Anda di halaman 1dari 62

RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN

SEMPADAN SUNGAI
RUANG TERBUKA HIJAU PADA KAWASAN SEMPADAN
SUNGAI .

* Syahriar Tato *

1. A. Latar Belakang

Ruang terbuka hijau merupakan bagian penting dari str


uktur pembentuk kawasan, dimana ruang terbuka hijau memilik
i fungsi utama sebagai penunjang ekologis kawasan yang juga
diperuntukkan sebagai ruang terbuka penambah dan pendukung
nilai kualitas lingkungan dan
budaya suatu kawasan. Keberadaan ruang terbuka hijau sangatl
ah diperlukan dalam mengendalikan dan memelihara integritas
dan kualitas lingkungan. Ruang terbuka hijau
memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi intrinsik sebagai penun
jang ekologis dan fungsi ekstrinsik yaitu fungsi arsitektural (est
etika), fungsi sosial dan ekonomi. Ruang terbuka hijau dengan
fungsi ekologisnya bertujuan untuk menunjang keberlangsungan
fisik suatu kawasan dimana ruang terbuka
hijau tersebut merupakan suatu bentuk ruang terbuka hijau yan
g berlokasi, berukuran dan memiliki bentuk yang pasti di dala
m suatu kawasan. Sedangkan ruang terbuka hijau untuk fungsi-
fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan ruang t
erbuka hijau pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan
dan budaya kawasan tersebut, sehingga dapat berlokasi
dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, s
eperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur.
Proporsi 30% luasan ruang terbuka hijau kawasan diantaranya
terdiri dari 20% untuk publik dan 10% untuk privat
merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan eko
sistem baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan
mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat
meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan
masyarakat, ruang terbuka bagi aktivitas publik serta sekaligus
dapat meningkatkan nilai estetika kawasan.

Daerah Sempadan Sungai, khususnya diperkotaan yaitu


sungai yang membelah kota, dimana pemenuhan 20% RTH untuk
publik, 2% diharapkan berasal dari RTH sempadan sungai,
sekaligus sebagai kawasan yang berfungsi sebagai penyangga
erosi yang terjadi pada pinggiran sungai, sehingga sungai dapat
terjaga dari perluasan atau penyempitan aliran sungai yang
diakibatkan lonsor atau erosi.

Namun kenyataannya sempadan sungai hanya sebahagian


yang ditanami pepohonan yaitu daerah pinggiran tanggul, sehingga
sempadan sungai diharapkan bisa dimanfaatkan secara optimal
dalam penataan RTH.

Hal tersebut diatas dikarenakan tidak memiliki konsep yang


jelas, melihat potensi sempadan sungai , sebaiknya konsep RTH
yang berorentasi, pada pengembangan wisata dan rekreasi. Dengan
konsep ini Sungai yang merupakan salah satu trasportasi air bagi
pemerintah dan masyarakat yang berfungsi sebagi tempat
penghubung terhadap wilayah sekitarnya, dapat mengundang
pariwisata lokal maupun manca negara sebagai tujuan
persinggahan untuk rekreasi sehingga kawasan sempadan sungai
bukan saja hanya sebagai wilayah transpotasi air semata tetapi juga
sebagai wilayah tujuan wisata, juga sangat perlu dijaga kelestarian
dan kebersihan lingkungan baik dari pencemaran air, udara atau
kerusakan daripada sempadan sungai.

Daerah sepanjang sempadan pada kenyataannya tidak didukung


oleh adanya ruang terbuka hijau yang mampu berfungsi
secara ekologis, estetika maupun sosial budaya dan ekonomi, h
al tersebut terjadi dikarenakan adanya ketidakseimbangan
proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau pada daerah sempadan
sungai, sehingga diperlukan adanya konsep ruang terbuka hijau
yang mampu memenuhi
proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau sehingga mampu m
emenuhi fungsinya sebagai
penunjang kualitas ekologis, estetika, serta
sosial budaya dan ekonomi dari kawasan .

Dalam kaitannya dengan lansekap kota, ruang terbuka hijau


pada daerah sempadan sungai
merupakan suatu bagian penting dari keseluruhan lansekap rua
ng, dimana ruang terbuka hijau berfungsi sebagai penunjang
kualitas ekologis lansekap . Jika dilihat kondisi ruang terbua hijau
sepanjang daerah sempadan sungai yang tersebar belum merata
dan keberadaan ruang terbuka hijau yang ada belum menujukkan
fungsi yang maksimal dalam interaksi terhadap lingkungan
sekitarnya, sehingga ruang terbuka hijau yang ada pada sepanjang
sungai, terkesan masih gersang, yang membuat masyarakat enggan
berinteraksi, dalam melakukan aktivitas, seperti olah raga jogging di
sepanjang koridor jalan inpeksi yang ada, atau melakukan rekreasi.
Sebagaimana dalam suatu wilayah perkotaan proporsi dan
distribusi ruang terbuka hijau Kota sesuai dengan kebutuhan kota
terutama kebutuhan
masyarakat, maka kualitas ekologis lansekap kota akan terpenu
hi dan kualitas hidup masyarakat
kota akan semakin meningkat. Molnar, menyatakan bahwa untu
k memenuhi kebutuhan ruang terbuka hijau bagi masyarakat p
erkotaan ada beberapa aspek utama yang harus dipertimbangka
n yaitu hubungan antar ruang terbuka hijau dengan lingkungan
sekitar, ruang terbuka hijau harus ditujukan untuk kepentinga
n masyarakat yang tetap memperhatikan aspek estetika dan
fungsional, mengembangakan pengalaman substansial dari ruang
terbuka hijau (efek dari garis, bentuk, tekstur dan warna),
disesuaikan dengan karakter lahan dan karakter
pengguna, memenuhi semua kebutuhan teknis dan pengawasan
yang mudah. Melalui penjabaran referensi tentang ruang terbuka
hijau tersebut untuk dapat mewujudkan ruang terbuka hijau
didalam suatu wilayah perkotaan yang mampu berfungsi secara
ekologis, estetis dan memiliki nilai sosial budaya
dan ekonomi maka dibutuhkan adanya proporsi dan distribusi r
uang terbuka hijau yang ideal terhadap suatu wilayah perkotaan,
akan tetapi tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat
sebagai pengguna serta kebutuhan kota tersebut.

B.Pengertian Umum Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dan


Daerah Aliran Sungai (DAS)

Ruang terbuka hijau (RTH) kota merupakan bagian dari


penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung.
Kawasan hijau kota terdiri atas pertamanan kota, kawasan hijau
hutan kota, kawasan hijau Daerah Aliran Sungai, kawasan hijau
rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga, kawasan hijau
pekarangan. Ruang terbuka hijau diklasifikasi berdasarkan status
kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya .

Beberapa pengertian tentang Ruang Terbuka Hijau diantaranya


adalah :

1. Ruang yang didominasi oleh lingkungan alami di luar maupun


didalam kota, dalam bentuk taman, halaman, areal rekreasi kota
dan jalur hijau

2. Ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik


dalam bentuk areal/kawasan maupun dalam bentuk area
memanjang/jalur yang dalam pengguanaannya lebih bersifat
terbuka pada dasarnya tanpa bangunan yang berfungsi sebagai
kawasan pertamanan kota, hutan kota, rekreasi kota, kegiatan olah
raga, pemakaman, pertanian, jalur hijau dan kawasan hijau
pekarangan.

3. Fasilitas yang memberikan konstribusi penting dlama


meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, dan merupakan
suatu unsur yang sangat penting dalam kegiatan rekreasi.
Daerah Aliran Sungai disingkat DAS ialah istilah geografi
mengenai sebatang sungai, anak sungai dan area tanah yang
dipengaruhinya. Daerah aliran sungai dapat menjadi sangat besar,
contohnya daerah aliran sungai Mississippi meliputi lebih dari
setengah Amerika Serikat. Ini berarti lebih dari setengah wilayah AS
dialiri Mississippi dan anak-anak sungainya. Batas wilayah DAS
diukur dengan cara menghubungkan titik-titik tertinggi di antara
wilayah aliran sungai yang satu dengan yang lain.

Masalah-masalah DAS di Indonesia dapat menimbulkan :

1. Banjir
2. Produktivitas tanah menurun
3. Pengendapan lumpur pada waduk
4. Saluran irigasi
5. Proyek tenaga air
1. Penggunaan tanah yang tidak tepat (perladangan
berpindah, pertanian lahan kering dan konservasi yang
tidak tepat)

Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi DAS di Indonesia:

1. Iklim
2. Jenis batuan yang dilalui DAS
3. Banyak sedikitnya air hujan yang jatuh ke alur DAS
4. Lereng DAS
5. Bentukan alam (mender, dataran banjir dan delta)

Metode perhitungan banyaknya hujan di DAS, dengan 2 cara. Yaitu:

1. Metode Isohyet, yaitu garis dalam peta yang menghubungkan


tempat-tempat yang memiliki jumlah curah hujan yang sama
selama periode tertentu. Digunakan apabila luas tanah lebih
dari 5000 km²
2. Metode Thiessen, digunakan bila bentuk DAS memanjang dan
sempit (luas 1000-5000 km²
Daerah-daerah DAS dapat berupa :

1. Hulu sungai, berbukit-bukit dan lerengnya curam sehingga


banyak jeram.
2. Tengah sungai, relatif landai. Banyak aktifitas penduduk.
3. Hilir sungai, landai dan subur. Banyak areal pertanian.

Pengelolaan tata guna air diarahkan untuk menjamin


pemenuhan kebutuhan air bersih dan irigasi bagi penduduk dan
aktifitasnya melalui pengelolaan lahan terpadu di Daerah Aliran
Sungai (DAS) dan kawasan pesisir sebagai suatu ekosistem.(Perda
Provinsi Sulawesi Selatan No. 44 Thn 2001, Pasal 24)

Penghijauan Daerah Aliran Sungai dilakukan pada tepian


sungai. Penghijauan ini bermanfaat dalam penguat tebing dan
penanaman pepohonan akan terlihat lebih rapi dan indah sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi (Instruksi
Mendagri No.14 1988).

Semua aktifitas manusia di darat berlangsung di dalam


suatu wilayah yang di sebut Daerah aliran Sungai (DAS) yaitu
wilayah daratan yang dibatasi oleh pemisah tofografis berupa
punggung bukit yang menerima air hujan dan mengalirkannya ke
hilir dan bermuara ke laut. Das terddiri dari beberapa sub-DAS
yang merupakan suatu anak sungai yang bermuara ke waduk, dam ,
danau atau sungai. Sub-DAS ini sering disebut sebagai Daerah
Tangkapan Air atau Chathment Area. Peristiwa banjir dan tanah
longsor yang diberitakan media massa, terjadi pada suatu
kawasan yang disebut DAS tersebut. Banyak
orang menyebut peristiwa banjir dan tanah longsor dengan illegal
logging. Ada juga yang menyebut akibat saluran dan sungai tidak
normal, sungai tidak mampu menampung aliran permukaan karena
penuh sampah, daerah bantaran sungai dan daerah dan daerah
resapan dipakai sebagai permukiman. Banjir dan tanah longsor
selalu menjadi berita besar kerena merugikan dan menyengsarakan
penduduk yang tinggal atau menghuni di daerah rendah atau
bantaran sungai suatu Sub DAS. Fakta menunjukkan tahun 1955
sungai Batanghari banjir menggenangi daerah Jambi, padahal saat
itu hutan disana masih utuh. Tetapi, karena penduduk waktu itu
masih jarang, banjir tidak menjadi masalah serius. Kini penduduk
makin padat dan penghuni daerah bantaran, daerah rendah dan
daerah curam. Sedikit saja banjir timbullah masalah sosial serius,
tanah longsor yang menelan korban.
Gambar 1. Daerah Aliran
Sungai (DAS)

Daerah Aliran Sungai (DAS)/Daerah Pengaliran Sungai


(DPS) atau drainage basin adalah suatu daerah yang terhampar di
sisi kiri dan dan kanan dari suatu aliran sungai, dimana semua anak
sungai yang terdapat di sebelah kanan dan kiri sungai bermuara ke
dalam suatu sungai induk. Seluruh hujan yang terjadi didalam suatu
drainage basin, semua airnya akan mengisi sungai yang terdapat di
dalam DAS tersebut. oleh sebab itu, areal DAS juga merupakan
daerah tangkapan hujan atau disebut catcment area. Semua air yang
mengalir melalui sungai bergerak meninggalkan daerah tangkapan
sungai (DAS) dengan atau tanpa memperhitungkan jalan yang
ditempuh sebelum mencapai limpasan (run off).

Suripin.berpendapat, Daerah Aliran Sungai (DAS) juga


dapat didefinisikan sebagai suatu daerah yang dibatasi oleh
topografi alami, dimana semua air hujan yang jatuh didalamnya
akan mengalir melalui suatu sungai dan keluar melalui outlet pada
sungai tersebut, atau merupakan satuan hidrologi yang
menggambarkan dan menggunakan satuan fisik-biologi dan satuan
kegiatan sosial ekonomi untuk perencanaan dan pengelolaan
sumber daya alam.

Menurut I Made Sandy , seorang Guru Besar Geografi


Universitas Indonesia; Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah bagian
dari muka bumi, yang airnya mengalir ke dalam sungai yang
bersangkutan, apabila hujan jatuh. Sebuah pulau selamanya terbagi
habis ke dalam Daerah-Daerah Aliran Sungai Antara DAS yang satu
dengan DAS yang lainnya dibatasi oleh titik-titik tertinggi muka
bumi berbentuk punggungan yang disebut stream devide atau batas
daerah aliran (garis pemisah DAS). Bila suatu stream devide itu
merupakan jajaran pebukitan disebut stream devide range.

