Cairan Dan Hemodinamik
Cairan Dan Hemodinamik
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menjaga agar volume cairan tubuh tetap relatif konstan dan
komposisi elektrolit di dalamnya tetap stabil adalah penting bagi
homeostatis. Beberapa masalah klinis timbul akibat adanya
abnormalitas dalam hal tersebut. Untuk bertahan, kita harus menjaga
volume dan komposisi cairan tubuh, baik ekstraseluler (CES) maupun
cairan intraseluler (CIS) dalam batas normal. Gangguan cairan dan
elektrolit dapat membawa penderita dalam kegawatan yang kalau tidak
dikelolam secara cepat dan tepat dapat menimbulkan kematian. Hal
tersebut terlihat misalnya pada diare, peritonitis, ileus obstruktif,
terbakar, atau pada pendarahan yang banyak.
Elektrolit merupakan molekul terionisasi yang terdapat di dalam
darah, jaringan, dan sel tubuh. Molekul tersebut, baik yang positif
(kation) maupun yang negatif (anion) menghantarkan arus listrik dan
membantu mempertahankan pH dan level asam basa dalam tubuh.
Elektrolit juga memfasilitasi pergerakan cairan antar dan dalam sel
melalui suatu proses yang dikenal sebagai osmosis dan memegang
peraran dalam pengaturan fungsi neuromuskular, endokrin, dan sistem
ekskresi.
Jumlah asupan air dan elektrolit melalui makan dan minum
akan dikeluarkan dalam jumlah relatif sama. Ketika terjadi gangguan
homeostasis dimana jumlah yang masuk dan keluar tidak seimbang,
harus segera diberikan terapi untuk mengembalikan keseimbangan
tersebut.
B. Tujuan
1. Tujuan Khusus
Mengetahui teori resusistasi cairan, elektrolit dan monitoring
hemodinamik.
2. Tujuan Umum
a. Mengetahui teori resusistasi cairan dan elektrolit
b. Mengetahui cara memonitoring hemodinamik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Terapi Cairan
Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu ;
1. Resusitasi cairan
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh,
sehingga seringkali dapat menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan pula
untuk ekspansicepat dari cairan intravaskuler dan memperbaiki perfusi
jaringan.
2. Terapi rumatan
Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan nutrisi
yang diperlukan oleh tubuh
C. Pemilihan Cairan
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid
merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik dilarutkan
dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun
hipertonik.
1. Kristaloid
Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal
saline dan ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip
cairan ekstraselular. Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid,
dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial
dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk
resusitasi defisit cairan di ruang intersisial.
Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan
cairan ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis
metabolik yang disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat
akibat metabolisme laktat.
Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula
darah yang rendah atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun
penggunaannya untuk resusitasi dihindarkan karena komplikasi yang
diakibatkan antara lain hiperomolalitas- hiperglikemik, diuresis osmotik,
dan asidosis serebral.
2. Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau
biasa disebut “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat
zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik
yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang
intravaskuler.
Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif
dan efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid mengekspansikan
volume vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid.
Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya
1/4 bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus. Koloid adalah
cairan yang mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan
tekanan onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian besar akan menetap
dalam ruang intravaskular.
Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang
intravaskular, namun koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar
daripada plasma akan menarik pula cairan ke dalam ruang intravaskular.
Ini dikenal sebagai ekspander plasma, sebab mengekspansikan volume
plasma lebih dari pada volume yang diberikan.
3. Albumin
Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari plasma
manusia. Albumin dibuat dengan pasteurisasi pada suhu 600C dalam 10
jam untuk meminimalisir resiko transmisi virus hepatitis B atau C atau
pun virus imunodefisiensi. Waktu paruh albumin dalam plasma adalah
sekitar 16 jam, dengan sekitar 90% tetap bertahan dalam intravascular 2
jam setelah pemberian.
4. Dekstran
Dekstran merupakan semisintetik koloid yang secara komersial
dibuat dari sukrose oleh mesenteroides leukonostok strain B 512 dengan
menggunakan enzim dekstran sukrose. Ini menghasilkan dekstran BM
tinggi yang kemudian dilengketkan oleh hidrolisis asam dan dipisahkan
dengan fraksionasi etanol berulang untuk menghasilkan produk akhir
dengan kisaran BM yang relatif sempit. Dekstran untuk pemakaian klinis
tersedia dalam dekstran 70 (BM 70.000) dan dekstran 40 (BM 40.000)
dicampur dengan garam faal, dekstrosa atau Ringer laktat.
Dekstran 70 6 % digunakan pada syok hipovolemik dan untuk
profilaksis tromboembolisme dan mempunyai waktu paruh intravaskular
sekitar 6 jam. Pemakaian dekstran untuk mengganti volume darah atau
plasma hendaknya dibatasi sampai 1 liter (1,5 gr/kgBB) karena risiko
terjadi perdarahan abnormal. Batas dosis dekstran yaitu 20 ml/kgBB/hari.
Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang diberikan akan dieksresikan ke
dalam urine dalam 24 jam. Molekul- molekul yang lebih besar
dieksresikan lewat usus atau dimakan oleh sel-sel sistem
retikoloendotelial. Volume dekstran melebihi 1 L dapat mengganggu
hemostasis. Disfungsi trombosit dan penurunan fibrinogen dan faktor VIII
merupakan alasan timbulnya perdarahan yang meningkat. Reaksi alergi
terhadap dekstran telah dilaporkan, tetapi kekerapan reaksi anafilaktoid
mungkin kurang dari 0,02 %. Dekstran 40 hendaknya jangan dipakai pada
syok hipovolemik karena dapat menyumbat tubulus ginjal dan
mengakibatkan gagal ginjal akut.
5. Gelatin
Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang
umum dipasaran adalah gelatin yang mengalami suksinasi seperti
Gelofusin dengan pelarut NaCL isotonik. Gelatin dengan ikatan urea-
poligelin ( Haemaccel ) dengan pelarut NaCL isotonik dengan Kalium 5,1
mmol/l dan Ca 6,25 mmol/ L.
Pemberian gelatin agaknya lebih sering menimbulkan reaksi
alergik daripada koloid yang lain. Berkisar dari kemerahan kulit dan
pireksia sampai anafilaksis yang mengancam nyawa. Reaksi-reaksi
tersebut berkaitan dengan pelepasan histamine yang mungkin sebagai
akibat efek langsung gelatin pada sel mast.
Gelatin tidak menarik air dari ruang ekstravaskular sehingga bukan
termasuk ekspander plasma seperti dekstran. Larutan gelatin terutama
diekskresikan lewat ginjal dalam urin, sementara itu gelatin dapat
menghasilkan diuresis yang bagus. Sebagian kecil
dieliminasikan lewat usus. Karena gelatin tidak berpengaruh pada
sistem koagulasi, maka tidak ada pembatasan dosis. Namun, bila terlalu
banyak infus, pertimbangkan adanya efek dilusi. Gelatin dapat diberikan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal bahkan pada pasien yang
menjalani hemodialisis. Indikasi gelatin : Penggantian volume primer pada
hipovolemia, stabilisasi sirkulasi perioperatif. Sedangkan kontraindikasi
adalah infark miokard yang masih baru terjadi, gagal jantung kongestif
dan syok normovolemik.
6. Hydroxylethyl Starch (HES)
Senyawa kanji hidroksietil (HES) merupakan suatu kelompok
koloid sintetik polidisperse yang mempunyai glikogen secara struktural.
Kurang dapat diterima kanji hidroksi (HES) untuk pengantian volume
paling mungkin akibat laporan-laporan adanya koagulasi abnormal yang
menyertai subtitusi plasma ini. Waktu paruh dari 90% partikel HES adalah
17 hari. Seperti semua koloid lainnya, kanji hidroksietil juga berkaitan
dengan reaksi anafilaktoid yang ringan dengan kekerapan kira-kira 0,006
%.
Indikasi pemberian HES adalah :Terapi dan profilaksis defisiensi
volume (hipovolemia) dan syok (terapi penggantian volume) berkaitan
dengan pembedahan (syok hemoragik), cedera (syok traumatik), infeksi
(syok septik), kombustio (syok kombustio). Sedangkan kontra indikasi
adalah : Gagal jantung kongestif berat, Gagal ginjal (kreatinin serum >2
mg/dL dan >177 mikromol/L).Gangguan koagulasi berat (kecuali
kedaruratan yang mengancam nyawa). Dosis penggunaan HES adalah 20
ml/kgBB/hari.
C. Hemodinamik
Hemodinamik adalah pemeriksaan aspek fisik sirkulasi darah, fungsi
jantung dan karakterisitik fisiologis vaskular perifer (Mosby 1998, dalam
Jevon dan Ewens 2009). Pemantauan Hemodinamik dapat dikelompokkan
menjadi noninvasif, invasif, dan turunan. Pengukuran hemodinamik penting
untuk menegakkan diagnosis yang tepat, menentukan terapi yang sesuai, dan
pemantauan respons terhadap terapi yang diberikan (gomersall dan Oh 1997,
dalam Jevon dan Ewens 2009), pengukuran hemodinamik ini terutama dapat
membantu untuk mengenali syok sedini mungkin, sehingga dapat dilakukan
tindakan yang tepat terhadap bantuan sirkulasi (Hinds dan Watson 1999,
dalam Jevon dan Ewens 2009).