Anda di halaman 1dari 140

KETERAMPILAN INTRAPERSONAL TOKOH DEWA

DALAM NOVEL BIOLA TAK BERDAWAI


KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA
ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia

Oleh
Yoshua Ajie Febrianto
NIM: 034114001

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
JANUARI 2010
KETERAMPILAN INTRAPERSONAL TOKOH DEWA
DALAM NOVEL BIOLA TAK BERDAWAI
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA
ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia

Oleh
Yoshua Ajie Febrianto
NIM: 034114001

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
JANUARI 2010
KETERAMPILAN INTRAPERSONAL TOKOH DEWA
DALAM NOVEL BIOLA TAK BERDAWAI
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA
ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia

Oleh
Yoshua Ajie Febrianto
NIM: 034114001

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
JANUARI 2010

i
ii
iii
Dalam sebuah keterbatasan terdapat ruang

kemungkinan untuk dijelajahi

iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana karya ilmiah.

Yogyakarta, 21 Januari 2009

Penulis

Yoshua Ajie Febrianto

v
ABSTRAK

Febrianto, Yoshua Ajie. 2009. Keterampilan Intrapersonal Tokoh Dewa dalam


Novel Biola tak Berdawai Karya Seno Gumira Ajidarma: Analisis
Psikologi Sastra. Skripsi S1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas
Sanata Dharma.

Penelitian ini mendeskripsikan keterampilan intrapersonal tokoh Dewa


dalam novel Biola tak Berdawai dengan pendekatan psikologi sastra. Metode
yang dipakai dalam penelitian adalah metode deskriptif. Langkah-langkah yang
ditempuh adalah menganalisis struktur yang dibatasi pada tokoh dan penokohan,
kemudian hasil analisis itu digunakan untuk menganalisis keterampilan
intrapersonal tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai.
Kesimpulan hasil penelitian berupa pembagian tokoh menurut peran
menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan; serta analisis keterampilan
intrapersonal tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai.
Tokoh utama adalah tokoh Dewa dan tokoh tambahan adalah tokoh Renjani,
tokoh Mbak Wid, dan tokoh Bhisma. Tokoh Dewa adalah seorang penyandang
tunadaksa, tokoh Dewa selalu membutuhkan bantuan Renjani untuk beraktifitas
karena ia tidak dapat melakukan kegiatannya secara mandiri. Hal ini
menyebabkan tokoh Dewa sangat menyayangi ibunya. Dewa memiliki
kemampuan memahami orang-orang di sekitarnya dan lingkungan tempat ia
tinggal, masuk ke dalam alam bawah sadar manusia, mendengar suara hati
manusia, membaca masa lalu yang terjadi pada bawah sadar orang yang
dimasukinya, dan ia dapat melihat roh anak-anak tunadaksa yang meninggal.
Tokoh Dewa juga seorang pemikir yang cerdas karena ia selalu bercerita
mengenai berbagai hal yang dilihatnya. Tokoh Dewa juga seringkali bersolilokui,
berfilsafat tentang kehidupan, tentang dirinya sendiri. Tokoh Dewa adalah sosok
yang kritis, ia dapat mengkritisi suatu hal lalu mengkaitkan hasil analisisnya
dengan kondisi dirinya yang cacat.
Keterampilan intrapersonal adalah kemampuan untuk mengenali emosi
diri sendiri. Bentuk keterampilan intrapersonal pada tokoh Dewa adalah kesadaran
emosi, penilaian diri secara akurat, percaya diri. Bukti keterampilan intrapersonal
tokoh Dewa adalah berfilosofi dan merenung.

vi
ABSTRACT

Febrianto, Yoshua Ajie. 2009. Intrapersonal Skill of the Character Dewa in the
Novel of Biola Tak Berdawai Written by Seno Gumira Ajidarma: a Literary
Psychology Analysis. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters
Department, Sanata Dharma University.

This research describes the intrapersonal skill of Dewa, a character in the


novel of Biola Tak Berdawai, using literature-psychology approach. The
structural analysis is restricted to the the character and characterization. The
method of the study is descriptive. The first step is to analyse the character and
characterization,. The result is then used to analyse the intrapersonal skill.
The conclusions of this study are a description of characters according to
their roles: main characters and additional characters; and an analysis of the
intrapersonal skill of Dewa.
The main character is Dewa. The additional characters are Renjani, Mbak
Wid, and Bhisma. Dewa is a disabled quadriplegic, the character named Dewa
always needs help from Renjani to do his activities because he can not do his
activity independently. It makes the character Dewa loves Renjani. Dewa has
ability to understand human feelings in sorrounds him and also his
neighbourhood, come to human’s subconcious, listen to human’s conscience, read
the human’s past which was happened in human’s subsconciou’s whom he enters
to, and he can see spirit of quadriplegic children who have died.
Dewa is also a smart thinker because he always tells about anything which
he can see. Dewa sometimes doing soliloquy, philosophize about life and about
himself. Dewa is a critical person, he can criticize something and then asociate his
analysis with his defective condition.
Intrapersonal skill is the ability to recognise one’s own emotion. Dewa’s
intrapersonal skill finds its shape in emotion awareness, acurate self assessement,
and self confidence. It is proven by Dewa’s contemplative behavior and his
philosophical thinking.

vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Yoshua Ajie Febrianto

Nomor Mahasiswa : 034114001

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan


Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“Keterampilan Intrapersonal pada Tokoh Dewa Dalam Novel Biola Tak

Berdawai Karya Seno Gumira Ajidarma Analisis Psikologi Sastra”

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya
maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 21 Januari 2009

Yang menyatakan

(Yoshua Ajie Febrianto)

viii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyelesaikan skripsi

ini dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu (S1) pada Program Studi

Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan

mempunyai beberapa kekurangan karena keterbatasan dan kemampuan serta

pengetahuan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangun demi kesempurnaan dan perbaikan skripsi ini.

Dalam menyusun skripsi ini penulis telah mendapat banyak bimbingan

maupun dorongan yang bermanfaat untuk menyelesaikan skripsi ini. Pada lembar

ini penulis ingin mengucapkan kepada:

1. Ibu S.E. Peni Adji, SS., M.Hum. Selaku pembimbing I yang telah

memberikan perhatian, pengarahan dengan sabar dan teliti sehingga

penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum. Selaku pembimbing II yang telah

memberikan pengarahan sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan

skripsi ini.

3. Seluruh Dosen Sastra Indonesia. Terima kasih atas kesediaannya

berbagi pengetahuan tentang dunia bahasa dan kesusastraan indonesia.

ix
4. Bengkel Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Terima kasih atas proses pencarian jati diri yang harus ditempuh dengan

peluh dan kerja keras.

5. Semua Angkatan Prodi Sastra Indonesia. Terima kasih karena bisa

berproses bersama kalian untuk melebur menjadi satu.

6. Kakak, Ibu dan Bapak. Terima kasih atas saran, kritik yang membangun

dan dorongan semangat untuk terus melangkah meniti masa depan yang

cerah.

7. Rekan-rekan guru sekolah minggu GKI Ngupasan. Terima kasih karena

menanyakan kabar skripsiku, sehingga memotivasi penulis untuk segera

menyelesaikan skripsi.

8. Sahabat-sahabatku di Sastra Indonesia angkatan 2003; Jati “Jatex”,

Agus “Manu”, Anton “Pak Anton”, Riawan “Binyong”, Simpli

“Komeng”, Icha “Big Bear”, Dhista “Cepot”, Bayu “Bayer”, Rinto

“Kepleh”. Terima kasih buat dunia kedua yang kalian ciptakan untukku.

Rekan-rekan angkatan 2003; Epita, Vony, Aix, Doan, Ratna, Lia, Ana,

Tere, Yeni, Astri. Terima kasih untuk suka dukannya di Sastra Indonesia.

Semoga Tuhan membalas semua kebaikan yang telah diberikan.

Kesempurnaan dan kekurangan skripsi ini semata-mata merupakan tanggung

jawab penulis. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi

semua pihak yang membutuhkan.

Penulis

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN......................................................................................... iii

MOTTO............................................................................................................................ iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA.......................................................................... v

ABSTRAK.. .................................................................................................................... vi

ABSTRACT.................................................................................................................... vii

PUBLIKASI KARYA ILMIAH viii

KATA PENGANTAR..................................................................................................... ix

DAFTAR ISI.................................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 5

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................. 5

1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................................. 6

1.4 Manfaat Penlitian.............................................................................................. 6

1.5 Landasan Teori.................................................................................................. 7

1.5.1 Tokoh dan Penokohan.............................................................................. 8

1.5.2 Teori Psikologi Sastra.............................................................................. 9

1.5.3 Teori Keterampilan Intrapersonal............................................................ 10

1.6 Metode Penelitian.............................................................................................. 11

1.6.1 Pengumpulan Data................................................................................... 11

xi
1.6.2 Pendekatan............................................................................................... 12

1.6.3 Metode Penelitian..................................................................................... 12

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data....................................................................... 12

1.6.5 Sumber Data............................................................................................. 12

1.7 Sistematika Penyajian.......................................................................................

BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL 14

BIOLA TAK BERDAWAI KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA.................... 14

2.1 Pengantar....................................................................................................... 15

2.2 Tokoh dan Penokohan.................................................................................... 15

2.2.1 Tokoh Utama............................................................................................... 16

2.2.1.1 Dewa........................................................................................................ 20

2.2.2 Tokoh Tambahan....................................................................................... 20

2.2.2.1 Renjani.................................................................................................... 25

2.2.2.2 Bhisma...................................................................................................... 29

2.2.2.3 Mbak Wid................................................................................................. 31

2.3 Rangkuman....................................................................................................

BAB III KETERAMPILAN INTRAPERSONAL TOKOH DEWA DALAM NOVEL

BIOLA TAK BERDAWAI KARYA SENO GUMIRA 34

AJIDARMA......................................................................................................... 34

3.1 Pengantar........................................................................................................ 36

3.2 Keterampilan Intrapersonal Tokoh Dewa...................................................... 38

xii
3.2.1 Kesadaran Emosi............................................................................. 62

3.2.2 Penilaian Diri secara Akurat........................................................... 100

3.2.3 Kepercayaan Diri............................................................................ 109

3.3 Rangkuman....................................................................................................

112

BAB IV PENUTUP......................................................................................................... 112

4.1 Kesimpulan.................................................................................................... 119

4.2 Saran..............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

BIOGRAFI

xiii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (Wellek&Warren

dalam Melani Budianta 1989:3). Sastra adalah sifat-sifat manusia yang dipaparkan

dalam sebuah karya tulis. Karya sastra haruslah memberi pencerahan, dan

membuat kita berpikir ulang tentang suatu hal. Hal itu bisa berupa nilai moral

ataupun kesenangan yang bersifat menghibur, keduanya ini dapat kita temui dan

kita petik dari sebuah karya sastra. Salah satu wujud karya sastra adalah novel.

Kata novel sendiri berasal dari bahasa Itali novella, secara umum novella

memiliki yang berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan

sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’ (Abrams dalam Nurgiyantoro

1981:119). Setelah beberapa dekade istilah novella mempunyai pemahaman yang

sama dengan novelette (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi

yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek

(Nurgiyantoro, 2005:9-10). Sebuah novel terdiri dari berbagai bagian yang

menyatukannya; unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang

(Nurgiyantoro, 2005:10).

Maka dari itu sebuah novel tidak dapat terwujud menjadi karya sastra tanpa

adanya salah satu bagian di atas, semuanya saling terkait dan mempengaruhi.

Aspek tokoh adalah salah satu unsur yang berperan penting untuk membangun

nuansa cerita menjadi lebih hidup, kehadiran tokoh dalam sebuah novel juga

membawa pembaca ikut dalam petualangan fiksi yang diciptakan pengarang.


2

Istilah tokoh menunjuk pada pelaku cerita Nurgiyantoro (2005:165). Melalui

tokoh, pengarang ingin memberikan kita gambaran yang jelas tentang sebuah

penokohan yang diciptakannya. Menurut Nurgiyantoro (2005:174) pembaca tak

jarang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang diberinya rasa simpati dan

empati. Seolah-olah perasaan yang dialami oleh tokoh, dialami juga oleh para

pembaca. Hal ini terlihat dari reaksi pembaca yang memberikan reaksi emotif

terhadap tokoh yang terdapat dalam novel; simpati, empati, familiar, rindu,

antipati, marah, dan berbagai rekasi emotif lainnya. Sosok tokoh memang menjadi

sarana untuk menyampaikan ide dan gagasan yang dimiliki oleh pengarang,

melalui tokoh, pengarang dapat membuat sosok rekaannya menjadi lebih hidup

dan nyata, serta memiliki aspek emosional layaknya manusia dalam kehidupan

nyata. Di samping itu, tokoh rekaan secara tidak langsung juga ikut menjadi

pembawa tema yang ingin dipaparkan oleh pengarang. Tokoh juga berperan serta

dalam menjalankan alur cerita, dengan kata lain tokoh adalah alat untuk

memudahkan pembaca mengoperasikan daya imajinasinya dalam membaca

sebuah karya novel. Melalui tokoh, kita dapat mempelajari sifat yang terdapat

dalam karakter tokoh novel, sehingga memperkaya pengalaman batin kita dan

secara tak langsung menuntun kita pada pemahaman baru mengenai kehidupan

dalam novel ataupun dari konsep novel yang dipaparkan oleh pengarang dalam

membuat sebuah novel. Penelitian ini akan dititikberatkan untuk meneliti aspek

psikologis tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai, yang selanjutnya akan

disingkat menjadi BTB, sebuah novel karya Seno Gumira Ajidarma, (selanjutnya

Ajidarma). Seno adalah seorang penulis yang serba bisa,” Sebagai penulis, saya
3

menganggap diri saya sebagai tukang, dengan begitu saya merasa wajib

mempelajari segala bentuk penulisan, agar mampu melayani semua pesanan.

“Dalam kenyataannya, saya memang berusaha memenuhi segala

pesanan“(sukab.wordpress.com). Pengertian yang dimaksud pesanan adalah

pesanan untuk menulis buku. Penulis yang meraih Penghargaan S.E.A Write

Award untuk bukunya yang berjudul Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi ini

adalah penulis yang kerap mengolah sebuah ide dari para kolegannya, dan

menggunakan bahan tulisannya itu dengan maksimal tanpa harus kehilangan

kebebasan mengembangkan gagasan-gagasannya yang liar, “Selama tidak bertele-

tele, saya menanggapi segala pesanan sebagai katalisator gagasan: bagaimana

caranya pesanan terpenuhi, tetapi gagasan saya tetap berkembang dengan bebas“

(sukab.wordpress.com). Sebagai penulis, Seno cukup produktif menghasilkan

sejumlah karya tulis; puisi, roman, novel, esai, cerpen, dan nonfiksi

(id.shvoong.com), selain itu Seno juga sempat menduduki jabatan sebagai

wartawan di beberapa surat kabar ibukota.

Tidak mengherankan jika wawasan dan kemampuannya sebagai penulis

cukup diperhitungkan dalam dunia Sastra Indonesia. Karya-karya Seno banyak

yang menyinggung masalah sosial-politik, meskipun ada juga karyanya yang

bercerita diluar masalah sosial-politik. Novel yang dibuat dengan konsep agak

berbeda dengan novel Seno pada umumnya adalah novel Biola tak Berdawai,

novel ini memakai sudut pandang orang pertama sebagai pemeran utamanya,

pengarang bercerita dari sudut pandang Dewa, penyandang tunadaksa, yakni;

memiliki lebih dari satu kecacatan. Selain itu dalam karya sastra ini Seno
4

memasukkan cerita Mahabarata sebagai latar belakang penunjang cerita, yang

sifatnya sebagai pelengkap, sekaligus membantu pembaca dalam memahami

cerita BTB, disamping itu Seno menambahi karyanya dengan visualisasi gambar

kartu tarot dan penjabarannya ke dalam bentuk literer, sebagai sarana untuk

memperjelas cerita novel BTB, serta penyingkap misteri masa depan dari para

tokohnya (sukab.wordpress.com). Novel ini memang ditujukan Seno untuk anak-

anak tunadaksa, seperti yang tertulis pada lembar pertama novel BTB, “demi

anak-anak tunadaksa” (Ajidarma, 2004). Kelainan yang dimiliki Dewa adalah

tunawicara, memiliki kelainan sistem peredaran darah, kecenderungan autistik,

mata terbuka tapi tidak bisa melihat, telinga dapat menangkap bunyi tapi tak

mendengar, jaringan otak yang rusak, leher selalu miring, kepala selalu tertunduk

ke bawah (Ajidarma, 2004:6). Dewa tinggal di panti asuhan Rumah Asuh Ibu

Sejati, dan dirawat oleh Renjani. Dewa sebagai tokoh utama, dapat menceritakan

kondisi lingkungan tempatnya tinggal di Kotagede beserta keluarga kecilnya yang

tinggal di Rumah Asuh Ibu Sejati dari batinnya. Dewa merupakan tokoh yang

berbeda dari tokoh lainnya. Hal ini disebabkan Dewa dapat berfilosofi mengenai

dirinya, mengetahui kemampuan dirinya, dan menyimpulkan berbagai peristiwa

yang dialaminya lalu mencoba membandingkannya dengan kondisi diri Dewa

yang tunadaksa.

Cerita ini memakai Kota Gede sebagai settingnya, dari Rumah Asuh Ibu

Sejati inilah keterampilan intrapersonal Dewa terlihat, ia dapat mengenal,

membaca situasi yang tengah terjadi, dan membuat kesimpulan dari apa yang

dilihat, dan dirasanya, ia juga dapat mendengar percakapan orang-orang di


5

sekelilingnya. Karya tulis ini menjadi menarik karena Dewa terlihat dewasa, dan

bijaksana oleh sebab itu peneliti hendak meneliti keterampilan intrapersonal pada

tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma.

Peneliti menggunakan tinjauan psikologi sastra untuk menunjukkan

keterampilan intrapersonal dalam novel ini, selain itu juga karena sejauh yang

peneliti tahu belum pernah ada yang menggunakan teori keterampilan

intrapersonal pada novel Biola tak Berdawai. Untuk menunjang pemakaian teori

psikologi sastra maka peneliti memakai teori keterampilan intrapersonal dalam

penelitian ini, karena teori ini dapat menjelaskan kemampuan yang dimiliki oleh

Dewa.

1.2 Rumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang, peneliti merumuskan permasalahan

sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimanakah tokoh dan penokohan Dewa dalam novel Biola tak

Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma ?

1.2.2 Bagaimanakah keterampilan intrapersonal tokoh Dewa dalam

novel Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah adalah :

1.3.1 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan Dewa dalam novel Biola tak

Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma.


6

3.2 Mendeskripsikan keterampilan intrapersonal tokoh Dewa dalam novel

Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Memberikan sumbangan apresiasi terhadap sastra indonesia.

1.4.2 Membantu pembaca untuk memahami keterampilan intrapersonal yang

dimiliki oleh penyandang tunadaksa pada tokoh Dewa dalam novel Biola tak

Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma.

1.4.3 Memberikan sumbangan pada teori sastra dalam bidang psikologi sastra

tentang keterampilan intrapersonal pada penyandang cacat anak tunadaksa.

1.5 Landasan Teori

Teori yang akan digunakan untuk menganalisa novel Biola tak Berdawai

adalah psikologi sastra. Ilmu psikologi dipakai dalam pengkajian sastra, sebab

psikologi adalah ilmu mengenai jiwa manusia (Walgito, 2001:5). Manusia

memang mempunyai sifat dan karakter yang beragam, oleh karena itu psikologi

berperan dalam mempelajari tingkah laku manusia.

Hal ini tidak berbeda dengan psikologi sastra yang meneliti aspek kejiwaan

manusia, hanya saja psikologi sastra menggunakan pengarang, pembaca, dan

teksnya sendiri sebagai medianya untuk melihat aspek kejiwaan manusia

(Hartoko, Rahmanto, 1986:124). Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan

mendeskripsikan teori tokoh & penokohan, teori psikologi sastra dan teori

keterampilan intrapersonal.
7

1.5.1 Tokoh dan Penokohan

Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah keterampilan

intrapersonal tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai, sehingga peneliti

lebih menitikberatkan tokoh Dewa sebagai objek penelitiannya serta teori tokoh

dan penokohan sebagai alat untuk membantu peneliti dalam menyelesaikan

peneltian.

Nurgiyantoro (2005:176-177) membedakan tokoh menurut segi peranan

atau tingkat pentingnya tokoh ke dalam dua bagian; a) tokoh utama dan, b) tokoh

tambahan. Ditinjau dari segi peranan atau tingkat kepentingannya dalam sebuah

cerita, tokoh utama (central character, main character,) lebih dominan jika

dibandingkan dengan tokoh tambahan (peripheral character). Meskipun

kehadirannya kadang hanya sebagai pelengkap tetapi, tetap saja tokoh tambahan

membantu memunculkan watak serta sikap peranan tokoh utama dalam sebuah

cerita.

Tokoh Dewa sebagai sosok penyandang tunadaksa dalam novel Biola Tak

Berdawai berperan sebagai tokoh utama (main character). Hal ini terlihat dari

banyaknya petikan dialog yang jumlahnya hampir mendominasi seluruh isi novel.

Sedangkan untuk tokoh Renjani, Bhisma, dan Mbak Wid mereka bertiga termasuk

dalam tokoh tambahan yang kemunculannya tidak terlalu sering.

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang

ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam Nurgiyantoro, 1968:33), melalui

penokohan kita dapat menyimpulkan karakter tokoh yang dipaparkan, mulai dari;
8

kebiasaan hidup, cara pandang, ideologi, dan prinsip hidup. Penokohan sendiri

menjelaskan ‘pelaku cerita’ dan berarti pula ‘perwatakan’.

1.5.2 Psikologi sastra

Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut

psikologi. Psikologi sastra dapat dilangsungkan dilakukan secara deskriptif

(Hartoko dan Rahmanto, 1986:126-127). Dalam novel Biola tak Berdawai teori

psikologi sastra terlihat aplikasinya pada monolog yang diutarakan oleh Dewa

dalam batinnya, terutama mengenai analisis tentang orang-orang di sekitarnya,

dan dirinya sendiri. Tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek

kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya (Ratna, 2004:342).

Menurut Ratna (2004:343) ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk

memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu: a) memahami unsur-

unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur kejiwaan

tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan c) memahami unsur-unsur kejiwaan

pembaca. Namun dalam penelitian ini penulis akan menggunakan psikologi sastra

hanya untuk menganalisis tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, karena

penelitian ini meneliti tentang keterampilan intrapersonal yang dimiliki oleh

Dewa sebagai tokoh utamanya. Dalam hal ini peneliti akan melakukan penelitian

terhadap teksnya.
9

1.5.3 Keterampilan Intrapersonal

Keterampilan intrapersonal adalah teori yang digunakan peneliti untuk

mengetahui dan menganalisa keterampilan intrapersonal yang dimiliki oleh tokoh

Dewa. Tetapi, untuk dapat menjabarkan tentang keterampilan intrapersonal,

terlebih dulu peneliti akan menjelaskan tentang pengertian kecerdasan

intrapersonal. Kecerdasann intrapersonal adalah kecerdasan memahami diri

sendiri, kecerdasan mengetahui siapa diri Anda sebenarnya (Armstrong, 2002:22).

Kecerdasan intrapersonal juga mencakup kemampuan untuk mengetahui

kelebihan dan kelemahan diri Anda, serta kecerdasan untuk merenungkan tujuan

hidup sendiri dan untuk mempercayai diri sendiri (Armstrong, 2002:22).

Perwujudan dari kecerdasan intrapersonal adalah keterampilan intrapersonal.

Daniel Goleman (1998:65-66) membagi keterampilan intrapersonal kedalam tiga

bagian :

1. Kesadaran Emosi, yaitu tahu tentang bagaimana pengaruh emosi terhadap

kinerja diri, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai diri untuk memandu dalam

pembuatan keputusan. Orang dengan tipe ini :

a) Tahu emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.

b) Menyadari keterkaitan antara perasaannya dengan apa yang ia pikirkan,

perbuat, dan katakan.

c) Mengetahui bagaimana perasaannya mempengaruhi kinerja.

d) Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan

sasarannya.
10

2. Penilaian Diri secara Akurat, yaitu perasaan yang tulus tentang kekuatan-

kekuatan dan batas-batas pribadi kita, visi yang jelas tentang mana yang perlu

diperbaiki, dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman. Orang dengan tipe ini:

a) Sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya.

b) Menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman.

c) Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif

baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri.

d) Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri

dengan perspektif yang luas.

3. Kepercayaan Diri, yaitu keberanian yang datang dari kepastian tentang

kemampuan, nila-nilai, dan tujuan kita. Orang dengan tipe ini:

a) Berani tampil dengan keyakinan diri; berani menyatakan eksistensinya.

b) Berani menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia

berkorban demi kebenaran.

c) Tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan

yang tidak pasti dan tertekan.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data-data yang digunakan dalam penelitian ini,

penulis menggunakan jenis penelitian studi pustaka (library research), yakni


11

meneliti data-data yang penulis dapat berasal dari buku, esai, karya tulis dan

artikel yang berkaitan dengan permasalahan di atas.

1.6.2 Pendekatan

Pendekatan yang digunakan penulis untuk meneliti novel Biola tak

Berdawai ini adalah pendekatan psikologi sastra. Pendekatan psikologi sastra

adalah pendekatan sastra yang dilakukan dari sudut psikologi (Hartoko dan

Rahmanto, 1986:126-127). Jadi kondisi psikologis (keterampilan intrapersonal

tokoh) dianalisis, diteliti, lalu disimpulkan menggunakan premis-premis psikologi.

1.6.3 Metode Penelitian

Penelitian ini memakai metode deskriptif analisis, yakni; mendeskripsikan

fakta-fakta lalu disusul dengan analisis data. Secara etimologis, kata deskripsi dan

analisis berarti menguraikan (Ratna, 2004:53). Jadi, data akan diuraikan lalu

diberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Sehingga data yang ada akan

dijabarkan secara deskriptif lalu dianalisis untuk memperoleh gambaran secara

gamblang, dan lengkap. Hal ini akan memudahkan peneliti untuk melakukan

penelitian terhadap novel Biola tak Berdawai. Hasil analisis ini diharapkan dapat

membantu peneliti untuk memahami fakta yang diperoleh dan mengolahnya

menjadi sebuah penelitian.


12

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode teknik pengumpulan data. Data-data

yang ada dalam dalam novel Biola tak Berdawai akan digunakan, dan diolah oleh

peneliti untuk mendukung penelitian, selain itu peneliti juga menggunakan studi

pustaka lain yang dapat digunakan sebagai bahan rujukan.

1.6.5 Sumber Data Penelitian

Dikarenakan penelitian ini mengangkat tema tentang keterampilan

intrapersonal tokoh Dewa, maka sumber data utama berasal dari novel itu sendiri,

sedangkan sumber data lainnya adalah sebagaimana yang tersebut dalam daftar

pustaka, yang digunakan untuk membantu menyelesaikan penelitian. Berikut data

utama di bawah ini yang digunakan dalam penelitian.

Judul buku : Biola Tak Berdawai

Penerbit : Akur

Kota terbit : Jakarta

Tahun terbit : 2004

Halaman : 198 halaman

1.7 Sistematika Penyajian

Untuk mempermudah pemahaman terhadap proses dan hasil penelitian ini

dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini

dapat dirinci sebagai berikut; a) Bab I berisi pendahuluan meliputi latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, landasan teori, pendekatan dan metode penelitian, teknik pengumpulan


13

data, sumber data, dan sisematika penyajian, b) Bab II meliputi pembahasan tokoh

dan penokohan novel Biola tak Berdawai , dan c) Bab III meliputi pembahasan

keterampilan intrapersonal tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai karya

Seno Gumira Ajidarma d) Bab IV meliputi kesimpulan hasil analisis data dan

saran. Kemudian bagian terakhir adalah daftar pustaka.


14

BAB II
TOKOH DAN PENOKOHAN
DALAM NOVEL BIOLA TAK BERDAWAI
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

2.1 Pengantar

Dalam dunia kesusastraan unsur tokoh dan penokohan merupakan unsur

yang penting. Sebab dalam sebuah novel unsur tokoh dan penokohan, mutlak

diperlukan. Hal ini berfungsi membantu pembaca untuk memahami alur sebuah

cerita dan memperjelas gambaran cerita yang dibangun dalam sebuah karya fiksi.

Istilah tokoh menunjuk pada pelaku cerita Nurgiyantoro (2005:165). Jadi bisa

disimpulkan, pelaku cerita adalah pemain watak yang memerankan peranan dalam

sebuah karya fiksi. Melalui tokoh, cerita dalam sebuah karya fiksi menjadi

lengkap, karena sebuah karya fiksi tidak akan menjadi utuh tanpa adanya pemeran

watak yang melakonkan sebuah peran dalam karya fiksi.

Kita tidak akan tahu,“Siapa yang melakukan dialog ?“, “Hal apa yang

dibicarakan dan diperbincangkan ?“, “Siapa yang diceritakan ? “, jika tidak ada

tokoh dalam sebuah karya sastra. Tokoh dalam sebuah cerita, juga ikut membantu

kita dalam menikmati sebuah cerita. Sebab pikiran kita dituntun untuk mencari

kesamaan tokoh rekaan dalam sebuah karya fiksi, dengan tokoh di dunia nyata,

sehingga membantu menciptakan tokoh fiktif yang sudah diciptakan oleh

pengarang dalam imajinasi kita.

Meskipun harus kita akui bahwa tokoh yang kita baca dalam dunia fiksi,

tidak sama persis dengan tokoh di dunia nyata, ada suatu campuran yang ganjil di
15

antara keduanya, baik itu dari; ciri-ciri fisik, perilaku, kebiasaan, adat-istiadat,

dan sebagainya. Namun, karena perbedaan inilah kita justru menemukan

perpaduan yang unik dalam tokoh, sehingga membaca sebuah cerita menjadi

terasa menyenangkan dan tidak membosankan. Fiksi mengandung dan

menawarkan model kehidupan seperti yang disikapi dan dialami tokoh-tokoh

cerita sesuai dengan pandangan pengarang terhadap kehidupan itu sendiri

Nurgiyantoro (2005:166). Sebab, pengarang memiliki kebebasan untuk

menciptakan karakter, status sosial, tipikal fisik tokoh sesuai dengan seleranya.

Ditinjau dari segi peranannya, tokoh dalam sebuah cerita ada yang terus-

menerus ditampilkan, sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan

berperan penting, di sisi lain ada juga tokoh yang kemunculannya tidak terlalu

mendominasi, tetapi tetap berperan dalam sebuah cerita Nurgiyantoro (2005:176).

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah keterampilan intrapersonal

pada tokoh utama. Sehingga kemampuan yang dimiliki oleh tokoh utama

dijabarkan menggunakan teori tokoh dan penokohan untuk membantu

menyelesaikan masalah.

Untuk memperjelas analisis tokoh dan penokohan, terlebih dahulu penulis

memaparkan sinopsis novel Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma.

2.2 Tokoh dan Penokohan

2.2.1 Tokoh Utama

Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai

pelaku kejadian maupun dikenai kejadian Nurgiyantoro (2005:177). Peranan


16

tokoh utama dalam sebuah penceritaan tergolong diutamakan jika dibandingkan

dengan tokoh tambahan. Dalam novel, kemunculan tokoh utama sering

ditampilkan pada tiap bab. Hal ini bertujuan untuk menunjang kelangsungan

cerita, serta membantu pembaca dalam mengenal tokoh berdasarkan peranannya.

Jumlah dialog ataupun kejadian yang menyangkut tokoh utama juga lebih banyak,

jika kita bandingkan dengan tokoh tambahan.

2.2.1.1 Dewa

Seperti tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai, yang berperan

sebagai tokoh utama. Peranan Dewa sebagai tokoh utama terlihat dari banyaknya

petikan monolog, maupun kejadian yang menceritakan Dewa dalam tiap babnya.

Dewa digambarkan oleh pengarang sebagai anak tunadaksa, kondisi tubuhnya

tidak seperti anak-anak bertubuh normal lainnya. Dapat kita lihat dalam kutipan

berikut:

( 1 ) “ Aku disebut sebagai anak tunadaksa, yakni memiliki lebih dari


satu cacat, dan salah satunya adalah tunawicara. Menurut pemeriksaan, aku
dilahirkan dengan kelainan sistem peredaran darah, yang membuat tubuhku tidak
berkembang. Aku juga disebut mempunyai kecenderungan autistik, mataku
terbuka tapi tidak melihat, telingaku bisa menangkap bunyi tapi tak mendengar,
tentu karena jaringan otakku yang ternyata rusak. Leherku selalu miring, kepalaku
selalu tertunduk-ya, pandanganku selalu terarah ke bawah. Aku seperti bayi tua,
tubuhku kecil, tetapi wajah lebih berusia : anak-anak kecil suka memanggilku
anak tuyul atau anak genderuwo, semuanya setan-setan gentayangan yang hanya
mereka kira-kira saja bentuk rupanya “ (Ajidarma, 2004:7).

