PBL Reni 1
PBL Reni 1
Pendahuluan
Hepatitis adalah istilah umum yang berarti radang hati dan dapat disebabkan oleh beberapa
mekanisme, termasuk agen infeksius. Virus hepatitis dapat disebabkan oleh berbagai macam
virus yang berbeda seperti virus hepatitis A, B, C, D dan E. Penyakit kuning adalah ciri
karakteristik penyakit hati dan bukan hanya karena virus hepatitis, diagnosis yang benar
hanya dapat dilakukan dengan pengujian SERA pada pasien untuk mendeteksi adanya
antivirus pada antibodi. Sebagian kasus terkait hepatitis karena transfuse disebabkan oleh
hepatitis A virus (HAV) atau virus hepatitis B (HBV), kedua hanya dikenal hepatitis
manusia, virus ini di kenal pada tahun 1975. Pada waktu itu, hepatitis sudah ada, tapi dikenal
dengan sebutan hepatitis non A non B (NANB).
1
Pada anamnesis kolestasis sering didapatkan penderita ikterus dengan tinja yang
berwarna dempul dan urine yang berwarna gelap seperti air teh serta gatal-gatal. Pada
pemeriksaan fisik pasien sakit sedang, sadar, tanda-tanda vital (suhu, tekanan darah,
frekuensi pernafasan, dan nadi) dalam batas normal. Kulit dan sklera ikterik yang
merupakan pertanda ikterus. Adanya pelebaran hati 1 jari dengan penanjakan 2 jari, terdapat
nyeri tekan.
Anamnesis yang dibuat juga harus berisi lamanya gejala berlangsung, ada dan sifat
nyeri abdomen, demam atau gejala peradangan lainya, perubahan selera makan, berat
badan, dan kebiasaan. Riwayat atralgia menunjuk pada hepatitis virus akut. Penyakit virus
juga diperhatikan pada pasien yang pernah berpergian ke negara-negara berkembang
endemik hepatitis E yang ditularkan secara entral atau negara Asia Timur yang penyebaran
hepatitis B dan C secara parenteralnya luas. Pruritus sering dikaitkan dengan kolestasis
kronik berasal baik dari obstruksi ektrahepatik ataupun penyakit kolestatik hati seperti
kolangitis sklerosing atay sirosis kanding empedu primer. Pemeriksaan fisik juga penting
untuk mengarahka evaluasi selanjutnya. Ekskoriasis menunjukkan adanya kolestasis lama
atau obstruksi bilier berat, dan ikterik yang berwarna kehijauan mengarahkan pada penyakit
hati tertentu yang berat atau kronik. Demam dan nyeri di epigastrium atau kuadran kanan
atas seringkali berkaitan dengan koledokolitiasis dan kolangitis atau kolesistitis. Hati yang
membesar lunak mengarahkan pada peradangan hati akut atau tumor hati yang cepat
membesar. Adanya splenomegali dapat merupakan petunjuk adanya hipertensi portal dati
hepatitis kronik aktif, alkoholik berat atau hepatitis virus akut atau sirosis.1
Pemeriksaan Penunjang
1. Tes darah: hitung darah lengkap-makrositosis, trombositopenia atau ureum yang
rendah bisa ditemukan pada penyakit hati kronis. Natrium yang rendah (bukan
disebabkan oleh diuretik) adalah tanda prognostik yang buruk.
2. Tes fungsi hati: kadar albumin yang rendah mungkin nonspesifik. Transaminase bisa
memberi petunjuk apakah ikterus terutama terjadi karena penyebab hepatoseluler
(SGOT dan SGPT > fosfatase alkali) atau kolestatik (fosfatase alkali atau
GammaGT [gamma-glutamyl transferase] > SGOT), walaupun dapat juga bersifat
campuran. Transaminase yang normal menunjukan kelainan hemolisis yang lebih
jarang atau sindrom Gilbert.