C.Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Penghijauan perkotaan yaitu menanam tumbuh-tumbuhan


sebanyak-banyaknya di halaman rumah atau dilingkungan sekitar
rumah maupun dipinggir jalan, apakah itu berbentuk pohon,
semak, perdu, rumput atau penutup tanah lainnya, di setiap jengkal
tanah yang kosong yang ada dalam kota dan sekitarnya, sering
disebut sebagai ruang terbuka hijau. RTH sangat penting,
mengingat tumbuh-tumbuhan mempunyai peranan sangat penting
dalam alam, yaitu dapat dikategorikan menjadi fungsi lansekap
(sosial dan fisik), fungsi lingkungan (ekologi) dan fungsi estetika
(keindahan).

Berdasarkan kepada fungsi utama RTH dapat dibagi


menjadi :

1. Pertanian perkotaan, fungsi utamanya adalah untuk


mendapatkan hasilnya untuk konsumsi yang disebut dengan hasil
pertanian kota seperti hasil holtikultura.

2.Taman kota mempunyai fungsi utama untuk keindahan dan


interaksi sosial.

3. Hutan kota, mempunyai fungsi utama untuk peningkatan


kualitas lingkungan.

Fungsi lain dari Ruang Terbuka Hijau adalah:

1. Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem


dan keserasian penyangga kehidupan.
2. Sebagai sarana pendidikan maupun penelitian serta
penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran
lingkungan.
3. Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap
berbagai macam pencemaran baik didarat, perairan
maupun udara termasuk limbah cair yang dihasilkan manusia.
4. Memperbaiki struktur dan tekstur tanah yang rusak akibat
pembangunan maupun bencana alam (Instruksi
Mendagri No.141988).

Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah salah satu contoh pelayan


publik yang bersifat fisik yang tidak boleh diambaikan oleh
pemerintah daerah. Keberadaan RTH sangat penting, kalau
diibaratkan tubuh manusia maka RTH merupakan Paru-paru Kota
yang harus ada dan harus dalam kondisi sehat (terpelihara dengan
baik). Ketika RTH ukurannya terlalu kecil berarti kondisi kota
sudah tidak layak huni karena kesehatan masyarakat seperti
dipertaruhkan dengan polusi udara yang semakin hari semakin
parah. Manfaat lain RTH adalah untuk memperbaiki cadangan air
tanah serta mengurangi resika longsor pada Daerah Aliran Sungai.
UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 29 ayat (2) menyebutkan “Proporsi
ruang terbuka hijau kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari
luas wilayah kota. “ Demikian juga Daerah Aliran Sungai (DAS)
harus memiliki areal RTH sebanyak 30 % dari luas wilayah DAS.
Salah satu contoh, Kota Tegal merupakan salah satu kota yang RTH
nya masih sangat minim (baru 6 % ) demikian juga RTH di DAS
juga tidak diperhatikan sama sekali. Melihat kondisi semacam ini
sebenarnya masyarakat kota Tegal telah tinggal diwilayah yang
tidak sehat dan nyaman. Bagaimana tidak ? Pencemaran CO2 di
udara dari kendaraan bermotor setiap hari semakin meningkat
sementara tumbuh-tumbuhan yang berfungsi untuk menyerap CO2
buangan dari kendaraan bermotor sangat minim. Ini berarti kadar
CO2 yang kita hirup dan masuk kealiran darah kita setiap hari juga
meningkat. Minimnya RTH juga ikut meningkatkan laju Pemanasan
Global.
Contoh lain adalah Frekuensi banjir di sungai Deli semakin
sering terjadi dan bertambah. Banjir kiriman maupun banjir karena
curah hujan tinggi, membuat masyarakat tidak nyaman, terutama
masyarakat yang bermukim di kawasan jalur hijau atau garis
sepadan sungai. Banjir menimbulkan dampak psikologis/ moril dan
kerugian harta/ materil pada masyarakat. Kampung Aur merupakan
potret banjir Kota Medan, setiap kali hujan lebat turun dan banjir
kiriman datang wilayah ini akan kebanjiran, karena kawasan ini
merupakan dataran rendah Kota Medan sepanjang Hulu ke Hilir
Mencermati persoalan serius di DAS Deli ini, perlu dilakukan
penelitian sehingga analisis, hasil, kesimpulan dan saran menjadi
langkah dan upaya untuk mengelola RTH di kawasan jalur hijau
sungai. Penelitian dilakukan dengan metodologi kualitatif, teknik
penentuam sampel dilakukan secara Purposive sampling dengan 25
orang warga masyarakat di lingkungan 2, 3 dan 4. dan untuk
mengetahui persoalan DAS Deli secara konfrehensif maka dalam
Focus Group Discussion (FGD) yang mengundang Wakil Kepala
Dinas Pengairan Sumatera Utar, Akademisi, WALHI, dan Media.
Kasus ini sangat berarti untuk mengambil langkah dan solusi
terhadap pengelolaan DAS Deli. Setelah mengetahui permasalahan
diseputar pengelolaan RTH di DAS Deli khususnya Kampung Aur
dan data faktual dari masyarakat dan stockholder. Seandainya
kondisi di biarkan begitu saja maka dampak yang dirasakan
masyarakat akan semangkin parah, oleh karenya optimalisasi
pengelolaan RTH di jalur hijau DAS Deli tidak bisa ditawar-tawar,
langkah awal pengosongan pemukiman dari kawasan jalur hijau
sungai harus dilakukan, bersinergi dengan program Pemerintah
merelokasi pemukiman di jalur hijau atau pemukiman ilegal dengan
membangun tempat pemukiman yang lebih ramah lingkungan,
tidak selalu trauma dengan banjir berupa pemukiman sehat atau
rumah susun sederhana tampa memberatkan warga, konfensasi
yang wajar dan terajangkau tidak sulit untuk mengajak masyarakat
memulai hidup menuju lingkungan yang ramah dan sehat

Secara sistem, RTH kota adalah bagian kota yang tidak


terbangun, yang berfungsi menunjang keamanan, kesejahteraan,
peningkatan kualitas lingkungan dan pelestarian alam. Umumnya
terdiri dari ruang pergerakan linear atau koridor dan ruang pulau
atau oasis ( Spreigen, 1965 ). Atau pathsebagai jalur pergerakan
dan room sebagai tempat istirahat, kegiatan atau tujuan. Dapat
berbentuk buatan manusia dan alam yang terjadi akibat teknologi,
seperti koridor jalan dan pejalan kaki, bangunan tunggal dan
majemuk, hutan kota, aliran sungai, dan daerah alamiah yang telah
ada sebelumnya. Ringkasnya, totalitas kesatuan yang memiliki
keterkaitan dan dapat digunakan sebagai sistem orientasi.

Peranan RTH terhadap kelestarian lingkungan :

1. Menunjang tata guna dan pelestarian alam. Kualitas air menurun


dan kian keringnya sumber2 air bawah tanah dapat diperbaiki
dengan pengembangan sistem RTH yang terencana, seperti ;
recharging basin, recharging sink hole, mengeleminir banjir,
perbaikan daerah aliran sungai ( DAS ) dan perluasan area
peresapan air.

Peletakan tanaman harus disesuaikan dengan tujuan


perancangannya, dengan mengingat fungsi tanaman yang dipilih.
Pada peletakan ini mesti dipertimbangkan kesatuan dalam desain (
unity ), yaitu antara lain ; variasi, penekanan, keseimbangan,
kesederhanaan, urutan. Dalam perencanaan tanaman lanskap,
pemilihan jenis tanaman merupakan faktor penting. Jenis dan
karakteristik tanaman yang banyak digunakan dalam desain
langskap, antara lain ;

1. Cemara gunung ( Cemara junghuniana ), D/T = 6/20 m,


bentuk tajuk segitiga, ditanam sepanjang tepi jalan raya.
2. Bambu halus ( Arundinaria japonica ), D/T = 1,5/ 6 m, bentuk
tajuk rumpun, ditanam di tepi jalan keluar kendaraan, atau
area parkir.
3. Cemara gembel ( Cupressus papuana ), D/T = 2,5 /5 m, bentuk
tajuk segitiga, ditanam di area parkir.
4. Tanjung ( Mimusops elengi ), D/T = 8/8 m, bentuk tajuk
segitiga, bentuk tajuk bebas, ditanam di tepi jalan dan area
parkir.
5. Cemara tiang ( Cupressus sempervirens ), D/T = 2,5/5 m,
bentuk tajuk segitiga, ditanam di jalan sekunder.
6. Cemara susun ( Araucaria exelsa ), D/T = 10/30 m, bentuk
tajuk segitiga, ditanam di tepi jalan sekunder, pembentuk
ruang.
7. Kenari ( Canarium comune ), D/T = 6/22 m, bentuk tajuk
bebas, ditanam di tepi jalan raya.
8. Bunga sapu tangan ( Maniltoa gemipara ), D/T = 6/15 m,
bentuk tajuk kubah, ditanam untuk identitas lokasi atau
peneduh.
9. 9. Rasamala ( Allenga exelsa ), D/T = 8/20, bentuk tajuk
bebas, ditanam sebagai peneduh atau pencegah erosi. (Ir.
Rustam Hakim, MT. IALI dan Ir. Hardi Utomo, MS. IAI)

Hutan kota dapat memberikan kota yang nyaman sehat dan


indah (estetis). Kita sangat hutan kota, untuk perlindungan dari
berbagai masalah lingkungan perkotaan . Hutan kota mempunyai
banyak fungsi membutuhkan (kegunaan dan manfaat). Hal ini tidak
terlepas dari peranan tumbuh-tumbuhan di alam. Tumbuh-
tumbuhan sebagai produsen pertama dalam ekosisten, mempunyai
berbagai macam kegiatan metabulisme untuk ia hidup, tumbuh dan
berkembang. Kegiatan metabulisme tumbuh-tumbuhan dimaksud
telah memberikan keuntungan dalam kehidupan kita. Tidak ada
satu makhlukpun yang dapat hidup tanpa tumbuh-tumbuhan .

Untuk menghadapi kemajuan kita perlu melakukan


perubahan dan untuk itu kita perlu melakukan pembangunan.
Dalam pembangunan itu kita akan tahu tentang sejauh mana
kerugian kita, jika kita menebang pohon atau membabat tumbuh-
tumbuhan tanpa pertimbangan dengan alasan nanti toh tumbuh-
tumbuhan itu akan tumbuh kembali. Mudah-itu akan tumbuh
kembaliudahan pelaku pembangunan dapat menyadari bahwa
tumbuh-tumbuhan itu adalah makhluk hidup dan butuh untuk
tumbuh dan berkembang.

Konsep watershed conciousness, yaitu suatu kesadaran


akan kehadiran DAS sebagai miniatur biosfer dimana terdapat
kaitan langsung atas peristiwa yang terjadi di daerah hulu dan yang
terjadi di daerah hilir— mengajarkan kita untuk memposisikan
kehadiran kita di suatu tempat sebagai bagian komunitas biotik
yang ada. Posisi sebagai “warga asli” komunitas biotik berarti
menyadari peran kita dalam komunitas dan peduli terhadap
hubungan ekologis dalam proses yang ada.

D. Manfaat Ruang Terbuka Hijau

Manfaat RTH kota secara langsung dan tidak langsung, sebagian


besar dihasilkan dari adanya fungsi ekologis, atau kondisi ’alami’ ini
dapat dipertimbangkan sebagai pembentuk berbagai faktor.
Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan perkotaan
secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan
manusiawi (Budiharjo, Hardjohubojo, 1993). Manfaat tanaman
sebagai komponen kehidupan (biotik) dan produsen primer dalam
rantai makanan, bagi lingkungan dan sebagai sumber pendapatan
masyarakat, semua orang sudah mengetahuinya. Proses fotosintesis
telah diajarkan sejak sekolah dasar, di mana zat hijau (khlorofil)
yang banyak terdapat dalam daun dengan bantuan energi matahari
dan air, menghasilkan makanan, berupa karbohidrat, protein,
lemak juga vitamin dan mineral, sangat berguna bagi kehidupan
manusia dan makhluk hidup lain.

Tanaman adalah pabrik tanpa butuh bahan bakar fosil,


bahkan dia adalah sumber karbon itu, sama juga tidak
membutuhkan energi listrik atau api untuk memasak makanannya
agar bisa terus tumbuh. Pabrik ini tidak mencemari media
lingkungan, bahkan membantu ’membersihkan’ media udara yang
kotor serta ’menyegarkan’ udara. Akar pohon berfungsi untuk
menarik bahan baku dari dalam media tanah, antara lain berbagai
macam mineral yang larut dalam air. Zat-zat tersebut ’dimasak’
dalam ’pabrik’ daun menghasilkan karbohidrat (tepung, gula,
selulosa/serat), oksigen, yang seringkali disimpan dalam gudang
berbentuk buah dan biji untuk sebagai agen pertumbuhan
selanjutnya.

Tanaman sebagai penghasil oksigen (O2) terbesar dan


penyerap karbon dioksida (CO2) dan zat pencemar udara lain,
khusus di siang hari, merupakan pembersih udara yang sangat
efektif melalui mekanisme penyerapan (absorbsi) dan penjerapan
(adsorbsi) dalam proses fisiologis, yang terjadi terutama pada daun,
dan permukaan tumbuhan (batang, bunga, dan buah). Pembuktian,
bahwa tumbuhan dapat efektif membentuk udara bersih, dapat
dicermati dari hasil studi penelitian yang menunjukkan bahwa
setiap 1 hektar RTH, yang ditanami pepohonan, perdu, semak dan
penutup tanah, dengan jumlah permukaan daun seluas 5 hektar,
maka sekitar 900 Kg CO2 akan dihisap dari udara, dan melepaskan
sekitar 600 Kg O2 dalam waktu 12 jam.

