Anda di halaman 1dari 41

FARMAKOTERAPI TERAPAN

STUDI KASUS I

“ HIPERTENSI DAN DISLIPIDEMIA“

Oleh :
Dwi Aftiningsih 192211101017
Taffana Windy Hananta 192211101018
Fara Sukma Farkha 192211101019
Dwipa Noor M.U 192211101020
Dindha Pratiwi S 192211101021
Riska Fauriyah 192211101022
Jumahwi 192211101023
Alik Almawadah 192211101024

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berkembangnya pola makan dan gaya hidup masyarakat seiring dengan


perkembangan dunia menyebabkan adanya transisi epidemiologi penyakit.
Penyakit tidak menular merupakan suatu penyakit kronis yang tidak menular dari
satu orang ke orang lainnya (Ulfah dkk., 2017). Menurut Badan Kesehatan Dunia
pada Tahun 2008, penyakit tidak menular akan berkembang pesat 3,4 kali
daripada sebelumnya dengan kasus kematian sebanyak 57 juta jiwa (36%). Selain
itu juga, diperkirakan pada tahun 2010 hingga 2020 kasus kematian karena
penyakit tidak menular ini akan meningkat sebanyak 15% (Budiman dkk., 2015).
Kasus kematian akibat penyakit tidak menular ini diantaranya kanker, jantung,
diabetes melitus, paru-paru, dan penyakit kronik lainnya (Ulfah dkk., 2017). Salah
satu penyakit tidak menular yang dapat menyebabkan kematian dan komplikasi
terutama yang berhubungan dengan sistem kardiovaskuler adalah hipertensi dan
dislipidemia.
Hipertensi dan dislipidemia merupakan dua faktor risiko utama penyakit
kardiovaskular (CVD). Hipertensi didefinisikan sebagai suatu kodisi terjadinya
peningkatan tekanan darah (BP) arteri (sistolik dan diastolik), maupun keduanya
secara persisten (Koda-Kimble dkk., 2009). Beberapa faktor resiko penyebab
hipertensi yaitu umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, genetik (faktor resiko yang
tidak terkontrol), kebiasaan merokok, konsumsi garam, lemak jenuh, minuman
beralkohol, obesitas, kurang aktifitas fisik, stres dan penggunaan estrogen.
Berdasarkan hasil Sirkesnas 2016, tekanan darah di Indonesia pada usia ≥18 tahun
meningkat sebesar 6,6% dari 25,8% menjadi 32,4% dibandingkan tahun 2013.
Prevalensi hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan laki-
laki pada usia ≥ 64 tahun, tekanan darah dapat meningkat seiring bertambahnya
usia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Tujuan pengobatan
penyakit hipertensi adalah untuk memperbaiki gejala, mengurangi resiko
komplikasi, mengurangi angka kematian, dan meningkatkan kualitas hidup
pasien. Terapi dalam tata laksana penyakit hipertensi digolongkan menjadi dua
yaitu terapi non farmakologi dan farmakologi. Terapi non farmakologi atau tanpa
menggunakan obat dilakukan dengan perubahan gaya hidup seperti penurunan
berat badan, diet garam (1,5 g/hari atau 3,8 g/hari NaCl) dan olahraga (DiPiro
dkk., 2015).
Dislipidemia merupakan kelainan komponen lemak yang meliputi
kenaikan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, kenaikan kadar trigliserida,
serta penurunan kadar kolesterol HDL, atau kombinasi diantaranya (DiPiro dkk.,
2015). Kolesterol merupakan faktor resiko yang dapat dirubah dari hipertensi,
sehingga semakin tinggi kadar kolesterol total maka akan semakin tinggi
kemungkinan terjadinya hipertensi (Pan dkk., 2018). Penderita hipertensi yang
memiliki kadar kolesterol total yang tinggi memiliki tekanan darah yang lebih
tinggi daripada pasien yang memiliki kadar kolesterol total yang normal. Lemak
jenuh adalah lemak yang banyak mengandung kolesterol dan jenis kolesterol ini
mudah membuat plak sehingga dapat mengakibatkan gangguan peredaran darah.
Jika kadar kolesterol melebihi batas normal akan menyebabkan aterosklerosis.
Aterosklerosis akan menyumbah pembuluh darah arteri. Dinding-dinding
pada saluran arteri yang mengalami arterosklerosis akan menjadi tebal, karena
tumpukan kolesterol. Tumpukan kolesterol menyebabkan saluran arteri
mengalami proses penyempitan, pengerasan, kehilangan kelenturannya, dan
menjadi kaku (Crowther, 2005). Berbagai penelitian epidemiologi, biokimia
maupun eksperimental melaporkan bahwa kolesterol memiliki peranan penting
terhadap terbentuknya aterosklerosis. Apabila sel-sel otot arteri tertimbun lemak
maka elastisistasnya akan menghilang dan berkurang dalam mengatur tekanan
darah sehingga akan terjadi berbagai penyakit seperti hipertensi, aritmia, stroke,
dan lain-lain. Hipertensi berhubungan dengan abnormalitas lipid kolesterol total
yang dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi. Kadar total kolesterol
serum meningkat sesuai dengan peningkatan tekanan darah. Konsentrasi serum
pada penderita hipertensi lebih tinggi daripada serum normotensif,
mengindikasikan risiko komplikasi kardiovaskuler dan cerebrovaskuler yang lebih
besar seperti penyakit jantung koroner dan stroke pada pasien hipertensi dengan
kadar kolesterol tinggi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dan klasifikasi dari hipertensi dan dislipidemia?
2. Apa etiologi dari penyakit hipertensi dan dislipidemia ?
3. Apa saja tanda dan gejala dari hipertensi dan dislipidemia?
4. Bagaimana patofisiologi dari hipertensi dan dislipidemia?
5. Bagaimana penatalaksanaan terapi dari hipertensi dan dislipidemia?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dan klasifikasi dari hipertensi dan dislipidemia?
2. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit hipertensi dan dislipidemia ?
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari hipertensi dan dislipidemia?
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari hipertensi dan dislipidemia?
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan terapi dari hipertensi dan
dislipidemia?
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIPERTENSI
2.1.1. Definisi dan Klasifikasi
Hipertensi berasal dari kata latin hyper yang berarti super atau luar
biasa, dan kata latin tensio yang berarti tegangan atau tekanan sehingga
diartikan tekanan yang luar biasa dan sekarang terkenal dengan nama tekanan
darah tinggi atau hipertensi (Noerhadi, 2008). Hipertensi didefinisikan oleh
Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High
Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 120/90 mmHg.
 Klasifikasi hipertensi menurut The Joint National Committee (JNC 7) :
Klasifikasi Tekanan darah Tekanan darah
sistolik (mmHg) diastolik (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 90-99
Hipertensi stage 2 ≥160 ≥100

 Klasifikasi hipertensi menurut WHO dan International Society of


Hypertension Working Group (ISHWG) :
Kategori TD Sistolik TD Diastolik
Optional < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Normal - Tinggi 130-139 85-89
Tingkat 1 (Hipertensi Ringan) 140-159 90-99
Sub-group: perbatasan 140-149 90-94

Tingkat 2 (Hipertensi 160-179 100-109


Sedang)
Tingkat 3 (Hipertensi Berat) ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 < 90
(Isolated systolic
hypertension)
Sub-group: perbatasan 140-149 <90
Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi
sistolik, hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran.
a. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) merupakan
peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik
dan umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik berkaitan
dengan tingginya tekanan pada arteri apabila jantung berkontraksi
(denyut jantung). Tekanan sistolik merupakan tekanan maksimum
dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai
tekanan atas yang nilainya lebih besar.
b. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan
tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya
ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Hipertensi diastolik
terjadi apabila pembuluh darah kecil menyempit secara tidak normal,
sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya
dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik
berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam keadaan
relaksasi di antara dua denyutan.
c. Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan sistolik dan
diastolik.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu
hipertensi primer atau essensial dan hipertensi sekunder.
a. Hipertensi primer atau essensial adalah hipertensi yang tidak/belum
diketahui penyebabnya.
b. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan dari adanya
penyakit lain.
Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan
gejala, meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan
dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi (padahal
sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan
dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan, yang bisa saja terjadi
baik pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan
darah yang normal (Price, 2005).