Tokoh Dewa adalah sosok yang kritis, ia dapat mengkritisi suatu hal lalu

mengkaitkan hasil analisanya dengan kondisi dirinya yang cacat. Dapat kita lihat

dalam kutipan berikut:

( 2 ) “ Kebudayaan bisa membebaskan, kebudayaan bisa membatasi, tetapi


kaum tunadaksa seperti aku bagaikan berada di luar kebudayaan-setidaknya di
17

tepi yang sangat luar sekali, di tepinya yang paling tepi. Tidak dianggap dan tidak
terlalu berarti “ (Ajidarma, 2004:45).

Meskipun Dewa cacat, tetapi tidak membatasi kemampuan indera lainnya,

terbukti ia dapat mendengar suara hati orang lain dan mengetahui kondisi batin

orang lain. Berikut penggalan kutipannya :

( 3 ) “ Aku tetap tertunduk, apalah yang bisa kulakukan ? Aku sering tidak
mengerti, kenapa aku diberi nama Dewa, kalau kemudian diketahui aku tidak bisa
mengangkat kepala seperti ini. Namun, sebenarnya nama Dewa juga bukan nama
kosong, setidaknya kalau dibandingkan dengan dewa-dewa dari dunia
pewayangan, yang bisa berkelebat ke sembarang tempat, di dalam maupun di luar
dunia ini, menembus berbagai macam dimensi. Hanya tampaknya saja aku tidak
mampu melihat dan mendengar sesuatu, tetapi aku mampu menangkap getaran
jiwa dan mendengar kata hati ” (Ajidarma, 2004:9).

Kondisi fisik Dewa yang cacat, memang membatasi ruang geraknya

sebagai manusia, tetapi tidak pada kemampuannya yang dapat berfilosofi tentang

kehidupan. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut:

( 4 ) “ Masa depan dihadapi manusia dengan kecemasan, ketakutan, dan


keprihatinan atas kemungkinan yang tiada akan pernah bisa dipastikan. Jadi,
mereka yang percaya betul kepada ramalan mengandaikan dan mengandalkan
terdapatnya harapan-celakanya tidak semua kartu tarot Mbak Wid memberikan
harapan, dan itulah yang selalu terjadi setiap akan ada bayi mati di panti asuhan
ini “ (Ajidarma, 2004:19).

( 5 ) “ Setiap orang hidup dengan masa lalunya, karena masa lalu tidak
akan pernah pernah betul-betul berlalu. Setiap kali seseorang berniat melupakan
sesuatu dari masa lalu itu sebetulnya ia telah mengguratkannya dalam hati.
Seseorang bisa saja melupakan sesuatu namun sesuatu itu tidak akan pernah
hilang bahkan tersimpan dalam peti-peti tertutup di relung kenangan yang tidak
terpetakan. Dalam perjalanan hidup seseorang bisa saja bertemu kembali dengan
peti-peti itu, tanpa sengaja membukanya, atau dengan sadar tidak akan pernah
membukanya sama sekali, namun isi peti itu tidak akan pernah hilang. Bahkan
dengan suatu cara ia kemudian seperti udara yang merembes keluar dari celah-
celah peti, menempel dan melebur dalam darah yang menghidupkan kembali
syaraf-syaraf perekam kenangan di otak, yang tanpa sadar mengingatnya meski
tak tahu darimana datangnya “ (Ajidarma, 2004:64)
18

Dewa sebagai anak tunadaksa juga dapat melihat makhluk-makhluk halus

yang kasat mata, serta melihat semut yang merayap di sela rumput di atas makam.

Tokoh Dewa bahkan dapat mendengar suara angin. Dapat kita lihat dalam kutipan

berikut :

( 6 ) “ Hanya sunyi saja makam-makam ini. Angin yang menggoyang


bunga kamboja, dan semut yang merayap di sela rumput di atas makam. Namun
kesunyian bukanlah tanpa suara sedangkan suara-suara bukanlah sekadar bunyi
saja. Angin kadang terdengar seperti bisikan dan betapa bisa bermakna suatu
bisikan ketika mengundang seribu penafsiran. Alam semesta penuh dengan
makna, bahkan orang yang sudah mati bisa berbicara lewat berbagai penanda-
dengan cara itulah aku bisa mengalami dengan caraku sendiri, betapa kuburan ini
tidaklah sesunyi tampaknya “ (Ajidarma, 2004:28).

Dewa sebagai anak tunadaksa, juga sangat menyayangi ibunya yang selalu

merawat diri Dewa, meskipun terlihat tidak dapat mengutarakan emosinya melalui

gerakan tubuh, tetapi sesungguhnya Dewa mengutarakannya dalam hati bahwa ia

amat menyayangi ibunya. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

( 7 ) “ Aku terduduk dan tertunduk dengan tatapan mata ke lantai, namun


aku melayang ke sebuah semesta di mana kulihat sesosok bayangan yang sangat
samar-samar seperti melambaikan tangan dengan penuh kerinduan. Bagaikan
suatu tatapan dari balik kaca, mata bisa memandang tetapi tubuh tak mampu
menembusnya. Jiwa mampu menyapa jiwa dan hati mampu menyentuh hati tetapi
akal begitu terbatas kemampuannya untuk menjelaskan rasa. Hanya gelombang
kerinduan, sesal tanpa alasan, cinta tanpa sambutan, dan perkabungan yang
menyiksa...” (Ajidarma, 2004:57).

( 8 ) “ Umurku sudah hampir delapan tahun, dibanding Larasati yang


hanya berumur lima hari, aku sudah hidup terlalu lama-namun aku masih ingin
hidup lebih lama lagi. Aku ingin ibuku mengerti betapa aku juga mencintainya
dengan sepenuh hati. Hanya itulah yang ingin kulakukan di dunia ini,
menunjukkan cinta kepada ibuku, yang telah menyerahkan sisa hidupnya untuk
mencintaiku “ (Ajidarma, 2004:29).

Sikap dewasa Dewa juga terlihat pada ungkapan syukurnya pada Tuhan,

karena telah dipertemukan dengan Renjani, selain itu Dewa juga menunjukkan
19

sikap dewasanya dengan bercerita tentang fungsi panca indera dan kondisi jiwa

pada manusia bertubuh sempurna, lalu membandingkannya dengan diri Dewa

yang tunadaksa. Ditunjukkan oleh penggalan kutipan berikut ini :

( 9 ) “ Bersyukurlah mereka yang hidupnya berlimpah dengan cinta. Aku


bersyukur dipertemukan dengan ibuku, pada usia dua hari setelah ibu kandungku
membuang aku. Pastilah aku makhluk yang beruntung. Aku juga merasa
beruntung karena merasa betapa alam yang terindah diciptakan bagai hanya
untukku. Ibuku menunjuk kupu-kupu yang hinggap di tangkai padi ” (Ajidarma,
2004:37).

( 10 ) “ Bahkan mereka kemudian tidak menggunakan matanya untuk


melihat, telinganya untuk mendengar, dan telapak tangan untuk sekedar meraba.
Jiwa mereka sering mendadak lebur dengan jiwa kami, namun bisa pula dengan
sendirinya terlepas kembali: seandainya kami bisa berbicara, kami ingin
memanggilnya agar jangan pergi, tetapi kami tidak memiliki sesuatu yang
membuat kami bisa dimengerti-kami tidak mempunyai sarana untuk
membahasakan diri kami “ (Ajidarma, 2004:4).

Tokoh Dewa juga terlihat bijaksana. Meskipun ia cacat, bukan berarti ia

bersikap manja. Ia justru bersikap bijaksana, hal ini ditunjukkan oleh Dewa pada

manusia bertubuh sempurna agar menghargai keberadaan mereka, agar tahu

betapa besar sesungguhnya arti cinta. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

( 11 ) “ Itulah masalahnya, kami melihat dunia dengan cara lain,


menghayati dan mengalami dunia dengan cara yang sama sekali lain, namun itu
tidak berarti kita harus tetap selalu tak saling mengerti-bila tubuh dan otak kami
tiada mampu berbahasa, tidaklah berarti kami tiada berjiwa dan tiada berhenti
sama sekali. Bukankah sudah berkali-kali kukatakan betapa cinta telah
menghidupkan kami ? Sayangilah kami, maka ada sesuatu yang akan dikau
mengerti; cintailah kami, maka tak akan pernah dikau kira betapa makna akan
sangat berarti “ (Ajidarma, 2004:137).

( 12 ) “ Mereka memang mencintai kami, dan hati kami telah disejukkan


oleh cinta mereka, namun keindraan mereka yang berbeda dari keindraan kami
telah menjadikan hubungan kami dengan mereka yang mencntai kami itu penuh
misteri. Demikianlah kami dan mereka bagaikan saling meraba dalam kegelapan
dan saling mengulurkan tangan. Ujung jari-jari kami bagaikan saling bersentuhan
ketika mencoba saling mengenal, namun bukanlah keindraan yang telah
mempertemukan kami, karena ketika jiwa mendekat bagai tiada berjarak,
keindraan itu telah dilampaui “ (Ajidarma, 2004:4).
20

Keterbatasan yang dimiliki Dewa tidak menjadi halangan bagi Dewa

untuk menunjukkan kecerdasanya. Dewa mencoba membayangkan bagaimana

ibunya mengharapkan Dewa menjadi kupu-kupu. Dewa juga menunjukkan

kecerdasannya dengan mengandaikan senandung lagu ibunya yang sendu dengan

sayap kupu-kupu. Ditunjukkan oleh penggalan kutipan berikut ini :

( 13 ) “ Aku bisa membayangkan bagaimana ibuku mengharapkan aku


suatu ketika akan menjadi kupu-kupu tapi aku tak tahu, apakah diriku
dibandingkan dengan ulat yang meskipun lamban masih saja merayap kian
kemari, ataukah dengan kepompong yang diam sendiri ketika waktu berlalu beku
“ (Ajidarma, 2004:39).

( 14 ) “ Aku sedih jika mendengar nada nyanyian ibu yang seperti itu,
bagaikan ia sedang melayang di langit kesedihan dari masa silam. Kesenduan
lagunya membayangkan suatu gambaran tentang kupu-kupu yang sedang terbang
di taman bunga, namun tiba-tiba diserang burung besar dan patah sayap-sayapnya.
Betapa indah namun sekaligus betapa rapuhnya sayap kupu-kupu. Apakah
kebebasan juga serapuh itu dan apakah kehidupan ini memang berlagu sendu
seperti nyanyian ibuku ? “ (Ajidarma, 2004:42).

2.2.2 Tokoh Tambahan

Tokoh tambahan adalah tokoh yang pemunculannya dalam keseluruhan

cerita lebih sedikit jika dibandingkan dengan tokoh utama, tidak dipentingkan,

dan kehadiranya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara

langsung ataupun tak langsung Nurgiyantoro (2005:177). Di samping itu, fungsi

tokoh tambahan adalah sebagai pelengkap dalam sebuah cerita fiksi.

2.2.2.1 Renjani

Tokoh Renjani adalah pemilik sekaligus pengasuh Rumah Asuh Ibu Sejati

di Kotagede Yogyakarta. Renjani juga pewaris sebuah rumah peninggalan

kolonial Belanda. Renjani adalah sosok yang penyayang dan penyabar, hal ini
21

ditunjukkan saat ia mendampingi Dewa dan membela tokoh Dewa saat diejek.

Penggambaran Rumah Asuh Ibu Sejati dan karakter Renjani yang penyayang serta

penyabar di ceritakan oleh Dewa. Ditunjukkan oleh penggalan kutipan berikut ini

( 15 ) “ Panti asuhan tempat anak-anak tunadaksa dirawat bernama Rumah


Asuh Ibu Sejati. Terletak di daerah para pengrajin perak bernama Kotagede di
pinggiran kota Yogyakarta yang biasa diucapkan sebagai Jogja. Ibuku menerima
warisan sebuah rumah yang besar di sana, sebuah rumah berarsitektur gaya
kolonial dengan sentuhan ukiran Jawa yang dibangun tahun 1887. Halaman
mukanya luas, pintu utamanya terdiri dari dua lapis, yakni sebuah pintu jati besar
dengan pintu setengah di depannya. Pintu ini menghadap ke sebuah teras besar
yang tiang-tiangnya penuh dengan ukiran. Tegel untuk lantainya berasal dari
Belanda “ (Ajidarma, 2004:9).

( 16 ) Saat itu kutelan makanan yang disuapkan ibuku.


“ Anak pintar, “ kata ibuku, “ makannya habis. Anak Ibu memang pintar,
dan hanya anak-anak pintar seperti kamu Dewa, yang boleh tinggal di sini “.
Tapi Mbak Wid, entah kenapa, seperti tersinggung oleh perhatian ibuku
yang dianggapnya berlebihan. Nada suaranya tiba-tiba meninggi.
“ Anak-anak yang dibuang orangtuanya. Anak-anak yang bikin malu
keluarganya. Anak-anak yang cacatnya dobel-dobel. Anak-anak yang umurnya
tidak lama ! “
Ibuku mengimbangi dengan perlahan.
“ Ssstt..Mbak...Wid...ada Dewa...”
Maka Mbak Wid pun bicara tentang diriku.
“ Duuuhhh, Renjaniii, Renjani...Saya tahu kamu sangat sayang kepada
Dewa, tapi anak itu tidak mengerti omongan kita. Itu anak tidak mengerti apa-apa.
Dia bukan saja jaringan otaknya rusak, tapi juga autistik. Matanya terbuka tapi
tidak melihat. Telinganya tidak mendengar. Kamu sendiri kan sudah melihat hasil
test-nya.”
“ Tapi hasil test itu kan Cuma memberitahu keadaan fisiknya saja. Kita
tidak pernah bisa tahu bagaimana perasaan Dewa “ (Ajidarma, 2004:18).

( 17 ) “ Ibuku lantas menggendong aku, karena kami melewati selokan


pinggiran, dan naik ke arah di mana terdapat rel kereta api. Angin yang masih
sejuk, cahaya kekuningan yang lembut, dan gemerisik sawah itu menenangkan
diriku, setenang kepompong yang tenggelam dalam waktu sebelum menjadi kupu-
kupu “ (Ajidarma, 2004:40).

(18) “ Ketika ibuku menuntunku di pantai tadi, kami berpapasan dengan


dua anak yang membawa alat-alat untuk mencari ikan dan ketam. Mereka
22

memandang kami, kemudian memperhatikan aku, dan saling berpandangan.


Mereka mempercakapkan aku dengan suara keras, bahkan seperti sengaja
memperdengarkannya di celah deburan ombak “ (Ajidarma, 2004:46).
“ Seperti anak tuyul.“
“ Mukanya aneh.”
“ Anak genderuwo ! “
Mereka kemudian lari sambil tertawa-tawa.
Ibuku marah besar.
“ Kamu tunggu di sini ya ? “
“ Ibuku lari memburu kedua anak itu, tetapi aku tidak peduli, karena
aku hanya melihat cahaya dan merasa melayang di antara cahaya. Aku merasa
melangkah menuju ke suatu tempat yang sangat kukenal. Apakah aku pernah
berada di tempat yang aku tuju ? Bagaimana mungkin ? Selamanya aku selalu
berada di tangan ibuku. Namun kali ini aku melangkah sendiri, betul-betul dengan
tubuhku sendiri, menuju ke lingkaran-lingkaran cahaya yang bagaikan
membentuk sebuah gua. Di dalam gua cahaya aku melayang menuju ke suatu
tempat yang seolah-olah sudah pernah kudatangi “ (Ajidarma, 2004:46).

Selain itu tokoh Renjani yang berstatus sebagai pemilik Rumah Asuh Ibu

Sejati, juga mantan seorang penari balet. Kisah hidupnya di ceritakan secara

singkat oleh Dewa. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(19) “ Para penari balet melayang dan bercinta dalam semesta tari. Sebuah
dunia yang indah, namun yang bagi ibuku berarti malapetaka. Itukah sebabnya
ibuku mengasingkan diri ke pinggiran kota ini ? ibuku meninggalkan dunianya
yang gemerlapan di Jakarta, menenggelamkan diri dalam perawatan bayi-bayi
tunadaksa. Benarkah ibuku tidak pernah merindukan dunianya yang dulu ? Tanpa
peristiwa yang meninggalkan luka itu, dunia balet adalah dunia yang bisa
membuat ibuku mengubah diri dari kepompong menjadi kupu-kupu dan bisa
berkata, “ Inilah aku ! “. Tapi sekarang ibuku di sini, bersama aku, seperti kupu-
kupu yang bermetamrfosa terbalik menjadi kepompong, sia-sia mencoba
memahamiku “ (Ajidarma, 2004:81).

(20) “ Kamu suka sepatu ini ? Namanya sepatu balet. Ini punya ibu. Dari
kecil Ibu sudah bercita-cita menjadi seorang penari balet, dan sudah menari di
mana-mana. Tapi akhirnya Ibu harus berhenti menari. “ (Ajidarma, 2004:83).

Tokoh Renjani, yang berstatus sebagai pemilik Rumah Asuh Ibu Sejati,

juga pernah mengalami trauma karena pernah diperkosa oleh guru baletnya, maka

dari itu ia agak ragu untuk menerima cinta dari Bhisma. Namun pada akhirnya

Renjani menerima permohonan cinta Bhisma. Pengalaman traumatis Renjani dan


23

permohonan cinta Bhisma di ceritakan oleh Dewa. Dapat kita lihat dalam kutipan

berikut :

(21) “ Gemerisik daun-daun itulah yang berkisah tentang tarian sepasang


kupu-kupu yang beterbangan kian kemari ditimpa cahaya lembut matahari.
Namun tiba-tiba mendadak langit menjadi gelap, matahari lenyap, dan salah satu
kupu-kupu itu berubah menjadi burung hantu yang siap mematuk kupu-kupu yang
kehilangan arah dalam kegelapan. Kemudian gemerisik daun-daun itu hilang,
berganti denting piano yang menggambarkan daun-daun bambu kering
diterbangkan angin. Guru tari itu memegang kedua tangan ibuku, mendorongnya
terus sampai menabrak dinding cermin ”.
“Ayolah...”
Ia merayu, memaksa dan merayu, tapi lantas hanya memaksa.
Ibuku melawan. Ibuku menampar, tapi ditampar kembali. Sempat lolos
dan lari, tetapi sampai di pintu tertangkap dan dengan kasar ditarik dan dilempar
sehingga meluncur sepanjang lantai sampai menabrak dinding cermin lagi.
Guru tari itu memperkosa ibuku yang setengah pingsan (Ajidarma,
2004:78).

(22) “ Hatimu bilang apa ? Renjani, dia laki-laki baik. Bukan jenis yang
cuma bisa jongkok di pertigaan. Jangan bisarkan masa lalumu menghalangi masa
depanmu “.
Mbak Wid menyebut-nyebut masa lalu, membuat ibuku teringat masa lalu,
yang begitu menyakitkan bagai tusukan sembilu.
“ Saya takut... ”
“ Laki-laki itu teka-teki yang paling aneh. Perempuan itu teka-teki yang
paling tidak masuk akal. Belum tentu kamu bisa menemukan lagi laki-laki yang
seperti dia, yang sudah bisa menerima Dewa seperti apa adanya “.
Malam semakin kelam. Lilin-lilin sebagian mati. Aku tepekur dalam
keremangan (Ajidarma, 2004:129).

(23) “ Aku mohon, jangan singkirkan aku. Dewa sudah mengisi batinku.
Kamu sudah mengisi hatiku. Tolong Renjani, jangan singkirkan aku “.
Mata ibuku berkaca-kaca. Dibelainya pipi Bhisma. Tangan Bhisma meraih
tangan yang membelai itu dan dibelainya kembali.
“ Aku masih bingung,” kata ibuku, “ aku masih belum bisa berdamai
dengan masa laluku. Beri aku waktu. Tapi kamu harus janji, kamu akan
menyelesaikan lagu ini “ (Ajidarma, 2004:132).

Renjani terlihat sedang bersantai di Gajah Wong Cafe bersama Bhisma

dan Dewa sebagai pemilik Rumah Asuh Ibu Sejati, tokoh Renjani juga termasuk

orang yang penuh dedikasi terhadap anak-anak cacat di Rumah Asuh Ibu Sejati. Ia
24

juga termasuk orang yang lembut terhadap tokoh Dewa. Kegiatan mereka di

Gajah Wong Cafe di ceritakan oleh tokoh Dewa Dapat kita lihat dalam kutipan

berikut :

(24) “ Sungai Gajah Wong melenggang dan melenggok pelahan. Kericik


air di tepian seperti berkirim salam kepada pohon-pohon talas. Seperti bayi-bayi
yang dihanyutkan, aku bersantai dan berhanyut sampai di Gajah Wong Cafe,
lantas melayang dibawa angin ke tempat Bhisma dan ibuku bercengkerama di atas
bale-bale beratap rumbia, menghadap pemandangan sawah subur menghijau.
Tubuhku masih tertunduk di Rumah Asuh Ibu Sejati, namun jiwaku berada dalam
diri ibuku. Kudengar percakapan mereka tanpa telinga “ (Ajidarma, 2004:114).

(25) “ Mana mungkin Mbak, umur saya delapan tahun lebih tua dari dia,
dan saya merasa sudah sampai di masa depan saya. Di sini. Di rumah ini. Bersama
Dewa dan bayi-bayi lainnya. Saya merasa sudah mapan. Tapi memang sekarang
ketakutan...” (Ajidarma, 2004:128).

(26) “ Masih terlihat gundukan merah bayi Larasati-mereka semua yang


telah mendahuluiku ada di sana, bayi-bayi dengan nama yang tidak pernah mereka
dengar atau ucapkan sendiri. Entah kenapa aku tidak kunjung mati, padahal
keadaan tubuhku tidak lebih dari mereka : otak rusak, peredaran darah tak beres,
tubuh kerdil, autistik, menengok saja susah. Ibuku sangat sering melatihku
berjalan, seperti Sumantri selalu menuntun Sukasrana. Kami berjalan di
persawahan, kami berjalan di pantai, atau menengok makam-makam mungil dan
memandang Merapi “ (Ajidarma, 2004:24).

(27) “ Di pantai Krakal, kami tenggelam dalam tempias cahaya yang


berkilauan dari ombak yang memutih dan pantulan pasir basah yang begitu luas
dan begitu berkilau seolah-olah bumi ini terbuat dari lempengan cahaya “
Ibuku menuntun aku melangkah di atas pasir yang terasa berat.
“ Melangkahlah Dewa, melangkah. Pasir ini akan membuat kakimu
kuat “.
Lidah-lidah ombak mengempas dan berdesis, namun aku tidak berada
di pantai karena aku merasa melayang di antara cahaya (Ajidarma, 2004:45).

Renjani dengan sikapnya yang lemah lembut, tetap menganggap Dewa

sebagai anak bertubuh normal. Kelemah lembutan sikap Renjani juga terlihat pada

tindakan Renjani yang mengajak Dewa berjalan-jalan di sawah dan mengajaknya

bicara. Sikap lemah-lembut Renjani pada Dewa di ceritakan oleh Dewa Hal ini

dapat kita lihat dalam kutipan berikut :


25

(28) Saat itu kutelan makanan yang disuapkan ibuku.


“ Anak pintar, “ kata ibuku, “ makannya habis. Anak ibu memang pintar,
dan hanya anak-anak pintar seperti kamu Dewa, yang boleh tinggal di sini “.
Tapi Mbak Wid, entah kenapa, seperti tersinggung oleh perhatian ibuku
yang dianggapnya berlebihan. Nada suaranya tiba-tiba meninggi.
“ Anak-anak yang dibuang orangtuanya. Anak-anak yang bikin malu
keluarganya. Anak-anak yang cacatnya dobel-dobel. Anak-anak yang umurnya
tidak lama !”.
Ibuku mengimbangi dengan perlahan.
“ Ssstt...Mbak Wid...ada Dewa...”
Maka Mbak Wid pun bicara tentang diriku.
“ Duuuhhh, Renjaniiii, Renjani...Saya tahu kamu sangat sayang kepada
Dewa, tapi anak itu tidak mengerti omongan kita. Itu anak tidak mengerti apa-apa.
Dia bukan saja jaringan otaknya rusak, tapi juga autistik. Matanya terbuka tapi
tidak melihat. Telinganya tidak mendengar. Kamu sendiri kan sudah melihat hasil
test-nya “.
“ Tapi hasil test itu kan cuma memberitahu keadaan fisiknya saja. Kita
tidak pernah bisa tahu bagaimana perasaan Dewa “ (Ajidarma, 2004:18).

(29) “ Ibuku menuntunku di tengah hamparan sawah yang menguning.


Dalam hembusan angin, batang-batang padi itu bagaikan sedang bersembahyang
dan setiap kali tegak memuji kebesaran Tuhan. Kudengar suara sayap kupu-kupu
yang kepaknya seperti desisan dan terbangnya capung yang berdenging lembut
seperti impian. Telingaku memang tidak mendengar meski terbuka, namun selalu
ada cara di mana jiwa bisa terhubungkan dengan jiwa. Ibuku menuntunku dengan
sangat sabar. Kuhirup bau lumpur sawah yang membuatku merasa hidup-anak
tunadaksa pun bukan anak yang mati bukan ?
“ Kiri dikit, terus maju, pinter anak ibu...” (Ajidarma, 2004:36).

2.2.2.2 Bhisma

Tokoh tambahan yang kedua adalah Bhisma, seorang anak muda yang

juga pemain biola. Bhisma terlihat sedang memandangi Renjani sambil bermain

biola di panggung. Tokoh Dewa mencoba menjelaskan sosok Bhisma sebagai

pemain biola. Berikut ini penggalan kutipannya :

( 30 ) “ Dari panggung, sambil memainkan biolanya lelaki itu tidak pernah


melepaskan pandangannya dari ibuku-tampaknya ia memang tidak perlu
membaca partitur di depannya itu lagi. Nada-nada seperti telah menjadi nafasnya.
Wajahnya tampan dengan garis-garis muka yang terpahat dengan jelas, seperti
baru turun dari relief seorang ksatria di dinding candi. Matanya dalam dan
26

sorotannya tajam. Sepintas lalu ia tampak sopan dan manis-tapi jika permainan
biolanya boleh dianggap sebagai pernyataan jiwa, terdengar sesuatu yang tidak
terlalu manis, bahkan terbayang adanya suatu dunia yang liar di mana berbagai
anasir masih bertarung untuk menguasai jiwanya “ (Ajidarma, 2004:103).

Tokoh Bhisma adalah pribadi yang sopan, ditunjukkan saat ia menawarkan

bantuan pada Renjani. Sikap sopan Bhisma juga terlihat pada percakapnnya

tentang foto bersama Renjani. Kepribadian Bhisma yang sopan di ceritakan oleh

tokoh Dewa yang berada didekat Renjani. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan

berikut :

(31) Lelaki itu juga masih di panggung, membereskan peralatannya-dan ia


masih memperhatikan kami. Memang hanya tinggal kami berdua di kursi
penonton. Ia melangkah ke arah kami sambil masih memegang biola dan tongkat
penggeseknya.
“ Bisa saya bantu ? “
Ibuku sangat ragu menanggapinya. Aku tahu, ibuku benci kalau seseorang
pura-pura kasihan kepadaku. Meski begitu aku tahu ibuku bukan tidak peduli,
setidaknya ia menghargai para pemain musik di panggung tadi.
Lelaki itu mengulurkan tangannya .
“ Bhisma .”
Dengan sopan ibuku menyambutnya.
“ Renjani “.
Ibuku bicara tentang aku.
“Ini Dewa, anak saya yang paling pintar. Kasih tangan sama Mas
Bhisma“.
Tanganku diajukannya untuk menyalami, Bhisma menyambutnya
(Ajidarma, 2004:104-105).

(32) “ Bhisma melihat foto-foto balet di dinding dan fotoku di meja kerja
ibuku, sementara ibuku masih bercerita dengan mata berbinar-meski aku tunduk
selalu, bisa kurasakan kegembiraan ibuku yang selalu berduka.
Lantas Bhisma masuk ke persoalan yang seperti sudah lama ingin dia
tanyakan.
“ Kalau Dewa ? Kamu ibunya. Bapaknya di mana ? “
Ibuku menggeleng.
“ Sayang sekali aku bukan ibu kandungnya-tapi apalah bedanya ? Dewa
adalah anakku dan tidak ada kemungkinan lain. Umurnya baru dua hari ketika
diserahkan kemari, aku sendiri tidak tahu siapa orangtuanya...”(Ajidarma,
2004:107).
27

Tokoh Bhisma sebagai pemain biola, juga memiliki akal yang cerdas,

terbukti ia mencari cara agar dapat bertemu lagi dengan Renjani. Kecerdasan

Bhisma, juga ditunjukkan saat ia mempertanyakan kegunaan kartu tarot pada

Mbak Wid. Kemampuan Bhisma dipaparkan oleh tokoh Dewa. Hal ini dapat kita

lihat dalam kutipan berikut :

(33) “ Bhisma lantas seperti punya cara, untuk tidak menjadikan


perjumpaan dengan ibuku sebagai yang pertama sekaligus terakhir. Ia segera
berujar. “ Dewa suka sama tongkat itu. Boleh dipegang, tapi kita pulang ya ? “
(Ajidarma, 2004:105).

(34) “ Mbak Wid memberikan tumpukan kartu kepada Bhisma untuk


dikasut. Ia mengasutnya dengan kepala tergeleng-geleng tidak mengerti “
“ Kartu ini bisa menjawab teka-teki kehidupan Mbak Wid ? “
(Ajidarma, 2004:113).

Bhisma, yang sedang mengiringi Renjani bermain biola ternyata menjadi

jatuh cinta pada Renjani. Bhisma adalah seorang pemain biola yang gigih untuk

mendapatkan cinta Renjani, meskipun ia sempat ditolak, tetapi ia terus

mencobanya. Usaha Bhisma yang pantang menyerah di ceritakan oleh tokoh

Dewa. Ditunjukkan oleh penggalan kutipan berikut ini :

(35) “ Bhisma memandang ibuku tanpa berkedip, tak sepenhnya sadar


dengan apa yang terjadi dalam dirinya. Ia tak melepaskan pelukannya. Nafasnya
di pipi ibuku dan ia memeluk dengan kencang “.
“ Renjani...”
Ibuku semula juga merasa terseret arus dan terbakar dalam kehanyutan,
namun segera teringat oleh ibuku sesuatu yang menyakitkan, seperti sayap kupu-
kupunya yang putih cemerlang berubah menjadi coklat bulukan dan hancur lebur
diterbangkan angin.
“ Bhsima! Lepaskan!”
Anak muda itu seperti kerasukan, merangsek dan merangsek, sampai
ibuku berhasil mendorongnya dengan kasar.
“ Kamu keluar sekarang! Keluar!”
Bhisma tersentak, seperti terbangun dari mimpi. Penyesalan datang
mendadak dan terlambat. Wajahnya mengiba namun ibuku tidak memberi
tanggapan sama sekali, wajahnya menjadi sangat dingin dan tegas. Bhisma
melangkah keluar membawa biola dan tongkat penggeseknya dengan hati yang
28

luruh, hancur lebur menjadi debu. Ia bahkan tak berani meminta maaf (Ajidarma,
2004:118).

(36) “ Aku tidak pernah butuh apapun untuk main musik. Aku tidak
pernah butuh siapapun. Tapi sekarang semua nada sudah mati. Hatiku juga sudah
mati “.
Lantas ditatapnya lagi mata ibuku dengan tajam.
“ Aku butuh kamu untuk menyelesaikan lagu ini. Aku butuh kamu “.
Anak muda itu berlutut, dan meraih tangan ibuku.
“Aku mohon, jangan singkirkan aku. Dewa sudah mengisi batinku. Kamu
sudah mengisi hatiku. Tolong Renjani, jangan singkirkan aku ”.
Mata ibuku berkaca-kaca. Dibelainya pipi Bhisma. Tangan Bhisma meraih
tangan yang membelai itu dan dibelainya kembali.
“ Aku masih bingung, “ kata ibuku, “aku masih belum bisa berdamai
dengan masa laluku. Beri aku waktu. Tapi kamu harus janji, kamu akan
menyelesaikan lagu ini “.
Tangan ibuku mengusap rambut Bhisma.
“ Dan kamu memainkannya untukku dan Dewa...”
Bhisma mengecup tangan ibuku dengan lembut (Ajidarma, 2004:132).

Bhisma sebagai pemain biola, juga termasuk orang yang melankolis.