Adanya RTH sebagai ‘paru-paru’ kota, maka dengan


sendirinya akan terbentuk iklim yang sejuk dan nyaman.
Kenyamanan ini ditentukan oleh adanya saling keterkaitan antara
faktor-faktor suhu udara, kelembaban udara, cahaya, dan
pergerakan angin. Hasil penelitian di Jakarta, membuktikan bahwa
suhu di sekitar kawasan RTH (di bawah pohon teduh), dibanding
dengan suhu di ‘luar’nya, bisa mencapai perbedaan angka sampai 2-
4 derajat celcius .

Ruang Terbuka Hijau (RTH) membantu sirkulasi udara.


Pada siang hari dengan adanya RTH, maka secara alami udara
panas akan terdorong ke atas, dan sebaliknya pada malam hari,
udara dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon, adalah
pelindung yang paling tepat dari terik sinar matahari, di samping
sebagai penahan angin kencang, peredam kebisingan dan bencana
alam lain, termasuk erosi tanah. Bila terjadi tiupan angin kencang di
‘atas’ kota tanpa tanaman, maka polusi udara akan menyebar lebih
luas dan kadarnya pun akan semakin meningkat. Namun demikian,
cara penanaman tetumbuhan yang terlalu rapat pun, menyebabkan
daya perlindungannya menjadi kurang efektif. Angin berputar di
’belakang’ kelompok tanaman, sehingga dapat meningkatkan polusi
di wilayah ini. Penanaman sekelompok tumbuhan dengan berbagai
karakteristik fisik, di mana perletakkan dan ketinggiannya pun
bervariasi, merupakan faktor perlindungan yang lebih efektif.

Ruang Terbuka Hijau dengan ukuran ideal (0,4 Ha),


mampu meredam 25-80% kebisingan. Ukuran seluas 2.500 m2 ini
kemudian diambil sebagai patokan luas minimal sebuah Hutan
Kota. Besaran daya peredaman yang merupakan proses fisika dan
kimiawi yang dinamis tersebut, tentu saja sangat tergantung pula
kepada besaran daya serap, daya jerap dan daya akumulatif
tetumbuhan yang diatur memiliki beberapa strata ketinggian
tersebut. Misal: Besaran daya peredaman, tergantung dari beberapa
faktor, sebagai berikut:

1. Tipe tingkat intensitas kekuatan asal suara

2. Tipe tinggi, kerapatan dan jarak RTH dari sumber suara

3. Kecepatan dan arah angin

4. Suhu dan kelembaban udara

Ciri-ciri jenis tanaman yang dapat efektif meredam suara


(kebisingan), ialah yang mempunyai karakteristik fisik umum di
antara ciri-ciri kombinasi bertajuk rapat dan tebal, berdaun ringan
serta mempunyai tangkai-tangkai daun.

1.Ruang Terbuka Hijau sebagai pemelihara akan kelangsungan


persediaan air tanah. Akar-akar tanaman yang bersifat penghisap,
dapat menyerap dan mempertahankan air dalam tanah di
sekitarnya, serta berfungsi sebagai filter biologis limbah cair
maupun sampah organik. Salah satu referensi menyebutkan, bahwa
untuk setiap 100.000 penduduk yang menghasilkan sekitar 4,5 juta
liter limbah per hari, diperlukan RTH seluas 522 hektar.

2. Ruang Terbuka Hijau sebagai penjamin terjadinya keseimbangan


alami, secara ekologis dapat menampung kebutuhan hidup manusia
itu sendiri, termasuk sebagai habitat alami flora, fauna dan mikroba
yang diperlukan dalam siklus hidup manusia.

3. Ruang Terbuka Hijau sebagai pembentuk faktor keindahan


arsitektural. Tanaman mempunyai daya tarik bagi mahluk hidup,
melalui bunga, buah maupun bentuk fisik tegakan pepohonannya
secara menyeluruh. Kelompok tetumbuhan yang ada di antara
struktur bangunan-kota, apabila diamati akan membentuk
perspektif dan efek visual yang indah dan teduh menyegarkan
(khususnya di kota beriklim tropis).

4. Ruang Terbuka Hijau sebagai wadah dan obyek pendidikan,


penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam.
Keanekaragaman hayati flora dan fauna dalam RTH kota,
menyumbangkan apresiasi warga kota terhadap lingkungan alam,
melalui pendidikan lingkungan yang bisa dibaca dari tanda-tanda
(signage, keterangan) bertuliskan nama yang ditempelkan pada
masing-masing tanaman yang dapat dilihat sehari-hari, serta
informasi lain terkait. Dengan demikian, pengelolaan RTH kota
akan lebih dimengerti kepentingannya (apresiatif) sehingga tertib.
RTH sekaligus merupakan fasilitas rekreasi yang lokasinya merata
di seluruh bagian kota, dan amat penting bagi perkembangan
kejiwaan penduduknya.

5. RTH sebagai jalur pembatas yang memisahkan antara suatu


lokasi kegiatan, misal antara zona permukiman dengan lingkungan
sekitar atau di ’luar’nya. RTH sebagai cadangan lahan (ruang).

Dalam Rencana Induk Tata Ruang Kota, pengembangan


daerah yang belum terbangun bisa dimanfaatkan untuk sementara
sebagai RTH (lahan cadangan) dengan tetap dilandasi kesadaran,
bahwa lahan cadangan ini suatu saat akan dikembangkan sesuai
kebutuhan yang juga terus berkembang. Manfaat eksistensi RTH
secara langsung membentuk keindahan dan kenyamanan, maka bila
ditinjau dari segi-segi sosial-politik dan ekonomi, dapat berfungsi
penting bagi perkembangan pariwisata yang pada saatnya juga akan
kembali berpengaruh terhadap kesehatan perkembangan sosial,
politik dan ekonomi suatu hubungan antara wilayah perdesaan-
perkotaan tertentu.

E.Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau Daerah Aliran


Sungai (DAS)

Klasifikasikan ruang terbuka hijau berdasarkan pada


kepentingan pengelolaannya adalah sebagai berikut :

1. Kawasan Hijau Pertamanan pada DAS, berupa sebidang tanah


yang sekelilingnya ditata secara teratur dan artistik, ditanami pohon
pelindung, semak/perdu, tanaman penutup tanah serta memiliki
fungsi relaksasi.

2 .Kawasan Hijau Hutan pada DAS, yaitu ruang terbuka hijau


dengan fungsi utama sebagai hutan raya.

3. Kawasan Hijau Rekreasi pada DAS, sebagai sarana rekreasi


dalam kota disepanjang Daerah Aliran Sungai yang memanfaatkan
ruang terbuka hijau.

4. Kawasan Hijau kegiatan Olahraga pada DAS, tergolong ruang


terbuka hijau area lapangan, yaitu lapangan, lahan datar atau
pelataran yang cukup luas. Bentuk dari ruang terbuka ini yaitu
lapangan olahraga dan sebagainya.

5. Kawasan Hijau Pemakaman pada DAS

6. Kawasan Hijau Pertanian pada DAS, tergolong ruang terbuka


hijau areal produktif, yaitu lahan kebun dan tegalan yang masih
ada di kota yang menghasilkan, sayuran, palawija, tanaman hias
dan buah-buahan.
7. Kawasan Jalur Hijau pada DAS, yang terdiri dari jalur
hijau sepanjang DAS, taman, taman pulau dan sejenisnya.

8. Kawasan Hijau Pekarangan, yaitu halaman rumah di kawasan


perumahan, perkantoran, perdagangan dan kawasan industri.

Bentuk RTH yang memiliki fungsi paling penting bagi


perkotaan saat ini adalah kawasan hijau taman kota dan kawasan
hijau lapangan olah raga. Taman kota dibutuhkan karena memiliki
hampir semua fungsi RTH, sedangkan lapangan olah raga hijau
memiliki fungsi sebagai sarana untuk menciptakan kesehatan
masyarakat selain itu bisa difungsikan sebagian dari fungsi RTH
lainnya (Bumbata, 2009).

F. Konsep Ruang Terbuka Hijau pada Daerah Aliran


Sungai

Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di


perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-
hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan pada Daerah Aliran
Sungai adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu
wilayah perkotaan dan Daerah Aliran Sungai yang diisi oleh
tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi)
guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural
yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi
masyarakatnya dalam wilayah tersebut.

Sementara itu ruang terbuka non-hijau pada Daerah


Aliran Sungai dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved)
maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai,
danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan khusus sebagai area
genangan. Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami
yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman
nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman,
lapangan olah raga, dan kebun bunga. Multi fungsi penting RTH ini
sangat lebar spektrumnya, yaitu dari aspek fungsi ekologis,
sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi. Secara ekologis RTH
dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir,
mengurangi polusi udara, dan enurunkan suhu kota tropis yang
panas terik.

Ishak junaidy berpendapat, Bentuk-bentuk RTH perkotaan


yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, taman
hutan kota, taman botani, jalur sempadan sungai dan lain-lain.
Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi
sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai tetenger
(landmark) kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi
sosial-budaya antara lain aman-taman kota , lapangan olah raga,
kebun raya, TPU, dan sebagainya ,Secara arsitektural RTH dapat
meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui
keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur
hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu RTH juga dapat memiliki
fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-
lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban
agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang
dapat mendatangkan wisatawan. .

Konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. RTH dengan


konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam
seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan
danau, pesisir dan sebagainya. RTH dengan konfigurasi planologis
dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur
kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan,
RTH kota maupun taman-taman regional/ nasional. Sedangkan
dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang dimiliki
oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat
(pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan
pribadi.
Gambar 5. Struktur Ruang Terbuka Hijau
di Perkotaan

Konsep lain dari Ruang Terbuka Hijau perkotaan pada


daerah Aliran Sungai adalah Pengelolaan secara bioregion ini dapat
dimulai dari lingkungan kita sendiri. Bila kita peduli terhadap
lingkungan dimana kita tinggal, kemudian merunutnya, akan
sampai pada kesimpulan bahwa pada hakekatnya kita berada di
satu wilayah fisiografis yang dinamakan daerah aliran sungai (DAS).
Wilayah tersebut, dimana kita dan komunitas makhluk hidup lain
menjadi bagian darinya merupakan bentang alam —yang dibatasi
oleh batas topografi punggung dan puncak bukit— yang
menangkap, menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan
menuju suatu aliran yang melewati titik tertentu (outlet). Batas
inilah yang menjadi salah satu dasar dalam mendefinisikan batas
bioregion.

Dalam wilayah ini, resonansi atas perilaku manusia


terhadap DAS sebagai tempat hidupnya bisa dianalogikan dengan
sistem aliran darah dalam tubuh manusia. Gangguan yang terjadi
pada tubuh manusia sebagai “wilayah bioregion”, misalnya pada
jantung sebagai “daerah hulu” atau bagian lain dari sistem
pembuluh darah ebagai “jaringan drainase“ berakibat terganggunya
sistem kesehatan tubuh secara keseluruhan. Sehingga vitalitas suatu
bioregion beserta sistem kehidupan di dalamnya merupakan
resultan atas kinerja infrastruktur sistem tata air ini.

Oleh karena itu bentuk-bentuk aktivitas eksploitatif dalam


suatu wilayah bioregion DAS dapat berakibat munculnya fenomena
penyimpangan proses-proses alam dan tatanan ruang. Aksi
gangguan di daerah hulu —penggundulan hutan, transformasi
peruntukan lahan, intesifikasi lahan yang melebihi daya dukung—
menyebabkan penurunan kemampuan tajuk menahan air hujan
(intersepsi), kemampuan tanah meresapkan air (infiltrasi) dan
peningkatan air limpasan (runoff) yang berakibat munculnya reaksi
di tempat lain. Menghadapi fenomena ini diperlukan pandangan
menyeluruh yang mengacu pada pola spasial dan proses terkait
secara simultan. Pendekatan yang besifat parsial, sektoral maupun
terbatas dalam lingkup wewenang administratif dan politis, hanya
bersifat fragmental dan tidak mengatasi masalah yang secara
tuntas. Pendekatan parsial, yang hanya mengandalkan delineasi
penggunaan dan penutupan lahan tanpa mempertimbangkan
cakupan proses yang ada dibaliknya, tidaklah efektif. Sebab batas
alam dari suatu proses dapat merentang jauh dari tempat
munculnya fenomena yang ditemukan.

Pendekatan berorientasi sektoral, sering diwarnai “ego


sektoral” sehingga tidak dapat berjalan secara efisien dan efektif.
Antar departemen teknis dengan dinas teknis terkait di bawah
pemerintah daerah sering tidak sinkron. Orientasi pembangunan
sektoral kerap kali lebih mengusung misi sektor yang diembannya
dan biasanya kurang memperhatikan sektor lainnya.

Demikian pula halnya dalam penanganan permasalahan


DAS yang melintasbatasi kewenangan wilayah administrasif
menghendaki adanya kerjasama terpadu antar “penguasa” wilayah
administatif terkait. Prinsip saling-ketergantungan (interdepency)
dalam konteks regional —antara Bandung sebagai kota inti dengan
kota dan kabupaten (Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Garut,
Sumedang, dan Kabupaten Cianjur) sekitar— merupakan kunci
keberhasilan pendekatan ini. Cara pandangan baru atas bioregion
suatu DAS.

Oleh karena itu kalau kita mau jujur, bila ditelusuri


rangkaian masalah lingkungan yang terjadi sebenarnya terletak
pada faktor manusia. Pangkal bencana tersebut bukan pada akibat
perubahan fungsi ekologis, berkurangnya fungsi resapan,
meningkatnya air limpasan permukaan, instabilitas lereng atau
tercemarnya perairan namun pada bencana —meminjam istilah
Wilson, yang disebut ”pencemaran gaya hidup” (life style pollution).
Raibnya kearifan lokal, sirnanya pemahaman dan kesadaran atas
hubungan mendasar antara manusia dan alam, serta mengabaikan
peran sebagai bagian komunitas di belahan bumi tempat berpijak,
bermuara pada menuai bencana tidak saja di hilir tapi juga di hulu.
Sehingga dalam menghadapi masalah kawasan Bandung Raya ini
berangkat dari kesadaran atas posisi dan peran keberadaan kita
menuju kepedulian kolektif dan prinsip saling-ketergantungan
dalam upaya pelestarian dan perlindungan sumberdaya alam dan
penyangga kehidupan sangatlah penting.