2.1.2. Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit hipertensi dapat terbagi menjadi dua
jenis, diantaranya:
a. Hipertensi Primer
Hipertensi primer atau hipertensi essensial adalah hipertensi tanpa
kelainan dasar patofisiologi yang jelas (idiopatik). Lebih dari 90% pasien
dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial. Hipertensi primer ini tidak
dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Penyebab hipertensi meliputi
faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan
terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah
terhadap vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang
dimaksud dengan faktor lingkungan antara lain kebiasan merokok, stress
emosi, obesitas, dan lain-lain (Nafrialdi, 2009).
b. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang diketahui penyebabnya dan
terjadi pada 5-10% kasus hipertensi. Hipertensi sekunder terjadi karena
adanya penyakit atau penggunaan obat-obatan tertentu yang secara langsung
ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi
dengan menaikkan tekanan darah.
Tabel 1. Penyebab hipertensi sekunder yang dapat diidentifikasi
(Depkes RI, 2006)
Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau
penyakit renovaskular adalah penyebab hipertensi sekunder yang paling
sering (Oparil, 2003).

2.1.3. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa nyeri kepala saat terjaga
yang kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan tekanan
darah intrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan retina, ayunan langkah
tidak mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia (peningkatan urinasi
pada malam hari) karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerolus, edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler. Keterlibatan
pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien
yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi atau hemiplegia
atau gangguan tajam penglihatan. Gejala lain yang sering ditemukan adalah
epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar
tidur, dan mata berkunang-kunang.
Pasien dengan hipertensi primer tanpa komplikasi biasanya tidak
menunjukkan gejala. Sedangkan pada pasien dengan hipertensi sekunder,
gejala yang timbul tergantung pada gangguan yang mendasarinya. Pasien
hipertensi dengan pheochromocytoma dapat mengalami sakit kepala,
berkeringat, takikardia, jantung berdebar, dan hipotensi ortostatik. Pasien
hipertensi dengan aldosteronisme primer gejala hipokalemik dari kram otot dan
kelemahan mungkin ada. Pasien hipertensi dengan Cushing syndrome dapat
mengalami kenaikan berat badan, poliuria, edema, ketidak teraturan
menstruasi, jerawat, atau kelemahan otot (DiPiro dkk., 2015).

2.1.4. Patofisiologi Hipertensi


Mekanisme yang mengontrol konriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak dipusat vasomotor pada medulla di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula saraf simpatis yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar
dari kolumna medulla spinalis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin yang akan merangsang serabut saraf
pascaganglion kepermukaan darah, dimana dengan dilepaskannya norpinefrin
mengakibatkan kontriksi pembuluh darah.
Pada saat bersamaan dimana saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respon rangsangan emosi, kelenjar adrenal juga terangsang
mengakibatkan terjadinya vasokontriksi. Korteks adrenal mengekresikan
kortisol dan steroid lainnya dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh
darah. Vasokontriktor yang menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal
dapat menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan
angiostesin I yang kemudian diubah menjadi angiostesin II, suatu
vasokontriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh
korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan resistensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal sehingga menyebabkan peningkatan volume intravaskuler.
Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.

2.1.5. Komplikasi Hipertensi


Hipertensi dapat menyebabkan beberapa komplikasi pada beberapa
organ, diantaranya adalah :
a. Otak, diantaranya penyakit stroke dan transient ischemic attack
b. Mata, diantaranya retinopathy
c. Jantung, diantaranya left ventricular hypertrophy, angina, myocardial
infraction, gagal jantung,
d. Ginjal, diantaranya gagal ginjal kronik
e. Pembuluh darah perifer, diantaranya peripheral arterial disease

2.1.6. Tata Laksana Terapi


Tujuan umum terapi hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan
morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi. Mengurangi resiko
merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan pilihan terapi obat dipengaruhi
secara bermakna oleh bukti yang menunjukkan pengurangan resiko. Terapi
hipertensi terbagi menjadi dua yaitu non-farmakologi dan farmakologi.
a. Terapi Non Farmakologi
Menurut JNC VII penyakit hipertensi dapat disembuhkan dengan beberapa
perubahan gaya hidup pasien. Gaya hidup sehat sangat penting dilakukan oleh
semua orang untuk pencegahan tekanan darah tinggi dan merupakan
manajemen bagian yang tak bisa lepas dari penderita hipertensi. Modifikasi
gaya hidup terbukti dapat menurunkan tekanan darah serta dapat menurunkan
berat badan pada orang-orang yang obesitas. Perencanaan makanan dengan
Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) yang direkomendasikan
oleh National Heart, Lung, and Blood Institute. Diet untuk menghentikan
hipertensi yaitu dengan rencana makan kaya akan kalium dan kalsium,
pengurangan natrium, aktivitas fisik dan konsumsi alkohol yang tidak
berlebihan. Modifikasi gaya hidup mengurangi TD, meningkatkan efek terapi
obat antihipertensi, dan mengurangi risiko kardiovaskular.
Selain perubahan gaya hidup, menurut American Association Heart,
(2017) hipertensi dapat diatasi dengan terapi non farmakologi sebagai berikut:
Terapi non farmakologis menurut guideline AHA yang dapat dilakukan
diantaranya:
 Perencanaan makanan dengan Dietary Approaches to Stop Hypertension
(DASH). Diet ini tinggi akan buah-buahan, sayuran, gandum utuh, dan
produk olahan sapi yang rendah lemak sehingga meningkatkan asupan
potasium, magnesium, dan serat serta menurunkan kandungan lemak jenuh
dan lemak total. Diet ini dapat menurunkan tekanan darah sistolik
sebanyak 11 mmHg pada orang dengan hipertensi dan 3 mmHg pada
normotensi. Diet lain seperti diet rendah kalori dari karbohidrat, diet tinggi
protein, diet vegetarian, dan pola diet Mediterania juga menunjukkan efek
penurunan pada tekanan darah.
 Menurunkan berat badan dengan mengurangi asupan kalori dan
meningkatkan aktivitas fisik.
 Mengurangi konsumsi sodium sebanyak 25 % (kurang lebih 1000 mg per
hari).
 Memperbanyak konsumsi potassium seperti yang terkandung dalam buah-
buahan dan sayuran, produk olahan sapi rendah lemak, beberapa jenis
ikan, daging, kacang, dan produk kacang kedelai. Target optimal konsumsi
makanan tinggi potassium adalah 3500-5000 mg per hari
 Berhenti merokok. Merokok dapat menambah kekakuan pembuluh darah
sehingga dapat memperburuk hipertensi. Zat-zat kimia beracun seperti
nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke
dalam aliran darah dapat merusak jaringan endotel pembuluh darah arteri
yang mengakibatkan proses arterosklerosis dan peningkatan tekanan darah.
Merokok juga dapat meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen
untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan darah
tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah
arteri.
 Meningkatkan aktivitas fisik dengan latihan aerobik, resistensi dinamis
maupun latihan statis isometrik. Latihan dapat dilakukan 90-150 menit
dalam seminggu.
Modifikasi gaya hidup untuk mengontrol hipertensi adalah sebagai berikut :