Bhisma terlihat merasa kehilangan Renjani dan Dewa, karena tidak datang lagi ke

konser biolanya yang kedua. Sifat melankolis Bhisma juga ditunjukkan dengan

mencoba memainkan sebuah lagu untuk Renjani. Tokoh Dewa terlihat

menceritakan sifat Bhisma yang melankolis. Dapat kita lihat dalam kutipan

berikut :

(37) “ Para pemain musik sudah pergi, para penonton juga sudah pergi,
tinggal Bhisma memandangi dua kursi yang sudah dipesankan olehnya, dan
sepanjang pergelaran kedua kursi itu tetap kosong. Hati Bhisma itulah yang
menangis ? Sebetulnya boleh-boleh saja seorang lelaki menangis, kenapa tidak ?
Barangkali saja setiap lelaki di dunia ini pernah menangis, apalagi jika hatinya
terluka oleh cinta-tapi mungkin saja tidak pernah memperlihatkannya “
(Ajidarma, 2004:146).

(38) “ Bhisma menenteng biola, sebelah tangannya menggandengku. Kami


berhenti di bawah sebuah pohon yang teduh-di situlah makam ibuku, di antara
makam bayi-bayi tunadaksa, masih merah tanahnya, meski rumput mulai tumbuh.
Sepasang kupu-kupu kuning itu terbang di sekitarnya, seperti menjenguk makam
adik-adik bayi lainnya “.
29

Ia telah membuka kotak biolanya dan dari dalam kotak itu mengambil dua
tangkai bunga mawar. Diletakkannya satu persatu di pusara ibuku.
“ Ibu...ini dari Dewa, “ kata Bhisma untukku.
“ Ini dari aku Renjani “.
Lantas ia mengeluarkan biola dan tongkat penggesek dari kotak, siap
memainkan lagu yang digubahnya untuk kami. Ia bicara kepadaku.
“ Aku mainkan lagu untuk ibu ya ?”
Tentu saja Bhisma tidak menunggu jawaban. Ia memandang langit.
“ Renjani...ini untuk kamu “ (Ajidarma, 2004:185-186).

2.2.2.3 Mbak Wid

Tokoh Mbak Wid, adalah dokter di Rumah Asuh Ibu Sejati, pada pagi hari

ia adalah seorang dokter, tetapi saat malam hari ia berubah menjadi peramal kartu

tarot. Mbak Wid, adalah sosok yang misterius. Profesi serta karakter Mbak Wid

yang misterius diceritakan oleh Dewa. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(39) “ Namun perasaan Mbak Wid sudah kebal. Setiap pagi ia


mengenakan baju putih-putih, sebagai dokter kepala di Rumah Asuh Ibu Sejati,
namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi seorang perempuan berbaju hitam-
hitam yang begitu percaya ramalan kartu-kartu. Pada pagi hari Mbak Wid adalah
seorang dokter yang hidup dengan kepala dingin, pada malam hari Mbak Wid
membuka gelung rambutnya, mengubah dandanannya menjadi seorang
perempuan yang mempercayai ramalan kartu yang terkadang mengerikan
Kematian bayi Larasati misalnya, memang seperti telah diramalkan, ketika kartu
yang dibuka Mbak Wid adalah The Death alias Kematian “ (Ajidarma, 2004:16-
17).

(40) “ Kartu-kartuku tidak pernah luput, “ kata Mbak Wid yang telah
menenggelamkan dirinya ke dalam semesta yang penuh dengan takdir
berkelebatan, berseliweran ke sana kemari seperti meteor di ruang angkasa. Ruang
Lilin menjadi semesta di mana roh kehidupan bagaikan diacak-acak dan
disebarkan ke langit untuk melayang-layang dalam sambaran meteor takdir yang
berkelebat ke segala arah dari segala penjuru dengan desisan “ (Ajidarma,
2004:19).

Tokoh Mbak Wid, adalah seorang wanita yang memiliki pengabdian pada

anak-anak cacat, di Rumah Asuh Ibu Sejati. Pengabdian Mbak Wid juga terlihat
30

saat ia merawat anak-anak cacat dengan sepenuh hati. Karakter Mbak Wid yang

penuh pengabdian di ceritakan oleh Dewa. Dapat kita lihat pada kutipan berikut :

(41) “ Kuperhatikan kedua perempuan itu. Renjani, begitulah nama ibuku,


seperti selalu mencoba memaklumi Mbak Wid, yang betapapun seperti telah
menyerahkan hidupnya demi bayi-bayi cacat di Rumah Asuh Ibu Sejati. Dua
perempuan di Ruang Lilin yang cahaya kekuningannya selalu bergetar-getar.
Mbak Wid dalam busana hitam kelam seperti malam, dengan rambut
bergelombang yang terurai, dengan anting-anting, gelang, cincin, dan kalung yang
seperti ingin membuang jauh-jauh citra dokter berbaju putih yang tawar,
tenggelam dalam dunia ketidak pastian nasib yang berusaha ditembus oleh kartu-
kartu ramalan. Hampir setiap malam mereka berdua duduk di meja marmer yang
bundar itu, Mbak Wid dengan kartu-kartunya dan ibuku dengan diriku “
(Ajidarma, 2004:18-19).

(42) “ Mereka tidak keliru, karena ibuku dan Mbak Wid merawatnya
sepenuh hati. Ibuku juga selalu membebaskan para perawat panti asuhan, yang
tampak merasa jijik kepada bayi-bayi itu, untuk pergi-dan tidak usah kembali “
(Ajidarma, 2004:27).

Tokoh Mbak Wid adalah seorang wanita yang belum bisa melepas masa

lalunya, sebab ia selalu menggunakan cerita Mahabarata menjadi perbandingan

bawah sadarnya dalam menghadapi segala sesuatu. Mbak Wid juga memiliki

masa lalu yang suram, sebab ia hidup dari hasil uang ibunya yang melacur. Dapat

kita lihat pada kutipan berikut :

(43) “ Ibuku seorang pelacur. Anak-anak memang tidak bisa memilih


siapa orang tuanya. Aku tidak pernah bertanya, apalagi menghakimi. Ibu
melakukan semua itu untuk membesarkan dan menyekolahkan aku. Tapi ibu
sering sekali hamil, hanya untuk digugurkan dan digugurkan kembali. Minggu ini
dia menggugurkan kandungannya, minggu depan dia sudah melacur lagi “
(Ajidarma, 2004:62).

(44) “ Setelah aku bisa membaca, aku tidak pernah pura-pura tidur, karena
suara perempuan mengerang dan lelaki melenguh dari kamar itu sangat
mengganggu. Setiap kali berlangsung permainan cinta tanpa cinta di kamar itu
aku sengaja membaca. Aku membaca komik Mahabarata yang ada di rumahku.
Salah satu tamu yang menaruh iba padaku memberikan komik itu, dan setiap kali
31

terdengar suara-suara yang kubenci aku membacanya lagi meski sudah


membacanya berkali-kali”.
“ Tanpa kusadari Mahabarata masuk kedalam darahku dan meskipun
banyak lagi pengetahuan kudapatkan dalam hidupku, Mahabarata menjadi
perbandingan di bawah sadarku dalam menghadapi segala sesuatu, tetapi baru
sekarang aku menyadarinya. Makanya aku bisa merasakan derita Gandari dan aku
tahu bahwa penghinaan terbesar telah dialami Drupadi “ (Ajidarma, 2004:63).

2.3 Rangkuman

Penokohan dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan

tokoh tambahan. Dalam novel BTB tokoh utama adalah tokoh Dewa, sedangkan

tokoh tambahannya adalah tokoh Renjani, tokoh Bhisma, dan tokoh Mbak Wid.

Tokoh Dewa adalah seorang penyandang tunadaksa. Meskipun ia bertubuh

tidak sempurna, tetapi itu tidak menghalanginya untuk memahami orang-orang

disekitarnya dan tempat dimana ia tinggal. Dewa juga dapat masuk ke alam

bawah sadar manusia, mendengar suara hati manusia dan membaca masa lalu

yang terjadi pada bawah sadar orang yang dimasukinya. Tokoh Dewa juga dapat

melihat roh anak-anak tunadaksa yang telah meninggal, Dewa juga sangat

menyayangi ibunya. Karena Dewa penyandang tunadaksa, ia tidak dapat

melakukan kegiatan sendiri, sehingga Renjani selalu berada di samping Dewa

untuk membantunya beraktifitas. Hal ini menyebabkan Dewa mengetahui dan

memahami kondisi batin Renjani. Batin. Tokoh Dewa adalah seorang pemikir

yang cerdas ia selalu bercerita, mengenai berbagai hal yang dilihatnya. Di

samping itu Dewa juga seringkali bersolilokui, berfilsafat tentang kehidupan,

tentang dirinya sndiri. Tokoh Dewa adalah sosok yang kritis, ia dapat mengkritisi

suatu hal lalu mengkaitkan hasil analisanya dengan kondisi dirinya yang cacat.
32

Tokoh Renjani adalah seorang mantan penari balet. Tokoh Renjani

memiliki trauma masa lalu karena diperkosa oleh guru baletnya. Tokoh Renjani

ingin menebus kesalahannya dengan cara mendirikan Rumah Asuh Ibu Sejati. Ia

adalah sosok seorang ibu asuh yang penuh pengabdian bagi anak-anak cacat di

Rumah Asuh Ibu Sejati. Tokoh Renjani juga tergolong seorang ibu yang

perhatian, penyabar dan penyayang, terutama kepada Dewa. Hal ini terlihat pada

seringnya Renjani mendampingi Dewa kemanapun Dewa pergi. Hampir bisa

dipastikan bahwa dimana Renjani pergi selalu ada Dewa. Renjani juga termasuk

wanita yang tulus, yang mau menghabiskan hidupnya di Rumah Asuh Ibu Sejati

untuk menolong anak-anak yang cacat.

Tokoh Bhisma adalah seorang pemain biola yang menuntut ilmu di salah

satu institut seni di Yogyakarta. Tokoh Bhisma jatuh cinta kepada tokoh Renjani

karena dedikasi Renjani pada anak-anak cacat di Rumah Asuh Ibu Sejati. Tokoh

Bhisma adalah tokoh melankolis, terbukti saat ia memohon kepada Renjani agar

jangan mencampakkannya. Tokoh Bhisma juga tokoh yang sopan dan simpatik,

terbukti saat ia menawarkan bantuan kepada Renjani untuk menggendong Dewa,

saat mereka berdua menonton pertunjukkan biolanya di candi prambanan. Tokoh

ini juga termasuk cerdas. Bhisma tahu bahwa Dewa adalah penyandang

tunadaksa, tetapi ia tetap menanyakan kabar Dewa, untuk menghargai perasaan

Renjani dan menghormati Dewa sebagai penyandang tunadaksa. Tokoh Bhisma

juga tokoh yang melankolis. Hal ini disebabkan karena ia pernah mencintai

Renjani dan menjalin hubungan dengan Renjani meski hanya sesaat.. Terlihat saat

ia memainkan biolanya untuk Renjani yang sudah meninggal di makamnya


33

Tokoh Mbak Wid adalah tokoh yang pandai menyesuaikan diri sebab ia

dapat hidup dalam dua dunia. Saat pagi hari ia menjadi dokter di Rumah Asuh Ibu

Sejati, dan malam hari ia berubah menjadi peramal kartu tarot yang mempercayai

ramalan-ramalan yang dikatakan oleh setiap kartu yang dibukanya. Ia juga

termasuk tokoh yang misterius sebab selalu memakai baju hitam-hitam saat

meramal, yang menandakan ada sesuatu yang misterius yang disembunyikan

Mbak Wid. Tokoh Mbak Wid tergolong tokoh yang penuh pengabdian, sebab ia

bersama Renjani rela menghabiskan waktunya untuk merawat anak-anak cacat di

Rumah Asuh Ibu Sejati. Tokoh Mbak Wid juga termasuk orang yang belum dapat

melupakan masa lalunya, karena ia selalu teringat masa lalunya sebagai anak

pelacur yang melampiaskan kekesalan pada ibunya dengan membaca cerita

Mahabarata. Tanpa Mbak Wid sadari ia menggunakan cerita Mahabarata menjadi

perbandingan bawah sadarnnya dalam menghadapi setiap persoalan.


34

BAB III

KETERAMPILAN INTRAPERSONAL TOKOH DEWA

DALAM NOVEL BIOLA TAK BERDAWAI

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

3. 1 Pengantar

Dalam bab ini akan dibahas hasil analisis keterampilan intrapersonal tokoh

Dewa dalam novel Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma.

Berdasarkan hasil analisis tokoh dan penokohan dalam Bab II, diketahui bahwa

tokoh utama dalam novel Biola tak Berdawai adalah Dewa.

Dewa adalah sosok dalam kehidupan kita yang kadang dilupakan orang

karena memiliki tubuh yang tidak sempurna. Ia merupakan salah satu penyandang

tunadaksa yang menjalani kehidupannya di Rumah Asuh Ibu Sejati dengan penuh

rasa syukur, keingintahuan yang besar, serta kemampuan untuk menganalisis

kondisi dirinya, orang-orang di lingkungan tempatnya tinggal, lalu

menyimpulkannya dengan sudut pandang Dewa sendiri.

Seno Gumira Ajidarma tampaknya ingin membuat figur Dewa sebagai

figur yang unik. Hal ini disebabkan, Ajidarma melakukan sudut pandang

penceritaan dari Dewa. Seakan-akan kita dapat melihat apa yang dikatakan dan

diceritakan oleh kondisi batin Dewa. Gaya penceritaan Ajidarma membantu kita

untuk ikut terlibat, dan merasakan secara intens kondisi emosional yang dialami

oleh Dewa. Mulai dari awal hingga akhir penceritaan novel Biola tak Berdawai.

Tokoh Dewa tinggal dalam Rumah Asuh Ibu Sejati bersama Renjani, dan Mbak

Wid. Hal ini berpengaruh terhadap kondisi batin Dewa yang hampir bisa
35

dipastikan bercerita mengenai dirinya sendiri, orang-orang yang tinggal di Rumah

Asuh Ibu Sejati, dan imajinasinya sendiri.

Biola tak Berdawai adalah sindiran terhadap masyarakat umum, yang

cenderung beranggapan bahwa manusia yang bertubuh lengkap, dianggap lebih

mampu melakukan aktifitas, dan dapat mewakili perasaannya melalui anggota

tubuh mereka, dibandingkan dengan para anak-anak tunadaksa yang memilki

tubuh cacat dan tidak bisa melakukan apa-apa. Kita mengetahui kondisi tubuh

penyandang tunadaksa, sebagai manusia tidak dapat berfungsi secara utuh.

Sehingga, gerak tubuh mereka terbatas, hanya bergantung pada kemurahan hati

orang yang selalu mendampinginya, mereka tidak dapat melakukan kegiatan

secara mandiri. Melalui tokoh Dewa, pengarang seolah ingin memberikan

paradigma baru bahwa kekurangan fisik bukan menjadi penghalang bagi anak

cacat seperti Dewa untuk menunjukkan kemampuan serta kepintarannya.

Keterbatasan ini juga yang digunakan oleh pengarang sebagai titikbalik

menjadi kekuatan bagi tokoh Dewa. Dibandingkan tokoh lain, Dewa adalah tokoh

yang istimewa, sebab Dewa diceritakan hanya sekali saja bersuara menggunakan

mulutnya, hal ini terjadi karena ia anak tunadaksa dan tidak dapat bergerak seperti

layaknya manusia normal. Pengarang justru menciptakan tokoh Dewa dapat

bercerita dari dalam jiwannya, dengan kata lain Dewa seolah-olah menceritakan

kondisi dirinya kepada pembaca, dan pengarang memakai medium jiwa Dewa

sebagai jembatan penceritaannya.


36

3.2 Keterampilan Intrapersonal Tokoh Dewa

Emosi adalah titik pusat jiwa manusia. Sehingga semua perasaan

manusia berasal dari emosi. Dalam membaca karya sastra, emosi membantu kita

dalam memahami alur penceritaan. Sehingga semua perasaan manusia berasal dari

emosi. Di samping sebagai acuan bagi diri kita dalam menilai orang lain, emosi

juga berfungsi sebagai penyeimbang kepada pikiran rasional. Emosi berperan

dalam memberi masukan dan informasi kepada proses pikiran rasional dan pikiran

rasional menyaring dan memperbaiki masuknya emosi (Goleman, 1998:28).

Howard Gardner menjelaskan bahwa bentuk dari kecerdasan emosional adalah

kecerdasan intrapersonal. Kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan memahami

diri sendiri, kecerdasan mengetahui siapa diri kita sebenarnya, kecerdasan

mengetahui kekuatan dan kelemahan kita, termasuk kecerdasan untuk dapat

merenungkan tujuan hidup sendiri dan mempercayai diri sendiri (Armstrong,

2005:22). Agar kecerdasan intrapersonal dapat diaplikasikan dalam kehidupan

kita, maka harus diwujudkan dalam bentuk yang lebih konkrit, yakni keterampilan

intrapersonal. Keterampilan intrapersonal pada penelitian ini dilihat dari :

Kesadaran Emosi

Kesadaran emosi, yaitu mengetahui bagaimana pengaruh emosi terhadap

kinerja diri, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai diri untuk memandu dalam

membuat keputusan. Orang dengan kecakapan ini :

a) Tahu emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.


37

b) Menyadari keterkaitan antara perasaannya dengan apa yang ia

pikirkan, perbuat, dan katakan.

c) Mengetahui bagaimana perasaannya mempengaruhi kinerja.

d) Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan

sasaran-sasarannya.

Penilaian Diri secara Akurat

Penilaian diri secara akurat, yaitu perasaan yang tulus tentang kekuatan-

kekuatan dan batas-batas pribadi kita, visi yang jelas tentang mana yang perlu

diperbaiki, dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman. Orang dengan

kecakapan ini :

a) Sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya.

b) Menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman.

c) Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima

perspektif baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri.

d) Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri

dengan perspektif yang luas.

Keercayaan Diri

Percaya diri, yaitu keberanian yang datang dari kepastian tentang

kemampuan, nilai-nilai, dan tujuan kita. Orang dengan kecakapan ini :

a) Berani tampil dengan keyakinan diri ; berani menyatakan eksistensinya.

b) Berani menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia

berkorban demi kebenaran.


38

c) Tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan

yang tidak pasti dan tertekan (Goleman, 1998:58-59).

3.2 Keterampilan Intrapersonal Tokoh Dewa

3.2.1 Kesadaran Emosi

Tokoh Dewa sedang memperhatikan Renjani dan Mbak Wid yang duduk

di sebuah meja marmer yang bundar. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut :

(45) Kuperhatikan kedua perempuan itu. Renjani, begitulah nama ibuku,


seperti selalu mencoba memaklumi Mbak Wid, yang betapapun seperti telah
menyerahkan hidupnya demi bayi-bayi cacat di Rumah Asuh Ibu Sejati. Dua
perempuan di Ruang Lilin yang cahaya kekuningannya selalu bergetar-getar.
Mbak Wid dalam busana hitam kelam seperti malam, dengan rambut
bergelombang yang terurai, dengan anting-anting, gelang, cincin, dan kalung yang
seperti ingin membuang jauh-jauh citra dokter berbaju putih yang tawar,
tenggelam dalam dunia ketidak pastian nasib yang berusaha ditembus oleh kartu-
kartu ramalan. Hampir setiap malam mereka berdua duduk di meja marmer yang
bundar itu, Mbak Wid dengan kartu-kartunya dan ibuku dengan diriku (Ajidarma,
2004:18).

Dalam penggalan di atas Tokoh Dewa sedang memperhatikan Renjani

yang selalu mencoba memaklumi Mbak Wid karena hampir setiap malam selalu

memakai busana hitam kelam, dengan rambut bergelombang terurai serta

memakai perhiasan berupa; anting, gelang, cincin, dan kalung. Tokoh Mbak Wid

dikesankan ingin membuang jauh-jauh gambaran seorang dokter, dan tenggelam

dalam dunia ketidak pastian nasib yang diceritakan oleh kartu-kartu ramalan yang

dimainkan oleh Mbak Wid. Tindakan memperhatikan yang dilakukan oleh Tokoh

Dewa tergolong dalam kesadaran emosi, sebab ia dapat menyadari keterkaitan

antara perasaannya dengan apa yang ia pikirkan, perbuat, katakan.


39

Tokoh Dewa sedang dituntun oleh ibunya secara perlahan-lahan, di sebuah

jalan setapak yang dipenuhi oleh bunga-bunga. Berikut ini penggalan kutipannya :

(46) Ibuku menuntun aku pelahan-lahan. Aku menapak pelahan di jalan


setapak yang dipenuhi bunga-bunga rumput. Kupu-kupu kuning, biru, dan hitam
beterbangan di sana dan di sini. Di kejauhan, awan mendung melewati Gunung
Merapi yang hari ini sungguh kelabu. Kudengar gelak tawa ceria di belakang
punggungku. Makam-makam yang mungil itu telah menjadi sorga anak-anak
tunadaksa (Ajidarma, 2004:29).

Melalui kutipan ini diceritakan tokoh Dewa dituntun perlahan-lahan oleh

ibunya di jalan setapak yang dipenuhi bunga-bunga rumput, disekitarnya terdapat

kupu-kupu berwarna kuning, biru, dan hitam yang beterbangan kian kemari. Dari

kejauhan tampak awan mendung melewati Gunung Merapi yang kelabu. Tokoh

Dewa mendengar gelak tawa ceria di belakang punggungnya. Makam-makam

yang kecil telah berubah menjadi sorga bagi anak tunadaksa. Keterampilan

intrapersonal dalam kutipan ini adalah saat tokoh Dewa mendengar gelak tawa

ceria di belakang punggungnya sebab tokoh Dewa menyadari keterkaitan antara

perasaannya dengan apa yang ia pikirkan, perbuat, dan katakan. Keterampilan

intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada keinginannya untuk hidup lebih lama lagi

jika dibandingkan dengan Larasati. Berikut ini penggalan kutipannya :

(47) Umurku sudah hampir delapan tahun, dibanding Larsati yang hanya
berumur lima hari, aku sudah hidup terlalu lama-namun aku masih ingin hidup
lebih lama lagi. Aku ingin ibuku mengerti betapa aku juga mencintainya dengan
sepenuh hati. Hanya itulah yang ingin kulakukan di dunia ini, menunjukkan cinta
kepada ibuku, yang telah menyerahkan sisa hidupnya untuk mencintaiku
(Ajidarma, 2004:29).

Tokoh Dewa menyadari bahwa umurnya sudah delapan tahun, dan jika

dibandingkan dengan Larasati yang hanya berumur lima hari, ia sudah hidup

terlalu lama, akan tetapi Dewa ingin hidup lebih lama lagi. Tokoh Dewa ingin
40

ibunya mengerti bahwa ia juga mencintainya dengan sepenuh hati. Dewa hanya

ingin menunjukkan cinta kepada ibunya, yang telah menyerahkan sisa hidupnya

untuk mencintai Dewa. Penggalan kutipan ini termasuk dalam kesadaran emosi,

sebab tokoh Dewa mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai

dan sasaran-sasarannya.

Tokoh Dewa merasa bersyukur dan beruntung karena telah dipertemukan

dengan ibunya, serta telah diberikan alam yang indah. Hal ini dapat kita lihat

dalam penggalan kutipan berikut :

(48) Bersyukurlah mereka yang hidupnya berlimpah dengan cinta. Aku


bersyukur dipertemukan dengan ibuku, pada usia dua hari setelah ibu kandungku
membuang aku. Pastilah aku makhluk yang beruntung. Aku juga merasa
beruntung karena merasa betapa alam yang terindah diciptakan bagai hanya
untukku. Ibuku menunjuk kupu-kupu yang hinggap di tangkai padi. Ia berbisik
(Ajidarma, 2004:37).

Dalam penggalan kutipan di atas tokoh Dewa terlihat memiliki kesadaran

emosi, yaitu tahu emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa. Sebab ia

merasa bersyukur karena dipertemukan dengan ibunya, dua hari setelah ibu

kandungnya membuang Dewa. Tokoh Dewa juga merasa beruntung karena alam

yang indah sepertinya diciptakan hanya untuknya.

Tokoh Dewa terlihat sedang digendong di dalam oleh ibunya, dan ia

merasakan angin yang sejuk, cahaya yang lembut, dan gemerisik sawah yang

menenangkan diri Dewa.

(49) Ibuku lantas menggendong aku, karena kami melewati selokan


pengairan, dan naik ke arah di mana terdapat rel kereta api. Angin yang masih
sejuk, cahaya kekuningan yang lembut, dan gemerisik sawah itu menenangkan
diriku, setenang kepompong yang tenggelam dalam waktu sebelum menjadi kupu-
kupu (Ajidarma, 2004:40).
41

Pada kutipan di atas tokoh Dewa terlihat memiliki kesadaran emosi, yaitu

ia mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa, hal ini

ditunjukkan ia merasa sejuk saat angin berhembus, merasa tenang saat matahari

menyinarinya, dan merasa tenang pada waktu sawah mengeluarkan bunyi

gemerisik

(50) Maafkan aku atas perbincangan ini, karena ibuku mengatakan aku
akan bisa terbang seperti kupu-kupu, pertanyaan-pertanyaanku itu sebetulnya
berlaku bagi diriku-apakah aku ini sebenarnya ? Aku sering mengira kepompong
itu juga sesuatu yang tunadaksa. Benarkah hidupku seperti ulat yang akan menjadi
kepompong lantas menjadi kupu-kupu ? Aku juga sering terpesona dengan
berbagai perubahan yang tidak sebanding : ulat itu begitu buruk, menjadi kupu-
kupu yang bagus; atau ulatnya begitu berwarna-warni, tetapi berubah menjadi
kupu-kupu yang buruk;bahkan ada kepompong yang berkilau seperti emas,
jadinya hanyalah kupu-kupu yang tidak menarik sama sekali. Memang benar
kupu-kupu itu seperti lebih bebas dari ulat, apalagi kepompong, tetapi perubahan
itu ternyata tidak selalu menjadi sesuatu yang lebih indah-tepatnya, apa yang
tampaknya lebih baik, seperti kebebasan, ternyata tidak selalu lebih indah. Jika
memang terbangnya kupu-kupu bisa diibaratkan dengan kebebasan (Ajidarma,
2004:40-41).

Tokoh Dewa mengibaratkan bahwa kepompong adalah sesuatu yang

tunadaksa, tokoh Dewa juga sadar bahwa dirinya terpesona oleh perubahan yang

tidak sebanding antara ulat, kepompong dengan kupu-kupu. Ia juga sadar bahwa

sebuah perubahan ternyata tidak selalu menjadi lebih indah-tepatnya apa yang

tampaknya lebih baik, seperti kebebasan, ternyata tidak selalu lebih indah.

Kesadaran emosi yang dimiliki oleh Dewa ialah mengetahui emosi mana yang

yang sedang ia rasakan dan mengapa, serta tokoh Dewa juga mempunyai

kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran-sasarannya.

Tokoh Dewa merasa tidak sabar dan ingin agar dirinya terlahir kembali.

Akan tetapi, tokoh Dewa juga tidak dapat memastikan apakah kehidupan

selanjutnya memang ada, dan itu tandanya ia hanya bisa menjelajah dalam
42

dunianya sendiri. Tokoh Dewa lalu mengumpamakan bahwa kupu-kupu mati

dalam sehari, setelah ulat menghabiskan cukup banyak waktu menjadi

kepompong, seperti sebuah kematian dalam puncak kegairahan. Kupu-kupu itu

seperti meninggalkan telur yang akan berubah menjadi ulat, tokoh Dewa lalu

menyamakannya dengan kehidupan yang sepertinya semakin maju, sebenarnya

hanya berputar di tempat dan berputar. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan

dibawah ini :

(51) Tentu aku tidak akan pernah jadi kupu-kupu, namun aku tetap saja
ingin tahu apakah aku akan terbebaskan dari keberadaan tubuhku. Jika tubuh bisa
hancur dan jiwa hidup selamanya, betapa penasaran aku untuk segera tiba kepada
kehidupan selanjutnya. Tetapi aku tidak bisa memastikan apakah memang ada
kehidupan selanjutnya, dan itu berarti aku hanya bisa menjelajah dalam
ketercakrawalaanku sendiri. Kupu-kupu mati dalam sehari, setelah ulat itu sekian
lamanya menjadi kepompong-bagaikan suatu kematian dalam puncak kegairahan.
Kupu-kupu itu meninggalkan telur yang akan jadi ulat dan begitulah kehidupan
yang sepertinya semakin maju ini hanya berputar di tempat dan berputar
(Ajidarma, 2004:42-43).

Kesadaran emosi yang dimiliki oleh tokoh Dewa ialah mengetahui emosi

mana yang ia rasakan dan mengapa, mengetahui bagaimana perasaannya

mempengaruhi kinerja, dan mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk

nilai-nilai dan sasaran-sasarannya.

Tokoh Dewa mendengar debur ombak, menghirup bau angin yang asin.

Tokoh Dewa juga tahu bahwa ibunya memanggil Dewa. Hal ini dapat dilihat

dalam kutipan dibawah ini :

(52) Aku mendengar debur ombak. Aku menghirup bau angin yang asin.
Aku juga tahu ibuku memanggilku. Tetapi aku berada di dalam lorong cahaya
yang tidak kunjung berakhir. Aku seperti tersedot oleh pusaran cahaya yang puith
kemilau. Aku tidak melihat apa-apa – tenggelam dalam cahaya...(Ajidarma,
2004:47).
43

Kesadaran emosi yang dimiliki oleh Dewa adalah menyadari keterkaitan

antara perasaannya dengan apa yang ia pikirkan, perbuat, dan katakan. Hal ini

terlihat dari tokoh Dewa yang mendengar debur ombak. Tokoh Dewa juga

menghirup bau angin yang asin. Ia juga tahu bahwa Renjani memanggil Dewa,

lalu ia mengibaratkan dirinya berada dalam lorong cahaya yang tidak kunjung

berakhir. Tokoh Dewa seperti tersedot oleh pusaran cahaya yang putih kemilau,

tidak melihat apa-apa tenggelam dalam cahaya.

Tokoh Dewa merasa dirinya tercekat, seolah-olah tubuhnya menjadi

sangat kaku. Tidak ada satupun yang bisa dilakukannya. Ia melihat mata Renjani

menerawang, pikirannya melayang menembus masa lalu. Hal ini dapat kita lihat

dalam kutipan berikut ini :

(53) Dalam diriku aku tercekat, seolah-olah tubuhku menjadi sangat kaku.
Tidak ada satupun yang bisa kulakukan. Mata ibuku menerawang, pikirannya
melayang menembus masa lalu (Ajidarma, 2004:48).

Dalam kutipan ini kesadaran emosi yang dimiliki oleh Dewa adalah ia

mengetahui emosi mana yang ia rasakan dan mengapa, hal ini ditunjukkan pada

kutipan di atas yang menjelaskan bahwa ia tidak mampu melakukan apapun.

Kesadaran emosi yang dimiliki oleh Dewa ialah ia tahu emosi mana yang

sedang ia rasakan dan mengapa. Ditunjukkan saat tokoh Dewa tidak tahu

bagaimana agar Renjani dapat mendengar suara Dewa, air matanya mengalir

berderai, matanya menjadi berkaca-kaca memantulkan cahaya temaram yang

makin lama makin terasa muram. Tokoh Dewa juga tahu bahwa tidak ada alasan

bagi Renjani untuk menangis karena kata-kata Mbak Wid. Renjani juga menangis
44

karena rasa kehilangan dan perasaan berdosa yang tiada terkira. Hal ini dapat kita

lihat dalam kutipan di bawah ini :

(54) Tapi bagaimana caranya ia mendengarku? Airmatanya mengalir


berderai, matanya yang berkaca-kaca memantulkan cahaya temaram yang
semakin terasa muram. Aku tahu tiada alasan bagi ibuku untuk menangis karena
kata-kata Mbak Wid. Ibuku menangis karena rasa kehilangan dan perasaan
berdosa yang tiada terkira (Ajidarma, 2004:55).

Tokoh Dewa sedang bingung, ia mencari cara bagaimana seorang anak

yang tidak pernah ada memanggil-manggil dari balik kelam ?, ia lalu

memperumpamakannya sebagai sebuah wajah, tapi belum menjadi wajah;

menampakkan diri dalam kemurnian, tapi penuh kesamaran, keluar dan masuk

kedalam ingatan dan angan-angan. Seperti suatu sosok, suatu jiwa, yang seolah-

olah ingin menyatakan dirinya dan memanggil-manggil Renjani. Hal ini dapat kita

lihat dalam kutipan berikut :

(55) Bagaimanakah caranya seorang anak yang tidak pernah memanggil-


manggil dari balik kelam ? Seperti suatu wajah, tapi belum menjadi wajah;
menampakkan diri dalam kemurnian, tapi penuh kesamaran, keluar masuk ingatan
dan angan-angan. Suatu sosok, suatu jiwa, yang seolah-olah berkata, “Ini aku Ibu,
ini aku...”(Ajidarma, 2004:56).