2
Pada keadaan hepatitis kolestasis terjadi peningkatan 3 enzim pertanda kolestasis
yaitu alkaline phosphatase (ALP), 5'-nucleotidase (5NT), dan y-glutamyl
transpeptidase (GGT). ALP dan 5'-NT terletak dikanalikuli biliaris hepatosit,
sedangkan GGT terdapat di reticulum endoplasma dan sel epitel duktus biliaris.
Bilirubin yang tinggi, enzim transaminase meninggi sedang (jarang >500 U/L), dan
peningkatan enzim pertanda menunjukkan adanya kolestasis.3
3. Tes serologi hepatitis virus: IgM hepatitis A adalah pemeriksaan diagnostik untuk
hepatitis A akut. Hepatitis B akut ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi DNA
hepatitis B. Hepatitis C jarang menyebabkan hepatitis akut namun sering
menyebabkan penyakit hati kronis.
4. Profil autoantibodi dan immunoglobulin
5. USG hati: bisa membantu menegakkan diagnosis klinis, karena bisa menunjukkan
abnormalitas hati fokal seperti metastasis, abses hati, atau kelainan vaskular. Bisa
menemukan tanda-tanda obstruksi bilier (dilatasi duktus biliaris) dan penyebab
ikterus (batu empedu, kanker pankreas). Bisa juga tidak nampak kelainan.
Selanjutnya, diperlukan pemeriksaan USG, CT scan dan MRI untuk membedakan
jenis kolestasis, yaitu intra atau ektrahepatik. Hepatitis kolestasis merupakan salah
satu penyebab kolestasis intra hepatik.3
6. ERCP: jika ada tanda-tanda obstruksi bilier, ERCP tetap merupakan tes definitif
untuk menentukan apakah obstruksi terjadi intraluminal (batu empedu pada duktus
biliaris komunis [CBD] atau ekstraluminal (striktur maligna dari karsinoma
pankreas). Pemeriksaan ini juga bisa mengurangi derajat obstruksi.
7. Biopsi hati: histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif untuk ikterus
hepatoselular dan beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis bilier primer, kolestasis
intrahepatik akibat obat-obatan [drug-induced]). Terdapat berbagai indikasi absolut
untuk pemeriksaan ini.
Differential Diagnosis
1. Kolesititis
Kolesistitis akut merupakan inflamasi akut pada kandung empedu, faktor paling
sering yang memicu keadaan ini adalah batu empedu.Keadaan ini muncul ketika batu
empedu menymbat duktus sistikus dan inflamasi terjadi akibat obstruksi tersebut.
3
Keluhan yang tidak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah
kanan atas atau epigastrium dan nyeri tekan disertai kenaikan suhu tubuh.Kadang-
kadang sakit menjalar sampai ke pundak dan skapula kanan dan dapat berlangsung 60
menit tanpa reda.Sekitar 60-70% pasien dilaporkan mengalami serangan yang
menghilang secara spontan.Rasa sakit biasanya dipicu oleh makanan berlemak dengan
jumlah besar dan munculnya rasa sakit yang mendadak yang terlokalisasi pada
hipokondrium kanan.
Dengan kelanjutan penyakit, nyeri akut dirasakan merata di seluruh bagian perut
kanan atas dan menjalar sampai area interscapula, scapula kanan, dan bahu.Tanda-
tanda peritoneal dari inflamasi seperti peningkatan nyeri pada napas dalam biasanya
timbul.Pasien biasanya mengalami anorexia dan nausea.Biasanya disertai muntah dan
disertai simptom dan tanda-tanda penurunanan vascular dan volume ekstraseluler.
Berat ringannnya keluhan tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan
sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu.
Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umunmnya derajat ringan (bilirubin <4,0 mg/dl).
Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu empedu ekstra hepatik.