b. Terapi Farmakologis
Untuk mencapai pengobatan yang maksimal, maka perlu evidence-based
medicine. Evidence-based Medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas
bukti terbaik yang ada dalam mengambil keputusan saat memilih obat secara
sadar, jelas, dan bijak terhadap masing-masing pasien dan/atau penyakit.
Praktek evidence-based untuk hipertensi termasuk memilih obat tertentu
berdasarkan data yang menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas
kardiovaskular atau kerusakan target organ akibat hipertensi. Macam-macam
golongan obat yang dapat digunakan untuk mengatasi penyakit hipertensi
diantaranya:
1. Diuretik
Golongan diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan
diuresis (Dipiro dkk., 2015). Macam-macam golongan diuretik antara lain:
 Tiazid diuretik dipilih untuk menangani hipertensi. Golongan ini
menghambat reabsorbsi natrium di tubulus distal sehingga berkontribusi
dalam penurunan tekanan darah. Contoh obat tiazid diuretik:
chlortaridone, indopamide, hydrochlorhiazide, metolazone.
 Loop diuretik lebih poten untuk menginduksi diuresis tetapi tidak dapat
digunakan pada pasien dengan edema (Dipiro dkk., 2015). Golongan ini
lebih efektif dibandingkan tiazid diuretik dengan kondisi CKD dengan
GFR kurang dari 30 mL/min/1,73 m2. Contoh obat: furosemide,
bumetanide, torsemide.
 Diuretik hemat kalium merupakan golongan antihipertensi yang tidak
adekuat jika digunakan tunggal dan digunakan untuk mengatasi
kekurangan kalium dan natrium yang disebabkan oleh diuretik lainnya
(Dipiro dkk., 2015). Contoh obat: Amiloride, triamterene.
 Antagonis aldosteron juga merupakan diuretik hemat kalium yang lebih
poten dengan onset lambat. Contoh obat: spironolaktone.
Efek samping yang ditimbulkan obat golongan diuretik
diantaranya: Hipokalemia, hiponatremia, alkalosis metabolik,
hiperkalsemia, hiperurisemia dan alergi sulfonamid.
2. ACEI (Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors)
 Mekanisme aksi
Obat-obatan golongan ini menghambat konversi angiotensin I menjadi
angiotensin II. Proses ini terjadi dalam darah dan jaringan termasuk ginjal,
jantung, pembuluh darah, kelenjar dan otak adrenal. Angiotensin II
merupakan vasokonstriktor ampuh yang dapat menstimulasi sekresi atau
pelepasan aldosteron. ACEI juga menghambat degradasi bradikinin dan
menstimulasi sintesis substansi vasodilator lainnya (prostaglandin dan
prostasiklin).
 Efek samping
ACE inhibitor umumnya ditoleransi dengan baik tetapi beberapa efek
samping yang terjadi dapat diamati, diantaranya: Batuk kering, angioedema,
hiperkalemia karena retensi kalium yang dimediasi oleh pengurangan
aldosteron tetapi jarang terjadi kecuali pada gangguan ginjal, hipotensi.
 Contoh obat: Kaptopril, enalapril, lisinopril, benazepril, quinapril,
fosinopril, ramipril dll.
3. ARB (Angiotensin Receptor Blocker)
 Mekanisme aksi
Mengeblok reseptor angiotensin II yang memediasi efek vasokontriksi,
aktivasi simpatik, rilis aldosteron. Tidak menghambat pemecahan
bradikinin sehingga tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEI.
 Efek samping obat meliputi: Hiperkalemia, gangguan ginjal, hipotensi,
ortostatik
 Contoh obat: Candesartan, ibesartan, losartan, telmisartan, valsartan.
4. CCB (Calcium Channel Blocker)
 Mekanisme aksi
CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan
menghambat masuknya kalsium dalam otot polos vaskuler maupun
miokardium selama proses depolarisasi (Dipiro dkk., 2015). Terdapat dua
kanal Ca : High –voltage channel (Tipe L) dan Low-voltage channel (Tipe
T). Yang dihambat oleh CCB merupakan kanal Tipe L.
 Efek samping meliputi: Pusing, hipotensi, muka merah,
 Contoh obat: Non-dihidrypiridin (Diltiazem, verapamil),
Dihydripiridine (Amilodipine, felodipine).
5. Beta Blocker
 Mekanisme aksi
Mekanisme golongan beta bloker yaitu dengan menurunkan kerja
jantung melalui kronotropik negatif dan dan efek inotropik jantung
sehingga dapat mereduksi CO, serta inhibisi pelepasan renin dari ginjal
(Dipiro dkk., 2015). Terdapat dua reseptor β, yaitu: β1 terdapat di
jantung dan β2 terdapat di otot polos arteri, bronkus, hati.
 Efek samping meliputi: Gangguan saluran cerna seperti diare,
konstipasi, mual, muntah, Menurunkan insufisiensi miokardial, dan
perifer, memperparah asma dan diabetes dan Meningkatkan plasma
trigliserida dan menurunkan HDL.
 Contoh obat: propanolol, nadelol, atenolol, esmolol, labetalol, dll.

Panduan dosis pada pengobatan hipertensi dapat dilihat pada tabel berikut
(JNC 7) :
Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat
antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan
obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat tunggal
dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Guidline terapi
hipertensi menurut JNC 8, dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Target nilai tekanan darah menurut JNC VIII bagi usia ≥60 tahun terapi
farmakologi dimulai dengan target tekanan darah <150/90 mmHg. Apabila terapi
farmakologi berhasil mencapai SBP <140 mmHg dan dapat ditoleransi baik tanpa
efek samping maka terapi dilanjutkan tidak perlu diubah. Pada usia <60 tahun
terapi farmakologi ditargetkan untuk mencapai SBP <140 mmHg. Pada usia >18
tahun dengan CKD atau diabetes terapi ditargetkan mencapai SBP <90 mmHg.
Pada penggunaan dosis obat antihipertensi dimulai dengan satu obat
dititrasi hingga mencapai dosis maksimal. Apabila titrasi dengan dosis maksimal
belum mencapai tujuan terapi maka disarankan untuk menambahkan obat kedua
dari (thiazide-jenis diuretik, CCB, ACEI, atau ARB) dan titrasi sampai dengan
maksimum yang disarankan dosis obat kedua untuk mencapai tujuan tekanan
darah. Jika tekanan darah belum tercapai dengan penggunaan 2 obat maka dipilih
obat ketiga dari daftar (thiazide-jenis diuretik, CCB, ACEI, atau ARB) namun
hindari penggunaan kombinasi ACEI dan ARB. Titrasi obat sampai ketiga untuk
maksimum dosis yang dianjurkan untuk mencapai tujuan tekanan darah. Mulailah
dengan 2 obat pada saat yang sama, memulai terapi dengan 2 obat secara
bersamaan, baik sebagai obat 2 yang terpisah atau sebagai kombinasi pil tunggal.
Titrasi obat ketiga sampai dengan maksimum dosis yang dianjurkan untuk
mencapai tujuan tekanan darah. Berdasarkan panduan kombinasi dengan >2 obat
dilakukan ketika tekanan darah sistolik >160 mmHg dan atau tekanan darah
diastolik >100 mmHg. Jika tidak bisa dicapai target penurunan tekanan darah
setelah kombinasi 2 obat dapat digunakan kombinasi 3 obat. Pilihan obat ketiga
dapat menggunakan thiazid jenis diuretik, CCB, ACEI, atau ARB), hindari
penggunaan gabungan ACEI dan ARB. Titrasi obat sampai ketiga dengan dosis
maksimum yang disarankan.

