Anda di halaman 1dari 19

PSIKOLOGI ABNORMAL dan PSIKOPATOLOGI

Lenny Utama Afriyenti, M. Psi., Psikolog

“ Perilaku Abnormal pada Anak dan Remaja 1”

DI SUSUN OLEH :

Achmad Ridwansyah (201710515089)


Dwita Putri Syahrir (201710515203)
Dwi Widarti (201710515162)
Ulfa Wulan Suci P (201710515074)

4 B2-Psikologi

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAYA

KAMPUS I Jl. Dharmawangsa I No. 1 Kebayoran Baru, Jakarta 12140

KAMPUS II Jl. Raya Perjuangan Bekasi Utara, Kota Bekasi

021-88955882

www.ubharajaya.ac.id infopmb@ubharajaya.ac.id
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Alloh SWT yang telah memberi rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang diberi judul “Perilaku
Abnormal pada anak dan Remaja 1” untuk mata kuliah Psikologi Abnormal dan Psikopatologis
dengan baik. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan lebih
memahami teori psikologiAbnormal dan Psikopatologis. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
segala macam bentuk kritik dan sarannya yang membangun untuk menyempurnakan isi dan
bentuk makalah ini agar terjadi perubahan yang lebih baik di masa mendatang.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGHANTAR

BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Rumusan Masalah

1.3. Tujuan Penulis

BAB II : PEMBAHASAN

2.1. Perilaku Normal dan Abnormal pada Masa Kanak-kanak dan Remaja

2.1.1. Keyakinan Budaya tentang Apa yang Normal dan Abnormal


2.1.2. Terapi yang Sensitif terhadap Budaya
2.1.3. Prevalensi Masalah-masalah Kesehatan Mental Anak-anak dan Remaja

2.2. Gangguan Perkembangan Pervasif

2.2.1. Autisme
2.2.2. Ciri-ciri Autisme
2.2.3. Perspektif Teoretis

2.3. Retardasi Mental

2.3.1. Penyebab Retardasi


2.3.1.1. Sindrom Down dan Abnormalitas Kromosom Lainnya
2.3.1.2. Sindrom Fragile X dan Abnormalitas Genetis Lainnya
2.3.1.3. Faktor-Faktor Prenatal
2.3.1.4. Penyebab-penyebab Budaya Keluarga
2.3.2. Intervensi

BAB II : PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran
1.1. Latar Belakang

1.1. Perilaku Normal dan Abnormal pada Masa Kanak-kanak dan Remaja

Untuk menentukan apa yang normal dan abnormal pada anak-anak dan remaja, kami
mempertimbangkan, usia anak dan latar belakang budaya (USDHHS, 1999a). Banyak masalah
yang pertama kali teridentifikasi pada saat anak masuk sekolah. Masalah tersebut mungkin sudah
muncul lebih awal tetapi masih ditoleransi, atau tidak dianggap sebagai masalah, di rumah.
Kadang-kadang stres karena pertama kali masuk sekolah ikut mempengaruhi kemunculannya
(onset). Namun, perlu diingat bahwa apa yang secara sosial dapat diterima pada usia tertenru,
seperti kerakutan yang berlebihan pada orang asing (tak dikenal) di usia 9 bulan, menjadi tidak
dapat diterima di usia yang lebih besar. Banyak pola perilaku yang mungkin dianggap abnormal
pada masa dewasa seperti ketakutan yang intens pada orang asing dan kurangnya kontrol
terhadap keinginan buang air kecil dianggap normal pada anak-analk usia tertentu.

1.1.1 Keyakinan Budaya tentang Apa yang Normal dan Abnormal

Keyakinan-keyakinan budaya membantu menentukan apakah orang-orang melihat


perilaku tertentu sebagai normal atau abnormal. Orang -orang yang hanya mendasarkan penilaian
normalitas pada standar yang berlaku pada budaya mereka saja akan berisiko menjadi etnosentiis
ketika mercka memandang tingkah laku orang lain dalam budaya yang berbeda sebagai abno mal
(Kennedy, Scheirer, & Rogers 1984). Hal ini terutama menjadi perhatian khusus pada
psikopatologi anak. Karena anak-anak jarang melabel perilaku mereka sebagai abnormal, maka
definisi normalitas amat bergantung pada bagaimana tingkah laku anak dipandang dari kacamata
orang tua pada budaya tertentu. Budaya-budaya dapat bervariasi berkenaan dengan tipe-tipe
perilaku yang diklasifikasikan sebagai tidak dapat diterima atau abnormal, demikian juga titik
batas untuk melabel perilaku anak sebagai menyimpang atau tidak diterima secara sosial. Para
peneliti menemukan bahwa orang tua pada budaya yang berbeda menilai ketidakbiasaan perilaku
dari perspektif yang berbeda (Lambert dkk., 1992).

Contohnya, peneliti mengajukan pertanyaan "Bila seorang anak memiliki masalah


psikologis, apa yang menentukan orang dewasa untuk menganggapnya sebagai masalah serius
atau apa akan mencari bantuan ahli atau tidak?" (Weisz dkk., 1988, hal. 601). Untuk
mengcksplorasi pertanyaan ini para peneliti menyajikan beberapa skctsa kepada orang tua, guru
dan psikolog klinis dari Thailand dan Amerika. Sketsa tersebut memperlihatkan dua anak, satu
dengan masalah yang dicirikan sebagai kontrol yang berlebihan (misalnya malu dan takut) dan
satu dengan masalah yang dicirikan sebagai kurangnya kontrol (misalnya tidak patuh dan
berkelahi). Orang tua Thailand memandang kedua masalah tersebut lebih tidak serius dan
mengkhawatirkan dibandingkan orang tua Amerika dan kemungkinan akan membaik tanpa
penanganan seiring berjalannya waktu. Interpretasi rersebut terkait dengan keyakinan dan nilai
tradisional Thailand-Budha yang menoleransi variasi yang luas pada perilaku anak-anak. Mereka
menganggap bahwa perubahan tidak diperlukan dan bahwa perilaku anak-anak nantinya akan
berubah menjadi lebih baik. Perbedaan Antar-kelompok terlihat pada orang tua dan guru
daripada psikolog, yang menunjukkan bahwa pelatihan profesional dalam tradisi ilmiah yang
umum mungkin dapat mengimbangi perbedan budaya tersebut.
1.1.2. Terapi yang Sensitif terhadap Budaya

Psikoterapi untuk anak-anak telah menggunakan pendekatan dari berbagai sudut pandang
dan sangat berbeda dengan terapi untuk orang dewasa. Anak-anak mungkin tidak memiliki
kemampuan verbal untuk mendeskripsikan perasaan-perasaan mereka melalui percakapan atau
kemampuan untuk duduk di kursi sepanjang sesi terapi. Metode tarapi harus di sesuaikan dengan
tingkat perkembangan kognitif, fisik, sosial, dan emosional anak. Misalnya, terapis
paikodinamika telah mengembangkan teknik-teknik terapi bermain (play therapy) dimana
anak-anak memperagakan konflik-konflik keluarga secara simbolis melalui aktifitas bermain,
seperti menggunakan boneka atau puppet. Atau mereka di beri peralatan menggambar dan di
minta membuat gambar-gambar, dengan keyakinan bahwa gambar mereka akan merefleksikan
perasaan-perasaan mendesar mereka.

