SKRIPSI
Oleh
Yoshua Ajie Febrianto
NIM: 034114001
SKRIPSI
Oleh
Yoshua Ajie Febrianto
NIM: 034114001
SKRIPSI
Oleh
Yoshua Ajie Febrianto
NIM: 034114001
i
ii
iii
Dalam sebuah keterbatasan terdapat ruang
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
Penulis
v
ABSTRAK
vi
ABSTRACT
Febrianto, Yoshua Ajie. 2009. Intrapersonal Skill of the Character Dewa in the
Novel of Biola Tak Berdawai Written by Seno Gumira Ajidarma: a Literary
Psychology Analysis. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters
Department, Sanata Dharma University.
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya
maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.
Dibuat di Yogyakarta
Yang menyatakan
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya
ini dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu (S1) pada Program Studi
Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan
pengetahuan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
maupun dorongan yang bermanfaat untuk menyelesaikan skripsi ini. Pada lembar
1. Ibu S.E. Peni Adji, SS., M.Hum. Selaku pembimbing I yang telah
skripsi ini.
ix
4. Bengkel Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Terima kasih atas proses pencarian jati diri yang harus ditempuh dengan
6. Kakak, Ibu dan Bapak. Terima kasih atas saran, kritik yang membangun
dan dorongan semangat untuk terus melangkah meniti masa depan yang
cerah.
menyelesaikan skripsi.
“Kepleh”. Terima kasih buat dunia kedua yang kalian ciptakan untukku.
Rekan-rekan angkatan 2003; Epita, Vony, Aix, Doan, Ratna, Lia, Ana,
Tere, Yeni, Astri. Terima kasih untuk suka dukannya di Sastra Indonesia.
jawab penulis. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................................... i
MOTTO............................................................................................................................ iv
ABSTRAK.. .................................................................................................................... vi
ABSTRACT.................................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR..................................................................................................... ix
DAFTAR ISI.................................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN 1
xi
1.6.2 Pendekatan............................................................................................... 12
2.1 Pengantar....................................................................................................... 15
2.2.1.1 Dewa........................................................................................................ 20
2.2.2.1 Renjani.................................................................................................... 25
2.2.2.2 Bhisma...................................................................................................... 29
2.3 Rangkuman....................................................................................................
AJIDARMA......................................................................................................... 34
3.1 Pengantar........................................................................................................ 36
xii
3.2.1 Kesadaran Emosi............................................................................. 62
3.3 Rangkuman....................................................................................................
112
4.2 Saran..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BIOGRAFI
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
dalam Melani Budianta 1989:3). Sastra adalah sifat-sifat manusia yang dipaparkan
dalam sebuah karya tulis. Karya sastra haruslah memberi pencerahan, dan
membuat kita berpikir ulang tentang suatu hal. Hal itu bisa berupa nilai moral
ataupun kesenangan yang bersifat menghibur, keduanya ini dapat kita temui dan
kita petik dari sebuah karya sastra. Salah satu wujud karya sastra adalah novel.
Kata novel sendiri berasal dari bahasa Itali novella, secara umum novella
memiliki yang berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan
sama dengan novelette (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi
yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek
(Nurgiyantoro, 2005:10).
Maka dari itu sebuah novel tidak dapat terwujud menjadi karya sastra tanpa
adanya salah satu bagian di atas, semuanya saling terkait dan mempengaruhi.
Aspek tokoh adalah salah satu unsur yang berperan penting untuk membangun
nuansa cerita menjadi lebih hidup, kehadiran tokoh dalam sebuah novel juga
tokoh, pengarang ingin memberikan kita gambaran yang jelas tentang sebuah
jarang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang diberinya rasa simpati dan
empati. Seolah-olah perasaan yang dialami oleh tokoh, dialami juga oleh para
pembaca. Hal ini terlihat dari reaksi pembaca yang memberikan reaksi emotif
terhadap tokoh yang terdapat dalam novel; simpati, empati, familiar, rindu,
antipati, marah, dan berbagai rekasi emotif lainnya. Sosok tokoh memang menjadi
sarana untuk menyampaikan ide dan gagasan yang dimiliki oleh pengarang,
melalui tokoh, pengarang dapat membuat sosok rekaannya menjadi lebih hidup
dan nyata, serta memiliki aspek emosional layaknya manusia dalam kehidupan
nyata. Di samping itu, tokoh rekaan secara tidak langsung juga ikut menjadi
pembawa tema yang ingin dipaparkan oleh pengarang. Tokoh juga berperan serta
dalam menjalankan alur cerita, dengan kata lain tokoh adalah alat untuk
sebuah karya novel. Melalui tokoh, kita dapat mempelajari sifat yang terdapat
dalam karakter tokoh novel, sehingga memperkaya pengalaman batin kita dan
secara tak langsung menuntun kita pada pemahaman baru mengenai kehidupan
dalam novel ataupun dari konsep novel yang dipaparkan oleh pengarang dalam
membuat sebuah novel. Penelitian ini akan dititikberatkan untuk meneliti aspek
psikologis tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai, yang selanjutnya akan
disingkat menjadi BTB, sebuah novel karya Seno Gumira Ajidarma, (selanjutnya
Ajidarma). Seno adalah seorang penulis yang serba bisa,” Sebagai penulis, saya
3
menganggap diri saya sebagai tukang, dengan begitu saya merasa wajib
pesanan untuk menulis buku. Penulis yang meraih Penghargaan S.E.A Write
Award untuk bukunya yang berjudul Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi ini
adalah penulis yang kerap mengolah sebuah ide dari para kolegannya, dan
caranya pesanan terpenuhi, tetapi gagasan saya tetap berkembang dengan bebas“
sejumlah karya tulis; puisi, roman, novel, esai, cerpen, dan nonfiksi
bercerita diluar masalah sosial-politik. Novel yang dibuat dengan konsep agak
berbeda dengan novel Seno pada umumnya adalah novel Biola tak Berdawai,
novel ini memakai sudut pandang orang pertama sebagai pemeran utamanya,
memiliki lebih dari satu kecacatan. Selain itu dalam karya sastra ini Seno
4
cerita BTB, disamping itu Seno menambahi karyanya dengan visualisasi gambar
kartu tarot dan penjabarannya ke dalam bentuk literer, sebagai sarana untuk
memperjelas cerita novel BTB, serta penyingkap misteri masa depan dari para
anak tunadaksa, seperti yang tertulis pada lembar pertama novel BTB, “demi
mata terbuka tapi tidak bisa melihat, telinga dapat menangkap bunyi tapi tak
mendengar, jaringan otak yang rusak, leher selalu miring, kepala selalu tertunduk
ke bawah (Ajidarma, 2004:6). Dewa tinggal di panti asuhan Rumah Asuh Ibu
Sejati, dan dirawat oleh Renjani. Dewa sebagai tokoh utama, dapat menceritakan
tinggal di Rumah Asuh Ibu Sejati dari batinnya. Dewa merupakan tokoh yang
berbeda dari tokoh lainnya. Hal ini disebabkan Dewa dapat berfilosofi mengenai
yang tunadaksa.
Cerita ini memakai Kota Gede sebagai settingnya, dari Rumah Asuh Ibu
membaca situasi yang tengah terjadi, dan membuat kesimpulan dari apa yang
sekelilingnya. Karya tulis ini menjadi menarik karena Dewa terlihat dewasa, dan
bijaksana oleh sebab itu peneliti hendak meneliti keterampilan intrapersonal pada
tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma.
keterampilan intrapersonal dalam novel ini, selain itu juga karena sejauh yang
intrapersonal pada novel Biola tak Berdawai. Untuk menunjang pemakaian teori
penelitian ini, karena teori ini dapat menjelaskan kemampuan yang dimiliki oleh
Dewa.
sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimanakah tokoh dan penokohan Dewa dalam novel Biola tak
1.3.1 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan Dewa dalam novel Biola tak
dimiliki oleh penyandang tunadaksa pada tokoh Dewa dalam novel Biola tak
1.4.3 Memberikan sumbangan pada teori sastra dalam bidang psikologi sastra
Teori yang akan digunakan untuk menganalisa novel Biola tak Berdawai
adalah psikologi sastra. Ilmu psikologi dipakai dalam pengkajian sastra, sebab
memang mempunyai sifat dan karakter yang beragam, oleh karena itu psikologi
Hal ini tidak berbeda dengan psikologi sastra yang meneliti aspek kejiwaan
mendeskripsikan teori tokoh & penokohan, teori psikologi sastra dan teori
keterampilan intrapersonal.
7
intrapersonal tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai, sehingga peneliti
lebih menitikberatkan tokoh Dewa sebagai objek penelitiannya serta teori tokoh
peneltian.
atau tingkat pentingnya tokoh ke dalam dua bagian; a) tokoh utama dan, b) tokoh
tambahan. Ditinjau dari segi peranan atau tingkat kepentingannya dalam sebuah
cerita, tokoh utama (central character, main character,) lebih dominan jika
kehadirannya kadang hanya sebagai pelengkap tetapi, tetap saja tokoh tambahan
membantu memunculkan watak serta sikap peranan tokoh utama dalam sebuah
cerita.
Tokoh Dewa sebagai sosok penyandang tunadaksa dalam novel Biola Tak
Berdawai berperan sebagai tokoh utama (main character). Hal ini terlihat dari
banyaknya petikan dialog yang jumlahnya hampir mendominasi seluruh isi novel.
Sedangkan untuk tokoh Renjani, Bhisma, dan Mbak Wid mereka bertiga termasuk
penokohan kita dapat menyimpulkan karakter tokoh yang dipaparkan, mulai dari;
8
kebiasaan hidup, cara pandang, ideologi, dan prinsip hidup. Penokohan sendiri
Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut
(Hartoko dan Rahmanto, 1986:126-127). Dalam novel Biola tak Berdawai teori
psikologi sastra terlihat aplikasinya pada monolog yang diutarakan oleh Dewa
Menurut Ratna (2004:343) ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk
pembaca. Namun dalam penelitian ini penulis akan menggunakan psikologi sastra
Dewa sebagai tokoh utamanya. Dalam hal ini peneliti akan melakukan penelitian
terhadap teksnya.
9
kelebihan dan kelemahan diri Anda, serta kecerdasan untuk merenungkan tujuan
bagian :
kinerja diri, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai diri untuk memandu dalam
sasarannya.
10
2. Penilaian Diri secara Akurat, yaitu perasaan yang tulus tentang kekuatan-
kekuatan dan batas-batas pribadi kita, visi yang jelas tentang mana yang perlu
diperbaiki, dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman. Orang dengan tipe ini:
meneliti data-data yang penulis dapat berasal dari buku, esai, karya tulis dan
1.6.2 Pendekatan
adalah pendekatan sastra yang dilakukan dari sudut psikologi (Hartoko dan
fakta-fakta lalu disusul dengan analisis data. Secara etimologis, kata deskripsi dan
analisis berarti menguraikan (Ratna, 2004:53). Jadi, data akan diuraikan lalu
diberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Sehingga data yang ada akan
gamblang, dan lengkap. Hal ini akan memudahkan peneliti untuk melakukan
penelitian terhadap novel Biola tak Berdawai. Hasil analisis ini diharapkan dapat
yang ada dalam dalam novel Biola tak Berdawai akan digunakan, dan diolah oleh
peneliti untuk mendukung penelitian, selain itu peneliti juga menggunakan studi
intrapersonal tokoh Dewa, maka sumber data utama berasal dari novel itu sendiri,
sedangkan sumber data lainnya adalah sebagaimana yang tersebut dalam daftar
Penerbit : Akur
dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini
dapat dirinci sebagai berikut; a) Bab I berisi pendahuluan meliputi latar belakang
data, sumber data, dan sisematika penyajian, b) Bab II meliputi pembahasan tokoh
dan penokohan novel Biola tak Berdawai , dan c) Bab III meliputi pembahasan
keterampilan intrapersonal tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai karya
Seno Gumira Ajidarma d) Bab IV meliputi kesimpulan hasil analisis data dan
BAB II
TOKOH DAN PENOKOHAN
DALAM NOVEL BIOLA TAK BERDAWAI
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA
2.1 Pengantar
yang penting. Sebab dalam sebuah novel unsur tokoh dan penokohan, mutlak
diperlukan. Hal ini berfungsi membantu pembaca untuk memahami alur sebuah
cerita dan memperjelas gambaran cerita yang dibangun dalam sebuah karya fiksi.
Istilah tokoh menunjuk pada pelaku cerita Nurgiyantoro (2005:165). Jadi bisa
disimpulkan, pelaku cerita adalah pemain watak yang memerankan peranan dalam
sebuah karya fiksi. Melalui tokoh, cerita dalam sebuah karya fiksi menjadi
lengkap, karena sebuah karya fiksi tidak akan menjadi utuh tanpa adanya pemeran
Kita tidak akan tahu,“Siapa yang melakukan dialog ?“, “Hal apa yang
dibicarakan dan diperbincangkan ?“, “Siapa yang diceritakan ? “, jika tidak ada
tokoh dalam sebuah karya sastra. Tokoh dalam sebuah cerita, juga ikut membantu
kita dalam menikmati sebuah cerita. Sebab pikiran kita dituntun untuk mencari
kesamaan tokoh rekaan dalam sebuah karya fiksi, dengan tokoh di dunia nyata,
Meskipun harus kita akui bahwa tokoh yang kita baca dalam dunia fiksi,
tidak sama persis dengan tokoh di dunia nyata, ada suatu campuran yang ganjil di
15
antara keduanya, baik itu dari; ciri-ciri fisik, perilaku, kebiasaan, adat-istiadat,
perpaduan yang unik dalam tokoh, sehingga membaca sebuah cerita menjadi
menciptakan karakter, status sosial, tipikal fisik tokoh sesuai dengan seleranya.
Ditinjau dari segi peranannya, tokoh dalam sebuah cerita ada yang terus-
berperan penting, di sisi lain ada juga tokoh yang kemunculannya tidak terlalu
pada tokoh utama. Sehingga kemampuan yang dimiliki oleh tokoh utama
menyelesaikan masalah.
memaparkan sinopsis novel Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma.
Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai
ditampilkan pada tiap bab. Hal ini bertujuan untuk menunjang kelangsungan
Jumlah dialog ataupun kejadian yang menyangkut tokoh utama juga lebih banyak,
2.2.1.1 Dewa
Seperti tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai, yang berperan
sebagai tokoh utama. Peranan Dewa sebagai tokoh utama terlihat dari banyaknya
petikan monolog, maupun kejadian yang menceritakan Dewa dalam tiap babnya.
tidak seperti anak-anak bertubuh normal lainnya. Dapat kita lihat dalam kutipan
berikut:
Tokoh Dewa adalah sosok yang kritis, ia dapat mengkritisi suatu hal lalu
mengkaitkan hasil analisanya dengan kondisi dirinya yang cacat. Dapat kita lihat
tepi yang sangat luar sekali, di tepinya yang paling tepi. Tidak dianggap dan tidak
terlalu berarti “ (Ajidarma, 2004:45).
terbukti ia dapat mendengar suara hati orang lain dan mengetahui kondisi batin
( 3 ) “ Aku tetap tertunduk, apalah yang bisa kulakukan ? Aku sering tidak
mengerti, kenapa aku diberi nama Dewa, kalau kemudian diketahui aku tidak bisa
mengangkat kepala seperti ini. Namun, sebenarnya nama Dewa juga bukan nama
kosong, setidaknya kalau dibandingkan dengan dewa-dewa dari dunia
pewayangan, yang bisa berkelebat ke sembarang tempat, di dalam maupun di luar
dunia ini, menembus berbagai macam dimensi. Hanya tampaknya saja aku tidak
mampu melihat dan mendengar sesuatu, tetapi aku mampu menangkap getaran
jiwa dan mendengar kata hati ” (Ajidarma, 2004:9).
sebagai manusia, tetapi tidak pada kemampuannya yang dapat berfilosofi tentang
( 5 ) “ Setiap orang hidup dengan masa lalunya, karena masa lalu tidak
akan pernah pernah betul-betul berlalu. Setiap kali seseorang berniat melupakan
sesuatu dari masa lalu itu sebetulnya ia telah mengguratkannya dalam hati.
Seseorang bisa saja melupakan sesuatu namun sesuatu itu tidak akan pernah
hilang bahkan tersimpan dalam peti-peti tertutup di relung kenangan yang tidak
terpetakan. Dalam perjalanan hidup seseorang bisa saja bertemu kembali dengan
peti-peti itu, tanpa sengaja membukanya, atau dengan sadar tidak akan pernah
membukanya sama sekali, namun isi peti itu tidak akan pernah hilang. Bahkan
dengan suatu cara ia kemudian seperti udara yang merembes keluar dari celah-
celah peti, menempel dan melebur dalam darah yang menghidupkan kembali
syaraf-syaraf perekam kenangan di otak, yang tanpa sadar mengingatnya meski
tak tahu darimana datangnya “ (Ajidarma, 2004:64)
18
yang kasat mata, serta melihat semut yang merayap di sela rumput di atas makam.
Tokoh Dewa bahkan dapat mendengar suara angin. Dapat kita lihat dalam kutipan
berikut :
Dewa sebagai anak tunadaksa, juga sangat menyayangi ibunya yang selalu
merawat diri Dewa, meskipun terlihat tidak dapat mengutarakan emosinya melalui
Sikap dewasa Dewa juga terlihat pada ungkapan syukurnya pada Tuhan,
karena telah dipertemukan dengan Renjani, selain itu Dewa juga menunjukkan
19
sikap dewasanya dengan bercerita tentang fungsi panca indera dan kondisi jiwa
bersikap manja. Ia justru bersikap bijaksana, hal ini ditunjukkan oleh Dewa pada
betapa besar sesungguhnya arti cinta. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :
( 14 ) “ Aku sedih jika mendengar nada nyanyian ibu yang seperti itu,
bagaikan ia sedang melayang di langit kesedihan dari masa silam. Kesenduan
lagunya membayangkan suatu gambaran tentang kupu-kupu yang sedang terbang
di taman bunga, namun tiba-tiba diserang burung besar dan patah sayap-sayapnya.
Betapa indah namun sekaligus betapa rapuhnya sayap kupu-kupu. Apakah
kebebasan juga serapuh itu dan apakah kehidupan ini memang berlagu sendu
seperti nyanyian ibuku ? “ (Ajidarma, 2004:42).
cerita lebih sedikit jika dibandingkan dengan tokoh utama, tidak dipentingkan,
dan kehadiranya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara
2.2.2.1 Renjani
Tokoh Renjani adalah pemilik sekaligus pengasuh Rumah Asuh Ibu Sejati
kolonial Belanda. Renjani adalah sosok yang penyayang dan penyabar, hal ini
21
ditunjukkan saat ia mendampingi Dewa dan membela tokoh Dewa saat diejek.