Kesadaran emosi yang dimiliki oleh Dewa terlihat pada ketidaktahuannya

memanggil seorang anak yang tidak pernah ada dari balik kelam, hal ini termasuk

ia mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa sedang duduk, sambil tercekat dan tercenung, ia masih

merasakan air mata Renjani yang hangat di pipi Dewa. Renjani masih ingat akan

diri Dewa seakan-akan Dewa adalah segalanya bagi Renjani. Dewa lalu bertanya

lagi kepada dirinya apakah ibu kandungnya masih mengingat Dewa, sewaktu ia

membuangnya. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut :


45

(56) Aku terduduk, terpaksa duduk, dan memang hanya mampu duduk,
namun siapapun dia dengan hati dan jiwa memiliki ruang yang yang tidak terbatas
dalam dirinya. Aku tercekat dan tercenung, masih terasa hangat airmata ibuku di
pipi. Ibuku selalu teringat diriku bagaikan aku adalah segala-galanya bagi ibuku,
tetapi apakah ibu kandung yang telah membuangku, ketika umurku masih dua
hari, sekarang ini teringat aku ? (Ajidarma, 2004:58).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan oleh tokoh Dewa yang tercekat

dan tercenung. Kesadaran emosi tokoh Dewa termasuk mengetahui emosi mana

yang sedang ia rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa bercerita tentang dua puluh bayi tunadaksa dalam kekelaman

yang kelihatannya tidak mendengar tapi sebenarnya mendengar percakapan kedua

perempuan itu di luar. Dewa beserta anak-anak tunadaksa lainnya saling mengerti

satu sama lain, seperti memiliki satu hati. Ia sering tersentak oleh kenyataan

semacam ini – kenyataan-kenyataan ajaib, kenyataan-kenyataan yang tak dapat

dijelaskan. Dewa dan anak-anak tunadaksa lainnya yang dipandang dengan penuh

belas kasihan, juga memandang dua puluh bayi tunadaksa lainnya dengan penuh

belas kasihan. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(57) Dua puluh bayi tunadaksa dalam kekelaman, mendengar meski tidak
mendengar percakapan kedua perempuan itu di luar. Kami para bayi tunadaksa
entah bagaimana caranya begitu saja saling mengerti seolah-olah mempunyai satu
hati. Aku sering tersentak oleh kenyataan semacam ini-kenyataan-kenyataan ajaib,
kenyataan-kenyataan tak terjelaskan. Kami yang dipandang dengan penuh belas
memandang kembali dengan penuh belas (Ajidarma, 2004:66).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan oleh tokoh Dewa yang begitu

saja mengerti apa yang didengar oleh anak-anak tunadaksa dari balik kelam, hal

ini menjelaskan bahwa kesadaran emosi tokoh Dewa termasuk dalam menyadari

keterkaitan antara perasaannya dengan apa yang ia pikirkan, perbuat, dan katakan.

Tokoh Dewa juga sering tersentak oleh kenyataan-kenyataan ajaib, kenyataan-


46

kenyataan tak terjelaskan. ini menjelaskan bahwa kesadaran emosi tokoh Dewa

termasuk dalam mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa tenggelam dalam kegelapan. Ia bahkan mengira bahwa

kelambu itu langit. Tokoh Dewa bahkan mengatakan bahwa tidak mudah

memisahkan impian dan khayalan dari kenyataan ?. Ia juga bertanya pada dirinya

sendiri, apakah ada kenyataan yang bisa berdiri sendiri di luar tatapan mata yang

menyaksikannya ?. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(58) Aku tenggelam dalam kegelapan. Barangkali aku telah mengira


kelambu itu langit. Bukankah memang tidak selalu mudah memisahkan impian
dan khayalan dari kenyataan ? Lagipula, adakah kenyataan yang bisa berdiri
sendiri di luar tatapan mata yang menyaksikannya ? (Ajidarma, 2004:79).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan oleh tokoh Dewa yang merasa

tenggelam dalam kegelapan, hal ini menjelaskan bahwa kesadaran emosi tokoh

Dewa termasuk dalam mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan

mengapa, menyadari keterkaitan antara perasaannya dengan apa yang ia pikirkan,

perbuat, dan katakan.

Tokoh Dewa sedang menikmati suasana pagi hari yang cerah, tetapi ia

juga menjadi panik karena lampu alarm berkedip-kedip dan suara alarm

menimbulkan kepanikan. Di Rumah Asuh Ibu Sejati terdapat bayi tunadaksa yang

kejang-kejang di ranjangnya. Para perawat terlihat sedang hilir mudik dan Mbak

Wid sudah berada di luar ruangan untuk melakukan sesuatu. Ibu dari Dewa juga

terlihat sedang cemas. Tetapi, tokoh Dewa tidak terlalu peduli karena dalam

dunianya Adik Bayi Kencana sudah melayang dan melambai mengucapkan

selamat tinggal. Berikut ini penggalan kutipannya :


47

(59) Pagi ini hari tampaknya cerah, namun lampu alarm berkedip-kedip
dan suara alarm itu menimbulkan kepanikan. Ada bayi tunadaksa yang kejang-
kejang di ranjangnya. Para perawat hilir mudik dan Mbak Wid sudah berada di
ruangan itu untuk melakukan sesuatu. Ibuku juga berada di sana dengan segala
kecemasannya. Tapi aku tidak terlalu peduli karena dalam duniaku Adik Bayi
Kencana telah melayang dan melambai, mengucapkan selamat tinggal kepadaku
(Ajidarma, 2004:82).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan oleh tokoh Dewa yang merasa

tidak terlalu peduli karena dalam duniaku Adik Bayi Kencana telah melayang dan

melambai, mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Hal ini menjelaskan bahwa

kesadaran emosi tokoh Dewa termasuk dalam mengetahui emosi yang sedang ia

rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa bercerita tentang beberapa batang lilin yang habis, sehingga

ruangan lebih temaram, gambar kartu-kartu yang masih terlihat. Ia tidak pernah

menduga bahwa benda tipis seperti kartu menyimpan sebuah cerita tentang dunia.

Menurut tokoh Dewa, makna sebuah kartu terungkap ketika kartu itu dibuka. Ia

menjelaskan lagi bahwa makna terungkap ketika kartu dibuka, dunia yang tidak

akan hilang, kartu yang akan tetap bermakna ketika tertutup, tersimpan dalam

kotak dan barangkali hidup dalam dunianya sendiri. Menurut tokoh Dewa, kartu-

kartu tarot menyimpan dunia manusia yang menjelma ketika seseorang

menatapnya. Ia lalu bertanya apakah perlu seorang peramal untuk memasuki

dunia di dalam kartu-kartu itu ? karena setiap saat seseorang bisa saja menatap

kartu-kartu itu untuk pertama kalinya, dan dunia di dalam kartu itu akan menjelma

untuk manusia. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini :

(60) Beberapa batang lilin habis sehingga ruangan lebih temaram, namun
gambar kartu-kartu itu masih terlihat. Tiada pernah kuduga betapa benda tipis
seperti itu menyimpan sebuah dunia. Makna terungkap ketika kartu dibuka, tetapi
bukankah dunia itu tidak pernah hilang dan tetap akan bermakna ketika tertutup,
48

tersimpan dalam kotak barangkali, hidup dalam dunianya sendiri. Kartu-kartu itu
menyimpan dunia manusia yang menjelma ketika seseorang menatapnya. Apakah
perlu seorang peramal untuk memasuki dunia di dalam kartu-kartu itu ? Setiap
saat seseorang bisa saja menatap kartu-kartu itu untuk pertama kalinya, dan dunia
di dalam kartu itu akan menjelma untuknya (Ajidarma, 2004:93).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia bertanya pada dirinya

sendiri apakah perlu seorang peramal untuk memasuki dunia di dalam kartu-kartu

itu ?. Hal ini menjelaskan bahwa kesadaran emosi Dewa termasuk mengetahui

emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa bercerita tentang sphinx; makhluk berkepala manusia yang

bisa saja mengaum, mengibaskan ekor, menyabetkan pedang dan mahkotanya

lepas sementara roda itu menggelinding sehingga melontarkannya entah ke mana

?. Ia juga meyakinkan bahwa sphinx dari mulutnya yang mengaum bisa keluar api

dan menyembur makhluk lain di sisi kanan yang berusaha merebut tempatnya ?.

Ia juga berpendapat bahwa sangat mungkin sebuah roda itu berputar cepat sekali

melontarkan tiga petarung nasib yang ada di sana, dan monyet di sebelah kiri yang

jadi penanda kesialan itu bisa saja mengubah nasibnya sendiri menjadi penanda

keberuntungan. Kenapa tidak ?. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(61) Bukankah makhluk berkepala manusia yang disebut sphinx itu bisa
saja mengaum, mengibaskan ekor, meyabetkan pedang, dan mahkotanya lepas
sementara roda itu menggelinding sehingga melontarkannya entah ke mana ?
Tidakkah dari mulutnya yang mengaum bisa keluar api dan menyembur makhluk
lain di sisi kanan yang berusaha merebut tempatnya ? Aku kira sangat mungkin
roda itu berputar cepat sekali melontarkan tiga petarung nasib yang ada di sana,
dan monyet di sebelah kiri yang jadi penanda kesialan itu bisa saja mengubah
nasibnya sendiri menjadi penanda keberuntungan. Kenapa tidak ? (Ajidarma,
2004:93).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia mengira bahwa sangat

mungkin roda itu berputar cepat sekali melontarkan tiga petarung nasib yang ada
49

di sana, dan monyet di sebelah kiri yang jadi penanda kesialan itu bisa saja

mengubah nasibnya sendiri menjadi penanda keberuntungan. Hal ini menjelaskan

bahwa kesadaran emosi Dewa termasuk mengetahui emosi mana yang sedang ia

rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa bergumam dan bertanya apakah dirinya dulu adalah salah

seorang pertunjukan keliling ?. Ia seperti mendengar kembali sorak-sorai

penonton adu ayam dan riuhnya suara bunyi-bunyian. Ia kembali bertanya, kisah

apakah yang dinyanyikan oleh pesinden masa lalu ? cerita seperti apakah yang

dibawakan si penari topeng ?. Tokoh Dewa kembali merasa berbahagia di tengah

keramaian di sebuah pasar kuno. Orang-orang sedang berjingkrak dan bersorak-

meski kemudian waktu menjadi berhenti, dan keramaian itu membeku dalam

relief di dinding batu. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(62) Hmm. Apakah aku dulu salah seorang penonton pertunjukan keliling
? Aku seperti mendengar kembali sorak-sorai penonton adu ayam dan riuhnya
suara bunyi-bunyian. Kisah apakah yang dinyanyikan oleh pesinden masa lalu ?
Cerita apakah yang dibawakan si penari topeng ? Aku merasa berbahagia di
tengah keramaian di pasar kuno. Orang-orang berjingkrak dan bersorak – meski
kemudian waktu berhenti, dan keramaian itu membeku dalam relief di dinding
batu (Ajidarma, 2004:100).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merasa bahwa dirinya

adalah salah seorang penonton pertunjukkan keliling. Selain itu kesadaran emosi

Dewa juga diperlihatkan saat ia merasa seperti mendengar kembali sorak-sorai

penonton adu ayam dan riuhnya suara bunyi-bunyian, dan Dewa merasa

berbahagia saat berada di tengah keramaian di pasar kuno. Hal ini menjelaskan

bahwa kesadaran emosi Dewa termasuk mengetahui emosi mana yang sedang ia

rasakan dan mengapa.


50

Tokoh Dewa melihat ibunya yang tidak terlalu sadar bahwa lelaki itu

memperhatikannya. Saat mendengarkan musik, ia memejamkan mata, dan hanya

terbuka untuk melihat dirinya, yang terlihat bodoh sekali dengan kepala selalu

tertunduk. Lantas Dewa menyadari bahwa lelaki itu memperhatikannya. Ia juga

beranggapan bahwa tidak sulit untuk menduga bahwa ia bertanya-tanya, kenapa

ibunya membawa anak seperti Dewa untuk menyaksikan pertunjukkan resitalnya.

Dewa lalu beranggapan mungkin lelaki itu belum tahu apa itu autistik, tetapi

sepintas lalu saja mereka akan tahu, dari wajahnya yang terlalu tua untuk

tubuhnya yang kecil, belum lagi kepalanya yang tertunduk terus tanpa gerak sama

sekali, Dewa merasa tidak sama dengan anak-anak lain. Dapat kita lihat dalam

kutipan berikut :

(63) Ibuku tidak terlalu sadar betapa lelaki itu terus memperhatikannya.
Kalau mendengarkan musik, ia memejamkan mata, dan hanya terbuka untuk
melihat aku, yang pasti tampak bodoh sekali dengan kepala selalu tertunduk itu.
Kemudian kusadari kalau lelaki itu juga memperhatikan aku. Tidak sulit untuk
menduga, bahwa ia bertanya-tanya, kenapa ibuku membawa anak seperti aku
untuk menyaksikan resitalnya. Mungkin ia belum tahu aku autistik, tapi sepintas
lalu saja siapapun akan tahu, dari wajahku yang terlalu tua untuk tubuhku yang
kecil, apalagi kepalaku tertunduk terus tanpa gerak sama sekali, betapa aku
tidaklah sama dengan anak-anak lain (Ajidarma, 2004:103-104).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan oleh saat ia menyadari bahwa

lelaki yang bermain biola memperhatikannya, dan perasaannya yang tidak sulit

untuk menduga bahwa pemain biola yang dilihatnya bertanya-tanya, kenapa

ibunya membawa anak seperti Dewa untuk menyaksikan pertunjukkan resitalnya.

Hal ini menjelaskan bahwa kesadaran emosi yang dimiliki oleh Dewa adalah

mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.


51

Tokoh Dewa merasa ingin bertepuk, dan Dewa memang bertepuk karena

tangannya ditepuk-tepukkan ibuku. Ia merasa tidak puas jika hanya bertepuk

tangan saja. Dewa ingin menunjukkan terimakasih dan penghargaan dengan cara

lain, tetapi ia sulit untuk mengaratakannya. Ia hanya terduduk saat ibunya

mengajak Dewa pulang. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini :

(64) Aku juga ingin bertepuk, dan aku memang bertepuk karena tanganku
ditepuk-tepukkan ibuku. Tapi aku merasa bertepuk tangan saja tidak cukup. Aku
ingin menunjukkan terimakasih dan penghargaan dengan cara yang lain, namun
tentu saja aku sulit sekali mengatakannya. Aku hanya bisa membuat diriku tetap
duduk ketika ibuku menggamitku, mengajak aku pulang (Ajidarma, 2004:104).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merasa tidak puas bahwa

bertepuk tangan saja tidak cukup, ia ingin menunjukkan rasa terimakasih dan

penghargaan dengan cara yang lain, tetapi Dewa merasa sulit sekali untuk

mengatakannya. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa mengetahui emosi mana

yang sedang ia rasakan dan mengapa, Dewa mempunyai kesadaran yang menjadi

pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran-sasarannya.

Tokoh Dewa merasa Renjani akan pergi jauh sekali, pergi meninggalkan

diri Dewa. Ia tertunduk kembali merasa sangat sedih, tetapi ia tidak dapat

menunjukkan kesedihannya. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(65) Itulah masalahnya. Aku merasa ibuku akan pergi jauh sekali, pergi
jauh sekali meninggalkan aku. Aku tertunduk kembali, merasa sangat sedih dan
tidak bisa memperlihatkan kesedihanku (Ajidarma, 2004:117).

Kesadaran emosi Dewa ditunjukkan saat ia merasa sangat sedih, tetapi ia

tidak dapat menunjukkan kesedihannya. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa

mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.


52

Tokoh Dewa tertunduk dan selalu tertunduk dalam kesendiriannya. Ia

merasa prihatin oleh sesuatu yang tidak terlalu jelas bagi diri Dewa. Dewa merasa

umurnya sudah delapan puluh tahun, padahal umur sebenarnya adalah delapan

tahun, ia merasa tidak mengetahui apa-apa. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut

(66) Aku tertunduk dan selalu tertunduk dalam kesendirianku. Merasa


prihatin oleh sesuatu yang tidak terlalu jelas bagiku. Aku merasa sudah berumur
delapan puluh tahun, padahal umurku adalah delapan tahun, dan apalah yang bisa
diketahui anak seumur itu ? (Ajidarma, 2004:118).

Kesadaran emosi Dewa ditunjukkan saat ia merasa prihatin oleh sesuatu

yang tidak terlalu jelas bagi dirinya, ia merasa sudah berumur delapan puluh

tahun, padahl umur sebenarnya adalah delapan tahun. Hal ini menjelaskan bahwa

tokoh Dewa mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa merasa tertegun, ia merasa mengenal Renjani dengan baik. Ia

lalu bercerita tentang Renjani yang sedang memperhatikan arus. Setiap kali arus

mengarah deras ke lautan, Renjani membuang sesuatu dari dalam kotak

kenangannya. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(67) Aku tertegun. Apa yang tidak kuketahui tentang ibuku ? Ibuku
memperhatikan arus. Setiap kali arus mengarah deras ke lautan, ia membuang
sesuatu dari dalam kotak kenangannya (Ajidarma, 2004:144-145).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merasa tertegun senang

pada dirinya sendiri, sebab ia dapat mengenal Renjani dengan baik. Hal ini

menjelaskan bahwa tokoh Dewa mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan

dan mengapa.

Tokoh Dewa bercerita bahwa malam hari terasa hidup saat kondisi malam

bertambah larut, ketika orang tertidur. Ganggang tergolek di batu karang. Tidak
53

bergerak dalam cahaya rembulan yang menyinarinya. Dewa tertunduk, tenggelam

dalam kehilangan. Ia bertanya kenapa Renjani melarung masa lalunya ? Ia lalu

bertanya lagi pada dirinya mengapa ibunya menghancurkan segala makna dan

mengapa ia ingin melepaskan diri dari segala keterikatan dengan dunia ?. Dewa

kembali bertanya pada dirinya. Apakah Renjani tidak ingin mencintai aku lagi ?.

Ia lalu bercerita bahwa kebebasannya tetap memiliki batas, meskipun ia begitu

bebas mengembara dalam semesta jiwa. Diri Dewa begitu takut karena merasa

seolah-olah ibunya berada dibalik cakrawala. Dapat kita lihat dalam kutipan

berikut :

(68) Malam hidup dalam kemalamannya ketika semua orang tertidur.


Ganggang tergolek di batu karang. Diam dalam belaian cahaya rembulan. Aku
tertunduk, tenggelam dalam kehilangan, mengapa ibuku melarung masa lalunya ?
Mengapa ia hancurkan segala makna dan mengapa ia ingin melepaskan diri dari
segala keterikatan dengan dunia ? Apakah ia tidak ingin mencintai aku lagi ?
Meskipun aku begitu bebas mengembara dalam semesta jiwa, kebebasanku
tetaplah berhingga adanya – aku begitu takut karena merasa seolah-olah ibuku
berada di balik cakrawala (Ajidarma, 2004:149).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merasa kehilangan, dan

merasa tidak diperhatikan, ditunjukkan secara tersirat dalam kutipan di atas,

Apakah ia tidak ingin mencintai aku lagi ?. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh

Dewa mengetahui emosi yang ia rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa merasa tidak mengerti bagaimana kartu yang ditarik dapat

menggambarkan masa depan penarik kartu. Ia lalu bertanya pada dirinya sendiri,

apakah jaminannya bahwa kartu-kartu itu menggambarkan takdir ?, yang berarti

bahwa segala kemungkinan memang bisa saja akan terjadi. Dewa merasa tidak

mampu membuktikan apa-apa, Dewa merasa tidak yakin mampu

menghubungkan, secara pasti dan berulang kali antara ramalan kartu dan
54

kelangsungan masa depan, Dewa beranggapan bahwa dunia dalam kartu-kartu

tarot seperti hidup dalam dunianya sendiri. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut

(69) Aku tidak bisa mengerti bagaimana kartu yang ditarik bisa
menggambarkan masa depan penarik kartu itu. Apakah jaminannya bahwa kartu-
kartu itu memang menggambarkan takdir, yang berarti bahwa segala
kemungkinannya memang bisa saja akan terjadi ? Aku tidak merasa mampu
membuktikan apa-apa, selama aku tidak mampu menghubungkan secara
meyakinkan, pasti, dan berulang kali antara ramalan kartu dan keberlangsungan
masa depan itu. Namun dunia dalam kartu-kartu itu memang seperti hidup dalam
dirinya sendiri (Ajidarma, 2004:156).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia tidak dapat mengerti

bagaimana kartu yang ditarik bisa menggambarkan masa depan penarik kartu itu,

ia tidak merasa mampu membuktikan apa-apa, selama aku tidak mampu

menghubungkan secara meyakinkan, pasti, dan berulang kali antara ramalan kartu

dan keberlangsungan masa depan itu. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa

mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa mencari ibunya seperti mencari cinta, di antara dedaunan

yang basah, tetes embun, dan bunga-bunga yang merekah dalam cahaya. Dari pagi

sampai malam, meski kepalanya selalu tertunduk dan matanya hanya tertatapkan

lantai, ia selalu mencari tanda-tanda di mana bisa mendapatkan Renjani, ia

merasakan kasih sayangnya, dan menghayati kehangatan cintanya. Karena

menurut Dewa tanpa mengenal Renjani, ia tidak akan pernah tahu arti kepenuhan

cinta. Cinta yang bukan belas kasihan, cinta yang bukan kedermawanan, apalagi

kewajiban, tetapi yang selalu memberi dan memberi. Dapat kita lihat dalam

kutipan berikut :
55

(70) Kucari ibuku seperti mencari cinta, di antara dedaunan yang basah,
tetes embun, dan bunga-bunga yang merekah dalam cahaya. Dari pagi sampai
malam, meski kepalaku selalu tertunduk dan mata hanya tertatapkan ke lantai, aku
selalu mencari tanda-tanda di mana bisa kudapatkan ibuku, kurasakan kasih
sayangnya, dan kuhayati kehangatan cintanya – karena tanpa pernah mengenal
ibuku, aku tidak akan pernah tahu arti kepenuhan cinta itu. Cinta yang bukan
belas kasihan, cinta yang bukan kedermawanan, apalagi kewajiban, tetapi yang
memang memberi dan selalu memberi (Ajidarma, 2004:172).

Kesadran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merasakan kasih sayang

Renjani, dan dapat menghayati kehangatan cinta Renjani, selain itu juga dengan

pengenalan diri Dewa terhadap Renjani, karena tanpa mengenal Renjani, ia

merasa tidak pernah mengenal kepenuhan cinta. Cinta yang bukan belas kasihan,

cinta yang bukan kedermawanan, apalagi kewajiban, tetapi yang memang

memberi dan selalu memberi. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa mengetahui

emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa dan mempunyai kesadaran yang

menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran-sasarannya.

Tokoh Dewa tidak ingin bersedih, tetapi segala persitiwa selalu

mengingatkanya kepada Renjani. Bayi-bayi tunadaksa masih datang dan pergi,

begitu datang mereka menyapaku, begitu mereka mati mereka menyapaku juga,

keduanya membawa perasaan berduka. Bagi Dewa pertemuan dan perpisahan,

tidak ada kemungkinan lain di luar itu. Ia sering bertanya pada dirinya sendiri,

untuk apa ada pertemuan jika nanti masih ada perpisahan, tapi Dewa tidak pernah

menemukan jawabannya. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(71) Aku tidak ingin bersedih, tetapi segala peristiwa selalu mengingatkan
aku kepada ibuku. Bayi-bayi tunadaksa masih selalu datang dan pergi, begitu
datang mereka menyapaku, begitu mereka mati mereka menyapaku juga –
keuanya membawa perasaan berduka. Pertemuan dan perpisahan, tidak ada
kemungkinan lain di luar itu. Begitulah sering kutanyakan pada diriku, untuk apa
ada pertemuan jika nanti masih ada perpisahan, tapi tentu saja tidak pernah ada
jawaban (Ajidarma, 2004:172).
56

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merasa tidak ingin

bersedih dan merasa bahwa bayi-bayi tunadaksa yang datang dan pergi, keduanya

membawa perasaan berduka, serta filosofi tentang pertemuan dan perpisahan,

baginya tidak ada kemungkinan lain di luar itu, tokoh Dewa beranggapan bahwa

untuk apa ada pertemuan, jika nantinya harus ada perpisahan. Hal ini menjelaskan

bahwa Dewa mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa, serta

mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran-

sasarannya.

Tokoh Dewa merasa bahwa kepergian Renjani menimbulkan rasa

kekosonagn yang besar. Dewa mengibaratkannya seperti sebuah kehampaan yang

membuatnya memiliki perasaan terjatuh ke dalam sumur tanpa dasar. Ia bercerita

bahwa dunia seperti gelap dan asing, dan ia melayang seperti tersedot oleh sesuatu

tanpa bisa melawan, meski ia memang tidak ingin melawan, dan tidak pernah

ingin melawan. Ia membiarkan dirinya tersedot ke mana pun asal membawa diri

Dewa kepada Renjani. Ia ingin sekali bertemu dengan Renjani, hal ini

diungkapkannya dua kali. Tapi ternyata Dewa masih berada di ranjangnya. Setiap

hari yang dilihatnya hanyalah kelambu, meskipun ia tidak dapat melihatnya secara

fisik, tetapi mata batin Dewa melihatnya. Sebagai anak tunadaksa, Dewa merasa

tidak dapat melihat, mendengar dan tidak mampu bercerita apa-apa. Dewa kini

menyesal bahwa tidak akan ada lagi suara Renjani yang menyatakan rasa

sayangnya pada Dewa. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(72) Kepergian ibuku meninggalkan kekosongan yang besar. Suatu


kehampaan yang membuatku mempunyai perasaan terjatuh ke dalam sumur tanpa
dasar. Dunia gelap dan asing dan aku melayang bagaikan tersedot oleh sesuatu
57

tanpa bisa melawan meski aku memang tidak ingin melawan dan tidak pernah
ingin melawan. Kubiarkan diriku tersedot ke mana pun asal membawaku sampai
kepada ibuku. Aku ingin bertemu ibuku. Aku ingin bertemu ibuku. Tapi ternyata
aku masih di ranjangku. Setiap kali membuka mata yang kulihat kelambu meski
sungguh mati aku tidak melihatnya tidak melihatnya tidak melihatnya. Apakah
yang bisa dilihat, didengar , dan diceritakan kembali oleh seorang anak tunadaksa
? Kini tak seorangpun, tak seorangpun, akan pernah berkata, “ Dewa, Ibu sayang
sekali sama Dewa,”- tidak pernah lagi, tak akan pernah (Ajidarma, 2004:173-
174).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat Renjani meninggalkan diri

Dewa, Dewa merasakan kekosongan yang teramat dalam. Hal ini menjelaskan

bahwa Dewa mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa berandai-andai alangkah hebatnya jika hanya satu buah biola

saja yang dimainkan di kuburan Renjani, tetapi pada kenyataannya ia mendengar

sebuah konser. Namun, bukan sekedar konser dari sebuah kuartet gesek atau

orkestra. Hanya ada satu biola yang dimainkan di kuburan, tetapi ia telah

mendengar seribu biola, bahkan lebih dari seribu biola, karena di kuburan sunyi

sepi itu bagaikan telah turun para peri yang amat piawai memainkan musik,

membawa seluruh instrumen yang pernah ada di dunia. Ia lalu bertanya apakah

dirinya berada di surga, Dewa lalu beranggapan bahwa surga adalah untuk

Renjani, pecinta dan pengasuh anak-anak tunadaksa. Dewa berharap dan yakin

Renjani mendengar permainan biola, ia berharap agar Renjani merasa sebagai

bagian dari surga, karena cinta memang bagian dari surga, bahkan cinta adalah

surga itu sendiri, sedangkan lagu ini begitu penuh cinta. Hal ini dapat dilihat

dalam kutipan berikut :

(73) Bukankah ajaib jika hanya satu biola yang dimainkan di kuburan itu,
tetapi dalam kenyataannya kudengarkan sebuah konser ? Ini bukan sekadar konser
dari sebuah kuartet gesek atau orkestra. Hanya ada satu biola dimainkan di
kuburan itu, tapi telah kudengarkan seribu biola, bahkan lebih dari sekadar seribu
58

biola, karena di kuburan sunyi sepi itu bagaikan telah turun para peri yang paling
piawai memainkan musik, membawa seluruh instrumen yang pernah ada di dunia.
Apakah aku berada di surga ? Tapi surga adalah untuk ibuku, pecinta dan
pengasuh anak-anak tunadaksa. Jika ibuku mendengarnya dan aku percaya ibuku
mendengarnya, kuharap ia merasa sebagai bagian dari surga, karena cinta
memang bagian dari surga, bahkan cinta adalah surga itu sendiri, sedangkan lagu
ini begitu penuh dengan cinta (Ajidarma, 2004:186).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merasa percaya bahwa

Renjani mendengar permainan biola Bhisma. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa

mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa bercerita bahwa Bhisma sedang bermain biola sendirian,

tetapi ia sebenarnya sama sekali tidak sendiri. Seribu peri sedang memainkan

seribu biola, dan seribu peri memainkan seribu alat-alat musik di langit, dalam

cahaya serba gemilang dan penuh berkah, seperti hanya dipersembahkan bagi

anak-anak tunadaksa, yang seketika bangkit dari tidur mereka yang panjang,

langsung berlarian, meloncat-loncat dan berjingkat-jingkat di taman bunga,

terbang melayang bagaikan malaikat-malaikat kecil yang serba periang – Dewa

terpesona, semesta jiwa Dewa yang sunyi menjadi ceria begitu rupa. Hal ini dapat

kita lihat dalam kutipan berikut :

(74) Bhisma bermain sendirian, namun ia sama sekali tidak sendiri. Seribu
peri memainkan seribu biola dan seribu peri memainkan seribu alat-alat musik di
langit, dalam cahaya serba gemilang dan penuh berkah, seperti hanya
dipersembahkan bagi anak-anak tunadaksa, yang seketika bangkit dari tidur
mereka yang panjang, langsung berlarian, meloncat-loncat dan berjingkat-jingkat
di taman bunga, terbang melayang bagaikan malaikat-malaikat kecil yang serba
periang – aku terpesona, semesta jiwaku yang sunyi bisa ceria begini
rupa...(Ajidarma, 2004:186).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia terpesona oleh seribu

peri yang memainkan seribu biola, dan seribu peri yang memainkan seribu alat-
59

alat musik di langit yang dipersembahkan untuk anak-anak tunadaksa. Hal ini

menjelaskan bahwa Dewa mengetahui emosi mana yang ia rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa dengan kepala tertunduk, menceritakan dirinya yang selalu

tampak bodoh dan kosong, dengan hati berdebar dan penuh perasaan ingin tahu ia

menghayati segala sesuatu yang berkelebat dan berlalu. Di ujung segala

perasaannya, dengan latar belakang cahaya kebiru-biruan yang tampak agung

dalam kegelapan semesta samudera itu, ia melihat Renjani yang tersenyum dan

mengembangkan tangan siap memeluknya. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut

(75) Kepalaku tertunduk, tentu masih selalu tampak bodoh dan kosong,
namun dengan hati berdebar dan penuh perasaan ingin tahu aku menghayati
segala sesuatu yang berkelebat dan berlalu. Dan di ujung itu, dengan latar
belakang cahaya kebiru-biruan yang tampak agung dalam kegelapan semesta
samudera itu, kulihat ibuku yang tersenyum dan mengembangkan tangan siap
memelukku (Ajidarma, 2004:189).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merasa ingin tahu dan

menghayati segala sesuatu yang berkelebat dan berlalu. Kata segala sesuatu secara

tersirat merujuk pada cerita masa lalunya, hal ini disiratkan oleh adanya kata

berlalu. Rasa ingin tahu Dewa, dan penghayatan terhadap masa lalunya

dikategorikan kesadaran emosi mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan

dan mengapa.

Tokoh Dewa bercerita tentang pepohonan rindang yang ada di kuburan.

Dewa dan Bhisma berada di lembah yang damai. Burung-burung pipit

beterbangan mengincar padi. Angin padi yang basah membasuh hati Dewa dan

Bhisma, Dewa kembali bercerita tentang angin pagi yang basah membasuh hati

mereka berdua. Dewa lalu bercerita bahwa kita seharusnya bersyukur masih dapat
60

menikmati pagi. Dewa bercerita lagi bahwa saat Bhisma memandang langit, dari

kejauhan terdengar gema sungai dan tawa orang-orang yang mencuci di tepi kali.

Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(76) Pepohonan memang rindang di kuburan itu. Kami berada di lembah


yang damai. Burung-burung pipit beterbangan mengincar padi. Angin pagi yang
basah membasuh hati kami-bukankah kita harus selalu bersyukur masih bisa
menikmati pagi ? Bhisma memandang langit, di kejauhan terdengar gema sungai
dan tawa mereka yang mencuci di tepi kali (Ajidarma, 2004:191).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merasa harus selalu

merasa bersyukur dapat menikmati suasana pagi. Hal ini menjelaskan bahwa

Dewa mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa bercerita tentang dirinya yang selalu tertunduk dan sendiri,

mencoba mengerti, apakah artinya menjadi anak tunadaksa di tengah dunia yang

hiruk pikuk. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(77) Di sini, aku yang selalu tertunduk dan sendiri, mencoba mengerti,
apakah artinya menjadi anak tunadaksa di tengah dunia yang hiruk pikuk ini
(Ajidarma, 2004:194).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia mencoba mengerti

apakah arti dirinya bagi dunia. Hal ini menjelaskan bahwa ia mengetahui emosi

mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa bercerita bahwa apakah yang dapat diharapkan dari

namanya. Asal-usulnya adalah tanda tanya besar, siapa ayah dan ibu kandungnya,

mengapa mereka tidak merawat diri Dewa. Ia mengakui tidak ada yang kurang

dari kasih sayang ibuku bahkan hidup serasa sudah penuh dan selesai oleh kasih

sayang ibuku yang berlimpah ruah melebihi berkah, tapi memang ada suatu

perasaan tertentu, semacam keinginan untuk melacak jalur masa lalu, jika
61

mungkin memang ada jalan. Untuk mengetahui sesuatu-meskipun itu mungkin

tidak terlalu perlu. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(78) Namaku Dewa-apakah yang duharapkan dariku dengan nama itu ?


Asal-usulku adalah suatu tandatanya besar-siapa ayahku siapa ibu kandungku dan
mengapa mereka tidak merawatku. Kuakui tidak ada yang kurang dari kasih
sayang ibuku bahkan hidup serasa sudah penuh dan selesai oleh kasih sayang
ibuku yang berlimpah ruah melebihi berkah, tapi memang ada suatu perasaan
tertentu, semacam keinginan untuk melacak jalur masa lalu, jika memang ada
jalan, untuk mengetahui sesuatu-meskipunitu mungkin tidak terlalu perlu
(Ajidarma, 2004:195).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia mengakui bahwa tidak

ada yang kurang dari kasih sayang ibunya yang berlimpah ruah melebihi berkah,

juga saat ia merasa ada keinginan tertentu untuk melacak jalur masa lalu sekalipun

itu tidak terlalu perlu. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa mengetahui emosi

mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa dan anak-anak tunadaksa melihat dunia dengan cara lain,

mereka menghayati dan mengalami dunia dengan cara yang sama sekali lain,

tetapi itu tidak berarti mereka tidak saling mengerti satu sama lain. Bila tubuh

mereka tidak mampu berbahasa, bukan berarti Dewa dan anak-anak tunadaksa

lainnya tidak memiliki hati dan jiwa sama sekali. Dewa lalu kembali menegaskan

bahwa bahwa cinta telah menghidupkan mereka. Dewa mengajak para manusia

bertubuh normal untuk menyayangi dan mencintai mereka, maka mereka akan

tahu bahwa ada sesuatu yang mereka mengerti, dan akan tahu bahwa sebuah

makna akan sangat berarti. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(79) Itulah masalahnya, kami melihat dunia dengan cara lain, menghayati
dan mengalami dunia dengan cara yang sama sekali lain, namun itu tidak berarti
kita harus tetap selalu tak saling mengerti-bila tubuh dan otak kami tiada mampu
berbahasa, tidaklah berarti kami tiada berjiwa dan tiada berhati sama sekali.
Bukankah sudah berkali-kali kukatakan betapa cinta telah menghidupkan kami ?
62

Sayangilah kami, maka ada sesuatu yang akan dikau mengerti;cintailah kami,
maka tak akan pernah dikau kira betapa makna akan sangat berarti (Ajidarma,
2004:197).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan saat ia bercerita bahwa ia dan

akan-anak tunadaksa lainnya menghayati dunia dengan cara yang sama sekali

berbeda, ini menjelaskan bahwa Dewa mengetahui emosi mana yang sedang ia

rasakan dan mengapa. Selain itu, kesadaran emosi Dewa diperlihatkan oleh kata-

katanya yang mengatakan betapa berharga dan berpengaruhnya sebuah cinta, ia

mengajak manusia bertubuh normal untuk menyayangi anak-anak tunadaksa,

maka ada sesuatu yang akan mereka mengerti, dan dengan cara ini agar mereka

yang bertubuh sempurna menjadi tahu bahwa betapa berartinya sebuah makna, hal

ini menjelaskan bahwa Dewa mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman

untuk nilai-nilai dan sasaran-sasarannya.

3.2.2 Penilaian Diri secara Akurat

Tokoh Dewa merenung bahwa begitu banyak hal yang tidak cocok : wajah

alim seorang pembunuh, wajah suci seorang pelacur, wajah miskin seorang

dermawan, wajah jutawan seorang pengemis yang terlalu banyak meminta untuk

dirinya sendiri-padahal barangkali memang begitulah adanya, bukankah tidak

mungkin memastikan kejahatan seseorang hanya dari wajahnya ?. Dapat kita lihat

dalam kutipan berikut :

(80) Begitu banyak yang tidak cocok : wajah alim seorang pembunuh,
wajah suci seorang pelacur, wajah miskin seorang dermawan, wajah jutawan
seorang pengemis yang terlalu banyak meminta untuk dirinya sendiri-padahal
barangkali memang begitulah adanya, bukankah tidak mungkin memastikan
kejahatan seseorang hanya dari wajahnya ? (Ajidarma, 2004:2).
63

Penilaian diri secara akurat ditunjukkan tokoh Dewa saat ia sedang

merenung dan menyadari tentang kenyataan bahwa seringkali begitu banyak hal

yang bertentangan di dunia ini; pembunuh yang memiliki wajah alim, pelacur

yang terlihat suci, pengemis yang terlalu banyak meminta untuk dirinya sendiri.

Dewa lalu mengajak agar jangan hanya menilai suatu hal secara sebagian saja,

tetapi secara utuh. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk

merenung, belajar dari pengalaman.

Tokoh Dewa bercerita bahwa jiwanya dan jiwa anak tunadaksa lainnya,

sebenarnya hanya bisa diduga-duga saja oleh para perawat mereka yang mulia.

Karena sebenarnya jiwa seorang anak tunadaksa tiada akan pernah dapat diselami

oleh mereka yang tubuhnya bersarana sempurna, meskipun mereka menghabiskan

seluruh waktu hidup untuk memikirkannya. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut

(81) Jiwa kami, jiwa para tunadaksa, sebetulnya hanya bisa diduga-duga
saja oleh para perawat kami yang mulia, karena sebenarnyalah jiwa seorang
tunadaksa tiada akan pernah bisa diselami oleh mereka yang tubuhnya bersarana
sempurna, meski mereka menghabiskan seluruh waktu hidup mereka untuk
memikirkannya (Ajidarma, 2004:2).

Penilaian diri secara akurat ditunjukkan tokoh Dewa saat ia bercerita

bahwa jiwa Dewa dan anak tunadaksa hanya bisa diduga-duga, oleh manusia yang

bertubuh sempurna. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk

merenung, belajar dari pengalaman.

Tokoh Dewa sebagai dan anak tunadaksa lainnya, memahami jiwa dengan

cara mereka sendiri, dan dari sudut pandangnya sendiri, dengan keberadaan tubuh

yang menampung jiwa kami, dengan segenap keutuhannya mereka adalah


64

makhluk yang juga sempurna. Dewa dan anak tunadaksa lainnya merasa tidak

sempurna bagi yang membandingkan kondisi tubuh mereka dengan manusia

bertubuh sempurna, tetapi Dewa dan anak tundaksa lainnya merasa sempurna

dalam kondisi mereka yang apa adanya. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(82) Kami memahami jiwa kami dengan cara kami sendiri, dan dari sudut
pandang kami, dengan keberadaan tubuh yang menampung jiwa kami, dengan
segenap keutuhannya kami adalah makhluk yang juga sempurna : kami tidak
sempurna bagi yang membandingkan ketubuhan kami denagn ketubuhan mereka,
tetapi kami bertubuh sempurna dalam keberadaan kami sendiri (Ajidarma,
2004:2).

Penilaian diri secara akurat ditunjukkan tokoh Dewa saat ia mencoba

menjelaskan bahwa ia dan anak-anak tunadaksa lainnya memahami jiwa dengan

cara mereka sendiri, mereka memang tidak sempurna bagi manusia bertubuh

sempurna, tetapi ia dan anak tunadaksa lainnya bertubuh sempurna dalam

keberadaan mereka sendiri sebagai penyandang tunadaksa. Hal ini menjelaskan

bahwa Dewa sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahannya dan ia

menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman.

Tokoh Dewa dan anak tunadaksa lainnya merasa tidak mendengar karena

tidak perlu mendengar, tidak melihat karena tidak perlu melihat, tidak bersuara

karena tidak perlu bersuara, tidak berpikir karena tidak perlu berpikir, tubuhnya

tumbuh dalam kebutuhannya sendiri, bebas dari perintah-perintahnya, karena

jiwanya yang merdeka telah membuat tubuh mereka untuk bebas dan kembali

pada diri mereka sendiri. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(83) Kami tidak mendengar karena tidak perlu mendengar, kami tidak
melihat karena tidak perlu melihat, kami tidak bersuara karena tidak perlu
bersuara, dan kami tidak berpikir karena tidak perlu berpikir – tubuh kami tumbuh
dalam kebutuhannya sendiri, bebas dari perintah-perintah kami, karena jiwa kami
65

yang merdeka juga telah memerdekakan tubuh kami untuk kembali kepada diri
mereka sendiri (Ajidarma, 2004:2).

Penilaian diri secara akurat ditunjukkan tokoh Dewa saat ia memahami

keterbatasan organ-organ tubuhnya sendiri, bagi Dewa tubuhnya tumbuh dalam

kebutuhannya sendiri, karena jiwanya yang merdeka telah memerdekakan tubuh

anak-anak tunadaksa dan tubuhnya untuk melihat kondisi tubuhnya secara apa

adanya. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa sadar tentang kekuatan-kekuatan dan

kelemahan-kelemahannya, serta menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari

pengalaman.

Tokoh Dewa seolah-olah tidakmelihat dan mendengar, tetapi ia dan anak-

anak tunadaksa lain sebenarnya melihat dan mendengar, seolah-olah mereka diam

membisu, tetapi mereka tidak diam dan membisu, seolah-olah mereka tumbuh

seperti tanaman dan tidak mampu berpikir, tetapi mereka menyadari bahwa diri

mereka bukan tanaman. Mereka berpikir dengan cara yang hanya kaum mereka

saja yang mengerti, mereka melakukan ini semua bukan karena mereka ingin

mengelabui, tetapi karena mereka merasa diri mereka sempurna, dan kasihan

kepada orang-orang berubuh sempurna yang tertipu oleh sudut pandang mereka

tentang sebuah kesempurnaan. Dewa dan anak-anak tunadaksa lainnya merasa

tidak merasa cacat sama sekali, karena bagi Dewa dan anak-anak tunadaksa

lainnya keberadaan tubuh mereka yang cacat adalah sebuah kelengkapan. Hal ini

dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(84) Seolah-olah kami tidak melihat dan mendengar, tetapi kami melihat
dan mendengar, seolah-olah kami diam dan membisu, tetapi kami tidak diam dan
tidak membisu, seolah-olah kami tumbuh seperti tanaman dan tidak mampu
berpikir, tetapi kami bukan tanaman dan tidak mampu berpikir, tetapi kami bukan
tanaman dan kami berpikir dengan cara yang hanya kami bisa menghayatinya –
66

semua ini terjadi bukan karena kami berusaha mengelabui, melainkan karena
mereka yang merasa dirinya sempurna dan merasa kasihan kepada kami
terkelabui oleh perasaan ketersempurnaannya sendiri. Kami sendiri tidak merasa
kurang sama sekali, karena keberadaan tubuh kami adalah kelengkapan dalam
kelahiran kami (Ajidarma, 2004:2-3).

Penilaian diri secara akurat ditunjukkan tokoh Dewa saat ia menjelaskan

bahwa seolah-olah tidak melihat dan mendengar, tetapi sebenarnya ia melihat dan

mendengar, seolah-olah ia dan anak-anak tunadaksa diam dan membisu, tetapi ia

sebenarnya tidak diam dan membisu, mereka berpikir dengan cara yang hanya

mereka mengerti dan hayati. Semua ini terjadi bukan karena mereka berusaha

mengelabui, tetapi karena mereka yang merasa dirinya sempurna dan merasa

kasihan kepada Dewa terkelabui oleh perasaan ketersempurnaannya sendiri.

Sebab kekurangan bagi Dewa, adalah kelengkapan dalam kelahiran mereka. Hal

ini menjelaskan bahwa ia sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-

kelemahannya, serta menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari

pengalaman.

Tokoh Dewa merasa aneh diberi nama Dewa, karena Dewa bukanlah

seperti tokoh dewa di pewayangan yang mandraguna dan sakti. Dewa lalu

menjelaskan bahwa umurnya menjelang delapan tahun, ia disebut sebagai anak

tunadaksa, yakni memiliki cacat lebih dari satu cacat. Salah satunya tunawicara

menurut pemeriksaan tokoh Dewa dilahirkan dengan kelainan sistem peredaran

darah, yang membuat tubuh Dewa tidak dapat berkembang. Dewa juga memiliki

kecenderungan autistik, matanya terbuka tapi tidak melihat, telinganya dapat

menangkap bunyi tapi tidak mendengar, hal ini disebabkan karena jaringan

otaknya yang rusak. Leher Dewa selalu miring, kepalanya selalu tertunduk,
67

pandangannya selalu terarah ke bawah. Dewa mendeskripsikan dirinya seperti

bayi tua, tubuhnya kecil, tetapi wajahnya terlihat tua. Anak-anak suka memanggil

Dewa dengan sebutan anak tuyul atau anak genederuwo, semuanya hanya setan-

setan gentayangan yang hanya mereka kira-kira saja bentuk rupanya. Dapat kita

lihat dalam kutipan berikut :

(85) Namaku Dewa. Sebetulnya aneh sekali aku diberi nama Dewa, karena
bukankah Dewa adalah makhluk sakti mandraguna yang sangat berkuasa ?
Sedangkan aku, apalah kekuasaanku selain menerbitkan belas kasihan sesama
manusia ? Namaku Dewa, umurku menjelang delapan tahun, dan aku tidak pernah
tumbuh seperti anak-anak lainnya. Aku disebut sebagai anak tunadaksa, yakni
memiliki lebih dari satu cacat, dan salah satunya adalah tunawicara. Menurut
pemeriksaan, aku dilahirkan dengan kelainan sistem peredaran darah, yang
membuat tubuhku tidak berkembang. Aku juga disebut mempunyai
kecenderungan autistik, mataku terbuka tapi tidak melihat, telingaku bisa
menangkap bunyi tapi tidak mendengar, tentu karena jaringan otakku yang
ternyata rusak. Leherku selalu miring, kepalaku selalu tertunduk – ya,
pandanganku selalu terarah ke bawah. Aku seperti bayi tua, tubuhku kecil, tetapi
wajah lebih berusia : anak-anak kecil suka memanggilku anak tuyul atau anak
genderuwo, semuanya setan-setan gentayangan yang hanya mereka kira-kira saja
bentuk rupanya (Ajidarma, 2004:7).

Penilaian diri secara akurat ditunjukkan Dewa saat ia membandingkan

dirinya yang hanya menerbitkan belas kasihan, dengan dewa dalam dunia

pewayangan yang sakti mandraguna, selain itu penilaian diri secara akurat juga

terlihat pada pernyataan diri Dewa yang mengaku dirinya cacat. Hal ini

menjelaskan bahwa Dewa sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-

kelemahannya, serta tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung belajar dari

pengalaman.

Tokoh Dewa tetap tertunduk, ia berpikir bahwa ia tidak dapat melakukan

apa-apa, ia sering tidak mengerti, kenapa dirinya diberi nama Dewa, jika

kemudian diketahui ia tidak dapat mengangkat kepala. Tetapi, sebenarnya nama


68

Dewa juga bukan nama kososng, setidaknya jika dibandingkan dengan dewa-

dewa dari dunia pewayangan, yang bisa berkelebat ke sembarang tempat, di

dalam maupun di luar dunia ini, menembus berbagai macam dimensi. Hanya

tampaknya saja Dewa tidak dapat melihat dan mendengar sesuatu, tetapi ia

mampu menangkap getaran jiwa dan mendengar kata hati. Dapat kita lihat dalam

kutipan berikut :

(86) Aku tetap tertunduk, apalah yang bisa kulakukan ? Aku sering tidak
mengerti, kenapa aku diberi nama Dewa, kalau kemudian diketahui aku tidak bisa
mengangkat kepala seperti ini. Namun, sebenarnya nama Dewa juga bukan nama
kosong, setidaknya kalau dibandingkan dengan dewa-dewa dari dunia
pewayangan, yang bisa berkelebat ke sembarang tempat, di dalam maupun di luar
dunia ini, menembus berbagai macam dimensi. Hanya tampaknya saja aku tidak
mampu melihat dan mendengar sesuatu, tetapi aku mampu menangkap getaran
jiwa dan mendengar kata hati (Ajidarma, 2004:9).

Penilaian diri secara akurat ditunjukkan Dewa saat ia tidak mengerti

mengapa ia diberi nama Dewa, jika diketahui ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Kemampuan Dewa juga ditunjukkan saat ia mengaku bahwa kelihatannya saja ia

tidak dapat melihat dan mendengar sesuatu, tetapi sebenarnya ia dapat menangkap

getaran jiwa dan mendengar kata hati. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa sadar

tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya dan menyempatkan diri

untuk merenung dan belajar dari pengalaman.

Tokoh Dewa berkata dalam hati bahwa setiap kali ibunya berkata, ia yakin

bahwa Dewa akan mengerti apa yang diucapkannya, tetapi Dewa tidak pernah

memperlihatkan tanda mengerti. Dewa selalu diam seribu bahasa, karena bagi

Dewa bahasa hatinya sudah bicara. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(87) Ibuku sangat yakin betapa aku akan mengerti, tapi akau tidak pernah
memperlihatkan tanda seperti mengerti. Aku selalu diam seribu bahasa, karena
bahasa hatiku sudah selalu bicara (Ajidarma, 2004:9).
69

Penilaian diri secara akurat ditunjukkan Dewa saat ia tidak pernah

memperlihatkan tanda seperti mengerti, setiap kata yang diucapkan oleh ibunya.

Dewa selalu diam seribu bahasa, karena bahasa hatinya sudah bicara. Hal ini

menjelaskn bahwa tokoh Dewa sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-

kelemahannya.

Saat dipanggil oleh ibunya tokoh Dewa dengan tertunduk berkata dalam

hati bahwa ia adalah anak tunadaksa, yang otaknya rusak, sehingga ini

mengakibatkan telinganya yang mendengar tidak berarti apapun bagiotaknya.

Meskipun demikian, cinta ibunya bagai air terjun yang membasuh Dewa, ia tidak

mendengar tetapi mendengar cinta itu dalam bahasanya sendiri, bukan bahasa

ibunya yang terdengar melainkan bahasa cinta. Ibu dari Dewa yakin jika diri

Dewa mengerti dan Dewa memang mengerti meski tetap tertunduk dengan

pandangan selalu ke bawah. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(88) “ Dewa..Dewa...”
Aku selalutertunduk, karena tentu saja aku adalah seorang anak tunadaksa
yang rusak otaknya, sehingga telingaku yang mendengar tidak berarti apapun bagi
otakku. Namun cinta ibuku bagaikan air terjun yang membasuhku, aku tidak
mendengar tetapi mendengar cinta itu dalam bahasaku sendiri, bukan bahasa
ibuku yang terdengar melainkan bahasa cinta.
“ Dewa... Dewa..”
Ibuku yakin kalau aku mengerti dan aku memang mengerti meski tetap
tertunduk dengan pandangan selalu ke bawah (Ajidarma, 2004:11-12).

Penilaian diri secara akurat ditunjukkan Dewa saat ia menjelaskan bahwa

otaknya rusak, sehingga telinganya yang mendengar tidak berarti apapun bagi

otak Dewa. Selain itu pandangan terhadap ibu Dewa yang yakin bahwa Dewa

pasti mengerti apa yang dikatakan oleh ibunya. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa

sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahannya.


70

Tokoh Dewa sedang memperhatikan ibunya dan Mbak Wid yang bermain

kartu tarot. Ia melihat ada satu buah lilin yang mati, sedangakan 99 lilin lainnya

menyala dengan terangnya. Dewa menganggap hubungan antara kematian

Larasati dan kematian lilin yang dilihatnya hanyalah kebetulan, akan tetapi sebuah

kebetulan juga merupakan kenyataan. Dewa melihat Rumah Asuh Ibu Sejati

menjadi sebuah dunia tersendiri yang ada di pojok sunyi di pinggiran Kotagede.

Dewa lalu menceritakan, ada Mbak Wid yang hidup di dua dunia, ada Renjani

yang disebut Mbak Wid terlalu memanjakan dirinya, dan sekitar duapuluh bayi

yang seperti hanya numpang tidur sebentar sebelum mati. Dewa lalu menyebutkan

peribahasa Jawa dalam bahasa indonesia, Hidup hanyalah mampir untuk minum,

kata orang Jawa – ya hanya mampir, dan kita tidak tahu persis darimana asal kita,

untuk menuju ke mana. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(89) Satu lilin mati tiba-tiba ketika kartu itu terbuka.


Kulihat asapnya dalam cahaya 99 lilin yang terang nyalanya. Aku sendiri
menganggap hubungan antara kematian Larasati dan kematian lilin itu hanya
kebetulan – namun kebetulan demi kebetulan adalah pula suatu kenyataan. Aku
melihat Rumah Asuh Ibu Sejati ini menjadi sebuah dunia tersendiri, di pojok
sunyi di pinggiran Kotagede. Ada Mbak Wid yang hidup di dua dunia, ada ibuku
yang disebut Mbak Wid terlalu memanjakan aku, dan sekitar duapuluh bayi yang
seperti hanya numpang tidur sebentar sebelum mati. Hidup hanyalah mampir
untuk minum, kata orang Jawa – ya, hanya mampir, dan kita tidak tahu persis
darimana asal kita, untuk menuju kesana (Ajidarma, 2004:17).

Penilaian diri secara akurat ditunjukkan Dewa saat ia mengemukakan

perenungannya tentang Rumah Asuh Ibu Sejati yang menjadi sebuah dunia

tersendiri, di pojok sunyi di pinggiran Kotagede dan orang-orang yang hidup di

dalamnya. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk merenung,

belajar dari pengalaman.


71

Tokoh Dewa melihat Mbak Wid yang sedang bermain kartu tarot, ia lalu

merenung betapa kehidupan manusia selalu terarah ke masa depan yang tidak

akan pernah bisa diduga, mungkin bisa ditebak, dan tentu bisa saja berusaha

diramalkan – namun apakah jaminannya bahwa manusia sudah tahupasti apa yang

belum terjadi ? Tetapi manusia selalu berharap bahwa masa depan mereka akan

baik, lebih baik, syukur-syukur jauh lebih baik, dan bayangan akan nasib yang

malang, takdir yang buruk, serta kodrat yang sudah ditentukan terasa mengancam,

mengerikan, dan menggelisahkan. Masa depan dihadapi manusia dengan

kecemasan, ketakutan, dan keprihatinan atas kemungkinan yang tiada akan pernah

bisa dipastikan. Lalu, Dewa berkesimpulan bahwa mereka yang percaya betul

kepada ramalan mengandaikan dan mengandalkan terdapatnya harapan –

celakanya tidak semua kartutarot Mbak Wid memberikan harapan, dan itulah

yang selalu terjadi setiap akan ada bayi mati di panti asuhan ini. Dapat kita lihat

dalam kutipan berikut :

(90) Kartu-kartu Takdir yang dimainkan Mbak Wid itu menunjukkan


betapa kehidupan manusia selalu terarah ke masa depan yang tidak akan pernah
bisa dipastikan. Mungkin bisa diduga, mungkin bisa ditebak, dan tentu bisa saja
berusaha diramalkan – namun apakah jaminannya bahwa manusia sudah tahu
pasti apa yang belum terjadi, dan barangkali saja memang tidak akan pernah
terjadi, dan barangkali saja memang tidak akan pernah terjadi ? Tetapi manusia
selalu berharap bahwa masa depan mereka akan baik, lebih baik, syukur-syukur
jauh lebih baik, dan bayangan akan nasib yang malang, takdir yang buruk, serta
kodrat yang sudah ditentukan terasa mengancam, mengerikan, dan
menggelisahkan. Masa depan dihadapi manusia dengan kecemasan, ketakutan,
dan keprihatinan atas kemungkinan yang tiada akan pernah bisa dipastikan. Jadi,
mereka yang percaya betul kepada ramalan mengandaikan dan mengandalkan
terdapatnya – harapan celakanya tidak semua kartu tarot Mbak Wid memberikan
harapan, dan itulah yang selalu terjadi setiap akan ada bayi mati di panti asuhan
ini (Ajidarma, 2004:19).
72

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia brecerita

bahwa kartu-kartu takdir yang dimainkan Mbak Wid menunjukkan betapa

kehidupan manusia selalu terarah ke masa depan yang tidak akan pernah bisa

dipastikan. Sebab masa depan bisa ditebak bisa juga tidak, masa depan dapat

diramalkan, tetapi apakah jaminannya bahwa manusia tahu secara pasti apa yang

belum terjadi dan barangkali saja memang tidak akan pernah terjadi. Dewa juga

bercerita tentang harapan manusia akan masa depan yang lebih baik. Menurut

Dewa, masa depan manusia dihadapi manusia dengan kecemasan, ketakutan,

keprihatinan atas kemungkinan yang tiada akan pernah bisa dipastikan. Lalu,

Dewa berkesimpulan bahwa mereka yang percaya terhadap kartu tarot

mengandalkan terdapatnya harapan, tetapi tidak semua kartu tarot Mbak Wid

memberikan harapan, dan inilah yang terjadi setiap ada bayi yang akan mati di

Panti Asuhan Ibu Sejati. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa menyempatkan

diri untuk merenung, belajar dari pengalaman.

Tokoh Dewa kerap kali membayangkan dunia yang ia tinggali sebagai

sebuah semesta yang kelam, dengan roh kehidupan yang melayang-layang tanpa

bisa menentukan nasibnya sendiri, sementara berbagai macam meteor dari segala

arah telah menempuh jalan yang panjang, seperti sepanjang-panjangnya hitungan

tahun cahaya yang tiada terbatas panjangnya, sebelum menjadi takdir itu sendiri

dalam perjumpaan dengan ketidakterdugaan abadi. Langit yang hitam kelam bagi

Dewa seperti menyimpan rahasia yang tiada pernah dipecahkan di sebaliknya.

Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(91) Begitulah aku sering membayangkan dunia ini sebagai semesta yang
kelam, dengan roh kehidupan yang melayang-layang tanpa bisa menentukan
73

nasibnya sendiri, sementara berbagai macam meteor dari segala arah telah
menempuh jalan yang panjang, sepanjang-panjang hitungan tahun cahaya yang
tiada terbatas panjangnya, sebelum menjadi takdir itu sendiri dalam perjumpaan
dengan ketidakterdugaan abadi. Langit yang hitam kelam seperti malam,
menyimpan rahasia yang tiada pernah terpecahkan di sebaliknya. Aku sering
membayangkan diriku melayang-layang dan menyaksikan, namun bahkan dalam
bayanganku sendiri aku tidak mampu memberi kepastian atas apa yang
kusaksikan. Segalanya hanyalah penampakan (Ajidarma, 2004:19-20).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukan oleh Dewa saat ia

menyempatkan diri untuk merenung dan membayangkan bahwa dunia ini sebagai

semesta yang kelam, serta perenungannya tentang langit hitam kelam seperti

malam yang menyimpan rahasia yang tiada pernah terpecahkan di sebaliknya. Hal

ini menjelaskan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari

pengalaman.

Tokoh Dewa bercerita tentang kartu-kartu takdir yang bermain dalam

semesta nasib. Kartu takdir diceritakan Dewa hampir mati oleh sabit kematian,

tetapi si pencabut nyawa tersilaukan oleh matahari, diubah menjadi cinta, tapi

terempas dari menara, tergantung-gantung tak menentu di tiang gantungan, dalam

lolongan serigala di bawah rembulan. Panah-panah asmara berkelebatan, sebagian

menjadi cinta yang membakar, sebagian jadi cinta yang membunuh, sebagaian

lagi menjadi cinta yang berdarah-darah dan menyiksa. Hal ini dapat kita lihat

dalam kutipan berikut :

(92) Kartu-kartu Takdir bermain dalam semesta nasib. Nyaris mati oleh
sabit kematian, namun pencabut nyawa tersilaukan oleh matahari, diubah menjadi
cinta, tapi terempas dari menara, tergantung-gantung tak menentu di tiang
gantungan, dalam lolongan serigala di bawah rembulan. Panah-panah asmara
berkelebatan, sebagian menjadi cinta yang membakar, sebagian jadi cinta yang
membunuh, sebagain lagi menjadi cinta yang berdarah-darah dan menyiksa
(Ajidarma, 2004:20).
74

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia berfilosofi

tentang kartu-kartu takdir / kartu tarot, dan karakter yang terdapat didalamnya,

yang bermain dalam semesta nasib, Dewa berfilosofi bahwa nasib disamakan

seperti sebuah keputusan yang nyaris mati, yang dimaksud mati adalah sebuah

keputusan terakhir, oleh sabit kematian. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa

terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif baru, mau

terus belajar dan mengembangkan diri.

Tokoh Dewa merenung tentang gundukan tanah merah bayi Larasati dan

bayi-bayi yang meninggal mendahului Dewa. Ia bingung, kenapa ia tidak kunjung

mati, padahal keadaan tubuhku tidak lebih baik dari mereka : otak rusak,

peredaran darah tak beres, tubuh kerdil, autistik, menengok saja susah. Ibu Dewa

sangat sering melatih Dewa berjalan, seperti Sumantri melatih Sukasrana. Dewa

dan ibunya lalu berjalan di persawahan, mereka berjalan di pantai, atau menengok

makam-makam mungil, dan memandang Merapi. Dapat kita lihat dalam kutipan

berikut :

(93) Masih terlihat gundukan merah bayi Larasati-mereka semua yang


telah mendahuluiku ada di sana, bayi-bayi dengan nama yang tidak pernah mereka
dengar atau ucapkan sendiri. Entah kenapa aku tidak kunjung mati, padahal
keadaan tubuhku tidak lebih baik dari mereka : otak rusak, peredaran darah tak
beres, tubuh kerdil, autistik, menengok saja susah. Ibuku sangat sering melatihku
berjalan, seperti Sumantri selalu menuntun Sukasrana. Kami berjalan di
persawahan, kami berjalan di pantai, atau menengok makam-makam mungil dan
memandang Merapi (Ajidarma, 2004:24).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merenung

tentang dirinya sendiri, kenapa ia tidak juga kunjung mati, padahal keadaan

tubuhku tidak lebih baik dari mereka : otak rusak, peredaran darah tak beres,
75

tubuh kerdil, autistik, menengok saja susah. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh

Dewa menyempatkan diri untuk merenung belajar dari pengalaman.

Tokoh Dewa bercerita tentang makam-makam yang sunyi, angin yang

menggoyang kamboja, dan semut yang merayap di sela rumput di atas makam.

Dewa juga bercerita tentang kesunyian, bahwa suara-suara bukanlah sekadar

sunyi saja. Angin bagi Dewa kadang terdengar seperti bisikan dan betapa bisikan

bagi Dewa bisa begitu bermakna ketika mengundang seribu penafsiran. Bagi

Dewa, alam semesta penuh dengan makna, bahkan orang yang sudah mati bisa

berbicara lewat berbagai penanda-menurut Dewa melalui cara seperti inilah ia

bisa merasakan sendiri bahwa kuburan ini tidaklah sesunyi tampaknya. Dapat kita

lihat dalam kutipan berikut :

(94) Hanya sunyi saja makam-makam ini. Angin yang menggoyang bunga
kemboja, dan semut yang merayap di sela rumput di atas makam. Namun
kesunyian bukanlah tanpa suara sedangkan suara-suara bukanlah sekadar bunyi
saja. Angin kadang terdengar seperti bisikan dan betapa bisa bermakna suatu
bisikan ketika mengundang seribu penafsiran. Alam semesta penuh dengan
makna, bahkan orang yang sudah mati bisa berbicara lewat berbagai penanda –
dengan cara itulah aku bisa mengalami dengan caraku sendiri, betapa kuburan ini
tidaklah sesunyi tampaknya (Ajidarma, 2004:28).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia berfilosofi

tentang kesunyian, angin, alam semesta dan dengan cara inilah ia dapat mengerti

dan mengalami bahwa kuburan tidak sesunyi kelihatannya, dengan caranya

sendiri. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk merenung,

belajar dari pengalaman.