Penelitian memperlihatkan bahwa terapi-terapi yang sensitif terhadap budaya, yaitu yang
secara khusus di sesuaikan dengan latar belakang budaya dan kebutuhan-kebutuhan anak dari
berbagai kelompok budaya, adalah penting dalam menciptakan hubungan terapeutik yang efektif
dengan anak-anak. Constantino dan koleganya (1986), misalnya, mengadaptasi cerita rakyat
tradisional Puerto Riko atau cuentos, sebagai model contoh dalam menangani anak-anak Puerto
Riko yabg mengalami masalah perilaku. Cuentos menampilkan tokoh-tokoh protagonis yang
menjadi model bagi perilaku adaptif. Cerita-cerita tersebut dibacakan dengan suara keras oleh
terapis dan para ibu, kemudian diikuti dengan diskusi kelompok mengenai perilaku dan perasaan
dari tokoh utama serta isu moral dari cerita. Elemen akhir dari sesi-sesi seperti ini adalah
bermain peran, dimana anak-anak diberi kesempatan untuk meniru perilaku adaptif yang di
tunjukkan oleh karakter utama pada cerita. Nilai dari terapi-terapi yang sensitif terhadap budaya
tentu saja tidak terbatas pada penanganan anak-anak Puerto Riko. Bukti dari manfaat terapi
tersebut dalam menangani kelompok budaya lain telah banyak. Contohnya, para peneliti
menemukan bahwa program-program penanganan yang khas etnik untuk anak-anak Asia
Amerika tampaknya lebih efektif dalam mengurangi keluarnya klien pada tahap awal dan
meningkatkan fungsi pada saat terapi terakhir di bandingkan dengan klien-klien rawat jalan pada
pusat kesehatan mental (Yeh, Takeuchi, &Sue, 1994).

1.1.3. Prevalensi dari Masalah-masalah Kesehatan Mental pada Anak-anak dan


Remaja

Seberapa banyakkah masalah-masalah kesehatan mental pada anak-anak dan remaja


Amerika? Berdasarkan laporan terbaru dari U.S. Surgeon General, 1 di antara 10 anak menderita
gangguan mental yang cukup parah yang akan mengganggu perkembangan mereka (A Children's
Mental Ilness Crisis," 2001). Lebih banyak anak-anak Amerika yang mengalami gangguan
mental dari pada gabungan penderita diabetes, AIDS, dan leukemia (Chamberlin, 2001). Namun
60%-80% dari anak-anak dengan gangguan kesehatan mental tidak memperoleh penanganan
yang mereka butuhkan (Goldberg. 2001). Anak-anak yang memiliki masalah-masalah yang
terinternalisasi seperti kecemasan dan depresi, lebih besar kemungkinannya untuk tidak
tertangani dibandingkan mereka yang memiliki masalah yang tereksternalisasi (masalah yang
berkaitan denganperilaku agresif) yang cenderung lebih mengganggu bagi orang lain.

Anak laki-laki memiliki risiko yang lebih besar untuk mengembangkan banyak masalah
di masa kanak-kanak, berkisar dari autisme sampai hiperaktivitas hingga gangguan eliminasi.
Masalah kecemasan dan depresi juga mempengaruhi lebih banyak anak laki-laki daripada
perempuan. Namun demikian, pada masa remaja gangguan kecemasan dan gangguan mood lebih
umum dijumpai pada anak perempuan dan demikian seterusnya sampai masa dewasa (USDHHS,
1999a). Marilah kita lihat berbagai tipe gangguan psikologis yang dapat mempengaruhi anak-
anak dan remaja. Kita akan mempelajari ciri-ciri dari gangguan tersebut, penyebab, dan
penanganan yang di gunakan untuk membantu anak-anak yang mengalaminya.

1.2. Gangguan Perkembangan Pervasif

Anak-anak dengan gangguan perkembangan pervasif (pervative developmental


disorders/PDDs) menunjukkan hendaya perilaku atau fungsi pada berbagai area perkembangan.
Gangguan ini umumnya tampak nyata pada tahun-tahun pertama kehidupan dan sering kali
dihubungkan dengan rezardasi mental. Gangguan ini umumnya diklasifikasikan sebagai bentuk
psikosis pada edisi awal DSM. Gangguan ini dinilai merefleksikan bentuk kanak-kanak dari
psikosis masa dewasa seperti skizofrenia karena memiliki ciri-ciri yang sama seperti hendaya
sosial dan emosional yaitu, keanehan dalam berkomunikasi dan perilaku motorik yang stereotip.
Penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini berbeda dengan skizofrenia dan psikosis lainnya.
Hanya sedikit sekali bukti yg menunjukkan bahwa anak-anak ini memilik halusinasi atau delusi
yang terus-menerus yang akan sesuatu dengan diagnosis skizofrenia.

Tipe mayor dari gangguan perkembangan pervasif, yang merupakan fokus kita di sini, Adalah
pangguan autistik (autisme). Gangguan Asperger (Asperger's disorder), bentuk yang lebih
ringan dari gangguan perkembangan pervasif, ditunjukkan dengan adanya defisit pada interaksi
sosial dan perilaku stereotip. Namun berbeda dengan autisme, gungguan Asperger tidak
melibatkan defisit yang signifikan pada pada kemampuan bahasa dan kognitif (APA, 2000;
Szamari dkk, 2000). Tipe gangguan perkembangan pervasif yang lebih jarang muncul, mencakup
gangguan Rett (Rett's disorder), gangguan yang di laporkan hanya terjadi pada wanita ; dan
gangguan disintegratif masa kanak-kanak (childhood disintegrative disorder), kondisi yang
jarang ada, biasanya muncul pada laki-laki.