Penggambaran Rumah Asuh Ibu Sejati dan karakter Renjani yang penyayang serta
penyabar di ceritakan oleh Dewa. Ditunjukkan oleh penggalan kutipan berikut ini
Selain itu tokoh Renjani yang berstatus sebagai pemilik Rumah Asuh Ibu
Sejati, juga mantan seorang penari balet. Kisah hidupnya di ceritakan secara
(19) “ Para penari balet melayang dan bercinta dalam semesta tari. Sebuah
dunia yang indah, namun yang bagi ibuku berarti malapetaka. Itukah sebabnya
ibuku mengasingkan diri ke pinggiran kota ini ? ibuku meninggalkan dunianya
yang gemerlapan di Jakarta, menenggelamkan diri dalam perawatan bayi-bayi
tunadaksa. Benarkah ibuku tidak pernah merindukan dunianya yang dulu ? Tanpa
peristiwa yang meninggalkan luka itu, dunia balet adalah dunia yang bisa
membuat ibuku mengubah diri dari kepompong menjadi kupu-kupu dan bisa
berkata, “ Inilah aku ! “. Tapi sekarang ibuku di sini, bersama aku, seperti kupu-
kupu yang bermetamrfosa terbalik menjadi kepompong, sia-sia mencoba
memahamiku “ (Ajidarma, 2004:81).
(20) “ Kamu suka sepatu ini ? Namanya sepatu balet. Ini punya ibu. Dari
kecil Ibu sudah bercita-cita menjadi seorang penari balet, dan sudah menari di
mana-mana. Tapi akhirnya Ibu harus berhenti menari. “ (Ajidarma, 2004:83).
Tokoh Renjani, yang berstatus sebagai pemilik Rumah Asuh Ibu Sejati,
juga pernah mengalami trauma karena pernah diperkosa oleh guru baletnya, maka
dari itu ia agak ragu untuk menerima cinta dari Bhisma. Namun pada akhirnya
permohonan cinta Bhisma di ceritakan oleh Dewa. Dapat kita lihat dalam kutipan
berikut :
(22) “ Hatimu bilang apa ? Renjani, dia laki-laki baik. Bukan jenis yang
cuma bisa jongkok di pertigaan. Jangan bisarkan masa lalumu menghalangi masa
depanmu “.
Mbak Wid menyebut-nyebut masa lalu, membuat ibuku teringat masa lalu,
yang begitu menyakitkan bagai tusukan sembilu.
“ Saya takut... ”
“ Laki-laki itu teka-teki yang paling aneh. Perempuan itu teka-teki yang
paling tidak masuk akal. Belum tentu kamu bisa menemukan lagi laki-laki yang
seperti dia, yang sudah bisa menerima Dewa seperti apa adanya “.
Malam semakin kelam. Lilin-lilin sebagian mati. Aku tepekur dalam
keremangan (Ajidarma, 2004:129).
(23) “ Aku mohon, jangan singkirkan aku. Dewa sudah mengisi batinku.
Kamu sudah mengisi hatiku. Tolong Renjani, jangan singkirkan aku “.
Mata ibuku berkaca-kaca. Dibelainya pipi Bhisma. Tangan Bhisma meraih
tangan yang membelai itu dan dibelainya kembali.
“ Aku masih bingung,” kata ibuku, “ aku masih belum bisa berdamai
dengan masa laluku. Beri aku waktu. Tapi kamu harus janji, kamu akan
menyelesaikan lagu ini “ (Ajidarma, 2004:132).
dan Dewa sebagai pemilik Rumah Asuh Ibu Sejati, tokoh Renjani juga termasuk
orang yang penuh dedikasi terhadap anak-anak cacat di Rumah Asuh Ibu Sejati. Ia
24
juga termasuk orang yang lembut terhadap tokoh Dewa. Kegiatan mereka di
Gajah Wong Cafe di ceritakan oleh tokoh Dewa Dapat kita lihat dalam kutipan
berikut :
(25) “ Mana mungkin Mbak, umur saya delapan tahun lebih tua dari dia,
dan saya merasa sudah sampai di masa depan saya. Di sini. Di rumah ini. Bersama
Dewa dan bayi-bayi lainnya. Saya merasa sudah mapan. Tapi memang sekarang
ketakutan...” (Ajidarma, 2004:128).
sebagai anak bertubuh normal. Kelemah lembutan sikap Renjani juga terlihat pada
bicara. Sikap lemah-lembut Renjani pada Dewa di ceritakan oleh Dewa Hal ini
2.2.2.2 Bhisma
Tokoh tambahan yang kedua adalah Bhisma, seorang anak muda yang
juga pemain biola. Bhisma terlihat sedang memandangi Renjani sambil bermain
sorotannya tajam. Sepintas lalu ia tampak sopan dan manis-tapi jika permainan
biolanya boleh dianggap sebagai pernyataan jiwa, terdengar sesuatu yang tidak
terlalu manis, bahkan terbayang adanya suatu dunia yang liar di mana berbagai
anasir masih bertarung untuk menguasai jiwanya “ (Ajidarma, 2004:103).
bantuan pada Renjani. Sikap sopan Bhisma juga terlihat pada percakapnnya
tentang foto bersama Renjani. Kepribadian Bhisma yang sopan di ceritakan oleh
tokoh Dewa yang berada didekat Renjani. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan
berikut :
(32) “ Bhisma melihat foto-foto balet di dinding dan fotoku di meja kerja
ibuku, sementara ibuku masih bercerita dengan mata berbinar-meski aku tunduk
selalu, bisa kurasakan kegembiraan ibuku yang selalu berduka.
Lantas Bhisma masuk ke persoalan yang seperti sudah lama ingin dia
tanyakan.
“ Kalau Dewa ? Kamu ibunya. Bapaknya di mana ? “
Ibuku menggeleng.
“ Sayang sekali aku bukan ibu kandungnya-tapi apalah bedanya ? Dewa
adalah anakku dan tidak ada kemungkinan lain. Umurnya baru dua hari ketika
diserahkan kemari, aku sendiri tidak tahu siapa orangtuanya...”(Ajidarma,
2004:107).
27
Tokoh Bhisma sebagai pemain biola, juga memiliki akal yang cerdas,
terbukti ia mencari cara agar dapat bertemu lagi dengan Renjani. Kecerdasan
Mbak Wid. Kemampuan Bhisma dipaparkan oleh tokoh Dewa. Hal ini dapat kita
jatuh cinta pada Renjani. Bhisma adalah seorang pemain biola yang gigih untuk
luruh, hancur lebur menjadi debu. Ia bahkan tak berani meminta maaf (Ajidarma,
2004:118).
(36) “ Aku tidak pernah butuh apapun untuk main musik. Aku tidak
pernah butuh siapapun. Tapi sekarang semua nada sudah mati. Hatiku juga sudah
mati “.
Lantas ditatapnya lagi mata ibuku dengan tajam.
“ Aku butuh kamu untuk menyelesaikan lagu ini. Aku butuh kamu “.
Anak muda itu berlutut, dan meraih tangan ibuku.
“Aku mohon, jangan singkirkan aku. Dewa sudah mengisi batinku. Kamu
sudah mengisi hatiku. Tolong Renjani, jangan singkirkan aku ”.
Mata ibuku berkaca-kaca. Dibelainya pipi Bhisma. Tangan Bhisma meraih
tangan yang membelai itu dan dibelainya kembali.
“ Aku masih bingung, “ kata ibuku, “aku masih belum bisa berdamai
dengan masa laluku. Beri aku waktu. Tapi kamu harus janji, kamu akan
menyelesaikan lagu ini “.
Tangan ibuku mengusap rambut Bhisma.
“ Dan kamu memainkannya untukku dan Dewa...”
Bhisma mengecup tangan ibuku dengan lembut (Ajidarma, 2004:132).
Bhisma terlihat merasa kehilangan Renjani dan Dewa, karena tidak datang lagi ke
konser biolanya yang kedua. Sifat melankolis Bhisma juga ditunjukkan dengan
menceritakan sifat Bhisma yang melankolis. Dapat kita lihat dalam kutipan
berikut :
(37) “ Para pemain musik sudah pergi, para penonton juga sudah pergi,
tinggal Bhisma memandangi dua kursi yang sudah dipesankan olehnya, dan
sepanjang pergelaran kedua kursi itu tetap kosong. Hati Bhisma itulah yang
menangis ? Sebetulnya boleh-boleh saja seorang lelaki menangis, kenapa tidak ?
Barangkali saja setiap lelaki di dunia ini pernah menangis, apalagi jika hatinya
terluka oleh cinta-tapi mungkin saja tidak pernah memperlihatkannya “
(Ajidarma, 2004:146).
Ia telah membuka kotak biolanya dan dari dalam kotak itu mengambil dua
tangkai bunga mawar. Diletakkannya satu persatu di pusara ibuku.
“ Ibu...ini dari Dewa, “ kata Bhisma untukku.
“ Ini dari aku Renjani “.
Lantas ia mengeluarkan biola dan tongkat penggesek dari kotak, siap
memainkan lagu yang digubahnya untuk kami. Ia bicara kepadaku.
“ Aku mainkan lagu untuk ibu ya ?”
Tentu saja Bhisma tidak menunggu jawaban. Ia memandang langit.
“ Renjani...ini untuk kamu “ (Ajidarma, 2004:185-186).
Tokoh Mbak Wid, adalah dokter di Rumah Asuh Ibu Sejati, pada pagi hari
ia adalah seorang dokter, tetapi saat malam hari ia berubah menjadi peramal kartu
tarot. Mbak Wid, adalah sosok yang misterius. Profesi serta karakter Mbak Wid
yang misterius diceritakan oleh Dewa. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :
(40) “ Kartu-kartuku tidak pernah luput, “ kata Mbak Wid yang telah
menenggelamkan dirinya ke dalam semesta yang penuh dengan takdir
berkelebatan, berseliweran ke sana kemari seperti meteor di ruang angkasa. Ruang
Lilin menjadi semesta di mana roh kehidupan bagaikan diacak-acak dan
disebarkan ke langit untuk melayang-layang dalam sambaran meteor takdir yang
berkelebat ke segala arah dari segala penjuru dengan desisan “ (Ajidarma,
2004:19).
Tokoh Mbak Wid, adalah seorang wanita yang memiliki pengabdian pada
anak-anak cacat, di Rumah Asuh Ibu Sejati. Pengabdian Mbak Wid juga terlihat
30
saat ia merawat anak-anak cacat dengan sepenuh hati. Karakter Mbak Wid yang
penuh pengabdian di ceritakan oleh Dewa. Dapat kita lihat pada kutipan berikut :
(42) “ Mereka tidak keliru, karena ibuku dan Mbak Wid merawatnya
sepenuh hati. Ibuku juga selalu membebaskan para perawat panti asuhan, yang
tampak merasa jijik kepada bayi-bayi itu, untuk pergi-dan tidak usah kembali “
(Ajidarma, 2004:27).
Tokoh Mbak Wid adalah seorang wanita yang belum bisa melepas masa
bawah sadarnya dalam menghadapi segala sesuatu. Mbak Wid juga memiliki
masa lalu yang suram, sebab ia hidup dari hasil uang ibunya yang melacur. Dapat
(44) “ Setelah aku bisa membaca, aku tidak pernah pura-pura tidur, karena
suara perempuan mengerang dan lelaki melenguh dari kamar itu sangat
mengganggu. Setiap kali berlangsung permainan cinta tanpa cinta di kamar itu
aku sengaja membaca. Aku membaca komik Mahabarata yang ada di rumahku.
Salah satu tamu yang menaruh iba padaku memberikan komik itu, dan setiap kali
31
2.3 Rangkuman
Penokohan dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan
tokoh tambahan. Dalam novel BTB tokoh utama adalah tokoh Dewa, sedangkan
tokoh tambahannya adalah tokoh Renjani, tokoh Bhisma, dan tokoh Mbak Wid.
disekitarnya dan tempat dimana ia tinggal. Dewa juga dapat masuk ke alam
bawah sadar manusia, mendengar suara hati manusia dan membaca masa lalu
yang terjadi pada bawah sadar orang yang dimasukinya. Tokoh Dewa juga dapat
melihat roh anak-anak tunadaksa yang telah meninggal, Dewa juga sangat
memahami kondisi batin Renjani. Batin. Tokoh Dewa adalah seorang pemikir
tentang dirinya sndiri. Tokoh Dewa adalah sosok yang kritis, ia dapat mengkritisi
suatu hal lalu mengkaitkan hasil analisanya dengan kondisi dirinya yang cacat.
32
memiliki trauma masa lalu karena diperkosa oleh guru baletnya. Tokoh Renjani
ingin menebus kesalahannya dengan cara mendirikan Rumah Asuh Ibu Sejati. Ia
adalah sosok seorang ibu asuh yang penuh pengabdian bagi anak-anak cacat di
Rumah Asuh Ibu Sejati. Tokoh Renjani juga tergolong seorang ibu yang
perhatian, penyabar dan penyayang, terutama kepada Dewa. Hal ini terlihat pada
dipastikan bahwa dimana Renjani pergi selalu ada Dewa. Renjani juga termasuk
wanita yang tulus, yang mau menghabiskan hidupnya di Rumah Asuh Ibu Sejati
Tokoh Bhisma adalah seorang pemain biola yang menuntut ilmu di salah
satu institut seni di Yogyakarta. Tokoh Bhisma jatuh cinta kepada tokoh Renjani
karena dedikasi Renjani pada anak-anak cacat di Rumah Asuh Ibu Sejati. Tokoh
Bhisma adalah tokoh melankolis, terbukti saat ia memohon kepada Renjani agar
jangan mencampakkannya. Tokoh Bhisma juga tokoh yang sopan dan simpatik,
ini juga termasuk cerdas. Bhisma tahu bahwa Dewa adalah penyandang
juga tokoh yang melankolis. Hal ini disebabkan karena ia pernah mencintai
Renjani dan menjalin hubungan dengan Renjani meski hanya sesaat.. Terlihat saat
Tokoh Mbak Wid adalah tokoh yang pandai menyesuaikan diri sebab ia
dapat hidup dalam dua dunia. Saat pagi hari ia menjadi dokter di Rumah Asuh Ibu
Sejati, dan malam hari ia berubah menjadi peramal kartu tarot yang mempercayai
termasuk tokoh yang misterius sebab selalu memakai baju hitam-hitam saat
Mbak Wid. Tokoh Mbak Wid tergolong tokoh yang penuh pengabdian, sebab ia
Rumah Asuh Ibu Sejati. Tokoh Mbak Wid juga termasuk orang yang belum dapat
melupakan masa lalunya, karena ia selalu teringat masa lalunya sebagai anak
BAB III
3. 1 Pengantar
Dalam bab ini akan dibahas hasil analisis keterampilan intrapersonal tokoh
Dewa dalam novel Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma.
Berdasarkan hasil analisis tokoh dan penokohan dalam Bab II, diketahui bahwa
Dewa adalah sosok dalam kehidupan kita yang kadang dilupakan orang
karena memiliki tubuh yang tidak sempurna. Ia merupakan salah satu penyandang
tunadaksa yang menjalani kehidupannya di Rumah Asuh Ibu Sejati dengan penuh
figur yang unik. Hal ini disebabkan, Ajidarma melakukan sudut pandang
penceritaan dari Dewa. Seakan-akan kita dapat melihat apa yang dikatakan dan
diceritakan oleh kondisi batin Dewa. Gaya penceritaan Ajidarma membantu kita
untuk ikut terlibat, dan merasakan secara intens kondisi emosional yang dialami
oleh Dewa. Mulai dari awal hingga akhir penceritaan novel Biola tak Berdawai.
Tokoh Dewa tinggal dalam Rumah Asuh Ibu Sejati bersama Renjani, dan Mbak
Wid. Hal ini berpengaruh terhadap kondisi batin Dewa yang hampir bisa
35
tubuh cacat dan tidak bisa melakukan apa-apa. Kita mengetahui kondisi tubuh
Sehingga, gerak tubuh mereka terbatas, hanya bergantung pada kemurahan hati
paradigma baru bahwa kekurangan fisik bukan menjadi penghalang bagi anak
menjadi kekuatan bagi tokoh Dewa. Dibandingkan tokoh lain, Dewa adalah tokoh
yang istimewa, sebab Dewa diceritakan hanya sekali saja bersuara menggunakan
mulutnya, hal ini terjadi karena ia anak tunadaksa dan tidak dapat bergerak seperti
bercerita dari dalam jiwannya, dengan kata lain Dewa seolah-olah menceritakan
kondisi dirinya kepada pembaca, dan pengarang memakai medium jiwa Dewa
manusia berasal dari emosi. Dalam membaca karya sastra, emosi membantu kita
dalam memahami alur penceritaan. Sehingga semua perasaan manusia berasal dari
emosi. Di samping sebagai acuan bagi diri kita dalam menilai orang lain, emosi
dalam memberi masukan dan informasi kepada proses pikiran rasional dan pikiran
kita, maka harus diwujudkan dalam bentuk yang lebih konkrit, yakni keterampilan
Kesadaran Emosi
kinerja diri, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai diri untuk memandu dalam
sasaran-sasarannya.
Penilaian diri secara akurat, yaitu perasaan yang tulus tentang kekuatan-
kekuatan dan batas-batas pribadi kita, visi yang jelas tentang mana yang perlu
kecakapan ini :
Keercayaan Diri
Tokoh Dewa sedang memperhatikan Renjani dan Mbak Wid yang duduk
di sebuah meja marmer yang bundar. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut :
yang selalu mencoba memaklumi Mbak Wid karena hampir setiap malam selalu
memakai perhiasan berupa; anting, gelang, cincin, dan kalung. Tokoh Mbak Wid
dalam dunia ketidak pastian nasib yang diceritakan oleh kartu-kartu ramalan yang
dimainkan oleh Mbak Wid. Tindakan memperhatikan yang dilakukan oleh Tokoh
jalan setapak yang dipenuhi oleh bunga-bunga. Berikut ini penggalan kutipannya :
kupu-kupu berwarna kuning, biru, dan hitam yang beterbangan kian kemari. Dari
kejauhan tampak awan mendung melewati Gunung Merapi yang kelabu. Tokoh
yang kecil telah berubah menjadi sorga bagi anak tunadaksa. Keterampilan
intrapersonal dalam kutipan ini adalah saat tokoh Dewa mendengar gelak tawa
intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada keinginannya untuk hidup lebih lama lagi
(47) Umurku sudah hampir delapan tahun, dibanding Larsati yang hanya
berumur lima hari, aku sudah hidup terlalu lama-namun aku masih ingin hidup
lebih lama lagi. Aku ingin ibuku mengerti betapa aku juga mencintainya dengan
sepenuh hati. Hanya itulah yang ingin kulakukan di dunia ini, menunjukkan cinta
kepada ibuku, yang telah menyerahkan sisa hidupnya untuk mencintaiku
(Ajidarma, 2004:29).
