Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi umum (general anesthesia) adalah suatu keadaan yang didapatkan


ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu untuk memberikan
efeknya secara reversibel pada sistem saraf pusat, dimana keadaan tidak sadar
(unconsciousness), amnesia, analgesik, immobilisasi, dan melemahnya respon
autonom pada stimulasi berbahaya telah dicapai.1
Obat-obatan dan alat pemantau perubahan fisiologis tubuh mengalami suatu
kemajuan yang semakin baik untuk menurunkan risiko kematian akibat tindakan
anestesi dalam suatu prosedur bedah menjadi kurang dari 1:100000 kejadian.
Komplikasi minim yang seringkali timbul pada pasien sehat sebelumnya sebagai gejala
pada 24 jam pertama pasca operasi yaitu, keluhan muntah sebanyak 10-20%, mual 10-
40%, sakit tenggorokan 25%, dan nyeri pada lokasi operasi 30%.2
Tujuan anestesi dilakukan secara umum adalah untuk menciptakan
ketidaksadaran yang aman dan reversibel, mengoptimalisasi respon fisiologis, dan
menciptakan keadaan operasi yang kondusif. Anestesi umum memiliki tiga komponen
penting, yaitu hilangnya kesadaran, analgesik, dan relaksasi otot.3

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 16 Mei 2019
Nama : Ny. N
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
TB/BB : 158 cm/44 kg
Gol. Darah : O+
Alamat : RT 04 Simpang Terusan, Muara Bulian
No. RM : 879330
Ruangan : Kelas III (Bangsal Kebidanan)
Diagnosa : Mioma Uteri
Tindakan : Laparoskopi

B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


1. ANAMNESA
a. Keluhan Utama

b. Riwayat Perjalanan Penyakit

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Hipertensi : (-)
 Riwayat Asma : (-)
 Riwayat DM : (-)
 Riwayat Batuk Lama : (-)
 Riwayat Operasi : (+), 10 tahun lalu pada mata kanan

2
 Riwayat Penyakit lain : (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita sakit yang sama
e. Riwayat sosial ekonomi : cukup

2. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


a. Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,6 ̊C
b. Kepala : Normochepal, CA(-), SI(-), Pupil Isokor, RC (+/+),
c. THT : Nyeri tekan (-) nyeri tarik (-) rinore (-), otore (-)
d. Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Kel. Tiroid (-)
e. Thoraks
Inspeksi : Bentuk dbn, Gerak dinding dada simetris, sikatrik (-)
Palpasi : Vokal Fremitus +/+, krepitasi (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Cor : BJ I/II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Wheezing -/-, Rhonki -/-
f. Abdomen
Inspeksi : Kontur datar, bekas operasi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (+), Nyeri lepas (-), hati & lien tidak
teraba
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
g. Genital : tidak diperiksa

3
h. Ekstremitas : Akral hangat, udem (-), CRT < 2 detik

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium (15-05-2019 )
Darah Rutin
 WBC : 5.27 x103/mm3
 RBC : 3.91 x106/mm3
 HGB : 10.8 gr/dL
 HCT : 32.3 %
 PLT : 258 x103/mm3
 GDS : 96 mg/dl
 Masa Pendarahan : 2’ (1-3 menit )
 Masa Pembekuan : 4’ ( 2 – 6 menit )
Kimia Darah
 Albumin : 4.2
 SGOT/PT : 17/11
 Ur/Kr : 12/0.6
b. Pencitraan
X-Ray Thoraks : Cor dan Pulmo dalam batas normal.
USG Abdomen : Massa pada uterus diameter 5.5 cm
c. Lain-lain
EKG : Sinus Rhythm

4. STATUS FISIK ASA


1/2/3/4/E

5. RENCANA TINDAKAN ANESTESI


1. Diagnosa pra bedah : Hidrosalping dengan Mioma Uteri

4
2. Tindakan bedah : Laparoskopi
3. Status fisik ASA :2
4. Jenis / tindakan anestesi : General Anestesi
Pramedikasi
 Dexametason 10 mg (IV)
 Ondansentron 4 mg (IV)
 Ranitidin 50 mg (IV)
 Ketoprofen (Supp)
Induksi
 Fentanil 100 mcg
 Propofol 100 mg
Relaksasi
 Atracurium 30 mg + 10 mg
Pemeliharaan
 Sevoflurans + N2O : O2

BAB III
LAPORAN ANESTESI

Tanggal : 16 Mei 2019


Nama : Ny. N
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
TB/BB : 158cm/44 kg
Gol. Darah : O+
Alamat : RT 04 Simpang Terusan, Muara Bulian

5
No. RM : 879330
Ruangan : Kelas III (Bangsal Kebidanan)
Diagnosa : Hidrosalping + Mioma Uteri
Tindakan : Laparoskopi
Operator : dr. Rudi Gunawan, Sp.OG (K)
Ahli Anestesi : dr. Sulistyowati, Sp.An

1. Keterangan Pra Bedah


a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 (E4M6V5)
Tanda vital : Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,6 ºC
Berat Badan : 44 Kg
b. Laboratorium
Darah Rutin
 WBC : 5.27 x103/mm3
 RBC : 3.91 x106/mm3
 HGB : 10.8 gr/dL
 HCT : 32.3 %
 PLT : 258 x103/mm3
 GDS : 96 mg/dl
 Masa Pendarahan : 2’ (1-3 menit )
 Masa Pembekuan : 4’ ( 2 – 6 menit )
Kimia Darah
 Albumin : 4.2

6
 SGOT/PT : 17/11
 Ur/Kr : 12/0.6
c. Status Fisik : ASA II
d. Puasa mulai jam 02.00 WIB

2. Tindakan Anestesi
a. Metode : General Anestesi
b. Premedikasi : Dexametason 10 mg (IV); Ondansentron 4 mg (IV);
Ranitidin 50 mg (IV); Ketoprofen (Supp)

3. Anestesi Umum
a. Induksi : Sempurna
b. Teknik Anestesi : Anestesi Balans
c. Teknik Khusus :-
d. Medikasi :
1. Fentanil 100 mcg
2. Propofol 100 mg;
3. Atrakurium 30 mg + 10 mg;
4. Sevoflurans + N2O : O2
e. Cairan/Transfusi :
1. Ringer Laktat 500 mL
2. Ringer Laktat 500 mL
3. Ringer Laktat 500 mL + Ketorolac 30 mg + Tramadol 100 mg

4. Keadaan Selama Operasi


a. Letak Penderita : Semi Fowler
b. Intubasi (LMA) : Oral
No. Tube : 7.0; balon; polos

7
c. Penyulit Intubasi :-
d. Penyulit Waktu Anestesi/Operasi :-
e. Lama Anestesi : 210 menit (3.5 jam)
f. Jumlah Cairan
Input : RL 500 ml
Output : Perdarahan ± 30 mL

Kebutuhan cairan pasien ini;


BB = 44 Kg
 Maintenance (M) = 2 cc/kgBB
= 2 cc x 44
= 88 cc
 Pengganti Puasa (P)
P = 6 x M Pasien puasa dari jam 02.00, operasi pukul 09.20 WIB
= 6 x 88 cc
= 528 cc
 Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (Operasi Ringan)
= 44 x 4 cc
= 176 cc
 EBV : 65 x bb
EBV : 65 x 44  2.860 cc
 EBL : 20% x EBV
EBL : 20% x 2.860 cc  572 cc

Kebutuhan cairan selama operasi


Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (528) + 88 + 176

8
= 528 cc
Jam II = ¼(P) + M + O
= ¼(528) + 88 + 176
= 476 cc

5. Pra Anestesi
 Penentuan status fisik ASA : 1 / 2 /3/4/5/E
 Mallampati :1
 Persiapan:
a. Pemberian Informed Consent
b. Puasa 6 jam sebelum operasi

6. Monitoring
TD awal : 80/50 mmHg, Nadi =70 x/menit, RR = 20x/menit
Jam (WIB) TD (mmHg) Nadi (x/menit) RR (x/menit)
09.20 110/80 90 20
09.35 110/85 74 18
09.50 105/85 74 22
10.05 105/80 80 20
10.20 100/70 76 20
10.35 100/70 76 18

9
10.50 160/100 104 24
11.05 100/75 80 20
11.20 105/80 80 20
11.35 100/70 76 18
11.50 100/80 84 20
12.05 90/70 84 22
12.20 90/70 84 22
12.35 100/70 80 20
12.50 110/70 76 18

7. Ruang Pemulihan
4. Masuk Jam : 13.00 WIB
5. Keadaan Umum : Kesadaran: CM, GCS: 15
6. Tanda vital : TD : 110/60 mmHg
Nadi : 78 x/menit
RR : 18x/menit
7. Pernafasan : Baik
8. Scoring Aldrete:
Aktivitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit : 2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10

Instruksi Post Operasi:


 Monitoring tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit selama 1 x 24 jam
 Tirah baring tanpa bantal sampai 1 x 24 jam

10
 Boleh makan dan minum setelah pasien sadar penuh dan bising usus (+)
 Instruksi lain dan terapi megikuti dr. Rudi Gunawan, Sp. OG (K)