Walaupun jumlah penderita PDD maish tidak jelas, studi komunitas terbaru yang dilakukan
terhadap anak-anak prasekolah di Inggris menunjukkan bahwa 0,6% dari seluruh anak-anak (6
dari 1.000) memenuhi kriteria salah satu gangguan PDD, terutama autisme (Chakrabarti &
Fombonne, 2001). Kriteria diagnostik dari gangguan autistik.

Autisme (autism), atau gangguan auristik, adalah salah satu gangguan terparah di masa kanak-
kanak. Autisme bersifat kronis dan berlangsung sepanjang hidup. Anak-anak yang menderita
autisme, seperti Peter, tampak benar-benar sendiri di dunia, terlepas dari upaya orang tua untuk
menjembatani muara yang memisahkan mereka.

Kata autisme berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti "self" Istilah ini digunakan pertama
kali pada tahun 1906 oleh psikiater Swiss, Eugen Bleuler, untuk merujuk pada gaya berpikir
yang aneh pada penderita skizofrenia (autisme adalah salah satu dari "empat A" Bleuler). Cara
berpikir autistik adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pusat dari dunia,
percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengacu pada diri sendiri. Pada tahun 1943, psikiater
lain Leo Kanner, menerapkan diagnosis "autisme infantil awal" kepada sekelompok anak yang
terganggu yang tampaknya tidak dapat berhubungan dengan orang lain, seolah-olah mereka
hidup dalam dunia mereka sendiri. Berbeda dari anak-anak dengan retardasi mental, anak-anak
ini tampaknya menutup diri dari setiap masukan dunia luar, menciptakan semacam "kesendirian
autistik" (Kanner, 1943).

Mereka yang bergerak di bidang kesehatan saat ini yakin bahwa autisme lebih sering muncul
daripada yang diyakini dahulu, yaitu menyerang sekitar 2 sampai 20 orang dari 10.000 orang
dalam populasi (APA, 2000; Fox, 2000). Gangguan yang lebih banyak terjadi pada anak laki-laki
ini umumnya mulai tampak pada anak usia 18-30 bulan (Rapin, 1997). Namun demikian, barulah
pada usia sekitar 6 tahun rata-rata anak yang mengalami gangguan ini untuk pertama kali
memperoleh diagnosis (Fox, 2000). keterlambatan dalam diagnosis dapat merugikan, karena
anak-anak autistik umumnya akan menjadi lebih baik bila memperoleh diagnosis dan
penanganan lebih awal (Fox, 2000).

Contoh Kasus Autisme

Peter minum susu dengan bersemangat, duduk dan berjalan pada usia yang sesuai. Namun
sebagian perilakunya membuat kami merasa tidak nyaman. la tidak pernah memasukkan apa pun
ke mulutnya. Tidak jarinya, tidak mainannya tidak apa pun juga ....

Lebih mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa Peter tidak memandang kami, atau tersenyum
dan ridak ikut dalam permainan yang merapakan bagian tak urpisahhan dari mase bayi sperti
popok. la jarang tertawa, dan bila ia melakukannya, itu disebabkan oleh hal-hal yang tidak lucu
bagi kami. la tidak smka memeluk, tetapi duduk tegak di pangkuan saya, babkan kerika saya
mengayunnya. Tetapi setiap anak berbeda dan kami senang membiarkan Peter menjadi dirinya
sendiri. Kami pikir merupakan hal yang lueu ketika saudara laki-laki saya berkunjung suat Peter
berusia 8 bulan, dan ia mengatakan "Anak ini tidak memiliki insting sosial sama sekali"
Walaupun Peter anak pertama, ia tidak terisolasi. Saya sering menaruh tempat bermainnya di
depan rumah dimana anak-anak sekolah akan berhenti dan bermain dengannya saat mereka
melewati rumah. la tidak mengacuhkan mereka juga

Kitty, anak yang berkarakter, yang lahir dua tahun kemudian. responsivitasnrya menekankan
adanya perbedaan pada Peter. Bila saya pergi ke kamar Kitty untak menyusuinya di malam
hari,kepala kecilnya akan menyembul dan ia menyapa saya dengan senyum dari kepala sampai
kakinya. Dan kesadaran tentang adanya perbedaan itu membuatku merasa beku, lebih dari kamar
yang dingin.

Ocehan Peter tidak berubah menjadi bahasa sampai usianya mencapai 3 tahun. la bermain secara
soliter dan repetitif la merobek keras menjadi potongan-potongan tipis yang jumlahnya
kerkeranjang-keranjang setiap harinya la memutar tutup toples dan merjadi kesal bila kami
mencoba mengalihkannya. Hanya kadang-kadang saja saya mendapatkan kontak matanya tetapi
kemudian saya melihat fokunya berubah dari mata saya menuju bayangan pada kacamata saya.
Petualangan Peter di lingkungan tetangga pinggiran kota kami tidak menggembirakan. Dia tidak
mengikuti aturan aturan umum bahwa pasir harus dimainkan di kotak pasir, dan anak-anak
memberi hukuman padanya. la tampak sebagai sosok yang sedih dan sendirian, selalu membawa
sebuah mainan kapal terbang yang tidak pernah dimainkannya. Pada saat itu, saya belum
mendengar kata yang mendominai kehidupan kami, yang selalu diucapkan pada setiap
percakapan, dan lyang duduk bersama pada setiap acara makan. Kata itu adalah autime

-Diadaptasi dari Eberhardhy, 1967

Anak-anak autistik sering digambarkan oleh orang tua mereka sehagai "bayi yang baik" di awal
masa balita. Ini biasanya berarti mereka tidak banyak menuntut. Namun, setelah mereka
berkembang mereka mulai menolak afeksi fisik seperti pelukan dan ciuman. Perkembangan
bahasanya berada di bawah standar. Walaupun Eric berkembang baik pada 16 bulan pertama
kehidupannya, anak-anak lain sering kali telah menunjukkan jarak sosial sejak tahun pertama,
seperti tidak mau memandang wajah orang lain (Osterling&Dawson, 1994). Ciri-ciri klinis dari
gangguan ini muncul sebelum usia 3 tahun (APA, 2000). Autisme merupakan gangguan yang
empat sampai lima kali lebih sering terdapat pada laki-laki daripada perempuan (APA, 2000)

Ciri-ciri Autisme Mungkin ciri autisme yang paling menonjol adalah kesendirian yang amat
sangat(lihat Tabel 14.1). Ciri-ciri lain mencakup masalah dalam bahasa, komunikasi, dan
perilaku ritualistik atau stereotip. Anak dapat pula tidak bicara, atau bila terdapat keterampilan
berbahasa, biasanya digunakan secara tidak lazim seperti dalam ekolalia (mengulang kembali
apa yang didengar dengan nada suara tinggi dan monoton); penggunaan kata ganti orang secara
terbalik (menggunakan "kamu atau "dia," bukan "saya"); menggunakan kata-kata yang hanya
dimengerti artinya oleh mereka kenal dekat dengan si anak; dan kecenderungan untuk
meninggikan nada suara di akhir kalimat, seolah-olah mengajukan pertanyaan. Dapat pula
terdapat hendaya komunikasi nonverbal, misalnya anak autistik tidak dapat melakukan kontak
mata atau menunjukkan ekspresi wajah. Mereka juga berespons secara lambat terhadap orang
dewasa yang berusaha mendapatkan perhatian mereka, itu juga bila mereka mau memperhatikan
(Leckam & Lopez, 2000). Walaupun mereka tidak responsif kepada orang lain, para peneliti
menemukan bahwa mereka dapat memperlihatkan emosi-emosi yg kuat, terutama emosi negatif
seperti marah, sedih, dan takut (Capps dkk., 1993; Kasari dkk., 1993).