Jaundice biasanya tidak tampak pada awal kasus kolesistitis akut, tetapi bisa saja
muncul pada saat perubahan inflamasi edematous melibatkan duktus biliaris dan
mengelilingi nodus limfe.2,3
2. Kolestasis Ekstrahepatik 4
Penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu duktus koledokos
dan kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relatif lebih jarang adalah stiktur jinak
(operasi terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus, pankreatitis
atau pseudocyst pankreas dan kolangitis sklerosing. Kolestasis mencerminkan
kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya sangat kompleks, bahkan juga pada
obstruksi mekanis empedu.
4
Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi selalu diperkirakan sebagai penyebab
keluhan gatal, walupun sebenanya hubungannya belum jelas sehingga patogenesis
gatal masih belum bisa diketahui dengan pasti.
Hepatitis adalah keadaan radang/cedera pada hati, sebagai reaksi terhadap virus, obat,
atau alkohol.hepatitis akibat virus bersifat akut dan dapat menular. Virus penyebab meliputi
hepatitis virus A (HVA), virus hepatitis B (HVB), virus hepatitis non-A non-B (NANB),
virus hepatitis C (HVC), dan virus hepatitis D (delta). Komplikasi potensial dari hepatitis
adalah degenerasi progresif hati. Pantau adanya tanda degenerasi hati yang meliputi gejala
hepatitis tidak menghilang (mis., ikterus, nyeri epigastrik, feses warna nanah) dan kadar
enzim hati dan tes koagulasi tidak mau kembali ke normal. Periode kembali normal adalah 2-
12 minggu. Kondisi ini dapat berakhir sebagai gagal hati dan kematian.6
Hepatitis A (hepatitis infeksi) adalah pikornavirus RNA rantai tunggal dari keluarga
enterovirus yang diekskresi dalam tinja pada akhir masa inkubasi dan menghilang saat
berkembangnya penyakit. Imunoglobulin M (igM) antivirus hepatitis A muncul pada onset
penyakit, dan menunjukkan infeksi baru terjadi. Penyakit ini endemik namun bisa terjadi
epidemi kecil di sekolah atau institusi. Penyebaran biasanya terjadi melalui rute fekal-oral
akibat produk makanan seperti kerang. Terutama mengenai orang berusia muda (5-14
tahun).7
Kolestasis adalah kondisi dimana terjadi penghambatan aliran empedu secara akut
atau kronis. Hepatitis kolestasis adalah hepatitis yang menyebabkan kolestasis intrahepatik
5
yang ditandai dengan penghambatan luas duktus biliaris sehingga ekskresi cairan empedu
gagal. Selain itu ditandai oleh adanya ikterus, pruritus, anoreksia, diare persisten, urin
berwarna gelap dan tinja pucat seperti dempul. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ikterus,
ekskoriasi yang menunjukkan kolestasis lama atau obstruksi bilier yang lama, pada kasus
yang kronik dapat terjadi asites dan splenomegali.3
Pada intrahepatic cholestasis terjadi akibat gangguan pada sel hati yang terjadi akibat:
infeksi bakteri yang menimbulkan abses pada hati, biliary cirrhosis primer, virus hepatitis,
lymphoma, cholangitis sclerosing primer, infeksi tbc atau sepsis, obat-obatan yang
menginduksi cholestasis.
Pada extrahepatic cholestasis, disebabkan oleh tumor saluran empedu, cista, striktur
(penyempitan saluran empedu), pankreatitis atau tumor pada pankreas, tekanan tumor
atau massa sekitar organ, cholangitis sklerosis primer. Batu empedu adalah salah satu
penyebab paling umum dari saluran empedu diblokir. Saluran empedu Diblokir mungkin
juga hasil dari infeksi, kanker atau jaringan parut internal. Parut dapat memblokir saluran
empedu, yang dapat mengakibatkan kegagalan hati
A. Etiologi
Hepatitis Virus A (HAV) adalah nonenvelope virus, dari famili picorna, terdiri dari
satu serotipe, tiga atau lebih genotipe, bereplikasi di sitoplasma, hepatosit yang terinfeksi.
