Anda di halaman 1dari 9

REVIEW 3 : ANALISIS STRUKTURAL DONGENG BAJO

BUKU : STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS MITOR DAN KARYA SASTRA


HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA

Oleh :
TARI PURWANTI
18/437473/PSA/08549

DEPARTEMEN PASCASARJANA ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2019
Review

Bab V dari buku ini memaparkan tentang sebuah dongeng Bajo yang berjudul “Pitoto’ si
Muhamma’” yang diperoleh dari I.B. Darmasuta (1994), yang kemudian dianalisis dengan
cara analisis struktural ala Lévi-Strauss. Adapun langkah yang dilakukan Ahimsa-Putra dalam
menganalisis dongeng Bajo ini adalah: (1) membaca keseluruhan ceritera terlebih dahulu
untuk mengetahui pengetahuan dan kesan tentang isi ceritera; (2) membagi ceritera kedalam
beberapa episode; (3) membaca ulang dengan lebih seksama untuk mengetahui episode-
episode yang mungkin diulang dalam ceritera. Di sini Ahimsa-Putra menyebut istilah miteme
(mytheme) yang merupakan tindakan atau peristiwa yang hanya ditemukan pada tingkat
kalimat. Untuk menemukan miteme, dilakukan dengan memperhatikan rangkaian kalimat-
kalimat yang memperlihatkan suatu ide tertentu. Selain itu juga disebutkan istilah ceriteme,
yaitu sebuah unit yang mengandung pengertian tertentu yang –seperti halnya miteme– hanya
dapat diketahui maknanya atau ‘pengertiannya’ setelah ditempatkan dalam hubungan dengan
ceriteme-ceriteme yang lain (Ahimsa-Putra, 2012:206). Kumpulan ceriteme ini membentuk
episode-episode yang baru terungkap maknanya setelah dihubungkan dengan episode-
episode yang lain. Miteme dicari pada tingkat kalimat, sedangkan ceriteme pada rangkaian
kalimat.

Berikut episode-episode dalam dongeng Pitoto’ si Muhamma’ beserta analisis structural


yang dilakukan Ahimsa-Putra secara singkat.

Episode I: “Daeng Manjakari, Hejira, dan Muhamma” dan Realitas Sosial-Ekonomis


Orang Bajo
Dalam episode ini, DM diceritakan sebagai orang Bajo yang belajar adat-istiadat orang Bugis-
Makassar dan diterima oleh mereka, yang terlihat saat DM disambut dalam permainan sepak
raga bersama dengan orang-orang Bugis-Makassar. DM dianggap telah menanggalkan
identitas keBajoannya dengan membaur dengan orang Darat, bisa dikatakan bahwa DM
sudah menjadi Bajo Darat. Sedangkan M sebaliknya. M adalah orang Bajo yang tidak belajar
adat-istiadat orang Bugis-Makassar, sehingga M yang datang bersama pengawalnya
dianggap sebagai orang asing dan tidak diundang dalam permainan sepak raga. Identitasnya
digambarkan sebagai Orang Bajo yang masih sangat Bajo, sehingga bisa dikatakan bahwa
M adalah Bajo Laut.

Episode II: “DM Pergi Mengantar H Ke Sumur Toraja” dan Realitas Ekologis Orang Bajo
Episode ini menceriterakan perjalanan DM, H, dan seorang pengawal ke sumur Toraja di
mana DM berhasil menghadapi segala rintangan berupa angin dan ombak di lautan. Keahlian
DM membuat H jatuh hati padanya, namun DM tidak langsung membalas cinta H. Dalam
episode ini, tokoh DM dapat ditafsirkan menjadi kebalikan (inversi) dari episode sebelumnya
di mana DM kurang tampak Bajo dibandingkan M. Ini ditunjukkan dari kepiawaian DM dalam
hal pelayaran, yang mampu mengatasi segala rintangan di lautan meskipun DM adalah orang
Bajo yang telah mengenal budaya Darat. Episode ini menampilkan superioritas orang Bajo di
lautan. Namun dari sisi lain, episode ini juga menampilkan ketergantungan orang Bajo
terhadap daratan yang ditunjukkan oleh keinginan H untuk pergi ke sumur Toraja, yang
menunjukkan bahwa kedudukan sumur sangat penting bagi orang Bajo karena mereka
memerlukan air tawar untuk kehidupan sehari-hari.