Penerapan konsepsi bioregion dalam pengembangan


penghijauan daerah-daerah hulu dalam perspektif regional berupa
greenbelt sebagai upaya pengendali lingkungan patut dijadikan
prioritas. Greenbelt merupakan areal lahan di sekitar kota yang
keberadaanya harus ditetapkan secara permanent dan didukung
peraturan yang kuat sebagai kawasan hijau dan bebas dari berbagai
bentuk struktur bangunan. Fungsi utama sabuk hijau ini disamping
membatasi perluasan pertumbuhan spasial kota yang kontinyu dan
tidak terarah, adalah menciptakan lingkungan sehat bagi warga
kota, memelihara id! entitas lokal, serta pelestarian alam pada
kawasan ruang terbuka hijau yang bersangkutan dan kawasan
terkait dengan keberadaannya.

Sebagai contoh, Bangkok merupakan salah satu contoh kota


yang berhasil dalam mengembangkan greenbelt sebagai upaya
perlindungan keselamatan manusia terhadap ancaman bencana
alam banjir. Dengan melestarikan tiga segment greenbelt kota —dua
di sebelah barat dan satu di timur— pembangunan sabuk hijau kota
dalam bentuk zona lindung ini mampu memelihara fungsi tata air
khususnya dalam mengendalikan banjir musiman dari sungai Chao
Phraya.
31
Di Korea, setidaknya terdapat empat belas kota besar yang
telah membangun greenbelt dalam berbagai konteks kepentingan.
Seoul, Busan, Kwangju, Daejon, Taegu, Chinju dan Masan
merupakan beberapa contohnya. Seoul mampu membangun
greenbelt seluas 153 000 ha, setelah melalui empat fase
pembangunan dalam tahun 1971 sampai 1976. Seoul Capital Region
(SCR) terbangun pada radius 15 km dari pusat kota. Dengan
didukung 24 kota satelit sekitarnya yang berada di dua provinsi,
Seoul merupakan kota dengan kontribusi terbesar dalam struktur
greebelt, yaitu 29 % dari total kawasan greenbelt di Korea (539 700
ha). Selain menjadi contoh yang mewakili keberhasilan dalam
implementasi greenbelt, Seoul menjadi satu-satunya kota di Asia
yang berhasil dalam membangun greenbelt kota saat ini. Seperti
Bandung, kota Seoul dengan luas wilayah 62 700 ha ini berada
dalam formasi “mangkuk“ yang dikepung oleh jajaran pegunungan
di sekelilingnya. Kota ini juga dialiri oleh sejumlah sungai yang
berhulu di luar kota Seoul dan bermuara pada sungai utama, sungai
Han, yang membelah kota di bagian Selatan.

Namun lebih dari itu, formasi greenbelt dibangun dengan


sandaran konsepsi bioregion berdasarkan prinsip kesesuaian
(coincide) dan kesebangunan (congruence) antara batas alam
dengan domain komunitas masyarakat secara simultan. Konsepsi
ini berorientasi membangun hubungan hulu dan hilir, hubungan
masyarakat kota dan desa dalam bentuk interaksi budaya dan
ruang. Demikian juga pengembangan berbagai fungsi, seperti :
fungsi ekologi (jejaring hidupan liar dari “resource pool“ ke sistem
RTH di kota), koridor hijau, restorasi sungai dan jalur riparian,
pengembangan rekreasi alam dan pedesaan, pengembangan
kawasan penyangga perlindungan komunitas biotik dan identitas
masyarakat lokal.

G.Pengembangan Jalur Hijau Sebagai Ruang Terbuka


Hijau
Oleh karena sedemikian pentingnya keberadaan jalur hijau
bagi kehidupan manusia dan kehidupan kekotaan, maka upaya
terstruktur dan sistematik pengembangan jalur hijau pun
hendaknya dilaksanakan. Bagian mana yang harus dikembangkan
menjadi jalur hijau mestinya sudah dapat diketahui sejak dini.
Seperti dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa jalur hijau ini
bersifat multifungsi, walaupun di beberapa bagian mungkin hanya
mempunyai fungsi tunggal.

Dengan mengetahui kebutuhan akan jalur hijau dan fungsi


jalur hijau yang diharapkan, maka pengembangan jalur hijau dan
diketahui mengenai karakteristik terkait dengan (1) lokasi, (2)
bentuk, (3) luasan, (4) komposisi tumbuhan, dan (5) sebaran
spasialnya. Banyak variable yang terkait dan menentukan kebijakan
pengembangan jalur hijau dimaksud. Keenam cirri khas tersebut
akan dikemukakan secara ringkas sebagai berikut.

Karakteristik lokasi : keberadaan jalur hijau dengan fungsi


yang berbeda akan mempunyai lokasi yang berbeda pula. Sebagai
contoh adalah jalur hijau yang diharapkan sebagai jalur pengaman
terhadap pesawat udara di waktu landing maupun take-off, maka
lokasinya bukan di samping kanan atau kiri landasan pesawat
terbang (runway) namun berada di jalur ujung lanjutan runway.

Didasarkan pada adanya resiko keamanan paling krusial


adalah pada saat pesawat akan mendarat atau terbang.
Keberadaannya akan berbeda dengan karakteristik fungsi jalur
hijau untuk tujuan filter CO2 yang seharusnya berada di sepanjang
jalan atau temapt-tempat tertentu yang diperkirakan mempunyai
konsentrasi CO2 yang paling banyak. Contoh lain adalah apabila
jalur hijau dimaksud untuk tujuan konservasi air tanah bagi kota
tertentu, maka keberadaanya harus berada pada bagian hulu aliran
air tanah sebelum keberadaan kota yang bersangkutan bukan pada
bagian hilir setelah kota yang bersangkutan berada.
Karakteristik Bentuk: Walaupun bentuk jalur hijau yang
diharapkan berfungsi tertentu seharusnya mempunyai persyaratan
tertentu, namun dalam beberapa hal juga ditentukan oleh
keberadaan lahan di manajalur hijau dimaksud akan dikembangan.
Untuk bagian WPU yang masih banyak terdapat lahan belum
berkembang akan jauh lebih mudah menentukan bentuk jalur hijau
yang dimaksudkan dibandingkan dengan bagian dalam kota yang
telah padat akan bangunan dan lahan belum terbangun sulit
ditemukan.

Karakteristik Luasan: Secara ideal memang ada persyaratan


tertentu yang harus dipenuhi oleh sebuah jalur hijau. Sebagaimana
dicontohkan di atas mengenai jalur hijau yang diharapkan berfungsi
sebagai pengaman jalur penerbangan, maka secara ideal adalah
selebar landasan pacu dengan memiliki panjang tertentu sampai
pada batas yang dianggap aman. Demikian pula halnya dengan
fungsi untuk tujuan filter bagi C02. Luasan tertentu adalah sangat
menentukan terhadap efektivitas keberadaannya, karena hal ini
berkaitan erat dengan banyak sedikitnya emisi gas berbahaya
dengan jumlah tumbuhan yang ada di jalur hijau yang
dimaksudkan. Hal ini telah dikemukakan pada bagian depan.

Karakteristik Komposisi Tumbuhan : Komposisi tumbuhan


menyangkut di dalamnya adalah macam tanaman yang
dibudidayakan dan kerapatannya. Di samping itu, pertimbangan
estetika juga sebaiknya tidak dilupakan. Penanaman bunga bunga di
taman kota, misalnya akan sangat menarik dan memberikan
kenyamanan bagi pengunjung untuk menikmati. Demikian pula
halnya dengan pemilihan jenis tanaman tertentu dengan kanopi
yang memberikan nuansa keindahan ditinjau dari segi gradasi,
warna daun memerlukan ahli yang memahami hal tersebut agar
sifat multi fungsi keberadaan jalur hijau benar-benar efektif.
Mengingat pentingnya jalur hijau di wilayah perkotaan, maka
memang perlu adanya institusi tertentu yang menangani masalah
jalur hijau tersebut. Apabila keberadaan-nya sudah dirancangkan
jauh sebelumnya, mulai dari WPU, maka diharapkan pada masa
yang akan datang kondisi kota yang diidamkan setiap warga bukan
merupakan impian kosong belaka.

Karakteristik Sebaran Spasial, Sebaran spasial jalur hijau


sangat dipengaruhi oleh peruntukan ruang yang sudah dirumuskan
dalam tata ruang. Peruntukan ruang apa membutuhkan jalur hijau
seperti apa dan bagaimana sebarannya mestinya sudah dipikirkan
secara holistis semenjak awal. Oleh karena karakteristik sebaran
spasial ditentukan semenjak daerah tersebut masih menjadi WPU,
maka diharapkan determinasi sebaran spasialnya dapat dilakukan
dengan lebih mudah. Pembuat dan penentu kebijakan
pengembangan kota dan wilayah sebaiknya mempunyai pandangan
ke depan yang jauh sehingga kebijakan antisipatif terhadap
kemungkinan timbulnya dampak negatif terhadap berbagai aspek
kehidupan dapat dirumuskan secara arif. Dalam studi kota dan
wilayah memang berlaku sebuah moto bahwa the past and present
is the key to the future yang sangat berbeda dari moto para ahli
geologi dan geomorfologi di mana motonya adalah the present is the
key to the past.

Peraturan lansekap pada DAS adalah merupakan salah satu


bagian dari peraturan zonasi kota dan mempunyai tujuan sebagai
berikut

1. Mencegah terjadinya erosi lereng daerah sepanjang sungai/


pebukitan melalui penanaman kembali vegetasi.

2. Melindungi manusia dari dampak negatif energi surya dengan


menyediakan bayang-bayang pohon di atas jalan, jalur pejalan kaki,
area parkir dan area perkerasan lainnya.

3. Memelihara ( konservasi ) air tanah dangkal untuk tujuan


penyiraman/ irigasi tanaman dan pepohonan

4. Mengurangi resiko kebakaran melalui perencanaan dan tata


letak tumbuhan yang mudah terbakar.
5. Memperbaiki kinerja lingkungan terbangun dengan peningkatan
kualitas dan kuantitas lansekap.

Materi yang diatur dalam Ruang Terbuka Hijau dan


Peraturan Lansekap Daerah aliran Sungai antara lain :

1. Persyaratan Umum Dan Penanaman

a. Jumlah pohon dan jenis tanaman.

Mengatur tentang jumlah titik penanaman pepohonan dan jenis-


jenis tanamannya pada satuan luas tertentu sesuai dengan
penggunaan lahannya ( daerah industri,perumahan, komersial dan
lain sebagainya ), mengacu kepada standar manual yang ada.

b. Persyaratan material pepohonan.

Mengatur antara lain tentang larangan penanaman dengan


species tanaman yang bersifat “invasive” ( menyerang ), keharusan
penyediaan daerah akar untuk setiap pohon antara 1,50 m2 sampai
dengan 3,60 m2, keharusan merawat pohon-pohon sedemikian
rupa sehingga semua cabangnya berada di atas jalur pejalan kaki
minimum 1,80 meter di atas permukaan jalur tersebut dan cabang-
cabang di atas jalur kendaraan berada 4,20 meter di atas
permukaan jalur tersebut, keharusan menanam tanaman asli yang
benar-benar tanaman lokal, dan lain sebagainya.

c. Persyaratan irigasi

Mengatur antara lain tentang jaminan semua material tanaman


memiliki sistim irigasi otomatis dan permanen di bawah permukaan
tanah dan dirancang agar kebutuhan air mencukupi bagi semua
tanaman, cipratan air tidak boleh melintasi garis batas properti atau
area yang diperkeras untuk pejalan kaki dan sirkulasi kendaraan,
dan lain sebagainya.

d. Persayaratan luas penanaman


Mengatur tentang luas minimum lahan terbuka yang harus
ditanami.

2. Persyaratan Penanaman Area dan Jumlah Penanaman


Pada Pekarangan Sisi Jalan dan Pekarangan Sisa.

Mengatur tentang luas penanaman minimum pekarangan


sisi jalan (antara garis sempadan jalan dan garis sempadan
bangunan) maupun pekarangan sisa (belakang dan sampin ) sesuai
dengan jenis penggunaan lahannya. Misalnya pada hunian unit
tunggal maupun rumah susun, minimal 50 % dari luas pekarangan
sisi jalan harus ditanami dengan jumlah titik pohon wajib 0,05
titik/m2, untuk daerah komersial 30 %, industri 20 %. Untuk
pekarangan sisa 3,60 m2 per pohon (Hakim, 2006).

Pengembangan ruang hijau disepanjang pinggiran jaringan jalan


utama maupun jalan kolektor dan jalan lingkungan adalah
berfungsi sebagai :

a. Peneduh pedestrian dan jalan

b. Unsur keindahan

c. Kenyamanan lingkungan

Penerapan jalur hijau pinggir jalan ini dengan ditanam


langsung maupun dengan menggunakan pot-pot ukuran besar.

Lebih lanjut peranan dan manfaat dari pola tata hijau tersebut
adalah sebagai berikut ;

a. Fungsi Orology. yaitu sebagai pencegah erosi lapisan atas tanah


yang subur (top soil).

b. Fungsi Hidrologi, permukaan lahan yang bebas dari perkerasan


(pengaspalan) akan menyerap air sehingga dapat menjaga sirkulasi
air tanah (sirkulasi hidrologi).
c. Fungsi Estetika, yaitu dapat membentuk perspektif dan efek
visualisasi yang indah bagi lingkungan yang padat.

d. Fungsi klimatologi yaitu dapat menciptakan iklim mikro yang


sejuk dan nyaman oleh adanya faktor alam dan vegetasi alam.

e. Fungsi ekologi, yaitu menciptakan keserasian hubungan antara


manusia dengan alam sekitarnya.

