran

Universitas Riau - Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau – Dr.

dr. F. Hamido Hutahuruk, Sp.OG dan dr. Febriani, Sp.OG atas saran dan

bimbingannya dalam menyempurnakan penulisan laporan kasus ini.

Penulis sadar pembuatan laporan kasus ini memiliki kekurangan. Saran dan

kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis

mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita

semua.

Pekanbaru, Mei 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Plasenta merupakan bagian yang sangat penting bagi pertumbuhan dan

perkembangan janin. Plasenta memiliki peran sebagai tempat pertukaran zat,

penghasil hormone yang berguna selama kehamilan dan sebagai barrier. Melihat

pentingnya peranan plasenta, maka bila terjadi kelainan pada plasenta dapat

menyebabkan gangguan pertumbuhan janin ataupun gangguan proses persalinan.

Salah satu bentuk kelainan pada plasenta adalah solusio plasenta.1

Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan

maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua

endometrium sebelum waktunya yakni sebelum anak lahir. Menurut Departemen

Kesehatan Republik Indonesia tahun 2015, solusio plasenta merupakan salah satu

masalah kesehatan di Indonesia karena merupakan penyebab perdarahan

antepartum yang berkontribusi terhadap tingginya kematian maternal dan perinatal

di Indonesia. 1

Hal ini dikarenakan lepasnya plasenta dan terjadinya perdarahan dapat

mengganggu sirkulasi darah ke janin sehingga dapat menyebabkan janin

mengalami berbagai komplikasi seperti hipoksia, gawat janin, berat badan lahir

rendah (BBLR), kelahiran prematur, asfiksia dan intrauterine fetal death (IUFD).

Sedangkan dampak maternal dapat berupa anemia, syok hipovolemik dan gagal

ginjal mendadak akibat perdarahan akut. 1,2,


1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui tentang solusio plasenta serta hubungannya dengan

intrauterine fetal death (IUFD) dan anemia.

1.2.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui definisi solusio plasenta

2. Mengetahui klasifikasi solusio plasenta

3. Mengetahui etiologi solusio plasenta

4. Mengetahui patofisiologi solusio plasenta

5. Mengetahui gambaran klinis solusio plasenta

6. Mengetahui diagnosis solusio plasenta

7. Mengetahui penatalaksanaan solusio plasenta

8. Mengetahui komplikasi solusio plasenta

9. Mengetahui prognosis solusio plasenta

10. Mengetahui hubungan solusio plasenta dengan IUFD

11. Mengetahui hubungan solusio plasenta dengan anemia.


BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. HBN Nama suami : Tn. R

Usia : 36 tahun Usia : 42 tahun

Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pekerjaan : Security

Agama : Islam Agama : Islam

Suku : Melayu Suku : Jawa

Alamat : Kubang Raya Alamat : Kubang Raya

No MR : 00 80 04 44

2.2 PRIMARY SURVEY

Airway : Clear

Breathing : 24 x/menit, SaO2 99%, dipasang oksigen pernasal kanul 3L/menit

Circulation : Nadi 88 dpm, TD 100/60mmHg, urin 100cc (2jam) proteinuria

(+1), MgSO4 loading dose 4gr dalam 15-20 menit (sudah diberikan

sejak 06.00 WIB di RS Z), dilanjutkan maintenance dose 2gr/jam

Disability : GCS 15, reflek patella (+), kejang (-)

Exposure : Inspeksi vulva dan uretra tampak tenang.

2.3 ANAMNESIS

Pasien datang ke VK IGD RSUD AA Pekanbaru pada tanggal 13 Mei 2019

pukul 21.10 WIB, dirujuk dari RSIA Z dengan G3P2A0H3 gravid 33-34 minggu
inpartu kala I fase laten, BSC 1X, impending eclamsi, HELLP Sindrom, plasenta

previa.

 Keluhan utama

Pasien rujukan dari RSIA Z dengan keluhan muntah-muntah.

 Riwayat penyakit sekarang

Pasien rujukan RSIA Z datang dengan keluhan muntah-muntah 2

jam SMRS Z. Pasien juga mengeluhkan sakit kepala, pandangan mata

kabur, nyeri ulu hati, lalu memeriksakan kandungannya ke RSIA Z dan

didiagnosa G3P2A0H2 gravid 33-34 minggu inpartu kala I fase laten, BSC

1X, impending eclamsi, HELLP Sindrom, plasenta previa. Pasien diberikan

infus RL 500cc ditambah MgSO4 40% loading dose dan maintenance dose,

nivedipin 1 x 10 mg, dopamet 1 x 500 mg, kemudian pasien dirujuk ke

RSUD Arifin Achmad. Riwayat trauma disangkal, coitus (-) gigi berlubang

(-) demam selama hamil (-) keputihan (-) keluar air-air (-) keluar lendir

darah (-)

Pasien merasa hamil 8 bulan, HPHT 10 Oktober 2018, TP 17 Juli

2019 sesuai usia kehamilan 31-32 minggu. Pasien kontrol kehamilan di

bidan sebanyak 2 kali dan dikatakan janin dalam keadaan baik. Pasien

pernah di USG di dokter spesialis kandungan sebanyak 3 kali dan dikatakan

dalam keadaan baik. Riwayat tekanan darah tinggi selama kehamilan

disangkal.

 Riwayat Hamil Muda

Mual (+), muntah (+), perdarahan (-), keputihan (-)

 Riwayat Hamil Tua

Mual (-), muntah (-), perdarahan (-), keputihan (+)


 Riwayat Prenatal Care

Kontrol kehamilan di bidan, sebanyak 2 kali dan dikatakan janin dalam

keadaan baik dan pernah USG di dokter spesialis kandungan 3 kali dan

dikatakan dalam keadaan baik.

 Riwayat Minum Obat

Konsumsi vitamin dari bidan.

 Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi (-), asma (-), diabetes mellitus (-), penyakit jantung (-),

kelainan darah (-) dan alergi (-).

 Riwayat Penyakit Keluarga

Hipertensi (-), asma (-), diabetes mellitus (+), penyakit jantung (+), kelainan

darah dan alergi disangkal.

 Riwayat Menstruasi

Menarche berusia 12 tahun, siklus haid teratur, lama haid 3-4 hari, ganti

pembalut 2-3 kali setiap harinya dan tidak ada keluhan nyeri pada saat haid.

 Riwayat Perkawinan

Menikah 1 kali, tahun 2002 usia 20 tahun.

 Riwayat Obstetri

1. 2003, usia 16 tahun, perempuan, BBL 2800 gram, lahir spontan di klinik,

ditolong bidan, sehat

2. 2013, usia 6 tahun, perempuan, BBL 2100 gram/1900 gram, gemeli,lahir

operasi di tolong dokter spesialis.

3. Hamil ini
 Riwayat KB

KB suntik 2 bulan.

 Riwayat sosial ekonomi

Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dengan pendidikan terakhir SMA

dan suami pasien bekerja sebagai security dengan pendidikan terakhir SMA

2.4 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Composmentis kooperatif

Vital sign

Tekanan darah : 100/60 mmHg

Nadi : 88x/m

Pernapasan : 24 x/m

Suhu : 36,60 C

Gizi : baik

TB : 148 cm

BBSH : 55 kg

BBH : 58 kg

IMT : 25 kg/m2 (Overweight)

Status Generalis

Kepala : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik

Leher : Tidak teraba pembesaran KGB dan peningkatan JVP tidak

ditemukan

Jantung : Jantung dalam batas normal, S1 dan S2 reguler, murmur (-

), gallop(-)
Paru : Simetris, tidak ada bagian yang tertinggal, vesikuler (+/+),

ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : Status obstetrikus

Genitalia : Status obstetrikus

Ekstremitas : Edema (-/-), akral hangat, CRT <2 detik

Status obstetrikus

Muka : Kloasma gravidarum (-)

Mammae

Inspeksi : papila mammae menonjol, corpus mammae simetris, tanda-

tanda radang (-), retraksi (-), areola mammae

hiperpigmentasi, tidak ada retraksi dan tidak ada menyerupai

kulit jeruk.

Palpasi : corpus mammae nyeri (-), benjolan (-), areola mammae

tidak mengeluarkan ASI, teraba kenyal

Abdomen

Inspeksi : tampak membuncit sesuai usia kehamilan preterm, striae

gravidarum (+), tampak luka bekas operasi.

Palpasi : TFU pertengahan processus xyphoideus – umbilikus.

Leopold I :TFU pertengahan processus xyphoideus – umbilikus. 28

cm. Teraba massa bulat, lunak, tidak melenting, kesan

bokong.

Leopold II : Teraba tahanan memanjang di bagian kiri dan bagian

terkecil janin disebelah kanan, kesan punggung kiri.

Leopold III : Teraba massa bulat, keras, melenting, kesan kepala

Leopold IV : Konvergen, 5/5


TFU 28 cm, TBJ klinis 2325 gram, punggung kanan, kepala 5/5, kontraksi tidak

ada, DJJ: tidak terdengar.

Pemeriksaan Genitalia

Genitalia eksterna

Inspeksi : vulva / muara uretra tenang, perdarahan aktif (-)

Genitalia interna

Inspekulo : portio licin, livide, OUE tertutup, fluor (-) fluksus (-),

valsava (-).

VT : tidak dilakukan.