Episode III: “H Jatuh Cinta Pada DM” dan Realitas Sosial-Budaya (I) Orang Bajo
Episode ini menceritakan tentang jatuh cintanya H kepada DM karena kepiawaian DM di
lautan. Hal ini memerlukan pengetahuan tentang hubungan kekerabatan antara DM dengan
H, serta sistem kekerabatan orang Bajo untuk dapat menganalisis secara mendalam
mengenai adat dan kebiasaan orang Bajo dalam hal membentuk kekerabatan. Masyarakat
Bajo memiliki sistem kekerabatan bilateral dengan kecenderungan patrilineal. Perkawinan
satu, dua, atau tiga kali sepupu merupakan perkawinan ideal, selama bukan dengan sepupu
patrilineal parallel. Namun bagi orang Bajo Darat, perkawinan dengan sepupu satu kali, baik
sepupu silang maupun parallel dilarang karena hubungan mereka dianggap terlalu
dekat. Meskipun dalam ceritera ini tersirat bahwa DM memiliki hubungan kekerabatan dengan
H sebagai ‘misan’, namun kecenderungan lebih menunjukkan bahwa DM adalah ‘orang lain’
atau ‘kerabat jauh’ H. Episode ini juga dapat ditafsirkan sebagai kekaguman dan keinginan
orang Bajo (H) untuk menikah dengan orang Darat (DM).

Episode IV: “Perselisihan DM dengan M Di dalam Sumur” dan Realitas Sosial-Budaya


(II) Orang Bajo
Episode ini berisi kisah perkelahian antara DM dengan M dan menunjukkan hubungan
kekerabatan antara DM, M, dengan H. Dalam masyarakat Bajo yang tidak jauh berbeda
dengan masyarakat Bugis-Makassar, unit kekerabatan yang terpenting adalah keluarga batih.
Relasi kekeluargaan merupakan relasi sosial yang sangat penting dan tidak dapat diingkari.
Jika seseorang menolak memberikan bantuan kepada kerabatnya yang sedang dilanda
kesulitan, padahal dia mampu memberi pertolongan, atau sebaliknya dia menolak bantuan
yang diberikan oleh kerabatnya, dia akan terkucil atau lebih buruk lagi dia akan dibunuh oleh
kerabatnya yang tersinggung atau malu.

Perkelahian DM dengan M dilakukan dalam sebuah sumur. Sumur dalam kisah ini
melambangkan sumber kehidupan, dan tafsiran ini diperkuat bahwa perkelahian yang terjadi
di dalam sumur tidak membawa kematian bagi pihak-pihak yang berkelahi. Perkelahian
berjalan seimbang dan ini berubah setelah terjadi campur tangan pihak ketiga. Beberapa hal
menarik muncul ketika membandingkan episode IV dengan episode II. Pertama, dalam
episode II, tokoh DM pergi berdua dengan H ke sumur Toraja disertai seorang pengawal.
Sedangkan dalam episode IV, sumur tempat perkelahian itu awalnya adalah sebuah lubang
yang kemudian dibuat M menjadi sebesar sumur dan terletak di tepi pantai. Kedua, dalam
perjalanan pulang dari sumur keramat, DM berhasil mengatasi rintangan di luar sumur, yaitu
rintangan alami berupa ombak, dengan bantuan tokoh ‘saudara kita’ dan ‘mereka’, yang tidak
diketahui siapa, dan pertolongan yang diperoleh tidak kelihatan yang dianggap sebagai
makhluk supranatural dalam analisis ini. Sedangkan M berhasil mengatasi rintangan di dalam
sumur yang berupa manusia, yaitu DM, dan mendapat pertolongan dari H berupa ‘sehelai
rambut semangat’. Ketiga, dalam episode II, H jatuh cinta pada DM dan DM menggandengnya
pulang ke rumah. Sedangkan dalam episode IV, H jatuh hati pada M dan M juga
menggandengnya pulang ke rumah.