Ciri utama dari autisme adalah gerakan stereotip berulang yang tidak memiliki tujuan-
berulang- ulang memutar benda, mengepakkan tangan, berayun ke depan dan ke belakang
dengan lengan memeluk kaki. Sebagian anak autistik menyakiti diri sendiri, Mereka mungkin
membenturkan kepala, menampar wajah, menggigit tangan dan pundak, atau menjambak rambut
mereka. Mereka dapat pula menjadi tantrum atau merasa panik secara tiba-tiba. Ciri lain dari
autisme adalah menolak perubahan pada lingkungan-ciri yang diberi istilah "penjagaan
kesamaan. Bila ada objek objek yang dikenal dan digeser dari tempatnya, walaupun sedikit, anak
autistik dapa menjadi tantrum atau menangis terus-menerus sampai objek tersebut dikembalikan
pada tempatnya. Seperti Eric, anak-anak autistik mungkin memaksa untuk makan makanan yang
sama setiap harinya.

Anak-anak autistik dikuasai oleh ritual. Guru dari seorang anak perempuan autistik berusia 5
tahun belajar untuk menyapanya setiap pagi dengan mengatakan "Selamat pagi Lily, saya sangat,
sangat senang bertemu kamu Diamond, Baldwin, & Diamong, 1963). Walaupun Lily tidak
berespon terhadap kata-kata tersebut namun ia akan berteriak bila gurunya menghilangkan salah
satu kata 'sangat' dari kalimat tersebut. Anak-anak autistik tampaknya gagal untuk
mengembangkan konsep diri yang terdiferensiasi, perasaan bahwa mereka merupakan individu
yang terpisah. Walaupun menunjukkan perilaku yang tidak biasa, sering kali mereka tampak
cukup menarik dan pandai. Namun, bila diukur berdasarkan tes-tes yang terstandarisasi,
perkembangan intelektual mereka cenderung berada di bawah normal. Tiga di antara empat anak
menunjukkan tanda-tanda retardasi mental (Rapin, 1997). Mereka yang intelegensinya berfungsi
pada taraf rata-rata tetap memperlihatkan defisit dalam aktivitas-aktivitas yang membutuhkan
kemampuan simbolisasi seperti mengenali emosi, berpartisipasi dalam bermain simbolik, dan
memecahkan masalah secara konseptual. Mereka juga menunjukkan kesulitan dalam tugas-tugas
yang melibatkan interaksi dengan orang lain. Walaupun demikian, hubungan antara autisme
dengan intelegensi sebenarnya tidak jelas, karena kesulitan dalam melakukan tes IQ pada anak-
anak ini. Pengetesan memerlukan kerja sama, suatu keterampilan yang amat ridak dimiliki oleh
anak-anak autistik. Hal yang paling mungkin dilakukan hanyalah memperkirakan kemampuan
intelektual mereka.

Perspektif Teoretis
Penyebab autisme belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan abnormalitas otak.
Awalnya, dari sudut pandang yang mensdiskreditkannya, penyebab tidak adanya kontak sosial
pada anak autistik dikatakan sebagai reaksi terhadap orang tua yang dingin dan mengambil jarak
"lemari es emosional" yang kurang memiliki kemampuan untuk menciptakan hubungan yang
hangat dengan anak-anak mereka. Penelitian-penelitian tidak dapat membuktikan asumsi ini-
yang dianggap menghancurkan hati banyak orang tua -bahwa mereka dingin dan jauh (Hoffmann
& Prior, 1982). Sudah tentu ada benarnya bahwa anak-anak autistik tidak memiliki hubungan
yang cukup baik dengan orang tua mereka, tetapi hubungan sebab Akibatnya masih diragukan.
Penolakan orang tua tidak menyebabkan autisme, tetapi orang tua dapat berubah menjadi
mengambil jarak usaha-usaha mereka untuk berhubungan dengan anak berkali-kali gagal. Jadi
sikap menjauh merupakan akibat dari autisme, bukan penyebab.

Psikolog O. Ivar Lovaas dan kawan-kawan (1979) menawarkan perspektif belajar-kognitif dari
autisme. Mereka menyatakan bahwa anak-anak autistik memiliki defisit perseptual sehingga
mereka anya dapat memproses satu stimulus saja pada waktu tertentu. Akibatnya mereka lambat
belajar secara clasical conditioning (asosiasi terhadap stimuli). Berdasarkan perspektif teori
belajar, anak-anak menjadi terikat dengan pengasuh utama mereka karena di asosiasi kan dengan
reinforcer primer seperti makanan dan pelukan. Anak-anak autistik memperlatikan makanan atau
pelukan, tetapi tidak menghubungkannya dengan orang tua.

Para teoretikus kognitif memfokuskan jenis-jenis defisit kognitif yang diperliharkan oleh anak-
anak autistik dan kemungkinan hubungan di antaranya. Anak-anak autistik tampaknya
mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan informasi dari berbagai indra (Rutter, 1983). Pada
waktu-waktu sensitif sehingga pengamatan akan berranya-tanya apakah merrka tuki. Defisit
perseptual dan kognitif tampaknya mengurangi kapasitas mereka untuk menggunakan informasi
untuk memahami dan menerapkan aturan-aturan sosial.

Penanganan

Walaupun autisme belum dapat disembuhkan, penelitian selama 30 tahun mendukung pentingnya
program penanganan perilaku yang intensif, yang menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk
mengurangi perilaku yang mengganggu dan meningkatkan keterampilan belajar serta
komunikasi pada anak-anak autistik (USDHHS, 1999a). Tidak ada pendekatan penanganan lain
yang memberikan hasil yang sama (Gill, 2001). Pendekatan perilaku didasarkan pada metode
operant conditioning di mana reward dan hukuman secara sistematis diaplikasikan untuk
meningkatkan kemampuan anak memperhatikan orang lain, bermain dengan anak lain,
mengembangkan keterampilan akademik dan menghilangkan perilaku self-mutilative.

