Anda di halaman 1dari 22

SANGKAN PARANING DUMADI SRI JOYOBOYO

Aliran Kejawen ”Sangkan Paraning Dumadi Sri Jayabaya” adalah aliran


kepercayaan yang mempercayai adanya silsilah manusia yang digabungkan
dengan cerita dalam pewayangan. Berikut adalah sedikit penjelasannya.

Menurut kepercayaan ini, sebenarnya pohon silsilah itu ada tiga golongan, yaitu:
sejarah silsilah manusia, sejarah silsilah banu jan (yang sama sekali tidak
diketahui manusia) dan sejarah silsilah campuran manusia dan banu jan (inipun
tidak banyak diketahui kecuali dari Nabi Sis as.

Berikut ini adalah silsilah itu yang akhirnya menurunkan silsilah Raja Kadiri
Jayabaya:

1. Nabi Adam (Sang Hyang Janmawalijaya / Sang Hyang Adhama)


2. Nabi Sis (Sang Hyang Syta)
3. Sayid Anwar (Sang Hyang Nur Cahya)
4. Sang Hyang Nurasa
5. Sang Hyang Wenang (Sang Hyang Wisesa)
6. Sang Hyang Manik Maya (Betara Guru)
7. Betara Brama / Sri Maha Punggung / Dewa Brama
8. Betara Sadana (Brahmanisita)
9. Betara Satapa (Tritusta)
10. Bambang parikanan
11. Resi Manumayasa
12. Resi Sekutrem
13. Begawan Sakri
14. Begawan Palasara
15. Begawan Abiyasa (Maharaja Sanjaya)
16. Pandu Dewanata
17. Dananjaya (R.Arjuna)
18. R. Abimanyu
19. Prabu Parikesit
20. Prabu Yudayana
21. Prabu Yudayaka (Jaya Darma)
22. Prabu Gendrayana
23. Prabu Jayabaya
24. Prabu Jaya Amijaya
25. Prabu Jaya Amisena
26. Raden Kusumawicitra
27. Raden Citrasuma
28. Raden Pancadriya
29. Raden Anglingdriya
30. Prabu Suwelacala
31. Prabu Sri Maha Punggung
32. Prabu Kandihawan (Jayalengkara)
33. Resi Gatayu
34. Resi Lembu Amiluhur
35. Raden Panji Asmara Bangun (Inu Kertapati)
36. Raden Kudalaweyan (Mahesa Tandreman)
37. Raden Banjaran Sari
38. Raden Munding Sari
39. Raden Munding Wangi
40. Prabu Pamekas
41. Raden Jaka Sesuruh (R. Wijaya / raja Majapahit)
42. Prabu Taruma (Bhre Kumara)
43. Prabu Hardaningkung (Brawijaya I)
44. Prabu Hayam Wuruk
45. Raden Putra
46. Prabu Partawijaya
47. Raden Angkawijaya (Damarwulan)
48. Bethoro Kathong
49. nDoro Prenggo

SANGKAN PARANING DUMADI

...
Berikut ini adalah beberapa pengertian dari terjemahan yang mungkin berasal
dari Kitab Sangkan Paraning Dumadi yang merupakan warisan leluhur Tanah
Jawa.

Sebelum manusia itu lahir (dumadi) ke dunia adalah belum mempunyai nama
(asmo/ asma/ nami/ aran/ jejuluk/ tetenger) yang bisa dikatakan belum ada. Dan
setelah manusia itu lahir barulah akan diberi nama atau dengan kata lain
mempunyai nama, dengan begitu artinya manusia itu asalnya tidak
ada menjadi ada dan kemudian pada akhirnya menjadi tidak ada lagi
/sempurna.

Kemudian syarat-syarat agar supaya bisa mendapatkan tempat hidup


sebenarnya (sejatine urip) yang kekal, adalah bukan karena kata-kata siapa tetapi
hanya melulu karena pengetahuan yang benar-benar karena diberi penglihatan
batin (kawruh). Dan sekali lagi syarat-syarat itu bukan karena manusia (oleh
manusia), tetapi benar adalah karena (......) orang Jawa tidak berani menyebutnya
karena dianggap njangkar (tidak sopan), yaitu Gusti yang menciptakan jagat
gumelar (bumi dan seisinya).

A. Pengertian Tentang Roso lan Ros-rosing (Rasa dan Ruas-ruasnya)

Roso adalah alat untuk hidup, dan ruas-ruasnya (ros-rosing roso) adalah
penggalan-penggalannya yang diberi nama, artinya ada rasa begini, ada rasa
begitu (asin, manis, pahit, dingin, panas, dll) dan itu semua adalah termasuk
dalam rasa seutuhnya (roso sejati). Roso sejati adalah rasa tidak dapat berubah.

Ruas-ruas dari rasa itu semua tadi akan lengket menempel di badan halus
maupun badan kasar kita. Ruas-ruas rasa yang lain seperti: kerasan, kesepian,
cinta, dendam, bahagia itu juga merupakan bagian dari ruas-ruas rasa yang akan
menempel pada hati (perasaan).

Sedangkan rasa mujur, sengsara, ingat, waspada, curiga, kasihan, menyesal,


ikhlas itu dimana-mana ada (di batin, di budi, di badan), dan itu dinamakan rasa
pikiran (rosoning pikir).

Sebagai contoh: misalnya ketika membuat sayur dan ternyata rasanya hambar
kurang garam, itu kan cukup diberi garam, bukannya lantas bertengkar. Bila
hanya masalah sayur yang kurang garam saja menjadikan sebuah pertengkaran
itu namanya belum tahu (mengerti) tentang rasa.

B. Pengertian Tentang Reh Mangukut (Warongko Manjing Curigo)

Artinya reh mangukut ialah jiwa yang mengukut raga atau jiwa yang meringkes
raga (badan), keadan biasa seperti ini maka badan atau raga ada di luar
sedangkan jiwa ada di dalam, dan sebaliknya apabila terkukut maka jiwa akan
meringkes raga dengan kata lain raga akan masuk kedalam jiwa. Yang dimaksud
jiwa disini adalah badan halus, dan hal inilah yang dilambangkan
sebagai warongko manjing curigo.
Banyak ahli kebatinan kasampurnan yang menginginkan hal seperti ini. Apabila
seseorang sudah memahami apa yang disebut reh mangukut ini maka bisa
dianggap Sarjono / Sujono atau juga Sesepuh (liring sepuh) yang dimaksud
adalah: sepi howo (tanpa kemauan), sepi ing pamuring (tanpa amarah) dan sepi
ing pepengin (tanpa keinginan). Jadi menjalani hidup dengan menjadi manusia
biasa yang sebiasa-biasanya (sepi howo awas loroning atunggal).

C. Tentang Kebatinan.

Aetinya olah batin yaitu menjalankan hal-hal yang baik-baik saja dan
meninggalkan semua yang jelek-jelek. Berkata harus jujur, sama antara yang
diucapkan dan yang dilakukan. Hal ini adalah agar manusia itu selamat dan
sempurna hidupnya di dunia dan akherat.