Episode V: “DM Dibunuh Oleh M” dan Realitas Sosial-Budaya (III) Orang Bajo
Episode V menceriterakan tentang kematian DM di tangan M. Untuk memahami episode V
ini, perlu dipahami bahwa ada budaya malu yang hidup di kalangan orang Sulawesi Selatan.
Permintaan dapat ditafsirkan sebagai pengakuan atas hubungan kekerabatan, dan
permintaan ini harus dipenuhi. Menolak permintaan sama artinya dengan mengingkari
hubungan kekerabatan yang ada. Siri atau rasa malu dalam masyarakat Sulawesi Selatan
biasanya erat kaitannya dengan persoalan wanita. Penolakan DM terhadap uluran tangan H
dapat ditafsirkan sebagai penolakan orang Bajo yang sudah mengenal budaya Darat terhadap
orang Bajo asli, yang dianggap lebih rendah derajatnya; atau bisa juga ditafsirkan sebagai
orang Bajo yang telah memBagai memang kurang pantas memperoleh pertolongan dari orang
Bajo asli untuk melawan orang Bajo asli. Penolakan uluran tangan H kepada DM membuat
DM berada di pihak yang pantas dikalahkan, karena dia adalah pihak yang mempermalukan.
Selain itu, DM juga telah membuat M merasa malu karena H, ‘pacar M’, dibawanya ke pulau
Keramat. Menurut aturan moral setempat, sebagai pihak yang dipermalukan, M berhak
menuntut balas pada DM untuk menghapus malu tersebut. Di lain pihak, M menerima dengan
baik bahkan meminta bantuan H berupa “sehelai rambut semangat”. Dengan bantuan H
tersebut, M mendapat dua kekuatan, yaitu kekuatan berupa semangat untuk mengalahkan
musuh dan kekuatan berupa kebenaran moral, yaitu menghapus malu yang diperolehnya dan
tidak menolak uluran tangan dari kerabat.

Episode VI: “H Jatuh Cinta Pada M” Realitas Sosial-Budaya (IV) Orang Bajo
Episode ini menceritakan tentang jatuh cintanya H kepada M setelah M berhasil mengalahkan
DM di dalam sumur. Di sini nampaknya Orang Bajo menghadapi dua kecenderungan yang
berlawanan, yang saling Tarik menarik, yakni kecenderungan untuk mengawini kerabat
sendiri dan kecenderungan untuk menikah dengan orang lain atau kerabat jauh. Dua
kecenderungan ini dapat dipahami dengan mengetahui ketergantungan ekonomis mereka
pada kerabat dan orang darat, terutama soal makanan dan air. Mengingat kebutuhan orang
Bajo terhadap daratan, ini menempatkan mereka pada situasi yang sulit, dimana mereka
harus menentukan mana yang lebih baik dan lebih menguntungkan: menjalin hubungan
kekerabatan dengan orang Bajo Darat atau dengan orang Bajo Laut.

Episode VII: “M Meninggalkan H” dan Realitas “Ruang” Dalam Budaya Orang Bajo
Episode ini menceritakan kepergian M meninggalkan H di Pelabuhan Matekne, walaupun M
tahu bahwa H telah jatuh hati kepadanya. Kisah yang tidak happy ending ini justru sangat
menarik untuk memahami konsepsi orang Bajo mengenai ruang dan kehidupannya. Orang
Bajo, Bajo Laut terutama, memiliki konsep ruang yang berbeda dengan Bajo Darat pada
umumnya. Orang Bajo Laut memiliki konsep ruang yang (1) menunjuk pada kelompok sosial
yang disebut bido’ (perahu), yaitu sebuah kesatuan sosial yang berada dalam satu perahu;
dan (2) menunjuk pada daerah-daerah yang pernah dikunjungi atau mungkin pernah
“ditempati”, serta desa-desa Bajo yang ada di berbagai daerah lain, tempat tinggal kerabat-
kerabat mereka. Jawaban yang diberikan di akhir kisah Muhamma’ ini bukanlah
menempatkan kehidupan orang Bajo Laut dan Bajo Darat di kedudukan yang lebih tinggi
ataupun lebih rendah, namun dengan menyodorkan nilai lain yang lebih tinggi, yaitu
“pengembaraan”. Kisah ini merupakan proyeksi dari realitas sehari-hari yang penuh
pertentangan dan teka-teki yang tidak terpecahkan. Proyeksi ini disampaikan melalui struktur
tertentu yang bersifat dialektis. Oleh karena itu, sebuah mitos atau ceritera sebenarnya dapat
menjadi model of (model dari) dan model for (model untuk) realitas yang dihadapi manusia
(Ahimsa-Putra, 2012: 204-249).