Karena anak-anak autistik menunjukkan defisit perilaku, fokus utama dari modifikasi perilaku
adalah pengembangan perilaku baru. Perilaku-perilaku baru ini dipertahankan dengan adanya
reinforcer sehingga penting untuk mengajarkan kepada anak-anak ini, yang sering berespons
kepada orang lain seperti mereka berhadapan dengan benda mari, untuk menerima orang lain
sebagai reinforcer. Seseorang dapat dijadikan reinforcer dengan cara memasangkan pujian
dengan remforcer primer seperti makanan. Selanjutnya, reinforcer sosial (pujian) dan reinforcer
primer (makanan) ini dapat digunakan untuk membentuk dan memberi contoh perilaku di kamar
kecil, bicara, dan bermain sosial. Keterlibatan keluarga dan para terapis rumah dalam program
ini membantu mempertahankan dan menggeneralisasikan perubahan perilaku (Romanczyk.
1986). Teknik- teknik yang di dasarkan pada pemusnahan ( menahan pemberian reinforcer
terhadap respons) kadang-kadang digunakan untuk menghilangkan perilaku sef mutilative seperti
membenturkan kepala.

Namun cara ini sering kali gagal menghilangkan perilaku tersebur. Masalahnya terletak pada
pola-pola perilaku repetitif seperti berayun ke depan dan belakang, serta perilaku selfinjurious
yang bertahan karena adanya reinforcer internal seperti meningkatnya stimulasi. Sehingga
dihentikannya reinforcer sosial hanya akan berpengaruh kecil. Stimulasi aversif seperti memukul
dan, pada kasus ekstrem, kejutan listrik, dapat digunakan bila pendekatan yang lebih lunak
terbukti tidak efektif. Stimulasi listrik yang sedang tetapi cukup menyakitkan dapat
menghilangkan self-mutilation dalam penerapan selama satu menit (Lovaas, 1977). Penggunaan
kejutan listrik pada anak-anak sudah tentu mengundang pertanyaan tentang moral, etika dan
hukum. Lovaas mengatakan bahwa kegagalan untuk menghilang perilaku menyakiti diri
menempatkan anak pada risiko yang lebih besar akan bahaya fisik dan tidak memberikan
kesempatan pada anak untuk mengikuti bentuk-bentuk terapi lain. Penggunaan stimulasi aversif
seharusnya digabungkan dengan reinforcer positif bagi perilaku alternatif yang dapat diterima.

Program penanganan perilaku yang paling efektif amatlah intensif dan terstruktur, dengan
banyaknya pemberian instruksi individual (Rapin, 1997). Contoh klasik adalah program yang
dikermbangkan oleh psikolog O. Ivar Lovaas dari UCLA. Pada penelitian klasik oleh Lovaas
(1987), anak-anak autistik memperoleh lebih dari 40 jam terapi modifikasi perilaku secara
individual setiap minggunya, selama minimal 2 tahun. Peningkatan signifikan dalam aspek
intelektual dan pendidikan dilaporkan terjadi pada 9 dari 19 anak (47%) dalam program tersebut.
Anak-anak yang mengalami perbaikan mencapai skor IQ normal dan dapat berhasil di kelas 1
SD. Hanya 2% dari kelompok kontrol yang tidak menerima penanganan intensif mencapai hasil
yang sama. Hasil penanganan tetap bertahan saat studi lanjutan ketika anak-anak berusia 11
tahun (McEachin, Smith, & Lovaas, 1993).

Retardasi Mental

Sekitar 1% dari populasi mengalami retardasi mental (mental retardation), yaitu keterlambatan
yangmencakup rentang yang luas dalam perkembangan fungsi kognitif dan sosial (APA, 2000).
Perkembangan retardasi mental bervariasi. Banyak anak dengan retardasi mental menjadi lebih
baik seiring berjalannya waktu, terutama bila mereka mendapatkan dukungan, bimbingan, dan
kesempatan pendidikan yang besar. Mereka yang tumbuh dalam lingkungan yang kurang
mendukung dapat mengalami kegagalan untuk berkembang atau kemunduran dalam
hubungannya dengan anak-anak lain.

Retardasi mental didiagnosis berdasarkan kombinasi dari 3 kriteria; (1) skor rendah pada
intelegensi formal (skor IQ kira-kira 70 atau di bawahnya); (2) adanya bukti hendaya dalam
melakukan tugas sehari-hari dibandingkan dengan orang lain yang seusia dalam lingkup budaya
tertentu; dan (3) perkembangan gangguan terjadi sebelum usia 18 tahun (APA, 2000; Robinson,
Zigler, & Gallagher, 2001).

DSM mengklasifikasikan retardasi mental berdasarkan tingkat keparahannya, Sebagian besar


anak dengan retardasi mental (sekitar 85% ) berada pada taraf ringan. Anak-anak ini umumnya
mampu memenulhi tuntutan akademik dasar seperti belajar membaca cerita sederhana. Setelah
dewasa mereka umumnya dapat berfungsi walaupun mereka mungkin membutuhkan bimbingan
dan dukungan. Memberikan deskripsi tentang defisit-defisit dan kemampuan-kemampuan yang
berkaitan dengan berbagai tingkat retardasi mental.

Penyebab Retardasi

Retardasi mental dapat disebabkan oleh aspek biologis, psikososial, atau kombinasi keduanya
(APA, 2000). Penyebab biologis mencakup gangguan kromosom dan genetis, penyakit infeksi,
dan penggunaan alkohol pada saat ibu mengandung. Walaupun demikian, lebih dari separuh
kasus retardasi mental tetap tidak dapat dijelaskan, terutama yang tergolong dalam retardasi
mental ringan (Flint dkk, 1995). Kasus-kasus yang tidak dapat dijelaskan ini mungkin
melibatkan penyebab dari unsur budaya atau keluarga, seperti pengasuhan dalam lingkungan
rumah yang miskin. Atau mungkin penyebabnya merupakan interaksi antara faktor psikososial
dan genetis, hal yang masih amat minim dipahami (Thaper dkk., 1994).

