Tugas Mandiri
Stase Keperawatan Jiwa Tahap Profesi
Program Studi Ilmu Keperawatan
Disusun oleh :
Umi Rahayu
18/436155/KU/21011
A. Pengertian
Salah satu stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan
oleh orang dengan gangguan jiwa terhadap orang disekitarnya termasuk keluarga,
perawat, dan masyarakat (Subu et al., 2016). Perilaku kekerasan diartikan sebagai
ungkapan perasaan marah dan bermusuhan yang mengakibatkan hilangnya kontrol diri
individu yang menyebabkan perilaku menyerang atau melakukan tindakan yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Ipung, 2011). Sedangkan
menurut Kusumawati & Hartono (2010), perilku kekerasan merupakan suatu keadaan
di mana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik
pada diri sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah tak
terkontrol.
Rasa marah merupakan salah satu ungkapan atau reaksi perasaan terhadap
keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan, misalnya: kekecewaan, ketidakpuasan
atau tidak tercapainya keinginan. Dukungan keluarga yang kurang baik dapat
mempengaruhi perkembangan perilaku kekerasan dan berdampak pada diri sendiri,
orang lain serta lingkungan (Yoesep, 2013). Kadang-kadang individu sukar
menghadapi perasaan marah tersebut, apalagi untuk mengungkapkannya. Individu
tidak mau untuk mengakuinya, tidak berani menghadapinya dan mencoba untuk
berpura-pura tidak marah, perasaan marah tersebut akan terpendam dalam-dalam,
akhirnya mempersulit kehidupan individu sendiri dan kehidupan orang yang
mempunyai hubungan dengan individu tersebut. Dengan mengungkapkan perasaan
marah, individu tidak hanya melepaskan perasaan individu tersebut, tetapi juga
menolong orang lain untuk mengerti keadaan individu yang sebenarnya.
B. Fungsi Positif Rasa Marah
Menurut NOVACO, fungsi positif rasa marah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Energizing function: dimana rasa marah tersebut dapat menambah/meningkatkan
tenaga seseorang, contoh : orang mengamuk tenaganya sangat kuat.
2. Expressive function: yaitu untuk mengekspresikan perasaan kecewa atau tidak
puas.
3. Self Promotional function: yaitu untuk meningkatkan harga diri, contoh :
seseorang marah karena merasa dihina.
4. Defensive function: rasa marah sebagai mekenisme koping, contoh : seseorang
melampiaskan kemarahannya, kemudian akan merasa lega.
5. Pitentiating function: yaitu untuk meningkatkan kemampuan. Orang yang merasa
dihina, kemudian berusaha meningkatkan kemampuannya dalam berbagai segi.
Contoh : orang yang bersaing secara tidak sehat.
6. Discriminative function: yaitu untuk membedakan seseorang dalam berbagai
keadaan alam perasaan. Contoh : gembira, sedih, jengkel dan sebagainya.
C. Proses Terjadinya Perilaku Kekerasan
1. Faktor Predisposisi
a. Teori Biologik
1) Neurologic factor, beragam komponen dari sistem syaraf mempunyai
peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang
akan mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam
menstimulasi timbulnya respons agresif (Yosep & Sutini, 2014).
2) Genetic factor, adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua,
menjadi potensi perilaku agresif. Dalam gen manusia terdapat dormant
(potensi) agresif yang sedang tidur dan akan bangun jika terstimulasi oleh
faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karyotipe XYY, pada
umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-orang
yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif (Yosep & Sutini, 2014).
3) Cyrcardian Rhytm (irama sirkardian tubuh), memegang peranan pada
individu. Menurut penelitian pada jam-jam tertentu manusia mengalami
peningkatan cortisol terutama pada jam-jam sibuk seperti sekitar jam 9 dan
jam 13. Pada jam tertentu orang lebih mudah terstimulasi untuk bersikap
agresif (Yosep & Sutini, 2014).
