Anda di halaman 1dari 8

REKAYASA IDE

BALAI MEDIATOR ADAT SEBAGAI BENTUK PENYELESAIAN


MASALAH DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

OLEH :
1. YUDHIT IGA DWI GAYATRIE (3161122040)
2. NINDA LESTARI (3162122004)
3. FIRZA RAMADHAN (3163122015)

KELAS : C REGULAR 2016


MATA KULIAH : ANTROPOLOGI HUKUM
DOSEN PENGAMPUH : NOVIY HASANAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSTAS NEGERI MEDAN
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur bagi Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan karuniaNya Mini Research ini
dapat dibuat untuk memenuhi tugas sebagaimana telah tercantum dalam kurikulum KKNI
2016. Rekayasa Ide ini merupakan tugas wajib dalam setiap mata kuliah termasuk mata kuliah
Antropologi Hukum. Pembuatan Mini Research ini ditujukan untuk mengembangkan
pengetahuan Mahasiswa dalam melihat dan mengetahui berbagai fenomena sosial khususnya
mengenai hokum dan penyelesaiannya dalam kehidupan masyaraat.
Kami sebagai penulis berterimakasih kepada Orang tua yang telah memberikan motivasi
serta bantuan berupa materi kepada kami dalam penyelesaian. Kami juga berterimakasih
kepada dosen serta seluruh teman-teman satu kelompok yang telah meluangkan waktunya
untuk berdiskusi dengan kami dalam menyelesaikan Rekayasa Ide ini.
Rekayasa Ide ini masih jauh dari yang diharapkan, oleh sebab itu kami sebagai penulis
sangat mengharapkan saran dan sumbangan pemikiran dalam penyempurnaan laporan
Rekayasa Ide ini pada masa yang akan datang. Atas saran dan sumbangan pemikiran yang
diberikan diucapkan terimakasih. Mudah-mudahan Rekayasa Ide ini dapat memenuhi harapan
sebagai tugas dalam pembelajaran mata kuliah Antropologi Hukum.

Medan, 21 Oktober 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 3
BAB. I. PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
1.1 Latarbelakang Masalah ........................................................................................................... 4
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................................................ 4
1.3 Tujuan ..................................................................................................................................... 4
BAB. II.TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 5
2.1 Teori yang digunakan.............................................................................................................. 5
BAB. III. METODE PELAKSANAAN ................................................................................................. 6
3.1 Tekhnik Pengumpulan data..................................................................................................... 6
BAB. IV. PEMBAHASAN..................................................................................................................... 6
BAB. IV. PENUTUP .............................................................................................................................. 8
5.1 Kesimpulan ............................................................................................................................. 8
5.2 Saran ....................................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................. 8

3
BAB. I. PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang Masalah
Peranan hukum di dalam masyarakat khususnya dalam menghadapi perubahan
masyarakat perlu di kaju dalam rangka mendorong terjadinya perubahan sosial. Pengaruh
peranan hukum dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Hukum memiliki pengaruh
yang tidak langsung mendorong munculnya perubahan sosial pada pembentukan lembaga
kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung terhadap masyarakat.

Hukum di indonesia merupakan campura dari sistem hukum eropa, hukum adat dan
hukum agama. Sebagaian besar sistem yang di anut baik berdata maupun perdana berbasis pada
hukum eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu indonesia merupakan
wilayah jajahan belanda. Hukum agama berlaku di indonesia karena sebagian besar masyarakat
Indonesia menganut ajaran Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak di
bidang perkawinan kekeluargaan dan warisan. Selain itu di Indonesia juga berlaku sistem
hukum adat yang merupakan penerusan dari aturan setempat dari masyarakat dan budaya-
budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Berdasarkan dari latar belakang Indonesia yang menganut tiga sistem hukum tersebut,
maka masalah yang telah kami angkat dalam Rekayasa Ide ini adalah mengenai “Balai
Mediator Adat Sebagai Bentuk Penyelesaian Masalah Di Lingkungan Masyarakat”.