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG :

Laboratorium (13 Mei 2019)

Darah lengkap APTT : 39 detik

Hemoglobin : 7,1 g/dL INR : 1,55

Leukosit : 18.450 /uL Kimia Klinik

Trombosit : 96.000 /uL Albumin : 2,9 g/dL

Eritrosit :2.510.000 /uL Bilirubin Indirek : 1,21 mg/dL

Hematokrit : 21,8 % Bilirubin Direk : 0,56 mg/dL

MCV : 86,9 Bilirubin Total : 1,79 mg/dL

MCH : 28,3 AST : 23 U/L

MCHC : 32,6 ALT : 6 U/L

Hemostatis GDS : 122 mg/dL

PT : 19,3 detik Ureum : 17 mg/dL


Kreatinin : 1,05 mg/dL Protein : positif (2+)

Imunologi Glukosa : negatif

HBsAg Kualitatif : non reaktif Bilirubin : negatif

Urinalisa Urobilinogen : 0,2

Makroskopis pH : 6,5

Warna : Kuning BJ : 1,030

Kejernihan : Keruh Darah : negatif

Kimia Urin Keton : negatif

2.6 DIAGNOSIS

G3P2A0H3 gravid 31-32 minggu inpartu kala I fase laten, BSC 1X,

impending eclamsi, HELLP Sindrom, IUFD.

2.7 TATALAKSANA LANJUTAN

1. Awasi Hemodinamik Ibu

Observasi KU, TTV, HIS

Observasi tanda keracunan MgSO4

2. Pra SC dan tubektomi

3. Tranfusi PRC 2 labu, WB 2 labu

4. IVFD RL 500cc ditambah MgSO4 40% maintenance dose 2gr/jam

5. Nivedipin 3 x 10 mg

6. Rencana ICU

2.8 PROGNOSIS

Dubia
2.9 Laporan operasi

TANGGAL DAN WAKTU RUANG KELAS

13 Mei Jam 23.20 WIB VK IGD

Nama ahli bedah Nama dokter Nama asisten Nama perawat

dr. Ruza P. Rustam, anestesi dr. Ibnu Edi

Sp.OG dr. Yustisa, Sp. An Trifa Bery

Yuni

DIAGNOSIS PRA OPERASI : G3P2A0H2 gravid 33-34 minggu inpartu kala I fase

laten, BSC 1X, impending eclamsi, HELLP Sindrom, plasenta previa, IUFD.

DIAGNOSIS PASCA OPERASI : post Secarea histerektomi ai atonia uteri

JARINGAN YANG DIEKSISI/ INSISI :Uterus

DIKIRIM UNTUK PEMERIKSAAN : TIDAK

NAMA JENIS OPERASI : secarea histerektomi

TANGGAL JAM OPERASI LAMA ANESTESI BERLANGSUNG

OPERASI 23.30 WIB s/d 1 jam 40 menit

13 Mei 2019 01.10 WIB

- Pasien terlentang dimeja operasi dalam general anestesi

- Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya

dengan larutan betadin 10% didaerah abdomen diperluas ke daerah genitalia

eksterna dan 1/3 proksimal femur bagian depan dan dalam.

- Daerah operasi diperkecil dengan menutupkan duk steril. Duk pertama

dipasang mulai setinggi simpisis pubis sampai kebawah menutupi ujung kaki,
duk kedua dipasang setinggi pusat sampai menutupi kepala, dua buah duk

dipasang di kiri dan kanan linea mediana inferior

- Dilakukan insisi pfanensteil selebar 10 cm pada bekas insisi lama, dinding

abdomen dibuka lapis demi lapis

- Saat peritoneum Tampak adhesi plika vesica uterine dan dinding SBR

sebagian sudah menipis ,perlengketa n digunting dan disisihkan, tampak

uterus membesar, Tampak uterus couvelaire.

- Insisi SBR di atas plika, ditembus dan dilebarkan secara tumpul arahnya kiri

kanan/ atas bawah,selaput ketuban dipecahkan,keluar air ketuban

cukup,warna sanguilenta

- Dengan meluksir kepala, lahir bayi Perempuan dengan BB 2000 gram, PB

38 cm, AS ,0/0 BS ~ 30-32 minggu

- plasenta terlepas sebagian dari implantasinya,lokasi lepasnya (lakuna)

perdarahan retroplasenter, bekuan darah 250 cc

- Dengan tarikan ringan pada tali pusat, plasenta dikeluarkan lengkap, dengan

berat 300 gr

- Uterus dikeluarkan dari rongga abdomen, kavum uterus dibersihkan dengan

kasa dari sisa selaput.

- Terjadi atonia uteri maka diputuskan untuk tindakan subtotal abdominal

histerektomi. Dilakukan eksplorasi dan pembersihan rongga abdomen dari

darah.

- Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis, sebagai berikut:

- Peritoneum dijahit jelujur dengan plain cat gut no. 2/0.

- Otot dijahit satu persatu dengan plain catgut no 2/0


- Facia dijahit jelujur dengan vicril no 1

- Sub kutis dijahit satu satu dengan plain 2/0

- Kulit dijahit subkutikuler dengan vicril 3.0

- Tindakan selesai

- Perdarahan intra operatif 800cc

INSTRUKSI PERAWATAN PASCA OPERASI

- Rawat ICU

- Observasi TTV, perdarahan, tanda impending eklampsia, tanda eklampsia

post partum

- IVFD RL + drip MgSO4 40 % 2 gram/jam

- Inj. Ceftraxone 2x1 gram

- Inj. Kalnex 3x500 mg IV

- Inj. Ketorolac 3% 3x1 amp

- Pemberian PRC sampai HB diatas 10

- Inj. Ca Glukonas setelah pemberian darah 1000 cc

Follow up Post OP

Pengawasan 2 jam post op

H Kontraks Perdarah
Jam TD RR T TFU Urin
R i an

150/11 36, 1 jari bawah Koson


00.30 85 20 Baik Minimal
0 4 pusat g
156/10 36, 1 jari bawah Koson
00.45 85 20 Baik Minimal
0 4 pusat g

36, 1 jari bawah Koson


01.00 150/90 86 22 Baik Minimal
4 pusat g

140/10 36, 1 jari bawah Koson


01.15 86 22 Baik Minimal
0 4 pusat g

36, 1 jari bawah Koson


01.45 130/82 89 20 Baik Minimal
7 pusat g

36, 1 jari bawah Koson


02.15 131/82 89 20 Baik Minimal
7 pusat g

2.10 Follow up

Tgl/Jam Perjalanan Penyakit Terapi

14/5/19 S: pasien tidak sadar  Rawat ICU

06.30 O:  Observasi KU,

Keadaan umum: Tampak sakit berat Kes, TTV, tanda

Kesadaran : apatis pendarahan,

TD : 160/100 mmHg  IVFD RL 500 mg +

N : 108x/I MgSO4 40%

S : 36,80C maintenance dose

St. Generalis: 2gr/jam (24 jam)

Mata : Konjungtiva anemis (+/+) sclera ikterik (-

/-)
Leher: Tidak teraba pembesaran KGB dan  Tranfusi PRC

peningkatan JVP tidak ditemukan hingga Hb ≥

Jantung : Jantung dalam batas normal, S1 dan S2 10g/dL

reguler, murmur (-), gallop(-)  Cegah infeksi : inj.

Paru: Simetris, tidak ada bagian yang tertinggal, Ceftriaxone 2 x 1gr

vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)  Cegah nyeri : Inj.

Abdomen : status lokalis ketorolac 3 x 30 mg

Genitalia : status obstetri  Cegah pendarahan:

Ekstremitas : Edema (-/-), akral hangat, CRT <2 - Asam tranexamat

detik 4 x 500mg

St. Lokalis :

Abdomen : Tampak luka bekas operasi tertutup

verban, rembesan darah (-)

St. Obstetri : TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi

baik

A: penurunan kesadaran P3A0H3 post caesarean

histerektomi ai early HPP ec atonia uteri +

impending eclamsi + HELPP sindrom + BSC 1 x

+ IUFD + POD 1 hari

14/5/19 S: pasien tiba-tiba apnue - Dilakukan RJP 1

09.30 O: siklus dan

Keadaan umum : tampak sakit berat pemberian sulfat

Kesadaran : Coma atropin dan


TD : 53/39 mmHg ephinefrin

N : asistole masing-masing 1

ampul

A: penurunan kesadaran P3A0H3 post caesarean - Dilanjutkan RJP 1

histerektomi ai early HPP ec atonia uteri + siklus lagi dan

impending eclamsi + HELPP sindrom + BSC 1 x pemberian 1

+ IUFD + POD 1 hari ampul epinefrin.

- Dilanjutkan RJP 1

siklus dan 1

ampul epinefrin

14/5/19 S: - - Intubasi ETT

9.45 O: 7cm, ventilator

Keadaan umum : tampak sakit berat VC-AC TV 400

Kesadaran : coma ml RR 12 PEEP 5

N : 122 dpm FiO2 100%.

Akral dingin

A: penurunan kesadaran P3A0H3 post caesarean

histerektomi ai early HPP ec atonia uteri +

impending eclamsi + HELPP sindrom + BSC 1 x

+ IUFD + POD 1 hari

14/5/19 S: - - Loading

10.00 O: gelofusin 200cc

TD: 59/36 mmHg


N: 104 dpm - NaCl 0,9%

40cc/menit

A: penurunan kesadaran P3A0H3 post caesarean - Tranfusi PRC

histerektomi ai early HPP ec atonia uteri + 200cc

impending eclamsi + HELPP sindrom + BSC 1 x

+ IUFD + POD 1 hari

14/5/19 S: penurunan kesadaran - Tranfusi PRC

11.00 O: hingga Hb ≥ 10

Keadaan Umum : Tampak sakit berat g/dL

Kesadaran : coma

TD : 105/64 mmHg

N : 101 dpm

Mata : konjungtiva anemis (+/+) pupil 5cm/5cm

Leher: Tidak teraba pembesaran KGB dan

peningkatan JVP tidak ditemukan

Jantung : Jantung dalam batas normal, S1 dan S2

reguler, murmur (-), gallop(-)

Paru: Simetris, tidak ada bagian yang tertinggal,

vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : status lokalis

Genitalia : status obstetri

Ekstremitas : Edema (-/-), akral hangat, CRT <2

detik

St. Lokalis :
Abdomen : Tampak luka bekas operasi tertutup

verban, rembesan darah (-) supel, BU (+)

St. Obstetri : TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi

baik, pendarahan (-) vulva/uretra tenang.