D. Tentang Ngelmu.

Ngelmu iku kelakone kanthi laku. Sebuah pepatah Jawa namun banyak sekali
orang yang tidak mengerti artinya. Tetapi mungkin ini berbeda dengan hal
itu. Ngelmu itu sendiri adalah sesuatu penglihatan yang didapatkan secara
batiniah. Jadi bukan ilmu yang biasa kita sebut sebagai Ilmu Pengetahuan
(IPA/IPS). Sebuah ngelmumestinya orang harus mendapatkannya dengan
syarat-syarat laku atau yang sering disebut sebagai laku prihatin. Namun
demikian banyak orang mendapatkan ilmu itu dengan cara membeli atau dengan
bahasa halus mahar. Maka bila kita ibaratkan orang yang melamar pekerjaan
dengan menggunakan ijazah palsu, saat diwawancarai maka akan dijawab
dengan lancar karena memang yang diketahui hanya kulitnya saja. Namun
demikian apabila orang itu sudah mendapatkan kerjaan yang sesungguhnya
apapun yang dikerjakan rasanya tidak benar alias ngawur. Demikian pula
halnya ngelmu yang tidak diperoleh dengan laku.

E. Tentang Gusti.

Gusti itu berasal dari kata bagus ing ati. Hati yang bagus itu adalah hati yang
selalu bersih dari kotoran alias suci yang berarti pula berada pada hyang
widhi (pencipta alam semesta). Maka dari itu manusia yang dapat membersihkan
hatinya dari kotoran dan selalu berbuat kebaikan disebut pula sebagai orang yang
telah dapat menyatukan antara lahir dan batin, dan itulah yang
disebut manunggaling kawulo lan gusti.
F. Tentang Ghaib.

Yang disebut ghaib adalah sesuatu yang samara, tidak dapat diraba dengan
tangan, tidak dapat dilihat dengan mata. Hal ini juga yang dikatakan dekat tanpa
singgungan dan jauh tak terhingga yang ukurannya sebesar mrica dibubut.

G. Pengertian Tentang Loro-loroning Atunggal

Artinya dua tetapi satu, yaitu antara jiwa dan raga. Jiwa itu pengganti gusti dan
raga pengganti kawulo, jadi bersatunya antara kawulo dan gusti, dan itulah yang
disebut sebagai loro-loroning atunggal tadi dan benar-benar bersatu dan
menyatu.

Sedangkan teluning atunggal adalah bersemayam pada: nama (jeneng/ asmo/


asma/ nami/ aran/ juluk/ tetenger), ingsun (aku/ rogo/ wadag) dan urip (ALLAH).

Sembah rogo adalah sembah yang dilakukan dengan raga, misalnya:


sembahyang dan semedi. Sembah cipto (kalbu) adalah sembah dengan
pikiran/akal. Sembah jiwa adalah sembah dengan mental atau budi (karakter).
Yang terakhir sembah rasa adalah alat untuk hidup dimana selalu ada korban
perasaan.

H. Pengetahuan Tentang Angka Nol (0) Sampai Dengan Angka Duapuluh (20)

Angka 0 (nol), artinya itu memberitahukan bila kosong, bersemayam pada anak
kecil yang belum tahu apa-apa (wang-wung).

Angka 1 (satu/siji), dari kata isine aji, tetapi bukan untuk barang-barang berharga
seperti mas berlian tetapi ajining diri, yang berada pada orang-orang yang baik
pribadinya yang akan dihormati oleh sesama, maka dari itu angka satu itu
bersemayam pada gusti yang berasal dari kata bagusing ati yang menjadikan
angka satu berasal dari angka nol.

Angka 2 (dua/loro), berada pada ayah dan ibu, yang bersemayam pada isi dunia
yang selalu berpasangan, ada bahagia ada sedih, ada raga ada jiwa, ada siang
ada malam, ada pria ada wanita, dsb.

Angka 3 (tiga/telu), adanya manusia yang selalu mempunyai sifat tiga perkara,
hidup, rasa dan raga atau berkarya. Makan dan mati, dan bagi rumah tangga ada
bapak, ibu dan anak.
Angka 4 (empat/papat), menurut kepercayaan Jawa manusia mempunyai empat
saudara: mutmainah (putihnya air), amarah (merahnya darah), supiah (kuningnya
angin) dan aluamah (hitamnya tanah). ONGKO 4= (PAPAT) ,
dununge.manungso due sedulur papat, atau mingkin dapat juga diberi
nama keblat papat.

Angka 5 (lima/limo), berada pada keblat papat limo pancer, bersemayam bila
dijabarkan maka terdapat pada jenazah dan empat orang yang
membawa/memikul keranda.

Angka 6 (enam/nem), tang berasal dari kata nemu, bersemayam pada sedulur
papat limo pancer, yang ke-enam adalah bayangannya, dan bila diutarakan maka
menjadi arah mata angin: Timur, Barat, Utara, Selatan, bawah dan atas.

Angka 7 (tujuh/pitu), bersemayam pada tujuh nama hari: Senin, Selasa, Rabo,
Kamis, Jum’at, sabtu dan Minggu. Bisa juga dengan adanya rambut, kulit, daging,
tulang, sunsum, urat dan darah.

Angka 8 (delapan/wolu), maksudnya jangan menghindar (owal) terhadap barang


yang diperlukan, dan mestinya jangan lupa terhadap perbuatan yang baik tadi,
bersemayam pada windu (8 tahun) atau wali wolu (di Jawa ada pemahaman wali
yang bener hanya 8 orang).

Angka 9 (sembilan/songo), pengertiannya adalah seorang bayi ada dalam


kandungan selama sembilan bulan, bersemayam pada wali wolu dengan penutup
yang ke-sembilan.

Angka 10 (sepuluh), terdiri dari angka 1 dan 0. Angka ini sudah memberikan
sasmita kepada manusia, bahwa itu merupakan bersatunya antara kawulo dan
gusti, yang bisa dikatakan sebagai pinjam-meminjam. Artinya hidup itu apabila
tidak meminjam raga tidak dapat bergerak sedikitpun dan tidak berarti apa-apa,
demikian pula raga apabila sudah tidak bernyawa mau apa lagi. Lebih
sederhananya begini: angka satu (1) apabila tanpa angka nol (0) tidak bisa
berbunyi sepuluh.

Angka 11 (sebelas/sewelas), menjelmanya angka sebelas ini adalah perlambang


kepada kita ketika bapak/ibu bersanding di pelaminan.

Angka 12 (duabelas/rolas), 1 (satu) artinya hidup, 2 (dua) artinya


laki-laki/perempuan yaitu bapak dan ibu yang diartikan sebagai rong elas (rong
iji= dua buah). Hidup yang satu itu bersemayam (ngerong) pada dua (loro) orang,
yaitu bapak dan ibu.
Angka 13 (tigabelas/telulas), artinya hidup itu menghidupi tiga perkara: manusia,
hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Angka 14 (empatbelas/patbelas), artinya hidup itu mempunyai empat unsur: air,


api, udara dan tanah.