11
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Anestesi Umum


4.1.1 Definisi
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum memiliki karakteristik
menyebabkan amnesia bagi pasien yang bersifat anterogard yaitu hilang ingatan
kedepan dimana pasien tidak akan bisa ingat apa yang telah terjadi saat dia
dianestesi/operasi, Karakteristik selanjutnya adalah reversible yang berarti anestesi
umum akan menyebabkan pasien bangun kembali tanpa efek samping.1,2

4.1.2 Komponen dalam Anestesi Umum


Dahulu dikenal istilah “Trias Anetesia” yaitu hipnosi, analgesia, dan arefleksia.
Namun, sekarang anestesi umum tidak hanya mempunyai tiga komponen itu saja.
Secara umum komponen yang ada dalam anestesi umum yaitu:3
1. Hipnosis (hilangnya kesadaran)
2. Analgesia (hilangnya nyeri)
3. Arefleksia (hilangnya refleks-refleks motorik tubuh, memungkinkan
imobilisasi pasien)
4. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi
trakeal
5. Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur)

4.1.3 Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum


Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah anestisia
umum. Semua teknik anastesia harus dapat sewaktu-waktu dikonversikan menjadi
anestesia umum.3
Keuntungan anestesia umum

12
a. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung.
b. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat ansietas
dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan trauma
psikologis.
c. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
d. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien. 1,2
Kerugian anestesia umum
a. Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi tumpul
dibawah anestesia umum.
b. Memerlukan pemantauan yang lebih holostik dan rumit.
c. Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.
d. Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
e. Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.1,2

4.1.4 Persiapan pra anestesi


Pasien yang akan menjalani operasi harus disiapkan dengan baik. Kunjungan
pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 2-1 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah
darurat sesingkat mungkin. Tujuan dari kunjungan pra anestesi ini yakni
mempersiapkan baik fisik maupun mental pasien, serta merencanakan teknik dan obat-
obatan apa saja yang digunakan.4
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak pasca bedah,
sehingga kita dapat merancang anestesia selanjutnya. Beberapa peneliti menganjurkan
obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya janga digunakan
ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu 3 bulan, suksinilkolin
yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok

13
sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya utnuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi
sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan
nafas dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alkohol
juga patut dicurigai akan adanya penyakit hepar.4
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh
pasien.4
Pemeriksaan Laboratorium
Sebaiknya tepat indikasi, sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai.
Pada usia pasien diatas 50 tahun dianjurkan pemeriksaan EKG dan foto thoraks.4
Kebugaran untuk Anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu
harus dihindari.4
Klasifikasi Status Fisik
Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society of Anesthesiologists
(ASA) yaitu:4
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa pembatasan
aktivitas.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.

14
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama pada pasien-
pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien
yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari
masukan oral selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa
umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis
sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1
jam sebelum induksi anestesi.4
Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, diantaranya:4
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan

4.1.5 Induksi anestesi


Induksi anesthesia adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehinggga memungkinkan dimulainya anesthesia dan
pembedahan.4,5
Persiapan pada anestesi meliputi kata STATICS

15
 Scope : laryngoscope dan stethoscope
 Tube : pipa trakea disesuaikan dengan ukuran pasien sesuai umur
 Airway : orothracheal airway, untuk menahan lidah pasien disaat pasien
tidak sadar, untuk menjaga agar lidah tidak menutupi jalan napas
 Tape : plaster untuk memfiksasi orothrakeal airway
 Introducer : mandarin atau silet dari kawat untuk memandu agar pipa trakea
mudah untuk di masukkan
 Conector : penyambung antara pipa dan alat anesthesia
 Suction : penyedot lendir
Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus
disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesia, pernapasan
pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi
cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Anestesi intravena selain untuk induksi
juga dapat digunakan untuk rumatan anestesi, tambahan pada analgesia regional atau
untuk membantu prosedur diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan profopol. Untuk
anestesia intravena total biasanya menggunakan profopol.4
Anestetik Inhalasi
Obat anestetik inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk
membantu pembedahan ialah N2O. Kemudian menyusul eter, kloroform, etil-klorida,
etilen, divinil-eter, siklosporin, triklor-etilen, iso-propenil-vinil-eter, propenil-metil-
eter, fluoroksan, etil-vinil-eter, halotan, metoksi-fluran, enfluran, isofluran, desfluran
dan sevofluran.4
Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek
klinik ialah N2O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Obat-obat lain
ditinggalkan karena efek samping yang tidak dikehendaki.

16
Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditetukan oleh sifat fisiknya:4
1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya
Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi akan
menurunkan ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam darah
adalahfaktor utama yang penting dalam menentukan kecepatan induksi dan
pemulihannya.Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut dan
lambat padayang larut.Kadar alveolus minimal ( KAM ) atau MAC (minimum alveolar
concentration) ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada tekanan satu
atmosfir yangdiperlukan untuk mencegah gerakan pada 50 % pasien yang dilakukan
insisi standar.Pada umumnya immobilisasi tercapai pada 95 % pasien, jika kadarnya
dinaikkan diatas30 % nilai KAM. Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial zat
anestetik dalam alveolisama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja
obat.4
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh:
1. Konsentrasi inspirasi. Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan
sudah penuh, makaambilan paru berhenti dan konsentrasi uap inpirasi sama
dengan alveoli. Halini dalam praktek tak pernah terjadi. Induksi makin cepat
kalau konsentrasi makin tinggi, asalkan tak terjadi depresi napas atau kejang
laring. Induksimakin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua).
2. Ventilasi alveolar. Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin
tinggi dan sebaliknya.
3. Koefisien darah/gas. Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah,
makin rendah konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.
4. Curah jantung atau aliran darah paru
Makin tinggi curah jantung makin cepat uap diambil
5. Hubungan ventilasi perfusi

17
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestetik. Jumlah
uapdalam mesin anestesi bukan merupakan gambaran yang sebenarnya,
karenasebagian uap tersebut hilang dalam tabung sirkuit anestesi atau ke
atmosfir sekitar sebelum mencapai pernafasan.4
Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh badan lewat paru.
Sebagianlagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450. Sisa
metabolismeyang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.4
N2O
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monooksida)
diperolehdengan memanaskan amonium nitrat sampai 240ºC. NH4NO3 --240 ºC ----
2H2O + N2O. N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi,
tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk cair
dalamsilinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50 atm.
Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini
bersifatanestetik lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga sering digunakan untuk
menguranginyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan
sendirian, tetapidikombinasi dengan salah satu cairan anestesi lain seperti halotan dan
sebagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar
mengisi alveoli,sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit.4
Halotan
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya yang
enak dan tidak merangsang jalan napas, maka sering digunakan sebagai induksi
anestesi kombinasi dengan N2O. Halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat
tua) supaya tidak dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%.4
Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan dierikan analgesi semprot
lidokain 4% atau10% sekitar faring laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja,
umumnya laringoskop intubasi dapat dikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot

18
cukup baik. Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada napas
kendalisektar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien.
Halotanmenyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang
sulitdikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk
bedah otak.4
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis,
depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Kebalikan dari N2O,
halotananalgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal
sepanjangtidak ada indikasi kontra. Kombinasi dengan adrenalin sering menyebabkan
disritmia, sehingga penggunaan adrenalin harus dibatasi. Adrenalin dianjurkan dengan
pengenceran1:200.000 (5 µg/kg).Pada bedah sesar, halotan dibatasi maksimal 1 vol%,
karena relaksasi uterusakan menimbulkan perdarahan. Halotan menghambat pelepasan
insulin, meninggikan kadar gula darah. Kira-kira 20% halotan dimetabolisir terutama
di hepar secara oksidatif menjadikomponen bromin, klorin, dan asam trikloro asetat.
Secara reduktif menjadi komponenfluorida dan produk non-volatil yang dikeluarkan
lewat urin. Metabolisme reduktif inimenyebabkan hepar kerja keras, sehingga
merupakan indikasi kontra pada penderita gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam
waktu kurang tiga bulan atau pasienkegemukan. Pasca pemberian halotan sering
menyebabkan pasien menggigil.4
Enfluran
Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat populer
setelahada kecuriagan gangguan fungsi hepar oleh halotan pada pengguanan berulang.
PadaEEG menunjukkan tanda-tanda epileptik, apalagi disertai hipokapnia, karena itu
hindari penggunaannya pada pasien dengan riwayat epilepsi, walaupun ada yang
beranggapan bukan indikasi kontra untuk dpakai pada kasus dengan riwayat epilepsi.
Kombinasidengan adrenalin lebih aman 3 kali dibanding halotan. Enfluran yang
dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk non-volatil yang dikeluarkan
lewat urin. Ssisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli.Induksi dan pulih dari
anestesia lebih cepat dibanding halotan. Vasodlatasi serebralantara halotan dan