Dari analisis yang telah dilakukan Ahimsa-Putra terhadap dongeng Bajo, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa dongeng Pitoto’ si Muhamma’ ini merupakan upaya simbolisasi orang Bajo
untuk memahami kontradiksi-kontradiksi empiris yang mereka hadapi sebagai orang yang
hidup dari mengumpulkan hasil laut. Ahimsa-Putra memperlihatkan bahwa sebuah mitos
dapat digunakan sebagai pintu untuk memahami budaya masyarakat pemilik mitos tersebut.
Untuk melakukan analisis seperti ini, tentunya kita membutuhkan data-data etnografi yang
cukup rinci dan mendalam. Jika dicermati, dongeng Pitoto’ si Muhamma’ ini erat kaitannya
dengan sistem kekerabatan orang Bajo.
Critical Analysis

Ketika membaca mitos Suku Bajo yang berjudul Pitoto’ si Muhamma, dalam benak saya yang
muncul adalah ingatan mengenai Orang Bajo yang hidup di laut seperti yang pernah saya
baca sebelumnya dalam buku “Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut” karya Adrian B. Lapian
yang membahas mengenai Orang Bajo dari sisi sejarahnya. Pada awalnya saya masih belum
memahami mengapa dalam kisah tersebut DM, H dan M memiliki rumah di darat. Namun
kemudian penjelasan berikutnya membuka pemahaman saya bahwa ada Orang Bajo yang
sudah menetap di Darat di pinggiran-pinggiran pantai dan hidup berkelompok-kelompok
dalam kampung-kampung, membaur dengan Orang Darat. Menurut Zacot (1978), dalam
kehidupan sehari-hari orang Bajo mengenal dua kategori sosial dasar yang penting bagi
interaksi sosial mereka, yakni orang Sama dan orang Bagai. Orang Bajo menamai dirinya
Orang Sama, yang menggunakan bahasa yang sama, dan menyebut orang yang tidak
menggunakan bahasa mereka sebagai Orang Bagai atau orang luar (Ahimsa-Putra, 2012:
210). Orang Sama dibedakan menjadi dua kategori, yaitu Bajo Darat dan Bajo Laut.

Ketika saya membaca satu persatu paragraf yang telah mengalami episodisasi dalam buku
ini, barulah saya melihat bagaimana cerita itu berlangsung dengan beberapa bagian yang
seperti yang Ahimsa-Putra katakan : “episode-episode ini kadang-kadang jelas sekali
batasnya, …”(hlm 204) dalam beberapa episode, nampak bahwa cerita tersebut terputus-
putus, lalu berganti menjadi cerita yang lain. Bagian pertama menceritakan latar belakang
tokoh, bahwa Daeng Manjakari (DM) dan Muhamma (M) adalah orang Bajo yang berasal dari
dua kampong yang berbeda. Penggambaran bahwa keduanya disebut sebagai “pemuda
jagoan” nampaknya sengaja dimunculkan untuk menunjukkan bahwa keduanya memiliki
kemampuan tertentu. Tokoh lain yang disebutkan adalah Hajira (H) sebagai seorang gadis
yang memiliki peran yang cukup besar dalam alur cerita. Alasan penyingkatan nama menjadi
DM, M dan H tidak disebutkan, entah supaya mudah menuliskan cerita, atau ada hal lain yang
ingin disampaikan secara tersirat dalam cerita tersebut.

