Anda di halaman 1dari 8

A.

Krisis hipertensi

Kedaruratan hipertensi biasanya terjadi pada pasien dengan hipertensi


kronik yang tidak terkontrol dan lama, sering terjadi setelah penghentian
mendadak dari terapi antihipertensi. Pada pasien ini, perubahan vaskular kronik
menyediakan perlindungan terhadap organ akhir. Pada pasien yang sebelumnya
normotensif dan mengalami peningkatan tekanan darah akut (contohnya,
komplikasi dari gagal ginjal akut atau kehamilan) tidak ada perubahan adaptif
vaskular kronik sampai ke batas efek berbahaya dari hipertensi, dan gagal
organ akhir dapat terjadi pada tekanan yang lebih rendah.

1. Penyebab Kedaruratan Hipertensi


Penyakit parenkim ginjal
- Glomerulonefritis akut
- Vaskulitis ginjal
- Sindrom uremik hemolitik
- Purpura trombositopenik trombotik
Penyakit renovaskular
Kehamilan
- Eklampsia
Penyakit endokrin
- Feokromositoma
- Hiperadrenalisme (Sindrom Cushing)
- Tumor renin-sekresi

2. Penanganan
Penanganan krisis hipertensi dilakukan berdasarkan pada konsensus
bukan pada coba terkontrol yang dilakukan secara acak. Prinsip pertama
dari perawatan adalah bahwa pasien hipertensi darurat ditangani di
lingkungan yang tinggi ketergantungan dengan menghentikan setiap
pengobatan yang berpotensi memperburuk situasi. Hal ini memungkinkan
untuk memantau tekanan darah dengan akurat dan berkesinambungan
dengan garis arteri.
Pengobatan harus dimulai melalui rute intravena dan ditritrasi
terhadap respon antihipertensi. Terapi kombinasi lebih disukai untuk
mencapai efek aditif dan dapat disesuaikan jika ada kompromi pada organ
akhir tertentu. Pada diseksi aorta, kombinasi intravena beta-blokade
(labetalol, yang merupakan alpha dan beta bloker campuran) diberikan
pertama, diikuti oleh natrium nitroprusside yang merupakan terapi yang
lebih disukai. Dengan adanya iskemia miokard, intravena gliseril trinitat
dengan beta-blokade memberikan efek anti-iskemik yang maksimal,
meskipun efek antihipertensi berkuang dari waktu ke waktu. Pada diseksi
aorta, penurunan tekanan darah sistol yang cepat ke <110 mmHg harus
ditargetkan.

Pada ensefalopati hipertensi, obat yang bekerja sentral harus


dihindari, dan target adalah mengurangi tekanan darah rata-rata (MAP)
sebanyak 25% selama 8 jam. Bila infark serebri telah ada, penurunan
tekanan darah yang cepat harus dihindari untuk menghindari hipoperfusi
serebri dalam konteks gangguan autoregulasi, dan perawatan harus
dilakukan bila terapi fibrinolitik dipertimbangkan. Pada kasus perdarahan
intraserebral, tekanan darah juga harus diturunkan perlahan. Bila dikaitkan
dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial (ICP), MAP harus
dipertahankan dibawah 130 mmHg (atau tekanan darah sistol <180 mmHg)
selama 24 jam pertama, untuk mereka tanpa peningkatan ICP, MAP <110
mmHg (atau TDS<160 mmHg) harus dipertahankan selama 24 jam
pertama.

B. Sindrom Koroner Akut

Istilah sindroma koroner akut (SKA) telah dikembangkan untuk


menggambarkan kumpulan kondisi-kondisi iskemik yang meliputi spektrum
diagnosis dari angina tak stabil (UA/unstable angina) sampai infark miokard
non elevasi ST (Non ST elevation miokard infarction/NSTEMI).
Perawatan STEMI memerlukan restorasi darurat aliran darah dalam
arteri koroner yang tersumbat total. Pasien dengan NSTEMI mangestasi yang
sering muncul dalam perubahan EKG meliputi inversi gelombang T, depresi
ST atau elevasi ST yang bersifat sementara, dan kadangkala EKG-nya normal
secara keseluruhan. Kelompok NSTEMI dapat diklasifikasi lebih lanjut
mengikuti peningkatan enzim-enzim protein jantung yang dapat terdeteksi
dengan kadar troponin positif pada serum pasien. Sedangkan, pasien UA
ditemukan kadar troponin jantung negatif dan hal ini dibedakan dari NSTEMI
yang memiliki iskemia miokard dengan nekrosis miokardial, sehingga
mengakibatkan peningkatan pelepasan kadar troponin dalam sirkulasi. Deteksi
troponin jantung yang mengikuti SKA merupakan sebuah prediktor
kambuhnya iskemia kembali. Namun, hal ini seharusnya diingat bahwa pasien
dengan troponin jantung masih berada pada risiko yang rentan dari kejadian-
kejadian lebih lanjut khususnya mereka dengan nyeri saat beristirahat atau
perubahan dinamika gelombang ST pada EKG mereka.