Tokoh Dewa bercerita bahwa ibunya sedang memapahnya. Meskipun

Dewa tidak melihat apa-apa ia mendengar sebuah taman bermain yang ceria. Ia

tidak melihat apa-apa, tetapi mendengar suara-suara kebahagiaan yang


76

meyakinkan, Dewa mendengar juga bahwa mereka mengejek Dewa. Hal ini dapat

kita lihat dalam kutipan berikut :

(95) Ibuku memapahku. Meskipun tidak meilhat apa-apa, kudengar sebuah


taman bermain yang ceria. Aku tidak melihat apa-apa tetapi kudengar suara-suara
kebahagiaan yang meyakinkan, kudengar pula mereka mengejekku (Ajidarma,
2004:28).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia tidak melihat

apa-apa, tetapi sebenarnya Dewa mendengar suara-suara kebahagiaan yang

meyakinkan, dan saat roh-roh bayi yang sudah meninggal mengejek Dewa. Hal

ini menjelaskan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari

pengalaman.

Tokoh Dewa merenung, bahwa ia tidak berpura-pura. Kelahiran Dewa

merupakan kehendak Tuhan. Ia hanya tidak dapat menunjukkan siapa dirinya

sebenarnya, hal ini disebabkan karena tubuhnya tidak sempurna seperti orang

bertubuh normal lainnya. Manusia yang bertubuh sempurna sejak lama mencoba

memahami jiwa, tetapi jiwa hanya terbaca melalui tubuh, sehingga fungsi tubuh

membantu orang menafsirkan kondisi jiwa, tetapi tubuh anak-anak tunadaksa

berbeda dengan manusia bertubuh normal, tubuh penyandang tunadaksa tidak

menjelmakan penanda apapun yang mungkin ditafsir sebagai bahasa-sehingga

jiwa anak-anak tunadaksa tidak dapat dibaca. Dapat kita lihat dalam kutipan

berikut :

(96) Tentu saja aku tidak berpura-pura. Kelahiranku adalah kodratku, tidak
ada yang bisa kuingkari dari situ. Aku hanya tidak bisa menunjukkan diriku,
karena tubuhku tidak berada untuk membahasakan jiwaku. Mereka yang merasa
tubuhnya sempurna berjuang sepanjang sejarah manusia untuk memahami jiwa,
namun jiwa hanya terbaca melalui tubuh yang membahasakannya, sedangkan
tubuh kami tidak menjelmakan penanda apapaun yang mungkin ditafsir sebagai
bahasa-sehingga jiwa kami tidak bisa dibaca (Ajidarma, 2004:29).
77

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merenung

tentang kelahiran dirinya yang sudah menjadi takdir, dan peranan tubuh terhadap

jiwa manusia. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk

merenung, belajar dari pengalaman.

Tokoh Dewa bercerita bahwa ibunya sedang menutun Dewa di tengah

hamparan padi yang menguning. Dalam hembusan angin, batang-batang padi

bagaikan sedang bersembahyang dan setiap kali berada dalam posisi tegak mereka

seperti memuji kebesaran Tuhan. Dewa mendengar suara sayap kupu-kupu yang

kepaknya seperti desisan dan terbangnya capung yang berdenging lembut, seperti

impian. Dewa bercerita bahwa telinganya tidak mendengar, meski tidak

mendengar, tetapi selalu ada cara di mana jiwa bisa terhubungkan dengan jiwa.

Ibunya menuntun Dewa dengan sangat sabar. Dewa menghirup bau lumpur sawah

yang membuat Dewa merasa hidup. Dewa lalu kembali bertutur dalam kalimat

tanya, bahwa anak tunadaksa juga bukan anak yang mati. Dapat kita lihat dalam

kutipan berikut :

(97) Ibuku menuntunku di tengah hamparan sawah yang menguning.


Dalam hembusan angin , batang-batang padi itu bagaikan sedang bersembahyang
dan setiap kali tegak memuji kebesaran Tuhan. Kudengar suara sayap kupu-kupu
yang kepaknya seperti desisan dan terbangnya capung yang berdengung lembut
seperti impian. Telingaku memang tidak mendengar meski terbuka, namun selalu
ada cara di mana jiwa bisa terhubungkan dengan jiwa. Ibuku menuntunku dengan
sabar. Kuhirup bau lumpur sawah yang membuatku merasa hidup-anak tunadaksa
pun bukan anak yang mati bukan ? (Ajidarma, 2004:37).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa dibuktikan saat ia bertutur bahwa

telinganya memang tidak mendengar meski terbuka, tetapi selalu ada cara di mana

jiwa bisa berhubungan dengan jiwa, waktu ia menghirup bau lumpur yang
78

membuatnya merasa hidup dan menyatakan bahwa anak tunadaksa bukan

makhluk yang mati. Hal ini menjelaskan bahwa Dewa sadar tentang kekuatan-

kekuatan dan kelemahannya dan menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari

pengalaman.

Dewa tahu bahwa betapa dahsyatnya bentangan sayap kupu-kupu,

meskipun matanya tidak melihat apapun. Bagi Dewa, sayap yang terbentang itu

bagaikan sebuah dunia mimpi, dasar hitam beludru bagi warna biru cemerlang

dengan garis tepi berwarna merah dan kuning dan ungu. Ia lalu berandai-andai

jika ia mampu mengecilkan dirinya sampai sekecil butiran debu, Dewa ingin

berselancar di atas sayap kupu-kupu bak permadani itu, tenggelam dalam warna-

warni gemilang yang membahagiakan. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan

berikut :

(98) Kepalaku tertunduk, mataku tidak melihat apapun, namun aku tahu
betapa dahsyat bentangan sayap kupu-kupu itu. Sayap yang terbentang itu
bagaikan sebuah dunia mimpi, dasar hitam beludru bagi warna biru cemerlang
dengan garis tepi berwarna merah dan kuning dan ungu. Jikalau aku mampu
mengecilkan diriku sampai sekecil butiran debu, ingin rasanya aku berselancar di
atas sayap kupu-kupu yang bak permadani itu, tenggelam dalam warna-warni
gemilang yang membahagiakan (Ajidarma, 2004:37-38).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia mengakui

dirinya tidak dapat melihat, tetapi justru sebaliknya ia dapat melihat betapa

indahnya bentangan sayap kupu-kupu. Ia lalu mengandaikan bahwa sayap kupu-

kupu yang berwarna dasar hitam beludru bagi warna biru cemerlang dengan garis

tepi berwarna merah dan kuning dan ungu terbentang bagaikan sebuah duia

mimpi. Imajinasi Dewa juga berkembang, ia mengandaikan dirinya dapat berubah

menjadi kecil, seperti butiran debu dan berselancar di atas sayap kupu-kupu yang
79

bak permadani, tenggelam dalam warna-warni gemilang yang membahagiakan.

Hal ini menjelaskan bahwa Dewa sadar tentang kekuatan-kekuatan dan

kelemahan-kelemahannya, serta menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari

pengalaman.

Dewa berujar dalam hati pada ibunya bahwa Dewa sudah mempunyai

dunia sendiri. Ia beranggapan ibunya mengandaikan Dewa sebagai seekor ulat

yang buruk dan lamban, tetapi setelah beberapa lama bertapa ia akan menjadi

kupu-kupu tercantik yang akan terbang lincah di antara bunga-bunga terindah.

Dewa dapat membayangkan bagaimana ibunya mengharapkan suatu ketika akan

menjadi kupu-kupu, tetapi Dewa tidak tahu pasti, apakah dirinya dibandingkan

dengan ulat yang meskipun lamban masih saja merayap kian kemari, ataukah

dengan kepompong yang diamsendiri ketika waktu berlalu beku.

Jika Dewa membandingkan dirinya dengan ulat, tentu dirinya sangat

lamban, dan jika dibandingkan dengan kepompong karena menurut Dewa dirinya

bukan saja lamban, tapi sebenarnya tidak pernah mampu bergerak atas

kemauannya sendiri. Otak Dewa tidak mampu memberi perintah pada tubuhnya,

tubuhnya tidak mampu menjalankan perintah tubuhku, itu jika hanya otaknya

berpikir. Dewa mengaku bahwa ia tidak berpikir dan pancaindranya tidak

mengindra, ia hanya sekedar hidup saja. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan

berikut :

(99) Ibu, tak tahukah Ibu, aku sudah mempunyai sebuah dunia ? Ibuku
barangkali mengandaikan aku sebagai seekor ulat yang buruk dan lamban, tapi
yang setelah bertapa beberapa lama aku akan berubah menjadi kupu-kupu
tercantik yang akan terbang lincah di antara bunga-bunga terindah. Aku bisa
membayangkan bagaimana ibuku mengharapkan aku suatu ketika akan menjadi
kupu-kupu – tapi aku tak tahu, apakah diriku dibandingkan dengan ulat yang
80

meskipun lamban masih saja merayap kian kemari, ataukah dengan kepompong
yang diam sendiri ketika waktu berlalu beku. Perbandingan dengan ulat tentu
dengan pertimbangan karena aku memang bukan saja lamban, tapi sebenarnyalah
tidak pernah bergerak atas kemauan sendiri – otakku tidak mampu memberi
perintah tubuhku, tubuhku tidak mampu menjalankan perintah otakku, kalau
memang otakku berpikir. Sebetulnya aku memang tidak berpikir dan
pancaindraku tidak mengindra – aku hanya mengada (Ajidarma, 2004:38-39).
Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia menerka

bahwa ibunya mengandaikan diri Dewa seperti seekor ulat yang buruk dan

lamban, tapi yang setelah berapa lama menjadi kupu-kupu tercantik yang akan

terbang lincah di antara bunga-bunga terindah. Ia membayangkan bagaimana

ibunya mengharapkan Dewa suatu saat menjadi kupu-kupu, tetapi ia tak tahu pasti

apakah dirinya dibandingkan dengan kupu-kupu, ataukah kepompong.

Perbandingan dirinya dengan ulat, karena ia terlalu lamban, dan perbandingan

dengan kepompong, karena Dewa tidak pernah bergerak atas kemauan sendiri,

otaknay tidak mampu memberi perintah tubuhku, tubuhnya tidak mampu

menjalankan perintah otakku, jika otaknya memang berpikir. Lalu, Dewa

berkesimpulan bahwa ia tidak berpikir dan pancaindraku tidak mengindra, ia

hanya mengada. Penjelasan diatas menjelaskan bahwa Dewa sadar tentang

kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya, dan ia menyempatkan diri

untuk merenung, belajar dari pengalaman.

Tokoh Dewa merasa dirinya tidak terbandingkan dengan kupu-kupu yang

dapat terbang bebas, kian-kemari. Ia bahkan bertanya pada dirinya lagi, apakah

tidak ada sesuatu dalam dirinya yang terbang bebas kian kemari, seperti kupu-

kupu yang dapat menjelajah kemana saja, sampai tiba pada akhirnya. Dapat kita

lihat dalam kutipan berikut :


81

(100) Sudah pasti aku tidak terbandingkan dengan kupu-kupu, yang bisa
terbang bebas kian-kemari. Namun, benarkah tidak ada sesuatu dalam diriku yang
terbang bebas kian-kemari, seperti kupu-kupu yang mampu menjelajah ke mana
pun sampai tiba akhir hidupnya ? (Ajidarma, 2004:39).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa terlihat pada keyakinan dirinya

tentang diri Dewa yang tidak terbandingkan dengan kupu-kupu yang bisa terbang

bebas kian-kemari, ia juga merenung tentang sesuatu dalam dirinya yang mampu

menjelajah kian-kemari seperti kupu-kupu. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh

Dewa sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya dan

menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman.

Tokoh Dewa bercerita tentang ulat yang menjadi kupu-kupu, adalah

penggambaran yang luar biasa tentang berubahnya suatu bentuk yang selama ini,

dianggap hakikat isinya sama : jiwa yang menghidupkan kupu-kupu adalah jiwa

yang sama dengan yang tadinya berada dalam seekor ulat. Dewa kembali bertanya

pada dirinya sendiri, tentang jiwa kupu-kupu yang sama dengan jiwa seekor ulat.

Dewa lalu membuat pernyataan tentang jiwa, jika jiwa dan tubuh menyatu,

mengapa jiwa tidak ikut berubah bersama dengan perubahan pada tubuhnya ?.

Bagi Dewa masalah ini tidak mudah untuk dipecahkan, karena ketika di satu

pihak jiwa dianggap tidak terpisahkan dari tubuh, sering ditemukan betapa tubuh

bisa saja tidak ada hubungannya dengan jiwanya-yang pasti, menurut Dewa jiwa

tidaklah mungkin ditandai tanpa suatu bentuk yang bisa ditangkap pancaindra,

bagi mereka yang hanya mampu hidup dengan pengindraannya. Bagi Dewa

sendiri, indra tubuhnya tidak membantu apa-apa, meski tubuh itu masih memberi

tanda, tentang terdapatnya jiwa. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :
82

(101) Kisah ulat yang menjadi kupu-kupu itu sendiri adalah penggambaran
yang luar biasa tentang berubahnya suatu bentuk yang selama ini dianggap
hakikat isinya sama : jiwa yang menghidupkan kupu-kupu adalah jiwa yang sama
dengan yang tadinya berada dalam seekor ulat. Benarkah begitu ? Jika jiwa dan
tubuh menyatu, mengapa jiwa itu tidak ikut berubah bersama dengan perubahan
tubuhnya ? Masalah ini tidak mudah dipecahkan, karena ketika di satu pihak jiwa
dianggap tidak terpisahkan dari tubuh, sering ditemukan betapa tubuh bisa saja
tidak ada hubungan dengan jiwanya – yang pasti, jiwa tidaklah mungkin ditandai
tanpa suatu bentuk yang bisa ditangkap pancaindra, bagi mereka yang hanya
mampu hidup dengan pengindraannya. Bagiku sendiri, indra tubuhku tidak
membantu apa-apa, meski tubuh itu masih memberi tanda terdapatnya jiwaku
(Ajidarma, 2004:39-40).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa terlihat pada perenungannya

tentang sebuah jiwa yang tidak dapat berubah mengikuti bentuk tubuh. Dan

bentuk jiwa yang tak berbentuk, serta dapat ditangkap pancaindra bagi mereka

yang hanya mampu hidup dengan penginderaannya. Kemampuan Dewa juga

termasuk dalam penilaian indra tubuhnya yang bagi Dewa tidak dapat membantu

apa-apa, meski tubuh itu masih memberi tanda terdapatnya jiwa Dewa. Hal ini

menjelaskan bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari

pengalaman.

Tokoh Dewa mengaku dirinya terpesona dengan perubahan ulat yang

dapat menjadi kupu-kupu. Ia lalu berfilosofi tentang jiwa yang seakan-akan dapat

berkelebat seperti dewa yang menembus berbagai dimensi, bagi Dewa keberadaan

suatu kepompong adalah misteri baginya. Ia berfilosofi kembali tentang jiwa yang

didalamnya terdapat kepompong, Dewa lalu membuat pernyataan bahwa

kepompong bukanlah benda mati. Baginya ada sesuatu yang tetap hidup, dari

bentuk ulat sampai ke bentuk kupu-kupu, kepompong baginya adalah sesuatu

yang hidup. Pertanyaan kembali muncul dalam pikiran Dewa, ia mempertanyakan

apakah kehidupan kepompong dapat disebut sebagai kehidupan tanpa tubuh ?.


83

Dewa lalu menyimpulkan bahwa kepompong adalah suatu raga bagi sesuatu yang

akan berubah dari ulat menjadi kupu-kupu. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan

berikut :

(102) Aku memang terpesona dengan bagaimana ulat bisa berubah


menjadi kupu-kupu itu. Meskipun jiwaku seakan-akan bisa berkelebat seperti
dewa yang menembus berbagai dimensi, keberadaan suatu kepompong adalah
misteri bagiku. Apakah terdapat suatu jiwakepompong di situ ? Sudah pasti
kepompong bukan benda mati bukan ? Ada sesuatu yang tetap hidup dari bentuk
ulat sampai ke bentuk kupu-kupu, jadi kepompong pun adalah sesuatu yang
hidup. Bisakah kehidupan kepompong disebut sebagai kehidupan tanpa tubuh ?
Tapi bukankah kepompong itu betapapun suatu raga bagi sesuatu yang akan
berubah dari ulat menjadi kupu-kupu (Ajidarma, 2004:40).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa terlihat pada kekagumannya

terhadap ulat yang dapat berubah menjadi kupu-kupu. Meskipun jiwanya seakan-

akan bisa berkelebat seperti dewa yang menembus berbagai dimensi, keberadaan

suatu kepompong adalah misteri bagi Dewa. Apakah dalam kepompong terdapat

sebuah jiwa, sudah pasti kepompong bukanlah benda mati. Bagi Dewa ada

sesuatu yang tetap hidup dari bentuk ulat sampai ke bentuk kupu-kupu, jadi

kepompong adalah sesuatu yang hidup. Ia lalu kembali mempertanyakan,

dapatkah kepompong sebagai kehidupan tanpa tubuh. Dewa lalu menyimpulkan

bahwa kepompong adalah suatu raga bagi sesuatu yang akan berubah dari ulat

menjadi kupu-kupu. Hal ini menjelaskan bahwa ia menyempatkan diri untuk

merenung, belajar dari pengalaman.

Dewa merasa tidak pernah tahu, dari mana asalnya dan ke mana ia akan

pergi, dalam dirinya ia berkepak seperti kupu-kupu, terbang menjelajahi semesta

batinnya untuk menguji seberapa jauh keberhinggaan cakrawalanya. Dalam kelam

dan kesunyian semesta yang terlalu luas bagi dirinya, ia terus berkepak dengan
84

penuh daya. Luasnya semesta yang tak terbayangkan membuat Dewa seperti

terbang dan berkepak di tempat, karena dalam semesta batinnya tidak ada planet

dan tidak ada meteor, dan tidak ada apapun yang bisa memberi petunjuk betapa ia

telah mengarungi suatu jarak. Akan tetapi, ia tahu bahwa ia terus-menerus melaju

dan aku terus maju mengarungi waktu dengan keyakinan, bagi Dewa berapa

lamapun seekor ulat menjadi kepompong, pada saatnya ia akan menjadi kupu-

kupu. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(103) Aku tidak pernah tahu dari mana asalku, dan ke mana diriku akan
pergi, namun dalam diriku aku berkepak seperti kupu-kupu, terbang menjelajahi
semesta batinku untuk menguji seberapa jauh keberhinggaan cakrawalaku. Dalam
kelam dan kesunyian semesta yang terlalu luas bagiku aku terus berkepak dan
berkepak melaju. Keluasan semesta yang tak terbayangkan membuat aku seperti
terbang dan berkepak di tempat, karena dalam semesta batinku tiada planet dan
tiada meteor dan tiada apapun yang bisa memberi petunjuk betapa aku telah
mengarungi suatu jarak. Namun aku tahu aku terus menerus melaju – dan aku
terus maju mengarungi waktu dengan keyakinan, berapa lamapun seekor ulat
menjadi kepompong, pada saatnya ia akan menjadi kupu-kupu...(Ajidarma,
2004:43).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa terlihat pada perenungannya

tentang dari mana Dewa berasal dan ke mana dirinya akan pergi, tetapi dalam diri

Dewa ia berkepak seperti kupu-kupu, terbang menjelajahi semesta batinku untuk

menguji seberapa jauh keberhinggaan cakrawalanya. Dalam kelam dan kesunyian

semesta yang terlalu luas baginya ia terus saja berkepak melaju. Perenungannya

tidak berhenti sampa disitu, tetapi juga terhadap keluasan semesta yang tak

terbayangkan seperti terbang dan berkepak di tempat, karena dalam semesta

batinnya bagi Dewa tidak ada planet dan tidak ada meteor, dan tidak ada apapun

yang bisa memberi petunjuk betapa ia telah mengarungi sebuah jarak. Hal ini
85

menjelaskan bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari

pengalaman.

Tokoh Dewa dan ibunya hari itu sedang berada di tepi pantai yang terletak

di sebelah selatan Yogyakarta – ia lalu menjelaskan bahwa semesta simbolik

orang jogja adalah antara Laut Selatan dan Gunung Merapi di utara, dan di luar itu

tiada lagi dunia. Banyak orang jogja yang sudah memutari bumi yang ternyata

kecil, tetapi bahkan jika kelak ada orang Jogja menjadi astronot yang akan

menginjak planet Mars, dalam semesta kebudayaan yang ditentukan berpusat di

Sitihinggil di depan Alun-alun Selatan, dia hanya akan melihat lautan di selatan

dan gunung di utara sebagai keberhinggaan dunianya. Dewa kembali merenung

tentang sifat kebudayaan yang dapat membebaskan, membatasi, tetapi kaum

tunadaksa seperti dirinya bagaiakn berada di luar kebudayaan-setidaknya di tepi

yang sangat luar sekali di tepinya yang paling tepi. Tidak dianggap dan tidak

terlalu berarti. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(104) Hari itu, ibuku dan aku berada di tepi pantai yang terletak di sebelah
selatan Yogyakarta-sebatas itulah semesta simbolik orang Jogja, antara Laut
Selatan dan Gunung Merapi di utara, di luar itu tiada lagi dunia. Banyak sekali
orang Jogja yang sudah memutari bumi yang ternyata kecil ini, tetapi bahkan jika
kelak ada orang Jogja menjadi astronot yang akan menginjak planet Mars, dalam
semesta kebudayaan yang ditentukan berpusat di Sitihinggil di depan Alun-alun
Selatan, dia hanya akan melihat lautan di selatan dan gunung di utara sebagai
keberhinggaan dunianya. Kebudayaan bisa membebaskan, kebudayaan bisa
membatasi, tetapi kaum tunadaksa seperti aku bagaikan berada di luar kebudayaan
– setidaknya di tepi yang sangat luar sekali, di tepinya yang paling tepi. Tidak
dianggap dan tidak terlalu berarti (Ajidarma, 2004:45).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan pada perenungannya

terhadap kebudayaan. Bagi Dewa kebudayaan dapat membebaskan, kebudayaan

bisa membatasi, tetapi kaum tunadaksa seperti Dewa berada di luar kebudayaan,
86

setidaknya di tepi yang paling luar. Tidak dianggap dan tidak terlalu berarti. Hal

ini menjelaskan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari

pengalaman.

Dewa bercerita bahwa ibunya lari memburu kedua anak kecil yang

mengejek diri Dewa, tetapi Dewa tidak peduli pada hal ini. Karena ia merasa

melihat cahaya dan merasa melayang di antara cahaya. Ia merasa melangkah

menuju ke suatu tempat yang sangat dikenalnya. Ia lalu merenung apakah dirinya

pernah berada di tempat yang ia tuju. Dewa bertanya lagi pada dirinya apakah

mungkin ia pernah berada ditempat yang ditujunya,sebab selama ini ia selalu

berada dalam dekapan ibunya. Tetapi kali ini, ia melangkah sendiri, betul-betul

dengan tubuhnya sendiri, menuju lingkaran-lingkaran cahaya yang bagaikan

membentuk sebuah gua. Di dalam gua cahaya ia melayang menuju ke suatu

tempat yang seolah-olah sudah pernah Dewa datangi. Dapat kita lihat dalam

kutipan berikut :

(105) Ibuku lari memburu kedua anak itu, tetapi aku tidak peduli, karena
aku hanya melihat cahaya dan merasa melayang di antara cahaya. Aku merasa
melangkah menuju ke suatu tempat yang sangat kukenal. Apakah aku pernah
berada di tempat yang aku tuju ? Bagaimana mungkin ? Selamanya aku selalu
berada di tangan ibuku. Namun kali ini aku melangkah sendiri, betul-betul dengan
tubuhku sendiri, menuju ke lingkaran-lingkaran cahaya yang bagaikan
membentuk sebah gua. Di dalam gua cahaya aku melayang menuju ke suatu
tempat yangh seolah-olah sudah pernah kudatangi (Ajidarma, 2004:46).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia tidak peduli

pada ibunya yang sedang mengejar dua anak kecil yang mengejek diri Dewa.

Dewa merasa melangkah menuju ke suatu tempat yang dikenalnya. Ia lalu

merenung kembali, apakah ia berada di tempat yang pernah didatanginya. Ia

berusaha meyakinkan dirinya. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa sadar
87

tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya dan menyempatkan diri

untuk merenung, belajar dari pengalaman.

Dewa berada dalam masa lalu yang sangat samar-samar. Ia melihat cahaya

yang telah meredup dan makin lama makin redup, ia seperti terseret dalam masa

lalu yang berkabut di mana segala sesuatu serba samar-samar. Dalam

penglihatannya Dewa melihat sosok-sosok yang begitu samar, sehingga seolah

menyatu dengan kabut, tetapi itu bukan kabut, melainkan sosok-sosok. Terkadang

Dewa tidak yakin, bahwa itu semacam roh. Baginya, sosok itu terkadang

membentuk sesuatu yang bergerak seperti kanak-kanak, tepatnya kanak-kanak

yang melambai. Tepatnya, anak-anak yang segera mengabur, berbaur lebur dalam

kesamar-samaran kabut. Bagi Dewa, segala pemandangan adalah samar.

Kadangkala, kabut berpendar memperlihatkan pemandangan dahsyat dari atas

gunung dengan lembah jurang ngarai dan perkebunan kubis yang tercetak lengkap

dengan jalan setapak jaring laba-laba tetapi tidak pernah menjadi nyata. Ia melihat

kabut samar yang mengabur seperti impian, bagi Dewa hanya kesamaran

sepanjang cakrawala yang terbentang. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(106) Aku masih berada di masa lalu, yang hanya samar-samar. Sangat
samar-samar. Cahaya itu telah meredup, semakin redup, sampai aku berada di
dalam kabut di mana segala sesuatu serba samar-samar. Di sana terdapat sosok-
sosok yang begitu samar sehingga seolah begitu menyatu dengan kabut tetapi itu
bukan kabut melainkan sosok-sosok. Kadang aku merasa itu semacam roh – tapi
bagaimana aku memastikannya ? Hanya sosok-sosok terkadang membentuk
sesuatu yang bergerak seperti kanak-kanak, tepatnya seperti kanak-kanak
melambai, namun segera mengabur berbaur lebur dalam kesamar-samaran kabut.
Segala pemandangan adalah samar. Kadangkala kabut berpendar memperlihatkan
pemandangan dahsyat dari atas gunung dengan lembah jurang ngarai dan
perkebunan kubis yang tercetak lengkap dengan jalan setapak jaring laba-laba
tetapi tidak pernah menjadi nyata. Terlihat sebentar untuk mengabur lagi seperti
impian tetapi bukan impian, hanya kabut yang serba tersamar – hanya kesamaran
sepanjang cakrawala terbentang (Ajidarma, 2004:48-49).
88

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa terlihat pada perenungannya yang

melihat sosok samar-samar, ia merasa itu adalah roh, tetapi ia bingung bagaimana

memastikannya. Sebab, hanya sosok-sosokyang terkadang membentuk sesuatu

yang bergerak seperti kanak-kanak, tepatnya seperti kanak-kanak yang melambai,

tetapi segera mengabur berbaur lebur dalam kesamar-samaran kabut. Baginya

segala pemandangan adalah samar, kadangkala Dewa memperhatikan kabut

berpendar yang memperlihatkan pemandangan dahsyat dari atas gunung dengan

lembah jurang ngarai dan perkebunan kubis yang tercetak lengkap dengan jalan

setapak jaring laba-laba tetapi tidak pernah menjadi nyata. Terlihat sebentar untuk

mengabur lagi seperti impian tetapi bukan impian, hanya kabut yang serba

tersamar – hanya kesamaran sepanjang cakrawala terbentang. Hal ini menjelaskan

bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman.

Dewa sedang tertunduk, tetapi ia merasa melayang dalam kabut ketika gua

cahaya itu tidak terlihat lagi dinding-dindingnya. Ia masih saja melayang karena

tersedot pusaran, tetapi anehnya sedotannya makin lama makin melemah, tetapi ia

tetap saja melayang dan mengambang. Dewa lalu merenung apakah ini karena ia

hanya menjelajah dalam pikiran saja. Kemudian saat kabut berpendar tanpa

mengabur lagi, ia mendarat perlahan-lahan. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut

(107) Aku tertunduk, tetapi aku melayang dalam kabut ketika gua cahaya
itu tiada lagi terlihat lagi dinding-dindingnya. Aku masih saja melayang karena
tersedot pusaran, tetapi yang semakin lama semakin lemah sedotannya, dan
anehnya aku tetap saja melayang dan mengambang. Apakah ini karena aku hanya
menjelajah di dalam pikiran ? Kemudian ketika kabut akhirnya berpendar tanpa
mengabur lagi, akupun mendarat perlahan-lahan (Ajidarma, 2004:49).
89

Bentuk penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan pada saat ia

merenung dan merasa ia masih saja melayang dan mengambang karena ia hanya

menjelajah di dalam pikiran. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa

menyempatkan diri untuk merenung, dan belajar dari pengalaman.

Dewa sedang berada dalam rumah kerang. Ia merenung dan bertanya pada

dirinya sendiri apakah ia dulunya adalah seekor kerang. Apakah dirinya dulu

seekor kerang yang rumahnya tumbuh bersama perubahan tubuhnya. Bagi Dewa,

rumah kerang yang melekat bersama kelahiran pemiliknya juga merupakan

keajaiban baginya. Rumah yang menyatu dengan tubuh bersama kelahiran tetapi

tidak ikut terbawa mati. Di dalam kerang rumah kerang ia mendengar suara-suara.

Seperti gaung, seperti bisikan tertahan-tahan dan bagaikan suatu riwayat yang

panjang. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(108) Aku berada di dalam rumah kerang. Apakah ini dulu rumahku ?
Apakah aku dulu seekor kerang yang rumahnya tumbuh bersama perubahan
tubuhnya ? Rumah kerang yang melekat bersama kelahiran pemiliknya juga
merupakan keajaiban bagiku. Rumah yang menyatu dengan tubuh bersama
kelahiran tetapi tidak ikut terbawa mati. Di dalam rumah kerang kudengar suara-
suara. Seperti gaung, seperti bisikan tertahan-tahan, bagaikan suatu riwayat yang
panjang (Ajidarma, 2004:49).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia melakukan

perenungan apakah dirinya dulu adalah seekor kerang yang rumahnya tumbuh

bersama perubahan tubuhnya. Menurut Dewa, rumah kerang yang melekat

bersama kelahiran pemiliknya juga merupakan keajaiban bagi Dewa. Rumah

kerang adalah rumah yang menyatu dengan tubuh bersama kelahiran tetapi tidak

ikut terbawa mati. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri

untuk merenung, dan belajar dari pengalaman.


90

Dewa berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia dulunya adalah kerang, yang

hanya diam di tempat dan tak dapat berjalan. Ia hanya dapat mengangkat dan

menutup dinding seperti mulut yang terbuka dan tertutup jika ada makanan. Dewa

ingin rasanya percaya, jika dipikirkan betapa kehidupan Dewa sekarang ini seperti

kerang, hanya diam di tempat dan hanya bergeser karena tergeser ombak di dasar

lautan. Dewa sekarang berada di dalam rumah kerang yang penuh dengan

keheningan. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(109) Rasanya ingin percaya aku adalah kerang, yang hanya diam di
tempat tak bisa berjalan. Hanya bisa mengangkat dan menutup dinding seperti
mulut yang terbuka dan tertutup jika ada makanan. Rasanya ingin percaya, jika
dipikirkan betapa kehidupanku sekarang juga seperti kerang, hanya diam di
tempat dan hanya bergeser karena tergeser ombak di dasar lautan. Aku sekarang
berada di dalam rumah kerang. Penuh dengan keheningan (Ajidarma, 2004:49).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia melakukan

perenungan dan ingin rasanya percaya bahwa ia dulu adalah seekor kerang yang

hanya diam di tempat tak bisa berjalan. Dewa lalu berusaha meyakinkan dirinya

kembali bahwa kehidupannya yang sekarang seperti kerang, hanya diam di tempat

dan hanya bergeser karena tergeser ombak di dasar lautan. Hal ini menjelaskan

bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung dan belajar dari

pengalaman.