19
isofluran. Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih
iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan,
depresilebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih
baik dibanding halotan.4
Isofluran
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis
anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapimeninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran darah
otak dan tekanan intrakranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi,
sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung
dan curah jantung minimal, sehingga digemariuntuk anestesi teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada pasien dengan gangguankoroner. Isofluran dengan konsentrasi
> 1% terhadap uterus hamil menyebabkanrelaksasi dan kurang responsif jika
diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapatmenyebabkan perdarahan pasca
persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangisampai 1/3 dosis biasa jika
menggunakan isofluran.4
Desfluran
Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan
efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan
dengananestetik volatil lainnya, sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC-
6). Titik didihnya mendekati suhu ruangan (23.5ºC). potensinya rendah (MAC 6.0%).
Ia bersifatsimpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi. Efek depres
napasnya sepertiisofluran dan etran. Desfluran merangsang jalan napas atas, sehingga
tidak digunakanuntuk induksi anestesia.4
Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari
anestesilebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disampinghalotan.Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang mnyebabkan

20
aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik
terhadaphepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh
badan.Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime), tetapi belum ada
laporan membahayakan terhadap tubuh manusia.4

4.1.6 Rumatan anestesi


Rumatan anastesia dapat dikerjakan secara intravena atau dengan inhalasi atau
dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anastesia biasanya mengacu pada trias
anastesia yaitu hipnosis, analgesia cukup, dan selama dibedah pasien tidak
menimbulkna nyeri, dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan inhalasi biasanya
menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran
2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien
bernapas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled).4

4.1.7 Pengakhiran Anestesi Umum


Pemulihan dari anestesi umum ataupun regional adalah saat terjadinya stress
fisiologis yang besar bagi banyak pasien. Pengakhiran anestesi umum idealnya
haruslah mulus dan bangun secara bertahap dalam suasana yang terkendalli.
Sayangnya, seringkali bermula di kamar operasi atau selama perjalanan ke ruang
pemulihan dan sering ditandai oleh obstruksi jalan nafas, menggigil, agitasi, delirium,
nyeri, mual dan muntah, hipotermia, dan labilitas otonom. Bahkan pasien yang
mendapat anestesi spinal atau epidural dapat menunjukkkan penurunan tekanan darah
yang nyata selama perjalanan atau pemulihan; efek simpatolitik blok regional
mencegah refleks vasokonstriksi kompensasi saat pasien dipindahkan atau saat duduk.4
Setelah anestesi berbasis inhalasi, kecepatan pengakhiran berbanding lurus
terhaddap ventilasi alveolus tetapi berbanding terbalik terhadap kelarutan gas dalam
darah. Bila durasi anesthesia meningkat, pengakhiran juga semakin bergantung kepada
ambilan jaringan total, yakni fungsi kelarutan gas, rata-rata konsentrasi yang dipakai,
dan lamanya terpapar anestesi. Pemulihan lebih cepat dengan desflurane dan nitro

21
oksida dan lebih lambat bila anestesi dalam dengan halothane dan enflurane.
Hipoventilasi memperlambat pengakhiran anestesi inhalasi.4
Pengakhiran anestesi intravena bergantung pada farmakokinetiknya.
Pemulihan dari kebanyakan obat anestesi intravena lebih bergantung pada redistribusi
daripada waktu paruh eliminasinya. Bila total dosis yang diberikan meningkat, efek
kumulatif tampak dalam akhir anestesi yang berkepanjangan; akhir kerja menjadi lebih
bergantung pada eliminasi atau waktu paruh metabolik. Dalam kondisi seperti ini, usia
tua atau penyakit renal atau hati dapat memperpanjang pengakhiran (lihat Bab 8).
Penggunaan obat-obat anestetik kerja singkat dan sangat singkat seperti propofol dan
remifentanil secara nyata memperpendek pengakhiran, waktu untuk bangun, dan
pengeluaran pasien. Terlebih lagi, penggunaan Bispectral Index Scale (BIS) (dan
mungkin juga patient state index [PSI]) mengurangi dosis obat total dan
memperpendek pemulihan dan waktu untuk memindahkan pasien. Penggunaan LMA
dapat juga membolehkan level anesthesia yang lebih dangkal yang dapat mempercepat
pengakhiran.4
Kecepatan pengakhiran juga dipengaruhi oleh obat-obat pra bedah.
Premedikasi dengan obat-obat yang waktu kerjanya lebih lama daripada prosedur
mungkin menyebabkan pengakhiran yang berkepanjangan. Durasi pendek midazolam
membuatnya cocok untuk obat premedikasi untuk prosedur yang singkat. Efek obat
tidur pra bedah atau minum obat (alkohol, sedatif) dapat menambah efek zat-zat
anestetik dan memperpanjang pengakhiran.4

Pengakhiran Tertunda
Penyebab tersering pengakhiran tertunda (apabila pasien tidak menjadi sadar
dalam 30-60 menit setelah anestesi umum) adalah efek sisa zat anestetik, sedatif, dan
analgesia. Pengakhiran tertunda dapat terjadi sebagai akibat overdosis obat absolut atau
relatif atau potensiasi zat-zat anestetik oleh pemakaian obat sebelumnya (alkohol).
Pemberian nalokson (0,04 mg setiap kali) dan flumazenil (0,2 mg setiap kali) dapat
menghilangkan efek opioid dan benzodiazepin. Fisostigmin 1-2 mg dapat mengatasi

22
efek zat-zat lain secara parsial. Stimulator saraf dapat dipakai untuk menghilangkan
blokade neuromuskular yang nyata pada pasien yang mendapat ventilasi mekanik yang
bernafas dengan volume tidal yang tidak adekuat.4
Penyebab lain pengakhiran tertunda yang lebih jarang di antaranya hipotermia,
gangguan metabolik yang bermakna, dan stroke perioperatif. Suhu tubuh kurang dari
33oC memberikan efek anestetik dan berpotensiasi sangat besar dengan efek obat-obat
yang mendepresi susunan saraf pusat. Alat penghangat udara adalah yang paling efektif
menaikkan suhu tubuh. Hipoksemia dan hiperkarbia dapat dikenali dari analisis gas
darah. Hiperkalsemia, hipermagnesemia, hiponatremia, dan hipoglikemia adalah
penyebab-penyebab yang jarang, yang membutuhkan pemeriksaan laboratorium untuk
mendiagnosisnya. Stroke periopoeratif jarang terjadi kecuali setelah pembedahan
neurologis, jantung, dan serebrovaskuler, untuk diagnosisnya perlu konsultasi
neurologis dan pemeriksaan radiologis.4

4.1.7 Oral dan Nasal Airway


Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan dari otot
genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh
kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust
merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan jalan nafas. Untuk
mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway) dapat
dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara antara
lidah dengan dinding faring bagian posterior (Gambar 5-4). Pasien yang sadar atau
dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan
nafas artifisial bila refleks laring masih intact. Pemasangan oral airway kadang-
kadang difasilitasi dengan penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan
menekan lidah dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80
mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5).5

23
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung
ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Disebabkan
adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi
antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway jangan digunakan pada
pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui hidung (nasal
airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal airway lebih
ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan anestesi ringan.5
Face Mask Design dan Teknik
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas anestesi
dari sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat (gambar
5-5). Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Orifisium
face mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui konektor. Tersedia
berbagai disain face mask. Face mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas
ekspirasi dan muntahan. Facemask yang dibuat dari karet berwarna hitam cukup lunak
untuk menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum. Retaining hook dipakai
untuk mengkaitkan head scrap sehingga face mask tidak perlu terus dipegang.
Beberapa macam mask untuk pediatrik di disain untuk mengurangi dead space.5
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face mask yang
rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat menyebabkan
reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan adanya
kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang tinggi

24
dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal menunjukkan adanya
obstruksi jalan nafas.5

Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk
melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag. Face mask
dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu jari dan
telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi joint
atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak
yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari kelingking
ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan untuk jaw thrust manuver yang paling
penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.5
Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust
yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang asisten untuk
memompa bag (gambar 5-8). Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena
tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw thrust. Kadang-kadang sulit
memasang face maks rapat kemuka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya (tapi tidak
dianjurkan) atau memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat
menolong mengatasi kesulitan ini. Ventilasi tekanan normalnya jangan melebihi 20
cm H2O untuk mencegah masuknya udara ke lambung.5
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan oral
atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat menimbulkan
cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Disebabkan tidak

25
adanya tekanan positif pada jalan nafas selama nafas spontan, hanya diperlukan
tekanan minimal pada face mask supaya tidak bocor. Bila face mask dan ikatan mask
digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering dirubah untuk menghindari
cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata harus diplester untuk menghindari resiko
aberasi kornea.5
Teknik dan Bentuk Laryngeal Mask Airway (LMA)
Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan
TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT pada
pasien dengan difficult airway, dan untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy
fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan istimewa dalam
menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe
LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat
dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa
nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang
dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit. 5
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm, dan
dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa.
Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara membuta ke
hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara
laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk
memasukan oral airway. Walaupun pemasangannya relatif mudah (gambar 5-9),
perhatian yang detil akan memperbaiki keberhasilan. (tabel 5-2). Posisi ideal dari balon
adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan spincter oesopagus
bagian atas di inferior.5

26
Jika esophagus terletak di rim balon, distensi lambung atau regurgitasi masih
mungkin terjadi. Variasi anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa
pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba
memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang
ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung
balon merupakan penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan
penglihatan secara langsung dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB)
menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian balon digembungkan
sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester seperti halnya TT. LMA
melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap regurgitasi lambung) dan
LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai reflek jalan nafas pasien pulih
kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk atau membuka mulut sesuai dengan
perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon
(bebas latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran (tabel 5-3).5