Angka 15 (limabelas/limolas), artinya hidup itu menggunakan lima macam alat


yang disebut panca indra: telinga, mata, hidung, mulut dan lidah (indra perasa
termasuk kulit).

Angka 16 (enambelas/nembelas), artinya hidup itu terdiri dari enam bagian:


mutmainah, amarah, supiah, aluamah, bayangan dan badan kasar.

Angka 17 (tujuhbelas/pitulas), artinya hidup sebagai manusia itu harus memiliki:


bulu/rambut, kulit, otot (daging), tulang, sunsum, urat (otot) dan darah.

Angka 18 (delapanbelas/wolulas), artinya hidup itu harus menghidupi wali wolu,


disamping menghidupi raganya juga keluhuran budinya, dan ini bisa dibuktikan
sampai sekarang keharuman nama beliau masih terasa, banyak orang yang
datang untuk berziarah ke makam beliau-nya ini. Itulah contoh orang yang bisa
mencapai hidup yang sebenarnya (urip kang sejati).

Angka 19 (sembilanbelas/songolas), artinya hidup itu harus menghidupi 9 jalan


keluar: telinga (2), mata (2), hidung (2), mulut (1), anus (1) dan kemaluan (1).

Angka 20 (duapuluh/rongpuluh), artinya hidup itu bersembunyi (ngerong) di dalam


bapak dan ibu, dua orang yang bisa dipakai untuk ngerong uripsiji menjadi dua
tetapi satu (loro-loroning atunggal), dan itulah terjemahannya maka dari itu
duduknya sepasang penganten di pelaminan itu bisa disebut sebagai sastro
jendra hayuningrat.

SASTRO JENDRO HAYUNINGRAT:


Tulising gusti kang cetho dumunung ono wujud ing manungso lanang lan wadon.
mulo manungso bisane nggayuh budi luhur/rahayuning wiwitan lan pungkasan,
senajan manungso iku diwenangake duwe karep nggayuh donyo brono kudu
manut marang krenteg-ke ati kang resik, biso-o ngemong urip kang suci, nuli biso
sampurno lair lan batine.
(Sabda dari YME yang terang benderang ada pada manusia itu sendiri sebagai
laki-laki dan perempuan, maka dari itu apabila manusia mempunyai keinginan
untuk berbudi luhur (selamat dari permulaan hingga akhir), meskipun manusia itu
sudah digariskan untuk mempunyai keinginan kebendaan duniawi, namun
demikian haruslah mengikuti hati kecil (hati kecil biasanya selalu jujur) yang
bersih, sebisa mungkin mengemban hidup yang suci, dan nantinya akan bisa
sempurna lahir dan batin)
H. Pengertian Tentang Huruf Jawa

Huruf Jawa (dasar) itu ada 20 macam, yaitu: ho no co ro ko, do to so wo lo, po dho
jo yo nyo dan mo go bo tho ngo. Ke-20 macam huruf ini mempunyai sifat
masing-masing yang bila diterjemahkan adalah sebagai jari-jari manusia, dan
masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri.

Ho = hurip (hidup), no = nur, co = cahaya, ro = roh, ko = kumpul, do = dzat, to


= tes, so = siji, wo = wujud, lo = langgeng (kekal), po = papan, dho
= dhawuh (perintah), jo = jasad, yo = nyaguhi(sanggup), nyo
= ngelungake (memberikan), mo = margo (jalan), go = gaib, bo = babar (lahir), tho
= thukul (tumbuh) dan terakhir ngo = ngalam gumilang.

I. Tentang Huruf Jawa Yang Disusun Yang Paling Depan Dengan Paling
Belakang.

Ho ngo = hangen-hangen (angan-angan), no tho = nuthuk (memukul), co bo =


coblong/bolong, ro go = raga, ko mo = benih, do nyo = ndonyo(dunia), to yo = air,
so jo = siji, wo dho = wadhah(tempat) dan lo po = lampus.

Huruf pertama dan huruf ke-9 adalah ho wo. Howo adalah udara, dan sifat ini ada
pada laki-laki karena laki-laki mempunyai lobang jumlah sembilan. Dan apabila 20
dikurangi sembilan (9) akan ada sebelas (11), sifat itu ada pada wanita karena
wanita mempunyai 11 lobang, selisih dua dengan laki-laki yaitu pada puting susu.

J. Pengertian Tentang Hawa Nafsu

Hawa artinya angkara murka, nafsu adalah daya kekuatan. Jadi hawa-nafsu
secara keseluruhan berarti angkara murka yang didorong oleh kekuatan syetan.

K. Tentang Sedulur Papat Limo Pancer

1. Mutmainah: bersemayam di jantung berwujud air berwarna putih, dengan


watak yang suci dan sungguh-sungguh, pintunya ada di hidung. Hidung adalah
alat atau panca indra yang tak pernah bohong. Contoh: ketika hidung mencium
bau ikan asin maka bisa dipastikan du dapur ada yang memasaknya meskipun
mata belum malihat. Ketika hidung mencium bau trasi yang kagak enak, tetapi
tetap juga dimakan atau dibutuhkan meski sekedar hanya sebagai bumbu. Ketika
hidung mencium bau harumnya kembang toh ketika dimakan rasanya tidak enak,
pahit.

2. Amarah: bersemayam di empedu, berwarna merah dan berwatak keras,


angkara murka, dan pintunya ada di telinga. Keterangannya: manusia bisa
merasakan baik dan buruk karena mempunyai telinga, dan ketika mempunyai
keinginan yang jahat atau yang baik maka itu karena darah yang berwarna merah.
Darah itulah yang menyebabkan manusia bisa berbuat sesuatu, dan manusia
tanpa darah yang berwarna merah itu maka dunia ini akan sepi dan tidak akan
seperti sekarang ini.

3. Supiyah: bersemayam di lobang tali plasenta (wudel), berwujud angin yang


berwarna kuning, berwatak mengumbar hawa nafsu (mau menangnya sendiri),
pintunya ada di mata. Maka dari itu mata bisa dikatakan lanange jagad (yang
paling berkuasa). Mata dipakai untuk melihat semua hal yang tergelar, maka
manusia mempunyai keinginan karena mata melihat. Supiah pintunya ada di mata
tetapi berwujud angin kuning yang akan keluar dari hidung.

4. Aluamah: bersemayam di lambung yaitu tempat menyimpan makanan, kalau


usus merupakan tempat kotoran. Aluamah berwujud tanah yang berwarna hitam,
mempunyai kesenangan untuk merasakan makanan yang enak-enak, maunya
hanya senang dan enak. Pintunya ada di mulut, maka dari itu bisa celaka karena
kata-kata yang keluar dari mulut sendiri. Mulut yang dalam bahasa
Jawa cangkemmempunyai arti cancangen supoyo mingkem(ikatlah agar tertutup),
kata-kata yang baik maupun buruk asalnya sama saja maka akan lebih baik jika
mulut digunakan untuk berkata-kata yang baik-baik saja. Diam adalah emas.