Fungsi kesehatan yaitu oleh adanya proses asimilasi


tanaman yang menghasilkan 02 dan menyerap C02 yang
selanjutnya dapat mengurangi pencemaran udara serta mengurangi
kebisingan yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia.

1. Nyaman sehingga dapat membantu mengurangi ketegangan


sosial.

Beberapa dasar pokok yang harus dipertimbangkan dalam


penempatan pohon peneduh jalan adalah antara lain:

b. Memperhatikan keras jalan, lebar jalan serta kecepatan


kendaraan yang lewat, hal ini dimaksudkan sebagai penempatan
dan penilaian pohon tidak mengganggu lalu lintas.

c. Mempertimbangkan adanya sarana umum dan lalu lintas (kabel,


listrik, saluran air bersih, lampu penerangan jalan).

d. Sifat pertumbuhan tanaman, bentuk, ketinggian dan ukuran


tanaman serta jenis Ptanah (sesuai atau tidak) merupakan faktor-
faktor yang menentukan jarak tanaman.

Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam penataan


pola hijau ini maka ada beberapa hal pokok yang perlu
diperhatikan:

1. Penataan Pola hijau ditekankan perlu pembentukan yang


dapat memberikan kesan ruang.
b. Memperbanyak variasi warna dan bentuk untuk menghilangkan
kesan monoton dengan mempergunakan Jenis tanaman sesuai
kondisi setempat.

Memberikan pengarahan pola hijau menerus


pada lingkungan jalan dengan tujuan untuk memperoleh
kenyamanan dan kenikmatan dalam berkendaraan.

3. Persyaratan Pohon Jalan Dan Badan Jalan Publik.

Persyaratan pohon jalan meliputi jumlah pohon dan


lokasinya. Jumlah pohon yang diwajibkan ditetapkan 24 inch untuk
setiap 9 meter frontage. Jarak spasi pohon yang ditanam dapat
bervariasi untuk mengakomodasi kondisi atau pertimbangan desain
(misalkan satu pohon palem berbatang coklat dengan tinggi 3 m
untuk setiap 6 meter frontage jalan). Apabila kondisi tapak
(parkway) tidak memungkinkan penanaman pohon maka pohon-
pohon dapat ditempatkan pada property privat dalam jarak 3 meter
dari garis sempadan jalan di sepanjang frontage tersebut.

Lokasi penanaman pohon adalah antara pinggiran trotoar


sampai batas pagar property, ditempatkan sekurang-kurangnya
pada jarak 2,10 meter dari muka pinggir trotoar di atas jalan utama
/ arteri atau jalan cepat yang mempunyai kecepatan kendaraan 90
km / jam. Untuk klasifikasi jalan lainnya tidak lebih lebih dekat dari
1,20 meter dari pinggiran trotoar. Pohon-pohon jalan harus
dijauhkan dari perlengkapan kota pada`jarak minimum 6 meter
terhadap rambu lalulintas, 1,5 meter dari jaringan utilitas bawah
tanah, 3 meter dari hidran, tiang-tiang listrik, telepon dan lain
sebagainya. Pada setiap persimpangan harus ada daerah bebas
pohon dalam radius 7,5 meter dan hanya boleh ditanami tumbuhan
semak yang tingginya tidak boleh lebih dari 60 cm, sehingga tidak
menutupi lampu lalulintas (Tjokrowinoton, 2007).

4. Membangun Taman Kota


Ideology pembangunan sektor lingkungan diekspresikan
dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development),
yakni pembangunan yang di tujukan untuk memenuhi kebutuhan
generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan
kepentingan generasi yang akan datang. Konsep ini menempatkan
pembangunan dalam perspektif jangka panjang (a longer term
perspective) dan menuntut adanya solidaritas antar generasi
(Dyayadi, 2008).

Itulah sebabnya Rasulullah sangat menganjurkan umat islam selalu


menanam pohon,walau kelak pohon yang di tanamnya tersebut
kayu dan buahnya tidak sempat di nikmatinya, namun ia tetap
mendapat pahala. Rasusullah bersabda.

’’Seorang muslim yang menanam pohon atau tanaman, lalu


sebagian hasilnya di makan burung,manusia,atau binatang,maka
orang yang menanam itu mendapat pahala.’’(HR Al-Bukhari)

Kita haruslah memiliki kesadaran bahwa sumber daya alam


merupakan bagian dari ekosistem. Dengan memelihara ekosistem
maka berkelanjutan sumber daya alam akan tetap terjaga.
Menghargai lingkungan menjadi syarat utama dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan merupakan upaya pembangunan yang
melarutkan unsur lingkungan dalam pertimbangannya.

Pada prinsifnya pembangunan yang berkelanjutan mengacu pada


kaidah 7E, yaitu;

1. Employment, atau pembangunan harus mempertimbangkan


ketersediaan lapangan kerja bagi segenap lapisan masyarakat.

2. Environment, atau pembangunan harus mempertibangkan


keseimbangan ekologis di dalampenyediaan lapangan bagi
warganya.
3. Engagement, atau pembangunan harus mempertimbangkan
keterlibatan/partisipasi aktif masyarakat agar tercipta rasa memiliki
(sense of belongin).

4. Equty, atau di dalam pembangunan harus mempertimbangkan


prinsip demokratisasi atau kesetaraan akses terhadap segenap
sumber daya,sarana dan prasarana.

5. Energy conservation, atau pembangunan harus mengupayakan


agar sumber-sumber energy di gunakan sehemat mungkin,sehingga
tidak terjadi kesia-siaan energy serta mencegah konsumsi energy
yang berkelebihan.

6. Ethic, atau etika membangun yang mesti di tegakkan lengkap


dengan mekanisme sanksi dan penghargaan.

7. Estetica, atau pembangunan harus mempertimbangkan estetika


kota atau keindahan kota.

Khusus berkaitan dengan implementasi kaidah


environment,di perlukan suatu strategi pelestarian keseimbangan
ekologis dalam arti memadukan antara pembangunan dengan
konsevasi alam untuk menjamin terlindungnya sumber daya alam
yang tidak terbarukan dan juga pemanfaatan yang optimal dari
sumber daya yang terbarukan guna meminimalkan danpak negatif
yang merusak atau merugikan.

‘’ Dan tanah yang baik,tanaman-tanamannya tumbuh subur


dengan seizing Allah: Dan tanah yang tidak subur, tanam-
tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah kami
mengulagi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang
bersyukur.’’(Al A’Raf;58)

5. RTH Sempadan Pantai

Penataan ruang terbuka hijau di sempadan pantai memiliki


fungsi utama sebagai pembatas pertumbuhan permukiman atau
aktivitas lainnya agar tidak menggangu kelestarian pantai. sehingga
sempadan pantai dapat terhindar dari kerusakan atau bencana yang
ditimbulkan oleh gelombang laut seperti intrusi air laut, erosi,
abrasi, tiupan angin kencang dan gelombang tsunami. Kebutuhan
standar untuk RTH sempadan pantai ini adalah lebar RTH minimal
100 m dari batas air pasang tertinggi ke arah darat dan luas area
yang ditanami tanaman sekitar 90% – 100% (Menteri PU, 2008)

Pada lokasi penelitian dimana sebagian besar

sempadan pantai yang


ada sudah di
Gambar 6. Contoh penanaman vegetasi pada RTH manfaatkan oleh
Sempadam Pantai
penduduk sebagai lahan
berupa tambak/empang
diperlukan penanganan
yang mengikuti aturan
yang telah ada dan sesuai dengan kondisi

lokasi

yaitu : pada lokasi sempadan pantai telah mengalami intrusi air laut
atau merupakan daerah payau dan asin, sehinggapemilihan vegetasi
diutamakan dari daerah setempat yang telah mengalami
penyesuaian dengan kondisi tersebut. Seperti Mangrove yang
fungsinya sebagai peredam ombak dan dapat membantu proses
pengendapan lumpur, selain itu juga terdapat jenis lain seperti
Asam Landi ( Pichelebium dulce) dan Mahoni (S witenia mahagoni )
relatif lebih tahan jika dibandingkan Kesumba, Tanjung, Kiputri,
Angsana, Trengguli, dan Kuku.

6. RTH Sempadan Sungai

Arahan untuk penanaman ruang terbuka hijau yang akan


dilakukan pada daerah sempadan sungai, ini dilakukan untuk
menjaga kelestarian sungai itu sendiri, Penetapan garis sempadan
sungai di dalam kawasan perkotaan didasarkan pada kriteria :

a. Sungai bertanggul :

1). Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan


perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 m di sebelah luar
sepanjang kaki tanggul;

2.) Dengan pertimbangan untuk peningkatan fungsinya, tanggul


dapat diperkuat, diperlebar dan ditinggikan yang dapat berakibat
bergesernya garis sempadan sungai;

b. Sungai tidak bertanggul :

1). Garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan


perkotaan ditetapkan sebagai berikut:

2). Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 m, garis


sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 m dihitung dari tepi
sungai pada waktu ditetapkan;

3.) Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 m sampai


dengan 20 m, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 15 m
dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan;

4.) Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 20 m, garis


sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 30 m dihitung dari tepi
sungai pada waktu ditetapkan.(Menteri PU, 2008)
H. Ruang Terbuka Hijau pada DAS sebagai potensi
wisata

Ruang Terbuka Hijau pada Daerah Aliran Sungai seringkali


terlupakan keberadaannya. Hadir di tengah impitan pembangunan
fisik kota yang kian pesat. Salah satu ruang terbuka hijau itu tampak
hanya sekadar pajangan, pelengkap dalam sebuah kebutuhan
penataan ruang. Warga kota pun banyak yang memandang sebelah
mata. Padahal, ada beragam potensi wisata yang bisa digali. Seiring
meningkatnya taraf hidup, kemampuan dan kebutuhan manusia,
maka sejak tahun 1950-an sampai dengan 1970-an ruang terbuka
hijau banyak dialih-fungsikan menjadi pemukiman, bandar udara,
industri, jalan raya, bangunan perbelanjaan dan lain-lain. Dengan
semakin meningkatnya kemampuan dan kesejahteraan masyarakat,
pembangunan fisik kota terus melaju dengan pesat. Namun
peningkatan itu membawa dampak negatif, salah satunya
penyusutan luas lahan bervegetasi. Susutnya lahan bervegetasi
mendorong penghuni kota berbondong-bondong pergi ke luar kota,
mencari daerah hijau yang masih tersisa. Di tengah persaingan
hidup yang kian meninggi, kebutuhan rekreasi menjadi mutlak
adanya.

Akhirnya sebuah pemandangan yang jamak bisa kita


saksikan. Tiap akhir pekan atau masa libur, warga kota papan atas
ramai-ramai ”mengungsi” ke daerah hijau nan sejuk. Umumnya,
ruang hijau itu berada di luar kota. Kalau buat orang Jakarta
kawasan paling dekat adalah kawasan Puncak dan sekitarnya.

Bagi warga yang tak berduit keluar kota adalah sebuah


impian. Itu sebabnya ruang terbuka pengundang keramaian di
dalam kota, seperti kebun binatang, taman rekreasi, kawasan
pinggir pantai dan lainnya jadi sasaran utama. Pokoknya, dengan
bujet yang pas-pasan, mereka berharap kebutuhan relaksasi tetap
bisa terpenuhi. Murah meriah namun tetap dapat unsur
pelesirannya. (Mardana, 2002)
I. Serapan Vegetasi Terhadap Karbon Dioksida

Salah satu komponen yang penting dalam konsep tata


ruang adalah menetapkan dan mengaktifkan jalur hijau dan hutan
kota, baik yang akan direncanakan maupun yang sudah ada namun
kurang berfungsi. Selain itu jenis pohon yang ditanam perlu
menjadi pertimbangan, karena setiap jenis tanaman mempunyai
kemampuan menjerap yang berbeda-beda .

Vegetasi juga mempunyai peranan yang besar dalam


ekosistem, apalagi jika kita mengamati pembangunan yang
meningkat di perkotaan yang sering kali tidak menghiraukan
kehadiran lahan untuk vegetasi. Vegetasi ini sangat berguna dalam
produksi oksigen yang diperlukan manusia untuk proses respirasi
(pernafasan), serta untuk mengurangi keberadaan gas karbon
dioksida yang semakin banyak di udara akibat kendaraan bermotor
dan industri. Penyerapan karbon dioksida oleh hutan kota dengan
jumlah 10.000 pohon berumur 16-20 tahun mampu mengurangi
karbon dioksida sebanyak 800 ton per tahun penanaman pohon
menghasilkan absorbs karbon dioksida dari udara dan
penyimpanan karbon, sampai karbon dilepaskan kembali akibat
vegetasi tersebut busuk atau dibakar. Hal ini disebabkan karena
pada hutan yang dikelola dan ditanam akan menyebabkan
terjadinya penyerapan karbon dari atmosfir, kemudian sebagian
kecil biomassanya dipanen dan atau masuk dalam kondisi masak
tebang atau mengalami pembusukan (Irwan, 2007).

J. Pencemaran Udara

Kondisi lingkungan hidup alami yang masih relatif baik


atau dalam keadaan keseimbangan antara daerah terbangun dan
tidak terbangun. Berdasarkan perkiraan kenaikan jumlah penduduk
Indonesia tahun 2005, maka kebutuhan akan ketersediaan oksigen
(O2) akan meningkat menjadi 4,5 kg/jam.