Hepatitis A ditransmisikan melalui fekal oral, sangat berhubungan dengan kebersihan
lingkungan dan kepadatan penduduk. Faktor resiko infeksi HAV adalah di pusat perawatan
seharian untuk anak kecil, institusi development disadvantage, berpergian ke negara
berkembang, perilaku oral-anal sex dan intra vena drug user (IVDU). Jarang ditransmisikan
melalui jalur transfusi. Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah virus hepatitis,
obat-obatan (hepatitis imbas obat), penyakit hati alkohol dan penyakit hepatitis autoimun.3
B. Epidemiologi
HAV berdistribusi di seluruh dunia dan endemisitas tinggi di Negara yang
berkembang. Infeksi tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
6
Kematian disebabkan hepatitis fulminan meningkat seiring peningkatan usia tetapi
prevalensi infeksi menurun sesuai peningkatan usia.3
C. Patofisiologis
HAV masuk ke hati dari saluran pencernaan melalui aliran darah, menuju hepatosit,
dan melakukan replikasi di hepatosit yang melibatkan RNA-dependent polymerase.
Dari hepar HAV dieliminasi melalui sinusoid, kanalikuli, masuk ke dalam usus sebelum
timbulnya gejala klinis maupun laboratoris.
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana konsentrasi bilirubin di dalam darah
sangat tinggi. Hiperbilirubinemia dibagi menjadi tiga yaitu hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi, hiperbilirubinemia terkonjugasi dan hiperbilirubinemia campuran.
Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi terjadi bila bilirubin direk ≤ 15%, sedangkan pada
hiperbilirubinemia terkonjugasi kadar bilirubin direk ˃ 15%. Hiperbilirubinemia disebabkan
karena produksi bilirubin yang meningkat, penurunan klirens bilirubin dan gangguan
konjugasi genetik. Hiperbilirubinemia terkonjugasi dapat disebabkan oleh gangguan fungsi
klirens yang bersifat familial, sedangkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang didapat
disebabkan oleh penggunaan beberapa jenis obat (asetaminofen, penisilin, kontrasepsi oral,
promacin, estrogen dan steroid anabolik) serta hambatan aliran empedu ke dalam duodenum
yang sering disebut kolestasis ekstrahepatik.4
Peningkatan produksi bilirubin paling sering disebabkan oleh penghancuran sel darah
merah yang berlebihan dan menyebabkan ikterus hemolitik. Terjadi peningkatan kadar
bilirubin tidak terkonjugasi dalam plasma. Sebagai kompensasinya, terjadi peningkatan
penyerapan ke dalam sel hati dan ekskresi bilirubin. Selanjutnya akan terjadi peningkatan
pembentukan urobilinogen dalam saluran cerna yang akan diserap kembali dan dikeluarkan
melalui urin sehingga kadar urobilinogen urin meningkat. Bilirubin tidak terkonjugasi tidak
dikeluarkan dalam urin.4
Pada keadaan ini kadar bilirubin plasma meningkat namun tidak terjadi peningkatan
kadar urobilinogen dalam urin. Dapat disebabkan oleh beberapa kelainan genetik seperti
sindrom Gilbert serta beberapa jenis obat.4
7
Gangguan konjugasi bilirubin
Terjadi bila terdapat kekurangan atau tidak adanya enzim glukonil transferase,
misalnya pada kelainan genetik seperti sindrom Crigler-Najjar atau karena pengaruh obat-
obatan. Apabila enzim glukonil transferase tidak ada maka ditemui kadar bilirubin tidak
terkonjugasi yang sangat tinggi. Tidak terbentuknya bilirubin terkonjugasi akan
menyebabkan tidak ditemukannya bilirubin terkonjugasi di dalam empedu. Empedu menjadi
tidak berwarna, tinja pucat dan tidak terdapat urobilinogen di dalam urin. Apabila hanya
terdapat kekurangan enzim glukonil transferase, maka gejala hiperbilirubinemia akan tampak
lebih ringan. Empedu tetap berwarna dan urobilinogen dapat ditemukan dalam urin.4
Dapat terjadi pada kerusakan sel hati atau sumbatan saluran empedu di dalam atau di