5. Pelengkap agar menjadi lima adalah hidup, yaitu yang menghidupi empat
perkara yang diatas tadi. Atau yang disebut sedulur papat kalimo pancer, ya hidup
itu adalah pancernya. Jadi mutmainah, amarah, supiyah dan alumah semua
dipinyai oleh hidup.

L. Keblat Papat(4) Limo (5) Pancer dalam Keseharian.

Manusia mempunyai tangan kanan, tangan kiri, kaki kanan, kaki kiri dan yang
ke-lima adalah teluning atunggal, yaitu: baitul makmur, baitul mukarom dan baitul
mukodas.

M. Bibit Dumadi
1. Bayi umur sebulan dilambangkan dengan huruf jo, disebut nukat ghaib,
airnya nur mani, laut berupa layar putih, bangunannya kumalah yang berarti
juga riris tangis.

2. Bayi umur dua bulan dilambangkan dengan huruf yo, disebut koat ghaib,
airnya nur buat, lautnya rantai yang disebut juga kismo djati.

3. Bayi umur tiga bulan dilambangkan dengan huruf nyo, disebut rijalolah ghaib,
airnya nur roso, lautnya kumolah, yang berarti juga Hyang Widhi.

4. Bayi berumur empat bulan dilambangkan dengan huruf mo, disebut rikmo djati.
Airnya nur kumoro djati, lautnya bindari suci yang disebut juga Sang Hyang Adji.

5. Bayi berumur lima bulan dilambangkan dengan huruf go, disebut jo kumolo,
airnya nur kismoyo, lautnya imoloyo, yang disebut juga Sang Hyang Brahma yang
berwujud sedulur limo.

6. Bayi berumur 6 bulan dilambangkan dengan huruf bo, disebut roso hendro
moyo, airnya nur cahyo, lautnya kumoro danu, yang disebut sebagai manu
maningkem manunggale kawulo lan gusti dengan wujud rasa yang enam itu.

7. Bayi berumur 7 bulan dilambangkan dengan huruf tho, disebut waringin


sungsang, airnya tali roso, lautnya madu nirmolo, yang berarti Heru Seto Jinggo
Moyo Jati. Berwujud air ketuban dan ari-ari.

8. Bayi berumur 8 bulan dilambangkan dengan huruf ngo, disebut mayang


kumoro sari, airnya manik gito, lautnya cupu purbo miseso yang disebut
juga Jono Loko Jati, berwujud kakak tertua dan si bontot.

9. Bayi berumur 9 bulan dilambangkan dengan huruf wo, disebut Hendro Loko
Jati, airnya nur tirto moyo, lautnya tak bertepi yang disebut pula Sastro Jendro
Hayuningrat dengan wujud sadadtanpa sabdu.

Setelah itu bayi akan lahir dan melihat terangnya dunia yang dilambnagkan
dengan Bintang Johar sebagai kelahiran (dumadi ingsun), yang disebut pula
bintang Al Ghoniyyu.

N. Pengertian Tentang Tempat Bersemayamnya Angkara Di Triloko

Triloko (Jagat Telu) terbagi menjadi 3 yaitu: Guru Loko (ada di otak), Indro
Loko (ada di hati) dan Jono Loko (ada di syahwat/dzakar). Apabila nafsu angkara
itu baru berada di otak (pikiran) maka keinginan orang itu adalah: drajat/ pangkat/
semat/ kramat. Bila nafsu angkara itu berada di Indro Loko (panca indra) maka
orang itu akan mempunyai keinginan untuk menjadi yang paling unggul/ paling
kuat (menange dewe). Dan ketika nafsu angkara itu berada di syahwat maka bisa
dipastikan orang itu mempunyai tenaga yang super (sangat kuat). Dan yang
terakhir apabila ketiga nafsu itu menyerang bersama-sam pada manusia, maka
bisa diibaratkan manusia itu hidup dengan memelihara Dosomuko (seorang tokoh
jahat dalam cerita Ramayana). Artinya kita semua akan merugi karena tidak akan
bisa menerima wahyu/ wangsit / pepadanging Gusti, dan tentunya akan menjadi
penghalang dalam menjalani kehidupan ini. Dan inilah yang bisa terjadi apabila
manusia itu menjalankan /mencari ngelmu tanpa laku. (Ada pepatah
jawa: Ngelmu iku kalakone kanthi laku.)

O. Sempurnanya Dumadi.

Manusia itu harus dapat mengetahui keberadaan tirto pawitro mahening suci(air
kehidupan yang bersih dan suci). Dimana sebenarnya itu berada dalam diri
sendiri masing-masing. Dengan cara harus menempuh jalan lakyono yo (mati di
dalam hidup) dan harus juga menengok ke alam lokantoro (antoro = batas), yaitu
perbatasan antara alam halus dan alam kasar. Maka disana akan kita jumpai
perwujudan yang menyerupai gumuk (rumah rayap yang membesar)/ tawon
golek jumono, yaitu perwujudan dari saudara kita yang disebut kawah ari-ari (air
ketuban). Golek jumono yaitu suatu perlengkapan hidup manusia, disana akan
dijumpai persimpangan jalan (perempatan) yang merupakan wujud dari 4 cahaya:
1. Cahaya berwarna merah adalah sumber amarah.
2. Cahaya berwarna kuning adalah sumber kesenengan.
3. Cahaya berwarna putih adalah sumber kesucian.
4. Cahaya berwarna hitam adalah sumber kekuatan (energi).

Dan apabila nanti manusia itu kembali kepada Gusti maka harus tetap memilih
jalan suci, artinya akan dapat kembali kepada Gusti Yang Maha Suci.

P. Kunci Sangkan Paraning Dumadi

Hyang Sukmo Sejati, seksenono ingsun kirim gondo arum kang dak kirim
sedulurku kang lahir bareng sedino kang dak sebut kakang kawah adi ari-ari,
kakang mbarep adine wuragil. Kang adoh tanpo wangenan cedak tanpo
senggolan, yo iku titipane wong tuwaku lanang lan wadon. Kakang kawah adi
ari-ari moro tampanono kiriman gondo arum iki, dak suwun jumbuh dadi siji karo
Sang Hyang Sukmo Sejati.

(Hyang Sukma Sejati, saksikanlah aku mengirim wewangian yang aku alamatkan
kepada saudara yang terlahir bersamaku yang saya sebut sebaga kakang kawah
adi ari-ari, kakang sebagai si sulung dan adik sebagai bontot. Yang jauh tanpa
wewangian dan yang dekat tanpa singgungan, yaitu titipan dari kedua orang
tuaku laki-laki dan perempuan. Kakang kawah adi ari-ari segera terimalah kiriman
wewangian ini, dan saya minta agar menyatu dengan Sang Hyang Sukma Sejati.)