27
Esophageal – Tracheal Combitube (ETC)
Teknik & Bentuk Pipa
Pipa kombinasi esophagus – tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa,
masing-masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang lebih
panjang ujung distalnya ditutup. Pipa yang transparant berukuran yang lebih pendek
punya ujung distal terbuka dan tidak ada sisi yang perporasi. ETC ini biasanya
dipasangkan secara buta melalui mulut dan dimasukkan sampai 2 lingkaran hitam pada
batang batas antara gigi atas dan bawah. ETC mempunyai 2 balon untuk
digembungkan, 100 ml untuk balon proksimal dan 15 ml untuk balon distal, keduanya
harus dikembungkan secara penuh setelah pemasangan. Pipa yang bening yang lebih
pendek dapat digunakan untuk dekompresi lambung. Pilihan lain, jika ETC masuk ke
dalam trakhea, ventilasi melalui pipa yang bening akan langsung gas ke trachea.
Meskipun pipa kombinasi masih terdaftar sebagai pilihan untuk penanganan jalan nafas
yang sulit dalam algoritma Advanced Cardiac Life Support, biasanya jarang digunakan
oleh dokter anestesi yang lebih suka memakai LMA atau alat lain untuk penanganan
pasien dengan jalan nafas yang sulit.5
Pipa Trakea (TT)
TT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trakea dan
mengijinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan standar TT
(American National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). TT kebanyakan
terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, TT diberi tanda “IT” atau “Z-79” untuk
indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun. Bentuk dan kekakuan dari
TT dapat dirubah dengan pemasangan mandren. Ujung pipa diruncingkan untuk
membantu penglihatan dan pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy memiliki
sebuah lubang (mata Murphy) untuk mengurangi resiko sumbatan pada bagian distal
tube bila menempel dengan carina atau trakea.5
Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga
dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran TT biasanya dipola dalam
milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam skala Prancis (diameter

28
external dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa selalu hasil kompromi
antara memaksimalkan aliran dengan pipa ukuran besar dan meminimalkan trauma
jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.5

Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri dari


katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon (cuff).
Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk
memberikan petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube
dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakea yang rapat, balon TT mengijinkan
dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan aspirasi. Pipa
yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk meminimalkan resiko
dari cedera karena tekanan dan post intubasi croup.5
Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan
tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya
iskhemia mukosa trachea dan kurang nyaman untuk intubasi pada waktu lama. Balon
tekanan rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas area kontak
mukosa), aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit ( karena adanya
floppy cuff). Meskipun demikian, karena insidensi rendah dari kerusakan mukosa,
balon tekanan rendah lebih dianjurkan.

29
Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan,
diameter balon yang berhubungan dengan trakea, trakea dan komplians balon, dan
tekanan intratorak (tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan balon
dapat menaik selama anetesi umum sebagai hasil dari difusi dari N2O dari mukosa
trakeal ke balon TT.5
TT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang lentur,
spiral, wire – reinforced TT (armored tubes), TT tidak kinking dipakai pada operasi
kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis baja menjadi
kinking akibat tekanan yang ekstrim ( contoh pasien bangun dan menggigit pipa),
lumen pipa akan tetutup dan pipa TT harus diganti. Pipa khusus lainnya termasuk pipa
mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang pipa ganda (double lumen tube). Semua TT
memiliki garis yang dilekatkan dan bersifat radio opak yang mengijinkan dapat
dilihatnya ETT pada trakea.5
Rigid Laryngoscope
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas
intubasi trakea. Handle biasanya berisi baterai untuk cahaya bola lampu pada ujung
blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari
bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.5

30
Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang
MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan
dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena
tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli dengan
bentuk blade yang beragam.5

Teknik Laringoskopi dan Intubasi


Indikasi Intubasi

31
Pamasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi umum.
Intubasi bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua pasien dengan
anestesi umum memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang untuk proteksi, dan untuk
akses jalan nafas. Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki
resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala dan
leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk prosedur
operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan hernia
inguinal dan lain lan.5
Persiapan Untuk Rigid Laringoskopi
Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi pasien.
TT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat ditest dengan menggembungkan
balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan balon menjamin balon
tidak mengalami kebocoran dan katup berfungsi. Beberapa dokter anestesi memotong
TT untuk mengurangi panjangnya dengan tujuan untuk mengurangi resiko dari intubasi
bronkial atau sumbatan akibat dari pipa kinking. Konektor harus ditekan sedalam
mungkin untuk menurunkan kemungkinan terlepas, jika mandren digunakan ini harus
dimasukan ke dalam TT dan ini ditekuk menyerupai stik hoki. Bentuk ini untuk intubasi
dengan posisi laring ke anterior. Blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan
bola lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap walaupun bola
lampu bergoyang. Sinyal cahaya yang berkedap kedip karena lemahnya hubungan
listrik, perlu diingat untuk mengganti baterai. Extra blade, handle, TT ( 1 ukuran lebih
kecil atau lebih besar) dan mandren harus disediakan. Suction diperlukan untuk
membersihkan jalan nafas pada kasus dimana sekresi jalan nafas tidak diinginkan,
darah, atau muntah.5

32
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien
harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah
ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop
memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung untuk melihat
dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja
operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan pasien pada posisi sniffing
yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher adalah fleksi dengan menempatkan
kepala diatas bantal.5
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin.
Preoksigenasi dengan beberapa ( 4 dari total kapasitas paru paru) kali nafas dalam
dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak
mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien yang
akan di face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki jalan nafas
yang sulit. Setelah induksi anestesi umum, dokter anestesi menjadi pelindung pasien.
Karena anestesi umum menghilangkan reflek proteksi kornea, perlindungan harus
dilakukan selama periode ini, tidak boleh ada cedera pada mata pasien dengan terjadi
abrasi kornea tanpa disengaja. Oleh karena itu mata rutin direkat dengan plester,
walaupun telah diberi petrolum atau salep mata.5

33
Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar,
blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari
gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade.
Ujung dari blade melengkung dimasukkan ke valekula, dan ujung blade lurus menutupi
epiglotis. Handle diangkat menjauhi pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien
untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade serta
pengungkitan dari gigi harus dihindari. TT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya
dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon TT harus berada dalam
trakea bagian atas tapi dibawah laring. Langingoskop ditarik dengan hati-hati untuk
menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang
dibutuhkan agar tidak ada kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk
meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakea. Merasakan pilot
balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang
adekuat.5

34
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan
capnograf dimonitor untuk memastikan TT ada di intratrakeal. Jika ada keragu-raguan
tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakea, cabut lagi TT dan ventilasi pasien
dengan face mask. Sebaliknya, jika sudah yakin, pipa dapat diplester atau diikat untuk
mengamankan posisi. Walaupun deteksi kadar CO2 dengan capnograf merupakan
konfirmasi terbaik untuk menentukan letak TT di trakea, kita tetap tidak dapat
mengabaikan terjadinya intubasi bronkial. Manifestasi dini dari intubasi bronkial
adalah peningkatan tekanan respirasi puncak. Lokasi pipa yang tepat dapat
dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot balon
dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago krikoid, karena lokasi
intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post operasi dan
meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan
radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.5

35
Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar. Intubasi lewat mulut
ini biasanya kurang ditoleran pada pasien yang sadar. Jika perlu, dalam kasus terakhir,
sedasi intravena, penggunaan lokal anestetik spray dalam orofaring, regional blok saraf
akan memperbaiki penerimaan pasien.5

36
Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan intubasi kembali karena
hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan,
seperti mengatur kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa, pemasangan mandrin,
memilih blade yang berbeda, mencoba lewat hidung atau meminta bantuan dokter
anestesi lainnya. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan face mask, pilihan
pengelolaan jalan nafas yang lain (contoh LMA, combitube, krikotirotomi dengan jet
ventilasi, trakeostomi). Petunjuk yang dikembangkan oleh ASA untuk penanganan
jalan nafas yang sulit, termasuk algoritma rencana terapi.5
Teknik Ekstubasi
Menentukan saat yang tepat untuk mencabut TT merupakan sebuah seni pada
anestesiolog, yang berjalan sesuai dengan pengalaman. Hal ini merupakan bagian yang
sangat penting karena komplikasi sering terjadi selama dan segera setelah ekstubasi
dibandingkan dengan intubasi. Secara umum, ekstubasi terbaik dilakukan ketika pasien
sedang teranestesi dalam atau bangun. Pasien juga harus pulih sepenuhnya dari
pengaruh obat pelemas otot pada saat sebelum ekstubasi. Jika pelemas otot digunakan,
pernapasan pasien akan menggunakan ventilasi mekanik terkontrol, maka dari itu
pasien harus dilepaskan dari ventilator sebelum ekstubasi. Ekstubasi selama anestesi