Tujuan utama untuk perawatan SKA adalah untuk menghindari


iskemia berlanjut, membatasi kerusakan miokard, mengurangi insiden
disfungsi ventrikular kiri, gagal jantung dan kematian. Hal ini dicapai dengan
identifikasi dini pada pasien yang memerlukan revaskularisasi dan perawatan
komplikasi-komplikasi iskemik meliputi aritmia (FV/TV dan bradikardia),
gagal jantung dan syok. Awalnya, semua pasien dengan SKA, perawatan
gawat darurat terdiri dari meringankan gejala, pemberian agen-agen
antitrombotik, dan terapi reperfusi sedini mungkin untuk kemungkinan
STEMI.
C. Cardiac arrest
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan
penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan,
terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart
Association,2010).
1. Tanda-tanda cardiac arrest.
Tanda- tanda cardiac arrest menurut Diklat Ambulans Gawat
Darurat 118 (2010) yaitu:
a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,
tepukan di pundak ataupun cubitan.
b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika
jalan pernafasan dibuka.
c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).
2. Proses terjadinya cardiac arrest
Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya
aritmia: fibrilasi ventrikel (VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik
tanpa nadi (PEA), dan asistol (Diklat Ambulans Gawat Darurat 118,
2010).
a. Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan
kematian mendadak, pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan
fungsi kontraksinya, jantung hanya mampu bergetar saja. Pada kasus
ini tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan DC shock
atau defibrilasi.
b. Takhikardi ventrikel
Mekanisme penyebab terjadinya takhikardi ventrikel biasanya
karena adanya gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupun
akibat adanya gangguan konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan
menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri akan memendek, akibatnya
pengisian darah ke ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung
akan menurun.
VT dengan keadaan hemodinamik stabil, pemilihan terapi
dengan medika mentosa lebih diutamakan. Pada kasus VTdengan
gangguan hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi),
pemberian terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan CPR
adalah pilihan utama.
c. Pulseless Electrical Activity (PEA)
Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak
menghasilkan kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi
tidak adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi
tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus segera
dilakukan.
d. Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik
pada jantung, dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti
garis lurus. Pada kondisi ini tindakan yang harus segera diambil
adalah CPR.
Henti Jantung Tanpa Nadi 1
a) BLS algoritma: meminta
bantuan, lakukan CPR.
b) Beri oksigen bila tersedia.
c) Pasang monitor jantung.

3 2 9
VF/VT Periksa irama jantung,
Asistol/PEA
perlu defibrilasi?

4
Beri 1 kali shock Lakukan CPR segera sebanyak 5 siklus
10
a) Manual biphasic: dng ukuran Ketika telah tersedia IV/IO, beri
khusus (120-200 J) vasopresor. Epinephrine 1 mg IV/IO,
b) AED : dng ukuran khusus. ulangi setiap 3-5 menit atau beri 1 dosis
c) Monophasic: 360 J vasopresin 40 unit IV/IO untuk
Lakukan CPR segera menggantikan epinephrine dosis
pertama dan kedua. Atropin 1 mg IV/IO
untuk asistol atau PEA dng frekuensi
5 Periksa irama jantung, lambat, ulangi tiap 3-5 menit ( sampai 3
perlu defibrilasi? dosis)

6
Lanjutkan pemberian CPR sementara
defibrilator di-charge kemudian berikan 1 kali
shock.
Segera mulai lagi CPR Setelah pemberian
defibrilasi. Ketika IV/IO tersedia, berikan
vasopresor dan lanjutkan CPR
11
(sebelum/sesudah defibrilasi)
a) Epinephrine 1 mg IV/IO Periksa irama jantung,
Ulangi setiap 3-5 menit. perlu defibrilasi?
b) Mungkin bisa diberikan 1 dosis
vasopresin 40 unit IV/IO untuk
menggantikan dosis pertama dan
kedua dari epinephrine.

7 12
Periksa irama jantung,
perlu defibrilasi? a).Jika asistol kembali ke box10
b).Jika ada aktifitas kelistrikan, Kembali
8 periksa nadi, jika tidak ada ke box 4
Lanjutkan CPR , lakukan defibrilasi 1X. Segera mulai nadi, kembali ke box 10.
13
lagi CPR setelah pamberian defibrilasi. Berikan c). Jika nadi teraba, lanjutkan
bersamaan dng CPR (sebelum/sesudah defibrilasi) ke perawatan post resusitasi.
amiodrone 300mg IV/IO, kemudian siapkan
kemungkinan tambahan 150 mg, atau lidocain 1-1,5 (Diklat Ambulans Gawat Darurat 118,
mg/kg BB dosis pertama, kemudian 0,5-0,75 mg/kg 2010).
(max 3)

Skema 2.1 Algoritma penatalaksanaan


henti jantung pada arithmia

Anda mungkin juga menyukai