luar hati. Sumbatan saluran empedu dalam hati (kolestasis intrahepatik) dapat terjadi pada
kelainan genetik, obat-obatan yang mempengaruhi sekresi melalui membran sel hati atau
penyakit hati. Sumbatan di luar hati (kolestasis ekstrahepatik) umumnya disebabkan oleh
batu empedu yang menyebabkan ikterus obstruktif. Pada gangguan pengeluaran empedu,
kadar bilirubin terkonjugasi dalam darah akan meningkat dan akan dikeluarkan melalui urin
sehingga urin akan menjadi gelap. Sebaliknya tinja akan menjadi pucat dan kadar
urobilinogen dalam urin menurun. Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme
bilirubin dalam 3 fase; prahepatik, intrahepatik, dan pascahepatik masih relevan untuk
digunakan. Pembagian yang baru menambahkan menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan
bilirubin, transpor plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier.4
Fase Prahepatik4
8
Transpor plasma. Bilirubin tidak terkonjugasi terikat dengan albumin dan tidak dapat
melalui membran glomerulus sehingga tidak ditemukan pada urin. Ikatan akan melemah
pada beberapa keadaan seperti asidosis dan beberapa bahan seperti antibiotik tertentu
seperti salisilat yang berlomba pada tempat ikatan dengan albumin.
Fase Intrahepatik4
Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tidak terkonjugasi oleh hati secara rinci
dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas.
Pengambilan bilirubin melalui transpor yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak
termasuk pengambilan albumin.
Konjugasi. Bilirubin tidak terkonjugasi mengalami konjugasi dengan asam glukoronik
membentuk bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini dikatalisasi oleh enzim
mikrosomal glukoronil-transferase menghasilkan bilirubin yang larut dalam air.
Fase Pascahepatik4
9
D. Manifestasi Klinik
Pada infeksi yang sembuh spontan: 1) spektrum penyakit mulai dari asimptomatik,
infeksi yang tidak nyata sampai kondisi yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut; 2)
sindrom klinis yang mirip pada semua virus penyebab mulai dari gejala prodromal yang non
spesifik dan gejala gastrointestinal, seperti: a) malaise, anoreksia, mual, dan muntah b) gejala
flu, faringitis, batuk, coryza, fotofobia, sakit kepala, dan mialgia; 3) awitan gejala cenderung
muncul mendadak pada HAV dan HEV, pada virus yang lain secara insidious; 4) demam
jarang ditemukan kecuali pada infeksi HAV; 5) immune complex mediated, serum sickness
like syndrome dapat ditemukan pada kurang dari 10% pasien dengan infeksi HBV, jarang
pada infeksi virus lain; 6) gejala prodromal menghilang pada saat timbul kuning, tetapi gejala
anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat menetap 7) ikterus didahului dengan kemunculan
urin berwarna gelap, pruritus (biasanya ringan dan sementara) dapat timbul ketika ikterus
meningkat; 8) pemriksaan fisis menunjukkan pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati;
9) splenomegali ringan dan limfadenopati pada 15%-20% pasien.4
Stadium penyakit4
1. stadium Inkubasi
Periode antara infeksi HAV dan munculnya gejala berkisar 15 – 49 hari, rata-rata 25-30 hari.
Inkubasi tergantung jumlah virus dan kekebalan tubuh.4
2. stadium prodromal
Ditandai dengan gejala seperti : mual, muntah, nafsu makn menurun, merasa penuh diperut,
diare (sembelit), yang diikuti oleh kelemahan, kelelahan, demam, sakit kepala, gatal-gatal,
nyeri tenggorokan, nyeri sendi, gangguan penciuman dan pengecapan, sensitif terhadap
cahaya, kadang-kadang batuk. Gejala ini seperti “febrile influenza infection”. Pada anak-anak
dan remaja gejala gangguan pencernaan lebih dominan, sedangkan pada orang dewasa lebih
sering menunjukkan gejala ikterik disertai mialgia.