A: penurunan kesadaran P3A0H3 post caesarean

histerektomi ai early HPP ec atonia uteri +

impending eclamsi + HELPP sindrom + BSC 1 x

+ IUFD + POD 1 hari


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Solusio Plasenta

Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal

plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua endometrium

sebelum waktunya yakni sebelum anak lahir. Secara difinitif diagnosisnya baru bisa

ditegakkan setelah partus jika terdapat hematoma pada permukaan maternal

plasenta.3,4

3.1.1 Klasifikasi

Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptur sinus marginalis),

dapat pula terlepas lebih luas (solusio plasenta totalis). Perdarahan yang terjadi

dalam banyak kejadian akan merembes antara plasenta dan miometrium untuk

seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan

ke kanalis servikalis dan keluar melalui vagian (revealed hemorrhage). Akan tetapi,

ada kalanya perdarahan tersebut tidak keluat melalui vagina (concealed hemorrage)

jika:3

a. Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim

b. Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim

c. Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah

karenanya.

d. Bagian terbawah janin umumnya kepala menempel ketat pada pada segmen

bawah rahim.
Secara klinis solusio plasenta dibagi kedalam berat ringannya gambaran klinik

sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas, yaitu solusio plasenta

ringan, solusio plasenta sedang, dan solusio plasenta berat. Yang ringan biasanya

baru diketahui setalah plasenta lahir dengan adanyab hematoma yang tidak luas

pada permukan maternal atau ada ruptura sinus marginalis. Pembagian secara klinik

ini baru definitif bila ditinjau secara retrospektif karena solusio plasenta sifatnya

berlangsung progresif yang berarti solusio plasenta ringan dapat berkembang

menjadi lebih berat dari waktu ke waktu. Keadaan umum penderita bisa menjadi

buruk apabila perdarahan cukup banyak pada kategori concealed hemorrhage.4

a. Solusio plasenta ringan

Solusio plasenta ringan dimana luas plasenta yang terlepas tidak sampai

25% atau kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar biasanya kurang

dari 250 ml. Tumpahan dari yang keluar bervariasi mulai dari sedikit hingga

banyak. Gejala-gejala perdarahan sukar dibedakan dari plasenta previa

kecuali warna darah yang kehitaman. Komplikasi terhadap ibu dan janin

belum ada.

b. Solusio plasenta sedang

Solusio plasenta sedang dimana luas plasenta yang terlepas telah melebihi

25%, tetapi belum mencapai separuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar

lebih banyak dari 250 ml tetapi belum mencapai 1000 ml. Umumnya

pertumpahan darah terjadi ke luar dan ke dalam secara bersama-sama.

Gejala-gejala dan tanda-tanda yang muncul sudah lebih jelas seperti rasa

nyeri pada perut yang terus-menerus, denyut jantung janin menjadi cepat,

hipotensi dan takikardi.


c. Solusio plasenta berat

Solusio plasenta berat dimana luas plasenta yang terlepas sudah melebihi

50% dan jumlah darah yang keluar telah mencapai 1000 ml atau lebih.

Penumpahan darah bisa terjadi keluar dan ke dalam atau secara bersamaan.

Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis jelas, keadaan umum penderita buruk

disertai syok, dan hampir semua janinnya telah meninggal. Komplikasi

koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai dengan oligouri biasanya telah

ada.

3.1.2 Etiologi

Sebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui, tetapi terdapat beberapa

keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama atau menyertai solusio

plasenta dan dianggap sebagai faktor resiko. Usia ibu dan paritas yang tinggi

berisiko lebih tinggi.5,6

Faktor Risiko Risiko Relatif

Pernah solusio plasenta 10-25

Ketuban pecah preterm/karioamnionitis 2,4-3,0

Sindroma pre-eklampsia 2,1-4,0

Hipertensi kronik 1,8-3,0

Merokok/nikotin 1,4-1,9

Merokok + hipertensi kronik atau pre-eklampsia 5-8

Pecandu kokain 13%

Mioma dibelakang plasenta 8 dari 14


Gangguan sistem pembekuan darah berupa single- Meningkat sampai 7

gene mutation / trombofilia kali

Trauma abdomen dalam kehamilan Jarang

Plasenta sirkumvalata Jarang

Acquired antiphospholipid autoantibodies Jarang

Dalam kepustakaan terdapat 5 kategori populasi perempuan yang berisiko

tinggi untuk solusio plasenta. Dalam kategori sosioekonomi termasuk keadaan yang

tidak terlalu bermakna dibandingkan usia muda, primiparitas, dan solusio plasenta

rekurens. Dalam kategori fisik termasuk trauma tumpul pada perut, umumnya

karena kekerasan dalam rumah tangga atau kecelakaan dalam berkendara. Kategori

kelainan pada rahim seperti mioma terutama mioma submukosa dibelakang

plasenta atau uterus berseptum. Kategori penyakit ibu sendiri memegang peran

penting seperti penyakit tekana darah tinggi dan kelainan sistem pembekuan darah

seperti trombofilia. Yang terakhir adalah termsuk kategori sebab iatrogenik seperti

merokok dan penggunaan kokain.6

3.1.3 Patofisiologi

Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan kedalam desidua

basalis dan terbentuknya hematom subkharionik yang dapat berasal dari pembuluh

darah myometrium atau plasenta. Dengan berkembangnya hematom subkharionik

terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus, sehingga

solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang bermula dari suatu

keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korialis plasenta dari tempat


implantasinya pada desidua basalis. Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari

kematian sel (apoptosis) yang disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua

penyakit ibu yang dapat menyebabkan pembentukan trombosis dalam pembuluh

darah desidua atau dalam vaskular vili dapat berujung kepada iskemia dan hipoksia

setempat yang menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan

sebagai hasil akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas

kecuali selapis tipis yang tetap melekat pada myometrium. Dengan demikian, pada

tingkat permulaan terdiri dari proses atas pembentukan hematom, kompresi dan

kerusakan hematom yang bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas, serta

kompresi dan kerusakan pada bagian plasenta sekelilingnya yang berdekatan dapat

menyebabkan pelepasan dari plasenta yang lebih luas. Pada awalnya mungkin

belum ada gejala kecuali terdapat hematom pada bagian belakang plasenta yang

baru lahir. Dalam beberapa kejadian pembentukan hematom retroplasenta

disebabkan oleh putusnya arteria spiralis dalam desidua. Hematoma retroplasenta

mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal/plasenta ke

sirkulasi janin. Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan sedikit

mendesak jaringan plasenta dan peredaran darah utero-plasenter berlum terganggu,

serta gejala dan tandanya pun belum jelas. Kejadian akan baru diketahui setelah

plasenta lahir, yang pada pemeriksaan plasenta didapatkan cekungan pada

permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman.

Hematoma yang terbentuk dengan cepat meluas dan melepaskan plasenta lebih

luas/banyak sampai ke pinggirnya sehingga darah yang keluar merembes antara

selaput ketuban dan miometrium untuk selanjutnya keluar melalui serviks ke vagina

(reavealed hemorrhage). Perdarahan tidak bisa berhenti karena uterus yang sedang

mengandung tidak mampu berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteria spiralis


yang terputus. Walaupun jarang, terdapat perdarahan tinggal dan terperangkap di

dalam uterus (concealed hemorrhage). Akibatnya hematom akan menjadi

bertambah besar dan kemudian akan mendesak sebagian plasenta dan akhirnya

seluruh plasenta akan terlepas dari implantasinya di dinding uterus. Sebagian akan

menyelundup di bawah selaput ketuban keluar dari vagina atau menembus selaput

ketuban masuk ke dalam kantong ketuban, atau mengadakan ekstravasasi di antara

serabut otot uterus. Bila ekstravasasi berlangsung hebat, maka seluruh permukaan

uterus akan berbercak ungu atau biru dan terasa sangat tegang serta nyeri. Hal ini

disebut uterus couvelaire. 3,7,8

Akibat kerusakan jaringan miometrium dan terbentuknya hematoma

retroplasenter, mengakibatkan pelepasan tromboplastin ke dalam peredaran darah.

Tromboplastin bekerja mempercepat perombakan protrombin menjadi trombin.

Trombin yang terbentuk dipakai untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin untuk

membentuk lebih banyak bekuan darah terutama pada solusio plasenta berat.

Melalui mekanisme ini apabila pelepasan tromboplastin cukup banyak dapat

menyebabkan terjadi pembekuan darah intravaskular yang luas (disseminated

intravascular coagulation) yang semakin menguras persediaan fibrinogen dan

faktor-faktor pembekuan lain. Penghancuran butir-butir fibrin yang terbentuk

intravaskular oleh plasmin mengakibatkan hancurnya bekuan-bekuan darah dalam

pembuluh darah kecil yang berguna mempertahankan keutuhan sirkulasi mikro.

Namun, di lain pihak penghancuran fibrin oleh plasmin memicu perombakan lebih

banyak fibrinogen menjadi fibrin agar darah bisa membeku. Dengan jalan ini pada

solusio palenta berat dimana telah terjadi perdarahan melebihi 2.000 ml dapat

dimengerti kalau akhirnya akan terjadi kekurangan fibrinogen dalam darah


sehingga persediaan fibrinogen lambat laun mencapai titik kritis (≤150mg/100ml

darah) dan terjadi hipofibrinogenemia. Pada kadar ini telah terjadi gangguan

pembekuan darah (consumtive coagulopathy) yang secara laboratoris terlihat pada

memanjangnya waktu pembekuan melebihi 6 menit dan bekuan darah yang telah

terbentuk mencair kembali. Pada keadaan yang lebih parah darah tidak mau

membeku sama sekali apabila kadar fibrinogen turun dibawah 100 mg%.

