Anda di halaman 1dari 6

JAKARTA, KOMPAS.

com — Para ilmuwan telah merancang pohon sintetis yang bisa


menangkap karbondioksida dari udara sebagai upaya untuk melawan peningkatan emisi karbon.
"Pohon" ini bentuknya lebih mirip bangunan kecil daripada pohon, tapi bisa menyerap karbon
1.000 kali lebih cepat daripada pohon asli. Satu pohon sintetis bisa menyerap satu ton
karbondioksida per hari, setara dengan jumlah rata-rata yang dikeluarkan 20 mobil. Setelah
disimpan dalam satu bilik, karbon tersebut akan dipadatkan dan disimpan dalam bentuk cairan
untuk kemudian diuraikan. Profesor Klaus Lackner dari Universitas Colombia telah mengerjakan
konsep ini sejak tahun 1998. Ia belakangan bertemu dengan pejabat Departemen Energi Amerika
Serikat, Steven Chu, untuk membahas perkembangan proyek ini. Lewat perusahaannya yang
bermarkas di Tucson, Global Research Technologies, Lackner telah membuat model awal dan
berharap bisa menghasilkan prototipe sempurna dalam 3 tahun ini. Seperti dijelaskan Lackner,
teknologi yang dipakai pohon sintetis ini mirip dengan yang biasa digunakan untuk menyerap
karbondioksida dari cerobong asap di pertambangan batu bara. Bedanya, alat ini bisa digunakan
di mana saja. Menurut Lackner, separuh dari total emisi karbon berasal dari sumber-sumber yang
berukuran relatif kecil, termasuk mobil dan pesawat terbang, dan biasanya hampir tidak mungkin
untuk diserap. Namun karena karbondioksida dalam udara biasanya sangat terkonsentrasi, alat
yang dibutuhkan untuk menyerapnya juga bisa berukuran kecil. Harapan Lackner adalah membuat
pohon sintetis ini agar efisien untuk ukurannya. Dibandingkan dengan jumlah emisi
karbondioksida yang bisa dihindarkan dengan penggunaan kincir angin besar, sebuah pohon
sintetis dengan ukuran yang sama bisa menyerap karbondioksida ratusan kali lebih banyak. Untuk
membuat satu pohon sintetis dibutuhkan dana hingga 30.000 dollar AS, sebagian besar karena
penggunaan teknologi untuk melepaskan karbondioksida dari penghisap gas. Sebagai tambahan,
karena membutuhkan energi untuk beroperasi, maka alat ini sendiri juga menghasilkan
karbondioksida jika dihubungkan dengan sumber tenaga. Menurut kalkulasi Lackner, untuk setiap
1.000 kg karbondioksida yang diserap, "pohon" ini akan menghasilkan 200 kg sehingga total
karbondioksida yang sesungguhnya diserap adalah 800 kg.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Wah, Pohon Sintetis Serap CO2 1.000 Kali
Lebih
Cepat", https://sains.kompas.com/read/2009/07/13/15591772/wah.pohon.sintetis.serap.co2.1.000
.kali.lebih.cepat.

kumparanNEWS Tidak hanya breaking news, tapi juga dalam, akurat dan kredibel 16 Februari
2017 16:55 WIB 7 8 Sudah Saatnya RI Pakai Teknologi Canggih Tanam Cabai
https://kumparan.com/@kumparannews/sudah-saatnya-ri-pakai-teknologi-canggih-tanam-cabai
Indonesia terbilang masih terbelakang dalam penggunaan teknologi pertanian, khususnya untuk
cabai rawit. Petani cabai rawit di Indonesia hanya mengandalkan musim hujan saat mulai masuk
musim tanam.
Di negara lain, sistem kerja seperti ini sudah lama ditinggalkan. Contohnya Malaysia yang sudah
menggunakan teknologi greenhouse guna meningkatkan produktivitas cabai.
Greenhouse adalah bangunan kontruksi dengan atap tembus cahaya alias transparan. Penggunaan
greenhouse dalam budidaya tanaman cabai digunakan untuk melindungi tanaman cabai dari curah
hujan yang tinggi.
"Teknologi canggih itu ada, istilahnya ada pencegahan untuk melindungi tanaman. Greenhouse itu
modern sekali," ungkap Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia Dadi Sudiana kepada
kumparan, Kamis (16/2).