Salah satu pemasok utama ketersediaan udara bersih adalah


pepohonan di RTH kota sebagai ‘paru-paru’ kota yang merupakan
produsen oksigen (O2), penyerap karbondioksida (CO2) dan gas
polutan lain, serta sebagai daerah resapan air, yang belum
tergantikan fungsinya.

K. Pencemaran Air dan Tanah

RTH Kota dan Upaya Pengendalian Pencemaran Air, Banjir


dan Kekeringan. Pembangunan kota yang tidak mempertimbangkan
pengelolaan lingkungan secara komprehensif telah terbukti
mengancam kelangsungan hidup kota dan warga kota. Fenomena
hubungan antar manfaat RTH kota terhadap pengendalian banjir
merupakan salah satu upaya pengendalian kerusakan dan
pencemaran dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup kota.

1. Peraturan Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai dan


PP63/PRT/1993 tentang garis Sempadan Sungai, daerah
Manfaat Sungai , Daerah Penguasaan Sungai dan bekas
sungai.

Dalam Pasal 1 ayat 9. Garis sempadan adalah garis maya di kiri dan
kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan
sungai. Pasal 5 ayat (5) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b berfungsi sebagai ruang penyangga antara
ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan
manusia tidak saling terganggu.

(1) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)


huruf b meliputi ruang di kiri dan kanan palung sungai di antara
garis sempadan dan tepi palung sungai untuk sungai tidak
bertanggul, atau di antara garis sempadan dan tepi luar kaki tanggul
untuk sungai bertanggul.

(2) Garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


ditentukan pada:

a.sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan;


b.sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan;

c.sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan;

d.sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan;

e.sungai yang terpengaruh pasang air laut;

f.danau paparan banjir; dan

g.mata air.

Pasal 9, Garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam


kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
huruf a ditentukan:

1. paling sedikit berjarak 10 m (sepuluh meter) dari tepi kiri dan


kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal
kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 m (tiga
meter);
2. paling sedikit berjarak 15 m (lima belas meter) dari tepi kiri
dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal
kedalaman sungai lebih dari 3 m (tiga meter) sampai dengan
20 m (dua puluh meter); dan

c. paling sedikit berjarak 30 m (tiga puluh meter) dari tepi kiri dan
kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman
sungai lebih dari 20 m (dua puluh meter).

Pasal 10 ayat (1) Sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b terdiri atas:

1. sungai besar dengan luas DAS lebih besar dari 500 Km2 (lima
ratus kilometer persegi); dan
2. sungai kecil dengan luas DAS kurang dari atau sama dengan
500 Km2(lima ratus kilometer persegi).
3. Garis sempadan sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan
perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan
paling sedikit berjarak 100 m (seratus meter) dari tepi kiri dan
kanan palung sungai sepanjang alur sungai.

4. Garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan


perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan
paling sedikit 50 m (lima puluh meter) dari tepi kiri dan kanan
palung sungai sepanjang alur sungai.

Pasal 11

Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c ditentukan
paling sedikit berjarak 3 m (tiga meter) dari tepi luar kaki tanggul
sepanjang alur sungai.

Pasal 12

Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d ditentukan
paling sedikit berjarak 5 m (lima meter) dari tepi luar kaki tanggul
sepanjang alur sungai.

Pasal 13

Penentuan garis sempadan yang terpengaruh pasang air laut


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf e, dilakukan
dengan cara yang sama dengan penentuan garis sempadan sesuai
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 yang diukur dari tepi muka
air pasang rata-rata.

Pasal 14

Garis sempadan danau paparan banjir sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f ditentukan mengelilingi danau
paparan banjir paling sedikit berjarak 50 m (lima puluh meter) dari
tepi muka air tertinggi yang pernah terjadi.
Pasal 15

Garis sempadan mata air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat


(2) huruf g ditentukan mengelilingi mata air paling sedikit berjarak
200 m (dua ratus meter) dari pusat mata air.

Pasal 16

(1) Garis sempadan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8


ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan berdasarkan kajian penetapan garis sempadan.

(3) Dalam penetapan garis sempadan harus mempertimbangkan


karakteristik geomorfologi sungai, kondisi sosial budaya masyarakat
setempat, serta memperhatikan jalan akses bagi peralatan, bahan,
dan sumber daya manusia untuk melakukan kegiatan operasi dan
pemeliharaan sungai.

(4) Kajian penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) memuat paling sedikit mengenai batas ruas sungai yang
ditetapkan, letak garis sempadan, serta rincian jumlah dan jenis
bangunan yang terdapat di dalam sempadan.

(5) Kajian penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud pada


ayat (4) dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.

f. Tim kajian penetapan garis sempadan sebagaimana dimaksud


pada ayat (5) beranggotakan wakil dari instansi teknis dan unsur
masyarakat.

Pasal 17

a. Dalam hal hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16


ayat (2) menunjukkan terdapat bangunan dalam sempadan sungai
maka bangunan tersebut dinyatakan dalam status quo dan secara
bertahap harus ditertibkan untuk mengembalikan fungsi sempadan
sungai.

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku


bagi bangunan yang terdapat dalam sempadan sungai untuk
fasilitas kepentingan tertentu yang meliputi:

1. bangunan prasarana sumber daya air;


2. fasilitas jembatan dan dermaga;
3. jalur pipa gas dan air minum; dan
4. rentangan kabel listrik dan telekomunikas

Pasal 5

Kriteria penetapan garis sempadan sungai terdiri dari :

1. Sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan.


2. Sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan.
3. Sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan.
4. Sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan.

(1) Garis sempadan sungai bertanggul diteptapkan sebagai berikut:

1. Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan


ditetapkan sekurang-kurangnya 5 (lima meter di sebelah luar
sepanjang kaki tanggul.
2. Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan
perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) meter di
sebelah luar sepanjang kaki tanggul.

(2) Dengan pertimbangan untuk peningkatan fungsinya, tanggul


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperkuat, diperlebar
dan ditinggikan, yang dapat berakibat bergesernya letak garis
sempadan sungai.

(3) Kecuali lahan yang berstatus tanah negara, maka lahan yang
diperlukan untuk tapak tanggul baru sebagai akibat
dilaksanakannya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
harus dibebaskan.

Pasal 7

(1) Penetapan garis sempadan sungai tak bertanggul di luar


kawasan perkotaan

1. Sungai besar yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran


sungai seluas 500 (lima ratus) Km2 atau lebih.
2. Sungai kecil yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran
sungai seluas kurang dari 500 (lima ratus) Km2.

(2) Penatapan garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar


kawasan perkotaan pada sungai besar dilakukan ruas per ruas
dengan mempertimbangkan luas daerah pengaliran sungai pada
ruas yang bersangkutan.

(3) Garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan


perkotaan pada sungai besar ditetapkan sedangkan pada sungai
kecil sekurang-kurangnya 100 (seratus) m, sedangkan pada sungai
sekurang-kurangnya 50 lima puluh m dihitung dari tepi sungai pada
waktu ditetapkan.

Pasal 8

Penetapan garis sempadan sungai tak bertanggul di dalam kawasan


perkotaan didasarkan pada kriteria :

1. Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 (tiga)


meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu
ditetapkan.
2. Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 (tiga)
meter sampai dengan 20 (dua puluh) meter, garis sempadan
dan ditetapkan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) meter dari
tepi sungai pada waktu ditetapkan.
c. Sungai yang mempunyai kedalaman meksimum lebih dari 20
(dua puluh) meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya
30 (tiga puluh) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu yang
ditetapkan.

Pasal 9

(1) Garis sempadan sungai tidak bertanggul yamg berbatasan


dengan jalan adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan, dengan
ketentuan kontruksi dan penggunaan jalan harus menjamin bagi
kelestarian dan keamanan sungai serta bangunan sungai.

(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


tidak terpenuhi, maka segala perbaikan atas kerusakan yang timbul
pada sungai dan bangunan sungai menjadi tanggung jawab
pengelola jalan.

Pasal 10

Penetapan garis sempadan danau, waduk, mata air dan sungai yang
terpengaruh pasang surut air laut mengikuti kriteria yang telah
ditetapkan dalam keputusan Presiden R.I. Nomor : 32 Tahun 1990
tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, sebagai berikut :

1. Untuk danau dan waduk, garis sempadan ditetapkan


sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) meter dari titik pasang
tertinggi kearah darat.
2. Untuk mata air, garis sempadan ditetapkan sekurang-
kurangnya 200 (dua ratus) meter disekitar mata air.

c. Untuk sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, garis


sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter dari
tepi sungai dan berfungsi sebagai jalur hijau.

Bagian Keempat

Pemanfaatan Daerah Aliran Sungai


Pasal 11

(1) Pemanfaatan lahan di daerah sempadan dapat dilakukan oleh


masyarakat untuk kegiatan-kegiatan tertentu sebagai berikut :

1. Untuk budidaya pertanian dengan jenis tanaman yang


diijinkan.
2. Untuk kegiatan niaga, penggalian dan penimbunan.
3. Untuk pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan
peringatan, serta rambu-rambu pekerjaan.
4. Untuk pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon dan
pipa air minum
5. Untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana
jalan/jembatan baik umum maupun kereta api.
6. Untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat social
dan masyarakat yang tidak menimbulkan dampak merugikan
bagi kelestarian dan keamanan fungsi serta fisik sungai.

g. Untuk pembangunan prasarana lalu intas air dan bangunan


pengambilan dan pembuangan air.

(1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),


harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat yang
berwenang atau pejabat yang ditunjuk olehnya, serta syarat-syarat
yang ditentukan.

(2) Pejabat yang berwenang dapat menetapkan suatu ruas di daerah


sempadan untuk membangun jalan inspeksi dan/atau bangunan
sungai yang diperlukan, dengan ketentuan lahan milik perorangan
yang diperlukan diselesaikan melaui pebebasan tanah.

Pasal 12

Pada daerah sempadan dilarang :

1. Membuang sampah, limbah padat dan atau cair.


2. Mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat
usaha.

Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di


perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-
hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan pada Daerah Aliran
Sungai adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu
wilayah perkotaan dan Daerah Aliran Sungai yang diisi oleh
tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi)
guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural
yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi
masyarakatnya dalam wilayah tersebut. . Secara fisik RTH dapat
dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami,
kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-
alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan
kebun bunga. Multi fungsi penting RTH ini sangat lebar
spektrumnya, yaitu dari aspek fungsi ekologis, sosial/budaya,
arsitektural, dan ekonomi. Secara ekologis RTH dapat
meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi
polusi udara, dan enurunkan suhu kota tropis yang panas terik.

Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis


antara lain seperti sabuk hijau kota, taman hutan kota, taman
botani, jalur sempadan sungai dan lain-lain. Secara sosial-
budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang
interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai tetenger (landmark)
kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya
antara lain

taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU, dan


sebagainya .
Gambar 21. Skema Ruang Terbuka
Hijau Perkotaan

Gambar 22. Skema Pemanfaatan Ruang


Terbuka Hijau Perkotaan

Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan


kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-
kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu
RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung
seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/
perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata
hijau perkotaan yang dapat mendatangkan
wisatawan. .
Gambar 23. Tanaman endemik sebagai tetenger

Konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. RTH dengan


konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam
seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan
danau, pesisir dan sebagainya. RTH dengan konfigurasi planologis
dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur
kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan,
RTH kota maupun taman-taman regional/ nasional. Sedangkan
dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang dimiliki
oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat
(pribadi) yang berupa taman

yang berada pada lahan-lahan pribadi.

Konsep lain dari Ruang Terbuka Hijau perkotaan pada


daerah Aliran Sungai adalah Pengelolaan secara bioregion ini dapat
dimulai dari lingkungan kita sendiri. Bila kita peduli terhadap
lingkungan dimana kita tinggal, kemudian merunutnya, akan
sampai pada kesimpulan bahwa pada hakekatnya kita berada di
satu wilayah fisiografis yang dinamakan daerah aliran sungai (DAS).
Wilayah tersebut, dimana kita dan komunitas makhluk hidup lain
menjadi bagian darinya merupakan bentang alam —yang dibatasi
oleh batas topografi punggung dan puncak bukit— yang
menangkap, menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan
menuju suatu aliran yang melewati titik tertentu (outlet). Batas
inilah yang menjadi salah satu dasar dalam mendefinisikan batas
bioregion.

Dalam wilayah ini, resonansi atas perilaku manusia


terhadap DAS sebagai tempat hidupnya bisa dianalogikan dengan
sistem aliran darah dalam tubuh manusia. Gangguan yang terjadi
pada tubuh manusia sebagai “wilayah bioregion”, misalnya pada
jantung sebagai “daerah hulu” atau bagian lain dari sistem
pembuluh darah ebagai “jaringan drainase“ berakibat terganggunya
sistem kesehatan tubuh secara keseluruhan. Sehingga vitalitas suatu
bioregion beserta sistem kehidupan di dalamnya merupakan
resultan atas kinerja infrastruktur sistem tata air ini.

Oleh karena itu bentuk-bentuk aktivitas eksploitatif dalam


suatu wilayah bioregion DAS dapat berakibat munculnya fenomena
penyimpangan proses-proses alam dan tatanan ruang. Aksi
gangguan di daerah hulu —penggundulan hutan, transformasi
peruntukan lahan, intesifikasi lahan yang melebihi daya dukung—
menyebabkan penurunan kemampuan tajuk menahan air hujan
(intersepsi), kemampuan tanah meresapkan air (infiltrasi) dan
peningkatan air limpasan (runoff) yang berakibat munculnya reaksi
di tempat lain. Menghadapi fenomena ini diperlukan pandangan
menyeluruh yang mengacu pada pola spasial dan proses terkait
secara simultan. Pendekatan yang besifat parsial, sektoral maupun
terbatas dalam lingkup wewenang administratif dan politis, hanya
bersifat fragmental dan tidak mengatasi masalah yang secara
tuntas. Pendekatan parsial, yang hanya mengandalkan delineasi
penggunaan dan penutupan lahan tanpa mempertimbangkan
cakupan proses yang ada dibaliknya, tidaklah efektif. Sebab batas
alam dari suatu proses dapat merentang jauh dari tempat
munculnya fenomena yang ditemukan.