Tokoh Dewa menyadari bahwa umurnya sudah delapan tahun, dan jika
dibandingkan dengan Larasati yang hanya berumur lima hari, ia sudah hidup
terlalu lama, akan tetapi Dewa ingin hidup lebih lama lagi. Tokoh Dewa ingin
40
ibunya mengerti bahwa ia juga mencintainya dengan sepenuh hati. Dewa hanya
ingin menunjukkan cinta kepada ibunya, yang telah menyerahkan sisa hidupnya
untuk mencintai Dewa. Penggalan kutipan ini termasuk dalam kesadaran emosi,
sebab tokoh Dewa mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai
dan sasaran-sasarannya.
dengan ibunya, serta telah diberikan alam yang indah. Hal ini dapat kita lihat
emosi, yaitu tahu emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa. Sebab ia
merasa bersyukur karena dipertemukan dengan ibunya, dua hari setelah ibu
kandungnya membuang Dewa. Tokoh Dewa juga merasa beruntung karena alam
merasakan angin yang sejuk, cahaya yang lembut, dan gemerisik sawah yang
Pada kutipan di atas tokoh Dewa terlihat memiliki kesadaran emosi, yaitu
ia mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa, hal ini
ditunjukkan ia merasa sejuk saat angin berhembus, merasa tenang saat matahari
gemerisik
(50) Maafkan aku atas perbincangan ini, karena ibuku mengatakan aku
akan bisa terbang seperti kupu-kupu, pertanyaan-pertanyaanku itu sebetulnya
berlaku bagi diriku-apakah aku ini sebenarnya ? Aku sering mengira kepompong
itu juga sesuatu yang tunadaksa. Benarkah hidupku seperti ulat yang akan menjadi
kepompong lantas menjadi kupu-kupu ? Aku juga sering terpesona dengan
berbagai perubahan yang tidak sebanding : ulat itu begitu buruk, menjadi kupu-
kupu yang bagus; atau ulatnya begitu berwarna-warni, tetapi berubah menjadi
kupu-kupu yang buruk;bahkan ada kepompong yang berkilau seperti emas,
jadinya hanyalah kupu-kupu yang tidak menarik sama sekali. Memang benar
kupu-kupu itu seperti lebih bebas dari ulat, apalagi kepompong, tetapi perubahan
itu ternyata tidak selalu menjadi sesuatu yang lebih indah-tepatnya, apa yang
tampaknya lebih baik, seperti kebebasan, ternyata tidak selalu lebih indah. Jika
memang terbangnya kupu-kupu bisa diibaratkan dengan kebebasan (Ajidarma,
2004:40-41).
tunadaksa, tokoh Dewa juga sadar bahwa dirinya terpesona oleh perubahan yang
tidak sebanding antara ulat, kepompong dengan kupu-kupu. Ia juga sadar bahwa
sebuah perubahan ternyata tidak selalu menjadi lebih indah-tepatnya apa yang
tampaknya lebih baik, seperti kebebasan, ternyata tidak selalu lebih indah.
Kesadaran emosi yang dimiliki oleh Dewa ialah mengetahui emosi mana yang
yang sedang ia rasakan dan mengapa, serta tokoh Dewa juga mempunyai
Tokoh Dewa merasa tidak sabar dan ingin agar dirinya terlahir kembali.
Akan tetapi, tokoh Dewa juga tidak dapat memastikan apakah kehidupan
selanjutnya memang ada, dan itu tandanya ia hanya bisa menjelajah dalam
42
seperti meninggalkan telur yang akan berubah menjadi ulat, tokoh Dewa lalu
hanya berputar di tempat dan berputar. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan
dibawah ini :
(51) Tentu aku tidak akan pernah jadi kupu-kupu, namun aku tetap saja
ingin tahu apakah aku akan terbebaskan dari keberadaan tubuhku. Jika tubuh bisa
hancur dan jiwa hidup selamanya, betapa penasaran aku untuk segera tiba kepada
kehidupan selanjutnya. Tetapi aku tidak bisa memastikan apakah memang ada
kehidupan selanjutnya, dan itu berarti aku hanya bisa menjelajah dalam
ketercakrawalaanku sendiri. Kupu-kupu mati dalam sehari, setelah ulat itu sekian
lamanya menjadi kepompong-bagaikan suatu kematian dalam puncak kegairahan.
Kupu-kupu itu meninggalkan telur yang akan jadi ulat dan begitulah kehidupan
yang sepertinya semakin maju ini hanya berputar di tempat dan berputar
(Ajidarma, 2004:42-43).
Kesadaran emosi yang dimiliki oleh tokoh Dewa ialah mengetahui emosi
Tokoh Dewa mendengar debur ombak, menghirup bau angin yang asin.
Tokoh Dewa juga tahu bahwa ibunya memanggil Dewa. Hal ini dapat dilihat
(52) Aku mendengar debur ombak. Aku menghirup bau angin yang asin.
Aku juga tahu ibuku memanggilku. Tetapi aku berada di dalam lorong cahaya
yang tidak kunjung berakhir. Aku seperti tersedot oleh pusaran cahaya yang puith
kemilau. Aku tidak melihat apa-apa – tenggelam dalam cahaya...(Ajidarma,
2004:47).
43
antara perasaannya dengan apa yang ia pikirkan, perbuat, dan katakan. Hal ini
terlihat dari tokoh Dewa yang mendengar debur ombak. Tokoh Dewa juga
menghirup bau angin yang asin. Ia juga tahu bahwa Renjani memanggil Dewa,
lalu ia mengibaratkan dirinya berada dalam lorong cahaya yang tidak kunjung
berakhir. Tokoh Dewa seperti tersedot oleh pusaran cahaya yang putih kemilau,
sangat kaku. Tidak ada satupun yang bisa dilakukannya. Ia melihat mata Renjani
menerawang, pikirannya melayang menembus masa lalu. Hal ini dapat kita lihat
(53) Dalam diriku aku tercekat, seolah-olah tubuhku menjadi sangat kaku.
Tidak ada satupun yang bisa kulakukan. Mata ibuku menerawang, pikirannya
melayang menembus masa lalu (Ajidarma, 2004:48).
Dalam kutipan ini kesadaran emosi yang dimiliki oleh Dewa adalah ia
mengetahui emosi mana yang ia rasakan dan mengapa, hal ini ditunjukkan pada
Kesadaran emosi yang dimiliki oleh Dewa ialah ia tahu emosi mana yang
sedang ia rasakan dan mengapa. Ditunjukkan saat tokoh Dewa tidak tahu
bagaimana agar Renjani dapat mendengar suara Dewa, air matanya mengalir
makin lama makin terasa muram. Tokoh Dewa juga tahu bahwa tidak ada alasan
bagi Renjani untuk menangis karena kata-kata Mbak Wid. Renjani juga menangis
44
karena rasa kehilangan dan perasaan berdosa yang tiada terkira. Hal ini dapat kita
menampakkan diri dalam kemurnian, tapi penuh kesamaran, keluar dan masuk
kedalam ingatan dan angan-angan. Seperti suatu sosok, suatu jiwa, yang seolah-
olah ingin menyatakan dirinya dan memanggil-manggil Renjani. Hal ini dapat kita
memanggil seorang anak yang tidak pernah ada dari balik kelam, hal ini termasuk
merasakan air mata Renjani yang hangat di pipi Dewa. Renjani masih ingat akan
diri Dewa seakan-akan Dewa adalah segalanya bagi Renjani. Dewa lalu bertanya
lagi kepada dirinya apakah ibu kandungnya masih mengingat Dewa, sewaktu ia
(56) Aku terduduk, terpaksa duduk, dan memang hanya mampu duduk,
namun siapapun dia dengan hati dan jiwa memiliki ruang yang yang tidak terbatas
dalam dirinya. Aku tercekat dan tercenung, masih terasa hangat airmata ibuku di
pipi. Ibuku selalu teringat diriku bagaikan aku adalah segala-galanya bagi ibuku,
tetapi apakah ibu kandung yang telah membuangku, ketika umurku masih dua
hari, sekarang ini teringat aku ? (Ajidarma, 2004:58).
Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan oleh tokoh Dewa yang tercekat
dan tercenung. Kesadaran emosi tokoh Dewa termasuk mengetahui emosi mana
Tokoh Dewa bercerita tentang dua puluh bayi tunadaksa dalam kekelaman
perempuan itu di luar. Dewa beserta anak-anak tunadaksa lainnya saling mengerti
satu sama lain, seperti memiliki satu hati. Ia sering tersentak oleh kenyataan
dijelaskan. Dewa dan anak-anak tunadaksa lainnya yang dipandang dengan penuh
belas kasihan, juga memandang dua puluh bayi tunadaksa lainnya dengan penuh
belas kasihan. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut :
(57) Dua puluh bayi tunadaksa dalam kekelaman, mendengar meski tidak
mendengar percakapan kedua perempuan itu di luar. Kami para bayi tunadaksa
entah bagaimana caranya begitu saja saling mengerti seolah-olah mempunyai satu
hati. Aku sering tersentak oleh kenyataan semacam ini-kenyataan-kenyataan ajaib,
kenyataan-kenyataan tak terjelaskan. Kami yang dipandang dengan penuh belas
memandang kembali dengan penuh belas (Ajidarma, 2004:66).
Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan oleh tokoh Dewa yang begitu
saja mengerti apa yang didengar oleh anak-anak tunadaksa dari balik kelam, hal
ini menjelaskan bahwa kesadaran emosi tokoh Dewa termasuk dalam menyadari
keterkaitan antara perasaannya dengan apa yang ia pikirkan, perbuat, dan katakan.
kenyataan tak terjelaskan. ini menjelaskan bahwa kesadaran emosi tokoh Dewa
termasuk dalam mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.
kelambu itu langit. Tokoh Dewa bahkan mengatakan bahwa tidak mudah
memisahkan impian dan khayalan dari kenyataan ?. Ia juga bertanya pada dirinya
sendiri, apakah ada kenyataan yang bisa berdiri sendiri di luar tatapan mata yang
Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan oleh tokoh Dewa yang merasa
tenggelam dalam kegelapan, hal ini menjelaskan bahwa kesadaran emosi tokoh
Dewa termasuk dalam mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan
Tokoh Dewa sedang menikmati suasana pagi hari yang cerah, tetapi ia
juga menjadi panik karena lampu alarm berkedip-kedip dan suara alarm
menimbulkan kepanikan. Di Rumah Asuh Ibu Sejati terdapat bayi tunadaksa yang
kejang-kejang di ranjangnya. Para perawat terlihat sedang hilir mudik dan Mbak
Wid sudah berada di luar ruangan untuk melakukan sesuatu. Ibu dari Dewa juga
terlihat sedang cemas. Tetapi, tokoh Dewa tidak terlalu peduli karena dalam
(59) Pagi ini hari tampaknya cerah, namun lampu alarm berkedip-kedip
dan suara alarm itu menimbulkan kepanikan. Ada bayi tunadaksa yang kejang-
kejang di ranjangnya. Para perawat hilir mudik dan Mbak Wid sudah berada di
ruangan itu untuk melakukan sesuatu. Ibuku juga berada di sana dengan segala
kecemasannya. Tapi aku tidak terlalu peduli karena dalam duniaku Adik Bayi
Kencana telah melayang dan melambai, mengucapkan selamat tinggal kepadaku
(Ajidarma, 2004:82).
Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan oleh tokoh Dewa yang merasa
tidak terlalu peduli karena dalam duniaku Adik Bayi Kencana telah melayang dan
kesadaran emosi tokoh Dewa termasuk dalam mengetahui emosi yang sedang ia
Tokoh Dewa bercerita tentang beberapa batang lilin yang habis, sehingga
ruangan lebih temaram, gambar kartu-kartu yang masih terlihat. Ia tidak pernah
menduga bahwa benda tipis seperti kartu menyimpan sebuah cerita tentang dunia.
Menurut tokoh Dewa, makna sebuah kartu terungkap ketika kartu itu dibuka. Ia
menjelaskan lagi bahwa makna terungkap ketika kartu dibuka, dunia yang tidak
akan hilang, kartu yang akan tetap bermakna ketika tertutup, tersimpan dalam
kotak dan barangkali hidup dalam dunianya sendiri. Menurut tokoh Dewa, kartu-
dunia di dalam kartu-kartu itu ? karena setiap saat seseorang bisa saja menatap
kartu-kartu itu untuk pertama kalinya, dan dunia di dalam kartu itu akan menjelma
(60) Beberapa batang lilin habis sehingga ruangan lebih temaram, namun
gambar kartu-kartu itu masih terlihat. Tiada pernah kuduga betapa benda tipis
seperti itu menyimpan sebuah dunia. Makna terungkap ketika kartu dibuka, tetapi
bukankah dunia itu tidak pernah hilang dan tetap akan bermakna ketika tertutup,
48
tersimpan dalam kotak barangkali, hidup dalam dunianya sendiri. Kartu-kartu itu
menyimpan dunia manusia yang menjelma ketika seseorang menatapnya. Apakah
perlu seorang peramal untuk memasuki dunia di dalam kartu-kartu itu ? Setiap
saat seseorang bisa saja menatap kartu-kartu itu untuk pertama kalinya, dan dunia
di dalam kartu itu akan menjelma untuknya (Ajidarma, 2004:93).
sendiri apakah perlu seorang peramal untuk memasuki dunia di dalam kartu-kartu
itu ?. Hal ini menjelaskan bahwa kesadaran emosi Dewa termasuk mengetahui
?. Ia juga meyakinkan bahwa sphinx dari mulutnya yang mengaum bisa keluar api
dan menyembur makhluk lain di sisi kanan yang berusaha merebut tempatnya ?.
Ia juga berpendapat bahwa sangat mungkin sebuah roda itu berputar cepat sekali
melontarkan tiga petarung nasib yang ada di sana, dan monyet di sebelah kiri yang
jadi penanda kesialan itu bisa saja mengubah nasibnya sendiri menjadi penanda
(61) Bukankah makhluk berkepala manusia yang disebut sphinx itu bisa
saja mengaum, mengibaskan ekor, meyabetkan pedang, dan mahkotanya lepas
sementara roda itu menggelinding sehingga melontarkannya entah ke mana ?
Tidakkah dari mulutnya yang mengaum bisa keluar api dan menyembur makhluk
lain di sisi kanan yang berusaha merebut tempatnya ? Aku kira sangat mungkin
roda itu berputar cepat sekali melontarkan tiga petarung nasib yang ada di sana,
dan monyet di sebelah kiri yang jadi penanda kesialan itu bisa saja mengubah
nasibnya sendiri menjadi penanda keberuntungan. Kenapa tidak ? (Ajidarma,
2004:93).
mungkin roda itu berputar cepat sekali melontarkan tiga petarung nasib yang ada
49
di sana, dan monyet di sebelah kiri yang jadi penanda kesialan itu bisa saja
bahwa kesadaran emosi Dewa termasuk mengetahui emosi mana yang sedang ia
Tokoh Dewa bergumam dan bertanya apakah dirinya dulu adalah salah
penonton adu ayam dan riuhnya suara bunyi-bunyian. Ia kembali bertanya, kisah
apakah yang dinyanyikan oleh pesinden masa lalu ? cerita seperti apakah yang
meski kemudian waktu menjadi berhenti, dan keramaian itu membeku dalam
(62) Hmm. Apakah aku dulu salah seorang penonton pertunjukan keliling
? Aku seperti mendengar kembali sorak-sorai penonton adu ayam dan riuhnya
suara bunyi-bunyian. Kisah apakah yang dinyanyikan oleh pesinden masa lalu ?
Cerita apakah yang dibawakan si penari topeng ? Aku merasa berbahagia di
tengah keramaian di pasar kuno. Orang-orang berjingkrak dan bersorak – meski
kemudian waktu berhenti, dan keramaian itu membeku dalam relief di dinding
batu (Ajidarma, 2004:100).
adalah salah seorang penonton pertunjukkan keliling. Selain itu kesadaran emosi
penonton adu ayam dan riuhnya suara bunyi-bunyian, dan Dewa merasa
berbahagia saat berada di tengah keramaian di pasar kuno. Hal ini menjelaskan
bahwa kesadaran emosi Dewa termasuk mengetahui emosi mana yang sedang ia
Tokoh Dewa melihat ibunya yang tidak terlalu sadar bahwa lelaki itu
terbuka untuk melihat dirinya, yang terlihat bodoh sekali dengan kepala selalu
Dewa lalu beranggapan mungkin lelaki itu belum tahu apa itu autistik, tetapi
sepintas lalu saja mereka akan tahu, dari wajahnya yang terlalu tua untuk
tubuhnya yang kecil, belum lagi kepalanya yang tertunduk terus tanpa gerak sama
sekali, Dewa merasa tidak sama dengan anak-anak lain. Dapat kita lihat dalam
kutipan berikut :
(63) Ibuku tidak terlalu sadar betapa lelaki itu terus memperhatikannya.
Kalau mendengarkan musik, ia memejamkan mata, dan hanya terbuka untuk
melihat aku, yang pasti tampak bodoh sekali dengan kepala selalu tertunduk itu.
Kemudian kusadari kalau lelaki itu juga memperhatikan aku. Tidak sulit untuk
menduga, bahwa ia bertanya-tanya, kenapa ibuku membawa anak seperti aku
untuk menyaksikan resitalnya. Mungkin ia belum tahu aku autistik, tapi sepintas
lalu saja siapapun akan tahu, dari wajahku yang terlalu tua untuk tubuhku yang
kecil, apalagi kepalaku tertunduk terus tanpa gerak sama sekali, betapa aku
tidaklah sama dengan anak-anak lain (Ajidarma, 2004:103-104).
lelaki yang bermain biola memperhatikannya, dan perasaannya yang tidak sulit
Hal ini menjelaskan bahwa kesadaran emosi yang dimiliki oleh Dewa adalah
Tokoh Dewa merasa ingin bertepuk, dan Dewa memang bertepuk karena
tangan saja. Dewa ingin menunjukkan terimakasih dan penghargaan dengan cara
mengajak Dewa pulang. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini :
(64) Aku juga ingin bertepuk, dan aku memang bertepuk karena tanganku
ditepuk-tepukkan ibuku. Tapi aku merasa bertepuk tangan saja tidak cukup. Aku
ingin menunjukkan terimakasih dan penghargaan dengan cara yang lain, namun
tentu saja aku sulit sekali mengatakannya. Aku hanya bisa membuat diriku tetap
duduk ketika ibuku menggamitku, mengajak aku pulang (Ajidarma, 2004:104).
Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merasa tidak puas bahwa
bertepuk tangan saja tidak cukup, ia ingin menunjukkan rasa terimakasih dan
penghargaan dengan cara yang lain, tetapi Dewa merasa sulit sekali untuk
mengatakannya. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa mengetahui emosi mana
yang sedang ia rasakan dan mengapa, Dewa mempunyai kesadaran yang menjadi
Tokoh Dewa merasa Renjani akan pergi jauh sekali, pergi meninggalkan
diri Dewa. Ia tertunduk kembali merasa sangat sedih, tetapi ia tidak dapat
menunjukkan kesedihannya. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut :
(65) Itulah masalahnya. Aku merasa ibuku akan pergi jauh sekali, pergi
jauh sekali meninggalkan aku. Aku tertunduk kembali, merasa sangat sedih dan
tidak bisa memperlihatkan kesedihanku (Ajidarma, 2004:117).
tidak dapat menunjukkan kesedihannya. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa
merasa prihatin oleh sesuatu yang tidak terlalu jelas bagi diri Dewa. Dewa merasa
umurnya sudah delapan puluh tahun, padahal umur sebenarnya adalah delapan
tahun, ia merasa tidak mengetahui apa-apa. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut
yang tidak terlalu jelas bagi dirinya, ia merasa sudah berumur delapan puluh
tahun, padahl umur sebenarnya adalah delapan tahun. Hal ini menjelaskan bahwa
tokoh Dewa mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.
lalu bercerita tentang Renjani yang sedang memperhatikan arus. Setiap kali arus
(67) Aku tertegun. Apa yang tidak kuketahui tentang ibuku ? Ibuku
memperhatikan arus. Setiap kali arus mengarah deras ke lautan, ia membuang
sesuatu dari dalam kotak kenangannya (Ajidarma, 2004:144-145).
pada dirinya sendiri, sebab ia dapat mengenal Renjani dengan baik. Hal ini
menjelaskan bahwa tokoh Dewa mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan
dan mengapa.