Dewa merasa dirinya dulu adalah kerang yang hanya diam dan menunggu

dalam waktu. Semesta bagi Dewa, hanya rumahnya yang telah melekat bersama

diri Dewa. Ia merasa bahwa dirinya hanyalah kerang yang tumbuh di dasar lautan

di balik batu karang. Dewa merasa begitu banyak kerang di sekitarnya, ia lalu

berpendapat mungkin ia dan kerang-kerang yang lain berasal dari induk yang

sama, meskipun mereka tahu ada sesuatu hal yang berada di luar semestanya,
91

tetapi mereka hanya menerka-nerkanya saja. Dewa dan yang lainnya hanya diam

saja. Ia lalu merenung tentang dirinya dan kerang-kerang lainnya, apakah mereka

dulu bahagia ?, apakah dulu mereka berduka ?, ia sudah lupa. Ia merasa bahwa

dirinya dan kerang-kerang lainnya adalah kerang yang memiliki jiwa, tetapi

mereka lupa apakah mereka memiliki hati. Dewa lalu menjelaskan bahwa ada

kalanya mereka melebur bersama menjadi terumbu karang. Dari kerang ke karang

jaraknya sangat dekat, seperti satu huruf, tetapi memerlukan jutaan tahun bagi

Dewa dan yang lainnya untuk menjadi karang terindah dalam cahaya matahari

yang tidak diam tetapi tumbuh dengan sangat amat perlahan. Dapat kita lihat

dalam kutipan berikut :

(110) Dulu aku adalah kerang yang diam dan menunggu dalam waktu.
Semestaku hanya rumahku yang telah melekat bersama diriku. Aku hanyalah
kerang tumbuh di dasar lautan di balik batu karang. Begitu banyak kerang di
sekitarku, mungkin kami berasal dari induk yang sama, tetapi meski kami tahu
ada sesuatu di luar semesta kami, tiada cara untuk mampu saling menahu. Kami
hanya diam, terdiam dan berdiam di dalam dunia kami sendiri. Apakah kami
bahagia ? Apakah kami berduka ? Aku sudah lupa. Karena kami adalah kerang
yang bisa membuka dan menutup rumah kami tentu kami berjiwa, tetapi kami
sungguh-sungguh lupa apakah kami mempunyai hati. Ada kalanya kami melebur
bersama menjadi terumbu karang. Dari kerang ke karang-hanya satu huruf
jaraknya, namun memerlukan waktu jutaan tahun bagi kami untuk menjadi karang
terindah dalam cahaya matahari yang tidak diam tetapi tumbuh dengan sangat
amat perlahan (Ajidarma, 2004:49-50).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merenung dan

menyatakan bahwa dirinya adalah kerang yang diam dan menunggu dalam waktu.

Semesta bagi Dewa adalah rumahnya yang melekat pada tubuh Dewa, ia merasa

dirinya kerang yang tumbuh di dasar lautan di balik batu karang. Hal ini

menjelaskan bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung, dan belajar

dari pengalaman
92

Tokoh Dewa bertanya pada dirinya sendiri apakah ia dulunya kerang

ataukah karang, ia juga mempertanyakan apakah menjadi bayi tunadaksa adalah

suatu kemajuan. Menurut Dewa, ia hanya bisa mengingat-ingat masa lalunya.

Dewa kembali merenung bahwa kegelapan bukanlah kesepian, ia lalu kembali

mengumpamakan dirinya adalah seekor kerang yang terseret oleh gelombang

berkilo-kilo meter jauhnya dan setiap kali ia menutup lalu membukanya kembali

diri Dewa sudah berada di tempat yang berbeda. Dapat kita lihat dalam kutiupan

berikut :

(111) Mungkin aku kerang. Mungkin aku karang. Apakah ini berarti lahir
kembali sebagai bayi tunadaksa adalah suatu kemajuan ? Tetapi aku hanya bisa
meraba masa laluku dengan samar-samar. Apabila rumahku terbuka cahaya biru
dari permukaan laut berkeredap masuk dan menyilaukan. Apabila rumah itu
tertutup aku hanya berdiam dalam kegelapan. Tetapi kegelapan bukanlah
kesepian. Di dasar laut kami tergeser oleh gelombang sampai berkilo-kilo meter
jauhnya, bagaikan suatu pengembaraan. Setiap kali setelah rumah tertutup, setiap
kami membukanya sudah berada di tempat lain. Mungkinkah semuanya berpindah
dalam suatu eksodus panjang ke pulau seberang, namun aku tetap tinggal
terbenam dalam lumpur kegelapan ? (Ajidarma, 2004:50).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merenung

tentang dirinya, apakah ia dulu kerang ataukah karang. Ia lalu menjelaskan bahwa

hanya bisa meraba masa lalu dengan samar-samar, Dewa lalu bercerita lagi

mengenai rumahnya didasar laut. Dewa bahkan berusaha meyakinkan dirinya

sendiri tentang kemungkinan dirinya yang berpindah dalam suatu eksodus

panjang melewati pulau seberang, dan dirinya yang tertinggal dan terbenam dalam

lumpur kegelapan melalui kalimat tanya. Hal ini menjelaskan bahwa tokoh Dewa

menyempatkan diri untuk merenung, dan belajar dari pengalaman.


93

(112) Barangkali jika dikau yang menelanku malam itu, waktu dikau
makan kerang rebus itu bersama dengan kekasihmu. Jika memang ini yang terjadi,
berarti aku harus berterimakasih kepadamu, karena setidaknya dikau menjadi
perantara kelahiranku kembali ke dunia – dari kerang menjadi anak tunadaksa
(Ajidarma, 2004:51).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia merenung

tentang kelahiran dirinya ke dunia, ia menduga bahwa mungkin saja dirinya dulu

adalah kerang, dan ia dimakan oleh manusia, ia berkesimpulan bahwa setidaknya

manusia yang memakan Dewa telah menjadi perantara bagi kelahirannya didunia,

dari kerang menjadi anak tunadaksa. Hal ini menunjukkan bahwa Dewa

menyempatkan diri untuk merenung dan belajar dari pengalaman.

(113) Itulah yang bisa kubayangkan tentang ibuku-sesuatu yang indah.


Tak terbayangkan olehku apa yang ditemukannya dalam diriku sehingga ia begitu
sayang dan begitu cinta padaku. Namun dengan segala kediaman yang
kuperagakan, aku masih sesuatu yang tampak – bagaimanakah perasaan berdoa
yang dalam dan mengiris bisa terbit dari sesuatu yang tidak tampak ? Tiada
tampak oleh mata telanjang namun menampakkan diri ke dalam bayangan. Bisa
dipendam dalam-dalam, untuk suatu kali menyambar dari balik sekat-sekat
pengingkaran (Ajidarma, 2004:56).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia

menyempatkan diri untuk merenung tentang ibunya; sesuatu yang indah. Ia juga

merenung, hal apakah yang membuat ibunya begitu sayang dan mencintai Dewa.

Dewa bahkan juga menjelaskan tentang perenungannya mengenai dosa, baginya

dosa itu tidak tampak oleh mata telanjang, tetapi dapat menampakkan diri ke

dalam bayangan. Dosa menurut Dewa, dapat dipendam dalam hati, untuk suatu

kali menyambar keluar dari dalam hati. Hal ini menunjukkan bahwa Dewa

menyempatkan diri untuk merenung dan belajar dari pengalaman.

(114) Aku terduduk dan tertunduk dengan tatapan mata ke lantai, namun
aku melayang ke subuah semesta di mana kulihat sesosok bayangan yang sangat
samar-samar seperti melambaikan tangan dengan penuh kerinduan. Bagaikan
94

suatu tatapan dari balik kaca, mata bisa memandang tetapi tubuh tak mampu
menembusnya. Jiwa mampu menyapa jiwa, dan hati mampu menyentuh hati tetapi
akal begitu terbatas kemampuannya untuk menjelaskan rasa. Hanya gelombang
kerinduan, sesal tanpa alasan, cinta tanpa sambutan, dan perkabungan yang
menyiksa...(Ajidarma, 2004:57).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa terlihat pada perenungannya yang

menganggap bahwa jiwa mampu menyapa jiwa dan hati mampu menyentuh hati,

dan penjelasannya tentang akal yang begitu terbatas untuk menjelaskan rasa. Bagi

Dewa, akal manusia tidak dapat sepenuhnya menjelaskan perasaan manusia yang

paling dalam, hal ini dijelaskan dengan perumpamaannya tentang akal manusia;

gelombang kerinduan, sesal tanpa alasan, cinta tanpa sambutan, serta perkabungan

yang menyiksa. Hal ini menunjukkan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk

merenung dan belajar dari pengalaman.

(115) Ingin sekali aku bertanya dia datang darimana, apa yang dia lakukan
di dunianya, dan apakah dunianya itu sama sunyi dengan duniaku – dunia di mana
kupu-kupu berkepak tanpa suara (Ajidarma, 2004:59).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa terlihat pada perenungannya

tentang roh anak yang berada di dekat ranjangnya, Dewa berpikir apakah yang ia

lakukan di dunianya, dan apakah dunianya sama dengan dunia Dewa yang penuh

dengan kesunyian. Hal ini menunjukkan bahwa Dewa menyempatkan diri untuk

merenung dan belajar dari pengalaman.

(116) Bagaimana caranya ibuku berpikir bahwa aku mendengar ceritanya


? Aku tidak mendengar apa-apa meski aku memang mendengarnya (Ajidarma,
2004:59).

Tokoh Dewa terlihat menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari

pengalaman. Hal ini ditunjukkan dengan perenungannya tentang bagaimana

ibunya dapat mendengar cerita Dewa, padahal Dewa sendiri secara kasat mata
95

tidak mendengar suara apapun, tetapi sebenarnya diluar hal yang dilihat orang

Dewa dapat mendengar suara ibunya.

(117) Kudengar teriakan tertahan. Lantas sepi kembali.


Aku memejamkan mata. Langkah-langkah ibuku terdengar halus mengisi
kesepian yang menggiriskan. Ia menuju ke ranjangku dan membuka kelambu.
Diciumnya keningku. Kudengar meski tak kudengar ia berbisik. “Ibu sayang
kamu, Dewa...” (Ajidarma, 2004:79).

Tokoh Dewa terlihat menyempatkan diri untuk merenung dan belajar dari

pengalaman. Hal ini terlihat saat ia mendengar teriakan yang tertahan, tetapi

lantas suasana menjadi sepi kembali. Dewa memejamkan mata, dan mendengar

langkah ibunya yang nyaris tanpa suara, mengisi kesepian yang menggiriskan.

Ibunya pergi menuju ke ranjang Dewa dan membuka kelambu. Ibu Dewa lalu

mencium keningnya, dan Dewa mendengar bahwa ibunya berbisik ia mencintai

Dewa.

(118) Aku malu membandingkan diriku dengan para penari ballet. Mereka
bergerak dan melayang seperti impian sedangkan aku teronggok seperti barang.
Bernafas tapi tidak mempunyai kehendak, barangkali masih mempunyai naluri,
meski tanpa kemampuan menerjemahkannya dalam gerakan. Namun ibuku sangat
sering memandang fotoku lama-lama, meskipun sedang memangku diriku di
ruang kerjanya. Bukankah fungsi foto antara lain menjadi pengganti orang yang
ada dalam foto itu ? Jika aku di pangkuannya dan masih juga memandangi aku
dalam foto, maka apakah maknanya aku bagi ibuku ? (Ajidarma, 2044:81).

Penilaian diri secara akurat tokoh Dewa ditunjukkan saat ia mampu

menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif

yang luas. Dewa merasa malu saat membandingkan dirinya dengan penari ballet,

mereka bergerak dan melayang seperti impian, sedangkan diri Dewa teronggok

seperti barang. Tokoh Dewa bernafas tetapi tidak mempunyai kehendak, dan

iapun merasa ragu apakah ia masih memiliki naluri, meskipun ia sadar bahwa ia

tidak dapat menerjemahkannya tanpa gerakan. Dewa lalu bertutur tentang ibunya
96

bahwa ibunya seringkali memandang fotonya lama-lama, meskipun sedang

memangku dirinya di ruang kerja. Dewa lalu merenung tentang fungsi foto yang

menjadi pengganti orang yang ada dalam foto itu. Dewa lalu kembali berpikir,

jika ia berada dalam pangkuan ibunya, dan ibunya masih juga memandangi foto

Dewa, lalu apakah arti Dewa bagi ibunya. Hal ini menjelaskan tokoh Dewa

menyempatkan diri untuk merenung, dan belajar dari pengalaman.

(119) Apakah yang berada di balik tembok batu ? Masa lalu ? Seperti
apakah masa lalu itu ? Barangkali di balik tembok itu terhampar sebuah padang
rumput menghijau yang berakhir di sebuah lembah subur makmur. Di lembah itu
suku-suku pengembara berkemah dan berburu sebelum musim dingin tiba
sehingga mereka tidak akan ke mana-mana lagi. Di dalam kemah di bawah
selimut kulit beruang pasangan muda bercinta tanpa matahari dan membangun
keluarga yang akan meneruskan perjalanan suku pengembara itu ke masa depan
(Ajidarma, 2004:93-94).

Tokoh Dewa merenung dengan mempertanyakan dan memperkirakan hal

apakah yang tersimpan di balik sebuah tembok batu. Dewa lalu menebak,

barangkali dibalik tembok terhampar sebuah padang rumput menghijau yang

berakhir di sebuah lembah subur makmur. Dewa berangan-angan jika saja di

lembah itu terdapat suku-suku pengembara yang berkemah, menetap dan berburu

selama musim dingin tiba. Dewa juga berimajinasi bahwa pasangan muda itu

membangun keluarga, yang akan meneruskan keturunannya. Hal ini menjelaskan

bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung, dan belajar dari

pengalaman.

(120) Ibuku berjalan di tepi pantai Krakal. Setiap kali laut surut,
tampaklah pemandangan ganggang hijau yang tersebar di tepian pantai. Ibuku
berjalan sendirian saja di pantai itu, melangkah dalam angin, memperhatikan
lidah-lidah ombak yang setiap kali pasang dan setiap kali surut kembali. Dunia di
tepi pantai, selalu terasa lain, cakrawala yang membentang, memberikan tanda-
tanda keberhinggaan yang mencekam : apakah yang akan kusaksikan jika aku
pergi ke balik cakrawala itu ? Mereka yang selalu memburu cakrawala bisa
97

menjawabnya : di balik cakrawala itu akan selalu ada cakrawala lagi. Semesta
mungkin saja tidak terbatasa. Mungkin-karena siapakah yang pernah melihatnya
dari luar semesta ?Tetapi semesta ini akan selalu berhingga, karena selalu ada
cakrawala di balik cakrawala untuk seterusnya...(Ajidarma, 143:2004).

Tokoh Dewa terlihat merenung tentang batas cakrawala. Dewa kemudian

bertanya pada dirinya sendiri, apakah yang akan dilihat Dewa jika pergi ke balik

cakrawala, tentu saja yang dibalik cakrawala ada cakrawala lagi. Perenungan

Dewa juga terlihat pada perenungannya tentang semesta yang tidak terbatas, ia

juga agak menyangsikan batas cakrawala, sebab baginya belum pernah ada orang

yang melihatnya dari luar semesta. Akan tetapi, pada akhirnya ia berkesimpulan

bahwa semesta tidak terbatas, karena ada cakrawala di balik cakrawala. Hal ini

menunjukkan bahwa tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung dan belajar

dari pengalaman

(121) Begitulah hari-hari berjalan di Rumah Asuh Ibu Sejati tanpa ibuku.
Seolah-olah tidak ada yang berubah-namun, apakah yang bisa melebihi perubahan
karena perginya seorang ibu ? Cinta yang semula melimpahiku bagaikan air
mengalir bergemuruh dari sebuah air terjun kini telah menguap dan harus dicari
dalam partikel-partikel uap air di udara. Adakah cinta ibuku dalam angin ?
Adakah cinta ibuku dalam desiran daun-daun yang berguguran dan terseret-seret
angin di halaman Rumah Asuh Ibu Sejati ? (Ajidarma, 171:2004).

Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada perenungannya

tentang perubahan sewaktu ibunya masih hidup, dan sewaktu ibunya sudah

meninggal. Rasa sayang ibunya yang begitu besar terhadap Dewa, digambarkan

dengan perumpamaan seperti air mengalir yang bergemuruh dari sebuah air

terjun. Tetapi sejak ibunya meninggal, cinta yang bagaikan air bergemuruh,

seakan menguap begitu saja ke udara. Dewa, lalu berusaha untuk

mempertanyakan cinta sang ibu, jika menguap tentu saja dapat ditemui dalam

angin, desiran daun-daun yangberguguran, serta terseret-seret oleh angin di


98

halaman Rumah Asuh Ibu Sejati. Hal ini menjelaskan tokoh Dewa menyempatkan

diri untuk merenung, dan belajar dari pengalaman.

(122) Apakah ibuku seperti cinta, yang selalu ada ketika kita tergetar
olehnya ? Seperti serbuk kembang sari yang beterbangan dan membuahi,
begitulah cinta terpancar seperti cahaya, membuat tetes embun di atas daun itu
menjelma kristal, bagai nyanyian burung di pagi yang sepi. Begitulah aku selalu,
mengembara dalam pencarian cinta ibuku, karena meski ibuku akan selalu ada di
mana-mana, aku tak akan menemukannya jika tidak mencari. Cinta itu tidak
seperti barang, yang kalau ketemu bisa disimpan. Cinta itu seperti jiwa, yang ikut
melemah bersama tubuh jika tidak disapa dari dalam hati-makanya setiap kali
ditemukan cinta harus tetap dicari dan dicari. Bersama angin, kucari kupu-kupu,
bersama kupu-kupu kucari bunga-bunga, bersama bunga-bunga kucari cahaya,
dan bersama cahaya kuarungi semesta (Ajidarma, 174:2004).

Tokoh Dewa menyempatkan diri untuk merenung, dan belajar dari

pengalaman. Perenungannya dimulai dengan pertanyaan apakah ibunya seperti

cinta yang selalu ada saat perasaan kita bergetar. Dewa lalu mengibaratkan cinta

ibunya seperti kembang sari yang beterbangan dan membuahi, cinta bagi Dewa

seperti cahaya. Cinta seperti penyejuk suasana di pagi hari. Perenungan Dewa

tidak berhenti, ia lalu merenung dan berfilosofi lagi tentang cinta. Menurutnya,

perasaan cinta tidak sama seperti barang yang dapat disimpan, perasaan cinta

dapat hilang agar perasaan cinta tetap hidup, kita harus terus memupuk rasa cinta

yang ada dalam diri kita, agar rasa cinta itu terus hidup. Hal ini diibaratkan Dewa

itu seperti jiwa yang dapat melemah bersama tubuh, maka dari itu harus seringkali

disapa dari dalam hati. Dewa lalu merumuskan filososfinya tentang cinta kedalam

sebuah pencarian bersama dengan angin mencari kupu-kupu, bersama kupu-kupu

ia mencari bunga, dan bersama bunga ia mencari cahaya, bersama dengan cahaya

ia terus mencari mengarungi alam semesta.

(123) Aku mencari ibuku yang sepintas lalu seperti sedang merajut di
bawah pohon di suatu tempat di bulan meski ternyata itu hanyalah bayangan.
99

Tetapi bayangan juga sesuatu yang indah karena cinta memang seperti bayangan
yang hanya bisa dirasakan tapi tak bisa dipegang. Dirasakan, artinya bukanlah
sesuatu yang bisa diindra oleh pancaindra, melainkan disadari keberadaannya
karena bermakna-betapa cinta bukanlah sesuatu yang kebetulan hadir begitu saja.
Ibuku telah merajut cinta itu dalam diriku sehingga aku bisa hidup dengan cinta
tanpa kehadiranya karena ibuku telah merajutkan dirinya dalam cinta yang
menghidupi diriku. Begitulah aku, bayi yang dibuang dalam usia dua hari
mendapatkan cinta yang begitu rupa menghidupkan (Ajidarma, 175:2004).

Tokoh Dewa terlihat menyempatkan diri untuk merenung dan belajar dari

pengalaman. Hal ini terlihat pada perenunganya tentang wujud cinta yang tidak

memiliki bentuk fisik, menurut Dewa cinta seperti bayangan, yang hanya bisa

dirasakan tapi tidak bisa dipegang. Dirasakan, menurut Dewa bukan sesuatu yang

bisa dirasakan oleh pancaindera, tetapi dirasakan keberadaannya karena

bermakna, bahwa cinta bukanlah sesuatu yang kebetulan hadir begitu saja. Dewa

sadar bahwa ibunya telah menanamkan cinta ke dalam diri Dewa, sehingga ia bisa

terus melanjutkan hidup tanpa kehadiran ibunya di sisi Dewa.

(124) Sekali lagi maafkan kemampuanku yang pas-pasan dalam bercerita.


Harap maklum, dengan bahasa dan cara berpikirmu ini, tidak terlalu mudah
bagiku untuk menjelmakan kembali duniaku, karena bagi dunia apapun,
bagaimanakah caranya membahasakan dunia dengan cara yang tidak bisa lebih
baik lagi ? Terus terang aku diliputi keraguan yang amat sangat tentang
kemampuanku, baik itu kemampuan memahami dunia kami maupun kemampuan
menceritakannya kembali. Karena itu sekali lagi maafkanlah aku atas segala
kekuranganku ini (Ajidarma, 198:2004).

Tokoh Dewa terlihat menyempatkan diri untuk merenung dan belajar dari

pengalaman. Hal ini terlihat pada perenunganya yang bertutur tentang

kemampuannya bercerita. Bagi Dewa, tidak ada cara lain yang dapat

menggambarkan keadaan jiwa seorang anak tunadaksa, dengan cara

membahasakan langsung apa yang dirasakan oleh jiwa seorang tunadaksa. Dewa

seolah berbicara kepada pembaca dengan meminta maaf, karena kemampuan


100

berceritanya yang minim. Dewa kemudian meminta pemakluman kepada para

manusia bertubuh sempurna. Karena cara berpikir manusia yang bertubuh

sempurna, cenderung melakukan penilaian terhadap kemampuan seseorang dari

kelengkapan fisiknya saja, dan tidak dari kemampuan jiwanya.

3.2.3 Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri tokoh Dewa dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(125) Seandainya ibu kandungku tidak berjumpa dengan ayahku, tentu


tidak akan ada aku-namun jika kelahiranku sudah bisa diramalkan, dan orangtua
kandungku menghindarkan kelahiranku, siapa yang tahu mereka tidak akan
mengalami nasib yang bagi mereka lebih memalukan lagi ? Seperti Sukasrana
yang bisa merayap kembali ke pertapaan ayah yang telah membuangnya,
bagaimanakah mungkin manusia menghindari kodrat keberadaannya ? Tetapi,
apakah hidup ini masih menarik jika kita mengetahui dengan tepat segala hal yang
akan kita alami ? (Ajidarma, 20:2004).

Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada sikapnya yang berani

tampil dengan keyakinan diri ; berani menyatakan eksistensinya dan berani

menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban demi

kebenaran. Hal ini terlihat pada keyakinan diri Dewa yang menyatakan jika kedua

orangtuanya tidak bertemu maka Dewa tidak akan pernah lahir. Dewa juga

menyatakan eksistensinya dengan berfilosofi jika kelahiran Dewa sudah bisa

diramalkan, dan orangtuanya tidak menerima kehadiran Dewa, siapa yang tahu

bahwa mereka tidak akan menerima nasib yang sama ?. Pernyataan diri Dewa

dipertegas dengan perumpamaannya terhadap Sukasrana yang datang kembali ke

pertapaan ayah kandungnya yang telah membuang dirinya. Kepercayaan diri

Dewa juga ditunjukkan dengan sikapnya yang berani menyuarakan pandanganya

yang tidak populer dan bersedia berkorban demi kebenaran, hal ini diperlihatkan
101

dengan perenungannya tentang hidup yang apakah masih menarik jika kita

mengetahui segala sesuatu dengan tepat.

(126) Tidakkah permainan nasib memang seperti permainan kartu-kartu


itu ? Kemungkinan satu bertemu kemungkinan lain menjadi kemungkinan yang
baru, tapi kita tidak pernah bisa memastikan kemungkinan-kemungkinan itu-yang
pasti hanyalah kemungkinan itu sendiri. Aku adalah bayi yang sudah cacat masih
dibuang pula, tapi aku merasa sangat beruntung-bagaimanakah kita akan
mengetahui hal semacam itu ? (Ajidarma, 20-21:2004).

Tokoh Dewa terlihat berani tampil dengan keyakinan diri ; berani

menyatakan eksistensinya dan sikapnya yang berani menyuarakan pandangan

yang tidak populer dan bersedia berkorban demi kebenaran. Hal ini dapat kita

lihat pada filosofinya bahwa permainan nasib, sama seperti permainan kartu tarot,

kemungkinan satu bertemu dengan kemungkinan lain, dan kita tidak dapat

memastikan kemungkinan permainan kartu tarot. Hal yang pasti menurut Dewa

adalah kemungkinan itu sendiri. Kepercayaan diri Dewa juga terlihat pada

pernyataan diri Dewa yang menyatakan bahwa dirinya adalah bayi yang cacat,

dan juga terbuang , tetapi ia merasa sangat beruntung. Dewa juga melakukan

perenungan, tentang bagaimana kita sebagai manusia dapat mengetahui bahwa

diri kita dapat memastikan sebuah kemungkinan.

(127) Bayi mati artinya suatu kehidupan yang singkat, begitu singkat,
seperti suatu titik saja, belum menjadi garis, yang terpendek sekalipun. Ranjang
bayi di panti asuhan ini mungkin hanya sekitar dua puluh, karena bayi tunadaksa
tidak lahir setiap hari-tetapi ranjang yang dua puluh itu isinya cepat berganti,
karena lebih sering mereka cepat mati, dan semuanya pergi ke pekuburan bayi. Di
sinilah, di lereng sebuah bukit yang teduh dan sunyi, terlihat deretan makam-
makam yang mungil, peristirahatan terakhir bagi para bayi. Ibuku membeli tanah
ini hanya untuk menampung bayi-bayi yang meninggal di Rumah Asuh Ibu
Sejati, karena hampir semua bayi itu tidak diakui oleh orangtuanya, meski
akhirnya kini kami semua telah menjadi keluarga sendiri (Ajidarma, 23:2004).
102

Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada sikapnya yang berani

menyuarakan pandangan yang tidak populer, dan bersedia berkorban demi

kebenaran. Dapat kita lihat pada filosofinya tentang bayi yang mati artinya suatu

kehidupan yang singkat, seperti suatu titik, dan belum menjadi garis, yang paling

pendek sekalipun. Ia lantas berfilosofi tentang ranjang bayi yang isinya cepat

terisi dengan bayi-bayi yang baru, karena lebih sering mereka cepat mati dan

tergantikan. Dewa juga menceritakan pandangannya bahwa dengan dikuburnya

para bayi dari Rumah Asuh Ibu Sejati, ia seakan memiliki sebuah keluarga. Dewa

juga bertutur tentang makam Rumah Asuh Ibu Sejati di lereng sebuah bukit yang

menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi bayi-bayi yang tidak diakui

orangtuanya dan meninggal.

(128) Dari pekuburan ini tampaklah Gunung Merapi, yang di bawah langit
biru akan terlihat keungu-unguan. Apakah artinya suatu gunung yang tampak tak
terhalang dari pekuburan ini ? Aku tidak tahu, namun pemandangan gunung yang
bisa dilihat tanpa terhalang sering dianggap sebagai suatu berkah-dan tanah yang
terberkahi itu dimanfaatkan ibuku hanya untuk makam bayi-bayi, yang ketika
masih hidup pun diandaikan tidak menyadari keberadaan Gunung Merapi
(Ajidarma, 23:2004).

Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada sikapnya yang berani

menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban demi

kebenaran. Hal ini dapat kita lihat pada pernyataan filosofi Dewa, tentang Gunung

Merapi, jika kita melihatnya tanpa terhalang apapun, maka akan menjadi berkah

bagi yang melihatnya. Bagi Dewa, tindakan ibunya sangat mulia, sebab ia

menguburkan jenazah anak-anak tunadaksa di atas Gunung Merapi, yang

dianggapnya sebagai berkah.

(129) Benarkah kehidupan bayi Larasati yang hanya lima hari tidak
mempunyai arti ? Aku tidak bisa bercerita tentang kehidupan setelah mati, namun
103

mereka yang telah meninggal sering tetap bermakna bagi yang masih hidup.
Mereka, bayi-bayi tunadaksa itu, telah mendahuluiku, namun aku bisa
mengandaikan di dalam makam itu, dalam dunia mereka yang berbeda matra,
betapa mereka saling menyapa, bersentuhan, dan meleburkan jiwa, bagaikan cinta
yang menjelma (Ajidarma, 28:2004).

Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada sikapnya yang berani

tampil dengan keyakinan diri ; berani menyatakan eksistensinya dan berani

menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban demi

kebenaran. Hal ini terlihat pada perenungannya tentang kehidupan bayi Larasati

yang meskipun hanya lima hari tetap memiliki arti. Dewa mengakui bahwa tidak

dapat bercerita tentang kehidupan setelah mati, tetapi mereka yang telah

meninggal sering tetap bermakna bagi mereka yang masih hidup. Meskipun bayi-

bayi tunadaksa telah meninggal terlebih dahulu, tetapi Dewa mengandaikan

bahwa jika ia berada dalam makam itu, dunia yang berbeda dimensi, mereka

sebenarnya saling menyapa, bersentuhan, dan meleburkan jiwa satu sama lain,

bagaikan sebuah cinta yang terjalin diantara anak-anak tunadaksa.

(130) Kemudian mereka melayang-layang dan mengitari ibuku. Wajahku


tetap tertunduk, dan ibuku tentu tidak melihat semua itu, tetapi aku
mengetahuinya-kami yang diduga bernasib malang tidaklah begitu malang seperti
mereka yang merasa dirinya sempurna (Ajidarma, 28:2004).

Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada sikapnya yang berani

menyuarakan pandangan yang tidak populer, bersedia berkorban demi kebenaran

dan sikap yang tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam

keadaan yang tidak pasti dan tertekan. Hal ini dapat kita lihat saat ia melihat

arwah anak-anak tunadaksa yang melayang-layang dan mengitari Renjani. Wajah

Dewa terlihat tertunduk, meskipun Renjani tidak melihatnya tetapi ia melihatnya,


104

ia juga menjelaskan bahwa mereka yang diduga bernasib malang, sebenarnya

tidaklah begitu malang, seperti mereka yang beranggotakan tubuh sempurna.

(131) Seperti apakah suara itu terdengar ? Tentunya suatu suara tanpa
bunyi, seperti suara tapi bukan suara. Terbayangkan sesuatu, tapi sesuatu yang
tidak pernah ada sebagai penampakan, meski memang sesuatu yang pernah ada
dan masih ada dan tetap akan ada sebagai sesuatu yang tidak mungkin
terbayangkan. Samar-samar menembus mimpi, menembus angan-angan,
menembus dan merembes ke dalam kenangan dan mencetak khayalan tak
terjelaskan (Ajidarma, 56:2004).

Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada sikapnya yang berani

menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban demi

kebenaran. Hal ini dapat kita lihat saat ia mencoba mendengar suatu suara tanpa

bunyi, seperti suara tapi bukan suara. Saat itu dipikirannya terbayangkan sesuatu,

tetapi sesuatu yang tidak pernah ada sebagai penampakan, meskipun ia mengakui

bahwa sesuatu yang masih ada, akan tetap ada sebagai sesuatu yang tidak

mungkin terbayangkan. Dewa mencoba menjelaskan dampak dari suara, tanpa

bunyi yang samar-samar menembus mimpi, lalu menembus angan-angan,

menembus dan merembes ke dalam kenangan dan mencetak khayalan tak

terjelskan.

(132) Aku adalah anak tunadaksa yang sebenarnya. Telingaku mendengar


tapi tidak mendengar. Namun aku berada di sana, dalam untaian nada yang
menjelma untaian cahaya, berbelat dan berbelit di atas sana, menjadi suatu tarian
cahaya. Empat biola bergetar dawainya dalam gesekan menjelma bunyi yang
meraga sukma dalam tubuh empat penari ballet di angkasa. Penari ballet bergerak,
timbul tenggelam antara ada dan tiada, kadang berujud cahaya dan kadang
menjelma manusia. Apabila sedang menjadi cahaya yang bergelombang,
menghampar, dan mengempas ke pantai langit, aku berselancar di atasnya
(Ajidarma, 100-101:2004).

Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada sikapnya yang berani

tampil dengan keyakinan diri dan berani menyatakan eksistensinya. Hal ini dapat
105

kita lihat saat ia mengakui bahwa dirinya adalah seorang anak tunadaksa.