Q. Bibit Sangkan Paraning Dumadi.

Tes putih soko bopo, tes abang soko biyung, wujud gedong cagak papat lawange
songo, gumantung tanpo centhelan isen-isene Hyang Sukmo Sejati. Lungguhe
ono batinku kang suci, kanggonan wekasan urip sejati, kang aran dzat lan sifat
weruh sak-durunge winarah, tetep madhep mantep langgeng sak kodrat ingsung,
dadio sak ciptaningsun.

(Bijih putih dari bapak dan bijih merah dari ibu, berwujud bangunan dengan tiang
empat dan sembilan pintu, tergantung tanpa cantelan dan berisi Hyang Sukma
Sejati. Bersemayam di batinku yang suci, sebagai awal hidup sejati, yang
mempunyai dzat dan sifat weruh sak-durunge winarah, tetap setia dan taat
bersamaan dengan diriku, dan jadilah apa yang kukehendaki.)

Ngerti sak-durunge winarah adalah pepatah Jawa yang kira-kira berarti: dapat
mengerti tentang beberapa hal sebelum ada yang memberi tahu.

R. Tentang Pedoman Hidup. (Tri Prakoro)

Sebenarnya banyak sekali pedoman hidup untuk manusia di Jawa ini (lihat: Ki
Demang Sokowaten), namun demikian disini mencoba untuk meringkasnya.
Dengan itu pedoman hidup bisa digolongkan menjadi 3, yaitu: Wiryo, Harta dan
Tri Winasis.

1. Wirya.

Mempunyai pengertian untuk menjunjung tinggi trah orang-orang besar. Mestinya


adalah yang luhur itu budi dan drajat hidupnya, tetapi disini bisa saja biar
keturunan orang yang luhur budinya tetapi ternyata tidak. Sebagai contoh berikut
ini adalah bersumber dari cerita wayang.

Begawan Wisrowo adalah seorang biksu yang luhur, dan dipercaya oleh Prabu
Sumali, tetapi anakanya yang bernama Dosomuko tidak juga menjadi anak yang
berbakti (luhur budi) malahan menjadi kekecewaan di dunia, mejadi sampah
dunia.
Begawan Durno, adalah seorang Pandito/Resi dan juga anak dari Begawan Barat
Wojo, tetapi dalam cerita wayang (versi Jawa) selalu menjadi orang yang
berwatak angkara murka dan bermuka dua, selalu bersikap memuji kepada
Pandawa di depannya, tetapi akan berusaha untuk menghancurkan Pandawa
demi membela Kurawa.

Santrin Kinono adalah orang sangat sudra dengan anggota badan yang kurang
lengkap, tetapi mempunyai hati yang lurus, dan berbudi luhur. Adalah ketika dia
bisa menolong kepada Pandawa dan terhindar dari marabahaya kebakaran yang
diciptakan oleh Kurawa. Jadi makna sebenarnya disini tentang berbudi luhur itu
bukan pada turunannya, tetapi ada pada budi yang dibawa masing-masing.

2. Harta.

Arti sebenarnya adalah kaya akan harta benda, tetapi pengertian disini bukan
hanya itu saja, yang penting adalah kaya akan ilmu pengetahuan. Dengan kaya
akan ilmu pengetahuan maka bisa dipastikan akan menjadi pemaaf, menjadi
orang yang menerima (nrimo), penyabar, sangat sungguh-sungguh, sangat
berhati-hati dan banyak mempunyai teman yang rukun terhadap sesame, karena
keilmuannya itu dapat bermanfaat buat semua saudara maupun teman-teman
semua.

3. Wasis

Yang dimaksud wasis disini adalah kepintaran (pandai). Orang yang pintar/pandai
akan mempunyai banyak pengetahuan, dan orang yang banyak mempunyai
pengetahuan tidak akan pernah kesusahan, yang penting agar kepandaiannya itu
bukan untuk mengakali orang atau teman-temannya sendiri, atau juga bukan
untuk malakukan hal-hal yang menyimpang dari pedoman hidup.

Jadi ketiga diatas tadi mestinya harus bisa menjangkaunya, dan apabila ketiga
diatas tadi sama sekali tidak punya, maka kan hilanglah sifat manusia tadi, dan
yang tertinggal hanya sifat hewani saja. Ya begitu itulah manusia, apabila tidak
mengindahkan akan pedoman hidup dan juga tidak waspada terhadap Tri
Prakoro (Wirya, Harta, Wasis).

S. Tentang Jagad Raya.

Permulaan terjadinya jagat raya ini, adalah ketika jaman


masih awang-uwung (tidak ada apa-apa sama sekali) yang ada hanya Gusti Allah
sendiri. Keadaan yang tanpa apa-apa itu tidak dapat terlihat oleh mata (tan keno
kinoyo ngopo), tetapi ada, karena adanya kekuasaan dari Gusti Allah. Kemudian
diciptakannyalah tiga perwujudan dan kemudian juga menyatu kepada ketiga
perwujudan tadi yang disebut sebagai Trimurti(telu-teluning atunggal).

Tiga warnanya, juga tiga kelihatannya dan tiga macam pula pekerjaannya, tetapi
satu yaitu Gusti (Tuhan) Yang Maha Esa.

1. Perwujudan yang pertama adalah Surya sebagai Matahari dengan


kekuasaannya memberikan kehidupan di seluruh jagad. Baik kasar maupun halus
semua adalah kekuasaannya.

2. Perwujudan yang kedua adalah Condro sebagai Rembulan dengan


kekuasaannya memberikan perlindungan, memberikan sandang-pangan dan
kemakmuran dengan pemeliharaannya.

3. Perwujudan yang ketiga adalah Kartiko sebagai Bintang yang mempunyai daya
keadilan dan mati, dengan tugas menghilangkan semua perwujudan yang bersifat
tidak kekal.

Ketiga daya penguasaan tadi selalu beredar (hanyokro manggilingan), berputar


terus berganti-ganti tanpa ada putusnya. Suryo yang membuat hidup, dipelihara
dan dirawat oleh Condro, dan akhirnya dimusnahkan oleh Kartiko, begitulah
seterusnya.

Suryo sebagai Matahari, selain mempunyai daya kekuasaan kehidupan juga


mempunyai daya panas yang bisa berubah menjadi api, selanjutnya bersemayam
di antariksa. Condro sebagai Rembulan, selain mempunyai
mengayomi/melindungi juga mempunyai daya dingin yang bisa berwujud sebagai
air, seperti juga matahari selanjutnya akan bersemayam di antariksa. Begitu juga
Kartiko sebagai bintang, selain mempunyai kekuasaan atas keadilah dan
kematian maka mempunyai daya udara yang netral dan mempunyai wujud
sebagai angin, selanjutnya juga akan bersemayam di antariksa.

Perwujudan yang tiga warna tadi seterusnya berkumpul menjadi satu di antariksa,
tertiup angin dari atas kebawah, dari Selatan ke Utara, dari Timur ke Barat,
lama-lama api, air dan angin tadi berhenti berhenti di tengah-tengah jagad raya,
dan gumantung tanpa canthelan (tergantung tanpa penyangga) dan perwujudan
akhir ini yang disebut sebagai maghma..