2.2. DISLIPIDEMIA
2.2.1. Definisi dan Klasifikasi
Dislipidemia adalah kelainan komponen lemak yang utama meliputi
kenaikan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL (disebut
hiperkolesterolemia), kenaikan kadar trigliserida (disebut hipertrigliseridemia),
serta penurunan kadar kolesterol HDL, atau kombinasi di antaranya (Dipiro,
2014). Menurut Arsana (2015) dislipidemia didefinisikan sebagai kelainan
metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi
lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar
kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida (TG), serta penurunan kolesterol
HDL.
Klasifikasi dislipidemia dibagi menjadi dua yaitu dislipidemia primer
dan dislipidemia sekunder.
 Dislipidemia primer adalah dislipidemia akibat kelainan genetik.
 Dislipidemia sekunder adalah dislipidemia yang terjadi akibat suatu penyakit
lain misalnya hipotiroidisme, sindroma nefrotik, diabetes melitus, dan
sindroma metabolik (Arsana, 2015).
Klasifikasi dislipidemia menurut WHO :
Klasifikasi Klasifikasi Peningkatan
Fredrickson generik terapeutik Lipoprotein
I Dislipidemia Hipertrigliseride Kilomikron
mia eksogen
II a Hiperkolesterol Hiperkolesterole LDL
emia mia
II b Dislipidemia Hipertrigliseride LDL + VDL
kombinasi mia endogen +
Dislipidemia
kombinasi
III Dislipidemia Hipertrigliseride Partikel
remnan mia endogen
IV Dislipidemia Hipertrigliseride VLDL
endogen mia endogen
V Dislipidemia Hipertrigliseride VLDL +
campuran mia endogen kilomikron

2.2.2. Etiologi
Dislipidemia dapat bersifat primer ataupun sekunder. Dislipidemia
primer disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Kelainan genetika
untuk mengatur sintesis kolesterol, metabolisme kolesterol hati, fungsi
reseptor membran sel, dan lainnya dapat menyebabkan dislipidemia.
Sedangkan dislipidemia sekunder disebabkan oleh penyakit maupun obat-
obatan tertentu. Faktor gaya hidup termasuk kebiasaan dan konsumsi
makanan juga dapat mempengaruhi kondisi tersebut (Dipiro dkk, 2011).
Beberapa penyakit dan obat-obatan yang dapat memicu dislipidemia sekunder
diantaranya dapat dilihat pada tabel berikut:
2.2.3. Manifestasi Klinis
Sebagian besar pasien dislipidemia tidak menunjukkan gejala. Gejala
yang dapat dialami pasien dislipidemia diantaranya nyeri dada, jantung
berdebar, berkeringat, gelisah, sesak napas, sakit perut, kehilangan kesadaran,
kesulitan berbicara atau bergerak. Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat
mencakup xantoma kulit, polineuropati perifer, tekanan darah tinggi, dan
peningkatan indeks massa tubuh, tergantung pada kelainan lipoprotein
(DiPiro dkk.,2015).

2.2.4. Patofisiologi Dislipidemia


Patofisiologi terjadinya dislipidemia berkaitan dengan metabolisme
lipid di dalam tubuh. Secara umum, lemak di dalam darah di metabolisme di
hati. Asupan lemak berlebih menyebabkan terjadinya gangguan proses
metabolisme kolesterol yang berujung pada penumpukan kolesterol di hati.
Akibatnya, kolesterol tidak dapat diangkut seluruhnya oleh lipoprotein
menuju ke hati dari aliran darah di seluruh tubuh. Hal ini terjadi berulang-
ulang dan berlangsung cukup lama, sintesis kolesterol di hati terus meningkat
dan densitas reseptor LDL menurun sehingga akhirnya kolesterol menumpuk
di dinding pembuluh darah dan menimbulkan plak (Adam, 2006).
Hubungan dislipidemia dengan hipertensi yaitu dislipidemia ini
ditandai dengan kenaikan kolesterol total. Kolesterol tinggi
(hiperkolesterolemia) akan menimbulkan masalah terutama pada pembuluh
darah dan otak. Jika kadar kolesterol melebihi batas normal akan
menyebabkan aterosklerosis. Aterosklerosis akan menyumbah pembuluh
darah arteri. Dinding-dinding pada saluran arteri yang mengalami
arterosklerosis akan menjadi tebal, kaku karena tumpukan kolesterol, saluran
arteri mengalami proses penyempitan, pengerasan, kehilangan kelenturannya
dan menjadi kaku. Berbagai penelitian epidemiologi, biokimia maupun
eksperimental menyatakan bahwa yang memegang peranan penting terhadap
terbentuknya aterosklerosis adalah kolesterol. Apabila sel sel otot arteri
tertimbun lemak maka elastisistasnya akan menghilang dan berkurang dalam
mengatur tekanan darah sehingga akan terjadi berbagai penyakit seperti
hipertensi (Maryati, 2017).

2.2.5. Komplikasi Dislipidemia


 Aterosklerosis
Aterosklerosis adalah penyakit peradangan pada pembuluh darah
bersifat progresif yang ditandai massa kolagen, lemak, kolesterol, produk
buangan sel dan kalsium. Aterosklerosis sangat dipengaruhi kadar kolesterol
yang tinggi dalam tubuh.
 Pankreatitis
Secara mikroskopik tampak nekrosis jaringan pankreas disertai
dengan perdarahan dan inflamasi. Tanda utama adalah adanya nekrosis lemak
pada jaringan-jaringan di tepi pankreas, nekrosis parenkim dan pembuluh-
pembuluh darah sehingga mengakibatkan perdarahan dan dapat mengisi
ruangan retroperitoneal. Bila penyakit berlanjut, dapat timbul abses atau
daerah-daerah nekrosis yang berdinding, yang subur untuk timbulnya bakteri
sehingga dapat menimbulkan abses yang purulen
 Diabetes mellitus
Gambaran dislipidemia pada DM tipe 2 yang paling sering
ditemukan adalah peningkatan kadar TG dan penurunan kadar HDL.
Walaupun kadar LDL tidak selalu meningkat, tetapi partikel LDL akan
mengalami penyesuaian perubahan (modifikasi) menjadi bentuk kecil dan
padat yang bersifat aterogenik.