Yang menarik perhatian saya pertama kali adalah justru hubungan anak-anak dari Suku Bajo
dengan ibunya. Sebagaimana yang tampak pada awal-awal paragraf yang menggambarkan
bagaimana hubungan DM, M, dan H dengan ibunya masing-masing. DM nampak sangat
menghormati ibunya, meski pada awalnya dia sempat memotong pembicaraan ibunya
mengenai cara-cara atau kebiasaan di kampung atau di suatu daerah. Kemudian ibunya
memberinya nasehat-nasehat dalam bertatakrama dengan orang luar guna menjadi pelajaran
bagi DM sehingga ia bisa berbaur dengan kehidupan Orang Bagai. Setelah cukup dewasa,
ibunya mengizinkannya pergi sendiri untuk melihat semparaga di depan rumah raja. Hal ini
berlawanan dengan M -yang adalah seorang anak juragan- yang nampaknya kehidupannya
begitu dikekang oleh ibunya. Ia tidak diizinkan pergi melihat semparaga sendirian, melainkan
harus ditemani oleh pengawalnya. Ibunyapun meminta pengawalnya untuk bersikap baik
kepada junjungannya itu.

Lain halnya dengan H, yang adalah seorang gadis Bajo, hubungan dengan ibunya lebih
terlihat seperti dimanja, entah karena ia sakit, atau karena ia seorang perempuan. Seperti
ketika ia meminta ibunya mencarikan orang yang akan menemaninya pergi ke sumur keramat
seperti yang dijanjikan ibunya ketika ia sakit, seperti dalam kalimat “…Sebaiknya ibu pergi
sendiri mencari orangnya” (alinea 15), dan ketika ia menanyakan tentang peralatan yang
harus disiapkan sebelum pergi ke sumur keramat dengan DM, seperti pada kalimat “apakah
semua peralatan sudah siap ibu?” (alinea 20). Kedua kalimat tersebut menurut saya
menunjukkan bahwa H nampak sangat bergantung kepada ibunya. Barangkali ini bisa
menjadi bahan analisis lain terkait hubungan antara ibu dan anak. Dalam cerita ini, sosok
ayah tidak ditampilkan sama sekali, begitupun dengan sosok paman. Semua tokoh nampak
sangat erat hubungannya dengan sosok ibu. Hal ini bisa menunjukkan bagaimana way of life
Orang Bajo mengenai sosok ibu.

Yang kedua yang menarik perhatian saya adalah ketika DM, H dan pengawal pergi berlayar
ke pulau Keramat. Peralatan yang diperlukan adalah perahu dan dayung, yang diceritakan di
sana dayung tersebut diberi nama Gallikanawa. Hal ini bagi saya menunjukkan bahwa bagi
orang Bajo, kedua hal tersebut adalah hal yang sangat penting, bahkan sampai mereka
memberi nama pada dayungnya. Di sana juga digambarkan bahwa ombak yang bergulung-
gulung tidak menyurutkan DM untuk berlayar mengarungi lautan. Namun tidak dijelaskan apa
itu “sesuatu yang putih yang dicari DM”. Entah itu cahaya dari kehidupan di pulau Keramat,
ataukah semacam mercusuar. Selain itu, sesuatu yang “berupa gundukan kehitam-hitaman”
(alinea 23) yang disebut oleh si pengawal juga tidak mendapatkan penjelasan apapun, selain
analisis Ahimsa-Putra mengenai kemungkinan hal yang berbau supranatural. Beberapa hal
dalam cerita ini yang terputus-putus, menurut saya nampaknya masih seperti puzzle-puzzle.

Yang terakhir yang menarik perhatian saya adalah konflik yang terjadi antara DM dan M dan
pertarungan diantara keduanya di dalam sumur. Mitos bahwa orang-orang terdahulu memiliki
ilmu kebal terhadap senjata tajam nampaknya dimunculkan pula di cerita ini, dan barangkali
memang bukan isapan jempol belaka. Namun campur tangan H kemudian mengubah alur
cerita, bahwa ia turun ke sumur sebagaimana permintaan M untuk mengusap keringat DM.
Menurut saya, hal ini tidak hanya karena berkaitan dengan “menolak kebaikan”, namun juga
DM yang kehilangan fokus karena munculnya H diantara mereka. Dan setelah kehilangan
fokusnya, M bisa dengan mudah membunuh DM dan mendapatkan H, namun kemudian iapun
pergi ke lautan dan tidak memilih menikah dengan H setelah membunuh DM dengan
tangannya sendiri.