Akibatnya, terjadi hipofibrinogenemia yang menyebabkan gangguan pembekuan

darah pada uterus maupun alat-alat tubuh lainnya. Nasib janin tergantung dari

luasnya plasenta yang lepas. Apabila sebagian besar atau seluruhnya terlepas,

anoksia akan mengakibatkan kematian janin. Apabila sebagian kecil yang lepas,

mungkin tidak berpengaruh sama sekali atau mengakibatkan gawat janin.9,10

3.1.5 Gejala Klinis

Gejala klinis solusio plasenta bervariasi sesuai dengan berat ringanya atau

luasnya permukaan maternal plasenta yang terlepas. Gejala dan tanda klinis yang

klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan yang berwarna tua keluar

dari vagina (80% kasus), rasa nyeri perut dan uterus tegang terus-menerus mirip his

partus prematurus.2,3

a. Solusio Plasenta Ringan

Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana

terdapat pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak banyak

mengeluarkan darah. Pada keadaan yang sangat ringan tidak ada gejala kecuali

hematom yang berukuran beberapa sentimeter terdapat pada permukaan maternal

plasenta. Ini dapat diketahui secara retrospektif pada inspeksi plasenta setelah
partus. Rasa nyeri pada perut masih ringan dan darah yang keluar masih sedikit,

sehingga belum keluar melalui vagina. Nyeri yang belum terasa menyulitkan

membedakannya dengan plasenta previa kecuali darah yang keluar bewarna merah

segar pada plasenta previa. Tanda-tanda vital dan keadaan umum ibu maupun janin

masih baik. Pada inspeksi dan auskultasi tidak dijumpai kelainan kecuali pada

palpasi sedikit terasa nyeri lokal pada tempat terbentuk hematom dan perut sedikit

tegang tapi bagian-bagian janin masih dapat dikenal. Kadar fibrinogen darah dalam

batas-batas normal yaitu 350 mg%. Walaupun belum memerlukan intervensi

segera, keadaan yang ringan ini perlu dimonitor terus sebagai upaya mendeteksi

keadaan bertambah berat. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaanadanya

solusio plasenta ringan ini adalah perdarahan pervaginam yang berwarna

kehitam-hitaman.3,7

b. Solusio Plasenta Sedang

Dalam hal ini plasenta telah terlepas lebih dari satu per empat

bagian, tetapi belum dua per tiga luas permukaan. Gejala-gejala dan tanda-

tanda sudah jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus menerus, dan denyut

jantung janin biasanya telah menunjukkan gawat janin, perdarahan yang tampak

keluar lebih banyak, takikardia, hipotensi, kulit dingin, dan keringatan, oliguria

mulai ada, kadar fibrinogen berkurang antara 150 samapai 250 mg/100 ml, dan

mungkin kelainan pembekuan darah dan gangguan fungsi ginjal sudah mulai ada.

Rasa nyeri dan tegang perut jelas sehingga palpasi bagian-bagian anak sukar. Rasa

nyeri datangnya akut kemudian menetap tidak bersifat hilang timbul seperti pada

his yang normal. Perdarahan pervaginam jelas dan bewarna kehitaman, penderita

pucat karena mulai ada syok sehingga keringat dingin. Keadaan janin biasanya
sudah gawat. Pada stadium ini bisa jadi telah timbul his dan persalinan telah mulai.

Pada pemantauan keadaan janin dengan kardiotokografi bisa jadi telah ada

deselarasi lambat. Perlu dilakukan tes gangguan pembekuan darah. Bila terminasi

persalinan terlambat atau fasilitas perawatan intensif neonatus tidak memadai,

kematian perinatal dapat dipastikan terjadi.4,7

c. Solusio Plasenta Berat

Plasenta telah terlepas lebih dari dua per tiga permukaannnya.

Terjadi sangat tiba-tiba.Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok dan

janinnya telah meninggal. Uterusnya sangat tegang seperti papan dan sangat

nyeri. Fundus uteri lebih tinggi daripada yang seharusnya oleh karena telah terjadi

penumpukan darah di dalam rahim pada kategori concealed hemorrhage. Jika dalam

masa observasi tinggi fundus bertambah lagi berarti perdarahan baru masih

berlangsung. Pada inspeksi rahim kelihatan membulat dan kulit diatasnya kencang

dan berkilat. Pada auskultasi denyut jantung janin tidak terdengar lagi akibat

gangguan anatomik dan fungsi dari plasenta. Keadaan umum menjadi buruk disertai

syok. Adakalanya keadaan umum ibu jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan

yang tidak seberapa keluar dari vagina. Hipofibrinogenemia dan oliguria boleh jadi

telah ada sebagai akibat komplikasi pembekuan darah intravaskular yang luas

(disseminated intravascular coagulation), dan gangguan fungsi ginjal. Kadar

fibrinogen darah rendah yaitu kurang dari 150 mg% dan telah ada

trombositopenia.4,7
3.1.6 Diagnosis

Diagnosis solusio plasenta bisa ditegakkan berdasarkan adanya gejala dan

tanda klinis berupa perdarahan (≥20 minggu), nyeri pada uterus, dan adanya

kontraksi pada uterus. Namun adakalanya pasien datang dengan gejala mirip

persalinan prematur, ataupun datang dengan perdarahan tidak banyak dengan perut

tegang, tetapi janin telah meninggal. Diagnosis definitif hanya bisa ditegakkan

secara retrospektif yaitu setelah partus dengan melihat adanya hematoma

retroplasenta. 11,12

Ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang berguna untuk membedakan

dengan plasenta previa, tetapi pada solusio plasenta pemeriksaan dengan USG tidak

memberikan kepastian berhubung kompleksitas gambaran retroplasenta yang

normal mirip dengan gamparan perdarahan retroplasenta pada solusio plasenta.

Kompleksitas gambaran normal retroplasenta, kompleksitas vaskular rahim,

desidua dan mioma semuanya bisa mirip dengan solusio plasenta dan memberikan

hasil pemeriksaan positif palsu. Disamping itu, solusio plasenta sulit dibedakan

dengan plasenta itu sendiri. Pemeriksaan ulang pada perdarahan baru sering bisa

membantu karena gambaran ultrasonografi dari darah yang telah membeku akan

berubah menurut waktu menjadi lebih ekogenik pada 48 jam kemudian menjadi

hipogenik dalam waktu 1 sampai 2 minggu.11,12,13

Penggunaan Color Doppler bisa membantu diagnosis solusio plasenta di

mana tidak terdapat sirkulasi darah yang aktif padanya, sedangkan pada

kompleksitas lain, baik kompleksitas retroplasenta yang hiperekoik maupun yang

hipoekok seperti mioma dan kontraksi uterus, terdapat sirkulasi darah yang aktif

padanya. Pada kontraksi uterus terdapat sirkulasi aktif didalamnya, pada mioma
sirkulasi aktif terdapat lebih banyak pada bagian perifer daripada bagian

tengahnya.11,12,13

3.1.7 Terapi

Semua pasien yang tersangka menderita solutio plasenta harus dirawat inap

di rumah sakit yang berfasilitas cukup. Ketika masuk segera dilakukan pemeriksaan

darah lengkap termasuk kadar Hb dan golongan darah serta gambaran pembekuan

darah dengan memeriksa Bleeding Time (BT), Clotting Time (CT), Partial

Thromboplastin Time (PTT), activated Partial Thromboplastin Time (aPTT), kadar

fibrinogen dan D-dimer.14

Solusio plasenta ringan dapat dilakukan penangan Ekspektatif, bila usia

kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan (perdarahan berhenti,

perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan tirah baring observasi

ketat, kemudian tunggu persalinan spontan. Bila ada perburukan (perdarahan

berlangsung, gejala solusio plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG

daerah solusio plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri.

Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria. Bila janin mati lakukan amniotomi disusul

infus oksitosin untuk mempercepat persalinan. Solusio plasenta sedang dan berat apabila

tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan, penanganan di rumah sakit

meliputi transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu seksio sesaria. Operasi Sectio

Caesar dilakukan bila serviks masih panjang dan tertutup, setelah pemecahan

ketuban dan pemberian oksitosin dalam 2 jam belum juga ada his. Apabila janin

mati, ketuban segera dipecahkan untuk mengurangi regangan dinding uterus disusul

dengan pemberian infuse oksitosin 5 iu dalam 500cc Dextrosa 5% untuk

mempercepat persalinan. Pada kasus dimana telah terjadi kematian janin dipilih
persalinan pervaginam kecuali ada perdarahan berat yang tidak teratasi dengan

transfusi darah yang banyak atau ada indikasi obstetrik lain yang menghendaki

persalinan dilakukan perabdominam. Pimpinan persalinan pada solusio plasenta

bertujuan untuk mempercepatpersalinan sehingga kelahiran terjadi dalam 6 jam.

Apabila persalinan tidak selesai atau diharapkan tidak akan selesai dalam waktu 6

jam setelah pemecahan selaput ketuban dan infus oksitosin, satu-satunya cara

adalah dengan melakukan Sectio Caesar.11,12,14,16

3.1.8 Komplikasi

Komplikasi solusio plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta yang terus

berlangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti anemia, syok

hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan darah, gagal ginjal

mendadak, dan uterus couvelaire di samping komplikasi sindroma insufisiensi

fungsi plasenta pada janin berupa angka kematian perinatal yang tinggi. Sindoma

Sheehan terdapat pada beberapa penderita yang terhindar dari kematian setelah

menderita syok yang berlangsung lama yang menyebabkan iskemia dan nekrosis

adenohipofisis sebagai akibat solusio plasenta. 3,7,17

Kematian janin, kelahiran prematur, dan kematian perinatal merupakan

komplikasi yang paling sering pada solusio plasenta. Solusio plasenta berulang

dilaporkan juga bisa terjadi pada 25% perempuan yang pernah menderita solusio

plasenta sebelumnya. Solusio plasenta kronik dilaporkan juga terjadi dimana proses

pembentukan hematoma retroplasenta berhenti tanpa dijelang oleh persalinan.