kumparanNEWS
Tidak hanya breaking news, tapi juga dalam, akurat dan kredibel
16 Februari 2017 16:55 WIB

8
Sudah Saatnya RI Pakai Teknologi Canggih Tanam Cabai

Green house (ilustrasi) (Foto: Reuters)

Indonesia terbilang masih terbelakang dalam penggunaan teknologi pertanian, khususnya untuk
cabai rawit. Petani cabai rawit di Indonesia hanya mengandalkan musim hujan saat mulai masuk
musim tanam.
Di negara lain, sistem kerja seperti ini sudah lama ditinggalkan. Contohnya Malaysia yang sudah
menggunakan teknologi greenhouse guna meningkatkan produktivitas cabai.
Greenhouse adalah bangunan kontruksi dengan atap tembus cahaya alias transparan. Penggunaan
greenhouse dalam budidaya tanaman cabai digunakan untuk melindungi tanaman cabai dari curah
hujan yang tinggi.
"Teknologi canggih itu ada, istilahnya ada pencegahan untuk melindungi tanaman. Greenhouse itu
modern sekali," ungkap Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia Dadi Sudiana kepada
kumparan, Kamis (16/2).

Ilustrasi green house. (Foto: Pixabay/LaraHughes)

Greenhouse umumnya menggunakan kaca sebagai bahan penutup sehingga identik dengan nama
rumah kaca. Di Indonesia sendiri proyek pembangunan greenhouse biasanya ada yang
menggunakan kaca tetapi ada juga yang menggunakan screen sebagai pengganti kaca. Namun
perlu diketahui, untuk membangun greenhouse biayanya tidak murah. Petani harus mengeluarkan
kocek tambahan yang jumlahnya cukup besar.
"Pakai screen sampingnya pakai jaring. Misalnya konstruksinya pakai rangka bambu kisaran Rp
60.000-Rp 70.000 per meter persegi, sedangkan kalau pakai besi rangenya Rp 150.000 sampai Rp
200.000 per meter persegi. Tetapi lifetimenya lama," tuturnya.
Menurut Dadi, di kawasan Asia Tenggara, penggunaan greenhouse sudah banyak digunakan di
Malaysia. Sedangkan di dunia, model pertanian modern ini sudah banyak digunakan di Eropa
hingga Amerika Serikat (AS). Dadi menegaskan, greenhouse bisa menjadi solusi petani dalam
menghadapi kondisi iklim yang tidak menentu dan meningkatkan produktivitas cabai.
"Kalau misalnya pakai greenhouse ini ada kepastian produksi bisa naik hampir 2 kali lipat serta
proteksi dari serangan penyakit," katanya.
Judul Buku : Teknologi Rumah Tanaman untuk Iklim Tropika Basah, Pemodelan dan
Pengedalian Lingkungan