4) Biochemistry factor (faktor biokimia tubuh) seperti neurotransmitter di
otak (epinephrin, norephineprine, dopamine, asetilkoline, dan serotonin)
sangat berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan
dalam tubuh, adanya stimulus dari luar tubuh yang dianggap mengancam
atau membahayakan akan dihantar melalui impuls neurotransmitter ke
otak dan meresponnya melalui serabut efferent. Peningkatan hormon
androgen dan norepinephrine serta penurunan serotonin dan GABA pada
cairan cerebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya
perilaku agresif (Yosep & Sutini, 2014).
5) Brain Area Disorder, gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal,
sindrom otak organik, tumor otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan
sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan (Yosep
& Sutini, 2014).
b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalisa. Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh
riwayat tumbuh kembang seseorang (life span history). Teori ini
menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun
dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air
susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan
bermusuhan setelah dewasa sebagai kompensasi adanya ketidakpercayaan
pada lingkungannya. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayannya dan
rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan (Yosep & Sutini, 2014).
2) Imitation, modeling, and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan
yang menolerir kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru
dari media atau lingkungan sekitar memungkinkan sekitar memungkinkan
individu meniru perilaku tersebut. (Yosep & Sutini, 2014).
3) Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan
terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat menerima
kekecewaan dan mengamati bagaimana repon ibu saat marah. (Yosep &
Sutini, 2014).
c. Teori Sosiokultural
Dalam budaya tertentu seperti rebutan berkah, rebutan uang receh, sesaji
di keraton, serta ritual-ritual yang cenderung mengarah pada kemusyrikan
secara tidak langsung turut memupuk sifat agresif dan ingin menang sendiri.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan
faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan. Hal ini dipicu juga dengan
maraknya demonstrasi, film-film kekerasan, mistik, tahayul, dan perdukuhan
(santet, teluh) dalam tayangan televisi (Yosep & Sutini, 2014).
d. Aspek Religiusitas
Dalam tinjauan religiusitas, kemarahan dan agresivitas merupakan
dorongan bisikan syetan yang sangat menyukai kerusakan agar manusia
menyesal (devil support). Semua bentuk kekerasan adalah bentuk bisikan
syetan melalui pembuluh darah ke jantung, otak, dan organ vital manusia lain
yang dituruti manusia sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan dirinya
terancam dan harus segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal (ego) dan
norma agama (super ego) (Yosep & Sutini, 2014).
2. Aspek Presipitasi
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
seseorang dalam menempatkan dirinya sebagai seseorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga (Yosep &
Sutini, 2014).
D. Rentang Respon Marah
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan
yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan tersebut merupakan suatu
bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari individu. Orang yang
mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa ia “tidak setuju,
tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak dituruti atau diremehkan”. Rentang
respon kemarahan individu dimulai dari respon normal (asertif) sampai respon sangat
tidak normal (maladaptif) (Yosep & Sutini, 2014).
1. Resiko perilaku Control Impuls 1. Bantuan Kontrol Marah (anger control assistance)
kekerasan terhadap diri a. Bina hubungan saling percaya
Setelah dilakukan interaksi dengan 3x24 b. Observasi tanda-tanda perilaku kekerasan pada klien.
sendiri
jam, klien dapat mengenal lebih awal c. Bantu klien mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan :
tanda-tanda akan terjadi perilaku - Emosi : jengkel, marah, persaan ingin merusak/memukul
kekerasan dengan kriteria hasil : - Fisik : mengepalkan tangan, muka marah, mata melotot,
a. Klien mampu menyebutkan tanda- pandangan tajam, rahang tertutup,dsb.