Hematoma retroplasenta yang yang terbentuk mengakibatkan pelepasan

tromboplastin ke dalam peredaran darah. Tromboplastin bekerja mempercepat

perombakan protrombin menjadi thrombin. Trombin yang terbentuk dipakai untuk


mengubah fibrinogen menjadi fibrin untuk membentuk lebih banyak bekuan darah

terutama pada solusio plasenta berat. Melalui mekanisme ini, apabila pelepasan

tromboplastin cukup banyak dapat menyebabkan terbentuknya bekuan darah

intravascular yang luas (Disseminated intravascular coagulation) yang semakin

menguras persediaan fibrinogen dan faktor-faktor pembekuan lain.

Akibat lain dari pembekuan darah intravakular ialah terbentuknya plasmin

dari plasminogen yang dilepaskan pada setiap kerusakan jaringan. Karena

kemampuan fibrinolisis dari plasmin ini, maka fibrin yang terbentuk

dihancurkannya. Penghancuran butir-butir fibrin yang terbentuk intravascular oleh

plasmin berfaedah menghancurkan bekuan-bekuan darah dalam pembuluh darah

kecil dengan demikian berguna mempertahankan keutuhan sirkulasi mikro. Namun,

di lain pihak penghancuran fibrin oleh plasmin memicu perombakan lebih banyak

fibrinogen menjadi fibrin agar darah bisa membeku. Dengan jalan ini, pada solusio

plasenta berat dimana terlah terjadi perdarahan melebihi 2.000 ml dapat dimengerti

kalau akhirnya akan terjadi kekurangan fibrinogen dalam darah sehingga

persediaan fibrinogen lambat laun mencapai titik kritis (<= 150 mg/100 ml darah)

dan terjadi hipofibrinogemia. Pada kadar ini telah terjadi gangguan pembekuan

darah (consumptive coagulopathy) yang secara laboratoris terlihat pada

memanjangnya waktu pembekuan melebihi 6 menit dan bekuan darah yang telah

terbentuk mencair kembali.

Pada keadaan yang lebih parah darah tidak mau membeku sama sekali.

apabila kadar fibrinogen turun di bawah 100 mg%. Pada keadaan yang berat ini

telah terjadi kematian janin dan pemeriksaan laboratorium dijumpai kadar hancuran

faktor-faktor pembekuan darah dan hancuran fibrinogen meningkat dalam serum


mencapai kadar yang berbahaya yaitu diatas 100ul per ml. Kadar fibrinogen normal

450 mg% turun menjadi 100 mg% atau lebih rendah. Untuk menaikkan kembali

kadar fibrinogen ke tingkat di atas nilai kritis lebih disukai memberikan transfuse

darah segar sebanyak 2.000 ml sampai 4.000 ml karena setiap 1.000 ml darah segar

diperkirakan mengandung 2 gram fibrinogen.

Kegagalan fungsi ginjal akut bisa terjadi apabila keadaan syok hipovolemik

yang berlama-lama terlambat atau tidak memperoleh penanganan yang sempurna.

Penyebab kegagalan fungsi ginjal pada solusio plasenta belum jelas, tetapi beberapa

faktor dikemukakan sebagai peran utama dalam kejadian ini. Curahan jantung yang

menurun dan kekejangan pembuluh darah ginjal akibat tekanan intrauterine yang

meninggi keduanya menyebabkan perfusi ginjal menjadi sangat menurun dan

menyebabkan anoksia. Pembekuan darah intravaskular dalam ginjal memberikan

kontribusi tambahan kepada pengurangan perfusi ginjal selanjutnya. Penyakit

hipertensi akut atau kronik yang sering bersama atau bahkan sebagai penyebab

solusio plasenta berperan memperburuk fungsi ginjal pada waktu yang sama.

Keadaan yang umum terjadi adalah nekrosis tubulus-tubulus ginjal secara akut yang

menyebabkan kegagalan fungsi ginjal (acute tubular renal failure). Apabila korteks

ginjal ikut menderita anoksia karena iskemia dan nekrosis yang menyebabkan

kegagalan fungsi ginjal (acute cortical renal failure) maka prognosisnya sangat

buruk. karena pada keadaan yang demikian angka kematian (case specific mortality

rate) bisa mencapai 60%. Tranfusi darah yang cepat dan banyak serta pemberian

infus cairan elektrolit seperti ringer laktat dapat mengatasi komplikasi ini dengan

baik. Pemantauan fungsi ginjal melalui pengamatan diuresis dalam rangka

mengatasi oliguria dan uji coba fungsi ginjal lain sangat berperan dalam menilai
kemajuan penyembuhan. Pengeluaran urin 30 ml atau lebih dalam satu jam

menunjukkan perbaikan fungsi ginjal.3,7

Couvelaire dalam permulaan tahun 1900 menamakan komplikasi ini

apoplexie uteroplacentaire. Pada keadaan ini perdarahan retroplasenta

menyebabkan darah menerobos melalui sela-sela serabut miometrium dan bahkan

bisa sampai ke bawah perimetrium dan ke dalam jaringan pengikat ligamentum

latum, ke bawah perisalping dan ke dalam ovarium bahkan bisa mengalir sampai

ke rongga peritonei. Keadaan peritoneum yang telah mengalami infiltrasi darah ini

dilaporkan jarang mengganggu kontraksinya sampai menjadi atonia yang bisa

menyebabkan perdarahan berat pascapersalinan. Keadaan uterus yang demikian

kemudian disebut uterus Couvelaire. Uterus Couvelaire yang tidak sangat berat

masih dapat berkontraksi dengan baik jika isinya telah keluar, dan akan

berkontraksi jika diberi oksitosin. Dengan perkataan lain, uterus Couvelaire

umumnya tidak akan menyebabkan perdarahan berat dalam kala tiga dan kala

empat dan oleh karena itu bukan semua uterus Couvelaire merupakan indikasi

histerektomi.3,7

Fungsi plasenta akan terganggu apabila peredaran darah ke plasenta

mengalami penurunan yang berarti. Sirkulasi darah ke plasenta menurun manakala

ibu mengalami perdarahan banyak dan akutseperti pada syok. Peredaran darah ke

plasenta juga menurun apabila telah terbentuk hematom retroplasenta yang luas.

Pada keadaan yang begini, darah dari arteriola spiralis tidak bisa lagi mengalir ke

dalam ruang intervillus. keduan keadaan tersebut menyebabkan penerimaan

oksigen oleh darah janin yang berada dalam kapiler vili berkurang yang pada

akhirnya menyebabkan hipoksia janin. Sirkulasi darah ke plasenta juga menurun


disertai penurunan tekanan perfusi pada penderita hipertensi kronik atau

preeclampsia. Semua perubahan tersebut sangat menurunkan permeabilitas

plasenta yang punya kontribusi besar dalam proses terjadinya sindroma insufisiensi

fungsi plasenta yang mengakibatkan gawat janin dan kematian janin tanoa terduga.

Gawat janin oleh hipoksia disebabkan oleh insufisiensi fungsi plasenta yang

umumnya sudah terjadi pada solusio pasenta sedang dan pada solusio plasenta berat

umumnya telah terjadi kematian janin.3,18

3.1.9 Prognosis

Solusio plasenta mempunyai prognosis yang buruk baik baik bagi ibu hamil

dan lebih buruk lagi bagi janin jika dibandingkan dengan plasenta previa. Solusio

plasenta ringan masih mempunya prognosis yang baik bagi ibu dan janin karena

tidak ada kematian dan morbiditasnya rendah. Solusio plasenta sedang mempunyai

prognosis yang lebih buruk terutama pada janinnya karena mortalitas dan

morbiditas perinatal yang tinggi di samping morbiditas ibu, yang lebih berat.

Solusio plasenta berat mempunyai prognosis paling buruk baik terhadap ibu, lebih-

lebih terhadap janinnya. Umumnya pada keadaan yang demikian janin telah mati

dan mortalitas maternal meningkat akibat salah satu komplikasi. Pada solusio

plasenta sedang dan berat prognosisnya juga bergantung pada keepatan dan

ketepatan bantuan medic yang diperoleh pasien. Tranfusi darah yang banyak

dengan segera dan terminasi kehamilan tepat waktu sangat menurunkan morbiditas

dan mortalitas maternal dan perinatal.3


3.2 Preeklampsia berat

3.2.1 Definisi

Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥

160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg. Proteinuria berat ditetapkan

bila ekskresi protein dalam urin ≥ 5 g/24 jam atau tes urin dipstik ≥ positif 2.

Pemeriksaan urin dipstik bukan merupakan pemeriksaan yang akurat dalam

memperkirakan kadar proteinuria. Konsentrasi protein pada sampel urin sewaktu

bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin. Selain itu juga dapat

disertai dengan keterlibatan organ lain. Kriteria lain preeklampsia berat yaitu bila

ditemukan gejala dan tanda disfungsi organ, seperti kejang, edema paru, oliguria,

trombositopeni, peningkatan enzim hati, nyeri perut epigastrik atau kuadran kanan

atas dengan mual dan muntah, serta gejala serebral menetap (sakit kepala,

pandangan kabur, penurunan visus atau kebutaan kortikal dan penurunan

kesadaran).5

3.2.2 Etiologi

Terdapat beberapa teori yang diduga sebagai etiologi dari preeklampsia, meliputi:6

1) Abnormalitas invasi tropoblas

Invasi tropoblas yang tidak terjadi atau kurang sempurna, maka akan terjadi

kegagalan remodeling a. spiralis. Hal ini mengakibatkan darah menuju lakuna

hemokorioendotel mengalir kurang optimal dan bila jangka waktu lama

mengakibatkan hipooksigenasi atau hipoksia plasenta. Hipoksia dalam jangka lama

menyebabkan kerusakan endotel pada plasenta yang menambah berat hipoksia.

Produk dari kerusakan vaskuler selanjutknya akan terlepas dan memasuki darah ibu

yang memicu gejala klinis preeklampsia.