Pendekatan berorientasi sektoral, sering diwarnai “ego


sektoral” sehingga tidak dapat berjalan secara efisien dan efektif.
Antar departemen teknis dengan dinas teknis terkait di bawah
pemerintah daerah sering tidak sinkron. Orientasi pembangunan
sektoral kerap kali lebih mengusung misi sektor yang diembannya
dan biasanya kurang memperhatikan sektor lainnya.

Demikian pula halnya dalam penanganan permasalahan


DAS yang melintasbatasi kewenangan wilayah administrasif
menghendaki adanya kerjasama terpadu antar “penguasa” wilayah
administatif terkait. Prinsip saling-ketergantungan (interdepency)
dalam konteks regional —antara Bandung sebagai kota inti dengan
kota dan kabupaten (Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Garut,
Sumedang, dan Kabupaten Cianjur) sekitar— merupakan kunci
keberhasilan pendekatan ini. Cara pandangan baru atas bioregion
suatu DAS

Oleh karena itu kalau kita mau jujur, bila ditelusuri


rangkaian masalah lingkungan yang terjadi sebenarnya terletak
pada faktor manusia. Pangkal bencana tersebut bukan pada akibat
perubahan fungsi ekologis, berkurangnya fungsi resapan,
meningkatnya air limpasan permukaan, instabilitas lereng atau
tercemarnya perairan namun pada bencana —meminjam istilah
Wilson, yang disebut ”pencemaran gaya hidup” (life style pollution).
Raibnya kearifan lokal, sirnanya pemahaman dan kesadaran atas
hubungan mendasar antara manusia dan alam, serta mengabaikan
peran sebagai bagian komunitas di belahan bumi tempat berpijak,
bermuara pada menuai bencana tidak saja di hilir tapi juga di hulu.
Sehingga dalam menghadapi masalah kawasan Bandung Raya ini
berangkat dari kesadaran atas posisi dan peran keberadaan kita
menuju kepedulian kolektif dan prinsip saling-ketergantungan
dalam upaya pelestarian dan perlindungan sumberdaya alam dan
penyangga kehidupan sangatlah penting.

Penerapan konsepsi bioregion dalam pengembangan


penghijauan daerah-daerah hulu dalam perspektif regional berupa
greenbelt sebagai upaya pengendali lingkungan patut dijadikan
prioritas. Greenbelt merupakan areal lahan di sekitar kota yang
keberadaanya harus ditetapkan secara permanent dan didukung
peraturan yang kuat sebagai kawasan hijau dan bebas dari berbagai
bentuk struktur bangunan. Fungsi utama sabuk hijau ini disamping
membatasi perluasan pertumbuhan spasial kota yang kontinyu dan
tidak terarah, adalah menciptakan lingkungan sehat bagi warga
kota, memelihara id! entitas lokal, serta pelestarian alam pada
kawasan ruang terbuka hijau yang bersangkutan dan kawasan
terkait dengan keberadaannya.

Sebagai contoh, Bangkok merupakan salah satu contoh kota


yang berhasil dalam mengembangkan greenbelt sebagai upaya
perlindungan keselamatan manusia terhadap ancaman bencana
alam banjir. Dengan melestarikan tiga segment greenbelt kota —dua
di sebelah barat dan satu di timur— pembangunan sabuk hijau kota
dalam bentuk zona lindung ini mampu memelihara fungsi tata air
khususnya dalam mengendalikan banjir musiman dari sungai Chao
Phraya.
31

Di Korea, setidaknya terdapat empat belas kota besar yang


telah membangun greenbelt dalam berbagai konteks kepentingan.
Seoul, Busan, Kwangju, Daejon, Taegu, Chinju dan Masan
merupakan beberapa contohnya. Seoul mampu membangun
greenbelt seluas 153 000 ha, setelah melalui empat fase
pembangunan dalam tahun 1971 sampai 1976. Seoul Capital Region
(SCR) terbangun pada radius 15 km dari pusat kota. Dengan
didukung 24 kota satelit sekitarnya yang berada di dua provinsi,
Seoul merupakan kota dengan kontribusi terbesar dalam struktur
greebelt, yaitu 29 % dari total kawasan greenbelt di Korea (539 700
ha). Selain menjadi contoh yang mewakili keberhasilan dalam
implementasi greenbelt, Seoul menjadi satu-satunya kota di Asia
yang berhasil dalam membangun greenbelt kota saat ini. Seperti
Bandung, kota Seoul dengan luas wilayah 62 700 ha ini berada
dalam formasi “mangkuk“ yang dikepung oleh jajaran pegunungan
di sekelilingnya. Kota ini juga dialiri oleh sejumlah sungai yang
berhulu di luar kota Seoul dan bermuara pada sungai utama, sungai
Han, yang membelah kota di bagian Selatan.

Namun lebih dari itu, formasi greenbelt dibangun dengan


sandaran konsepsi bioregion berdasarkan prinsip kesesuaian
(coincide) dan kesebangunan (congruence) antara batas alam
dengan domain komunitas masyarakat secara simultan. Konsepsi
ini berorientasi membangun hubungan hulu dan hilir, hubungan
masyarakat kota dan desa dalam bentuk interaksi budaya dan
ruang. Demikian juga pengembangan berbagai fungsi, seperti :
fungsi ekologi (jejaring hidupan liar dari “resource pool“ ke sistem
RTH di kota), koridor hijau, restorasi sungai dan jalur riparian,
pengembangan rekreasi alam dan pedesaan, pengembangan
kawasan penyangga perlindungan komunitas biotik dan identitas
masyarakat lokal.( Qodarian Pramukanto, Staf Pengajar
Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB;
Mahasiswa program doktor pada Seoul National University,
Korea Selatan).

C. Pengembangan Jalur Hijau Sebagai Ruang Terbuka


Hijau

Oleh karena sedemikian pentingnya keberadaan jalur hijau


bagi kehidupan manusia dan kehidupan kekotaan, maka upaya
terstruktur dan sistematik pengembangan jalur hijau pun
hendaknya dilaksanakan. Bagian mana yang harus dikembangkan
menjadi jalur hijau mestinya sudah dapat diketahui sejak dini.
Seperti dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa jalur hijau ini
bersifat multifungsi, walaupun di beberapa bagian mungkin hanya
mempunyai fungsi tunggal. (Yunus, 2008)

Dengan mengetahui kebutuhan akan jalur hijau dan fungsi


jalur hijau yang diharapkan, maka pengembangan jalur hijau dan
diketahui mengenai karakteristik terkait dengan (1) lokasi, (2)
bentuk, (3) luasan, (4) komposisi tumbuhan, dan (5) sebaran
spasialnya. Banyak variable yang terkait dan menentukan kebijakan
pengembangan jalur hijau dimaksud. Keenam cirri khas tersebut
akan dikemukakan secara ringkas sebagai berikut.

Karakteristik lokasi : keberadaan jalur hijau dengan fungsi


yang berbeda akan mempunyai lokasi yang berbeda pula. Sebagai
contoh adalah jalur hijau yang diharapkan sebagai jalur pengaman
terhadap pesawat udara di waktu landing maupun take-off, maka
lokasinya bukan di samping kanan atau kiri landasan pesawat
terbang (runway) namun berada di jalur ujung lanjutan runway.

Didasarkan pada adanya resiko keamanan paling krusial


adalah pada saat pesawat akan mendarat atau terbang.
Keberadaannya akan berbeda dengan karakteristik fungsi jalur
hijau untuk tujuan filter CO2 yang seharusnya berada di sepanjang
jalan atau temapt-tempat tertentu yang diperkirakan mempunyai
konsentrasi CO2 yang paling banyak. Contoh lain adalah apabila
jalur hijau dimaksud untuk tujuan konservasi air tanah bagi kota
tertentu, maka keberadaanya harus berada pada bagian hulu aliran
air tanah sebelum keberadaan kota yang bersangkutan bukan pada
bagian hilir setelah kota yang bersangkutan berada.

Karakteristik Bentuk: Walaupun bentuk jalur hijau yang


diharapkan berfungsi tertentu seharusnya mempunyai persyaratan
tertentu, namun dalam beberapa hal juga ditentukan oleh
keberadaan lahan di manajalur hijau dimaksud akan dikembangan.
Untuk bagian WPU yang masih banyak terdapat lahan belum
berkembang akan jauh lebih mudah menentukan bentuk jalur hijau
yang dimaksudkan dibandingkan dengan bagian dalam kota yang
telah padat akan bangunan dan lahan belum terbangun sulit
ditemukan.

Karakteristik Luasan: Secara ideal memang ada persyaratan


tertentu yang harus dipenuhi oleh sebuah jalur hijau. Sebagaimana
dicontohkan di atas mengenai jalur hijau yang diharapkan berfungsi
sebagai pengaman jalur penerbangan, maka secara ideal adalah
selebar landasan pacu dengan memiliki panjang tertentu sampai
pada batas yang dianggap aman. Demikian pula halnya dengan
fungsi untuk tujuan filter bagi C02. Luasan tertentu adalah sangat
menentukan terhadap efektivitas keberadaannya, karena hal ini
berkaitan erat dengan banyak sedikitnya emisi gas berbahaya
dengan jumlah tumbuhan yang ada di jalur hijau yang
dimaksudkan. Hal ini telah dikemukakan pada bagian depan.

Karakteristik Komposisi Tumbuhan : Komposisi tumbuhan


menyangkut di dalamnya adalah macam tanaman yang
dibudidayakan dan kerapatannya. Di samping itu, pertimbangan
estetika juga sebaiknya tidak dilupakan. Penanaman bunga bunga di
taman kota, misalnya akan sangat menarik dan memberikan
kenyamanan bagi pengunjung untuk menikmati. Demikian pula
halnya dengan pemilihan jenis tanaman tertentu dengan kanopi
yang memberikan nuansa keindahan ditinjau dari segi gradasi,
warna daun memerlukan ahli yang memahami hal tersebut agar
sifat multi fungsi keberadaan jalur hijau benar-benar efektif.
Mengingat pentingnya jalur hijau di wilayah perkotaan, maka
memang perlu adanya institusi tertentu yang menangani masalah
jalur hijau tersebut. Apabila keberadaan-nya sudah dirancangkan
jauh sebelumnya, mulai dari WPU, maka diharapkan pada masa
yang akan datang kondisi kota yang diidamkan setiap warga bukan
merupakan impian kosong belaka (Keraf, 2007).

Karakteristik Sebaran Spasial: Sebaran spasial jalur hijau


sangat dipengaruhi oleh peruntukan ruang yang sudah dirumuskan
dalam tata ruang. Peruntukan ruang apa membutuhkan jalur hijau
seperti apa dan bagaimana sebarannya mestinya sudah dipikirkan
secara holistis semenjak awal. Oleh karena karakteristik sebaran
spasial ditentukan semenjak daerah tersebut masih menjadi WPU,
maka diharapkan determinasi sebaran spasialnya dapat dilakukan
dengan lebih mudah. Pembuat dan penentu kebijakan
pengembangan kota dan wilayah sebaiknya mempunyai pandangan
ke depan yang jauh sehingga kebijakan antisipatif terhadap
kemungkinan timbulnya dampak negatif terhadap berbagai aspek
kehidupan dapat dirumuskan secara arif. Dalam studi kota dan
wilayah memang berlaku sebuah moto bahwa the past and present
is the key to the future yang sangat berbeda dari moto para ahli
geologi dan geomorfologi di mana motonya adalah the present is the
key to the past.

Peraturan lansekap pada DAS dalam (Zubir, 2009) adalah


merupakan salah satu bagian dari peraturan zonasi kota dan
mempunyai tujuan sebagai berikut

1. Mencegah terjadinya erosi lereng daerah sepanjang sungai/


pebukitan melalui penanaman kembali vegetasi.

2. Melindungi manusia dari dampak negatif energi surya dengan


menyediakan bayang-bayang pohon di atas jalan, jalur pejalan kaki,
area parkir dan area perkerasan lainnya.

3. Memelihara ( konservasi ) air tanah dangkal untuk tujuan


penyiraman/ irigasi tanaman dan pepohonan

4. Mengurangi resiko kebakaran melalui perencanaan dan tata


letak tumbuhan yang mudah terbakar.

5. Memperbaiki kinerja lingkungan terbangun dengan peningkatan


kualitas dan kuantitas lansekap.

Materi yang diatur dalam Ruang Terbuka Hijau dan


Peraturan Lansekap Daerah aliran Sungai antara lain :

1. Persyaratan Umum Dan Penanaman


a. Jumlah pohon dan jenis tanaman.

Mengatur tentang jumlah titik penanaman pepohonan dan jenis-


jenis tanamannya pada satuan luas tertentu sesuai dengan
penggunaan lahannya ( daerah industri,perumahan, komersial dan
lain sebagainya ), mengacu kepada standar manual yang ada.

b. Persyaratan material pepohonan.

Mengatur antara lain tentang larangan penanaman dengan


species tanaman yang bersifat “invasive” ( menyerang ), keharusan
penyediaan daerah akar untuk setiap pohon antara 1,50 m2 sampai
dengan 3,60 m2, keharusan merawat pohon-pohon sedemikian
rupa sehingga semua cabangnya berada di atas jalur pejalan kaki
minimum 1,80 meter di atas permukaan jalur tersebut dan cabang-
cabang di atas jalur kendaraan berada 4,20 meter di atas
permukaan jalur tersebut, keharusan menanam tanaman asli yang
benar-benar tanaman lokal, dan lain sebagainya.