Lama kelamaan maghma tadi menjadi berkerak dan berwujud sebagai mineral,
besi, baja, emas, perak, dan lain-lain. Mineral-mineral tadi terus berkembang
menjadi batu, dan batu berkembang menjadi pasir, pasir berkembang menjadi
tanah. Karena maghma tadi adalah perwujudan yang sangat panas dan
terbungkus oleh batu, pasir, tanah dan sebagainya maka lama-kelamaan akan
menguap dan air akan meresap kedalam tanah. Tanah yang basah oleh air dan
mendapat sinar matahari lama-kelamaan di bumi ini terjadi berbagai macam
tumbuhan yang beraneka warna.

Ya keadaan seperti itulah yang kemudian dinamakan bumi sap pitu (lapis tujuh):
Maghma, Mineral, Batu, Pasir, Tanah, Air dan Tumbuh-tumbuhan. Dan bumi
sendiri itu mempunyai cahaya yang berwarna hitam. Itu semua tadi adalah
asal-usul jagad raya (Jagad Agung) ini.

Dan berputarnya bumi itu diatur oleh kekuasaan Surya maka kemudian
dinamakan Tata Surya. Dan secara lengkap alam semesta ini mempunyai empat
macam cahaya, yang masing-masing berwarna: merah (dari surya), kuning (dari
condro), putih (dari kartiko) dan hitam (dari bumi). Tetapi karena dari keempat tadi
hanya cahaya hitam yang tidak tampak dan tidak bisa memancar, maka cahaya
merah, kuning dan putih akan memancar kan cahayanya ke bumi, dan
inilah Dumadine Jagad Agung, Sangkan Paraning Dumadi.

T. Tentang Asal-Usul Jagad Alit (Bwaono Setro/ Badan Kasar)

Pada uraian diatas tentang terjadinya Jagad Agung, sudah dipahami bahwa bumi
berasal dari api yang cahayanya merah dengan daya panas, dari air yang
cahayanya kuning dan punya daya dingin, serta angin yang cahayanya putih dan
bersifat netral. Berkumpulnya api. Air dan angin tadi akan menjadi maghma, yaitu
pusat bumi yang dapat memberikan wadah sebagai bumi lapis tujuh.
Berkumpulnya daya panas, dingin dan hampa (angin) akan mewujudkan cipta,
rasa, dan karsa, adalah berkumpulnya dzat yang merupakan asal-usulnya
kehidupan. Berkumpulnya tiga macam warna (merah, kuning dan putih) adalah
mewujudkan sukma, yaitu badan halus yang juga dianggap sebagai para dewa,
dewi, bathara, jin, peri, dsb.

Day panas, dingin dan netral tadi sebelum menyatu menjadi dzat maka akan
memenuhi antariksa (awang-wung) dan dalam pengetahuan modern hal ini
disebut sebaga: proton, elektron dan netron, yang bersatu membentuk dzat yang
dinamakan atom.

Berkumpulnya 4 macam cahaya tadi akan mewujudkan nafsu, yaitu yang akan
dipergunakan sebagai syarat mutlak untuk hidup manusia. Sedangkan
berkumpulnya sari-sari dari api, air, angin dan tanah (bumi), akan menjadi badan
kasarnya manusia. Dan sebelum di jagad raya ini terdapat makhluk-makhluk
berbadan kasar, maka terlebih dahulu yang ada adalah makhluk-makhluk
berbadan halus, yaitu suksma, dan pada waktu itu semua makhluk itu yang
dinamakan sebagai dewa-dewi, bethoro-bethari, jin, peri, prayangan, dsb. Dari
kesemua macam titah (makhluk) yang berbadan halus itu maka dewa-dewi,
bethoro-bethari dianggap yang paling tinggi kedudukannya, dan kehidupan dari
makhluk-makhluk itu tanpa menyentuh tanah, dan perkembang-biakannya tidak
menggunakan hukum-hukum kelahiran tetapi dengan sabda (kun fayakun).

Keadaan seperti itu berlangsung hingga beribu-ribu tahun lamanya, dan akhirnya
pada suatu waktu salah satu dewa dan bethoro yang baru saja melakukan
kesalahan-kesalahan besar terhadap Gusti (Tuhan YME), maka atas kekuasaan
Sang Hyang Tunggal dewa tadi disabda menjadi manusia, yaitu makhluk
berbadan kasar dan harus menghuni bumi. Dan setelah itu maka kemudian
berlangsung hukum kelahiran, dan dewa-dewi yang disabda mau bisa disebut
sebagai manu.

Yang dikatakan manu adalah karena menurut hukum kodrat dari penjelmaan para
dewa/bethoroyang berbadan kasar. Dan manusia adalah menurut hukum kodrat
sebagaimana manusia biasa, artinya berkembang biak dengan hukum-hukum
kelahiran. Para manu tadi yang menurunkan manusia yang berasal mula dari
hukum kodrat kelahiran disebut sebagai swayambu manu.

U. Asal Mula Makhluk Berbadan Halus.

Berkumpulnya rasa, cipta dan karsa yang akhirnya mewujudkan dzat yang
asalnya dari Trimurti (Surya, Candra dan Kartika), yaitu dzat yang suci yang
kesuciannya hampir menyamai Yang Maha Suci, karena memang dzat tadi
berasal dari daya Gusti Kang Moho Suci dan bisa disebut sebagai Dzatullah.

Perbedaannya sucinya Gusti akan memenuhi jagad raya, sedangkan sucinya


dzat tadi hanya dapat memenuhi badan satu saja, Gusti Yang Maha Agung akan
menguasai jagad dan seisinya, maka dzat itu hanya menguasai badan kasar dan
seisinya. Dan dzat tadi yang menjadi utusan Gusti untuk memayu hayuning
bawono dan seisinya dengan hukum-hukum kelahiran dan hukum-hukum sabda.
Hukum kelahiran menggunakan badan kasar dan hukum sabda menggunakan
badan hakus atau suksma. Apabila dzat melakukan kesalahan (mendapat karma)
maka akan menjadi utusan lewat hukum sabda dengan sarana badan halus
(suksma). Karma berasal dari kata karya manah (perbuatan hati).

Semua perbuatan yang berasal dari pikiran itu pasti akan berbuah. Perbuatan
yang baik juga akan berbuah kebaikan dan sebaliknya maka perbuatan yang
buruk juga akan berbuah keburukan. Maka ada pepatah Jawa
mengatakan: ngundhuh wohing pakarti. Dan itulah hukum karma, semua manusia
hanya tinggal memetik hasil perbuatannya.
Karena dzat (badan kasar yang ditempati suksma) adalah selalu meiliki karma
(baik maupun buruk), maka dzat itu harus menjadi utusan melalui penjelmaannya
dengan hukum-hukum kelahiran. Dengan begitu semua orang (manusia) hidup
yang dilahirkan ke alam dunia akan mempunyai dosa (karma), dan apabila tidak
mempunyai karma maka tidak akan dilahirkan. Juga apabila tidak mempunyai
karma berarti masih berbadan halus (alam kedewaan) dan yang berlaku adalah
hukum sabda.