1.2 Perumusan Masalah


Dari latar belakang di atas, maka masalah yang muncul adalah:

1. Apa saja bentuk penegakan hukum di Jepang yang dapat di terapkan di Indonesia?
2. Bagaimana penerapan hukum pada masyarakat adat Minang dan Melayu?
3. Bagaimana proses pelaksanaan balai mediator adat di lingkungan masyarakat
indonesia?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penerapan hukum pada masyarakat adat Minang dan Melayu
2. Untuk mengetahui penerapan hukum yang ada di Jepang apabila di terapkan di
Indonesia

4
BAB. II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori yang digunakan


a. Teori Lewis Cowser

Cowser menggambarkan konflik sebaga perselisihan mengenai nilai atau tuntutan


berkenaan dengan status, kekuasaan dan sumber kekayaan dari persediaannya tidak
mencukupi. Cowser mengatakan perselisihan atau konflik dapat berangsung antar individu,
kumpulan atau antara individu dengan kumpulan. Menurut cowser konflik merupakan usur
interaksi yang penting dan sama sekali tidak boleh dikatakan bahwa konflik selalu tidak
baik atau memecah belah. Konflik bisa saja menyumbang banyak kepada kelestarian
kelompok dan mempererat hubungan antar anggota. Fungsi dari konflik menurut Lewis
A.Coser merupakan cara atau alat untuk mempertahankan, mempersatukan, dan bahkan
untuk mempertegas sistem sosial yang ada. Proposisi yang dikemukakan oleh Lewis Coser
yaitu:

1. Kekuatan solidaritas internal dan integrasi kelompok dalam (in group) akan bertambah
tinggi apabila tingkat permusuhan atau suatu konflik dengan kelompok luar bertambah
besar.
2. Integritas yang semakin tinggi dari kelompok yang terlibat dalam konflik dapat
membantu memperkuat batas antar kelompok itu dan kelompok kelompok lainnya
dalam lingkungan itu, khususnya kelompok yang bermusuhan atau secara potensial
dapat menimbulkan permusuhan.
3. Di dalam kelompok itu ada kemungkinan berkurangnya toleransi akan perpecahan atau
pengatokan, dan semakin tingginya takanan pada consensus dan konformitas.
4. Para menyimpang dalam kelompok itu tidak lagi ditoleransi, kalau mereka tidak dapat
dibujuk masuk ke jalan yang benar, mereka kemungkinan diusir atau dimasukan dalam
pengawasan yang ketat.
5. Dan sebaliknya, apabila kelompok itu tidak terancam konflik dengan kelompok luar
yang bermusuhan, tekanan yang kuat pada kekompakan, konformitas, dan komitmen
terhadap kelompok itu kemungkinan sangat berkurang. Ketidaksepakatan internal
mungkin dapat muncul kepermukaan dan dibicaakan, dan para penyimpang mungkin
lebih ditoleransi, umumnya individu akan memperoleh ruang gerak yang lebih besar
untuk mengejar kepentingan pribadinya.

5
b. Teori Kontrol Sosial Travis Hirschi
Teori kontrol sosial memfokuskan diri pada teknik-teknik dan strategi-strategi yang
mengatur tingkah laku manusia dan membawanya kepada penyesuaian atau ketaatan
kepada aturan-aturan masyarakat. Seseorang mengikuti hukumsebagai respon atas
kekuatan pengontrol tertentu dalam kehidupan seseorang. Seseorang menjadi kriminal
ketika kekuatan yang mengontrol tersebut lemah atau hilang.

BAB. III. METODE PELAKSANAAN

3.1 Tekhnik Pengumpulan data

Tekhnik pengumpulan data yang kami gunakan adalah studi pustaka. Dimana studi
pustaka adalah segala usaha yang dilakukan untuk menghimpun informasi yang relevan
dengan topik atau masalah yang di kaji. Informasi itu dapat di perolah dari buku, laporan
penelitian karangan ilmiah, dan lain-lain.

BAB. IV. PEMBAHASAN

4.1 Bentuk penegakan hukum di Jepang yang dapat di terapkan di Indonesia

Konsep dan praktik mediasi di Jepang hampir sama persis dengan Indonesia, Jepang
mengenal tiga tingkatan peradilan yaitu:

1. Summary Court
2. District Court
3. Family Court

Summary Court digunakan untuk menangani perkara pidana maupun perdata yang tergolong
ringan dengan ancaman hukuman pidana atau jumlah yang disengketakan tidak dengan jumlah
yang banyak. District Court hampir sama dengan pengadilan yang ad di Indonesia. Untuk
Famili Court sama dengan Pengadilan Agama yaitu untuk menangani sengketa-sengketa rumah
tangga. Dinegara Jepang, mediasi dilakukan terhadap perkara perdata. Secara garis besar,
perkara perdata dibedakan menjadi dua macam, yaitu Perdata Biasa dan Perdata Keluarga.