2) Maladaptasi imunologi antara maternal-plasenta (paternal)-fetal

Berawal pada awal trimester kedua pada wanita yang kemungkinan akan

terjadi preeklampsia, Th1 akan meningkat dan rasio Th1/Th2 berubah. Hal ini

disebabkan karena reaksi inflamasi yang distimulasi oleh mikropartikel plasenta

dan adiposit.

3) Maladaptasi kadiovaskular atau perubahan proses inflamasi dari proses

kehamilan normal

4) Faktor genetik, termasuk faktor yang diturunkan secara mekanisme

epigenetik.

Dari sudut pandang herediter, preeklampsia adalah penyakit multifaktorial

dan poligenik. Predisposisi herediter untuk preeklampsia mungkin merupakan hasil

interaksi dari ratusan gen yang diwariskan baik secara maternal ataupun paternal

yang mengontrol fungsi enzimatik dan metabolism pada setiap sistem organ. Faktor

plasma yang diturunkan dapat menyebabkan preeklampsia. Pada ulasan

komprehensifnya, Ward dan Taylor (2014) menyatakan bahwa insidensi

preeklampsia bisa terjadi 20 sampai 40 persen pada anak perempuan yang ibunya

mengalami preeklampsia; 11 sampai 37 persen saudara perempuan yang mengalami

preeklampsia dan 22 sampai 47 persen pada orang kembar.

5) Faktor nutrisi, kurangnya intake antioksidan.

John et al(2002) menunjukan pada populasi umumnya konsumsi sayuran dan

buah-buahan yang tinggi antioksidan dihubungkan dengan turunnya tekanan darah.

Penelitian yang dilakukan Zhang et al(2002) menyatakan insidensi preeklampsia

meningkat dua kali pada wanita yang mengkonsumsi asam askorbat kurang dari 85

mg.
3.2.3 Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko untuk terjadinya preeklampsia antara lain :10

1. Primigravida

Primigravida diartikan sebagai wanita yang hamil untuk pertama kalinya.

Preeklampsia tidak jarang dikatakan sebagai penyakit primagravida karena

memang lebih banyak terjadi pada primigravida daripada multigravida

2. Primipaternitas

Primipaternitas adalah kehamilan anak pertama dengan suami yang kedua.

Berdasarkan teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin dinyatakan bahwa ibu

multipara yang menikah lagi mempunyai risiko lebih besar untuk terjadinya

preeklampsia jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.

3. Umur yang ekstrim

Kejadian preeklampsia berdasarkan usia banyak ditemukan pada kelompok

usia ibu yang ekstrim yaitu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. Menurut

Potter (2005), tekanan darah meningkat seiring dengan pertambahan usia sehingga

pada usia 35 tahun atau lebih terjadi peningkatkan risiko preeklamsia.

4. Hiperplasentosis

Hiperplasentosis ini misalnya terjadi pada mola hidatidosa, kehamilan

multipel, diabetes mellitus, hidrops fetalis, dan bayi besar.

5. Riwayat pernah mengalami preeklampsia

Wanita dengan riwayat preeklampsia pada kehamilan pertamanya memiliki

risiko 5 sampai 8 kali untuk mengalami preeklampsia lagi pada kehamilan

keduanya. Sebaliknya, wanita dengan preeklampsia pada kehamilan keduanya,

maka bila ditelusuri ke belakang ia memiliki 7 kali risiko lebih besar untuk memiliki
riwayat preeklampsia pada kehamilan pertamanya bila dibandingkan dengan wanita

yang tidak mengalami preeklampsia di kehamilannya yang kedua.

6. Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia

Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia akan

meningkatkan risiko sebesar 3 kali lipat bagi ibu hamil. Wanita dengan

preeklampsia berat cenderung memiliki ibu dengan riwayat preeklampsia pada

kehamilannya terdahulu.

7. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil

Pada penelitian yang dilakukan oleh Davies dkk dengan menggunakan

desain penelitian case control study dikemukakan bahwa pada populasi yang

diselidikinya wanita dengan hipertensi kronik memiliki jumlah yang lebih banyak

untuk mengalami preeklampsia dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat

penyakit ini.

8. Obesitas

Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial yang terjadi akibat

akumulasi jaringan lemak berlebihan sehingga dapat menganggu kesehatan.

Indikator yang paling sering digunakan untuk menentukan berat badanlebih dan

obesitas pada orang dewasa adalah indeks massa tubuh (IMT). Seseorang dikatakan

obesitas bila memiliki IMT ≥ 25 kg/m2. Sebuah penelitian di Kanada menyatakan

risiko terjadinya preeklampsia meningkat dua kali setiap peningkatan indeks massa

tubuh ibu 5-7 kg/m2, terkait dengan obesitas dalam kehamilan, dengan

mengeksklusikan sampel ibu dengan hipertensi kronis, diabetes mellitus, dan

kehamilan multipel. Sedangkan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr Kariadi

didapatkan ibu hamil dengan obesitas memiliki risiko 3,9 kali lebih besar untuk

menderita preeklampsia.
3.2.4 Diagnosis preeklampsia

Diagnosis ditegakkan berdasar kriteria preeklampsia berat sebagaimana

tercantum di bawah ini:12

1. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110

mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di

rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.

2. Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4 + dalam pemeriksaan kualitatif

3. Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 5000 cc/24 jam

4. Kenaikan kadar kreatinin plasma

5. Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma

dan pandangan kabur

6. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat

teregangnya kapsula Glisson)

7. Edema paru-paru dan sianosis

8. Hemolisis mikroangiopatik

9. Trombositopenia berat: <100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit

dengan cepat

10. Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoseluler): peningkatan kadar alanin

dan aspartate aminotransferase

11. Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat

12. Sindrom HELLP


3.2.5 Komplikasi preeklampsia

Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan

bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsia dan eklampsia. Komplikasi

dibawah ini yang biasanya terjadi pada preeklampsia berat dan eklampsia :18

1. Solusio plasenta

Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering

terjadi pada preeklampsia.

2. Hipofibrinogenemia

Biasanya terjadi pada preeklampsia berat. Oleh karena itu dianjurkan pemeriksaan

kadar fibrinogen secara berkala.

3. Hemolisis

Penderita dengan gejala preeklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala

klinis hemolisis yang dikenal dengan ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah

ini merupakan kerusakan sel hati atau destruksi eritrosit. Nekrosis periportal hati

yang ditemukan pada autopsy penderita eklampsia dapat menerangkan ikterus

tersebut.

4. Perdarahan otak

Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita

eklampsia.

5. Kelainan mata

Kehilangan pengelihatan untuk sementara, yang berlansung selama seminggu,

dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina. Hal ini merupakan

tanda gawat akan terjadi apopleksia serebri.


6. Edema paru-paru

Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena

bronchopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses paru.

7. Nekrosis hati

Nekrosis periportal hati pada preeklampsia/eklampsia merupakan akibat

vasospasme arteriole umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi

ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui

dengan pemeriksaan faal hati, terutama pada enzim-enzimnya.

8. Sindroma HELLP yaitu haemolysis, elevated liver enzymes and low

platelets. Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati,

hepatoseluler (peningkatan enzim hati [SGOT, SGPT], gejala subyektif [cepat

lelah, mual, muntah dan nyeri epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran

eritrosit oleh radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh. Trombositopenia

(<150.000/cc), agregasi (adhesi trombosit di dinding vaskuler), kerusakan

tromboksan (vasokonstriktor kuat)

9. Kelainan ginjal

Kelainan ini berupa endotheliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel

endhotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur yang lainnya. Kelainan lain yang

dapat timbul adalah anuria sampai gagal ginjal

10. Komplikasi lain

Lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jantung akibat kejang-kejang, pneumonia

aspirasi dan DIC (disseminated intravascular coagulation).

11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.


BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien mengalami preeklampsia berat pada kehamilan ini karena memiliki

riwayat preeklampsia berat sebelumnya dan riwayat melahirkan bayi kembar. Hal

ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa ibu hamil dengan riwayat

preeklampsia sebelumnya berisiko mengalami preeklampsia berat 20% lebih tinggi

pada kehamilan berikutnya dan ibu hamil dengan riwayat kehamilan kembar

berisiko dua kali lebih besar mengalami preeklampsia.19

Penegakan diagnosis preeklampsia dengan impending eklampsia pada

kasus ini, berdasarkan anamnesis pasien mengeluhkan nyeri kepala, pandangan

mata yang kabur, dan nyeri ulu hati. Hal ini sesuai dengan kriteria diagnosis

impending eklamsia yaitu PEB disertai dengan gejala-gejala subyektif berupa nyeri

kepala hebat occipital atau frontal, mata kabur, photophobia, mual muntah, nyeri

epigastrium dan kenaikan progresif tekanan darah.20,21 Spasme arteriol, edema

sekitar diskus optikus, ablasio retina (lepasnya retina), menyebabkan penglihatan

kabur. Spasme pembuluh darah arteriol otak menyebabkan anemia jaringan otak,

perdarahan nekrosis, menimbulkan nyeri kepala yang berat. Nekrosis hepatoselular

ringan (nekrosis hemoragik periporta) menyebabkan abnormalitas enzim serum

(aminotransferase dan laktat dehidrogenase) dan pecahnya kapsul hepar

menimbulkan nyeri pada abdomen.21

Janin pasien didiagnosis IUFD, diagnosis ditentukan berdasarkan pada

pemeriksaan auskultasi, dimana tidak terdengar denyut jantung janin. Preeklampsia

sebagai penyulit kehamilan sering ditemukan dan merupakan satu dari tiga besar

yang masih menjadi penyebab utama kematian ibu di dunia, selain perdarahan dan
infeksi. Preeklampsia menyebabkan 16% kematian maternal dan 45% kematian

perinatal baik secara langsung maupun tidak langsung. Komplikasi pada ibu berupa

sindroma hemolisis, hellp syndrome, edema paru, perdarahan, solusia plasenta

bahkan kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat dpat berupa kelahiran prematur

gawat janin, berat badan lahir rendan dan IUFD.21

Preeklampsia merupakan salah satu faktor risiko IUFD, dimana

preeklampsia merupakan faktor penyakit yang diderita oleh ibu. Pada preeklampsia

terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Jika semua

arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai

usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigen jaringan dapat

dicukupi. Maka aliran darah menurun ke plasenta dan menyebabkan gangguan

pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin.22 Menurut

kotweg penyebab yang paling penting untuk IUFD adalah keterbatasan

pertumbuhan janin, hal ini menekankan pentingnya peran plasenta dalam

mengoptimalkan pertumbuhan.24 Terjadinya IUFD pada kasus ini, kemungkinan

disebabkan oleh terlepasnya hampir seluruh plasenta dari tempat insersinya yang

normal sehingga aliran darah ke janin berkurang.