3. stadium klinis
90% dari semua pasien HAV akut adalah subklinis, sering tidak terdeteksi. Akhir dari
prodromal dan awal dari fase klinis di tandai dengan urin yang berwarna coklat,
urobilinogenuria persisten, proteinuria ringan dan microhaematuria dapat berkembang. Feses
biasanya acholic, dengan terjadinya ikteric (60-70% pada anak-anak, 80-90% pada dewasa).
Sebagian gejala mereda, namun demam bisa tetap terjadi. Hepatomegali, nyeri tekan hepar
10
splenomegali, dapat ditemukan. Akhir masa inkubasi LDL dapat meningkat sebagai espresi
duplikasi virocyte, peningkatan SGOP, SGPT, GDH. Niali Transaminase biasanya tidak
terlalu diperlukan untuk menentukan derajat keparahan. Peningkatan serum iron selalu
merupakan ekspresi dari kerusakan sel hati. AP dan LAP meningkat sedikit. HAV RNA
terdeteksi sekitar 17 hari sebelum SHPT meningkat dan beberapa hari sbelum HAV IgM
muncul. Viremia bertahan selama rata-rata 79 hari setelah peningkatan GPT , durasinya
sekitar 95 hari.
4. penyembuhan
fase ikterik berlangsung sekitar 2-6 minggu. Parameter laboratorium benar-benar normal
setelah 4-6 bulan. Normalisasi dari serum asam empedu juga dianggap sebagai perameter dari
penyembuhan.
E. Penatalaksanaan
a. Medika Mentosa
Tujuan utama terapi adalah menghilangkan keluhan. Untuk itu dapat diberikan:3
11
F. Pencegahan
G. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering pada hepatitis adalah sirosis hati. Dimana sirosis hati adalah
jenjang akhir dari proses fibrosis hati, yang merupakan konsekuensi dari penyakit kronis hati
yang ditandai dengan adanya penggantian jaringan normal dengan jaringan fibrous sehingga
sel-sel hati akan kehilangan fungsinya. Sirosis ini paling sering disebabkan oleh minuman
keras, hepatitis B dan C dan gemuk penyakit hati tetapi telah banyak kemungkinan penyebab
lain.
Pada kasus seperti ini, seringkali terjadi gangguan pada vena portal pada hati (Extrahepatic
portal vein obstruction, EHPVO) sehingga mengakibatkan terganggunya homeostasis pada
hati yang berdampak pada disfungsi sintesis faktor koagulasi, terutama faktor V dan faktor
VII.5
H. Prognosis
12
Kesimpulan
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam jumlah
normal. Dari segi klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam
empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh.
Secara patologi-anatomi kolestasis adalah terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel
hati dan sistem bilier. Penyebab cholestasis dibagi menjadi 2 bagian: intrahepatic cholestasis
dan ekstrahepatic cholestasis. Pada intrahepatic cholestasis bermacam-macam antara lain
infeksi bakteri yang menimbulkan abses pada hati, biliary cirrhosis primer, virus hepatitis,
lymphoma, cholangitis sclerosing primer, infeksi tbc atau sepsis, obat-obatan yang
menginduksi cholestasis. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan pada pasien tersebut
hipotesis kami diterima dimana pasien tersebut menderita hepatitis A kolestasis.
Daftar Pustaka
1. Isselbacher, Braunwald, Wilson, dkk. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.
Edisi-13. Jakarta: EGC; 2000.h. 268.
2. Davey P. Medicine at a glance. Jakarta: Erlangga; 2002.h. 45.
3. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran UKRIDA;
2013.h.129-140.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.h. 639-652.
5. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak nelson. Jakarta: EGC; 2001.h. 1124.
6. Tambayong J. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC; 2000.h. 146.
13