Sindrom Down dan Abnormalitas Kromosom Lainnya Abnormalitas kromosom yang paling
umum menyebabkan retardasi mental adalah sindrom Down (Down syndrome) yang ditandai
oleh adanya kelebihan kromosom atau kromosom ketiga pada pasangan kromosom ke-21,
sehingga menyebabkan jumlah kromosom menjadi 47, bukan 46 seperti pada individu normal
(Wade, 2000). Sindrom Down terjadi pada sekitar 1 dari 800 kelahiran. Kondisi ini biasanya
terjadi bila pasangan kromosom ke-21 pada sel telur atau sperma gagal untuk membelah secara
normal sehingga mengakibatkan ekstra kromosom. Abnormalitas kromosom akan lebih sering
terjadi seiring dengan bertambahnya usia orang tua. Oleh karena itu, pasangan yang berada pada
pertengahan 30 atau lebih yang sedang menantikan kehadiran bayi, sering menjalani tes genetis
prenatal untuk mendeteksi sindrom Down dan abnormalitas genetis. Sindrom Down dapat
dilacak melalui kerusakan kromosom ibu pada sekitar 95% kasus (Antonarakas dkk., 1991),
sementara sisanya adalah kerusakan pada sperma ayah.
Anak dengan sindrom Down dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri fisik tertentu, seperti wajah
bulat, lebar, hidung datar, dan adanya lipatan kecil yang mengarah ke bawah pada kulit di bagian
ujung mata yang memberikan kesan mata sipit. Lidah yang menonjol, tangan yang kecil dan
berbentuk segi empat dengan jari-jari pendek, jari kelima yang melengkung, dan ukuran tangan
dan kaki yang kecil serta tidak proporsional dibandingkan keseluruhan tubuh juga merupakan
ciri-ciri anak dengan sindrom Down. Hampir banyak di antara mereka mengalami masalah fisik,
seperti gangguan pada pembentukan jantung

dan kesulitan pernapasan. Yang menyedihkan, sebagian besar meninggal pada usia pertengahan.
Pada tahun-tahun terakhir hidup, mereka cenderung kehilangan ingatan dan mengalami emosi
yang kekanak-kanakan yang menandai senilitas.

Anak-anak dengan sindrom Down menderita berbagai defisit dalam belajar dan perkembangan.
Mereka cenderung tidak terkoordinasi dan kurang memiliki tekanan otot yang cukup sehingga
sulit bagi mereka untuk melakukan tugas-tugas fisik dan terlibat dalam aktivitas bermain seperti
anak-anak lain. Anak-anak ini mengalami defisit memori, khususnya untuk informasi yang
ditampillkan secara verbal, sehingga sulit untuk belajar di sekolah. Mereka juga mengalami
kesulitan mengikuti instruksi dari guru dan mengekspresikan pemikiran atau kebutuhan mereka
dengan jelas secara verbal. Di samping kesulitan-kesulitan tersebut, sebagian besar dapat belajar
membaca, menulis, dan mengerjakan tugas-tugas aritmetika sederhana bila mereka menerima
pendidikan yang tepat dan dukungan yang baik.

Walaupun lebih jarang terjadi daripada sindrom Down, abnormalitas kromosom pada kromosom
seks dapat mengakibatkan retardasi mental, misalnya pada sindrom Klinefelter dan sindrom
Turner. Sindrom Klinefelter, yang hanya muncul pada laki-laki, ditandai oleh adanya ekstra
kromosom X sehingga menghasilkan pola kromosom XXY dan bukan XY yang biasanya
dimiliki laki-laki normal. Estimasi prevalensi dari gangguan ini berkisar antara 1 di antara 500
sampai 1 di antara 1.000 kelahiran bayi laki-laki (Brody, 1993c). Pria dengan pola XXY ini gagal
mengembangkan karakteristik seks sekunder yang tepat sehingga mengakibatkan adanya testis
yang kecil dan tidak berkembang sempurna, produksi sperma yang rendah, pembesaran
payudara, perkembangan otot yang kurang baik dan infertilitas. Retardasi mental atau gangguan
belajar sering muncul pada pria ini. Pria dengan sindrom Klinefelter ini sering kali tidak
merasakan gangguan ini sampai mereka melakukan tes fertilitas.

Sindrom Turner ditemukan hanya pada wanita yang di tandai oleh adanya kromosom seks X
tunggal dan bukannya ganda seperti pada wanita normal. Walaupun anak perempuan akan
mengembangkan genital luar yang normal namun indung telur tidak berkembang dengan baik
dan menghasilkan sedikit estrogen. Setelah dewasa,mereka cenderung lebih pendek dan infertil.
Mereka juga cenderung mengalami retardasi ringan, terutama dalam keterampilan matematika
dan ilmu pengetahuan alam.
Sindrom Fragile X dan Abnormalitas Genetis lainnya Sindrom fragile X merupakan tipe
umum dari retardasi mental yang di wariskan (Kwon dkk., 2001). Gangguan ini merupakan
bentuk retardasi mental yang paling sering muncul setelah Sindrom Down (plomin dkk., 1994).
Gangguan imi di percaya di sebabkan oleh mutasi gen kromosom yang tampak rapuh, sehingga
di sebut sindrom flagile X (flagile X syndrome). Sindrom ini menyebabkan retardasi mental
pada 1.000 sampai 1.500 pria dan (biasanya tidak terlalu parah) hambatan mental pada setiap
2.000 sampai 2.500 perempuan (Angier, 1991b; Rousseau dkk., 1991). efek dari sindrom fragile
X berkisar antara gangguan belajar ringan sampai retardasi parah yang bisa menyebabkan
gangguan bicara dan fungsi yang berat.

Perempuan biasanya memiliki dua kromosom X, sementara laki-laki hanya satu. Pada
perempuan, memiliki dua kromosom X tampaknya memberikan perlindungan dari gangguan ini
bila kerusakan terjadi pada salah satunya (Angier, 1991b). Hal ini dapat menjelaskan mengapa
gangguan ini umumnya akan berdampak lebih parah pada laki-laki daripada perempuan. Namun
demikian, mutasi ini tidak selalu terlihat. Banyak perempuan dan laki-laki yang mengalami
mutasi kromosom X tapi tidak menunjukkan bukti-bukti klinis dari mutasi tersebut, tetapi
mereka dapat menurunkan sindrom ini pada keturunan mereka.

Tes genetis dapat mendeteksi adanya mutasi dengan analisis DNA langsung (Rousseau dkk.,
1991) dan dapat membantu calon orang tua konseling genetis. Tes prenatal pada bayi dalam
kandungan juga mungkin dilakukan (Sutherland dkk., 1991). Walaupun tidak ada penanganan
bagi sindrom fragile X, mengidentifikasi gen yang rusak adalah langkah pertama ke arah
pemahaman bagaimana protein yang dihasilkan oleh gen dapat mengakibatkan ketidak
mampuan, yang menyebabkan perkembangan penanganan di masa datang 1991b).