2.2.6. Tata Laksana Terapi


a. Terapi Non Farmakologis
Secara ideal, terapi non farmakologi untuk pasien dislipidemia adalah
dengan cara mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol, meningkatkan
asupan serat, mengurangi berat badan dan meningkatkan aktivitas fisik.
Perubahan Gaya Hidup / Therapy Lifestyle Changes (TLCs) dapat dilakukan
guna memperbaiki profil lipid dalam tubuh. Berikut merupakan tabel
pengaruh perubahan gaya hidup pada konsentrasi lipid berdasarkan Pedoman
Tata Laksana Dislipidemia di Indonesia tahun 2017.

Perubahan gaya hidup dapat meliputi:


 Diet
Tujuan terapi diet adalah untuk mengurangi asupan lemak total, asam
lemak jenuh (yaitu, lemak jenuh), dan kolesterol secara progresif, serta untuk
membantu pasien dengan kondisi kelebihan berat badan dapat menurunkan
10% dari berat badan, sehingga berat badan pasien dapat terkontrol.
 Aktivitas Fisik/Olahraga Rutin
Aktivitas fisik dengan intensitas sedang selama 30 menit dalam sehari perlu
dilakukan untuk tercapainya LDL yang lebih rendah, serta mengurangi risiko
Penyakit Jantung Koroner (PJK).
 Mengontrol Asupan Lemak dan Kolesterol
Asupan kolesterol dan asam lemak jenuh yang berlebihan dapat
menyebabkan penurunan klirens hepatik LDL, terjadi deposisi/endapan LDL,
dan terjadi oksidasi LDL di jaringan perifer.
 Meningkatkan Asupan Serat Larut
Peningkatan asupan serat larut dapat digunakan sebagai tambahan untuk
mengurangi jumlah kolesterol total dan LDL.
 Menghentikan Kebiasaan Merokok
Menurut sebuah penelitian, menghentikan merokok dapat meningkatkan
konsentrasi kolesterol HDL sebesar 5-10%. Merokok berhubungan dengan
peningkatan konsentrasi TG, tetapi menghentikan merokok diragukan
menyebabkan penurunan konsentrasi TG.
Berikut merupakan tabel rekomendasi makronutrisi untuk terapi
perubahan gaya hidup atau Therapy Lifestyle Changes (TLC) Diet:
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi untuk pasien dislipidemia berdasarkan
golongannya dibagi menjadi 5 golongan yaitu HMG-CoA reduktase inhibitor,
resins, ezetimibe, niacin, dan fibrat.
 Statins
Mekanisme kerja obat golongan statins adalah dengan menghambat 3-
hydroxy-3-methylglutaryl koenzim A (HMG-CoA) reduktase dan
mengganggu konversi HMG-CoA menjadi asam mevalonat.
Penggunaan statins sebagai monoterapi dapat menjadi agen penurun
jumlah kolesterol total dan LDL yang paling kuat. Terapi kombinasi golongan
statin dan BAR adalah rasional, karena dapat meningkatkan jumlah LDL-R,
yang mengarah pada degradasi kolesterol LDL yang lebih besar, sehingga
sintesis kolesterol intraseluler dapat dihambat; dan proses daur ulang asam
empedu enterohepatik terganggu.
Selain berfungsi untuk menurunkan kolesterol LDL, statin juga
mempunyai efek meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan TG.
Berbagai jenis statin dapat menurunkan kolesterol LDL 18- 55%,
meningkatkan kolesterol HDL 5-15%, dan menurunkan TG 7-30%
Berikut merupakan dosis maksimal statin yang dianjurkan berdasarkan
Pedoman Tata Laksana Dislipidemia di Indonesia tahun 2017.

Menurut AHA (American Heart Association) terapi statin bisa dibagi


menjadi intensitas tinggi, sedang, atau rendah. Statin intensitas tinggi
biasanya mengurangi kadar kolesterol low-density lipoprotein (LDL-C) 50%
atau lebih sementara statin intensitas sedang mengurangi LDL-C sebesar 30%
hingga 49% dan statin intensitas rendah mengurangi LDL-C kurang dari
30%. Berikut merupakan informasi lebih lanjut mengenai pembagian
penggunaan statin dan dosis statin.

Efek samping yang dapat terjadi adalah sembelit terjadi pada kurang
dari 10% pasien yang menggunakan statin. Efek samping lainnya termasuk
peningkatan alanine aminotransferase, peningkatan kadar kreatin kinase,
miopati, dan, jarang terjadi rhabdomiolisis.

 Bile Acid Sequestrants (BARs)


Mekanisme kerja obat golongan ini adalah mengikat asam empedu di
lumen usus, sehingga menghambat sirkulasi enterohepatik dari asam empedu
dan merangsang sintesis kolesterol menjadi asam empedu di hati. Terdapat 3
jenis bile acid sequestrant yaitu kolestiramin, kolesevelam, dan kolestipol.
Berkurangnya kumpulan kolesterol di hati dapat meningkatkan biosintesis
kolesterol dan jumlah LDL-R pada membran hepatosit, sehingga
meningkatkan laju katabolisme dari plasma dan menurunkan kadar LDL.
BARs bermanfaat dalam mengobati hiperkolesterolemia primer
(hiperkolesterolemia familial, dislipidemia gabungan familial, dan
hiperlipoproteinemia tipe IIa).
Berikut merupakan bentuk sediaan, dosis harian, dan dosis maksimal
BARs yang dianjurkan.
Efek samping yang dihasilkan dari obat golongan ini adalah gangguan
saluran cerna seperti sembelit, kembung, kepenuhan epigastrium, mual, dan
perut kembung. Efek samping tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan
asupan cairan, meningkatkan jumlah makanan, dan menggunakan pelunak
feses. Efek samping potensial lainnya termasuk gangguan penyerapan vitamin
A, D, E, dan K yang larut dalam lemak, hipernatremia dan hiperkloremia, dan
berkurangnya bioavailabilitas obat-obatan asam seperti warfarin, asam
nikotinat, tiroksin, asetaminofen, hidrokortison, hidroklorotiazid, loperamid,
dan mungkin zat besi. Interaksi obat dapat dihindari dengan mengganti waktu
pemberian dengan interval 6 jam atau lebih antara BAR dan obat lain.

 Niasin
Niasin (asam nikotinat) bekerja dengan cara mengurangi laju katabolik
fraksional A1 HDL-apo untuk meningkatkan jumlah HDL tanpa
mempengaruhi laju sintetiknya. Niasin juga dapat mengurangi sintesis hati
VLDL, yang nantinya akan bekerja untuk mengurangi sintesis LDL.
Penggunaan utama niasin adalah untuk dislipidemia campuran atau
sebagai agen lini kedua dalam terapi kombinasi untuk hiperkolesterolemia.
Niasin merupakan agen lini pertama atau alternatif untuk pengobatan
hipertrigliseridemia dan dislipidemia pada diabetes.
Niasin diindikasikan untuk pasien dengan kondisi peningkatan jumlah
TG dan LDL, serta terjadi penurunan jumlah HDL. Ketika dikombinasikan
dengan statin, kombinasi ini menghasilkan penurunan yang besar pada LDL
dan peningkatan pada HDL.
Niasin dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit hati aktif. Efek
samping lainnya yang dapat timbul karena penggunaan obat ini adalah kulit
memerah dan gatal, keluhan mata kering, terjadi hepatotoksik, hiperurisemia,
serta hiperglikemia.
Dosis lazim pemberian Niacin adalah 1,5-6 gram/hari dalam 3 dosis
terbagi saat atau setelah makan (untuk immediate release) dan 500 mg sampai
dengan 2 gram sehari sekali sebelum tidur (untuk extended release).