Tokoh Dewa bercerita bahwa malam hari terasa hidup saat kondisi malam
bertambah larut, ketika orang tertidur. Ganggang tergolek di batu karang. Tidak
53
bertanya lagi pada dirinya mengapa ibunya menghancurkan segala makna dan
mengapa ia ingin melepaskan diri dari segala keterikatan dengan dunia ?. Dewa
kembali bertanya pada dirinya. Apakah Renjani tidak ingin mencintai aku lagi ?.
bebas mengembara dalam semesta jiwa. Diri Dewa begitu takut karena merasa
seolah-olah ibunya berada dibalik cakrawala. Dapat kita lihat dalam kutipan
berikut :
Apakah ia tidak ingin mencintai aku lagi ?. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh
Tokoh Dewa merasa tidak mengerti bagaimana kartu yang ditarik dapat
menggambarkan masa depan penarik kartu. Ia lalu bertanya pada dirinya sendiri,
bahwa segala kemungkinan memang bisa saja akan terjadi. Dewa merasa tidak
menghubungkan, secara pasti dan berulang kali antara ramalan kartu dan
54
tarot seperti hidup dalam dunianya sendiri. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut
(69) Aku tidak bisa mengerti bagaimana kartu yang ditarik bisa
menggambarkan masa depan penarik kartu itu. Apakah jaminannya bahwa kartu-
kartu itu memang menggambarkan takdir, yang berarti bahwa segala
kemungkinannya memang bisa saja akan terjadi ? Aku tidak merasa mampu
membuktikan apa-apa, selama aku tidak mampu menghubungkan secara
meyakinkan, pasti, dan berulang kali antara ramalan kartu dan keberlangsungan
masa depan itu. Namun dunia dalam kartu-kartu itu memang seperti hidup dalam
dirinya sendiri (Ajidarma, 2004:156).
bagaimana kartu yang ditarik bisa menggambarkan masa depan penarik kartu itu,
menghubungkan secara meyakinkan, pasti, dan berulang kali antara ramalan kartu
dan keberlangsungan masa depan itu. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa
yang basah, tetes embun, dan bunga-bunga yang merekah dalam cahaya. Dari pagi
sampai malam, meski kepalanya selalu tertunduk dan matanya hanya tertatapkan
menurut Dewa tanpa mengenal Renjani, ia tidak akan pernah tahu arti kepenuhan
cinta. Cinta yang bukan belas kasihan, cinta yang bukan kedermawanan, apalagi
kewajiban, tetapi yang selalu memberi dan memberi. Dapat kita lihat dalam
kutipan berikut :
55
(70) Kucari ibuku seperti mencari cinta, di antara dedaunan yang basah,
tetes embun, dan bunga-bunga yang merekah dalam cahaya. Dari pagi sampai
malam, meski kepalaku selalu tertunduk dan mata hanya tertatapkan ke lantai, aku
selalu mencari tanda-tanda di mana bisa kudapatkan ibuku, kurasakan kasih
sayangnya, dan kuhayati kehangatan cintanya – karena tanpa pernah mengenal
ibuku, aku tidak akan pernah tahu arti kepenuhan cinta itu. Cinta yang bukan
belas kasihan, cinta yang bukan kedermawanan, apalagi kewajiban, tetapi yang
memang memberi dan selalu memberi (Ajidarma, 2004:172).
Renjani, dan dapat menghayati kehangatan cinta Renjani, selain itu juga dengan
merasa tidak pernah mengenal kepenuhan cinta. Cinta yang bukan belas kasihan,
memberi dan selalu memberi. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa mengetahui
emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa dan mempunyai kesadaran yang
begitu datang mereka menyapaku, begitu mereka mati mereka menyapaku juga,
tidak ada kemungkinan lain di luar itu. Ia sering bertanya pada dirinya sendiri,
untuk apa ada pertemuan jika nanti masih ada perpisahan, tapi Dewa tidak pernah
(71) Aku tidak ingin bersedih, tetapi segala peristiwa selalu mengingatkan
aku kepada ibuku. Bayi-bayi tunadaksa masih selalu datang dan pergi, begitu
datang mereka menyapaku, begitu mereka mati mereka menyapaku juga –
keuanya membawa perasaan berduka. Pertemuan dan perpisahan, tidak ada
kemungkinan lain di luar itu. Begitulah sering kutanyakan pada diriku, untuk apa
ada pertemuan jika nanti masih ada perpisahan, tapi tentu saja tidak pernah ada
jawaban (Ajidarma, 2004:172).
56
bersedih dan merasa bahwa bayi-bayi tunadaksa yang datang dan pergi, keduanya
baginya tidak ada kemungkinan lain di luar itu, tokoh Dewa beranggapan bahwa
untuk apa ada pertemuan, jika nantinya harus ada perpisahan. Hal ini menjelaskan
bahwa Dewa mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa, serta
sasarannya.
bahwa dunia seperti gelap dan asing, dan ia melayang seperti tersedot oleh sesuatu
tanpa bisa melawan, meski ia memang tidak ingin melawan, dan tidak pernah
ingin melawan. Ia membiarkan dirinya tersedot ke mana pun asal membawa diri
Dewa kepada Renjani. Ia ingin sekali bertemu dengan Renjani, hal ini
diungkapkannya dua kali. Tapi ternyata Dewa masih berada di ranjangnya. Setiap
hari yang dilihatnya hanyalah kelambu, meskipun ia tidak dapat melihatnya secara
fisik, tetapi mata batin Dewa melihatnya. Sebagai anak tunadaksa, Dewa merasa
tidak dapat melihat, mendengar dan tidak mampu bercerita apa-apa. Dewa kini
menyesal bahwa tidak akan ada lagi suara Renjani yang menyatakan rasa
tanpa bisa melawan meski aku memang tidak ingin melawan dan tidak pernah
ingin melawan. Kubiarkan diriku tersedot ke mana pun asal membawaku sampai
kepada ibuku. Aku ingin bertemu ibuku. Aku ingin bertemu ibuku. Tapi ternyata
aku masih di ranjangku. Setiap kali membuka mata yang kulihat kelambu meski
sungguh mati aku tidak melihatnya tidak melihatnya tidak melihatnya. Apakah
yang bisa dilihat, didengar , dan diceritakan kembali oleh seorang anak tunadaksa
? Kini tak seorangpun, tak seorangpun, akan pernah berkata, “ Dewa, Ibu sayang
sekali sama Dewa,”- tidak pernah lagi, tak akan pernah (Ajidarma, 2004:173-
174).
Dewa, Dewa merasakan kekosongan yang teramat dalam. Hal ini menjelaskan
bahwa Dewa mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.
Tokoh Dewa berandai-andai alangkah hebatnya jika hanya satu buah biola
sebuah konser. Namun, bukan sekedar konser dari sebuah kuartet gesek atau
orkestra. Hanya ada satu biola yang dimainkan di kuburan, tetapi ia telah
mendengar seribu biola, bahkan lebih dari seribu biola, karena di kuburan sunyi
sepi itu bagaikan telah turun para peri yang amat piawai memainkan musik,
membawa seluruh instrumen yang pernah ada di dunia. Ia lalu bertanya apakah
dirinya berada di surga, Dewa lalu beranggapan bahwa surga adalah untuk
Renjani, pecinta dan pengasuh anak-anak tunadaksa. Dewa berharap dan yakin
bagian dari surga, karena cinta memang bagian dari surga, bahkan cinta adalah
surga itu sendiri, sedangkan lagu ini begitu penuh cinta. Hal ini dapat dilihat
(73) Bukankah ajaib jika hanya satu biola yang dimainkan di kuburan itu,
tetapi dalam kenyataannya kudengarkan sebuah konser ? Ini bukan sekadar konser
dari sebuah kuartet gesek atau orkestra. Hanya ada satu biola dimainkan di
kuburan itu, tapi telah kudengarkan seribu biola, bahkan lebih dari sekadar seribu
58
biola, karena di kuburan sunyi sepi itu bagaikan telah turun para peri yang paling
piawai memainkan musik, membawa seluruh instrumen yang pernah ada di dunia.
Apakah aku berada di surga ? Tapi surga adalah untuk ibuku, pecinta dan
pengasuh anak-anak tunadaksa. Jika ibuku mendengarnya dan aku percaya ibuku
mendengarnya, kuharap ia merasa sebagai bagian dari surga, karena cinta
memang bagian dari surga, bahkan cinta adalah surga itu sendiri, sedangkan lagu
ini begitu penuh dengan cinta (Ajidarma, 2004:186).
Renjani mendengar permainan biola Bhisma. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa
tetapi ia sebenarnya sama sekali tidak sendiri. Seribu peri sedang memainkan
seribu biola, dan seribu peri memainkan seribu alat-alat musik di langit, dalam
cahaya serba gemilang dan penuh berkah, seperti hanya dipersembahkan bagi
anak-anak tunadaksa, yang seketika bangkit dari tidur mereka yang panjang,
terpesona, semesta jiwa Dewa yang sunyi menjadi ceria begitu rupa. Hal ini dapat
(74) Bhisma bermain sendirian, namun ia sama sekali tidak sendiri. Seribu
peri memainkan seribu biola dan seribu peri memainkan seribu alat-alat musik di
langit, dalam cahaya serba gemilang dan penuh berkah, seperti hanya
dipersembahkan bagi anak-anak tunadaksa, yang seketika bangkit dari tidur
mereka yang panjang, langsung berlarian, meloncat-loncat dan berjingkat-jingkat
di taman bunga, terbang melayang bagaikan malaikat-malaikat kecil yang serba
periang – aku terpesona, semesta jiwaku yang sunyi bisa ceria begini
rupa...(Ajidarma, 2004:186).
peri yang memainkan seribu biola, dan seribu peri yang memainkan seribu alat-
59
alat musik di langit yang dipersembahkan untuk anak-anak tunadaksa. Hal ini
menjelaskan bahwa Dewa mengetahui emosi mana yang ia rasakan dan mengapa.
tampak bodoh dan kosong, dengan hati berdebar dan penuh perasaan ingin tahu ia
dalam kegelapan semesta samudera itu, ia melihat Renjani yang tersenyum dan
mengembangkan tangan siap memeluknya. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut
(75) Kepalaku tertunduk, tentu masih selalu tampak bodoh dan kosong,
namun dengan hati berdebar dan penuh perasaan ingin tahu aku menghayati
segala sesuatu yang berkelebat dan berlalu. Dan di ujung itu, dengan latar
belakang cahaya kebiru-biruan yang tampak agung dalam kegelapan semesta
samudera itu, kulihat ibuku yang tersenyum dan mengembangkan tangan siap
memelukku (Ajidarma, 2004:189).
Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merasa ingin tahu dan
menghayati segala sesuatu yang berkelebat dan berlalu. Kata segala sesuatu secara
tersirat merujuk pada cerita masa lalunya, hal ini disiratkan oleh adanya kata
berlalu. Rasa ingin tahu Dewa, dan penghayatan terhadap masa lalunya
dan mengapa.
beterbangan mengincar padi. Angin padi yang basah membasuh hati Dewa dan
Bhisma, Dewa kembali bercerita tentang angin pagi yang basah membasuh hati
mereka berdua. Dewa lalu bercerita bahwa kita seharusnya bersyukur masih dapat
60
menikmati pagi. Dewa bercerita lagi bahwa saat Bhisma memandang langit, dari
kejauhan terdengar gema sungai dan tawa orang-orang yang mencuci di tepi kali.
merasa bersyukur dapat menikmati suasana pagi. Hal ini menjelaskan bahwa
Tokoh Dewa bercerita tentang dirinya yang selalu tertunduk dan sendiri,
mencoba mengerti, apakah artinya menjadi anak tunadaksa di tengah dunia yang
(77) Di sini, aku yang selalu tertunduk dan sendiri, mencoba mengerti,
apakah artinya menjadi anak tunadaksa di tengah dunia yang hiruk pikuk ini
(Ajidarma, 2004:194).
apakah arti dirinya bagi dunia. Hal ini menjelaskan bahwa ia mengetahui emosi
namanya. Asal-usulnya adalah tanda tanya besar, siapa ayah dan ibu kandungnya,
mengapa mereka tidak merawat diri Dewa. Ia mengakui tidak ada yang kurang
dari kasih sayang ibuku bahkan hidup serasa sudah penuh dan selesai oleh kasih
sayang ibuku yang berlimpah ruah melebihi berkah, tapi memang ada suatu
perasaan tertentu, semacam keinginan untuk melacak jalur masa lalu, jika
61
ada yang kurang dari kasih sayang ibunya yang berlimpah ruah melebihi berkah,
juga saat ia merasa ada keinginan tertentu untuk melacak jalur masa lalu sekalipun
itu tidak terlalu perlu. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa mengetahui emosi
Tokoh Dewa dan anak-anak tunadaksa melihat dunia dengan cara lain,
mereka menghayati dan mengalami dunia dengan cara yang sama sekali lain,
tetapi itu tidak berarti mereka tidak saling mengerti satu sama lain. Bila tubuh
mereka tidak mampu berbahasa, bukan berarti Dewa dan anak-anak tunadaksa
lainnya tidak memiliki hati dan jiwa sama sekali. Dewa lalu kembali menegaskan
bahwa bahwa cinta telah menghidupkan mereka. Dewa mengajak para manusia
bertubuh normal untuk menyayangi dan mencintai mereka, maka mereka akan
tahu bahwa ada sesuatu yang mereka mengerti, dan akan tahu bahwa sebuah
makna akan sangat berarti. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :
(79) Itulah masalahnya, kami melihat dunia dengan cara lain, menghayati
dan mengalami dunia dengan cara yang sama sekali lain, namun itu tidak berarti
kita harus tetap selalu tak saling mengerti-bila tubuh dan otak kami tiada mampu
berbahasa, tidaklah berarti kami tiada berjiwa dan tiada berhati sama sekali.
Bukankah sudah berkali-kali kukatakan betapa cinta telah menghidupkan kami ?
62
Sayangilah kami, maka ada sesuatu yang akan dikau mengerti;cintailah kami,
maka tak akan pernah dikau kira betapa makna akan sangat berarti (Ajidarma,
2004:197).
akan-anak tunadaksa lainnya menghayati dunia dengan cara yang sama sekali
berbeda, ini menjelaskan bahwa Dewa mengetahui emosi mana yang sedang ia
rasakan dan mengapa. Selain itu, kesadaran emosi Dewa diperlihatkan oleh kata-
maka ada sesuatu yang akan mereka mengerti, dan dengan cara ini agar mereka
yang bertubuh sempurna menjadi tahu bahwa betapa berartinya sebuah makna, hal
Tokoh Dewa merenung bahwa begitu banyak hal yang tidak cocok : wajah
alim seorang pembunuh, wajah suci seorang pelacur, wajah miskin seorang
dermawan, wajah jutawan seorang pengemis yang terlalu banyak meminta untuk
mungkin memastikan kejahatan seseorang hanya dari wajahnya ?. Dapat kita lihat
(80) Begitu banyak yang tidak cocok : wajah alim seorang pembunuh,
wajah suci seorang pelacur, wajah miskin seorang dermawan, wajah jutawan
seorang pengemis yang terlalu banyak meminta untuk dirinya sendiri-padahal
barangkali memang begitulah adanya, bukankah tidak mungkin memastikan
kejahatan seseorang hanya dari wajahnya ? (Ajidarma, 2004:2).
63
merenung dan menyadari tentang kenyataan bahwa seringkali begitu banyak hal
yang bertentangan di dunia ini; pembunuh yang memiliki wajah alim, pelacur
yang terlihat suci, pengemis yang terlalu banyak meminta untuk dirinya sendiri.
Dewa lalu mengajak agar jangan hanya menilai suatu hal secara sebagian saja,
tetapi secara utuh. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk
Tokoh Dewa bercerita bahwa jiwanya dan jiwa anak tunadaksa lainnya,
sebenarnya hanya bisa diduga-duga saja oleh para perawat mereka yang mulia.
Karena sebenarnya jiwa seorang anak tunadaksa tiada akan pernah dapat diselami
seluruh waktu hidup untuk memikirkannya. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut
(81) Jiwa kami, jiwa para tunadaksa, sebetulnya hanya bisa diduga-duga
saja oleh para perawat kami yang mulia, karena sebenarnyalah jiwa seorang
tunadaksa tiada akan pernah bisa diselami oleh mereka yang tubuhnya bersarana
sempurna, meski mereka menghabiskan seluruh waktu hidup mereka untuk
memikirkannya (Ajidarma, 2004:2).
bahwa jiwa Dewa dan anak tunadaksa hanya bisa diduga-duga, oleh manusia yang
bertubuh sempurna. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk
Tokoh Dewa sebagai dan anak tunadaksa lainnya, memahami jiwa dengan
cara mereka sendiri, dan dari sudut pandangnya sendiri, dengan keberadaan tubuh
makhluk yang juga sempurna. Dewa dan anak tunadaksa lainnya merasa tidak
bertubuh sempurna, tetapi Dewa dan anak tundaksa lainnya merasa sempurna
dalam kondisi mereka yang apa adanya. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :
(82) Kami memahami jiwa kami dengan cara kami sendiri, dan dari sudut
pandang kami, dengan keberadaan tubuh yang menampung jiwa kami, dengan
segenap keutuhannya kami adalah makhluk yang juga sempurna : kami tidak
sempurna bagi yang membandingkan ketubuhan kami denagn ketubuhan mereka,
tetapi kami bertubuh sempurna dalam keberadaan kami sendiri (Ajidarma,
2004:2).
cara mereka sendiri, mereka memang tidak sempurna bagi manusia bertubuh
Tokoh Dewa dan anak tunadaksa lainnya merasa tidak mendengar karena
tidak perlu mendengar, tidak melihat karena tidak perlu melihat, tidak bersuara
karena tidak perlu bersuara, tidak berpikir karena tidak perlu berpikir, tubuhnya
jiwanya yang merdeka telah membuat tubuh mereka untuk bebas dan kembali
pada diri mereka sendiri. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :
(83) Kami tidak mendengar karena tidak perlu mendengar, kami tidak
melihat karena tidak perlu melihat, kami tidak bersuara karena tidak perlu
bersuara, dan kami tidak berpikir karena tidak perlu berpikir – tubuh kami tumbuh
dalam kebutuhannya sendiri, bebas dari perintah-perintah kami, karena jiwa kami
65
yang merdeka juga telah memerdekakan tubuh kami untuk kembali kepada diri
mereka sendiri (Ajidarma, 2004:2).
anak-anak tunadaksa dan tubuhnya untuk melihat kondisi tubuhnya secara apa
adanya. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa sadar tentang kekuatan-kekuatan dan
pengalaman.
anak tunadaksa lain sebenarnya melihat dan mendengar, seolah-olah mereka diam
membisu, tetapi mereka tidak diam dan membisu, seolah-olah mereka tumbuh
seperti tanaman dan tidak mampu berpikir, tetapi mereka menyadari bahwa diri
mereka bukan tanaman. Mereka berpikir dengan cara yang hanya kaum mereka
saja yang mengerti, mereka melakukan ini semua bukan karena mereka ingin
mengelabui, tetapi karena mereka merasa diri mereka sempurna, dan kasihan
kepada orang-orang berubuh sempurna yang tertipu oleh sudut pandang mereka
tidak merasa cacat sama sekali, karena bagi Dewa dan anak-anak tunadaksa
lainnya keberadaan tubuh mereka yang cacat adalah sebuah kelengkapan. Hal ini
(84) Seolah-olah kami tidak melihat dan mendengar, tetapi kami melihat
dan mendengar, seolah-olah kami diam dan membisu, tetapi kami tidak diam dan
tidak membisu, seolah-olah kami tumbuh seperti tanaman dan tidak mampu
berpikir, tetapi kami bukan tanaman dan tidak mampu berpikir, tetapi kami bukan
tanaman dan kami berpikir dengan cara yang hanya kami bisa menghayatinya –
66
semua ini terjadi bukan karena kami berusaha mengelabui, melainkan karena
mereka yang merasa dirinya sempurna dan merasa kasihan kepada kami
terkelabui oleh perasaan ketersempurnaannya sendiri. Kami sendiri tidak merasa
kurang sama sekali, karena keberadaan tubuh kami adalah kelengkapan dalam
kelahiran kami (Ajidarma, 2004:2-3).
bahwa seolah-olah tidak melihat dan mendengar, tetapi sebenarnya ia melihat dan
sebenarnya tidak diam dan membisu, mereka berpikir dengan cara yang hanya
mereka mengerti dan hayati. Semua ini terjadi bukan karena mereka berusaha
mengelabui, tetapi karena mereka yang merasa dirinya sempurna dan merasa
Sebab kekurangan bagi Dewa, adalah kelengkapan dalam kelahiran mereka. Hal
pengalaman.