Phenylketonuria (PKU) merupakan gangguan genetis yang Terjadi pada 1 di antara 10.000
kelahiran (Plomin dkk. 1994) Gangguan ini disebabkan adanya satu gen resesif yang
menghambat anak untuk melakukan metabolisme asam amino phenylalanine yang terdapat pada
banyak makanan. Konsekuensinya, phenylalanine dan turunannya, asam phenylpyruvic,
menumpuk dalam tubuh menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat yang mengakibatkan
retardasi mental dan gangguan emosional. Adanya PKU dapat dideteksi pada bayi dengan
menganalisis darah atau air seni. Walaupun tidak ada pengobatan untuk menyembuhkan PKU,
anak-anak dengan gangguan ini mungkin tidak mengalami kerusakan yang berat atau dapat
berkembang secara normal bila mereka melakukan diet rendah phenylalanine segera setelah
kelahiran (Brody, 1990). Mereka menerima suplemen protein untuk mengganti kekurangan
nutrisi.

Saat ini berbagai tes prenatal dapat mendeteksi adanya abnormalitas kromosom dan gangguan
genetis. Pada amniocentesis, yang biasanya dilakukan 14-15 minggu setelah pembuahan, sampel
cairan amniotik dari kantong amniotik bayi diambil dengan menggunakan jarum suntik. Sel -sel
dari terus dapat di pisahkan dari cairan ini, di biarkan dalam cairan tertentu, dan di periksa
abnormalitasnya, termasuk Sindrom Doen. Pemerikasaan darah juga di gunakan untuk
mendeteksi adanya bawaan dari gangguan-gangguan lain.

Faktor-faktor Prenatal Beberapa kasus retardasi mental disebabkan oleh infeksi atau
penyalahgunaan obat selama ibu mengandung. Rubella (cacar Jerman) pada ibu, misalnya, dapat
ditularkan pada bayi yang belum lahir, mengakibatkan kerusakan otak sehingga menyebabkan
retardasi, dan ini berperan juga pada autisme. Walaupun ibu hanya mengalami simtom-simtom
ringan atau tidak merasakannya sama sekali, efeknya pada terus amat tragis. Penyakit ibu yang
juga dapat menyebabkan retardasi pada anak adalah sifilis, cytomegalovirus, dan herpes genital.

Program-program imunisasi perempuan terhadap rubella sebelum kehamilan dan tes untuk
mendeteksi sifilis selama kehamilan telah mengurangi risiko berpindahnya infeksi-infeksi ini
kepada anak-anak. Sebagian besar anak yang tertular herpes genital dari ibu mengalaminya pada
saat kelahiran yaitu karena adanya kontak dengan virus herpes simpleks pada saluran kelahiran.
Operasi caesar mengurangi risiko bayi terkena virus saat proses kelahiran.

Obat-obatan yang digunakan ibu selama kehamilan dapat mempengaruhi bayi melalui plasenta.
Sebagian dapat menyebabkan cacat fisik dan retardasi mental yang parah. Anak-anak yang
ibunya minum alkohol selama kehamilan sering lahir dengan sindrom alkohol fetal (fetal alcohol
syndromel FAS). FAS merupakan kasus yang paling nyata sebagai penyebab retardasi mental.
Ibu yang merokok selama kehamilan juga dikaitkan dengan terjadinya ADHD pada anak-anak
(Milberger. dkk., 1996).

Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan oksigen atau cedera kepala, menempatkan anak pada
risiko yang lebih besar terhadap gangguan neurologis, termasuk retardasi mental. Kelahiran
prematur juga menimbulkan risiko retardasi mental dan gangguan perkembangan lainnya. Infeksi
otak, seperti encephalitis dan meningitis, atau trauma selama masa bayi dan kanak-kanak awal
dapat menyebabkan retardasi mental dan gangguan kesehatan lainnya. Anak-anak yang terkena
racun, seperti cat yang mengandung timah, juga dapat mengalami kerusakan otak yang
menyebabkan retardasi mental.

Penyebab-penyebab Budaya-Keluarga Sebagian besar kasus retardasi mental termasuk dalam


rentang tingkat keparahan yang ringan. Pada sebagian besar kasus ini, tidak terdapat penyebab
biologis yang nyata atau perbedaan ciri-ciri fisik yang membedakan seorang anak dengan anak-
anak lain. Fakror-faktor psikososial, seperti lingkungan rumah atau sosial yang miskin, yaitu
yang tidak memberikan stimulasi intelektual, penelantaran atau kekerasan dari orang tua, dapat
menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam perkembangan retardasi mental pada anak-
anak ini. Adanya kaitan keluarga terbukti dari suatu studi di Atlanta yang menunjukkan bahwa
ibu-ibu yang tidak lulus SMA.

kemungkinannya empat kali lipat lebih besar untuk memiliki anak-anak dengan retardasi mental
ringan dibandingkan ibu-ibu yang berpendidikan (Drews dkk., 1995). Kasus-kasus ini dianggap
retardasi budaya-keluarga (cultural-familial retardation). Anak-anak dalam keluarga yang
miskin mungkin kekurangan mainan, buku, atau kesempatan untuk berinteraksi dengan orang
dewasa melalui cara-cara yang menstimulasi secara intelektual. Akibatnya, mereka gagal
mengembangkan keterampilan bahasa yang tepat atau keterampilan-keterampilan yang penting
dalam masyarakat kontemporer. Beban-beban ekonomi, seperti keharusan memiliki lebih dari
satu pekerjaan, dapat menghambat orang tua untuk meluangkan waktu membacakan buku pada
anak-anak, mengobrol panjang lebar, dan memperkenalkan mereka pada permainan kreatif atau
rekreasi ke museum dan taman. Anak-anak mungkin menghabiskan sebagian besar hari mereka
di depan TV. Para orang tua, yang pada umumnya juga diasuh dalam kemiskinan, kurang
memiliki kererampilan membaca atau berkomunikasi untuk membantu mengembangkan
keterampilan-keterampilan ini pada anak-anak mereka. Lingkaran kemiskinan dan buruknya
peerkembangan intelektual dapat berulang dari generasi ke generasi.

Anak-anak dengan bentuk retardasi ini dapat berespons secara dramatis bila diberi pengalaman
belajar yang kaya, terutama pada usia dini. Program-program sosial seperti Head Start, misalnya
telah membantu anak-anak dengan risiko retardasi budaya-keluarga agar berfungsi dalam
rentang kemampuan yang normal (misalnya, Barnett & Escobar, 1990).