1. Persyaratan irigasi

Mengatur antara lain tentang jaminan semua material tanaman


memiliki sistim irigasi otomatis dan permanen di bawah permukaan
tanah dan dirancang agar kebutuhan air mencukupi bagi semua
tanaman, cipratan air tidak boleh melintasi garis batas properti atau
area yang diperkeras untuk pejalan kaki dan sirkulasi kendaraan,
dan lain sebagainya.

d. Persayaratan luas penanaman

Mengatur tentang luas minimum lahan terbuka yang harus


ditanami.

2. Persyaratan Penanaman Area dan Jumlah Penanaman


Pada Pekarangan Sisi Jalan dan Pekarangan Sisa.

Mengatur tentang luas penanaman minimum pekarangan


sisi jalan (antara garis sempadan jalan dan garis sempadan
bangunan) maupun pekarangan sisa (belakang dan samping ) sesuai
dengan jenis penggunaan lahannya. Misalnya pada hunian unit
tunggal maupun rumah susun, minimal 50 % dari luas pekarangan
sisi jalan harus ditanami dengan jumlah titik pohon wajib 0,05
titik/m2, untuk daerah komersial 30 %, industri 20 %. Untuk
pekarangan sisa 3,60 m2 per pohon .

Pengembangan ruang hijau disepanjang pinggiran jaringan jalan


utama maupun jalan kolektor dan jalan lingkungan adalah
berfungsi sebagai :

a. Peneduh pedestrian dan jalan

b. Unsur keindahan

c. Kenyamanan lingkungan

Penerapan jalur hijau pinggir jalan ini dengan ditanam


langsung maupun dengan menggunakan pot-pot ukuran besar.

Lebih lanjut peranan dan manfaat dari pola tata hijau tersebut
adalah sebagai berikut ;

a. Fungsi Orology. yaitu sebagai pencegah erosi lapisan atas tanah


yang subur (top soil).

b. Fungsi Hidrologi, permukaan lahan yang bebas dari perkerasan


(pengaspalan) akan menyerap air sehingga dapat menjaga sirkulasi
air tanah (sirkulasi hidrologi).

c. Fungsi Estetika, yaitu dapat membentuk perspektif dan efek


visualisasi yang indah bagi lingkungan yang padat.

d. Fungsi klimatologi yaitu dapat menciptakan iklim mikro yang


sejuk dan nyaman oleh adanya faktor alam dan vegetasi alam.

e. Fungsi ekologi, yaitu menciptakan keserasian hubungan antara


manusia dengan alam sekitarnya.
Fungsi kesehatan yaitu oleh adanya proses asimilasi
tanaman yang menghasilkan 02 dan menyerap C02 yang
selanjutnya dapat mengurangi pencemaran udara serta mengurangi
kebisingan yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia, nyaman
sehingga dapat membantu mengurangi ketegangan sosial.

Beberapa dasar pokok yang harus dipertimbangkan dalam


penempatan pohon peneduh jalan adalah antara lain:

a. Memperhatikan keras jalan, lebar jalan serta kecepatan


kendaraan yang lewat, hal ini dimaksudkan sebagai penempatan
dan penilaian pohon tidak mengganggu lalu lintas.

b. Mempertimbangkan adanya sarana umum dan lalu lintas (kabel,


listrik, saluran air bersih, lampu penerangan jalan).

c. Sifat pertumbuhan tanaman, bentuk, ketinggian dan ukuran


tanaman serta jenis Ptanah (sesuai atau tidak) merupakan faktor-
faktor yang menentukan jarak tanaman.

Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam penataan


pola hijau ini maka ada beberapa hal pokok yang perlu
diperhatikan:

1. Penataan Pola hijau ditekankan perlu pembentukan yang


dapat memberikan kesan ruang.

b. Memperbanyak variasi warna dan bentuk untuk menghilangkan


kesan monoton dengan mempergunakan Jenis tanaman sesuai
kondisi setempat.

Memberikan pengarahan pola hijau menerus


pada lingkungan jalan dengan tujuan untuk memperoleh
kenyamanan dan kenikmatan dalam berkendaraan.

3. Persyaratan Pohon Jalan Dan Badan Jalan Publik.


Persyaratan pohon jalan meliputi jumlah pohon dan
lokasinya. Jumlah pohon yang diwajibkan ditetapkan 24 inch untuk
setiap 9 meter frontage. Jarak spasi pohon yang ditanam dapat
bervariasi untuk mengakomodasi kondisi atau pertimbangan desain
(misalkan satu pohon palem berbatang coklat dengan tinggi 3 m
untuk setiap 6 meter frontage jalan). Apabila kondisi tapak
(parkway) tidak memungkinkan penanaman pohon maka pohon-
pohon dapat ditempatkan pada property privat dalam jarak 3 meter
dari garis sempadan jalan di sepanjang frontage tersebut.

Lokasi penanaman pohon adalah antara pinggiran trotoar


sampai batas pagar property, ditempatkan sekurang-kurangnya
pada jarak 2,10 meter dari muka pinggir trotoar di atas jalan utama
/ arteri atau jalan cepat yang mempunyai kecepatan kendaraan 90
km / jam. Untuk klasifikasi jalan lainnya tidak lebih lebih dekat dari
1,20 meter dari pinggiran trotoar. Pohon-pohon jalan harus
dijauhkan dari perlengkapan kota pada`jarak minimum 6 meter
terhadap rambu lalulintas, 1,5 meter dari jaringan utilitas bawah
tanah, 3 meter dari hidran, tiang-tiang listrik, telepon dan lain
sebagainya. Pada setiap persimpangan harus ada daerah bebas
pohon dalam radius 7,5 meter dan hanya boleh ditanami tumbuhan
semak yang tingginya tidak boleh lebih dari 60 cm, sehingga tidak
menutupi lampu lalulintas .

4. Membangun Taman Kota

Ideology pembangunan sektor lingkungan diekspresikan


dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development),
yakni pembangunan yang di tujukan untuk memenuhi kebutuhan
generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan
kepentingan generasi yang akan dating. Konsep ini menempatkan
pembangunan dalam perspektif jangka panjang (a longer term
perspective) dan menuntut adanya solidaritas antar generasi .

Itulah sebabnya Rasulullah sangat menganjurkan umat islam selalu


menanam pohon,walau kelak pohon yang di tanamnya tersebut
kayu dan buahnya tidak sempat di nikmatinya, namun ia tetap
mendapat pahala. Rasusullah bersabda.

’’Seorang muslim yang menanam pohon atau tanaman, lalu


sebagian hasilnya di makan burung,manusia,atau binatang,maka
orang yang menanam itu mendapat pahala.’’(HR Al-Bukhari)

Kita haruslah memiliki kesadaran bahwa sumber daya alam


merupakan bagian dari ekosistem. Dengan memelihara ekosistem
maka berkelanjutan sumber daya alam akan tetap terjaga.
Menghargai lingkungan menjadi syarat utama dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan merupakan upaya pembangunan yang
melarutkan unsur lingkungan dalam pertimbangannya.

Pada prinsifnya pembangunan yang berkelanjutan mengacu pada


kaidah 7E, yaitu;

1. Employment, atau pembangunan harus mempertimbangkan


ketersediaan lapangan kerja bagi segenap lapisan masyarakat.

2. Environment, atau pembangunan harus mempertibangkan


keseimbangan ekologis di dalampenyediaan lapangan bagi
warganya.

3. Engagement, atau pembangunan harus mempertimbangkan


keterlibatan/partisipasi aktif masyarakat agar tercipta rasa memiliki
(sense of belongin).

4. Equty, atau di dalam pembangunan harus mempertimbangkan


prinsip demokratisasi atau kesetaraan akses terhadap segenap
sumber daya,sarana dan prasarana.

5.Energy conservation, atau pembangunan harus mengupayakan


agar sumber-sumber energy di gunakan sehemat mungkin,sehingga
tidak terjadi kesia-siaan energy serta mencegah konsumsi energy
yang berkelebihan.
6. Ethic, atau etika membangun yang mesti di tegakkan lengkap
dengan mekanisme sanksi dan penghargaan.

7. Estetica, atau pembangunan harus mempertimbangkan estetika


kota atau keindahan kota.

Khusus berkaitan dengan implementasi kaidah


environment,di perlukan suatu strategi pelestarian keseimbangan
ekologis dalam arti memadukan antara pembangunan dengan
konsevasi alam untuk menjamin terlindungnya sumber daya alam
yang tidak terbarukan dan juga pemanfaatan yang optimal dari
sumber daya yang terbarukan guna meminimalkan danpak negatif
yang merusak atau merugikan.

‘’ Dan tanah yang baik,tanaman-tanamannya tumbuh subur


dengan seizing Allah: Dan tanah yang tidak subur, tanam-
tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah kami
mengulagi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang
bersyukur.’’(Al A’Raf;58)

5. Ruang Terbuka Hijau pada DAS sebagai potensi wisata

Ruang Terbuka Hijau pada Daerah Aliran Sungai seringkali


terlupakan keberadaannya. Hadir di tengah impitan pembangunan
fisik kota yang kian pesat. Salah satu ruang terbuka hijau itu tampak
hanya sekadar pajangan, pelengkap dalam sebuah kebutuhan
penataan ruang. Warga kota pun banyak yang memandang sebelah
mata. Padahal, ada beragam potensi wisata yang bisa digali. Seiring
meningkatnya taraf hidup, kemampuan dan kebutuhan manusia,
maka sejak tahun 1950-an sampai dengan 1970-an ruang terbuka
hijau banyak dialih-fungsikan menjadi pemukiman, bandar udara,
industri, jalan raya, bangunan perbelanjaan dan lain-lain. Dengan
semakin meningkatnya kemampuan dan kesejahteraan masyarakat,
pembangunan fisik kota terus melaju dengan pesat. Namun
peningkatan itu membawa dampak negatif, salah satunya
penyusutan luas lahan bervegetasi. Susutnya lahan bervegetasi
mendorong penghuni kota berbondong-bondong pergi ke luar kota,
mencari daerah hijau yang masih tersisa. Di tengah persaingan
hidup yang kian meninggi, kebutuhan rekreasi menjadi mutlak
adanya.

Akhirnya sebuah pemandangan yang jamak bisa kita


saksikan. Tiap akhir pekan atau masa libur, warga kota papan atas
ramai-ramai ”mengungsi” ke daerah hijau nan sejuk. Umumnya,
ruang hijau itu berada di luar kota. Kalau buat orang Jakarta
kawasan paling dekat adalah kawasan Puncak dan sekitarnya.

Bagi warga yang tak berduit keluar kota adalah sebuah


impian. Itu sebabnya ruang terbuka pengundang keramaian di
dalam kota, seperti kebun binatang, taman rekreasi, kawasan
pinggir pantai dan lainnya jadi sasaran utama. Pokoknya, dengan
bujet yang pas-pasan, mereka berharap kebutuhan relaksasi tetap
bisa terpenuhi. Murah meriah namun tetap dapat unsur
pelesirannya.

6. Serapan Vegetasi Terhadap Karbon Dioksida

Salah satu komponen yang penting dalam konsep tata


ruang adalah menetapkan dan mengaktifkan jalur hijau dan hutan
kota, baik yang akan direncanakan maupun yang sudah ada namun
kurang berfungsi. Selain itu jenis pohon yang ditanam perlu
menjadi pertimbangan, karena setiap jenis tanaman mempunyai
kemampuan menjerap yang berbeda-beda

Vegetasi juga mempunyai peranan yang besar dalam


ekosistem, apalagi jika kita mengamati pembangunan yang
meningkat di perkotaan yang sering kali tidak menghiraukan
kehadiran lahan untuk vegetasi. Vegetasi ini sangat berguna dalam
produksi oksigen yang diperlukan manusia untuk proses respirasi
(pernafasan), serta untuk mengurangi keberadaan gas karbon
dioksida yang semakin banyak di udara akibat kendaraan bermotor
dan industri. Penyerapan karbon dioksida oleh hutan kota dengan
jumlah 10.000 pohon berumur 16-20 tahun mampu mengurangi
karbon dioksida sebanyak 800 ton per tahun penanaman pohon
menghasilkan absorbs karbon dioksida dari udara dan
penyimpanan karbon, sampai karbon dilepaskan kembali akibat
vegetasi tersebut busuk atau dibakar. Hal ini disebabkan karena
pada hutan yang dikelola dan ditanam akan menyebabkan
terjadinya penyerapan karbon dari atmosfir, kemudian sebagian
kecil biomassanya dipanen dan atau masuk dalam kondisi masak
tebang atau mengalami pembusukan

7. Pencemaran Udara

Kondisi lingkungan hidup alami yang masih relatif baik


atau dalam keadaan keseimbangan antara daerah terbangun dan
tidak terbangun. Berdasarkan perkiraan kenaikan jumlah penduduk
Indonesia tahun 2005, maka kebutuhan akan ketersediaan oksigen
(O2) akan meningkat menjadi 4,5 kg/jam.

Salah satu pemasok utama ketersediaan udara bersih adalah


pepohonan di RTH kota sebagai ‘paru-paru’ kota yang merupakan
produsen oksigen (O2), penyerap karbondioksida (CO2) dan gas
polutan lain, serta sebagai daerah resapan air, yang belum
tergantikan fungsinya.

8. Pencemaran Air dan Tanah

RTH Kota dan Upaya Pengendalian Pencemaran Air, Banjir


dan Kekeringan. Pembangunan kota yang tidak mempertimbangkan
pengelolaan lingkungan secara komprehensif telah terbukti
mengancam kelangsungan hidup kota dan warga kota. Fenomena
hubungan antar manfaat RTH kota terhadap pengendalian banjir
merupakan salah satu upaya pengendalian kerusakan dan
pencemaran dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup kota.

Anda mungkin juga menyukai