Tokoh Dewa merasa aneh diberi nama Dewa, karena Dewa bukanlah
seperti tokoh dewa di pewayangan yang mandraguna dan sakti. Dewa lalu
tunadaksa, yakni memiliki cacat lebih dari satu cacat. Salah satunya tunawicara
darah, yang membuat tubuh Dewa tidak dapat berkembang. Dewa juga memiliki
menangkap bunyi tapi tidak mendengar, hal ini disebabkan karena jaringan
otaknya yang rusak. Leher Dewa selalu miring, kepalanya selalu tertunduk,
67
bayi tua, tubuhnya kecil, tetapi wajahnya terlihat tua. Anak-anak suka memanggil
Dewa dengan sebutan anak tuyul atau anak genederuwo, semuanya hanya setan-
setan gentayangan yang hanya mereka kira-kira saja bentuk rupanya. Dapat kita
(85) Namaku Dewa. Sebetulnya aneh sekali aku diberi nama Dewa, karena
bukankah Dewa adalah makhluk sakti mandraguna yang sangat berkuasa ?
Sedangkan aku, apalah kekuasaanku selain menerbitkan belas kasihan sesama
manusia ? Namaku Dewa, umurku menjelang delapan tahun, dan aku tidak pernah
tumbuh seperti anak-anak lainnya. Aku disebut sebagai anak tunadaksa, yakni
memiliki lebih dari satu cacat, dan salah satunya adalah tunawicara. Menurut
pemeriksaan, aku dilahirkan dengan kelainan sistem peredaran darah, yang
membuat tubuhku tidak berkembang. Aku juga disebut mempunyai
kecenderungan autistik, mataku terbuka tapi tidak melihat, telingaku bisa
menangkap bunyi tapi tidak mendengar, tentu karena jaringan otakku yang
ternyata rusak. Leherku selalu miring, kepalaku selalu tertunduk – ya,
pandanganku selalu terarah ke bawah. Aku seperti bayi tua, tubuhku kecil, tetapi
wajah lebih berusia : anak-anak kecil suka memanggilku anak tuyul atau anak
genderuwo, semuanya setan-setan gentayangan yang hanya mereka kira-kira saja
bentuk rupanya (Ajidarma, 2004:7).
dirinya yang hanya menerbitkan belas kasihan, dengan dewa dalam dunia
pewayangan yang sakti mandraguna, selain itu penilaian diri secara akurat juga
terlihat pada pernyataan diri Dewa yang mengaku dirinya cacat. Hal ini
kelemahannya, serta tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung belajar dari
pengalaman.
apa-apa, ia sering tidak mengerti, kenapa dirinya diberi nama Dewa, jika
Dewa juga bukan nama kososng, setidaknya jika dibandingkan dengan dewa-
dalam maupun di luar dunia ini, menembus berbagai macam dimensi. Hanya
tampaknya saja Dewa tidak dapat melihat dan mendengar sesuatu, tetapi ia
mampu menangkap getaran jiwa dan mendengar kata hati. Dapat kita lihat dalam
kutipan berikut :
(86) Aku tetap tertunduk, apalah yang bisa kulakukan ? Aku sering tidak
mengerti, kenapa aku diberi nama Dewa, kalau kemudian diketahui aku tidak bisa
mengangkat kepala seperti ini. Namun, sebenarnya nama Dewa juga bukan nama
kosong, setidaknya kalau dibandingkan dengan dewa-dewa dari dunia
pewayangan, yang bisa berkelebat ke sembarang tempat, di dalam maupun di luar
dunia ini, menembus berbagai macam dimensi. Hanya tampaknya saja aku tidak
mampu melihat dan mendengar sesuatu, tetapi aku mampu menangkap getaran
jiwa dan mendengar kata hati (Ajidarma, 2004:9).
mengapa ia diberi nama Dewa, jika diketahui ia tidak dapat berbuat apa-apa.
tidak dapat melihat dan mendengar sesuatu, tetapi sebenarnya ia dapat menangkap
getaran jiwa dan mendengar kata hati. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa sadar
Tokoh Dewa berkata dalam hati bahwa setiap kali ibunya berkata, ia yakin
bahwa Dewa akan mengerti apa yang diucapkannya, tetapi Dewa tidak pernah
memperlihatkan tanda mengerti. Dewa selalu diam seribu bahasa, karena bagi
Dewa bahasa hatinya sudah bicara. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :
(87) Ibuku sangat yakin betapa aku akan mengerti, tapi akau tidak pernah
memperlihatkan tanda seperti mengerti. Aku selalu diam seribu bahasa, karena
bahasa hatiku sudah selalu bicara (Ajidarma, 2004:9).
69
memperlihatkan tanda seperti mengerti, setiap kata yang diucapkan oleh ibunya.
Dewa selalu diam seribu bahasa, karena bahasa hatinya sudah bicara. Hal ini
kelemahannya.
Saat dipanggil oleh ibunya tokoh Dewa dengan tertunduk berkata dalam
hati bahwa ia adalah anak tunadaksa, yang otaknya rusak, sehingga ini
Meskipun demikian, cinta ibunya bagai air terjun yang membasuh Dewa, ia tidak
mendengar tetapi mendengar cinta itu dalam bahasanya sendiri, bukan bahasa
ibunya yang terdengar melainkan bahasa cinta. Ibu dari Dewa yakin jika diri
Dewa mengerti dan Dewa memang mengerti meski tetap tertunduk dengan
(88) “ Dewa..Dewa...”
Aku selalutertunduk, karena tentu saja aku adalah seorang anak tunadaksa
yang rusak otaknya, sehingga telingaku yang mendengar tidak berarti apapun bagi
otakku. Namun cinta ibuku bagaikan air terjun yang membasuhku, aku tidak
mendengar tetapi mendengar cinta itu dalam bahasaku sendiri, bukan bahasa
ibuku yang terdengar melainkan bahasa cinta.
“ Dewa... Dewa..”
Ibuku yakin kalau aku mengerti dan aku memang mengerti meski tetap
tertunduk dengan pandangan selalu ke bawah (Ajidarma, 2004:11-12).
otaknya rusak, sehingga telinganya yang mendengar tidak berarti apapun bagi
otak Dewa. Selain itu pandangan terhadap ibu Dewa yang yakin bahwa Dewa
pasti mengerti apa yang dikatakan oleh ibunya. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa
Tokoh Dewa sedang memperhatikan ibunya dan Mbak Wid yang bermain
kartu tarot. Ia melihat ada satu buah lilin yang mati, sedangakan 99 lilin lainnya
Larasati dan kematian lilin yang dilihatnya hanyalah kebetulan, akan tetapi sebuah
kebetulan juga merupakan kenyataan. Dewa melihat Rumah Asuh Ibu Sejati
menjadi sebuah dunia tersendiri yang ada di pojok sunyi di pinggiran Kotagede.
Dewa lalu menceritakan, ada Mbak Wid yang hidup di dua dunia, ada Renjani
yang disebut Mbak Wid terlalu memanjakan dirinya, dan sekitar duapuluh bayi
yang seperti hanya numpang tidur sebentar sebelum mati. Dewa lalu menyebutkan
peribahasa Jawa dalam bahasa indonesia, Hidup hanyalah mampir untuk minum,
kata orang Jawa – ya hanya mampir, dan kita tidak tahu persis darimana asal kita,
perenungannya tentang Rumah Asuh Ibu Sejati yang menjadi sebuah dunia
dalamnya. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk merenung,
Tokoh Dewa melihat Mbak Wid yang sedang bermain kartu tarot, ia lalu
merenung betapa kehidupan manusia selalu terarah ke masa depan yang tidak
akan pernah bisa diduga, mungkin bisa ditebak, dan tentu bisa saja berusaha
diramalkan – namun apakah jaminannya bahwa manusia sudah tahupasti apa yang
belum terjadi ? Tetapi manusia selalu berharap bahwa masa depan mereka akan
baik, lebih baik, syukur-syukur jauh lebih baik, dan bayangan akan nasib yang
malang, takdir yang buruk, serta kodrat yang sudah ditentukan terasa mengancam,
kecemasan, ketakutan, dan keprihatinan atas kemungkinan yang tiada akan pernah
bisa dipastikan. Lalu, Dewa berkesimpulan bahwa mereka yang percaya betul
celakanya tidak semua kartutarot Mbak Wid memberikan harapan, dan itulah
yang selalu terjadi setiap akan ada bayi mati di panti asuhan ini. Dapat kita lihat
kehidupan manusia selalu terarah ke masa depan yang tidak akan pernah bisa
dipastikan. Sebab masa depan bisa ditebak bisa juga tidak, masa depan dapat
diramalkan, tetapi apakah jaminannya bahwa manusia tahu secara pasti apa yang
belum terjadi dan barangkali saja memang tidak akan pernah terjadi. Dewa juga
bercerita tentang harapan manusia akan masa depan yang lebih baik. Menurut
keprihatinan atas kemungkinan yang tiada akan pernah bisa dipastikan. Lalu,
mengandalkan terdapatnya harapan, tetapi tidak semua kartu tarot Mbak Wid
memberikan harapan, dan inilah yang terjadi setiap ada bayi yang akan mati di
Panti Asuhan Ibu Sejati. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa menyempatkan
sebuah semesta yang kelam, dengan roh kehidupan yang melayang-layang tanpa
bisa menentukan nasibnya sendiri, sementara berbagai macam meteor dari segala
tahun cahaya yang tiada terbatas panjangnya, sebelum menjadi takdir itu sendiri
dalam perjumpaan dengan ketidakterdugaan abadi. Langit yang hitam kelam bagi
(91) Begitulah aku sering membayangkan dunia ini sebagai semesta yang
kelam, dengan roh kehidupan yang melayang-layang tanpa bisa menentukan
73
nasibnya sendiri, sementara berbagai macam meteor dari segala arah telah
menempuh jalan yang panjang, sepanjang-panjang hitungan tahun cahaya yang
tiada terbatas panjangnya, sebelum menjadi takdir itu sendiri dalam perjumpaan
dengan ketidakterdugaan abadi. Langit yang hitam kelam seperti malam,
menyimpan rahasia yang tiada pernah terpecahkan di sebaliknya. Aku sering
membayangkan diriku melayang-layang dan menyaksikan, namun bahkan dalam
bayanganku sendiri aku tidak mampu memberi kepastian atas apa yang
kusaksikan. Segalanya hanyalah penampakan (Ajidarma, 2004:19-20).
Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukan oleh Dewa saat ia
menyempatkan diri untuk merenung dan membayangkan bahwa dunia ini sebagai
semesta yang kelam, serta perenungannya tentang langit hitam kelam seperti
malam yang menyimpan rahasia yang tiada pernah terpecahkan di sebaliknya. Hal
ini menjelaskan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari
pengalaman.
semesta nasib. Kartu takdir diceritakan Dewa hampir mati oleh sabit kematian,
tetapi si pencabut nyawa tersilaukan oleh matahari, diubah menjadi cinta, tapi
menjadi cinta yang membakar, sebagian jadi cinta yang membunuh, sebagaian
lagi menjadi cinta yang berdarah-darah dan menyiksa. Hal ini dapat kita lihat
(92) Kartu-kartu Takdir bermain dalam semesta nasib. Nyaris mati oleh
sabit kematian, namun pencabut nyawa tersilaukan oleh matahari, diubah menjadi
cinta, tapi terempas dari menara, tergantung-gantung tak menentu di tiang
gantungan, dalam lolongan serigala di bawah rembulan. Panah-panah asmara
berkelebatan, sebagian menjadi cinta yang membakar, sebagian jadi cinta yang
membunuh, sebagain lagi menjadi cinta yang berdarah-darah dan menyiksa
(Ajidarma, 2004:20).
74
tentang kartu-kartu takdir / kartu tarot, dan karakter yang terdapat didalamnya,
yang bermain dalam semesta nasib, Dewa berfilosofi bahwa nasib disamakan
seperti sebuah keputusan yang nyaris mati, yang dimaksud mati adalah sebuah
keputusan terakhir, oleh sabit kematian. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa
terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif baru, mau
Tokoh Dewa merenung tentang gundukan tanah merah bayi Larasati dan
mati, padahal keadaan tubuhku tidak lebih baik dari mereka : otak rusak,
peredaran darah tak beres, tubuh kerdil, autistik, menengok saja susah. Ibu Dewa
sangat sering melatih Dewa berjalan, seperti Sumantri melatih Sukasrana. Dewa
dan ibunya lalu berjalan di persawahan, mereka berjalan di pantai, atau menengok
makam-makam mungil, dan memandang Merapi. Dapat kita lihat dalam kutipan
berikut :
tentang dirinya sendiri, kenapa ia tidak juga kunjung mati, padahal keadaan
tubuhku tidak lebih baik dari mereka : otak rusak, peredaran darah tak beres,
75
tubuh kerdil, autistik, menengok saja susah. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh
menggoyang kamboja, dan semut yang merayap di sela rumput di atas makam.
sunyi saja. Angin bagi Dewa kadang terdengar seperti bisikan dan betapa bisikan
bagi Dewa bisa begitu bermakna ketika mengundang seribu penafsiran. Bagi
Dewa, alam semesta penuh dengan makna, bahkan orang yang sudah mati bisa
bisa merasakan sendiri bahwa kuburan ini tidaklah sesunyi tampaknya. Dapat kita
(94) Hanya sunyi saja makam-makam ini. Angin yang menggoyang bunga
kemboja, dan semut yang merayap di sela rumput di atas makam. Namun
kesunyian bukanlah tanpa suara sedangkan suara-suara bukanlah sekadar bunyi
saja. Angin kadang terdengar seperti bisikan dan betapa bisa bermakna suatu
bisikan ketika mengundang seribu penafsiran. Alam semesta penuh dengan
makna, bahkan orang yang sudah mati bisa berbicara lewat berbagai penanda –
dengan cara itulah aku bisa mengalami dengan caraku sendiri, betapa kuburan ini
tidaklah sesunyi tampaknya (Ajidarma, 2004:28).
tentang kesunyian, angin, alam semesta dan dengan cara inilah ia dapat mengerti
sendiri. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk merenung,
Dewa tidak melihat apa-apa ia mendengar sebuah taman bermain yang ceria. Ia
meyakinkan, Dewa mendengar juga bahwa mereka mengejek Dewa. Hal ini dapat
Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia tidak melihat
meyakinkan, dan saat roh-roh bayi yang sudah meninggal mengejek Dewa. Hal
ini menjelaskan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari
pengalaman.
sebenarnya, hal ini disebabkan karena tubuhnya tidak sempurna seperti orang
bertubuh normal lainnya. Manusia yang bertubuh sempurna sejak lama mencoba
memahami jiwa, tetapi jiwa hanya terbaca melalui tubuh, sehingga fungsi tubuh
jiwa anak-anak tunadaksa tidak dapat dibaca. Dapat kita lihat dalam kutipan
berikut :
(96) Tentu saja aku tidak berpura-pura. Kelahiranku adalah kodratku, tidak
ada yang bisa kuingkari dari situ. Aku hanya tidak bisa menunjukkan diriku,
karena tubuhku tidak berada untuk membahasakan jiwaku. Mereka yang merasa
tubuhnya sempurna berjuang sepanjang sejarah manusia untuk memahami jiwa,
namun jiwa hanya terbaca melalui tubuh yang membahasakannya, sedangkan
tubuh kami tidak menjelmakan penanda apapaun yang mungkin ditafsir sebagai
bahasa-sehingga jiwa kami tidak bisa dibaca (Ajidarma, 2004:29).
77
tentang kelahiran dirinya yang sudah menjadi takdir, dan peranan tubuh terhadap
jiwa manusia. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk
bagaikan sedang bersembahyang dan setiap kali berada dalam posisi tegak mereka
seperti memuji kebesaran Tuhan. Dewa mendengar suara sayap kupu-kupu yang
kepaknya seperti desisan dan terbangnya capung yang berdenging lembut, seperti
mendengar, tetapi selalu ada cara di mana jiwa bisa terhubungkan dengan jiwa.
Ibunya menuntun Dewa dengan sangat sabar. Dewa menghirup bau lumpur sawah
yang membuat Dewa merasa hidup. Dewa lalu kembali bertutur dalam kalimat
tanya, bahwa anak tunadaksa juga bukan anak yang mati. Dapat kita lihat dalam
kutipan berikut :
Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa dibuktikan saat ia bertutur bahwa
telinganya memang tidak mendengar meski terbuka, tetapi selalu ada cara di mana
jiwa bisa berhubungan dengan jiwa, waktu ia menghirup bau lumpur yang
78
makhluk yang mati. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa sadar tentang kekuatan-
kekuatan dan kelemahannya dan menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari
pengalaman.
meskipun matanya tidak melihat apapun. Bagi Dewa, sayap yang terbentang itu
bagaikan sebuah dunia mimpi, dasar hitam beludru bagi warna biru cemerlang
dengan garis tepi berwarna merah dan kuning dan ungu. Ia lalu berandai-andai
jika ia mampu mengecilkan dirinya sampai sekecil butiran debu, Dewa ingin
berselancar di atas sayap kupu-kupu bak permadani itu, tenggelam dalam warna-
warni gemilang yang membahagiakan. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan
berikut :
(98) Kepalaku tertunduk, mataku tidak melihat apapun, namun aku tahu
betapa dahsyat bentangan sayap kupu-kupu itu. Sayap yang terbentang itu
bagaikan sebuah dunia mimpi, dasar hitam beludru bagi warna biru cemerlang
dengan garis tepi berwarna merah dan kuning dan ungu. Jikalau aku mampu
mengecilkan diriku sampai sekecil butiran debu, ingin rasanya aku berselancar di
atas sayap kupu-kupu yang bak permadani itu, tenggelam dalam warna-warni
gemilang yang membahagiakan (Ajidarma, 2004:37-38).
dirinya tidak dapat melihat, tetapi justru sebaliknya ia dapat melihat betapa
kupu yang berwarna dasar hitam beludru bagi warna biru cemerlang dengan garis
tepi berwarna merah dan kuning dan ungu terbentang bagaikan sebuah duia
menjadi kecil, seperti butiran debu dan berselancar di atas sayap kupu-kupu yang
79
pengalaman.