37
ringan (masa antara anestesi dalam dan bangun) harus dihindari karena meningkatnya
risiko laringospasme. Perbedaan antara anestesi dalam dan ringan biasanya terlihat saat
suction/ penyedotan sekret faring : adanya reaksi pada penyedotan (tahan napas, batuk)
menandakan anestesia ringan, dimana jika tidak ada reaksi menandakan anestesia
dalam. Pasien membuka mata atau bergerak yang bertujuan menandakan pasien sudah
bangun.5
Mengekstubasi pasien yang sudah bangun biasanya berhubungan dengan batuk
pada TT. Reaksi ini meningkatkan denyut nadi, tekanan vena sentral, tekanan darah
arteri, tekanan intrakranial, dan tekanan intraokular. Hal ini juga dapat menyebabkan
dehisensi luka dan perdarahan. Adanya TT pada pasien asma yang sudah sadar dapat
memicu bronkospasme. Meskipun konsekuensi ini dapat diturunkan dengan
premedikasi 1,5 mg/kg lidokain intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi,
ekstubasi saat anestesia dalam lebih dianjurkan pada pasien yang tidak dapat mentolerir
hal ini. Ekstubasi menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki risiko aspirasi atau
yang jalan napasnya sulit untuk dikontrol setelah pencabutan TT. Selain kapan TT
dicabut, yakni ketika pasien teranestesi dalam atau sudah sadar, faring pasien juga
sebaiknya disuction terlebih dahulu sebelum ekstubasi untuk mengurangi risiko
aspirasi atau laringospasme. Pasien juga harus diventilasi dengan 100% oksigen
sebagai cadangan apabila sewaktu-waktu terjadi kesulitan untuk mengontrol jalan
napas setelah TT dicabut. Sesaat sebelum ekstubasi, TT dilepas dari plester dan balon
dikempiskan. Pemberian sedikit tekanan positif pada jalan napas pada kantong
anestesia yang dihubungkan dengan TT dapat membantu meniup sekret yang
terkumpul pada ujung balon supaya ke luar ke arah atas, menuju faring, yang kemudian
dapat disuction. Pencabutan TT pada saat akhir ekspirasi atau akhir inspirasi mungkin
tidak terlalu penting. TT dicabut dengan satu gerakan yang halus, dan sungkup wajah
biasanya digunakan untuk menghantarkan oksigen 100% sampai pasien menjadi cukup
stabil untuk diantar ke ruang pemulihan. Pada beberapa institusi, oksigen dengan
sungkup wajah dipertahankan selama pengantaran pasien.5

38
Komplikasi Laringoskopi dan Intubasi
Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia, trauma
gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau malfungsi ETT.
Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi selama laringoskopi atau intubasi, saat ETT
dimasukkan, dan setelah ekstubasi.5
Trauma Jalan Napas
Instrumentasi blade laringoskop berbahan metal dan insersi TT yang kaku
sering menyebabkan trauma pada selaput saluran napas. Meskipun trauma gigi ialah
malpraktik terbanyak yang diklaim terhadap anestesiologis, laringoskopi dan intubasi
dapat menyebabkan berbagai komplikasi, mulai dari sakit tenggorokan sampai stenosis
trakea. Hal ini paling banyak disebabkan karena terlalu lamanya tekanan eksternal pada
struktur saluran napas yang sensitif. Ketika tekanan TT melebihi tekanan arteriolar-
kapiler (kurang lebih 30 mmHg), iskemia jaringan dapat mengakibatkan inflamasi,
ulserasi, granulasi, dan stenosis. Pengembangan balon TT pada tekanan minimum yang
membentuk segel selama ventilasi tekanan positif (biasanya minimal 20 mmHg),
mengurangi aliran darah trakea sampai 75% pada trakea bagian balon.5
Croup post intubasi, disebabkan oleh edema glotis, laring, trakea, merupakan
komplikasi yang serius pada anak-anak. Efektivitas kortikosteroid (deksametason 0,2
mg/kg, maksimum 12 mg) dalam mencegah edema jalan napas post ekstubasi masih
menjadi kontroversi ; namun daripada itu, kortiokosteroid telah diuji coba memang
efektif pada anak dengan cropu akibat penyebab lain. Paralisis pita suara akibat
kompresi balon atau trauma lain pada saraf rekuren laringeal, dapat menyebabkan serak
dan meningkatnya risiko aspirasi. Beberapa komplikasi ini dapat dicegah dengan
menggunakan bentuk TT jenis tertentu untuk menyesuaikan anatomi jalan napas
(contohnya, Lindholm Anatomial Tracheal Tube). Insidensi serak post operasi
meningkat dengan adanya obesitas, intubasi sulit, dan durasi lama obat anestesi.
Menaruh lubrikan yang larut air atau anestesi mengandung gel pada ujung atau balon
TT tidak menurunkan insidens sakit tenggorokan atau serak post operasi. TT yang lebih
kecil (ukuran 6,5 pada wanita dan ukuran 7,0 pada laki-laki) berhubungan dengan

39
keluhan sakit teinggorokan post operasi yang lebih sedikit. Penempatan laringoskopi
yang berulang selamaa intubasi yang sulit dapat memicu terjadinya edema periglotik
dan kesulitan untuk ventilasi dengan face mask, yang dapat menimbulkan situasi buruk
yang menyebabkan kematian.5

Kesalahan Posisi TT
Intubasi pada esofagus dapat menyebabkan hasil katastropik. Pencegahan
komplikasi ini tergantung pada visualisasi langsung pada ujung TT yang melewati pita
suara, auskultasi yang cermat akan adanya suara napas bilateral dan tidak adanya
gurgling lambung saat ventilasi dengan TT, analisis gas ekspirasi untuk menilai adanya
CO2 (metode paling reliabel), rontgen dada, atau penggunaan FOB.5
Meskipun telah dipastikan bahwa TT terdapat pada trakea, belum tentu dalam
posisi yang tepat. Insersi berlebihan biasanya mengakibatkan intubasi yang masuk ke
bronkus kanan, karena sudut yang lebih lurus pada trakea kanan. Tanda yang
menunjukkan bahwa intubasi mencapai bronkus, antara lain suara napas unilateral,
hipoksia tidak terduga dengan pulse oksimetri (tidak reliabel dengan konsentrasi
oksigen terinspirasi yang tinggi), tidak dapat mempalpasi balon TT pada sternal notch
selama inflasi balon, dan menurunnya komplian balon-napas (tekanan inspiratori
tinggi).5

40
Sebaliknya, kedalaman yang tidak adekuat akan membuat posisi balon pada
laring, yang menyebabkan trauma laring pada pasien. Kedalaman inadekuat dapat
dideteksi dengan mempalpasi balon diatas kartilago tiroid. Karena tidak ada teknik
yang dapat mencegah semua kemungkinan seperti kesalahan tempat masuknya TT, tes
seperti auskultasi dada, kapnografi rutin, dan palpasi balon, minimal harus dilakukan.
Jika pasien direposisi, penempatan TT harus dikonfirmasi ulang. Ekstensi leher atau
rotasi lateral memindahkan TT jauh dari karina, dimana fleksi leher dapat mengubah
posisi TT menuju karina.5
Respon Fisiologis pada Instrumentasi Jalan Napas
Laringoskopi dan intubasi trakea mengganggu refleks protektif jalan napas dan
mencetuskan hipertensi dan takikardia. Insersi LMA menimbulkan lebih sedikit
perubahan hemodinamik. Perubahan hemodinamik ini dapat dikurangi dengan
administrasi obat intravena – lidokain (1,5 mg/kg) 1-2 menit, remifentanil (1,0
mikrogram/kg) 1 menit, alfentanil (10-20 mikrogram/kg) 2-3 menit, atau fentanil (0,5-
1,0 mikrogram/kg) 4-5 menit sebelum laringoskopi. Agen hipotensi, termasuk sodium
nitroprusid, nitrogliserin, hidralazin, beta bloker, dan kalsium channel bloker, dapat
mengurangi respon hipertensi yang berhubungan dengan laringoskopi dan intubasi
secara efektif. Disritmia jantung –terutama bigeminus ventrikular- tidak sering terjadi
selama intubasi dan biasanya mengindikasikan anestesia ringan.5
Laringospasme ialah spasme involunter pada otot laring yang disebabkan oleh
stimulasi sensori pada saraf laringeal superior. Hal-hal yang mencetuskan termasuk
sekresi faringeal atau memasukkan TT melewati laring selama ekstubasi.
Laringospasme biasanya dicegah dengan ekstubasi pasien dalam keadaan tidur dalam
atau bangun sepenuhnya, meski dapat juga terjadi, meskipun jarang pada pasien yang
sadar. Pengobatan laringospasme yaitu melakukan ventilasi tekanan positif dengan
kantong dan masker anestesi menggunakan 100% oksigen atau penambahan lidokain
intravena (1-1,5 mg/kg). Jika laringospasme menetap dan terjadi hipoksia,
suksinilkolin (0,25-1 mg/kg {biasa menggunakan dosis yang lebih rendah}) harus
diberikan untuk merelaksasi otot laring dan dapat terjadi ventilasi terkontrol. Tekanan