Telinganya mendengar, tetapi sebenarnya tidak mendengar. Ia mendengar suara-

suara dari empat dawai biola yang sedang dimainkan, Dewa lalu mencoba masuk

dalam pikiran Renjani dengan menceritakan perumpamaan tentang penari ballet,

suara dari empat biola, dan diri Dewa yang kadang menari diangkasa menjadi

cahaya.

(133) Meskipun aku tunadaksa, aku ada di sana. Jiwaku dalam jiwanya.
Duniaku dalam dunianya. Kalau aku bukan tunadaksa-sungguh pancaindraku
akan sangat membatasi duniaku. Hanya mendengar yang terdengar. Hanya
melihat yang terlihat. Hanya merasa yang terasa. Menghancurkan keheninganku.
Empat biola menjelma empat penari ballet yang membawakan tarian cahaya
dalam semesta jiwa. Ingin kukatakan kepada ibuku betapa aku menikmatinya
(Ajidarma, 101:2004).

Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada sikapnya yang berani

tampil dengan keyakinan diri dan berani menyatakan eksistensinya. Hal ini

ditunjukkan saat ia menyatakan dirinya seorang tunadaksa. Dewa menerima

keberadaan dirinya sebagai penyandang tunadaksa, dengan tidak menyesali

kondisi fisik dirinya yang terbatas. Jika ia bertubuh sempurna, pancaindra yang

dimiliki Dewa hanya akan membatasi dunianya. Dewa hanya akan mendengar

yang terdengar, hanya merasa yang terasa, dan hanya melihat yang terlihat. Dewa

ingin berkata pada ibunya betapa ia menikmati restital biola yang sedang

disaksikannya.

(134) Kucari ibuku di antara kupu-kupu yang beterbangan di halaman di


antara bunga-bunga. Kupu-kupu yang terbang seharian untuk mati setelah sekian
lama menjadi kepompong. Sering kuangankan kupu-kupu itu menjadi ibuku, atau
kupu-kupu itu adalah ibuku, terbang melayang-layang di dekat aku. Seandainya
memang kupu-kupu itu adalah ibuku, apakah ia akan menjelma kembali setiap
kali mati dan apakah setiap kali menjadi kupu-kupu lagi ? (Ajidarma, 172:2004).
106

Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada sikapnya yang berani

menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban demi

kebenaran. Hal ini dapat kita lihat saat ia mengandaikan Renjani adalah seekor

kupu-kupu. Dewa lalu merenung, jika Renjani adalah seekor kupu-kupu, apakah

ia hanya akan terbang seharian untuk mati, setelah sekian lama menjadi

kepompong. Ia bahkan juga merenung, apakah Renjani akan menjelma kembali

menjadi kupu-kupu setelah mati.

(135) Awan gemawan berlayar melewati puncak Merapi. Dalam diriku


kujaga sebuah gunung dengan kepundan yang selalu hidup dan menggelegak.
Kujaga dalam diriku kepundan cinta yang menggelegak, karena tanpa cinta
seorang anak tunadaksa seperti aku hanyalah boneka tak bergerak (Ajidarma,
175:2004).

Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada sikapnya yang berani

tampil dengan keyakinan diri, berani menyatakan eksistensinya dan sikapnya yang

berani menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban demi

kebenaran. Hal ini terlihat saat ia menyadari bahwa seorang penyandang

tunadaksa seperti dirinya tidak berdaya jika hidup tanpa cinta, ia juga menyadari

bahwa dalam dirinya terdapat cinta yang begitu besar. Dewa menyebutnya dengan

kepundan cinta yang menggelegak.

(136) Dengan caranya sendiri, anak-anak tunadaksa selalu hidup di


wilayah makna karena pekabaran yang dibawanya : tidakkah kami mengingatkan
kepadamu, wahai saudaraku, bahwa keindahan dan kesempurnaan tidaklah selalu
seperti yang selama ini kita percaya ? Kehadiran kami menghancurkan segala
tatanan dan segala ukuran, namun dari kehancuran itu kami lahirkan makna
kebaikan, tentang segala sesuatu yan paling mungkin membuat manusia menjadi
makhluk yang baik. Sejak kami dilahirkan, kami telah memberi peluang-bagi
sebagian orang, kami adalah noda bagi kesempurnaan, dan karena itu kami
dibuang; bagi sebagian yang lain, kami adalah penyempurnaan, dan akan mereka
dapatkan bahwa mencintai kami adalah suatu jalan kebahagiaan, dan akan mereka
pahamkan betapa segala sesuatu di dunia ini, dalam pancaran cahaya cinta, adalah
suatu keindahan (Ajidarma, 194:2004).
107

Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada sikapnya yang berani

tampil dengan keyakinan diri ; berani menyatakan eksistensinya, berani

menyuarakan pandangan yang tidak populer, bersedia berkorban demi kebenaran

dan tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan yang

tidak pasti dan tertekan. Hal ini dapat kita lihat pada sikap Dewa yang mengakui

bahwa dirinya sebagai penyandang tunadaksa, selalu hidup di wilayah makna

karena pekabaran yang dibawanya. Bahwa, para penyandang tunadaksa

mengingatkan kepada manusia bertubuh sempurna untuk menilik ulang arti

keindahan dan kesempurnaan. Kehadiran para penyandang tunadaksa,

menghancurkan segala tatanan, dan mengajarkan kepada manusia bertubuh

sempurna, bahwa segala sesuatu yang dilakukan berdasarkan cinta adalah sebuah

keindahan.

(137) Setiap malam, di Ruang Lilin yang muram dan sayu, Mbak Wid
masih mencoba berdamai dengan diri sendiri sambil memainkan kartu, menduga-
duga takdir di masa yang akan datang, menggali-gali harapan, dan melupakan
masa lalu-meski tak jelas bagaimana masa lalu bisa dilupakan di Rumah Asuh Ibu
Sejati, sebuah dunia yang dibangun ibuku. Bayi-bayi tunadaksa, datang dan pergi
silih berganti-pergi artinya pulang ke pangkuan Tuhan. Mereka seperti roh yang
numpang lewat. Hanya aku yang masih saja di sini, menundukkan kepala yang tak
pernah kuangkat lagi. Tidak ada yang berkata betapa dia menyayangiku, tapi aku
memang tidak butuh lagi karena telah mendapatkan semuanya dari ibu. Apa yang
kubutuhkan di dunia ini sudah diberikan ibu. Memang aku selalu sendiri dalam
kesunyianku, tetapi aku merasa selalu berada di dekat ibu (Ajidarma, 196:2004).

Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada sikapnya yang berani

tampil dengan keyakinan diri ; berani menyatakan eksistensinya, berani

menyuarakan pandangan yang tidak populer, bersedia berkorban demi kebenaran,

dan tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan yang

tidak pasti dan tertekan. Hal ini, dapat kita lihat pada sikap Dewa yang bercerita
108

tentang Mbak Wid yang sedang bermain kartu tarot, mencoba mengetahui takdir

di masa depan, sekaligus melupakan masa lalunya yang kelam dan berusaha

berdamai dengan diri sendiri. Dewa juga menyatakan bahwa ia sadar bahwa tidak

perlu ada orang yang memberitahukan dirinya bahwa Renjani sangat mencintai

Dewa, sebab ia telah mendapatkan kasih sayang yang lebih dari cukup oleh

Renjani. Dewa tahu bahwa dirinya selalu merasa sendiri dalam kesunyian,

meskipun begitu ia selalu merasa berada di dekat ibunya.

(138) Sampai di sini, aku harus mengucapkan selamat tinggal kepadamu


saudaraku, aku tahu betapa dikau memiliki duniamu sendiri, dunia luas yang tak
hanya berisi kami-terimakasih telah peduli kepada kami, yang tidak akan pernah
ada tanpa bahasa yang dikau pinjami. Sudah terlalu banyak aku bercerita kian
kemari, dari sana ke sini, tentang suatu dunia yang selama ini tak kamu akrabi.
Maafkan jika aku seperti memaksakan diri untuk menjejali, karena untuk kami
para bayi tunadaksa, kapan lagi ada kesempatan ini ? Terlalu banyak orang lebih
suka menceritakan masalah mereka sendiri, yang tentu saja tidak ada salahnya
sama sekali. Kami sadar kedudukan kami yang berada di pinggiran peradaban-
bayi-bayi nirtuna pun banyak yang dibuang, mereka juga harus dirawat, karena
dari mereka masih mungkin lahir seorang jenius ketimbang kami. Tentu kami
percaya tak ada masalah untung rugi di sini-tapi sungguh kami tidak suka
dikasihani meski berterimakasih sekali (Ajidarma, 197-198:2004).

Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada sikapnya yang berani

tampil dengan keyakinan diri ; berani menyatakan eksistensinya, bahwa para

manusia bertubuh sempurna memiliki dunianya sendiri. Dewa juga berani

meyuarakan pandangan yang tidak populer, dengan pernyataanya bahwa ia dan

anak-anak tunadaksa lainnya berada diposisi yang terpinggirkan. Tokoh Dewa

juga bersedia berkorban demi kebenaran, dan bersikap tegas, mampu membuat

keputusan yang baik, kendati dalam keadaan yang tidak pasti dan tertekan. Dapat

kita lihat, bahwa meskipun ia sedang bersedih karena kematian Renjani, ia tetap

memberikan pernyataannya bahwa dengan adanya anak-anak tunadaksa di dunia,


109

tidak ada hal yang menguntungkan ataupun merugikan, ia juga menolak

dikasihani, meskipun mereka memiliki tubuh yang tidak lengkap.

3.3 Rangkuman

Dalam penelitian ini keterampilan intrapersonal tokoh Dewa dapat

dibedakan menjadi kesadaran emosi, penilaian diri secara akurat, dan percaya diri.

Dalam novel BTB tokoh Dewa adalah pelaku dari keterampilan intrapersonal.

Kesadaran emosi

a) Tahu emosi yang ia rasakan dan mengapa; ditunjukkan saat tokoh Dewa

berinteraksi dengan Renjani, Bhisma, Mbak Wid, alam sekitar Dewa,

lingkungan sekitar, diri Dewa sendiri, anak-anak tunadaksa di Rumah

Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa lalu Dewa melakukan

kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya dengan cara: berfilosofi dan

merenung.

b) Menyadari keterkaitan antara perasaannya dengan apa yang ia pikirkan,

perbuat dan katakan; ditunjukkan saat tokoh Dewa berinteraksi dengan

Renjani, diri Dewa sendiri, anak-anak tunadaksa di Rumah Asuh Ibu Sejati

dan roh anak-anak tunadaksa, lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan

monolog dalam hati dan pikirannya dengan cara: berfilosofi dan merenung

c) Mengetahui bagaimana perasaannya mempengaruhi kinerja; ditunjukkan

saat tokoh Dewa berinteraksi dengan dirinya sendiri lalu tokoh Dewa

melakukan kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya dengan cara:

berfilosofi dan merenung.


110

d) Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan

sasarannya; ditunjukkan saat tokoh Dewa berinteraksi dengan Renjani, dan

diri Dewa sendiri lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog dalam

hati dan pikirannya dengan cara: berfilosofi dan merenung.

Penilaian Diri Secara Akurat

a) Sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya;

ditunjukkan saat tokoh Dewa berinteraksi dengan Renjani, Bhisma, Mbak

Wid, alam sekitar Dewa, lingkungan sekitar, diri Dewa sendiri, anak-

anak tunadaksa di Rumah Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa,

lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya

dengan cara: berfilosofi dan merenung.

b) Menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman;

ditunjukkan tokoh Dewa saat berinteraksi dengan Renjani, Bhisma, Mbak

Wid, alam sekitar Dewa, lingkungan sekitar, diri Dewa sendiri, anak-

anak tunadaksa di Rumah Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa,

lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya

berupa: merenung dan berfilosofi.

c) Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif

baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri; ditunjukkan tokoh

Dewa saat ia berinteraksi dengan Mbak Wid dan diri Dewa sendiri, lalu

tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya

dengan cara: berfilosofi dan merenung.


111

d) Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri

dengan perspektif yang luas; ditunjukkan tokoh Dewa saat ia berinteraksi

dengan lingkungan sekitarnya dan diri Dewa sendiri, lalu tokoh Dewa

melakukan kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya dengan cara:

merenung dan berfilosofi

Percaya Diri

a) Berani tampil dengan keyakinan; berani menyatakn eksistensinya;

ditunjukkan tokoh Dewa saat ia berinteraksi dengan Renjani, Mbak Wid

dan diri Dewa sendiri, lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog

dalam pikirannya dengan cara: merenung dan berfilosofi.

b) Berani menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia

berkorban demi kebenaran; ditunjukkan tokoh Dewa saat ia berinteraksi

dengan Renjani, Mbak Wid, diri Dewa sendiri, alam sekitar, anak-anak

tunadaksa di Rumah Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa. lalu

tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog dalam pikirannya dengan

cara: merenung dan berfilosofi.

c) Tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan

yang tidak pasti dan tertekan; ditunjukkan tokoh Dewa saat ia

berinteraksi dengan anak-anak tunadaksa, diri Dewa sendiri dan

lingkungan sekitar. lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog

dalam pikirannya dengan cara: merenung dan berfilosofi.


112

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dalam Bab IV penulis akan menjelaskan dua hal, yaitu kesimpulan hasil

penelitian dan saran bagi penelitian. Kesimpulan adalah jawaban dari

permasalahan dalam objek penelitian yang akan dipecahkan berdasarkan data-data

pada Bab II dan Bab III. Sedangkan saran adalah rujukan atau topik yang dapat

diangkat menjadi objek penelitian pada novel yang sama.

Novel Biola tak Berdawai bercerita tentang kehidupan anak tunadaksa di

Panti Asuhan Rumah Asuh Ibu Sejati dengan memakai Dewa sebagai tokoh

utamanya, dan kehidupan orang-orang di sekitar Dewa sebagai bahan penceritaan

Dewa.

Berdasarkan hasil analisis dari Bab II diperoleh hasil penelitian sebagai

berikut ; tokoh Dewa memiliki karakter yang dewasa dan bijaksana ia selalu

memberikan tanggapan terhadap suasana disekitarnya menurut sudut pandangnya,

sedangkan berdasarkan hasil analisis dari Bab III diperoleh hasil penelitian ;

bahwa tokoh Dewa memiliki keterampilan intrapersonal berupa; kesadaran emosi,

penilaian diri secara akurat dan percaya diri.

Pengarang ingin menampilkan Dewa sebagai sosok yang berbeda dengan

tokoh lainnya, terbukti pengarang menciptakan tokoh Dewa dengan menyoroti

kondisi serta situasi batin Dewa yang dapat menyelami kondisi jiwa tokoh-tokoh

lain. Ditilik dari jumlah petikan monolog, tokoh Dewa juga lebih banyak dari

ketiga tokoh lainnya. Sehingga Dewa terlihat seperti bertutur dan berbicara pada
113

pembaca, padahal Dewa adalah seorang tunadaksa yang memiliki kecacatan tubuh

lebih dari satu.

Atau dengan kata lain, ia memang mempunyai kelima panca indera, seperti

manusia normal pada umumnya, hanya saja panca inderanya tidak berfungsi

sesuai dengan kebutuhannya. Dalam novel Biola tak Berdawai dapat dipastikan

bahwa Dewa hanya berkata satu kali dan menggerakkan tubuhnya tidak lebih dari

tiga kali. Tokoh Dewa juga berperan sebagai pembawa pesan monolog, hal ini

disebabkan karena petikan-petikan dialog Dewa hanya disuarakan dan diucapkan

dalam hati dan pikirannya saja. Tokoh Dewa tidak berdialog seperti ketiga tokoh

lainnya. Sehingga bibirnya tidak bergerak dan mulutnya tidak bersuara.

Dewa juga dapat bersolilokui dengan mengamati kondisi disekitarnya, lalu

menyimpulkannya kembali sesuai dengan pandangan hidupnya. Ia juga terlihat

dewasa, saat harus menghadapi situasi yang tidak memungkinkan, sehingga tokoh

Dewa terlihat tegar. Sebagai tokoh utama, Dewa juga digambarkan sebagai sosok

yang cerdas, ia mencoba menganalogikan dirinya dengan kupu-kupu yang dapat

terbang bebas diudara, Dewa juga tergolong anak yang bijaksana, ia selalu

mencoba mengambil hikmah dari tiap kejadian yang menimpannya.

Dalam menyikapi kejadian, Dewa adalah tokoh yang kritis, ia dapat

mengkritisi perbincangan antara Renjani dengan Bhisma lalu menanggapi dan

bahkan menyanggahnya. Kemampuan Dewa sebagai anak tunadaksa juga

dilengkapi dengan kelebihannya melihat roh anak-anak tunadaksa yang sudah

meninggal, hal ini ditunjukkan saat ia bercerita bahwa ia melihat anak-anak cacat

yang lain, sewaktu berada di kuburan.


114

Keberadaan tokoh Dewa, sangat memegang peranan dalam penceritaan

novel Biola tak Berdawai sebab Dewa berfungsi sebagai pencerita, dari

keseluruhan isi novel. Mulai dari penuntun kita dalam memasuki alam penceritaan

dalam novel, penuntun pengembangan gagasan dalam membentuk citra tokoh

Dewa dibenak pembaca, tokoh Dewa juga membantu pembaca dalam menyelami

karakter; Renjani, Mbak Wid, dan Bhisma. Sebab, dimungkinkan karena

kemampuan Dewa yang dapat masuk kedalam suara hati para tokoh tambahan,

sehingga ia bisa dengan leluasa menganalisis maupun berempati terhadap para

tokohnya. Hal ini juga memudahkan Dewa dalam bercerita mengenai kondisi

emosional dan masalah yang dihadapi oleh tokoh-tokoh tambahan.

Peranan tokoh Dewa sebagai ‘mata’ untuk melihat kondisi batin maupun

fisik serta penuntun sebagai pencerita dapat dirasakan saat kita membaca novel

Biola tak Berdawai, seakan seperti ada jarak antara tokoh; Renjani, Mbak Wid,

dan Bhisma, tetapi tidak dengan tokoh Dewa. Melalui tokoh Dewa kita seperti

menyatu dengan tokoh Dewa yang dalam kecacatannya tetapi tetap menunjukkan

keterampilan intrapersonalnnya. Terlihat pada pemikirannya tentang tokoh-tokoh

disekitarnya maupun tentang kehidupan, tempat dimana ia tinggal. Dominasi

peranan tokoh Dewa sebagai pencerita dan ‘mata’ untuk melihat, dapat kita temui

di hampir setiap bab dari novel Biola tak Berdawai. Ia selalu menceritakan

kondisi orang disekitarnya, mulai dari Renjani, Mbak Wid dan Bhisma, lalu

setelah itu merenungkan perkataan mereka, tak jarang pula tindakan-tindakan

yang diambil oleh para tokoh tambahan, kadang menimbang-nimbang apakah


115

keputusan yang mereka ambil sudah sesuai dengan pemikiran yang ada dibenak

Dewa.

Apabila tindakan atau perkataan mereka tidak sesuai dengan pemikiran

Dewa, maka tak jarang Dewa menambahi, mengurangi, menyanggah, menanggapi

atau bahkan membuat sebuah pernyataan baru mengenai perkataan ataupun

perbuatan yang sesuai dengan pemikiran Dewa.

Tokoh Renjani adalah seorang mantan penari balet yang memiliki trauma

masa lalu karena diperkosa oleh guru baletnya. Tokoh Renjani adalah sosok

seorang ibu asuh yang penuh pengabdian bagi anak-anak cacat di Rumah Asuh

Ibu Sejati. Tokoh Renjani adalah ibu yang perhatian, penyabar, penyayang

terutama kepada Dewa. Sebab, hampir bisa dipastikan bahwa dimana Renjani

pergi selalu ada Dewa. Renjani adalah ibu yang tulus, sebab ia mau menghabiskan

hidupnya di Rumah Asuh Ibu Sejati untuk menolong anak-anak yang cacat.

Tokoh Bhisma adalah seorang pemain biola yang menuntut ilmu di salah

satu institut seni di Yogyakarta. Tokoh Bhisma adalah tokoh yang sopan dan

simpatik, terbukti saat ia menawarkan bantuan kepada Renjani untuk

menggendong Dewa. Tokoh Bhisma adalah tokoh yang cerdas, sebab ia mencoba

menjalin komunikasi dengan Dewa meskipun baru pertama kali bertemu. Tokoh

Bhisma adalah tokoh yang melankolis, terbukti saat ia memainkan biolanya untuk

Renjani yang sudah meninggal di makamnya.

Tokoh Mbak Wid adalah seorang dokter sekaligus peramal di Rumah Asuh

Ibu Sejati. Tokoh Mbak Wid adalah tokoh yang pandai menyesuaikan diri, sebab

ia hidup dalam dua dunia. Saat pagi hari ia menjadi dokter di Rumah Asuh Ibu
116

Sejati, dan malam hari berubah menjadi peramal kartu tarot. Tokoh Mbak Wid

adalah tokoh yang penuh pengabdian, sebab ia bersama Renjani rela

menghabiskan waktunya untuk merawat anak-anak cacat di Rumah Asuh Ibu

Sejati. Tokoh Mbak Wid adalah tokoh yang belum dapat melupakan masa

lalunya, sebab ia masih menggunakan cerita Mahabarata menjadi perbandingan

bawah sadarnnya dalam menghadapi persoalan.

Keterampilan intrapersonal Dewa terdiri dari;

Kesadaran emosi

a) Tahu emosi yang ia rasakan dan mengapa; ditunjukkan saat tokoh Dewa

berinteraksi dengan Renjani, Bhisma, Mbak Wid, alam sekitar Dewa,

lingkungan sekitar, diri Dewa sendiri, anak-anak tunadaksa di Rumah

Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa, lalu tokoh Dewa melakukan

kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya dengan cara: berfilosofi dan

merenung.

b) Menyadari keterkaitan antara perasaannya dengan apa yang ia pikirkan,

perbuat dan katakan; ditunjukkan saat tokoh Dewa berinteraksi dengan

Renjani, diri Dewa sendiri, anak-anak tunadaksa di Rumah Asuh Ibu Sejati

dan roh anak-anak tunadaksa, lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan

monolog dalam hati dan pikirannya dengan cara: berfilosofi dan

merenung.

c) Mengetahui bagaimana perasaannya mempengaruhi kinerja; ditunjukkan

saat tokoh Dewa berinteraksi dengan dirinya sendiri, lalu tokoh Dewa
117

melakukan kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya dengan cara:

merenung dan berfilosofi.

d) Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan

sasarannya; ditunjukkan saat tokoh Dewa berinteraksi dengan Renjani, dan

diri Dewa sendiri, lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog dalam

hati dan pikirannya dengan cara: berfilosofi dan merenung.

Penilaian Diri Secara Akurat

a) Sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya;

ditunjukkan saat tokoh Dewa berinteraksi dengan Renjani, Bhisma, Mbak

Wid, alam sekitar Dewa, lingkungan sekitar, diri Dewa sendiri, anak-anak

tunadaksa di Rumah Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa, lalu

tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya

dengan cara: berfilosofi dan merenung.

b) Menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman; ditunjukkan

tokoh Dewa saat berinteraksi dengan Renjani, Bhisma, Mbak Wid, alam

sekitar Dewa, lingkungan sekitar, diri Dewa sendiri, anak-anak tunadaksa

di Rumah Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa, lalu tokoh Dewa

melakukan kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya dengan cara:

berfilosofi dan merenung.

c) Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif

baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri; ditunjukkan tokoh Dewa

saat ia berinteraksi dengan Mbak Wid dan diri Dewa sendiri, lalu tokoh
118

Dewa melakukan kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya dengan

cara: berfilosofi dan merenung.

d) Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri

dengan perspektif yang luas; ditunjukkan tokoh Dewa saat ia berinteraksi

dengan lingkungan sekitarnya dan diri Dewa sendiri, lalu tokoh Dewa

melakukan kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya dengan cara:

merenung dan berfilosofi.

Kepercayaan Diri

a) Berani tampil dengan keyakinan; berani menyatakn eksistensinya;

ditunjukkan tokoh Dewa saat ia berinteraksi dengan Renjani, Mbak Wid

dan diri Dewa sendiri, lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog

dalam hati dan pikirannya dengan cara: berfilosofi dan merenung.

b) Berani menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia

berkorban demi kebenaran; ditunjukkan tokoh Dewa saat ia berinteraksi

dengan Renjani, Mbak Wid, diri Dewa sendiri, alam sekitar, anak-anak

tunadaksa di Rumah Asuh Ibu Sejati dan roh anak-anak tunadaksa, lalu

tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya

dengan cara: berfilosofi dan merenung.

c) Tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan yang

tidak pasti dan tertekan; ditunjukkan tokoh Dewa saat ia berinteraksi

dengan anak-anak tunadaksa, diri Dewa sendiri dan lingkungan sekitar,


119

lalu tokoh Dewa melakukan kegiatan monolog dalam hati dan pikirannya

dengan cara: berfilosofi dan merenung.

4.2 Saran

Penelitian ini memusatkan pada Keterampilan Intrapersonal tokoh utama dari

pendekatan psikologi. Tetapi ada hal lain yang perlu diteliti, misalnya:

1. Pengkajian kondisi kejiwaan anak tunadaksa menggunakan teori indigo.

2. Pengkajian kejiwaan tokoh-tokoh menggunakan teori psikoanalisis.


120

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. 2004. Biola Tak Berdawai. Jakarta: Akur.

Armstrong, Thomas. 2002. Setiap Anak Cerdas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Goleman, Daniel. 1998. Emotional Intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hartoko, Dick dan Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Nurgiyantoro, Burhan. Maret 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Walgito, Bimo. 2000. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan: Melani

Budianta. Jakarta: PT Gramedia.

Internet:

Ajidarma, Seno Gumira. 2009. Transformasi Seno Gumira.

http://sukab.wordpress.com/seno-gumira-ajidarma/

Download: Jumat, 25 September 2009.

Ajidarma, Seno Gumira. 2009. Seno Gumira Ajidarma.

http://id.shvoong.com/social-sciences/1687586-seno-gumira-ajidarma/

Download: Kamis, 15 Oktober 2009


121

LAMPIRAN

.
122

SINOPSIS

Dalam novel Biola tak Berdawai tokoh Dewa adalah pencerita sekaligus

tokoh utama. Karena, hampir semua kegiatan tokoh tambahan, serta kondisi

batinnya diceritakan oleh tokoh Dewa. Meskipun Dewa bercerita tentang

kehidupan Rumah Asuh Ibu Sejati, kisah percintaan Renjani dengan Bhisma serta

Mbak Wid. Tetapi, peranan Dewa sebagai pencerita dan tokoh utama terlihat

jelas, sebab jumlah monolog tokoh Dewa dibandingkan tokoh lainnya lebih

dominan. Sebelum memasuki penceritaan, tokoh Dewa berfilosofi, bahwa biola

tanpa dawai diibaratkan sebagai sebuah tubuh manusia tanpa jiwa.

Dewa lalu mulai bercerita. Renjani adalah mantan penari balet di Jakarta.

Ia juga pengasuh dan, pemilik dari Rumah Asuh Ibu Sejati yang berdomisili di

Kotagede di pinggiran Yogyakarta. Renjani mendapatkan rumah ini dari warisan

orang tuanya. Dalam Rumah Asuh Ibu Sejati terdapat seorang dokter bernama

Mbak Wid yang setelah melaksanakan tugasnya menjadi dokter, berubah menjadi

seorang peramal kartu tarot pada malam harinya. Dalam Rumah Asuh Ibu Sejati

terdapat seorang anak bernama Dewa yang merupakan penyandang tunadaksa,

yakni; tunawicara, memiliki kelainan sistem peredaran darah, kecenderungan

autistik, mata terbuka tapi tidak bisa melihat, telinga dapat menangkap bunyi tapi

tidak mendengar, jaringan otak yang rusak, leher selalu miring dan kepala selalu

tertunduk ke bawah (Ajidarma, 2004:6). Dewa merupakan anak kesayangan

Renjani. Sebab ke manapun Renjani pergi, dipastikan selalu ada Dewa di

sampingnya. Dewa merupakan salah satu anak penyandang tunadaksa di Rumah

Asuh Ibu Sejati yang selalu mendampingi Renjani. Dewa merupakan anak yang
123

unik jika dibandingkan dengan anak-anak penyandang cacat lainnya, hal ini

karena Dewa dapat berfilosofi (sekalipun ia tidak dapat berbicara atau

membahasakan pikirannya melalui gerakan tubuh), memasuki bawah sadar orang

lain, serta melihat perilaku orang-orang di sekitarnya dan lingkungan tempat ia

tinggal, lalu berpendapat sesuai dengan sudut pandangnya. Jadi, dalam novel ini

banyak ditemui kutipan dari sudut pandang Dewa yang menceritakan dirinya,

tokoh tambahan, maupun lingkungan tempat ia tinggal.

Dewa mulai bercerita lagi tentang Renjani. Renjani menjalani rutinitas

hidupnya seperti biasa di Rumah Asuh Ibu Sejati. Sebagai pengasuh sekaligus

pemilik, di Rumah Asuh Ibu Sejati banyak orang yang akan membuang anak

mereka karena hasil hubungan gelap, tetapi Renjani menolaknya, sebab mereka

hanya menerima anak-anak yang cacat.

Renjani percaya bahwa Dewa dapat sembuh dan hidup seperti orang-orang

normal lainnya. Sehingga Renjani membawa Dewa pada pertunjukkan biola di

candi Prambanan. Di sinilah Renjani berkenalan dengan Bhisma, salah seorang

pemain biola. Tokoh Dewa yang sedang berada dalam pelukan Renjani lalu mulai

menceritakan Bhisma dengan memasuki alam bawah sadarnya. Awalnya, Renjani

tidak terlalu menanggapi tawaran Bhisma untuk membantu menggendong diri

Dewa. Tetapi lama-kelamaan hati Renjani menjadi luluh. Renjani lalu mulai

membuka hatinya kepada pemuda berusia 23 tahun ini. Dewa lalu menggenggam

tongkat penggesek biola dan membawanya pulang, tanpa mengucapkan sepatah

katapun. Karena melihat pengabdian Renjani pada anak-anak cacat, Bhisma lalu

jatuh hati pada Renjani. Bhisma lalu mengutarakan cintanya pada Renjani, tetapi
124

Renjani menolaknya. Dewa yang melihat kejadian ini, sebenarnya sudah

meramalkan bahwa Bhisma akan jatuh cinta pada Renjani, tetapi ia tidak dapat

berbuat apa-apa karena ia hanyalah seorang tunadaksa. Dewa lalu melanjutkan

penceritaannya. Renjani menolak Bhisma sebab ia merasa trauma karena telah

diperkosa oleh guru baletnya. Renjani lalu menceritakan masalahnya pada Mbak

Wid. Mbak Wid lalu memberinya saran agar menerima cinta Bhisma. Tetapi

Renjani masih bingung akan nasihat Mbak Wid.

Sampai suatu saat Bhisma datang ke Rumah Asuh Ibu Sejati dan

memohon agar Renjani menerima cintanya, tetapi Renjani hanya berkata, “ Aku

belum bisa berdamai dengan masa laluku “, sambil mengusap rambut Bhisma.

Dewa lalu kembali berkomentar tentang Bhisma dan Renjani, bahwa keduanya

tidak akan bersatu. Bhisma lalu mencoba mendatangi Rumah Asuh Ibu Sejati

untuk meminta kepastian jawaban dari Renjani. Saat ia datang lagi, ia malah

disambut oleh Mbak Wid yang sibuk dengan kartu-kartu tarot ramalannya. Mbak

Wid lalu berceloteh tentang kematian dengan mengambil penggambaran cerita-

cerita tokoh wayang Mahabarata. Pemuda ini lalu jengkel, ia pun meraup semua

kartu tarot Mbak Wid dan menyebarkannya ke udara. Akhirnya dengan berat hati

Mbak Wid memberitahukan bahwa Renjani telah meninggal karena kanker rahim

yang dideritanya sejak lama. Tokoh Dewa yang saat itu sedang duduk diam di

dalam kamar hanya merasa miris, dan sedih karena kematian telah merenggut

Renjani, sambil sesekali mengenang kejadian-kejadian yang telah dilaluinya

bersama Renjani. Dewa lalu bercerita tentang kematian Renjani. Renjani

mengidap kanker rahim karena dulu ia pernah melakukan aborsi. Ia sempat


125

dirawat di rumah sakit selama satu minggu dalam kondisi koma lalu sebelum ia

meninggal. Bhisma yang mendengar berita ini dari Mbak Wid sangat terpukul.

Bhisma pergi ke kuburan Renjani sambil membawa Dewa, dan

mempersembahkan sebuah lagu berjudul Biola tak Berdawai kepada Renjani. Di

kuburan Renjani, tanpa Dewa sadari ia seperti mempunyai kekuatan, ia lalu

mengangkat kepalanya dan berkata bahwa ia menyayangi ibunya.

Anda mungkin juga menyukai