Penulis : Prof. Dr. Ir. Hery Suhardiyanto, M.Sc

Penerbit : IPB Press

Tahun Terbit : 2009

Kota Terbit : Bogor

ISBN : 978-979-493-1684

Perubahan iklim yang terjadi saat ini telah membuat para petani banyak mengalami kerugian.
Keadaan cuaca yang tidak menentu menyebabkan musim tanam dan panen tak menentu
pula.Petani sulit untuk melalukan prediksi cuaca dalam masa tanam. Teknologi greenhouse atau
rumah tanaman merupakan sebuah alternatif solusi untuk mengendalikan kondisi iklim mikro pada
tanaman. Dalam buku ini Herry Suhardiyanto membahas bagaimana penerapan teknologi
greenhouse di daerah iklim tropik seperti Indonesia sebagai upaya pengendalian lingkungan mikro
tanaman.
Penggunaan greenhouse dalam budidaya tanaman merupakan salah satu cara untuk memberikan
lingkungan yang lebih mendekati kondisi optimum bagi pertumbuhan tanaman. Green house
dikembangkan pertama kali dan umum digunakan di kawasan yang beriklim subtropika.
Penggunaan greenhouse terutama ditujukan untuk melindungi tanaman dari suhu udara yang
terlalu rendah pada musim dingin.
Pada mulanya greenhouse yang dibangun di kawasan subtropika menggunakan kaca sebagai bahan
penutup sehingga identik dengan glasshouse atau rumah kaca. Di Indonesia pembangunan
greenhouse juga sering menggunakan kaca sebagai penutup. Saat ini penggunaan kaca sebagai
penutup sudah banyak ditinggalkan, selain biayanya mahal fungsinya juga sudah tidak relefan lagi.
Herry Suhardiyanto, guru besar Fakultas Teknologi Pertanian IPB yang juga Rektor IPB
merancang dan memperkenalkan greenhouse untuk kawasan iklim tropik dan menyebutnya
dengan istilah “rumah tanaman” sebagai terjemahan dari greenhouse.
Cahaya yang dibutuhkan oleh tanaman dapat masuk ke dalam greenhouse sedangkan tanaman
terhindar dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan,yaitu suhu udara yang terlalu rendah,
curah hujan yang terlalu tinggi, dan tiupan angin yang terlalu kencang. Di dalam
greenhouse,parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap tumbuhan yaitu cahaya matahari,
suhu udara, kelembaban udara, pasokan nutrisi, kecepatan angin, dan konsentrasi karbondiokasida
dapat dikendalikan dengan lebih mudah. Penggunaan greenhouse memungkinkan dilakukannya
modifikasi lingkungan yang tidak sesuai bagi pertumbuhan tanaman menjadi lebih mendekati
kondisi optimum bagi pertumbuhan tanaman. Struktur greenhouse berinteraksi dengan parameter
iklim di sekitar greenhouse dan menciptakan iklim mikro di dalamnya yang berbeda dengan
parameter iklim di sekitar greenhouse.
Pembangunan greenhouse di Indonesia yang beriklim tropik seringkali meniru tipe greenhouse
dibangun di daerah subtropika. Peniruan ini menyebabkan fungsi greenhouse yang ada di
Indonesia tidak berjalan dengan baik. Adaptasi tipe greenhouse untuk wilayah Indonesia sangat
diperlukan untuk penyesuaian dengan kondisi iklim di Indonesia.
Di kawasan tropika basah seperti Indonesia greenhouse berfungsi sebagai bangunan perlindungan
tanaman. Konsep greenhouse dengan umbrella effect sangat sesuai dengan untuk kondisi iklim di
Indonesia. Salah satu adaptasi yang greenhouse yang di bangun di wilayah iklim tropic yaitu
dengan adanya bukaan ventilasi baik alamiah maupun buatan. Ventilasi ini berfungsi sebagai
penurun suhu di dalam greenhouse. Malaysian Agricultural Research and Development Institute
mengembangkan greenhouse tipe Naturally Ventilated Tropical Greenhouse Structure (NVTGS).
Strtuktur NTVGS tergolong sederhana, dengan bukaan ventilasi pada hubungan dan dinding.
Dinding greenhouse tegak, sedangkan atapnya berbentuk curve.
Herry Suhardiyanto mengembangkan greenhouse tipe modified standard peak greenhouse
(MSPG) untuk wilayah Indonesia. Greenhouse ini merupakan modifikasi dari span roof atau