Dewa berujar dalam hati pada ibunya bahwa Dewa sudah mempunyai
yang buruk dan lamban, tetapi setelah beberapa lama bertapa ia akan menjadi
menjadi kupu-kupu, tetapi Dewa tidak tahu pasti, apakah dirinya dibandingkan
dengan ulat yang meskipun lamban masih saja merayap kian kemari, ataukah
lamban, dan jika dibandingkan dengan kepompong karena menurut Dewa dirinya
bukan saja lamban, tapi sebenarnya tidak pernah mampu bergerak atas
kemauannya sendiri. Otak Dewa tidak mampu memberi perintah pada tubuhnya,
tubuhnya tidak mampu menjalankan perintah tubuhku, itu jika hanya otaknya
mengindra, ia hanya sekedar hidup saja. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan
berikut :
(99) Ibu, tak tahukah Ibu, aku sudah mempunyai sebuah dunia ? Ibuku
barangkali mengandaikan aku sebagai seekor ulat yang buruk dan lamban, tapi
yang setelah bertapa beberapa lama aku akan berubah menjadi kupu-kupu
tercantik yang akan terbang lincah di antara bunga-bunga terindah. Aku bisa
membayangkan bagaimana ibuku mengharapkan aku suatu ketika akan menjadi
kupu-kupu – tapi aku tak tahu, apakah diriku dibandingkan dengan ulat yang
80
meskipun lamban masih saja merayap kian kemari, ataukah dengan kepompong
yang diam sendiri ketika waktu berlalu beku. Perbandingan dengan ulat tentu
dengan pertimbangan karena aku memang bukan saja lamban, tapi sebenarnyalah
tidak pernah bergerak atas kemauan sendiri – otakku tidak mampu memberi
perintah tubuhku, tubuhku tidak mampu menjalankan perintah otakku, kalau
memang otakku berpikir. Sebetulnya aku memang tidak berpikir dan
pancaindraku tidak mengindra – aku hanya mengada (Ajidarma, 2004:38-39).
Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia menerka
bahwa ibunya mengandaikan diri Dewa seperti seekor ulat yang buruk dan
lamban, tapi yang setelah berapa lama menjadi kupu-kupu tercantik yang akan
ibunya mengharapkan Dewa suatu saat menjadi kupu-kupu, tetapi ia tak tahu pasti
dengan kepompong, karena Dewa tidak pernah bergerak atas kemauan sendiri,
dapat terbang bebas, kian-kemari. Ia bahkan bertanya pada dirinya lagi, apakah
tidak ada sesuatu dalam dirinya yang terbang bebas kian kemari, seperti kupu-
kupu yang dapat menjelajah kemana saja, sampai tiba pada akhirnya. Dapat kita
(100) Sudah pasti aku tidak terbandingkan dengan kupu-kupu, yang bisa
terbang bebas kian-kemari. Namun, benarkah tidak ada sesuatu dalam diriku yang
terbang bebas kian-kemari, seperti kupu-kupu yang mampu menjelajah ke mana
pun sampai tiba akhir hidupnya ? (Ajidarma, 2004:39).
Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa terlihat pada keyakinan dirinya
tentang diri Dewa yang tidak terbandingkan dengan kupu-kupu yang bisa terbang
bebas kian-kemari, ia juga merenung tentang sesuatu dalam dirinya yang mampu
penggambaran yang luar biasa tentang berubahnya suatu bentuk yang selama ini,
dianggap hakikat isinya sama : jiwa yang menghidupkan kupu-kupu adalah jiwa
yang sama dengan yang tadinya berada dalam seekor ulat. Dewa kembali bertanya
pada dirinya sendiri, tentang jiwa kupu-kupu yang sama dengan jiwa seekor ulat.
Dewa lalu membuat pernyataan tentang jiwa, jika jiwa dan tubuh menyatu,
mengapa jiwa tidak ikut berubah bersama dengan perubahan pada tubuhnya ?.
Bagi Dewa masalah ini tidak mudah untuk dipecahkan, karena ketika di satu
pihak jiwa dianggap tidak terpisahkan dari tubuh, sering ditemukan betapa tubuh
bisa saja tidak ada hubungannya dengan jiwanya-yang pasti, menurut Dewa jiwa
tidaklah mungkin ditandai tanpa suatu bentuk yang bisa ditangkap pancaindra,
bagi mereka yang hanya mampu hidup dengan pengindraannya. Bagi Dewa
sendiri, indra tubuhnya tidak membantu apa-apa, meski tubuh itu masih memberi
tanda, tentang terdapatnya jiwa. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :
82
(101) Kisah ulat yang menjadi kupu-kupu itu sendiri adalah penggambaran
yang luar biasa tentang berubahnya suatu bentuk yang selama ini dianggap
hakikat isinya sama : jiwa yang menghidupkan kupu-kupu adalah jiwa yang sama
dengan yang tadinya berada dalam seekor ulat. Benarkah begitu ? Jika jiwa dan
tubuh menyatu, mengapa jiwa itu tidak ikut berubah bersama dengan perubahan
tubuhnya ? Masalah ini tidak mudah dipecahkan, karena ketika di satu pihak jiwa
dianggap tidak terpisahkan dari tubuh, sering ditemukan betapa tubuh bisa saja
tidak ada hubungan dengan jiwanya – yang pasti, jiwa tidaklah mungkin ditandai
tanpa suatu bentuk yang bisa ditangkap pancaindra, bagi mereka yang hanya
mampu hidup dengan pengindraannya. Bagiku sendiri, indra tubuhku tidak
membantu apa-apa, meski tubuh itu masih memberi tanda terdapatnya jiwaku
(Ajidarma, 2004:39-40).
tentang sebuah jiwa yang tidak dapat berubah mengikuti bentuk tubuh. Dan
bentuk jiwa yang tak berbentuk, serta dapat ditangkap pancaindra bagi mereka
termasuk dalam penilaian indra tubuhnya yang bagi Dewa tidak dapat membantu
apa-apa, meski tubuh itu masih memberi tanda terdapatnya jiwa Dewa. Hal ini
menjelaskan bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari
pengalaman.
dapat menjadi kupu-kupu. Ia lalu berfilosofi tentang jiwa yang seakan-akan dapat
berkelebat seperti dewa yang menembus berbagai dimensi, bagi Dewa keberadaan
suatu kepompong adalah misteri baginya. Ia berfilosofi kembali tentang jiwa yang
kepompong bukanlah benda mati. Baginya ada sesuatu yang tetap hidup, dari
Dewa lalu menyimpulkan bahwa kepompong adalah suatu raga bagi sesuatu yang
akan berubah dari ulat menjadi kupu-kupu. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan
berikut :
terhadap ulat yang dapat berubah menjadi kupu-kupu. Meskipun jiwanya seakan-
akan bisa berkelebat seperti dewa yang menembus berbagai dimensi, keberadaan
suatu kepompong adalah misteri bagi Dewa. Apakah dalam kepompong terdapat
sebuah jiwa, sudah pasti kepompong bukanlah benda mati. Bagi Dewa ada
sesuatu yang tetap hidup dari bentuk ulat sampai ke bentuk kupu-kupu, jadi
bahwa kepompong adalah suatu raga bagi sesuatu yang akan berubah dari ulat
Dewa merasa tidak pernah tahu, dari mana asalnya dan ke mana ia akan
dan kesunyian semesta yang terlalu luas bagi dirinya, ia terus berkepak dengan
84
penuh daya. Luasnya semesta yang tak terbayangkan membuat Dewa seperti
terbang dan berkepak di tempat, karena dalam semesta batinnya tidak ada planet
dan tidak ada meteor, dan tidak ada apapun yang bisa memberi petunjuk betapa ia
telah mengarungi suatu jarak. Akan tetapi, ia tahu bahwa ia terus-menerus melaju
dan aku terus maju mengarungi waktu dengan keyakinan, bagi Dewa berapa
lamapun seekor ulat menjadi kepompong, pada saatnya ia akan menjadi kupu-
(103) Aku tidak pernah tahu dari mana asalku, dan ke mana diriku akan
pergi, namun dalam diriku aku berkepak seperti kupu-kupu, terbang menjelajahi
semesta batinku untuk menguji seberapa jauh keberhinggaan cakrawalaku. Dalam
kelam dan kesunyian semesta yang terlalu luas bagiku aku terus berkepak dan
berkepak melaju. Keluasan semesta yang tak terbayangkan membuat aku seperti
terbang dan berkepak di tempat, karena dalam semesta batinku tiada planet dan
tiada meteor dan tiada apapun yang bisa memberi petunjuk betapa aku telah
mengarungi suatu jarak. Namun aku tahu aku terus menerus melaju – dan aku
terus maju mengarungi waktu dengan keyakinan, berapa lamapun seekor ulat
menjadi kepompong, pada saatnya ia akan menjadi kupu-kupu...(Ajidarma,
2004:43).
tentang dari mana Dewa berasal dan ke mana dirinya akan pergi, tetapi dalam diri
semesta yang terlalu luas baginya ia terus saja berkepak melaju. Perenungannya
tidak berhenti sampa disitu, tetapi juga terhadap keluasan semesta yang tak
batinnya bagi Dewa tidak ada planet dan tidak ada meteor, dan tidak ada apapun
yang bisa memberi petunjuk betapa ia telah mengarungi sebuah jarak. Hal ini
85
menjelaskan bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari
pengalaman.
Tokoh Dewa dan ibunya hari itu sedang berada di tepi pantai yang terletak
orang jogja adalah antara Laut Selatan dan Gunung Merapi di utara, dan di luar itu
tiada lagi dunia. Banyak orang jogja yang sudah memutari bumi yang ternyata
kecil, tetapi bahkan jika kelak ada orang Jogja menjadi astronot yang akan
Sitihinggil di depan Alun-alun Selatan, dia hanya akan melihat lautan di selatan
yang sangat luar sekali di tepinya yang paling tepi. Tidak dianggap dan tidak
(104) Hari itu, ibuku dan aku berada di tepi pantai yang terletak di sebelah
selatan Yogyakarta-sebatas itulah semesta simbolik orang Jogja, antara Laut
Selatan dan Gunung Merapi di utara, di luar itu tiada lagi dunia. Banyak sekali
orang Jogja yang sudah memutari bumi yang ternyata kecil ini, tetapi bahkan jika
kelak ada orang Jogja menjadi astronot yang akan menginjak planet Mars, dalam
semesta kebudayaan yang ditentukan berpusat di Sitihinggil di depan Alun-alun
Selatan, dia hanya akan melihat lautan di selatan dan gunung di utara sebagai
keberhinggaan dunianya. Kebudayaan bisa membebaskan, kebudayaan bisa
membatasi, tetapi kaum tunadaksa seperti aku bagaikan berada di luar kebudayaan
– setidaknya di tepi yang sangat luar sekali, di tepinya yang paling tepi. Tidak
dianggap dan tidak terlalu berarti (Ajidarma, 2004:45).
bisa membatasi, tetapi kaum tunadaksa seperti Dewa berada di luar kebudayaan,
86
setidaknya di tepi yang paling luar. Tidak dianggap dan tidak terlalu berarti. Hal
ini menjelaskan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari
pengalaman.
Dewa bercerita bahwa ibunya lari memburu kedua anak kecil yang
mengejek diri Dewa, tetapi Dewa tidak peduli pada hal ini. Karena ia merasa
menuju ke suatu tempat yang sangat dikenalnya. Ia lalu merenung apakah dirinya
pernah berada di tempat yang ia tuju. Dewa bertanya lagi pada dirinya apakah
berada dalam dekapan ibunya. Tetapi kali ini, ia melangkah sendiri, betul-betul
tempat yang seolah-olah sudah pernah Dewa datangi. Dapat kita lihat dalam
kutipan berikut :
(105) Ibuku lari memburu kedua anak itu, tetapi aku tidak peduli, karena
aku hanya melihat cahaya dan merasa melayang di antara cahaya. Aku merasa
melangkah menuju ke suatu tempat yang sangat kukenal. Apakah aku pernah
berada di tempat yang aku tuju ? Bagaimana mungkin ? Selamanya aku selalu
berada di tangan ibuku. Namun kali ini aku melangkah sendiri, betul-betul dengan
tubuhku sendiri, menuju ke lingkaran-lingkaran cahaya yang bagaikan
membentuk sebah gua. Di dalam gua cahaya aku melayang menuju ke suatu
tempat yangh seolah-olah sudah pernah kudatangi (Ajidarma, 2004:46).
Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia tidak peduli
pada ibunya yang sedang mengejar dua anak kecil yang mengejek diri Dewa.
berusaha meyakinkan dirinya. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa sadar
87
Dewa berada dalam masa lalu yang sangat samar-samar. Ia melihat cahaya
yang telah meredup dan makin lama makin redup, ia seperti terseret dalam masa
menyatu dengan kabut, tetapi itu bukan kabut, melainkan sosok-sosok. Terkadang
Dewa tidak yakin, bahwa itu semacam roh. Baginya, sosok itu terkadang
yang melambai. Tepatnya, anak-anak yang segera mengabur, berbaur lebur dalam
gunung dengan lembah jurang ngarai dan perkebunan kubis yang tercetak lengkap
dengan jalan setapak jaring laba-laba tetapi tidak pernah menjadi nyata. Ia melihat
kabut samar yang mengabur seperti impian, bagi Dewa hanya kesamaran
sepanjang cakrawala yang terbentang. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :
(106) Aku masih berada di masa lalu, yang hanya samar-samar. Sangat
samar-samar. Cahaya itu telah meredup, semakin redup, sampai aku berada di
dalam kabut di mana segala sesuatu serba samar-samar. Di sana terdapat sosok-
sosok yang begitu samar sehingga seolah begitu menyatu dengan kabut tetapi itu
bukan kabut melainkan sosok-sosok. Kadang aku merasa itu semacam roh – tapi
bagaimana aku memastikannya ? Hanya sosok-sosok terkadang membentuk
sesuatu yang bergerak seperti kanak-kanak, tepatnya seperti kanak-kanak
melambai, namun segera mengabur berbaur lebur dalam kesamar-samaran kabut.
Segala pemandangan adalah samar. Kadangkala kabut berpendar memperlihatkan
pemandangan dahsyat dari atas gunung dengan lembah jurang ngarai dan
perkebunan kubis yang tercetak lengkap dengan jalan setapak jaring laba-laba
tetapi tidak pernah menjadi nyata. Terlihat sebentar untuk mengabur lagi seperti
impian tetapi bukan impian, hanya kabut yang serba tersamar – hanya kesamaran
sepanjang cakrawala terbentang (Ajidarma, 2004:48-49).
88
Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa terlihat pada perenungannya yang
melihat sosok samar-samar, ia merasa itu adalah roh, tetapi ia bingung bagaimana
lembah jurang ngarai dan perkebunan kubis yang tercetak lengkap dengan jalan
setapak jaring laba-laba tetapi tidak pernah menjadi nyata. Terlihat sebentar untuk
mengabur lagi seperti impian tetapi bukan impian, hanya kabut yang serba
bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman.
Dewa sedang tertunduk, tetapi ia merasa melayang dalam kabut ketika gua
cahaya itu tidak terlihat lagi dinding-dindingnya. Ia masih saja melayang karena
tersedot pusaran, tetapi anehnya sedotannya makin lama makin melemah, tetapi ia
tetap saja melayang dan mengambang. Dewa lalu merenung apakah ini karena ia
hanya menjelajah dalam pikiran saja. Kemudian saat kabut berpendar tanpa
mengabur lagi, ia mendarat perlahan-lahan. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut
(107) Aku tertunduk, tetapi aku melayang dalam kabut ketika gua cahaya
itu tiada lagi terlihat lagi dinding-dindingnya. Aku masih saja melayang karena
tersedot pusaran, tetapi yang semakin lama semakin lemah sedotannya, dan
anehnya aku tetap saja melayang dan mengambang. Apakah ini karena aku hanya
menjelajah di dalam pikiran ? Kemudian ketika kabut akhirnya berpendar tanpa
mengabur lagi, akupun mendarat perlahan-lahan (Ajidarma, 2004:49).
89
Bentuk penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan pada saat ia
merenung dan merasa ia masih saja melayang dan mengambang karena ia hanya
Dewa sedang berada dalam rumah kerang. Ia merenung dan bertanya pada
dirinya sendiri apakah ia dulunya adalah seekor kerang. Apakah dirinya dulu
seekor kerang yang rumahnya tumbuh bersama perubahan tubuhnya. Bagi Dewa,
keajaiban baginya. Rumah yang menyatu dengan tubuh bersama kelahiran tetapi
tidak ikut terbawa mati. Di dalam kerang rumah kerang ia mendengar suara-suara.
Seperti gaung, seperti bisikan tertahan-tahan dan bagaikan suatu riwayat yang
(108) Aku berada di dalam rumah kerang. Apakah ini dulu rumahku ?
Apakah aku dulu seekor kerang yang rumahnya tumbuh bersama perubahan
tubuhnya ? Rumah kerang yang melekat bersama kelahiran pemiliknya juga
merupakan keajaiban bagiku. Rumah yang menyatu dengan tubuh bersama
kelahiran tetapi tidak ikut terbawa mati. Di dalam rumah kerang kudengar suara-
suara. Seperti gaung, seperti bisikan tertahan-tahan, bagaikan suatu riwayat yang
panjang (Ajidarma, 2004:49).
perenungan apakah dirinya dulu adalah seekor kerang yang rumahnya tumbuh
kerang adalah rumah yang menyatu dengan tubuh bersama kelahiran tetapi tidak
ikut terbawa mati. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri
hanya diam di tempat dan tak dapat berjalan. Ia hanya dapat mengangkat dan
menutup dinding seperti mulut yang terbuka dan tertutup jika ada makanan. Dewa
ingin rasanya percaya, jika dipikirkan betapa kehidupan Dewa sekarang ini seperti
kerang, hanya diam di tempat dan hanya bergeser karena tergeser ombak di dasar
lautan. Dewa sekarang berada di dalam rumah kerang yang penuh dengan
(109) Rasanya ingin percaya aku adalah kerang, yang hanya diam di
tempat tak bisa berjalan. Hanya bisa mengangkat dan menutup dinding seperti
mulut yang terbuka dan tertutup jika ada makanan. Rasanya ingin percaya, jika
dipikirkan betapa kehidupanku sekarang juga seperti kerang, hanya diam di
tempat dan hanya bergeser karena tergeser ombak di dasar lautan. Aku sekarang
berada di dalam rumah kerang. Penuh dengan keheningan (Ajidarma, 2004:49).
perenungan dan ingin rasanya percaya bahwa ia dulu adalah seekor kerang yang
hanya diam di tempat tak bisa berjalan. Dewa lalu berusaha meyakinkan dirinya
kembali bahwa kehidupannya yang sekarang seperti kerang, hanya diam di tempat
dan hanya bergeser karena tergeser ombak di dasar lautan. Hal ini menjelaskan
bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung dan belajar dari
pengalaman.