Intervensi

Pelayanan yang dibutuhkan oleh anak-anak dengan retardasi mental untuk memenuhi tuntutan
perkembangan, sebagian bergantung pada derajat keparahan dan tipe retardasi (Dykens &
Hodapp, 1997: Snell, 1997). Dengan pelatihan yang tepat, anak-anak dengan retardasi ringan
dapat mencapai kemampuan setara dengan anak kelas 6 SD. Mereka dapat menguasai
keterampilan-keterampilan vokasional yang memungkinkan mereka untuk membiayai diri
sendiri melalui pekerjaan yang bermakna. Banyak anak-anak seperti ini dapat bersekolah di kelas
reguler. Sebaliknya, anak-anak dengan retardasi mental berat atau parah membutuhkan
penanganan institusi atau di tempatkan pada pusat pelayanan residensial (residential care) yang
ada di komunitas, misalnya group home. Penempatan di institusi sering kali didasarkan pada
kebutuhan untuk mengontrol perilaku destruktif atau agresif, bukan karena parahnya gangguan
intelektual. Pertimbangkanlah kasus seorang anak dengan retardasi mental.

Kontroversi mengenai apakah anak-anak dengan retardasi mental harus diikutkan pada kelas
reguler ditempatkan pada kelas-kelas dengan pendidikan khusus masih terjadi. Waiaupun
sebagian anak dengan retardasi ringan dapat berprestasi lebih baik bila mereka berada di sekolah
umum, yang lainnya mungkin tidak seperti itu. Mereka mungkin merasa kelas-kelas ini terlalu
berat dan akhirnya menarik diri dari teman-teman mereka. Terdapat pula tren untuk tidak
menempatkan orang dengan retardasi mental berat di institusi, perubahan ini dipicu oleh
kemarahan masyarakat terhadap kondisi yang mengerikan di institusi-institusi yang menangani
anak-anak tersebut. Di Amerika, undang-undang mengenai Hak untuk Penyandang Cacat (The
Developmentally Disabled Assistance and Bill of Rights Act) yang disahkan Kongres pada tahun
1975, menyatakan bahwa individu dengan retardasi mental memiliki hak untuk menerima
penanganan yang layak dalam lingkup yang tidak terlalu membatasi. Dalam skala nasional,
jumlah institusi bagi orang-orang dengan retardasi mental menciut hampir dua pertiganya selama
tahun 1970-an sampai 1990-an.

Orang-orang dengan retardasi mental yang mampu berfungsi dalam masyarakat memiliki hak
untuk menerima penanganan yang tidak terlalu membatasi seperti yang mereka peroleh di
institusi besar. Banyak di antaranya yang mampu hidup di luar institusi dan ditempatkan di
kompleks perumahan di bawah pengawasan. Para penghuni biasanya berbagi tanggung jawab
pekerjaan rumah dan didorong untuk berpartisipasi dalam kegiatan harian yang bermakna,
seperti program-program pelatihan atau bengkel kerja. Sebagian lainnya tinggal dengan keluarga
mereka dan menghadiri program-program harian yang terstruktur. Orang dewasa dengan
retardasi ringan sering bekerja di luar rumah dan tinggal di apartemen pribadi atau berbagi
apartemen dengan mereka yang memiliki gangguan yang sama. Walaupun pengeluaran pasien
jiwa dalam skala besar dari institusi-institusi psikiatrik telah menyebabkan masalah sosial yang
besar dan meningkatkan jumlah penduduk Amerika yang tidak memiliki rumah tinggal,
deinstitusionalisasi para penderita retardasi mental ringan ini dapat dikatakan sukses (Winerip,
1991).

Anak-anak dan orang dewasa dengan retardasi mental mungkin membutuhkan konseling
psikologis untuk membantu menyesuaikan diri dengan kehidupan di masyarakat. Banyak di
antara mereka memiliki kesulitan dalam berteman dan terisolasi secara sosial. Masalah yang
berkaitan dengan self-esteem umum terjadi, terutama karena orang-orang dengan retardasi
mental sering kali direndahkan dan dijadikan bahan ejekan. Konseling suportif dapat
digabungkan dengan teknik-teknik perilaku yang membantu mereka memperoleh keterampilan-
keterampilan mengenai kesehatan pribadi, pekerjaan, dan hubungan sosial. Pendekatan perilaku
yang lebih tersuruktur dapat digunakan untuk mengajar orang-orang dengan tingkat retardasi
yang lebih berat, misalnya mengajarkan perilaku kesehatan dasar seperti menggosok gigi,
memakai pakaian, dan menyisir rambut.

Knik-teknik penanganan perilaku lainnya mencakup pelatihan keterampilan sosial, yang


mefocuskan pada peningkatan kemampuan individu untuk berhubungan secara efektif dengan
orang lain, dan pelatihan pengelolaan amarah (anger management) untuk membantu individu
mengembangkan cara-cara yang lebih efektif dalam mengatasi konflik tanpa bertindak agresif
(Huang&Cuvo, 1997; Rose, 1996).

Anak-anak dengan retardasi mental memiliki peluang tiga atau empat kali lebih besar dariPada
anak normal untuk mengalami gangguan psikologis lain, seperti ADHD, depresi, atau gangguan
kecemasan (Borthwick-Duffy, 1994). Sebanyak tiga dari empat laki-laki dengan sindrom fragile
X, misalnya, juga mengalami ADHD (Matson & Sevin, 1994). Para ahli kesehatan mental masih
lambat dalam mengetahui prevalensi masalah-masalah kesehatan mental pada orang-orang
dengan retardasi mental. Mungkin hal ini disebabkan oleh perbedaan konseptual yang ada
selama ini antara hendaya emosional di satu sisi dan defisit intelektual di sisi lain (Nezu, 1994).
Banyak ahli yang berasumsi (secara salah) bahwa orang-orang yang menderita retardasi mental
bagaimanapun kebal terhadap masalah-masalah psikologis atau bahwa mereka dianggap kurang
memiliki kemampuan verbal yang dibutuhkan untuk psikoterapi (Butz, Bowlling, & Bliss, 2000;
Nezu, 1994). Dengan adanya keyakinan-keyakinan tersebut maka tidak mengherankan bila
banyak masalah-masalah psikologis pada orang-orang dengan retardasi mental menjadi
terabaikan dan tidak ditangani (Reiss & Valenti-Hein. 1994). Namun, bukti-bukti menunjukkan
bahwa orang-orang dengan retardasi mental dapat terbantu dengan psikoterapi (Bütz dkk.,2000).

Anda mungkin juga menyukai