41
intratorak negatif yang besar oleh usaha pasien selama laringospasme dapat
menyebabkan terjadinya edema pulmo tekanan negatif, bahkan pada dewasa muda
yang sehat.5
Dimana laringospasme menunjukkan adanya refleks kesensitivan yang
abnormal, aspirasi dapat terjadi akibat depresi refleks laring saat intubasi dan anestesia
umum. Bronkospasme merupakan respon refleks lainnya dari intubasi dan paling
sering terjadi pada pasien asma. Bronkospasme dapat menunjukkan adanya intubasi
bronkus. Efek patofisiologis lainnya termasuk meningkatnya tekanan intrakranial dan
intraokular.5
Malfungsi TT
TT tidak selalu dapat berfungsi sebagaimana mestinnya. Kerusakan katup atau
balon sering terjadi dan harus dieksklusi sebelum intubasi. Obstruksi TT dapat terjadi
dari kinking, aspirasi benda asing, atau dari sekresi kental pada lumen.5

4.2 MIOMA UTERI


Definisi
Mioma uteri adalah tumor jinak miometrium uterus dengan konsistensi padat
kenyal, batas jelas, mempunyai pseudo kapsul, tidak nyeri, bisa soliter atau multipel.
Tumor ini juga dikenal dengan istilah fibromioma uteri, leiomioma uteri, atau uterine
fibroid. Mioma uteri bukanlah suatu keganasan dan tidak juga berhubungan dengan
keganasan.6

Klasifikasi Mioma Uteri


Klasifikasi mioma dapat berdasarkan lokasi dan lapisan uterus yang terkena6,7.
1. Lokasi
a. Cervical (2,6%) umumnya tumbuh ke arah vagina menyebabkan infeksi
b. Isthmica (7,2%) lebih sering menyebabkan nyeri dan gangguan traktus urinarius
c. Corporal (91%) merupakan lokasi paling lazim dan seringkali tanpa gejala

42
2. Lapisan Uterus

Gambar 2.1. Jenis-jenis Mioma Uteri


Mioma uteri pada daerah korpus, sesuai dengan lokasi dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:8
a. Mioma Uteri Submukosa
Mioma submukosa dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian
dilahirkan melalui saluran serviks disebut mioma geburt. Hal ini dapat
menyebabkan dismenore, namun ketika telah dikeluarkan dari serviks dan menjadi
nekrotik, akan memberikan gejala pelepasan darah yang tidak regular dan dapat
disalahartikan dengan kanker serviks.
Dari sudut klinik mioma uteri submukosa mempunyai arti yang lebih penting
dibandingkan dengan jenis yang lain. Pada mioma uteri subserosa ataupun
intramural walaupun ditemukan cukup besar tetapi sering kali memberikan keluhan
yang tidak berarti. Sebaliknya pada jenis submukosa walaupun hanya kecil selalu
memberikan keluhan perdarahan melalui vagina. Perdarahan sulit untuk dihentikan
sehingga sebagai terapinya dilakukan histerektomi.

43
Gambar 2.2 Gambaran USG mioma submukosa, tampak gambaran
massa hipoekhoik yang menekan endometrial line

b. Mioma Uteri Subserosa


Lokasi tumor di subserosa korpus uteri dapat hanya sebagai tonjolan saja, dapat
pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan uterus melalui tangkai.
Pertumbuhan ke arah lateral dapat berada di dalam ligamentum latum dan disebut
sebagai mioma intraligamenter. Mioma yang cukup besar akan mengisi rongga
peritoneal sebagai suatu massa. Perlengketan dengan usus, omentum atau
mesenterium di sekitarnya menyebabkan sistem peredaran darah diambil alih dari
tangkai ke omentum. Akibatnya tangkai makin mengecil dan terputus, sehingga
mioma akan terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam rongga
peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai jenis parasitik8.

Gambar 2.3 Gambaran USG mioma subserosa

c. Mioma Uteri Intramural


Disebut juga sebagai mioma intraepitelial. Biasanya multipel apabila masih
kecil tidak merubah bentuk uterus, tetapi bila besar akan menyebabkan uterus
berbenjol-benjol, uterus bertambah besar dan berubah bentuknya. Mioma sering
tidak memberikan gejala klinis yang berarti kecuali rasa tidak enak karena adanya
massa tumor di daerah perut sebelah bawah. Kadang kala tumor tumbuh sebagai

44
mioma subserosa dan kadang-kadang sebagai mioma submukosa. Di dalam otot
rahim dapat besar, padat (jaringan ikat dominan), lunak (jaringan otot rahim
dominan).8
Secara makroskopis terlihat uterus berbenjol-benjol dengan permukaan halus.
Pada potongan, tampak tumor berwarna putih dengan struktur mirip potongan
daging ikan. Tumor berbatas tegas dan berbeda dengan miometrium yang sehat,
sehingga tumor mudah dilepaskan. Konsistensi kenyal, bila terjadi degenerasi kistik
maka konsistensi menjadi lunak. Bila terjadi kalsifikasi maka konsistensi menjadi
keras. Secara histologik tumor ditandai oleh gambaran kelompok otot polos yang
membentuk pusaran, meniru gambaran kelompok sel otot polos miometrium. Fokus
fibrosis, kalsifikasi, nekrosis iskemik dari sel yang mati. Setelah menopause, sel-sel
otot polos cenderung mengalami atrofi, ada kalanya diganti oleh jaringan ikat. Pada
mioma uteri dapat terjadi perubahan sekunder yang sebagian besar bersifat
degenerasi. Perubahan ini sekunder dari atropi postmenopausal, infeksi, perubahan
dalam sirkulasi atau transformasi maligna8.

Gambar 2.4 Gambaran USG mioma intramural

Epidemiologi
Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun
mempunyai sarang mioma, pada wanita yang berkulit hitam ditemukan lebih banyak.
Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarke, sedangkan setelah
menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh. Diperkirakan insiden
mioma uteri sekitar 20 – 30% dari seluruh wanita. Di Indonesia mioma uteri ditemukan

45
pada 2,39 – 11,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat. Tumor ini paling
sering ditemukan pada wanita umur 35 – 45 tahun (kurang lebih 25%) dan jarang pada
wanita 20 tahun dan wanita post menopause. Wanita yang sering melahirkan akan lebih
sedikit kemungkinan untuk berkembangnya mioma ini dibandingkan dengan wanita
yang tak pernah hamil atau hanya 1 kali hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri
berkembang pada wanita yang tak pernah hamil atau hanya hamil 1 kali. Prevalensi
meningkat apabila ditemukan riwayat keluarga, ras, kegemukan dan nullipara6,7

Faktor Risiko
a. Usia penderita
Mioma uteri jarang ditemukan sebelum menarche (sebelum mendapatkan haid).
Paling banyak mioma uteri ditemukan pada wanita berumur 35-45 tahun, jarang
sekali pada wanita berumur 20 tahun. Sedangkan pada wanita menopause mioma
uteri ditemukan sebesar 10%.
b. Hormon endogen (Endogenous Hormonal)
Mioma uteri sangat sedikit ditemukan pada spesimen yang diambil dari hasil
histerektomi wanita yang telah menopause, diterangkan bahwa hormon esterogen
endogen pada wanita-wanita menopause pada level yang rendah/ sedikit. Otubu
et al menemukan bahwa konsentrasi estrogen pada jaringan mioma uteri lebih
tinggi dibandingkan jaringan miometrium normal terutama pada fase proliferasi
dari siklus menstruasi
c. Riwayat Keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma uteri
mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan dengan
wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri. Penderita mioma yang
mempunyai riwayat keluarga penderita mioma mempunyai 2 (dua) kali lipat
kekuatan ekspresi dari VEGF-α (a mioma-related growth factor) dibandingkan
dengan penderita mioma yang tidak mempunyai riwayat keluarga penderita mioma
uteri

46
d. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin
berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi esterogen oleh enzim
aromatease di jaringan lemak. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah esterogen
tubuh, dimana hal ini dapat menerangkan hubungannya dengan peningkatan
prevalensi dan pertumbuhan mioma uteri.
e. Makanan
Dari beberapa penelitian yang dilakukan menerangkan hubungan antara
makanan dengan prevalensi atau pertumbuhan mioma uteri. Dilaporkan bahwa
daging sapi, daging setengah matang (red meat), dan daging babi menigkatkan
insiden mioma uteri, namun sayuran hijau menurunkan insiden mioma uteri. Tidak
diketahui dengan pasti apakah vitamin, serat atau phytoestrogen berhubungan
dengan mioma uteri.
f. Kehamilan
Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah
dilakukan ditemukan sebesar 0,3%-7,2% selama kehamilan. Kehamilan dapat
mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar esterogen dalam kehamilan
dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus.9 Kedua keadaan ini ada kemungkinan
dapat mempercepat terjadinya pembesaran mioma uteri.10 Berdasarkan hasil
penelitian Lev-Toaff et-al (1987) didapatkan akibat mioma uteri pada kehamilan
adalah pertumbuhan mioma tidak dapat diramalkan, implantasi plasenta yang
tejadi pada mioma akan meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus, persalinan
prematur dan perdarahan postpartum, mioma yang multipel akan disertai dengan
peningkatan insiden malposisi janin dan persalinan prematur, degenerasi mioma
biasanya disertai dengan pola sonografik yang khas, frekuensi dilakukan tindakan
seksio sesarea semakin meningkat.
g. Kebiasaan merokok

47
Merokok dapat mengurangi insiden mioma uteri. Diterangkan dengan
penurunan bioaviabilitas esterogen dan penurunan konversi androgen menjadi
estrogen dengan penghambatan enzim aromatase oleh nikotin6,7.