standard peak greenhouse.
Modified standard peak greenhouse banyak digunakan di Indonesia karena sesuai dengan kondisi
iklim Indonesia yang memiliki intensitas radiasi matahari dan curah hujan yang tinggi. Bentuk
atap berundak dengan kemiringan tertentu mempercepat aliran air hujan ke arah ujung bawah atap.
Bentuk atap standar peak dengan kemiringan sudut atap 250 – 300 tergolong optimal dalam
mentranmisikan radiasi matahari.
Ventilasi merupakan bagian terpenting dalam rancangan greenhouse untuk wilayah iklim tropik.
Ventilasi adalah proses pertukaran udara dari dalam ke luar greenhouse dan sebaliknya untuk
memidahkan panas akibat radiasi matahari, menambah konsentrasi karbondioksida di udara, dan
mencegah kelembaban udara agar tidak terlalu tinggi. Terdapa dua jenis ventilasi, yaitu ventilasi
alamiah dan ventilasi mekanik. Ventilasi alamiah terjadi karena adanya perbedaan tekanan di
dalam dan di luar tanaman akibat faktor angin dan termal. Ventalasi mekanik terjadi karena
bantuan kipas angin. Luas ventilasi yang direkomendasikan adalah 60% dari luasan lantai.
Ventilasi alamiah memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan ventilasi mekanik. Ventalsi
alamiah tidak membutuhkan energi listrik, tidak membutuhkan pemeliharaan, dan tidak
mengeluarkan suara berisik dari putaran kipas. Pengendalian laju ventilasi alamiah dapat
dilakukan dengan pembukaan dan penutupan lubang ventilasi. Pengaturan ventilasi alamiah agar
tetap kontinu lebih sulit dilakukan karena faktor-faktor yang mempengaruhinya sulit dikendalikan.
Faktor-faktor tersebut antara lain adalah perbedaan suhu udara di dalam dan di luar greenhouse
serta arah dan kecepatan angin. Parameter rancangan greenhouse yang mempunyai pengaruh besar
terhadap laju ventilasi alamiah antara lain adalah luas dan posisi bukaan ventilasi dinding dan atap
serta panjang, lebar, dan tinggi greenhouse.
Bahan penutup untuk greenhouse tropis tidak lagi menggunakan kaca tetapi menggunakan screen.
Screen bisa digunakan untuk menutup bagian ventali saja atau menutup seluruh struktur bangunan
greenhouse. Screen yang digunakan untuk menutup seluruh bagian greenhouse memiliki ukuran
mesh yang lebih kecil dibanding dengn screen ventilasi. Greenhouse yang menggunakan screen
sebagai penutup disebut juga dengan screenhouse.
Ketika suhu udara di dalam greenhouse sangat tinggi, penurunan suhu udara dengan hanya
menggunakan ventilasi saja tidak efektif. Sebagai metode tambahan digunakan yaitu zone cooling.
Zone cooling sudah dikembangkan oleh Herry Suhardiyanto sejak tahun 1990-an sebagai alternatif
pengendalian suhu udara dan kelembaban udara tinggi. Dalam zone cooling, penurunan suhu
dilakukan secara terbatas dengan mengalirkan udara dingin ke sekitar tanaman atau mengalirkan
larutan nutrisi yang didinginkan ke daerah perakaran. Meskipun suhu udara di dalam greenhouse
tinggi, tetapi apabila suhu di daerah perakaran dapat dipertahankan cukup rendah, maka
pertumbuhan tanaman akan cukup baik.
Dari segi fungsional teknologi greenhouse ini bisa menjadi solusi petani dalam menghadapi
kondisi iklim yang tidak menentu karena dalam greenhouse lingkungan bisa dikendalikan
bagaimana pun kondisi lingkungan di luar greenhouse. Namun, dari segi keekonomisannya
greenhouse belum bisa diterapkan dengan maksimal. Investasi yang dikeluarkan untuk
membangun greenhouse cukup tinggi. Selama ini tanaman yang dibudidayakan di dalam
greenhouse hanyalah tanaman yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi seperti paprika, tomat, dan
bunga-bungaan. Herry Suhardiyanto dalam buku ini tidak menyebutkan nilai kebutuhan investasi
real dan efisiensi ekonomi penggunaan greenhouse dalam agribisnis.

Anda mungkin juga menyukai