Pasien datang ke RSUD AA dengan keluhan muntah-muntah, nyeri ulu hati,

pandangan kabur, dan nyeri perut. Hal ini sesuai dengan teori manifestasi klinis

Hellp syndrome yang menyatakan bahwa pasien dengan Hellp Syndrome akan

mengalami nyeri epigastrium atau nyeri perut (90%), mengeluh mual dan muntah

(50%). Mual muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran

darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler.25


Hellp syndrome merupakan hemolisis dan peningkatan fungsi hepar dan

trombositopenia, hal ini sesuai dengan hasil lab trombosit pasien yang didapatkan

sebesar 96.000. Hellp syndrome merupakan komplikasi preeklampsia yang terdiri

dari:26

a. Hemolisis (penghancuran sel darah merah).

b. Peningkatan enzim hati.

c. Penurunan jumlah trombosit.

Pasien didiagnosis dengan plasenta previa dalam rujukan dari RS

sebelumnya, namun tidak diketahui dasar diagnosisnya karena tidak didapatkan

tanda-tanda adanya plasenta previa pada pasien, serta tidak dilakukan pemeriksaan

USG. Kelemahannya, saat tiba di RSUD Arifin Achmad juga tidak dilakukan USG

sebagai pemeriksaan konfirmatif pada pasien ini, sehingga diagnosis plasenta

previa tidak dapat ditegakkan.

Pasien didiagnosis dengan solutsio plasenta. Penegakan diagnosis solusio

plasenta pada pasien berdasarkan ditemukannya uterus couvelaire pada saat

operasi, namun pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya gejala dan tanda

klinis dari solusio plasenta. Solusi plasenta merupakan terpisahnya sebagian atau

seluruh permukaan plasenta dari tempat implantasinya sebelum persalinan. 726,27

Gejala dan tanda klinis yang klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya

perdarahan yang berwarna tua keluar dari vagina, rasa nyeri perut dan uterus tegang

terus menerus. Namun adakalanya pasien datang dengan gejala mirip partus

prematurus ataupun datang dengan perdarahan tidak banyak dengan perut tegang,

tetapi janin telah meninggal.28


Pada kasus ini faktor risiko untuk terjadinya solusio plasenta yaitu

preeklampsia berat dan usia ibu 35 tahun. Menurut Dr. Don McIntire risiko

terjadinya solusio plasenta pada kelompok umur 25-34 tahun meningkat 0,6%.

Adanya riwayat preeklampsia sejak usia kehamilan 6 bulan, besar kemungkinan

menjadi penyebab utama terjadinya solusio plasenta, hal ini diperberat oleh

ketidakpatuhan ibu yang jarang melakukan kontrol kehamilannya, sehingga

preeklmpsia berat pada pasien ini tidak teratasi secara adekuat. Karena hal tersebut

maka timbul komplikasi pada ibu yaitu solusio plasenta.

Pada beberapa kasus darah tidak keluar melalui vagina, akan tetapi plasenta

sudah lepas sepenuhnya sehingga janin mati, kasus ini merupakan solusio plasenta

tersembunyi (concealed abruption placentae). Dalam satu kasus yang tidak biasa,

seorang wanita multipara dirawat di Rumah Sakit Parkland yang datang dengan

keluhan mimisan. Dia tidak memiliki sakit perut, rahim, nyeri, atau pendarahan

vagina. Namun janinnya sudah mati dan darahnya tidak menggumpal. Tingkat

plasma fibrinogen adalah 25 mg / dL. Persalinan diinduksi dan ternyata solusio

plasenta total dikonfirmasi saat persalinan.26 Sesuai dengan pasien ini, tidak ada

perdarahan yang keluar dari vagina, namun janinnya sudah mati dan saat operasi

tampak uterus couvelaire, sehingga yang terjadi pada pasien ini adalah solusio

plasenta tersembunyi. Solusio plasenta tersembunyi terjadi sekitar 20–35% dari

seluruh kejadian solusio plasenta.29 Solusio plasenta tersembunyi dapat terjadi

jika:30

a. Selaput plasenta sekitar pedarahan masih melekat pada dinding rahim.

b. Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim.


c. Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah

karenanya.

d. Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada segmen

bawah rahim, sehingga darah tidak dapat lewat.

Solusio plasenta tersembunyi menyebabkan keterlambatan diagnosis,

sehingga bahaya ibu dan janin jauh lebih besar. Dengan pendarahan tersembunyi,

kemungkinan koagulopati konsumtif juga lebih besar. Hal ini karena peningkatan

tekanan dalam ruang intervillous yang disebabkan oleh perluasan gumpalan

retroplasental memaksa lebih banyak tromboplastin plasenta ke dalam sirkulasi

ibu.26 Proses koagulopati konsumtif akan dapat menyebabkan terjadinya

disseminated intravascular coagulation (DIC) yang merupakan suatu sindrom

dengan karakterisik aktivasi sistemik sistem pembekuan darah, sehingga terjadi

thrombosis pada pembuluh darah berukuran kecil dan sedang di seluruh tubuh.31,32

Ditemukan adanya uterus couvelaire saat operasi. Uterus couvelaire

merupakan gambaran dari ekstravasasi darah yang luas ke dalam otot-otot rahim

dan di bawah serosa sehingga uterus tampak kebiruan atau keunguan.26,27 Pada

keadaan ini perdarahan retroplasenta menyebabkan darah menerobos melalui sela-

sela serabut miometrium dan bahkan bisa sampai ke bawah perimetrium dan ke

dalam jaringan pengikat ligamentum latum, ke bawah perisalping dan ke dalam

ovarium, bahkan bisa mengalir sampai ke rongga peritonei.28

Akibat dari uterus couvelaire yang ditemukan saat operasi, terjadi atonia uteri.

Dimana keadaan miometrium yang yang telah mengalami infiltrasi darah dapat

mengganggu kontraksi uterus, sehingga dapat menyebabkan atonia uteri, walaupun

jarang.19 Selanjutnya dilakukan histerektomi pada pasien ini. Tidak semua uterus
couvelaire diindikasikan untuk histerektomi. Jika uterus couvelaire tidak begitu

berat, maka uterus masih dapat berkontraksi jika isinya telah dikeluarkan dan jika

diberi oksitosin. Namun pada pasien ini sudah terjadi atonia uteri, sehingga

diindikasikan untuk dilakukan histerektomi.26,28

Setelah dilakukan operasi, terjadi penurunan kesadaran pada pasien sehingga

pasien dirawat di ICU. Penurunan kesadaran pada pasien ini dapat terjadi akibat

perdarahan yang dialami oleh pasien sehingga terjadi syok hipovolemik dan

diperberat dengan faktor PEB pada pasien. Dalam laporan sebelumnya dari Rumah

Sakit Parkland, Pritchard dan Brekken menggambarkan 141 wanita dengan solusio

yang sangat parah hingga dapat membunuh janin. Kehilangan darah pada wanita-

wanita ini sering berjumlah setidaknya setengah dari volume darah hamil mereka.

Sangat penting untuk diketahui bahwa kehilangan darah dan syok yang masif dapat

terjadi akibat solusio plasenta yang tersembunyi.26

Satu hari setelah dilakukan operasi, pasien mengalami perburukan. Sehingga

pasien dinyatakan meninggal dunia. Pasien meninggal dunia akibat tamponade

jantung dan disseminated intravascular coagulation (DIC). Pada pasien terjadi DIC,

dimana DIC muncul ketika proses hemostasis yang seharusnya terkontrol dengan

baik menjadi terganggu karena satu dan lain hal. Akibat gangguan kontrol

hemostasis ini respons koagulasi yang awalnya bersifat protektif bagi tubuh

manusia, berubah menjadi respons maladaptif dengan berbagai konsekuensi

patologis.26,33 Insidensi DIC pada kehamilan di negara barat diperkirakan sekitar 3-

10 kasus per 100.000 kelahiran. Abruptio placenta muncul pada sekitar 0,2-0,%

kehamilan tetapi hanya 10% dari kasus ini yang diasosiasikan dengan DIC.33

Mortalitas ibu terkait DIC diperkirakan sekitar 6-24%.31 Pada kasus ini, DIC terjadi
akibat solusio plasenta, preeklampsia dan Hellp Syndrome. Penyebab DIC dalam

bidang obstetrik biasanya berupa:31,33,35,36,37,28,39

a. solusio plasenta / plasenta previa; (37%)

b. perdarahan postpartum (29%);

c. pre-eklamsi, dan sindrom HELLP (14%);

d. perlemakan hati akut pada kehamilan (acute fatty liver of pregnancy) (8%);

e. emboli cairan ketuban(6%);

f. abortus septik dan infeksi intrauterine (6%);

g. kematian janin intrauterine (<1%);

Tamponade jantung pada pasien terjadi akibat dilakukannya resusitasi

jantung paru (RJP). Resusitasi jantung paru (RJP) dilakukan dengan cara kompresi

dada pasien, sehingga dapat menyebabkan terjadinya trauma pada rongga dada.