Patogenesis
Meskipun mioma cukup umum ditemukan, tidak begitu banyak yang bergejala.
Timbulnya gejala tergantung terutama pada kombinasi ukuran, jumlah dan letak
mioma. Secara umum, pertumbuhan mioma merupakan akibat stimulasi estrogen, yang
ada hingga menopause. Seiring berjalannya waktu, mioma yang awalnya asimtomatik
dapat tumbuh dan menjadi bergejala. Sebaliknya, banyak mioma yang menyusut
seiring menopause dimana stimulasi estrogen menghilang dan banyak gejala yang
berkaitan dengan mioma hilang segera setelah menopause7.
Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell Nest atau teori genioblast.
Percobaan Lipschultz yang memberikan estrogen kepada kelinci percobaan ternyata
menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan maupun pada tempat lain dalam
abdomen. Efek fibromatosa ini dapat dicegah dengan pemberian preparat progesteron
atau testosteron. Puukka dan kawan-kawan menyatakan bahwa reseptor estrogen pada
mioma lebih banyak didapati daripada miometrium normal. Menurut Meyer asal
mioma adalah sel imatur, bukan dari selaput otot yang matur. Mioma merupakan
monoclonal dengan tiap tumor merupakan hasil dari penggandaan satu sel otot.
Etiologi yang diajukan termasuk di dalamnya perkembangan dari sel otot uterus atau
arteri pada uterus, dari transformasi metaplastik sel jaringan ikat, dan dari sel-sel
embrionik sisa yang persisten6,7.
Mioma umumnya digolongkan berdasarkan lokasi dan ke arah mana mereka
tumbuh. Mioma memiliki pseudokapsul yang berasal dari sel otot polos uterus yang
terkompresi dan hanya memiliki beberapa permbuluh darah dan pembuluh limfe.
Mioma intramural merupakan mioma yang paling banyak ditemukan. Jenis mioma ini
seluruhnya atau sebagian besar tumbuh di antara lapisan uterus yang paling tebal dan
paling tengah yaitu miometrium. Mioma subserosa tumbuh keluar dari lapisan tipis

48
uterus yang paling luar yaitu serosa. Jenis mioma ini dapat bertangkai (pedunculated)
atau memiliki dasar lebar. Jenis mioma ini perupakan kedua terbanyak ditemukan.
Jenis mioma ketiga yaitu mioma submukosa yang tumbuh dari dinding uterus paling
dalam sehingga menonjol ke dalam uterus. Jenis ini juga dapat bertangkai atau berdasar
lebar6,7.
Mioma submukosa dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian
dilahirkan melalui saluran serviks disebut mioma geburt. Hal ini dapaat menyebabkan
dismenore, namun ketika telah dikeluarkan dari serviks dan menjadi nekrotik, akan
memberikan gejala pelepasan darah yang tidak regular dan dapat disalah artikan
dengan kanker serviks. Peningkatan jumlah perdarahan menstrual pada penderita
mioma dihubungkan dengan: peningkatan luas permukaan endometrium dan produksi
prostaglandin6,7.

Manifestasi Klinis
Gejala klinis tergantung letak mioma, besarnya, perubahan sekunder dan
komplikasi. Hanya 35% - 50% penderita, mioma uteri yang menimbulkan gejala klinis.
Kebanyakan secara kebetulan pada saat pemeriksaan genekologi. Keluhan penderita
mioma uteri umumnya adalah3,7 :
a. Perdarahan uterus abnormal.
Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah hipermenore, metroragia
dan menoragia. Dijumpai pada sekitar 30% kasus. Beberapa faktor yang menjadi
penyebab perdarahan ini adalah:
 Permukaan endrometrium menjadi lebih luas.
 Disertai hiperplasia endometrium.
 Atrofi endometrium diatas mioma submukosum.
 Peningkatan vaskularisasi pada uterus.6,7
b. Rasa nyeri

49
Nyeri terjadi bila ada gangguan sirkulasi darah seperti pada degenerasi merah,
terjadi peradangan dan nekrosis setempat, juga dapat terjadi akibat putaran tangkai
mioma subserosum ataupun akibat kontraksi uterus dalam upaya mengeluarkan
mioma dari kavum uteri.6,7
c. Efek penekanan
Gangguan ini tergantung dari besarnya dan tempat mioma uteri dan gejala yang
dapat ditimbulkan berupa retensi urin dan obstipasi.6,7
d. Abortus Spontan dan infertilitas.
Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars
interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosum juga memudahkan terjadinya
abortus oleh katena distorsi rongga uterus. Apabila penyebab lain infertilitas sudah
disingkirkan, dan mioma merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka
merupakan suatu indikasi untuk dilakukan miomektomi. Mioma uteri yang
ditemukan pada wanita hamil, dapat mempengaruhi kehamilan misalnya
mempengaruhi letak janin; menghalangi kemajuan persalinan karena letaknya pada
servik uteri; menyebabkan inersia maupun atonia uteri, sehingga menyebabkan
perdarahan pasca persalinan karena adanya gangguan mekanik dalam fungsi
miometrium; menyebabkan plasenta sukar lepas dari dasarnya dan mengganggu
proses involusi dalam nifas. Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, adanya
kehamilan pada mioma uteri memerlukan pengamatan yang cermat6
Kehamilan sendiri dapat menimbulkan perubahan pada mioma uteri, antara
lain:
1. Tumor membesar terutama pada bulan-bulan pertama karena pengaruh estrogen
yang kadarnya meningkat.
2. Dapat terjadi degenerasi merah pada waktu hamil maupun masa nifas seperti
telah diutarakan di atas, yang kadang-kadang memerlukan pembedahan segera
guna mengangkat sarang mioma. Anehnya pengangkatan sarang mioma
demikian itu jarang menyebabkan banyak perdarahan.

50
3. Meskipun jarang, mioma uteri bertangkai dapat juga mengalami torsi dengan
gejala dan tanda sindrom abdomen akut.6,7

Diagnosis
Anamnesis, dapat ditemukan antara lain :
1. Timbul benjolan diperut bagian bawah dalam waktu relatif lama.
2. Kadang-kadang disertai gangguan haid
3. Nyeri perut bila terinfeksi, terpuntir mioma bertangkai, atau pecah.
Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan abdomen
Pada pemeriksaan abdomen uterus yang membesar dapat dipalpasi pada
abdomen. Tumor teraba sebagai nodul ireguler dan tetap, area perlunakan
memberi kesan adanya perubahan-perubahan degeneratif. Mioma lebih terpalpasi
pada abdomen selama kehamilan. Perlunakan pada abdomen yang disertai nyeri
lepas dapat disebabkan oleh perdarahan intraperitoneal dari ruptur vena pada
permukaan tumor7.
2. Pemeriksaan pelvis
Pada pemeriksaan pelvis serviks biasanya normal. Namun, pada keadaan tertentu,
mioma submukosa yang bertangkai dapat mengawali dilatasi serviks dan terlihat
pada osteum servikalis. Uterus cenderung membesar, tidak beraturan dan
berbentuk nodul. Perlunakan tergantung pada derajat degenerasi dan kerusakan
vaskuler. Uterus sering dapat digerakan, kecuali apabila keadaan patologik pada
adneksa. Kavum uterus dapat membesar karena tumor submukosa. Kemungkinan
adanya mioma bersama-sama dengan kehamilan harus selalu dipertimbangkan7.
Pemeriksaan penunjang
1. Ultra Sonografi (USG), untuk menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan
endometrium dan keadaan adneksa dalam rongga pelvis. Mioma juga dapat
dideteksi dengan Computerized Tomografi Scanning (CT scan) ataupun Magnetic
Resonance Image ( MRI), tetapi kedua pemeriksaan itu lebih mahal.