Penjelmaan dzat hidup dari alam kedewaan ke manusia adalah melalui


hukum-hukum kelahiran, jadi haruslah melewati perseteruan antara pri dan wanita.
Mungkin kisah berikut ini bisa menjabarkan hal tersebut.

Dan kala itu, ketika ibu masih gadis dan bapak masih jejaka, sebenarnya diriku
sudah ada. Saya berada (bersemayam) di cipta rasa dan karsa dari kedua
orang-tuaku, dan bisa disebut sebagai siratau grenjet. Dan setelah bapak dan ibu
mendapatkan sir selanjutnya sire bapak dan ibu membuahkan budi. Dan setelah
itu bapak dan ibu menabur benih budi dan disemayamkan di jonoloko yang
disebut guwo garbo (kandungan). Saya keluar dengan warna putih suci yang
beasal dari warna cahaya merah, kuning dan putih, ya itulah yang disebut air mani
(sperma), wadi, suksmo, roso, dzat yang maha suci.

Telu-telune atunggal, yaitulah saya (hidup) kekal yang tidak mati, yaitu dzat dari
Gusti Yang Maha Suci, dan akan membangun badan kasar di dalam guwo
garbo ibu, sebagai rumahku untuk hidup di alam raya untuk menjalankan
kewajiban hidup sebagai utusan dari Gusti Yang Maha Kuasa.

Aku di dalam kandunga ketika berumur sebulan di dalam membentuk badan


kasar itu, maka ibuku terus berhenti (tidak datang bulan) kemudian ibu akan
selamatan bubur suro. Selanjutnya setiap tanggal 1 Suro maka para ibu-ibu akan
membuatkan Bubur Suro. Bubur Suro ini merupakan beras biasa yang akan
dihias dengan irisan cabe merah dan telor dadar berwarna kuning. Itu mempunyai
arti: bahwa keadaanku (yang akan menjadi badan kasar) adalah berasal dari tiga
macam warna, merah berasal dari sarinya api, kuning dari sarinya angin dan putih
dari sarinya air. Dan pada waktu itu saya juga mendapatkan sarinya warna hitam
yang berasal dari bumi yaitu makanan yang dimakan ibu dan meresap melalui tali
plasenta (sumber makanan bayi).

Ketika kandungan sudah berumur 2 bulan, maka wujud badan kasarku bisa
dikatakan pating grendhul, maka dari itu kemudian diselamati dengan
membuat jenang grendhul. Jenang grendhul ini juga dinamakan jenang sapar
atau Saparan.

Ketika kandungan sudah berumur 3 bulan, maka badan sudah berwujud. Maka
sudah ada bagian kepala, bagian perut, bagian tangan, bagian kaki, bagian mata,
bagian telinga, bagiaan hidung dan bahkan bagian kelamin sudah ada. Dan maka
dari itu ketiga.tempat sudah terbentuk juga yang
disebut: giriloko, indroloko dan jonoloko. Maka dari itu kemudian dibuatkan
selamatan telonan yang berarti: kadaton yang tiga tempat itu sudah jadi, yaitu
sebagai arah atas, tengah dan bawah (otak, hati dan kelamin).

Lama setelah kandungan menginjak umur tujuh bulan, maka rumah yang
dibilang cagak papat lawang songo sudah jadi dan komplit dengan segala
ornamenya: tulang, sungsum, urat, darah, otot, kulit dan rambut (bulu). Maka dari
itu kemudian dibuatkan tanda dengan selamatan tujuh bulanan (mitoni, lingkepan)
yang mempunyai arti bahwa rumah yang tujuh warna atau bumi yang tujuh lapis
itu sudah lengkap, yang keseluruhan berbunyi: bumi lapis pitu cagak papat
lawang songo.

Kandungan umur 9 bulan adalah sudah waktunya untuk lahir (mrocot), maka
dibuatkan selamatan berupa: bubur procot, kue apam dan pisang. Selamatan tadi
disebut dengan procotan lan megengan. Procotan yang mengandung arti agar
kelahiranku kelak akan mudah tanpa suatu halangan apapun,
dan megeng adalah ketika saya akan lahir ke dunia keluar dari perut ibu, maka
ibu akan megeng (meregang) napas, dan selanjutnya setiap tanggal 1 Poso akan
diadakan selamatan megengan.

Hidup yang ada di badan kasar ini adalah bersemayam di telenging ati (pusat hati,
ada yang mengatakan hati kecil), yang mempunyai kekuasaan untuk membuat
baaik atau buruk bangunan rumah itu (jagad cilik). Dan setelah itu maka setiap 1
Syawal kan dibuatkan sego punaryang dinamakan syawalan. Artinya, saya sudah
terpisah dari badan ibu (guwo garbo, kandungan) menjadi utusan Gusti dan
berkewajiban menjalankan hidup di alam raya ini.

Mulai dari awal kandungan hingga hari kelahiran ibu juga masih mempunyai
kekuasaan untuk menyelamatkan badan kasar, dan begitu juga saya masih
berkuasa dalam Trimurti. Dan setelah lima hari (sepasaran) kekuasaan yang ada
di giriloko akan pindah ke sedulur papat limo pancer, yang berasal dari cahaya
yang empat macam itu. Mereka akan bersemayam di telinga, hidung dan mulut,
dan menguasai 7 pintu, maka kemudian disebutkan sebagai tujuh hari. Mereka
mempunyai lima kekuasaan yang disebut sebagai panca indra, yaitu: indra
pendengar, indra penglihat, indra pencium, indra pengucap dan indra perasa. Dan
disebut sebagai pasaran limo.

Setelah masuk kedalam kedaton roso (rasa) yang ada di indraloka dan
bersemayam di hati-sanubari. Umur 35 hari (selapanan, dimana misalnya lahir
hari Jum’at dan pasaran Legi maka hari itu adalah sama) kemudian dibuatkan
selamatan selapanan. Mempunyai arti bahwa kekuasaanku yang kedaton ketiga
itu sudah diambil-alih (selapi) oleh sedulur papat limo pancer.
Seorang anak yang sudah berumur 105 hari (tiga selapanan) akan dibuatkan
selamatan nasi tumpeng yang diberi nama telung lapan. Ini mempunyai arti:
bahwa kekuasan yang telu-telune atunggal (cipta, rasa dan karsa) sudah dikuasai
oleh pancaindra. Dan sejak saat itulah maka kekuasaan di tiga kedaton itu sudah
tidak ada sama sekali, mulai dari Trimurti hingga bumi lapis tujuh semuanya
sudah diakui oleh sedulur papat limo pancer, dan keadaanku makin merasuk
kedalam makin dalam ada di pusat hati (telenging ati), dan rumahku sendiri sudah
ditempati, dikuasai, diatur dan dijaga oleh saudara sendiri sedulur papat limo
pancer.