Analisis secara struktural yang dilakukan terhadap mitos ini menurut saya luar biasa.
Bagaimana mitos kemudian dikaitkan dengan pola kehidupan masyarakat tertentu yang
menjadi penutur mitos tersebut. Dalam cerita ini khususnya, setelah sampai pada tujuh
episode, maka dijumpai adanya suatu relasi oposisi di dalamnya yang secara keseluruhan
mencerminkan sebuah konflik batin yang mengalami krisis identitas yang bersifat geografis-
kesukuan yang dialami oleh orang Bajo yang selalu hidup di laut, namun juga selalu
tergantung pada orang Darat. Mereka selalu berada dalam situasi yang paradox, yang terjadi
terus menerus. Mereka menghadapi realitas sosial, budaya, politis, ekonomis dan ekologis
yang di satu pihak mendukung atau menguatkan kesan akan superioritas mereka sebagai
orang Laut, tetapi di lain pihak juga memaksa mereka harus menelan kenyataan bahwa
mereka inferior terhadap orang Darat. Orang Bajo sangat paham akan lautan, bahkan ada
sebuah perumpamaan, yang berkata : “Ibarat ikan, Orang Bajo yang tinggal di daratan akan
mati, karena bukan habitatnya”1. Melalui kisah ini, orang Bajo telah memindahkan oposisi
pada skema geografis, ekonomi dan sosial ke tataran mitis menjadi hubungan sosial antara
Daeng Manjakari (DM), Hajira (H) dan Muhamma’ (M) yang lebih kongkrit sifatnya. Dengan
menampilkan akhir cerita M meninggalkan H, orang Bajo dapat mengelak dari keharusan
untuk memilih antara Darat dan Laut (yang dalam hal ini dilambangkan oleh tokoh DM dan M)
serta kembali ke dunia orang Bajo, yaitu meninggalkan orang-orang Bajo tertentu (yang
dilambangkan dengan H) untuk mengunjungi orang-orang Bajo yang lain. Jadi kisah ini
merupakan proyeksi dari realitas sehari-hari yang penuh pertentangan dan teka-teki yang
tidak terpecahkan. Proyeksi ini disampaikan melalui struktur tertentu yang bersifat dialektis.
Oleh karena itu, sebuah mitos atau ceritera sebenarnya dapat menjadi model of (model dari)
dan model for (model untuk) realitas yang dihadapi manusia (hlm 204-249).

Pada akhirnya analisis struktural terhadap dongeng ini menunjukkan relasi-relasi yang tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, antara mitos dengan kehidupan Orang
Bajo, antara Darat dan Lautan. Penggambaran yang sangat kentara antara tokoh-tokoh yaitu
DM yang menggambarkan daratan, dan M yang menggambarkan lautan, juga H yang
berperan sebagai sebuah pertanyaan besar “mana yang lebih superior” digambarkan jelas
dalam analisis ini, yang ternyata pada akhirnya tidak menyediakan jawaban atas itu, dengan
digambarkan kepergian M setelah membunuh DM dengan tangannya sendiri, melainkan
“Jawaban yang diberikan bukanlah dengan menempatkan Darat lebih tinggi atau superior

1
Perumpamaan ini saya dapatkan dari tulisan Uniawati yang berjudul “Mitos dan Aktivitas Melaut Masyarakat
Bajo di Buton”.
daripada Laut atau sebaliknya, tetapi dengan menyodorkan nilai lain yang lebih tinggi yaitu
pengembaraan,…”(hlm 243). Mitos yang terdapat di dalam kehidupan Orang Bajo diyakini
oleh sebagian besar anggota masyarakatnya secara tidak langsung memberi pengaruh yang
kuat terhadap pola aktivitas melaut masyarakat tersebut. Pengaruh itu dapat dilihat dari waktu
yang mereka pilih ketika akan turun melaut.

Bibliography :

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Kepel Press.

Anda mungkin juga menyukai