51
2. Foto Bulk Nier Oversidth (BNO), Intra Vena Pielografi (IVP) pemeriksaaan ini
penting untuk menilai massa di rongga pelvis serta menilai fungsi ginjal dan
perjalanan ureter.
3. Histerografi dan histerokopi untuk menilai pasien mioma submukosa disertai
dengan infertilitas.
4. Laparoskopi untuk mengevaluasi massa pada pelvis.
5. Laboratorium : hitung darah lengkap dan apusan darah, untuk menilai kadar
hemoglobin dan hematokrit serta jumlah leukosit.
6. Tes kehamilan adalah untuk tes hormon Chorionic gonadotropin, karena bisa
membantu dalam mengevaluasi suatu pembesaran uterus, apakah oleh karena
kehamilan atau oleh karena adanya suatu mioma uteri yang dapat menyebabkan
pembesaran uterus menyerupai kehamilan.6,7

Penatalaksanaan
Penanganan mioma uteri tergantung pada usia, paritas, lokasi dan ukuran
tumor, dan terbagi atas6,7 :
Penanganan konservatif
Cara penanganan konservatif dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan.
2. Monitor keadaan HB
3. Pemberian zat besi
4. Penggunaan agonis GnRH, agonis GnRH bekerja dengan menurunkan regulasi
gonadotropin yang dihasilkan oleh hipofisis anterior. Akibatnya, fungsi ovarium
menghilang dan diciptakan keadaan ”menopause” yang reversibel. Sebanyak 70%
mioma mengalami reduksi dari ukuran uterus telah dilaporkan terjadi dengan cara
ini, menyatakan kemungkinan manfaatnya pada pasien perimenopausal dengan
menahan atau mengembalikan pertumbuhan mioma sampai menopause yang
sesungguhnya mengambil alih. Tidak terdapat resiko penggunaan agonis GnRH

52
jangka panjang dan kemungkinan rekurensi mioma setelah terapi dihentikan tetapi,
hal ini akan segera didapatkan dari pemeriksaan klinis yang dilakukan6,7.
Penanganan operatif
Intervensi operasi atau pembedahan pada penderita mioma uteri adalah :
1. Perdarahan uterus abnormal yang menyebabkan penderita anemia
2. Nyeri pelvis yang hebat
3. Ketidakmampuan untuk mengevaluasi adneksa (biasanya karena mioma berukuran
kehamilan 12 minggu atau sebesar tinju dewasa)
4. Gangguan buang air kecil (retensi urin)
5. Pertumbuhan mioma setelah menopause
6. Infertilitas
7. Meningkatnya pertumbuhan mioma.
Jenis operasi yang dilakukan pada mioma uteri dapat berupa :6,7
Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma tanpa pengangkatan rahim/uterus.
Miomektomi lebih sering di lakukan pada penderita mioma uteri secara umum. Suatu
studi mendukung miomektomi dapat dilakukan pada wanita yang masih ingin be
reproduksi tetapi belum ada analisa pasti tentang teori ini tetapi penatalaksanaan ini
paling disarankan kepada wanita yang belum memiliki keturunan setelah penyebab lain
disingkirkan6,7.
Histerektomi
Histerektomi adalah tindakan operatif yang dilakukan untuk mengangkat
rahim, baik sebahagian (subtotal) tanpa serviks uteri ataupun seluruhnya (total) berikut
serviks uteri. Histerektomi dapat dilakukan bila pasien tidak menginginkan anak lagi,
dan pada penderita yang memiliki mioma yang simptomatik atau yang sudah
bergejala6,7.

Komplikasi

53
Perubahan sekunder pada mioma uteri yang terjadi sebagian besar bersifat
degenerasi. Hal ini oleh karena berkurangnya pemberian darah pada sarang mioma.
Perubahan sekunder tersebut antara lain3,7 : Atrofi, Degenerasi hialin , Degenerasi
kistik, Degenerasi membatu (calcereus degeneration), Degenerasi merah (carneus
degeneration), Degenerasi lemak.6,7

Prognosis
Terapi bedah bersifat kuratif. Kehamilan di masa yang akan datang tidak akan
dibahayakan oleh miomektomi, walaupun seksio sesarea akan diperlukan setelah
diseksi lebar untuk masuk ke dalam rongga uterus.6,7

BAB V
ANALISA KASUS

Pasien Tn. R, 38 tahun 3 hari SMRS pasien mengeluhkan mata nyeri dan keluar
air terus menerus dari mata sebelah kanan, keluhan dirasakan setelah pasien mengikuti
gotong royong di komplek rumahnya. Saat gotong royong mata kanan pasien terkena
kayu, sejak saat itu mata terasa perih dan nyeri, air mata keluar terus-menerus dari mata

54
sebelah kanan, darah (-), mata juga terlihat lebih merah dari sebelumnya, pandangan
makin kabur. Kurang lebih 10 tahun yang lalu, mata sebelah kanan pernah terkena kayu
juga, lalu dilakukan operasi, sejak itu pandangan mata sebelah kanan hanya dapat
melihat cahaya, dan saat melihat lampu silau.
Berdasarkan teori, trauma pada mata seirng disebabkan oleh benda tajam, pada
pasien ini merupakan suatu trauma pada mata, sehingga menyebabkan terjadinya
kerusakan pada kornea dan konjungtiva, dan menyebabkan proplap iris serta adanya
genangan darah pada konjungtiva .
Pada pasien ini direncanakan tindakan operasi repair dari kerusakan yang
terjadi pada mata akibat trauma, operasi ini dilakukan untuk mengurangi nyeri dan
memperbaiki kerusakan yang ada, sehingga akan mengurangi dari rasah perih yang
dirasakan pasien.
Pada saat kunjungan pra anestesi (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang), didapatkan status fisik pada pasien ini adalah ASA 1, yaitu
pasien dalam keadaan normal dan sehat, dimana dari hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang berupa laboratorium dan rho-thorax PA tidak
ditemukan kelainan.
Tindakan premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi bertujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya untuk
meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia, mengurangi
sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi
mual-muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung,
mengurangi refleks yang membahayakan. Sebagai obat premedikasi pada pasien ini
yaitu: ondansentron 4 mg dan ranitidine 50 mg. Pada pasien ini diberikan obat
premedikasi sekitar 15 menit sebelum dilakukan operasi.
Pengelolaan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general
anestesi menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan rumatan inhalasi.
Induksi pada pasien ini dengan injeksi recofol (propofol) 150 mg dan insersi LMA no

55
3 dengan atrakurium 10 mg. Dosis pemeliharaan dengan menggunakan anestesi
inhalasi: sevoflurans + N2O : O2
Induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi. Obat-obatan yang sering
digunakan untuk induksi antar lain tiopental, propofol dan ketamin. Pada pasien ini
diberikan propofol (recofol) 150 mg iv. Propofol merupakan obat induksi anestesi
cepat, yang didistribusikan dan dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan
dengan dosis bolus untuk induksi 2-2,5mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena
total 4-12 mg/Kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/Kg. pada
pasien ini dosis recofol sudah tepat.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernapasan, apneu, bronkospasme, dan laringospasme. Pada susunan saraf pusat
adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, gerakan klonik-mioklonik,
epistotonus, mual, muntah. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri.
Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot atracurium 10 mg iv, yang
merupakan non depolaritation intermediete acting. stracurim dipilih sebagai agen
penginduksi karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain metabolisme terjadi
di dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut
eliminasi Hofman. Reaksi ini tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal. Selain itu
tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan
perubahan fungsi kardiovaskular. Dosis intubasi dan relaksasi otot adalah 0,5-0,6
mg/kgBB (iv), dan dosis pemeliharaan yaitu 0,1-0,2 mg/kgBB (iv). Pada pasien ini
diberikan atrakurium 10 mg, belum memenuhi dosis terapi.
Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + sevo. Oksigen diberikan
untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2
minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi analgetiknya kuat.
Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat
dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang

56
menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan
oleh tubuh.
Kebutuhan total cairan pada pasien ini, yaitu 1.010 cc selama operasi, terdiri
dari jumlah cairan pengganti puasa 780 cc, maintenance 130 cc, stress operasi 260 cc.
pada jam I dibutuhkan 780 cc, jam II (15 menit) 150 cc. cairan yang telah masuk RL
sebesar 500 cc. Kebutuhan cairan pada pasien ini belum terpenuhi, karena selama
operasi hanya diberikan 500 cc/1 kolf. Seharusnya dieberikan 930 cc atau 2 kolf.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang inilah
pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak berdekatan
dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang memerlukan
pembedahan ulang tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat di RR, dilakukan
monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi oksigen,
EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena
kesakitan atau karena hipoksia (TD turun, nadi cepat , misalnya karena hipovolemik).
Bila kesakitan harus diberikan analgetik seperti petidin 15-25 mg IV. tetapi kalau
gelisah karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya dengan menambah cairan
elektrolit (RL), koloid, darah. Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar penuh.
Pasien hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelum sadar, tenang, reflek jalan nafas
sudah aktif, tekanan darah, nadi dalam batas normal.
Pasien ini diberi obat tambahan yaitu ketorolac dan tramadol bertujuan sebagai
analgetik. Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete lebih dari
8. Sedangkan pada pasien ini, didapatkan skornya 10 sehingga dapat keluar dari ruang
RR. Pasien pindah dan dibawa ke kelas 1 ruang Mata jam 11.00 WIB.

DAFTAR PUSTAKA

1. Crowder, M. S. et al. 2014. Mechanism of Anesthesia and Consciousness.


Dalam Clinical Anesthesia 7th Edition, Paul G Barash et al (editor). USA :
Lipincott Williams and Wilkins.

57
2. Garden, O. James et al. 2012. Principles and Practice of Surgery: With Student
Consult. USA: Elsevier Health Sciences. Hlm. 75.
3. Jenkins, K dan Baker AB. 2003. Consent and Aneaesthetic Risk. Original
Article. Anaesthesia (10). Hlm. 962-984.
4. Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R. Eds. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. 2nd ed. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta;
2009.
5. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange
Medical Book. 2006.
6. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, dan Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Edisi
pertama. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008. Hal. 337-59.
7. Japaries W. Buku ajar onkologi klinis. Desen W editor. Edisi ke-dua. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2008.
8. Kumar V, Cotran RS, dan Robbins SL. Buku Ajar Patologi. Edisi ke-tujuh.
Volume 2. Jakarta: EGC; 2007. Hal. 773-7.

58

Anda mungkin juga menyukai