 Fibrat
Mekanisme kerja dari fibrat adalah menstimulasi mekanisme
pembersihan yang bergantung pada reseptor LDL dan mengurangi jumlah
LDL yang tersedia untuk terjadinya oksidasi.
Monoterapi fibrates (gemfibrozil, fenofibrate, clofibrate) efektif
dalam mengurangi VLDL, akan tetapi kemungkinan dapat terjadinya
peningkatan LDL, dan nilai kolesterol total dapat relatif tetap tidak berubah.
Penggunaan fibrate dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi HDL plasma
sebesar 10% hingga 15% atau lebih.
Efek samping yang ditimbulkan dari obat golongan ini adalah terjadi
keluhan GI pada 3% hingga 5% pasien. Ruam, pusing, dan peningkatan
sementara pada level transaminase dan alkaline phosphatase juga dapat
terjadi. Sindrom myositis pada mialgia, kelemahan, kekakuan, malaise, dan
peningkatan kreatin kinase dan aspartat aminotransferase dapat terjadi dan
tampaknya lebih umum pada pasien dengan insufisiensi ginjal.
Dosis lazim pemberian gemfibrozil adalah 1200 mg / hari dalam 2 dosis
terbagi, 30 menit sebelum sarapan dan makan malam. Dosis harian
fenofibrate adalah 54 mg atau 67 mg.

 Ezetimibe
Ezetimibe merupakan golongan obat yang mewakili kelas obat
pengubah lipid yang disebut inhibitor penyerapan kolesterol. Ezetimibe
bekerja dengan mengganggu penyerapan kolesterol dari tepi mikrofili usus
dan menghambat transporter NPC1L1. Dosisnya 10 mg sekali sehari,
diberikan dengan atau tanpa makanan. Ketika digunakan sendiri, ezetimibe
mampu menghasilkan sekitar 18% penurunan kolesterol LDL, tetapi memiliki
sedikit efek pada TG atau HDL. Dalam kombinasi dengan statin, ia
menunjukkan efek aditif, meningkatkan penurunan LDL-C dengan tambahan
10% hingga 20%.
Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah diare, arthralgia, batuk,
dan kelelahan. Ketika digunakan sebagai monoterapi, dapat terjadi
peningkatan serum transaminase.
Berikut merupakan efek terapi obat terhadap lipid dan lipoprotein, serta
rata-rata efek terapi obat terhadap kolesterol lipoprotein dan trigliserida
BAB III
PEMBAHASAN STUDI KASUS

Kasus !
Tn. YM usia 52 tahun masuk IGD rumah sakit X, dengan keluhan kepala pusing
dan penglihatan kabur (mata kanan-kiri) 2-3 hari ini, kencing berbusa sudah 1
minggu dan jumlahnya sedikit. Pasien mual-muntah, sesak nafas dan nyeri dada
pagi ini. Pasien mengaku tidak udema/bengkak pada kaki ataupun tangan. Pasien
memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol karena masalah biaya dan hanya
minum ramuan herbal. Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit DM dan
hiperlipidemia, tetapi pasien mengaku pernah mengalami serangan jantung (nyeri
dada hebat) dan di rawat di puskesmas 3 tahun yang lalu.
Tanda-tanda vital pasien saat MRS : TD 210/150 mmHg, HR 105 x/menit, RR 18
x/menit, Data laboratorium pasien saat MRS : Na 147 mEq/L, K 3,6 mEq/L, Cl
104 mEq/L, Ca 7,2 mEq/L, Glukosa acak 115 mg/dL, BUN 88 mg/dL, SCr 8,83
mg/dL, Hb 10,5 mg/dL, HCT 30, WBC 11,14, PLT 186, CK 3,755 unit/L,
Troponin-I 0,55 ng/mL, Kolesterol total 310 mg/dL, Trigliserida 257 mg/dL, LDL
100 mg/dL, proteinuri (++), hematuria (+), bakteriuri (-), Saturasi O2 92%,
volume urin 350 mL.
Diagnosis pasien: Krisis Hipertensi (emergensi) + GGA+ dislipidemia Terapi
Hipertensi saat MRS (ICU):
H1 (14.00) : Labetalol 10 mg (iv) 14.30 TD 190/145 mmHg  14.50 TD
205/145 mmHg, Ranitidin (iv) 2x50 mg, Furosemid (iv) 1x40 mg, Ceftriaxon (iv)
1x1 gram, Timolol tetes mata 0,5% 2x1 tetes mata kanan-kiri
H1 (16.00) : Nitroprusid drip 0,25 mcg/kg/menit  16.10 TD 202/150 mmHg
H1 (16.30) : Nitroprusid drip 0,5 mcg/kg/menit  16.45 TD 206/145 mmHg
H1(16.50) : Nitroprusid drip 0,75 mcg/kg/menit  17.10 TD 197/150 mmHg
17.35 TD 200/149 mmHg 17.57 TD 198/150 mmHg
H1 (18.30) : Simvastatin 1x10 mg (po) Nitroprusid drip 1,5 mcg/kg/menit 
18.15 TD 189/145 mmHg  18.35 TD 185/142 mmHg  pasien muntah
kemudian kejang Diazepam 5mg (iv).
Pharmaceutical Care Plan

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. YM
Umur : 52 Tahun
Tanggal MRS :-
Tanggal KRS :-
Diagnosa : Krisis Hipertensi (emergensi) + GGA + dislipidemia

II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
 Kepala pusing dan penglihatan kabur (mata kanan-kiri) 2-3 hari
 Kencing berbusa sudah 1 minggu dan jumlahnya sedikit
 Mual-muntah, sesak nafas dan nyeri dada

2.2. Riwayat Penyakit Dahulu :


 Hipertensi tidak terkontrol
 Serangan jantung

2.3. Riwayat Pengobatan : -

2.4. Riwayat Keluarga/Sosial : -

2.5. Alergi Obat : -


III. OBJEKTIF
A. Tanda-tanda vital
Tanggal
Nilai
Parameter H1 H1 H1 H1 H1 H1 H1 H1 H1
Normal MRS
(14.30) (14.50) (16.10) (16.45) (17.10) (17.35) (17.57) (18.15) (18.35)
Tekanan darah
<120-80 210/150 190/145 205/145 202/150 206/145 197/150 200/149 198/150 189/145 185/142
(mmHg)
Nadi (x/menit) 60-100 105
RR (x/menit) 12-20 18

B. Tanda-tanda klinik
Tanggal
Gejala fisik
MRS
Proteinuri ++
Hematuria +
Bakteriuri -
Saturasi O2 92%
Volume urin 350 mL

C. Data laboratorium
Parameter Nilai Normal Tanggal MRS Keterangan
Natrium 135-145 mEq/L 147 ↑
Kalium 3,5-5 mEq/L 3,6 Normal
Klorida 95-105 mEq/L 104 Normal
Kalsium 8,5-10,5 mEq/L 7,2 ↓
Glukosa acak (GDA) <200 mg/dL 115 Normal
BUN 8-20mg/dL 88 ↑
SCr 0,6-1,2 mg/dL 8,83 ↑
Hb 14-18 g/dL 10,5 ↓
HCT 39-49 % 30 ↓
WBC 4-11 × 103 µ/L 11,14 ↓
PLT 150-450×103µL 186 ↓
CK <150 µ/L 3,755 Normal
Troponin <1,5 ng/mL 0,55 Normal
Kolesterol Total <200 mg/dL 310 ↑
Trigliserida <150 mg/dL 257 ↓
LDL 70-160 mg/dL 100 Normal