Dewa merasa dirinya dulu adalah kerang yang hanya diam dan menunggu
dalam waktu. Semesta bagi Dewa, hanya rumahnya yang telah melekat bersama
diri Dewa. Ia merasa bahwa dirinya hanyalah kerang yang tumbuh di dasar lautan
di balik batu karang. Dewa merasa begitu banyak kerang di sekitarnya, ia lalu
berpendapat mungkin ia dan kerang-kerang yang lain berasal dari induk yang
sama, meskipun mereka tahu ada sesuatu hal yang berada di luar semestanya,
91
tetapi mereka hanya menerka-nerkanya saja. Dewa dan yang lainnya hanya diam
saja. Ia lalu merenung tentang dirinya dan kerang-kerang lainnya, apakah mereka
dulu bahagia ?, apakah dulu mereka berduka ?, ia sudah lupa. Ia merasa bahwa
dirinya dan kerang-kerang lainnya adalah kerang yang memiliki jiwa, tetapi
mereka lupa apakah mereka memiliki hati. Dewa lalu menjelaskan bahwa ada
kalanya mereka melebur bersama menjadi terumbu karang. Dari kerang ke karang
jaraknya sangat dekat, seperti satu huruf, tetapi memerlukan jutaan tahun bagi
Dewa dan yang lainnya untuk menjadi karang terindah dalam cahaya matahari
yang tidak diam tetapi tumbuh dengan sangat amat perlahan. Dapat kita lihat
(110) Dulu aku adalah kerang yang diam dan menunggu dalam waktu.
Semestaku hanya rumahku yang telah melekat bersama diriku. Aku hanyalah
kerang tumbuh di dasar lautan di balik batu karang. Begitu banyak kerang di
sekitarku, mungkin kami berasal dari induk yang sama, tetapi meski kami tahu
ada sesuatu di luar semesta kami, tiada cara untuk mampu saling menahu. Kami
hanya diam, terdiam dan berdiam di dalam dunia kami sendiri. Apakah kami
bahagia ? Apakah kami berduka ? Aku sudah lupa. Karena kami adalah kerang
yang bisa membuka dan menutup rumah kami tentu kami berjiwa, tetapi kami
sungguh-sungguh lupa apakah kami mempunyai hati. Ada kalanya kami melebur
bersama menjadi terumbu karang. Dari kerang ke karang-hanya satu huruf
jaraknya, namun memerlukan waktu jutaan tahun bagi kami untuk menjadi karang
terindah dalam cahaya matahari yang tidak diam tetapi tumbuh dengan sangat
amat perlahan (Ajidarma, 2004:49-50).
Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merenung dan
menyatakan bahwa dirinya adalah kerang yang diam dan menunggu dalam waktu.
Semesta bagi Dewa adalah rumahnya yang melekat pada tubuh Dewa, ia merasa
dirinya kerang yang tumbuh di dasar lautan di balik batu karang. Hal ini
menjelaskan bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung, dan belajar
dari pengalaman
92
berkilo-kilo meter jauhnya dan setiap kali ia menutup lalu membukanya kembali
diri Dewa sudah berada di tempat yang berbeda. Dapat kita lihat dalam kutiupan
berikut :
(111) Mungkin aku kerang. Mungkin aku karang. Apakah ini berarti lahir
kembali sebagai bayi tunadaksa adalah suatu kemajuan ? Tetapi aku hanya bisa
meraba masa laluku dengan samar-samar. Apabila rumahku terbuka cahaya biru
dari permukaan laut berkeredap masuk dan menyilaukan. Apabila rumah itu
tertutup aku hanya berdiam dalam kegelapan. Tetapi kegelapan bukanlah
kesepian. Di dasar laut kami tergeser oleh gelombang sampai berkilo-kilo meter
jauhnya, bagaikan suatu pengembaraan. Setiap kali setelah rumah tertutup, setiap
kami membukanya sudah berada di tempat lain. Mungkinkah semuanya berpindah
dalam suatu eksodus panjang ke pulau seberang, namun aku tetap tinggal
terbenam dalam lumpur kegelapan ? (Ajidarma, 2004:50).
tentang dirinya, apakah ia dulu kerang ataukah karang. Ia lalu menjelaskan bahwa
hanya bisa meraba masa lalu dengan samar-samar, Dewa lalu bercerita lagi
panjang melewati pulau seberang, dan dirinya yang tertinggal dan terbenam dalam
lumpur kegelapan melalui kalimat tanya. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa
(112) Barangkali jika dikau yang menelanku malam itu, waktu dikau
makan kerang rebus itu bersama dengan kekasihmu. Jika memang ini yang terjadi,
berarti aku harus berterimakasih kepadamu, karena setidaknya dikau menjadi
perantara kelahiranku kembali ke dunia – dari kerang menjadi anak tunadaksa
(Ajidarma, 2004:51).
tentang kelahiran dirinya ke dunia, ia menduga bahwa mungkin saja dirinya dulu
manusia yang memakan Dewa telah menjadi perantara bagi kelahirannya didunia,
dari kerang menjadi anak tunadaksa. Hal ini menunjukkan bahwa Dewa
menyempatkan diri untuk merenung tentang ibunya; sesuatu yang indah. Ia juga
merenung, hal apakah yang membuat ibunya begitu sayang dan mencintai Dewa.
dosa itu tidak tampak oleh mata telanjang, tetapi dapat menampakkan diri ke
dalam bayangan. Dosa menurut Dewa, dapat dipendam dalam hati, untuk suatu
kali menyambar keluar dari dalam hati. Hal ini menunjukkan bahwa Dewa
(114) Aku terduduk dan tertunduk dengan tatapan mata ke lantai, namun
aku melayang ke subuah semesta di mana kulihat sesosok bayangan yang sangat
samar-samar seperti melambaikan tangan dengan penuh kerinduan. Bagaikan
94
suatu tatapan dari balik kaca, mata bisa memandang tetapi tubuh tak mampu
menembusnya. Jiwa mampu menyapa jiwa, dan hati mampu menyentuh hati tetapi
akal begitu terbatas kemampuannya untuk menjelaskan rasa. Hanya gelombang
kerinduan, sesal tanpa alasan, cinta tanpa sambutan, dan perkabungan yang
menyiksa...(Ajidarma, 2004:57).
Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa terlihat pada perenungannya yang
menganggap bahwa jiwa mampu menyapa jiwa dan hati mampu menyentuh hati,
dan penjelasannya tentang akal yang begitu terbatas untuk menjelaskan rasa. Bagi
Dewa, akal manusia tidak dapat sepenuhnya menjelaskan perasaan manusia yang
paling dalam, hal ini dijelaskan dengan perumpamaannya tentang akal manusia;
gelombang kerinduan, sesal tanpa alasan, cinta tanpa sambutan, serta perkabungan
yang menyiksa. Hal ini menunjukkan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk
(115) Ingin sekali aku bertanya dia datang darimana, apa yang dia lakukan
di dunianya, dan apakah dunianya itu sama sunyi dengan duniaku – dunia di mana
kupu-kupu berkepak tanpa suara (Ajidarma, 2004:59).
tentang roh anak yang berada di dekat ranjangnya, Dewa berpikir apakah yang ia
lakukan di dunianya, dan apakah dunianya sama dengan dunia Dewa yang penuh
dengan kesunyian. Hal ini menunjukkan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk
ibunya dapat mendengar cerita Dewa, padahal Dewa sendiri secara kasat mata
95
tidak mendengar suara apapun, tetapi sebenarnya diluar hal yang dilihat orang
Tokoh Dewa terlihat menyempatkan diri untuk merenung dan belajar dari
pengalaman. Hal ini terlihat saat ia mendengar teriakan yang tertahan, tetapi
lantas suasana menjadi sepi kembali. Dewa memejamkan mata, dan mendengar
langkah ibunya yang nyaris tanpa suara, mengisi kesepian yang menggiriskan.
Ibunya pergi menuju ke ranjang Dewa dan membuka kelambu. Ibu Dewa lalu
Dewa.
(118) Aku malu membandingkan diriku dengan para penari ballet. Mereka
bergerak dan melayang seperti impian sedangkan aku teronggok seperti barang.
Bernafas tapi tidak mempunyai kehendak, barangkali masih mempunyai naluri,
meski tanpa kemampuan menerjemahkannya dalam gerakan. Namun ibuku sangat
sering memandang fotoku lama-lama, meskipun sedang memangku diriku di
ruang kerjanya. Bukankah fungsi foto antara lain menjadi pengganti orang yang
ada dalam foto itu ? Jika aku di pangkuannya dan masih juga memandangi aku
dalam foto, maka apakah maknanya aku bagi ibuku ? (Ajidarma, 2044:81).
menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif
yang luas. Dewa merasa malu saat membandingkan dirinya dengan penari ballet,
mereka bergerak dan melayang seperti impian, sedangkan diri Dewa teronggok
seperti barang. Tokoh Dewa bernafas tetapi tidak mempunyai kehendak, dan
iapun merasa ragu apakah ia masih memiliki naluri, meskipun ia sadar bahwa ia
tidak dapat menerjemahkannya tanpa gerakan. Dewa lalu bertutur tentang ibunya
96
memangku dirinya di ruang kerja. Dewa lalu merenung tentang fungsi foto yang
menjadi pengganti orang yang ada dalam foto itu. Dewa lalu kembali berpikir,
jika ia berada dalam pangkuan ibunya, dan ibunya masih juga memandangi foto
Dewa, lalu apakah arti Dewa bagi ibunya. Hal ini menjelaskan tokoh Dewa
(119) Apakah yang berada di balik tembok batu ? Masa lalu ? Seperti
apakah masa lalu itu ? Barangkali di balik tembok itu terhampar sebuah padang
rumput menghijau yang berakhir di sebuah lembah subur makmur. Di lembah itu
suku-suku pengembara berkemah dan berburu sebelum musim dingin tiba
sehingga mereka tidak akan ke mana-mana lagi. Di dalam kemah di bawah
selimut kulit beruang pasangan muda bercinta tanpa matahari dan membangun
keluarga yang akan meneruskan perjalanan suku pengembara itu ke masa depan
(Ajidarma, 2004:93-94).
apakah yang tersimpan di balik sebuah tembok batu. Dewa lalu menebak,
lembah itu terdapat suku-suku pengembara yang berkemah, menetap dan berburu
selama musim dingin tiba. Dewa juga berimajinasi bahwa pasangan muda itu
bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung, dan belajar dari
pengalaman.
(120) Ibuku berjalan di tepi pantai Krakal. Setiap kali laut surut,
tampaklah pemandangan ganggang hijau yang tersebar di tepian pantai. Ibuku
berjalan sendirian saja di pantai itu, melangkah dalam angin, memperhatikan
lidah-lidah ombak yang setiap kali pasang dan setiap kali surut kembali. Dunia di
tepi pantai, selalu terasa lain, cakrawala yang membentang, memberikan tanda-
tanda keberhinggaan yang mencekam : apakah yang akan kusaksikan jika aku
pergi ke balik cakrawala itu ? Mereka yang selalu memburu cakrawala bisa
97
menjawabnya : di balik cakrawala itu akan selalu ada cakrawala lagi. Semesta
mungkin saja tidak terbatasa. Mungkin-karena siapakah yang pernah melihatnya
dari luar semesta ?Tetapi semesta ini akan selalu berhingga, karena selalu ada
cakrawala di balik cakrawala untuk seterusnya...(Ajidarma, 143:2004).
bertanya pada dirinya sendiri, apakah yang akan dilihat Dewa jika pergi ke balik
cakrawala, tentu saja yang dibalik cakrawala ada cakrawala lagi. Perenungan
Dewa juga terlihat pada perenungannya tentang semesta yang tidak terbatas, ia
juga agak menyangsikan batas cakrawala, sebab baginya belum pernah ada orang
yang melihatnya dari luar semesta. Akan tetapi, pada akhirnya ia berkesimpulan
bahwa semesta tidak terbatas, karena ada cakrawala di balik cakrawala. Hal ini
menunjukkan bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung dan belajar
dari pengalaman
(121) Begitulah hari-hari berjalan di Rumah Asuh Ibu Sejati tanpa ibuku.
Seolah-olah tidak ada yang berubah-namun, apakah yang bisa melebihi perubahan
karena perginya seorang ibu ? Cinta yang semula melimpahiku bagaikan air
mengalir bergemuruh dari sebuah air terjun kini telah menguap dan harus dicari
dalam partikel-partikel uap air di udara. Adakah cinta ibuku dalam angin ?
Adakah cinta ibuku dalam desiran daun-daun yang berguguran dan terseret-seret
angin di halaman Rumah Asuh Ibu Sejati ? (Ajidarma, 171:2004).
tentang perubahan sewaktu ibunya masih hidup, dan sewaktu ibunya sudah
meninggal. Rasa sayang ibunya yang begitu besar terhadap Dewa, digambarkan
dengan perumpamaan seperti air mengalir yang bergemuruh dari sebuah air
terjun. Tetapi sejak ibunya meninggal, cinta yang bagaikan air bergemuruh,
mempertanyakan cinta sang ibu, jika menguap tentu saja dapat ditemui dalam
halaman Rumah Asuh Ibu Sejati. Hal ini menjelaskan tokoh Dewa menyempatkan
(122) Apakah ibuku seperti cinta, yang selalu ada ketika kita tergetar
olehnya ? Seperti serbuk kembang sari yang beterbangan dan membuahi,
begitulah cinta terpancar seperti cahaya, membuat tetes embun di atas daun itu
menjelma kristal, bagai nyanyian burung di pagi yang sepi. Begitulah aku selalu,
mengembara dalam pencarian cinta ibuku, karena meski ibuku akan selalu ada di
mana-mana, aku tak akan menemukannya jika tidak mencari. Cinta itu tidak
seperti barang, yang kalau ketemu bisa disimpan. Cinta itu seperti jiwa, yang ikut
melemah bersama tubuh jika tidak disapa dari dalam hati-makanya setiap kali
ditemukan cinta harus tetap dicari dan dicari. Bersama angin, kucari kupu-kupu,
bersama kupu-kupu kucari bunga-bunga, bersama bunga-bunga kucari cahaya,
dan bersama cahaya kuarungi semesta (Ajidarma, 174:2004).
cinta yang selalu ada saat perasaan kita bergetar. Dewa lalu mengibaratkan cinta
ibunya seperti kembang sari yang beterbangan dan membuahi, cinta bagi Dewa
seperti cahaya. Cinta seperti penyejuk suasana di pagi hari. Perenungan Dewa
tidak berhenti, ia lalu merenung dan berfilosofi lagi tentang cinta. Menurutnya,
perasaan cinta tidak sama seperti barang yang dapat disimpan, perasaan cinta
dapat hilang agar perasaan cinta tetap hidup, kita harus terus memupuk rasa cinta
yang ada dalam diri kita, agar rasa cinta itu terus hidup. Hal ini diibaratkan Dewa
itu seperti jiwa yang dapat melemah bersama tubuh, maka dari itu harus seringkali
disapa dari dalam hati. Dewa lalu merumuskan filososfinya tentang cinta kedalam
ia mencari bunga, dan bersama bunga ia mencari cahaya, bersama dengan cahaya
(123) Aku mencari ibuku yang sepintas lalu seperti sedang merajut di
bawah pohon di suatu tempat di bulan meski ternyata itu hanyalah bayangan.
99
Tetapi bayangan juga sesuatu yang indah karena cinta memang seperti bayangan
yang hanya bisa dirasakan tapi tak bisa dipegang. Dirasakan, artinya bukanlah
sesuatu yang bisa diindra oleh pancaindra, melainkan disadari keberadaannya
karena bermakna-betapa cinta bukanlah sesuatu yang kebetulan hadir begitu saja.
Ibuku telah merajut cinta itu dalam diriku sehingga aku bisa hidup dengan cinta
tanpa kehadiranya karena ibuku telah merajutkan dirinya dalam cinta yang
menghidupi diriku. Begitulah aku, bayi yang dibuang dalam usia dua hari
mendapatkan cinta yang begitu rupa menghidupkan (Ajidarma, 175:2004).
Tokoh Dewa terlihat menyempatkan diri untuk merenung dan belajar dari
pengalaman. Hal ini terlihat pada perenunganya tentang wujud cinta yang tidak
memiliki bentuk fisik, menurut Dewa cinta seperti bayangan, yang hanya bisa
dirasakan tapi tidak bisa dipegang. Dirasakan, menurut Dewa bukan sesuatu yang
bermakna, bahwa cinta bukanlah sesuatu yang kebetulan hadir begitu saja. Dewa
sadar bahwa ibunya telah menanamkan cinta ke dalam diri Dewa, sehingga ia bisa
Tokoh Dewa terlihat menyempatkan diri untuk merenung dan belajar dari
kemampuannya bercerita. Bagi Dewa, tidak ada cara lain yang dapat
membahasakan langsung apa yang dirasakan oleh jiwa seorang tunadaksa. Dewa
Kepercayaan diri tokoh Dewa dapat kita lihat dalam kutipan berikut :
kebenaran. Hal ini terlihat pada keyakinan diri Dewa yang menyatakan jika kedua
orangtuanya tidak bertemu maka Dewa tidak akan pernah lahir. Dewa juga
diramalkan, dan orangtuanya tidak menerima kehadiran Dewa, siapa yang tahu
bahwa mereka tidak akan menerima nasib yang sama ?. Pernyataan diri Dewa
yang tidak populer dan bersedia berkorban demi kebenaran, hal ini diperlihatkan
101
dengan perenungannya tentang hidup yang apakah masih menarik jika kita
yang tidak populer dan bersedia berkorban demi kebenaran. Hal ini dapat kita
lihat pada filosofinya bahwa permainan nasib, sama seperti permainan kartu tarot,
kemungkinan satu bertemu dengan kemungkinan lain, dan kita tidak dapat
memastikan kemungkinan permainan kartu tarot. Hal yang pasti menurut Dewa
adalah kemungkinan itu sendiri. Kepercayaan diri Dewa juga terlihat pada
pernyataan diri Dewa yang menyatakan bahwa dirinya adalah bayi yang cacat,
dan juga terbuang , tetapi ia merasa sangat beruntung. Dewa juga melakukan
(127) Bayi mati artinya suatu kehidupan yang singkat, begitu singkat,
seperti suatu titik saja, belum menjadi garis, yang terpendek sekalipun. Ranjang
bayi di panti asuhan ini mungkin hanya sekitar dua puluh, karena bayi tunadaksa
tidak lahir setiap hari-tetapi ranjang yang dua puluh itu isinya cepat berganti,
karena lebih sering mereka cepat mati, dan semuanya pergi ke pekuburan bayi. Di
sinilah, di lereng sebuah bukit yang teduh dan sunyi, terlihat deretan makam-
makam yang mungil, peristirahatan terakhir bagi para bayi. Ibuku membeli tanah
ini hanya untuk menampung bayi-bayi yang meninggal di Rumah Asuh Ibu
Sejati, karena hampir semua bayi itu tidak diakui oleh orangtuanya, meski
akhirnya kini kami semua telah menjadi keluarga sendiri (Ajidarma, 23:2004).