tanda akan melakukan kekerasan, - Sosial : kasar pada orang lain
seperti perasaan ingin marah, jengkel, - Intelektual : mendominasi
ingin merusak, memukul, dll - Spiritual : lupa dengan Tuhan
b. Klien bersedia melaporkan pada d. Jelaskan pada klien rentang respons marah
petugas kesehatan saat muncul tanda- e. Dukung dan fasilitasi klien untuk mencari bantuan saat muncul
tanda kekerasan marah
c. Klien melaporkan kepada petugas 2. Latihan Mengontrol Rangsang (Impulse Control Training)
kesehatan setiap muncul tanda-tanda a. Jelaskan pada klien manfaat penyluran energi marah
akan melakukan kekerasan b. bantu klien memilih sendiri cara marah yang adaptif
c. bantu klien mengambil keputusan untuk mengeluarkan energi
marah/perilaku kekerasan yang adaptif
d. beri kesempatan pada klien untuk mendiskusikan cara yang
dipilihnya
e. anjurkan klian mempraktikkan cara yang dipilihnya
f. beri kesempatan pada klien untuk mendiskusikan cara yang telah
g. dipraktikan
h. evaluasi perasaan klien tentang cara yang dipilih dan telah
dipraktikkan
2. Resiko perilaku Agresion control 1. Behaviour management: self harm
kekerasan terhadap a. Kaji motivasi dari pasien
Setelah dilakukan interaksi dengan 3x24 b. Administer obat
orang lain b.d
jam, klien dapat mengontrol perilaku c. Ikat pasien, bila perlu
simtomatologi psikosis
kekerasan dengan indikator/ kriteria hasil:
2. Latihan Mengontrol Rangsang (Impulse Control Training)
- Menahan diri dari emosi secara a. Jelaskan pada klien manfaat penyluran energi marah
verbal b. bantu klien memilih sendiri cara marah yang adaptif
- Menahan diri dari membahayakan c. bantu klien mengambil keputusan untuk mengeluarkan energi
diri sendiri marah/perilaku kekerasan yang adaptif
- Menyalurkan energi/ perasaan negatif d. beri kesempatan pada klien untuk mendiskusikan cara yang
dengan cara yang tepat dipilihnya
e. anjurkan klian mempraktikkan cara yang dipilihnya
f. beri kesempatan pada klien untuk mendiskusikan cara yang telah
dipraktikan
g. evaluasi perasaan klien tentang cara yang dipilih dan telah
dipraktikkan
3. Koping keluarga tidak Family Coping Libatkan keluarga dalam perawatan/penanganan klien (family
efektif movilization)
Setelah dilakukan interaksi dengan 3x24
jam, keluarga dapat memanage stressor a. Identifikasi peran, kultur, dan situasi keluarga dalam pengaruhnya
teryadap perilaku klien
dengan indikator/ kriteria hasil: b. Berikan informasi yang tepat tentang penanganan klien dengan
perilaku marah/kekerasan
- Mengatasi masalah keluarga c. Ajarkan ketrampilan koping efektif yang digunakan untuk
- Mengexpresikan perasaan diantara pengangan klien marah/perilaku kekerasan
anggota keluarga d. Bantu keluarga memilih/menentukan bantuan dalam menghadapi
- Menentukan prioritas klien marah/perilaku kekerasan
- Memutuskan perawatan e. Berikan konseling pada keluarga
- Membantu perawatan f. Fasilitasi pertemuan keluarga dengan career/pemberi perawatan
- Memberikan dukungan sosial g. Beri kesempatan pada keluarga untuk mendiskusikan cara yang
dipilih
h. Anjurkan kepada keluarga untuk menerapkan cara yang dipilih.
4. Isolasi sosial b.d Keterampilan interaksi sosial Membangun hubungan yang kompleks
perubahan status mental
Setelah dilakukan tindakan keperawatan a. Memmberikan kenyamanan fisik sebelum interaksi
selama 3x24 jam maka interaksi sosial b. Memonitor pesan non verbal pasien
klien dapat meningkat dengan kriteria c. Respon pesan non verbal pasien
hasil: d. Mengembangkan komunikasi dengan gambar atau kata
e. Mensuport interaksi pasien dengan orang lain
- Pasien kooperatif dengan orang lain f. Fasilitasi pasien untuk berkomunikasi terapeutik
- Dapat menjalin hubungan saling
percaya
- Menggunakan perilaku yang asertif
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan dan Sadock. 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinik. Jakarta: Binarupa Aksara.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC) 5th Edition. SA: Elsevier Mosby.
Stuart, G.W. 2013. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
Yosep, H.I., Sutini, T. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa and Advance Mental
Health Nursing. Cetakan ke-6. Bandung: PT Refika Aditama.