Seperti itulah keadaan rumahku yang harus hidup terbelenggu oleh saudara
sendiri, dengan tempat yang sangat rumit, dan kekuasaan hanya tinggal
bagaimana untuk menghidupi badan kasar ini, dengan tujuan hidup
untuk memayu hayuning bawono, tetapi semua sudah hilang, dan pada akhirnya
nanti harus dipertanggung-jawabkan di depan Gusti Kang Moho Kuwoso.

SERAT SABDO JATI


(Ronggowarsito)

Megatruh:

1.
Hawya pegat ngudiya RONGing budyayu / MarGAne suka basuki / Dimen luWAR
kang kinayun / Kalising panggawe SIsip / Ingkang TAberi prihatos
(Jangan berhenti selalulah berusaha berbuat kebajikan, agar mendapat
kegembiraan serta keselamatan serta tercapai segala cita-cita, terhindar dari
perbuatan yang bukan-bukan, caranya haruslah gemar prihatin)

2. Ulatna kang nganti bisane kepangguh / Galedehan kang sayekti / Talitinen


awya kleru / Larasen sajroning ati / Tumanggap dimen tumanggon
(Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama, intropeksi, telitilah
jangan sampai salah, endapkan didalam hati, agar mudah menanggapi sesuatu)

3. Pamanggone aneng pangesthi rahayu / Angayomi ing tyas wening / Eninging


ati kang suwung / Nanging sejatining isi / Isine cipta sayektos
(Dapatnya demikian kalau senantiasa mendambakan kebaikan, mengendapkan
pikiran, dalam mawas diri sehingga seolah-olah hati ini kosong, namun
sebenarnya akan menemukan cipta yang sejati.)
4. Lakonana klawan sabaraning kalbu / Lamun obah niniwasi / Kasusupan setan
gundhul / Ambebidung nggawa kendhi / Isine rupiah kethon
(Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran. Sebab jika bergeser
(dari hidup yang penuh kebajikan) akan menderita kehancuran. Kemasukan setan
gundul, yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak)

5. Lamun nganti korup mring panggawe dudu / Dadi panggonaning iblis / Mlebu
mring alam pakewuh / Ewuh mring pananing ati / Temah wuru kabesturon
(Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan, sudah jelas akan menjadi
sarang iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, kerepotan-kerepotan,
tidak dapat berbuat dengan itikad hati yang baik, seolah-olah mabuk kepayang.)

6. Nora kengguh mring pamardi reh budyayu / Hayuning tyas sipat kuping /
Kinepung panggawe rusuh / Lali pasihaning Gusti Ginuntingan dening Hyang
Manon
(Bila sudah terlanjur demikian tidak tertarik terhadap perbuatan yang menuju
kepada kebajikan. Segala yang baik-baik lari dari dirinya, sebab sudah diliputi
perbuatan dan pikiran yang jelek. Sudah melupakan Tuhannya. Ajaran-Nya sudah
musnah berkeping-keping.)

7. Parandene kabeh kang samya andulu / Ulap kalilipen wedhi / Akeh ingkang
padha sujut / Kinira yen Jabaranil Kautus dening Hyang Manon
(Namun demikian yang melihat, bagaikan matanya kemasukan pasir, tidak dapat
membedakan yang baik dan yang jahat, sehingga yang jahat disukai dianggap
utusan Tuhan.)

8. Yeng kang uning marang sejatining dawuh / Kewuhan sajroning ati / Yen tiniru
ora urus / Uripe kaesi-esi / Yen niruwa dadi asor
(Namun bagi yang bijaksana, sebenarnya repot didalam pikiran melihat
contoh-contoh tersebut. Bila diikuti hidupnya akan tercela akhirnya menjadi
sengsara.)

9. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung / Anggelar sakalir-kalir


Kalamun temen tinemu / Kabegjane anekani / Kamurahane Hyang Manon
(Itu artinya tidak percaya kepada Tuhan, yang menitahkan bumi dan langit, siapa
yang berusaha dengan setekun-tekunnya akan mendapatkan kebahagiaan.
Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.)

10. Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun / Yen temen-temen sayekti / Dewa
aparing pitulung / Nora kurang sandhang bukti / Saciptanira kelakon
(Segala permintaan umatNya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan setulus
hati.
Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi segala
cita-cita dan kehendaknya tercapai.)
11. Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur / Saka pengunahing Widi / Ambuka
warananipun / Aling-aling kang ngalingi / Angilang satemah katon
(Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan membuka selubung yang
termasuk rahasia Tuhan, sehingga dapat diketahui.)

12. Para jalma sajroning jaman pakewuh / Sudranira andadi / Rahurune saya
ndarung / Keh tyas mirong murang margi / Kasekten wus nora katon
(Manusia-manusia yang hidup didalam jaman kerepotan, cenderung
meningkatnya perbuatan-perbuatan tercela, makin menjadi-jadi, banyak
pikiran-pikiran yang tidak berjalan diatas riil kebenaran, keagungan jiwa sudah
tidak tampak.)

13. Katuwane winawas dahat matrenyuh / Kenyaming sasmita sayekti


Sanityasa tyas malatkunt / Kongas welase kepati / Sulaking jaman prihatos
(Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin, merasakan ramalan
tersebut,
senantiasa merenung diri melihat jaman penuh keprihatinan tersebut.)

14. Waluyane benjang lamun ana wiku / Memuji ngesthi sawiji / Sabuk tebu lir
majenum / Galibedan tudang tuding / Anacahken sakehing wong
(Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877 S
(1945 M).
Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila, hilir mudik
menunjuk kian kemari, menghitung banyaknya orang.)

15. Iku lagi sirap jaman Kala Bendu / Kala Suba kang gumanti / Wong cilik bisa
gumuyu / Nora kurang sandhang bukti / Sedyane kabeh kelakon
(Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu. Diganti dengan jaman Kala Suba.
Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan
makan seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.)

16. Pandulune Ki Pujangga durung kemput / Mulur lir benang tinarik / Nanging
kaseranging ngumur / Andungkap kasidan jati / Mulih mring jatining enggon

(Sayang sekali “pengelihatan” Sang Pujangga belum sampai selesai, bagaikan


menarik benang dari ikatannya. Namun karena umur sudah tua sudah merasa
hampir datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.)

17. Amung kurang wolung ari kang kadulu / Tamating pati patitis / Wus katon
neng lokil makpul / Angumpul ing madya ari / Amerengi Sri Budha Pon
(Yang terlihat hanya kurang 8 hari lagi, sudah sampai waktunya, kembali
menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.)
18. Tanggal kaping lima antarane luhur / Selaning tahun Jimakir / Taluhu
marjayeng janggur / Sengara winduning pati / Netepi ngumpul sak enggon

(Tanggal 5 bulan Sela (Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu, Windu Sengara
kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan sang Pujangga kembali
menghadap Tuhan (24 Desember 1873))

19. Cinitra ri budha kaping wolulikur / Sawal ing tahun Jimakir / Candraning warsa
pinetung / Sembah mekswa pejangga ji / Ki Pujangga pamit layoti
(Dari sananya memang tidak diterjemahkan)

Anda mungkin juga menyukai