102
kebenaran. Dapat kita lihat pada filosofinya tentang bayi yang mati artinya suatu
kehidupan yang singkat, seperti suatu titik, dan belum menjadi garis, yang paling
pendek sekalipun. Ia lantas berfilosofi tentang ranjang bayi yang isinya cepat
terisi dengan bayi-bayi yang baru, karena lebih sering mereka cepat mati dan
para bayi dari Rumah Asuh Ibu Sejati, ia seakan memiliki sebuah keluarga. Dewa
juga bertutur tentang makam Rumah Asuh Ibu Sejati di lereng sebuah bukit yang
(128) Dari pekuburan ini tampaklah Gunung Merapi, yang di bawah langit
biru akan terlihat keungu-unguan. Apakah artinya suatu gunung yang tampak tak
terhalang dari pekuburan ini ? Aku tidak tahu, namun pemandangan gunung yang
bisa dilihat tanpa terhalang sering dianggap sebagai suatu berkah-dan tanah yang
terberkahi itu dimanfaatkan ibuku hanya untuk makam bayi-bayi, yang ketika
masih hidup pun diandaikan tidak menyadari keberadaan Gunung Merapi
(Ajidarma, 23:2004).
kebenaran. Hal ini dapat kita lihat pada pernyataan filosofi Dewa, tentang Gunung
Merapi, jika kita melihatnya tanpa terhalang apapun, maka akan menjadi berkah
bagi yang melihatnya. Bagi Dewa, tindakan ibunya sangat mulia, sebab ia
(129) Benarkah kehidupan bayi Larasati yang hanya lima hari tidak
mempunyai arti ? Aku tidak bisa bercerita tentang kehidupan setelah mati, namun
103
mereka yang telah meninggal sering tetap bermakna bagi yang masih hidup.
Mereka, bayi-bayi tunadaksa itu, telah mendahuluiku, namun aku bisa
mengandaikan di dalam makam itu, dalam dunia mereka yang berbeda matra,
betapa mereka saling menyapa, bersentuhan, dan meleburkan jiwa, bagaikan cinta
yang menjelma (Ajidarma, 28:2004).
kebenaran. Hal ini terlihat pada perenungannya tentang kehidupan bayi Larasati
yang meskipun hanya lima hari tetap memiliki arti. Dewa mengakui bahwa tidak
dapat bercerita tentang kehidupan setelah mati, tetapi mereka yang telah
meninggal sering tetap bermakna bagi mereka yang masih hidup. Meskipun bayi-
bahwa jika ia berada dalam makam itu, dunia yang berbeda dimensi, mereka
sebenarnya saling menyapa, bersentuhan, dan meleburkan jiwa satu sama lain,
dan sikap yang tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam
keadaan yang tidak pasti dan tertekan. Hal ini dapat kita lihat saat ia melihat
(131) Seperti apakah suara itu terdengar ? Tentunya suatu suara tanpa
bunyi, seperti suara tapi bukan suara. Terbayangkan sesuatu, tapi sesuatu yang
tidak pernah ada sebagai penampakan, meski memang sesuatu yang pernah ada
dan masih ada dan tetap akan ada sebagai sesuatu yang tidak mungkin
terbayangkan. Samar-samar menembus mimpi, menembus angan-angan,
menembus dan merembes ke dalam kenangan dan mencetak khayalan tak
terjelaskan (Ajidarma, 56:2004).
kebenaran. Hal ini dapat kita lihat saat ia mencoba mendengar suatu suara tanpa
bunyi, seperti suara tapi bukan suara. Saat itu dipikirannya terbayangkan sesuatu,
tetapi sesuatu yang tidak pernah ada sebagai penampakan, meskipun ia mengakui
bahwa sesuatu yang masih ada, akan tetap ada sebagai sesuatu yang tidak
terjelskan.
tampil dengan keyakinan diri dan berani menyatakan eksistensinya. Hal ini dapat
105
kita lihat saat ia mengakui bahwa dirinya adalah seorang anak tunadaksa.
suara dari empat dawai biola yang sedang dimainkan, Dewa lalu mencoba masuk
suara dari empat biola, dan diri Dewa yang kadang menari diangkasa menjadi
cahaya.
(133) Meskipun aku tunadaksa, aku ada di sana. Jiwaku dalam jiwanya.
Duniaku dalam dunianya. Kalau aku bukan tunadaksa-sungguh pancaindraku
akan sangat membatasi duniaku. Hanya mendengar yang terdengar. Hanya
melihat yang terlihat. Hanya merasa yang terasa. Menghancurkan keheninganku.
Empat biola menjelma empat penari ballet yang membawakan tarian cahaya
dalam semesta jiwa. Ingin kukatakan kepada ibuku betapa aku menikmatinya
(Ajidarma, 101:2004).
tampil dengan keyakinan diri dan berani menyatakan eksistensinya. Hal ini
kondisi fisik dirinya yang terbatas. Jika ia bertubuh sempurna, pancaindra yang
dimiliki Dewa hanya akan membatasi dunianya. Dewa hanya akan mendengar
yang terdengar, hanya merasa yang terasa, dan hanya melihat yang terlihat. Dewa
ingin berkata pada ibunya betapa ia menikmati restital biola yang sedang
disaksikannya.
kebenaran. Hal ini dapat kita lihat saat ia mengandaikan Renjani adalah seekor
kupu-kupu. Dewa lalu merenung, jika Renjani adalah seekor kupu-kupu, apakah
ia hanya akan terbang seharian untuk mati, setelah sekian lama menjadi
tampil dengan keyakinan diri, berani menyatakan eksistensinya dan sikapnya yang
berani menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban demi
tunadaksa seperti dirinya tidak berdaya jika hidup tanpa cinta, ia juga menyadari
bahwa dalam dirinya terdapat cinta yang begitu besar. Dewa menyebutnya dengan
dan tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan yang
tidak pasti dan tertekan. Hal ini dapat kita lihat pada sikap Dewa yang mengakui
sempurna, bahwa segala sesuatu yang dilakukan berdasarkan cinta adalah sebuah
keindahan.
(137) Setiap malam, di Ruang Lilin yang muram dan sayu, Mbak Wid
masih mencoba berdamai dengan diri sendiri sambil memainkan kartu, menduga-
duga takdir di masa yang akan datang, menggali-gali harapan, dan melupakan
masa lalu-meski tak jelas bagaimana masa lalu bisa dilupakan di Rumah Asuh Ibu
Sejati, sebuah dunia yang dibangun ibuku. Bayi-bayi tunadaksa, datang dan pergi
silih berganti-pergi artinya pulang ke pangkuan Tuhan. Mereka seperti roh yang
numpang lewat. Hanya aku yang masih saja di sini, menundukkan kepala yang tak
pernah kuangkat lagi. Tidak ada yang berkata betapa dia menyayangiku, tapi aku
memang tidak butuh lagi karena telah mendapatkan semuanya dari ibu. Apa yang
kubutuhkan di dunia ini sudah diberikan ibu. Memang aku selalu sendiri dalam
kesunyianku, tetapi aku merasa selalu berada di dekat ibu (Ajidarma, 196:2004).
dan tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan yang
tidak pasti dan tertekan. Hal ini, dapat kita lihat pada sikap Dewa yang bercerita
108
tentang Mbak Wid yang sedang bermain kartu tarot, mencoba mengetahui takdir
di masa depan, sekaligus melupakan masa lalunya yang kelam dan berusaha
berdamai dengan diri sendiri. Dewa juga menyatakan bahwa ia sadar bahwa tidak
perlu ada orang yang memberitahukan dirinya bahwa Renjani sangat mencintai
Dewa, sebab ia telah mendapatkan kasih sayang yang lebih dari cukup oleh
Renjani. Dewa tahu bahwa dirinya selalu merasa sendiri dalam kesunyian,
juga bersedia berkorban demi kebenaran, dan bersikap tegas, mampu membuat
keputusan yang baik, kendati dalam keadaan yang tidak pasti dan tertekan. Dapat
kita lihat, bahwa meskipun ia sedang bersedih karena kematian Renjani, ia tetap
3.3 Rangkuman
dibedakan menjadi kesadaran emosi, penilaian diri secara akurat, dan percaya diri.
Dalam novel BTB tokoh Dewa adalah pelaku dari keterampilan intrapersonal.
Kesadaran emosi
a) Tahu emosi yang ia rasakan dan mengapa; ditunjukkan saat tokoh Dewa
Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa lalu Dewa melakukan
kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya dengan cara: berfilosofi dan
merenung.
Renjani, diri Dewa sendiri, anak-anak tunadaksa di Rumah Asuh Ibu Sejati
monolog dalam hati dan pikirannya dengan cara: berfilosofi dan merenung
saat tokoh Dewa berinteraksi dengan dirinya sendiri lalu tokoh Dewa
diri Dewa sendiri lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog dalam
Wid, alam sekitar Dewa, lingkungan sekitar, diri Dewa sendiri, anak-
anak tunadaksa di Rumah Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa,
lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya
Wid, alam sekitar Dewa, lingkungan sekitar, diri Dewa sendiri, anak-
anak tunadaksa di Rumah Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa,
lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya
Dewa saat ia berinteraksi dengan Mbak Wid dan diri Dewa sendiri, lalu
dengan lingkungan sekitarnya dan diri Dewa sendiri, lalu tokoh Dewa
Percaya Diri
dan diri Dewa sendiri, lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog
dengan Renjani, Mbak Wid, diri Dewa sendiri, alam sekitar, anak-anak
tunadaksa di Rumah Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa. lalu
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam Bab IV penulis akan menjelaskan dua hal, yaitu kesimpulan hasil
pada Bab II dan Bab III. Sedangkan saran adalah rujukan atau topik yang dapat
Panti Asuhan Rumah Asuh Ibu Sejati dengan memakai Dewa sebagai tokoh
Dewa.
berikut ; tokoh Dewa memiliki karakter yang dewasa dan bijaksana ia selalu
sedangkan berdasarkan hasil analisis dari Bab III diperoleh hasil penelitian ;
kondisi serta situasi batin Dewa yang dapat menyelami kondisi jiwa tokoh-tokoh
lain. Ditilik dari jumlah petikan monolog, tokoh Dewa juga lebih banyak dari
ketiga tokoh lainnya. Sehingga Dewa terlihat seperti bertutur dan berbicara pada
113
pembaca, padahal Dewa adalah seorang tunadaksa yang memiliki kecacatan tubuh
Atau dengan kata lain, ia memang mempunyai kelima panca indera, seperti
manusia normal pada umumnya, hanya saja panca inderanya tidak berfungsi
sesuai dengan kebutuhannya. Dalam novel Biola tak Berdawai dapat dipastikan
bahwa Dewa hanya berkata satu kali dan menggerakkan tubuhnya tidak lebih dari
tiga kali. Tokoh Dewa juga berperan sebagai pembawa pesan monolog, hal ini
dalam hati dan pikirannya saja. Tokoh Dewa tidak berdialog seperti ketiga tokoh
dewasa, saat harus menghadapi situasi yang tidak memungkinkan, sehingga tokoh
Dewa terlihat tegar. Sebagai tokoh utama, Dewa juga digambarkan sebagai sosok
terbang bebas diudara, Dewa juga tergolong anak yang bijaksana, ia selalu
meninggal, hal ini ditunjukkan saat ia bercerita bahwa ia melihat anak-anak cacat
novel Biola tak Berdawai sebab Dewa berfungsi sebagai pencerita, dari
keseluruhan isi novel. Mulai dari penuntun kita dalam memasuki alam penceritaan
Dewa dibenak pembaca, tokoh Dewa juga membantu pembaca dalam menyelami
kemampuan Dewa yang dapat masuk kedalam suara hati para tokoh tambahan,
tokohnya. Hal ini juga memudahkan Dewa dalam bercerita mengenai kondisi
Peranan tokoh Dewa sebagai ‘mata’ untuk melihat kondisi batin maupun
fisik serta penuntun sebagai pencerita dapat dirasakan saat kita membaca novel
Biola tak Berdawai, seakan seperti ada jarak antara tokoh; Renjani, Mbak Wid,
dan Bhisma, tetapi tidak dengan tokoh Dewa. Melalui tokoh Dewa kita seperti
menyatu dengan tokoh Dewa yang dalam kecacatannya tetapi tetap menunjukkan
peranan tokoh Dewa sebagai pencerita dan ‘mata’ untuk melihat, dapat kita temui
di hampir setiap bab dari novel Biola tak Berdawai. Ia selalu menceritakan
kondisi orang disekitarnya, mulai dari Renjani, Mbak Wid dan Bhisma, lalu
keputusan yang mereka ambil sudah sesuai dengan pemikiran yang ada dibenak
Dewa.
Tokoh Renjani adalah seorang mantan penari balet yang memiliki trauma
masa lalu karena diperkosa oleh guru baletnya. Tokoh Renjani adalah sosok
seorang ibu asuh yang penuh pengabdian bagi anak-anak cacat di Rumah Asuh
Ibu Sejati. Tokoh Renjani adalah ibu yang perhatian, penyabar, penyayang
terutama kepada Dewa. Sebab, hampir bisa dipastikan bahwa dimana Renjani
pergi selalu ada Dewa. Renjani adalah ibu yang tulus, sebab ia mau menghabiskan
hidupnya di Rumah Asuh Ibu Sejati untuk menolong anak-anak yang cacat.
Tokoh Bhisma adalah seorang pemain biola yang menuntut ilmu di salah
satu institut seni di Yogyakarta. Tokoh Bhisma adalah tokoh yang sopan dan
menggendong Dewa. Tokoh Bhisma adalah tokoh yang cerdas, sebab ia mencoba
menjalin komunikasi dengan Dewa meskipun baru pertama kali bertemu. Tokoh
Bhisma adalah tokoh yang melankolis, terbukti saat ia memainkan biolanya untuk
Tokoh Mbak Wid adalah seorang dokter sekaligus peramal di Rumah Asuh
Ibu Sejati. Tokoh Mbak Wid adalah tokoh yang pandai menyesuaikan diri, sebab
ia hidup dalam dua dunia. Saat pagi hari ia menjadi dokter di Rumah Asuh Ibu
116
Sejati, dan malam hari berubah menjadi peramal kartu tarot. Tokoh Mbak Wid
Sejati. Tokoh Mbak Wid adalah tokoh yang belum dapat melupakan masa
Kesadaran emosi
a) Tahu emosi yang ia rasakan dan mengapa; ditunjukkan saat tokoh Dewa
Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa, lalu tokoh Dewa melakukan
kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya dengan cara: berfilosofi dan
merenung.
Renjani, diri Dewa sendiri, anak-anak tunadaksa di Rumah Asuh Ibu Sejati
merenung.
saat tokoh Dewa berinteraksi dengan dirinya sendiri, lalu tokoh Dewa
117
diri Dewa sendiri, lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog dalam
Wid, alam sekitar Dewa, lingkungan sekitar, diri Dewa sendiri, anak-anak
tunadaksa di Rumah Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa, lalu
tokoh Dewa saat berinteraksi dengan Renjani, Bhisma, Mbak Wid, alam
di Rumah Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa, lalu tokoh Dewa
baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri; ditunjukkan tokoh Dewa
saat ia berinteraksi dengan Mbak Wid dan diri Dewa sendiri, lalu tokoh
118
dengan lingkungan sekitarnya dan diri Dewa sendiri, lalu tokoh Dewa
Kepercayaan Diri
dan diri Dewa sendiri, lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog
dengan Renjani, Mbak Wid, diri Dewa sendiri, alam sekitar, anak-anak
tunadaksa di Rumah Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa, lalu
c) Tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan yang
lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya
4.2 Saran
pendekatan psikologi. Tetapi ada hal lain yang perlu diteliti, misalnya:
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Thomas. 2002. Setiap Anak Cerdas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hartoko, Dick dan Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Nurgiyantoro, Burhan. Maret 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan: Melani
Internet:
http://sukab.wordpress.com/seno-gumira-ajidarma/
http://id.shvoong.com/social-sciences/1687586-seno-gumira-ajidarma/
LAMPIRAN
.
122
SINOPSIS
Dalam novel Biola tak Berdawai tokoh Dewa adalah pencerita sekaligus
tokoh utama. Karena, hampir semua kegiatan tokoh tambahan, serta kondisi
kehidupan Rumah Asuh Ibu Sejati, kisah percintaan Renjani dengan Bhisma serta
Mbak Wid. Tetapi, peranan Dewa sebagai pencerita dan tokoh utama terlihat
jelas, sebab jumlah monolog tokoh Dewa dibandingkan tokoh lainnya lebih
Dewa lalu mulai bercerita. Renjani adalah mantan penari balet di Jakarta.
Ia juga pengasuh dan, pemilik dari Rumah Asuh Ibu Sejati yang berdomisili di
orang tuanya. Dalam Rumah Asuh Ibu Sejati terdapat seorang dokter bernama
Mbak Wid yang setelah melaksanakan tugasnya menjadi dokter, berubah menjadi
seorang peramal kartu tarot pada malam harinya. Dalam Rumah Asuh Ibu Sejati
autistik, mata terbuka tapi tidak bisa melihat, telinga dapat menangkap bunyi tapi
tidak mendengar, jaringan otak yang rusak, leher selalu miring dan kepala selalu
Asuh Ibu Sejati yang selalu mendampingi Renjani. Dewa merupakan anak yang
123
unik jika dibandingkan dengan anak-anak penyandang cacat lainnya, hal ini
tinggal, lalu berpendapat sesuai dengan sudut pandangnya. Jadi, dalam novel ini
banyak ditemui kutipan dari sudut pandang Dewa yang menceritakan dirinya,
hidupnya seperti biasa di Rumah Asuh Ibu Sejati. Sebagai pengasuh sekaligus
pemilik, di Rumah Asuh Ibu Sejati banyak orang yang akan membuang anak
mereka karena hasil hubungan gelap, tetapi Renjani menolaknya, sebab mereka
Renjani percaya bahwa Dewa dapat sembuh dan hidup seperti orang-orang
pemain biola. Tokoh Dewa yang sedang berada dalam pelukan Renjani lalu mulai
Dewa. Tetapi lama-kelamaan hati Renjani menjadi luluh. Renjani lalu mulai
membuka hatinya kepada pemuda berusia 23 tahun ini. Dewa lalu menggenggam
katapun. Karena melihat pengabdian Renjani pada anak-anak cacat, Bhisma lalu
jatuh hati pada Renjani. Bhisma lalu mengutarakan cintanya pada Renjani, tetapi
124
meramalkan bahwa Bhisma akan jatuh cinta pada Renjani, tetapi ia tidak dapat
diperkosa oleh guru baletnya. Renjani lalu menceritakan masalahnya pada Mbak
Wid. Mbak Wid lalu memberinya saran agar menerima cinta Bhisma. Tetapi
Sampai suatu saat Bhisma datang ke Rumah Asuh Ibu Sejati dan
memohon agar Renjani menerima cintanya, tetapi Renjani hanya berkata, “ Aku
belum bisa berdamai dengan masa laluku “, sambil mengusap rambut Bhisma.
Dewa lalu kembali berkomentar tentang Bhisma dan Renjani, bahwa keduanya
tidak akan bersatu. Bhisma lalu mencoba mendatangi Rumah Asuh Ibu Sejati
untuk meminta kepastian jawaban dari Renjani. Saat ia datang lagi, ia malah
disambut oleh Mbak Wid yang sibuk dengan kartu-kartu tarot ramalannya. Mbak
cerita tokoh wayang Mahabarata. Pemuda ini lalu jengkel, ia pun meraup semua
kartu tarot Mbak Wid dan menyebarkannya ke udara. Akhirnya dengan berat hati
Mbak Wid memberitahukan bahwa Renjani telah meninggal karena kanker rahim
yang dideritanya sejak lama. Tokoh Dewa yang saat itu sedang duduk diam di
dalam kamar hanya merasa miris, dan sedih karena kematian telah merenggut
dirawat di rumah sakit selama satu minggu dalam kondisi koma lalu sebelum ia
meninggal. Bhisma yang mendengar berita ini dari Mbak Wid sangat terpukul.