IV. TERAPI PASIEN


Pukul
Nama Obat Dosis & rute
14.00 16.00 16.30 16.50 18.30
Labetalol 10 mg (iv) √
Ranitidin 2x50 mg (iv) √
Furosemid 1x40 mg (iv) √
Ceftriaxon 1x1 g (iv) √
Timolol 0,5 % 2x1 Tetes mata kanan-kiri √
Simvastatin 1x10 mg (po) √
0,25 mcg/kg/menit (drip) √
0,5 mcg/kg/menit (drip) √
Nitroprusid
0,75 mcg/kg/menit (drip) √
1,5 mcg/kg/menit (drip) √
V. ANALISIS SOAP

Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Dislipidemia Obyektif : Simvastatin 1×10 Simvastatin merupakan obat - Plan : Terapi
Kolesterol ↑ mg (po) golongan statin yang memiliki dilanjutkan
(310 mg/dL) mekanisme kerja kerja Monitoring : Kadar
Trigeliserida ↑ menghambat 3-hidroksi-3- kolesterol,
(257 mg/dL) metil-glutaril-koenzim A Trigeliserida dan
(HMG-CoA) reduktase yang Kreatinin Kinase.
Subjektif: - mempunyai fungsi sebagai Diet makanan
katalis dalam pembentukan (mengurangi
kolesterol. (Dipiro 9, 2015) makanan berlemak )
dan diberi tambahan
suplemen minyak
ikan. (DIH edisi
17th)
Gagal Ginjal Obyektif : Ceftriaxon 1×1 Obat ini termasuk antibiotik DRP 1 Unnecessary drug Plan : Terapi
Akut Proteinuri (++) gram (iv) golongan sefalosporin generasi therapy. Terapi tidak dihentikan
BUN ↑(88 III yang diindikasikan untuk diperlukan karena pada
mg/dL) infeksi saluran kemih yang hasil laboratorium tidak
Serum kreatinin memiliki mekanisme kerja ditemukan adanya
↑(8,83 mg/dL) efektif melawan bakteri gram bakteri.
(-). (Dipiro 9, 2015)
Subyektif :
Mual dan Ranitidin 2×50 Obat ini termasuk golongan - Plan : Terapi
muntal mg (iv) reseptor antagonis H2 blocker dilanjutkan
Kencing berbusa dengan mekanisme Monitoring : keluhan
dan jumlahnya menurunkan sekresi asam mual dan muntah,
sedikit atau lambung yang berlebih dan terapi bisa
oliguria sehingga mengurangi efek dihentikan ketika
mual. (Dipiro 9, 2015) keluhan (mual dan
muntah) sudah
sembuh.
Hipertensi Subyektif : Labetalol 10 mg Labetalol merupakan golongan DRP 4 Dosage too low Plan : Dosis
-Sakit kepala (iv) selektif alfa dan non selektif β, Dosis labetalol dinaikkan dinaikkan
-Penglihatan β2 blocker yang memiliki menjadi 20 mg (iv) Monitoring :
kabur (mata mekanisme kerja menurunkan Tekanan darah dan
kanan kiri) tekanan darah melalui denyut jantung
selama 2-3 hari vasodilatasi dan menurunkan
-Sesak nafas, denyut jantung (Dipiro 9,
-nyeri dada 2015)
Dosis 20-80 mg (DIH 7th dan
Obyektif : Dipiro 9)
Tekanan Darah Nitroprusid Merupakan salah satu Adverse drug Plan: Nitroprusid
210/150 H(1) 16.00: 0,25 vasodilator yang digunakan reactionunsafe drug dihentikan
H(1) 14.00 : mcg/kg/ menit untuk mengatasi hipertensi for patient
190/145 16.30: 0,5 emergensi (Basic a. Nitroprusid Untuk menangani TD
H(1) 14.50 : mcg/kg/ menit Pharmacology & Drug Notes dimetabolisme yang masih diatas
205/145 16.50: 0,75 Edisi 2017). menjadi sianat dan nilai normal  terapi
H(1) 16.10 : mcg/kg/ menit kemudian menjadi bisa diganti dengan
202/150 18.30: 1,5 Dosis awal: 0,3-0,5 mcg / kg / tiosianat, yang akan golongan ACEI
H(1) 16.45 : mcg/kg/ menit menit; peningkatan bertahap mengalami eliminasi (misal: kaptopril)
206/145 0,5 mcg / kg / menit. Dosis di ginjal, sehingga yang merupakan
H(1) 17.10 : biasa: 3 mcg / kg / menit; efeknya dapat terapi lini pertama
197/150 jarang membutuhkan> 4 mcg / meningkatkan untuk mengontrol TD
H(1) 17.35 : kg / menit; maksimum: 10 mcg toksisitas tiosianat dan mempertahankan
200/149 / kg / menit. yang fungsi ginjal pada
H(1) 17.57 : membahayakan pasien CKD (Dipiro
198/150 pasien gagal ginjal 9, 2015 hal 98)
H(1) 18.15 : (Dipiro 9, 2015 hal
189/145 99) Monitoring: kadar
H(1) 18.35 : b. Nitroprusid dapat kalium saat
185/142 menyebabkan efek penggunaan obat
samping mual dan golongan ACEI.
muntah serta kejang
otot sehingga dapat
memperparah
keadaan pasien
(DIH, 2017)
Furosemid Merupakan obat golongan loop Adverse drug Plan : menghentikan
diuretic yang bekerja reactionundesirable terapi
menghambat reabsorbsi Na dan effect
Cl pada lengkung henle. a. furosemid dapat
meningkatkan nilai
BUN dan kreatinin
sehingga
memperparah
kondisi ginjal
pasien.
Timolol 0,5% Obat ini tergolong ke dalam - Interaksi dengan obat Plan : Timolol
2×1 tetes mata beta blocker non selektif yang lain yaitu Labetalol. dihentikan
kanan kiri bekerja dengan cara menekan Timolol dapat
jumlah cairan dan mengurangi menurunkan efek dari
tekanan di dalam mata (ocular obat antihipertensi
hypertension). (Medscape)
Pada kasus ini pasien menderita krisis hipertensi (emergensi). Hipertensi
emergensi merupakan hipertensi dengan peningkatkan tekanan darah ekstrim yang
disertai dengan kerusakan organ (DiPiro dkk., 2015). Dalam kasus ini tekanan
darah pasien pada saat pasien masuk rumah sakit sebesar 210/150 mmHg dan
menurut kelompok kami kerusakan organ yang terjadi yaitu ginjal karena pada
awalnya pasien tidak memiliki riwayat penyakit ginjal dan ketika masuk rumah
sakit pasien didiagnosis gagal ginjal akut dengan data laboratorium proteinuria
(++), hematuria (+), nilai BUN tinggi yaitu 88 mg/dl dimana normalnya 8-20
mg/dl, dan nilai Scr tinggi yaitu 8,83 mg/dl dimana nilai normalnya 0,6-1,2 mg/dl.
 Terapi menggunakan furosemid  menurut kelompok kami kurang tepat bagi
pasien karena pada kasus hipertensi emergensi dibutuhkan penurunan tekanan
darah secara cepat dalam hitungan beberapa menit atau jam (Dipiro dkk.,
2015). Selain itu furosemid juga dapat meningkatkan BUN dan kreatinin
yang reversibel (Dipiro dkk, 2015) dan didalam kasus tersebut BUN dan Scr
pasien sudah tinggi atau diatas nilai normal sehingga pemberian furosemid
dapat memperparah kondisi ginjal pasien. Furosemid (loop diuretik) sangat
cepat dalam menguras cairan tubuh dan elektrolit (natrium, air dan klorida)
sehingga tidak dianjurkan sebagai obat antihipertensi kecuali pada pasien
hipertensi yang juga menderita retensi cairan yang berat dan didalam kasus
ini nilai natrium dan klorida normal.
 Terapi nitroprusid  nitroprusid merupakan vasodilator sebagai terapi
hipertensi emergensi. Penggunaan nitroprusid pada pasien gagal ginjal tidak
direkomendasikan. Nitroprusid dimetabolisme menjadi sianat dan kemudian
menjadi tiosianat sehingga akan mengakibatkan toksisitas tiosianat.
Toksisitas tiosianat meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
dimana pada kasus ini pasien mengalami GGA. Nitroprusid ini akan
mengalami eliminasi di ginjal, sehingga penderita dengan gagal ginjal
memiliki resiko besar mengalami akumulasi dan toksisitas tiosianat (Dipiro
dkk, 2015; DIH 2017). Selain itu juga risiko efek samping lainnya adalah
mual, muntah, kejang otot yang akan memperparah keadaan pasien yang
awalnya sudah mengalami keluhan mual dan muntah. Dari permasalahan
diatas, kelompok kami merekomendasikan penghentian terapi nitroprusid dan
untuk mengatasi penurunan TD mencapai nilai normal disarankan untuk
mengganti obat dengan golongan ACEI atau ARB. Golongan ACEI atau
ARB adalah terapi lini pertama untuk mengontrol TD dan mempertahankan
fungsi ginjal pada pasien CKD (Dipiro dkk, 2015; DIH, 2017).
 Terapi labetalol adalah terapi hipertensi emergensi, dalam kasus ini
pemakaian labetalol dinilai kurang tepat karena dosis yang terlalu rendah.
Menurut hasil uji laboratorium tekanan darah pasien tidak terkontrol dan
masih mengalami kenaikan pada jam 14.50, sehingga dosis dinaikkan
menjadi 20 mg. Diharapkan setelah menaikkan dosis dapat mengontrol
tekanan darah pasien pada rentang normal yaitu 180/120 mg/dL.
Pada kasus ini pasien mengalami dislipidemia yang ditandai dengan kadar
kolesterol total 310 mg/dL, trigliserida 257 mg/dL dan LDL 100 mg/dl. Pasien
diterapi dengan menggunakan simvastatin 1x10 mg, terapi ini merupakan first line
terapi pada dislipidemia karena dapat menurunkan kolesterol 30% atau lebih
dengan diimbangi dengan terapi diet (DiPiro dkk., 2015). Terapi diet yang dapat
digunakan salah satunya adalah suplemen minyak ikan yang dapat menurunkan
kadar kolesterol total, LDL, TG dan meningkatkan kadar HDL. Statin bekerja
dengan menghambat HMG Co-A reduktase yaitu enzim yang dapat menghambat
laju biosintesis kolesterol, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol. Statin
memiliki resiko meningkatkan kerusakan ginjal pada pasien CKD sehingga statin
digunakan pada dosis rendah dengan memonitoring BUN, serum kreatinin dan
kreatinin kinase.
Pasien juga mengalami gagal ginjal akut. Pada dasarnya fungsi ginjal yang
utama adalah sebagai penyaring, dimana racun-racun tubuh akan disaring
sehingga dapat dikeluiarkan oleh ginjal dalam bentuk urin. Bila kegagalan ginjal
terjadi, fungsi tersebut akan terganggu. Tubuh akan kesulitan membuang racun,
sehingga terjadi penumpukkan racun pada tubuh. Penumpukkan racun pada tubuh
ini lah yang sering kali menimbulkan gejala mual dan muntah, sehingga pasien
diberikan obat ranitidin untuk mengurangi gejala mual dan muntah. Berdasarkan
data laboratorium pasien, pasien dinyatakan (-) bakteriuria sehingga pengobatan
ceftriaxon dihentikan. Dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal akut yang dialami
pasien bukan disebabkan karena bakteri namun karena penyakit penyerta lain
yaitu hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA

Aberg, J.A., Lacy,C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P, dan Lance, L.L. 2009.
Drug Information Handbook, 17th Edition. Lexi-Comp for the American
Pharmacists Association.

Adam, John M.F. 2006. Dislipidemia Dalam: A.W. Sudoyo, B. Setiyodadi, I.


Alwi, M. Simadibrata, S.Setiati, ed: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ke-4 Jilid III. Jakarta. FK-UI.

American Heart Association. 2018. Guideline on the Management of Blood


Cholesterol. Texas: American Heart Association, Inc.

Arsana, P. M. dkk. 2015. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. PERKENI.

Association, A. H. 2017. Guideline for the prevention, detection, evaluation and


management of high blood pressure in adults introduction

Budiman, S. Rosmariana, dan P. Pradina. 2015. Hubungan dislipidemia,


hipertensi dan diabetes melitus dengan kejadian infark miokard akut. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Andalas. 10(1):32–37.

Crowther, M. A. 2005. Pathogenesis of atherosclerosis. American Society of


Hematology. 436–441.

Dennison-himmelfarb C., Handler J. and Lackland D.T., 2014, 2014 Evidence-


Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults
Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National
Committee (JNC 8), , 1097, 1–14

DiPiro, J. T., R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, dan L. M.


Posey. 2015. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Tenth
Edition 9. New York: McGraw-Hill.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Badan Penelitian Dan


Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Indonesia Tahun 2013
(Riset Kesehatan Dasar). Jakarta: Kementerian Kesehatan Indonesia.

Koda-Kimble, M. A. 2009. Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs


Ninth Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Maryati, Heni. 2017. Hubungan Kadar Kolesterol Dengan Tekanan Darah


Penderita Hipertensi di Dusun Sidomulyo Desa Rejoagung Kecamatan Ploso
Kabupaten Jombang. 8(2):128-137.
Nafrialdi.S.R., Gunawan.G.S., Elysabeth. 2009. Antihipertensi. Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. Balai penerbit FKUI. Jakarta

Noerhadi, M. 2008. Hipertensi dan Pengaruhnya TerhadaP Organ-Organ Tubuh.


Iv:1–18.

Oparil, S., Zaman, MA., Calhoun, DA. 2003. Phatogenesis of hypertension. Ann
Intern Med. 139(9):761-76.

Pan, Y., T. Wang, Y. Li, T. Guan, Y. Lai, Y. Shen, dan A. Zeyaweiding. 2018.
Association of ace2 polymorphisms with susceptibility to essential
hypertension and dyslipidemia in xinjiang , china. Lipids in Health and
Disease. 17:1–9.

PERKI. 2017. Pedoman Tatalaksana Dislipidemia di Indonesia. Jakarta:


Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2012). Buku Patofisiologi: Konsep Klinis Proses
Proses Penyakit (Vol. 6). Jakarta: EGC

Ulfah, M., H. Sukandar, dan Afiatin. 2017. Hubungan kadar kolesterol total
dengan tekanan darah pada masyarakat jatinangor. JSK. 3(2):58–64.

Anda mungkin juga menyukai