Trauma pada rongga dada tersebut menyebabkan tamponade jantung. Tamponade

jantung adalah sindrom klinik dimana terjadi penekanan yang cepat atau lambat

terhadap jantung akibat akumulasi cairan, nanah, darah atau gas di perikardium,

sebagai akibat adanya efusi, trauma atau ruptur jantung. Tamponade jantung terjadi

apabila rongga perikardial terisi dengan cairan dalam waktu yang lebih cepat

daripada kemampuan kantong perikardial untuk meregang. Apabila jumlah cairan

meningkat secara pelan kantong perikardial dapat melebar dan berisi satu liter

cairan atau lebih sebelum terjadinya tamponade.27


Penyebab dari tamponade jantung diantaranya:28

a. Penyakit ganas

b. Perikarditis pasca-infektif

c. Ruptur dari dinding bebas pasca infark miokard

d. Uremia

e. Iatrogenik; pasca diagnostik (kateterisasi jantung) atau prosedur-prosedur

terapeutik (insersi elektroda alat pacu, angioplasti), antikoagulan.

f. Trauma dada

g. Radiasi

h. Hipotiroidisme

i. Aneurisme diseksi aorta

j. Sindrom pasca-perikardiotomi

k. Sindrom dressler

l. Penyakit jaringan konektif (artritis rematoid, eritomatosus lupus sistemik, dll)

m. Idiopati

Insiden tamponade jantung adalah 2 kasus per 10.00 penduduk di Amerika

Serikat. Sekitar 2% dari trauma pada terutama luka tembus mengakibatkan

tamponade jantung.20 Tamponade jantung sering disebabkan oleh trauma tembus

pada thoraks, namun juga dapat diakibatkan oleh trauma tumpul pada thoraks.

Trauma tumpul akan menyebabkan perikardium terisi darah, baik dari jantung,

pembuluh darah besar maupun pembuluh dari perikardium. Perikardium manusia

terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relative sedikit darah

yang terkumpul, namun sudah bisa menghambat aktivitas jantung dan mengganggu

pengisian jantung.30
BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

1. Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang.

2. Faktor risiko terjadinya solusio plasenta pada kasus ini adalah adanya

riwayat hipertensi dalam kehamilan yaitu impending eklampsia.

3. Solusio plasenta dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti IUFD

pada janin dan anemia pada ibu.

4. Penatalaksanaan pada kasus ini sudah adekuat.

5.2 Saran

1. Kecepatan pengambilan keputusan serta keterampilan teknik operatif

sangat dibutuhkan dalam penanggulangan kegawatdaruratan obstetri.

2. Peningkatan mutu pelayanan obstetri dan ginekologi dengan melayani

pasien sebaik – baiknya dan mengenali penyulit – penyulit yang ada pada

pasien tersebut.

3. Informasi tindakan medik harus diberikan secara jelas dan informatif.


DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, sarwono. Perdarahan pada kehamilan lanjut dan persalinan.


Dalam : ilmu kebidanan, edisi ke-4. Jakarta : Penerbit PT.Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2016 Hal 503-13
2. Kirana, Rita. Hubungan preeclampsia dan perdarahan antepartum dengan
kejadian kematian janin dalam Rahim di ruang bersalin RSUD Ulin
Banjarmasin. Jurnal an-Nadaa. 2014 Juni :1(2):48-52
3. Chalik TMA. Perdarahan pada kehamilan lanjut dan persalinan. Dalam :
Saifuddin AB, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan. Edisi keempat.Jakarta.Pt.
Bina Pustaka,2016.h 503-6
4. Downes KL, Grantz KL, Shenassa ED. Maternal, labor, delivery, and perinatal
outcomes associated with placental abruption: A systematic review. Am J
Perinatol.2017;34(10):935-57.
5. DeRoo L, Skjerven R, Wikox A, Khungsoyr K, Wikstrom AK, Morken NH,
Cnattingius S. Placental abruption and long-term maternal cardiovascular
disease mortality: a population-based registry study in Norway and Sweden. Eur
J Epidemiol.2016;31:501-11.
6. Workalemahu T, Enquobahrie DA, Gelaye B, Thornton TA, Ayele FT, Sanchez
SE et all. Abruption placentae risk and genetic variations in mitochondrial
biogenesis gene association study. Am J Obstet Gynecol.2018;219(6):617
7. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom
KD. (editors). Williams obstetric, 22nd ed New York McGraw-Hill, 2005;
Chapter 35 obstetrical hemorrhage: 810-48
8. Deering SH. Abruptio Placentae, available from http:
www.eMedicine.com/med/topic.htm, inc, view article, 2002. 6. Silbernagl,
Stefan. Teks dan Atlas berwarna, Patofisiologi. ECG,Penerbit Buku Kedokteran.
2007
9. Akinlaja O (2016) Hematological Changes in Pregnancy - The Preparation for
Intrapartum Blood Loss. Obstet Gynecol Int J 4(3): 00109. DOI:
10.15406/ogij.2016.04.00109.
10. Thornton P, Douglas J. Coagulation in pregnancy. Best practice & research
Clinical obstetrics & gynaecology. 2010 Jun 30;24(3):339-52
11. Deering SH. Abruptio Placentae, available from http:
www.eMedicine.com/med/topic.htm, inc, view article, 2002.
12. Silbernagl, Stefan. Teks dan Atlas berwarna, Patofisiologi. ECG,Penerbit Buku
Kedokteran. 2007
13. Pitkin, J. Obstereics and Gynaecology: An Illustrated Colour Text. Edinburgh,
Churchill Livingstone, 2003
14. Tolvonen S, Heinonen S., Reproductive Risk Factor, Doppler Findings, and
Outcome of Affected Births in Placental Abruption : A Population Based
Analysis, available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ entrez/query. fcgi, 2002
; 451-60
15. WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth. Geneva: WHO,
2003. 518-20.5.

16. Rachimhadhi T. Perdarahan Antepartum. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III.


Jakarta: YayasanBina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2002; 362-85

17. Suyanto E, Hakimi M. Kematian maternal di RSUD Purworejo 1990-1995. Maj


Obstet Ginekol Indones 2000; 21: 3-6

18. Zeeman GG, Cunningham FG. Blood volume expansion in women with
antepartum eclampsia. J. Soc Gynecol Investig 9; 112A, 2002.

19. Briely, Annette. Asuhan kebidanan pada persalinan: preeklampsia. Jakarta:


EGC; 2006. p. 50-3.

20. American Collage of Obstetricians and Gynecologists. Hypertension in


Pregnancy. 2013.

21. Aziz R, Mahboob T. Pre-eclampsia and lipid profile. Pak J Med Sci. 2007; 23
(5): 751 – 4.

22. Sofian A. Rustam Mochtar Sinopsis Obstetri Fisiologi Patologi. 3rd ed. Jakarta:
EGC; 2011.

23. McDonald SD, Vermeulen MJ, Ray JG. Risk of fetal death associated with
maternal drug dependence and placental abruption a population-based study.
JOGC. 2007; 29 (7): 556 – 9.
24. Jayakusuma A. Sindrom Hellp Parsial Pada Kehamilan Prematur. FK-UNUD.
2005; 25-43

25. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Dashe JS, Hoffman BL, Casey BM,
Spong CY. Obstetrical Hemorrhage. Williams Obstetrics. 25th ed. New York:
McGraw-Hill; 2018. p. 767 – 94.

26. Beckmann CRB, Ling FW, Barzansky BM, Herbert WNP, Laube DW, Smith
RP. Third trimester bleeding. Obstetrics and Gynecology. 6th ed. Philadephia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p. 207 – 11.)

27. Chalik TMA. Perdarahan pada kehamilan lanjut dan persalinan. In: Saifuddin
AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH, editors. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. 4th ed. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2016. p.
503 – 13

28. South Australian Maternal & Neonatal Clinical Network. South Australian
Perinatal Practice Guidelines Antepartum haemorrhage or bleeding in the second
half of pregnancy. 2013; 1 – 17.

29. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY.
Obstetrical Hemorrhage. Williams Obstetrics. 23rd ed. New York: McGraw-Hill;
2018. p. 761 – 9.

30. Sahin S, Eroglu M, Tetik S, Guzin K. Disseminated intravascular coagulation in


obstetrics : etiopathogenesis and up to date management strategies. J Turk Soc
Obstet Gynecol. 2014: 42 – 51.

31. Di Nisio M, Baudo F, Cosmi B, D’Angelo A, De Gasperi A, Malato A, et al.


Diagnosis and treatment of disseminated intravascular coagulation: guidelines
of the Italian Society for Haemostasis and Thrombosis (SISET). Thromb Res
2012; 129(5): 177–84.

32. Thachil J, Toh C-H. Disseminated intravascular coagulation in obstetric


disorders and its acute haematological management. Blood Rev. 2009; 23(4):
167–76.

33. Levi M. Pathogenesis and management of peripartum coagulopathic calamities


(disseminated intravascular coagulation and amniotic fluid embolism). Thromb
Res. 2013 ; 131 (Suppl 1): S.32–4.
34. Erez O, Mastrolia SA, Thachil J. Disseminated intravascular coagulation in
pregnancy: insights in pathophysiology, diagnosis and management. Am J
Obstet Gynecol. 2015; 213(4): 452 – 63.

35. Hossain N, Paidas MJ. Disseminated intravascular coagulation. Semin Perinatol.


2013; 37(4): 257 – 66.

36. Spodick, DH. Acute Cardiac Tamponade. NEJM. 2003; 349(7): 684-90.

37. Rampengan SH. Kegawatdaruratan jantung. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;


2015. p. 160 – 3.

38. Yarlagadda C, O’brien TX, Kelly RF, Oudiz RJ, Talavera F. Cardiac temponade
[internet]. 2018. [Diakses tanggal 19 Mei 2019]
https://emedicine.medscape.com/article/152083-overview#a6

39. American Collage of Surgeons. Advanced trauma life support (ATLS). 9th ed.
2012.

Anda mungkin juga menyukai