6
Untuk menyelesaikan perkara perdata melalui Summary Court dan District Court, sedangkan
perkata perdata keluarga diselesaikan dengan Family Court.

Mediasi di Negara Jepang dan di Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan. Untuk
persamannya itu terletak pada tujuan mediasi, yaitu sma-sama bertujuan untuk mencari
kesepakatan jalan tengah. Persamannya selanjutnya adalah mediator dapat diperankan oleh
hakim maupun bukan hakim, kalau seorang hakim ingin jadi mediator maka ia harus mengikuti
tes. Untuk perbedannya di Jepang mediasi terbagi menjadi dua, yaitu Chotei dan Wakai. Chotei
adalah mediasi yang dilakukan para pihak sebelum perkara didaftarkan ke pengadilan. Wakai
adalah mediasi yang dilakukan para pihak setelah perkara didaftarkan ke pengadilan. Dengan
demikian Wakai saling berkaitan dengan Litigasi. Seluruh perkara perdata wajib dilakukan
Wakai, sementara Chotei sifatnya opsional, kecuali untuk perkara perdata keluarga.

Jadi, untu perkara data keluarga tidak boleh diajukan ke Family Court sebelum dilakukan
proses Chotei. Jika Chotei tidak berhasil maka perkaranya didaftarkan ke Family Court dan
disana terlebih dahulu dilakukan proses Wakai sebelum hakim memeriksa pokok perkara.
Perbedaan yang lain yaitu pelaksanaan Chotei dan Wakai tidak dibatasi waktu secara spesifik.
Hanya dipengadilan penanganan perkara paling lama dua tahun.

Adapun bentuk penegakan hukum yang dapat diterapkan di Indonesia adalah seperti
budaya hukum yang terdapat dan berkembang di Jepang yaitu suatu bentuk penyelesaian
masalah hukum dengan melalui Musyawarah Adat sebelum diserahkan kepada Pihak
Pengadian. Setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, maka mereka akan terlebih dahulu
diproses melalui musyawarah adat tersebut yang melibatkan orang yang terlibat sebagai korban
dalam permasalahan tersebut. Jika Chotei atau Wakai berakhir dengan kesepakatan maka akan
dibuat Akta. Yang membuat adalah Paniteran dengan persetujuan pengadilan. Kekuatannya
sama dengan keputusan hakim. Chotei dan Wakai memiliki tingkat keberhasilan mediasi yang
tinggi dibandingkan dengan Hukum Indonesia.

Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi tingkat mediasi di Jepang, yaitu :

1. Sistem sudah terbangun sejak lama. Sistem tersebut adalah atura perundang-
undangan, prosedur, hingga fasilitas penunjang untuk mediasi.
2. Mediatornya benar-benar orang yang terpilih. Mediator tersebut harus menjalani
berbagai tes dan pelatihan sebelum menjadi mediator.

7
3. Budaya hukum masyarakat Jepang. Mereka pada umumnya suka menghindari
konflik dan menyelesaikan masalah melalui musyawarah.

4.2 Penerapan hukum pada masyarakat adat Minang dan Melayu

Penerapan hukum pada masyarakat Minang dan Melayu salah satunya yaitu penerapan hukum
sangketa pada masyarakat melayu. Ada pun bentuk-bentuknya, sebagai berikut:

1. Litigasi

Pada prinsipnya, proses penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi ditempuh melalui
badan peradilan. Menurut Usman (2003:10), penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi
merupakan cerminan dari doktrin trias politica di mana badan-badan peradilan diberi
wewenang dan memegang otoritas mengadili suatu sengketa. Setiap proses penyelesaian
sengketa melalui jalur litigasi, para pihak yang terlibat dalam sengketa harus menempuh
prosedur yang telah ditetapkan dalam hukum acara (due to process). Prosedur formal dan
tahapan prosedur sebagaimana diatur dalam hukum acara tenyata menimbulkan
ketidakpuasan para pencari keadilan. Pemeriksaan perkara di lembaga peradilan ternyata
memerlukan biaya yang

4.3 Proses pelaksanaan balai mediator adat di lingkungan masyarakat indonesia

BAB. IV. PENUTUP


5.1 Kesimpulan

5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai