Anda di halaman 1dari 6

PENDAHULUAN

Indonesia sejak lama ditinggali oleh masyarakat adat dari berbagai suku
bangsa. Dari sini tidak dipungkiri dari banyaknya suku bangsa yang melahirkan
kebudayaan , rumah tradisional menjadi salah satunya. Setiap daerah pasti
memiliki khas tersendiri dari segi arsitekturnya. Keindahan Arsitektur Tradisional
telah dikenal luas dan banyak dieksplorasi sejak masa Kolonial atau penjajahan
bangsa asing di kepulauan nusantara. Arsitektur tradisional sebagian besar
merupakan bangunan rumah tinggal yang dibangun berdasarkan adat dan
tradisi setempat. Proses pendirian rumah tradisional sejak awal penentuan
lokasi hingga didirikan dan dihuni, tidak pernah lepas dari pengaruh adat,
kepercayaan dan tradisi. Rumah tradisional sendiri memiliki pengertian sebagai
suatu bangunan yang mempunyai struktur, cara pembuatan, bentuk, fungsi, dan
ragam hiasnya memilki ciri khas tersendiri, yang diwariskan secara turun -
temurun, serta dapat dipakai oleh penduduk daerah setempat untuk melakukan
aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya (Said, 2004: 47). Kearifan lokal dan
tradisi ikut tergerus perkembangan jaman.
Rumah adat “Ghumah Baghi merupakan rumat adat yang sudah
digunakan sejak beratus tahun lampau oleh para nenek moyang masyarakat
Besemah. Rumah tradisional ini terleak di Desa Gunung Agung Pauh Kecamaan
Dempo Utara Kota Pagaralam. Rumah tradisional. Rumah Ghumah Baghi
memiliki khas tersendiri dan arti tersendiri. Kemudian, Arsitektur Tradisional yang
dianggap kuno tersebut telah terbukti mampu bertahan melewati waktu yang
panjang. mempelajari arsitektur Rumah Tradisional dapat memberikan landasan
pijak yang baik bagi arsitek-arsitek muda bagi perkembangan arsitektur di
Indonesia masa kini.

1
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan memperoleh fakta-fakta tentang Rumah
“Ghumah Baghi” kemudian menggabungkannya dengan teknik pengumpulan data
untuk menjadi data tentang Arsitektur Ghumah Baghi.

HASIL PENELITIAN

Desa Tegurwangi, di Kaki Gunung Dempo, Pagaralam, Sumatera


Selatan, di tengah sawah yang sedang menguning, berdiri tegak rumah adat
masyarakat Besemah yang biasa dikenal dengan nama Ghumah Baghi (Rumah
Baghi). Rumah Baghi merupakan rumat adat yang sudah digunakan sejak
beratus tahun lampau oleh para nenek moyang masyarakat Besemah,
Pagaralam.

Rumah ini memiliki ciri khas pada atapnya yang meruncing bagai
tanduk. Dilihat dari bentuk atapnya, rumah baghi hampir sama dengan rumah
adat minang atau Toraja, satu yang membedakannya adalah atap rumah baghi
tidak terlalu runcing dan terbuat dari ijuk atau serabut pohon aren dengan
kerangkanya yang terbuat dari bambu.

Konstruksi bangunan menggunakan pasak yang menghubungkan bagian


rangka. Menariknya, semua bagian-bagian yang dihubungan tidak
menggunakan paku. Begitu juga dalam pemasangan lembaran-lembaran papan
dinding, dipasang pada kerangka dinding melalui lubang alur sebagai
penguncinya. Ciri khas lain yang ada pada rumah baghi adalah, sejak awal,
rumah baghi dibuat tidak menggunakan jendela dan hanya memiliki satu daun
pintu di bagian tengah. Daun pintu tersebut terbuat dari sekeping kayu dengan
engsel berupa sumbu yang ada di atas dan di bawah daun pintu.

Ketika memasuki Rumah Baghi, pengunjung akan mendapati rumah adat


ini yang tanpa sekat atau kamar. Meski demikian, lantai di dalam ruangan

2
memiliki dua tingkat. Lantai yang lebih tinggi itu terdapat pada bagian depan
ruangan. Tempat tersebut diperuntukan sebagai tempat dudukmeraje, yaitu
keluarga dari garis keturunan laki-laki, seperti kakek, wak, dan paman.
Sementara bagian bawahnya diperuntukan bagi anak belai, yaitu keturunan
perempuan beserta suami dan anak cucu. Dari penempatan tersebut, terlihat
bahwa masyarakat adat Besemah menganut garis keturunan laki-laki atau
patrilineal.

Dari bentuknya secara keseluruhan, rumah baghi terdiri dari tiga ukuran,
yaitu kecil, sedang, dan besar. Hal tersebut menurut H Musa, pemilik rumah
baghi satu-satunya yang masih tersisa mengatakan, ukuran rumah baghi yang
berbeda-beda tersebut merupakan penunjuk status sosial orang yang
memilikinya. Selain ukuran rumah, corak, dan ornamen rumah yang indah juga
menjadi penunjuk status sosial.

Ukuran besar-kecil rumah baghi yang bisa menunjukan status sosial


orang yang memilikinya bukan tanpa sebab, pasalnya bahan baku pembuatan
rumah baghi yang terbuat dari kayu pulai didapat dari hutan. Ada dua versi
yang berpendapat tentang bagaimana cara masyarakat Besemah di zaman
dahulu mengumpulkan kayu pulai dari hutan untuk membangun rumah.

Versi pertama mengatakan, kayu-kayu pulai dibawa oleh roh halus yang
didatangkan saat pemilik rumah hendak membangun rumah baghi. Sedang
versi yang lain mengatakan, proses pembawaan kayu-kayu pulai bahan utama
pembuatan rumah baghi dibantu oleh hewan ternak, semisal sapi atau kerbau.

Terlepas dari kedua versi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sejak dahulu
masyarakat adat Besemah sudah memiliki daya cipta dan seni yang sangat
tinggi. Hal tersebut juga tercermin dari bentuk fisik dan ornamen yang ada
pada eksterior dan interior bangunan rumah. Apalagi pewaris rumah baghi
sudah membuktikan meski sudah berumur ratusan tahun, rumah baghi yang
ada di Desa Tegurwangi, Pagaralam, Sumatera Selatan, masih berdiri kokoh

3
hingga saat ini. Hanya saja dibutuhkan perhatian lebih dari pemerintah daerah
dan masyarakat luas untuk terus menjaga dan melestarikan kekayaan salah satu
kebudayaan nusantara.

PENUTUP

Bangunan arsitektur tradisional Souraja yang dimiliki oleh umunya para


bangsawan dan orang kaya pada masyarakat Kaili merupakan tinggalan
kebudayaan masa lalu yang amat tinggi nilai kultural dan historisnya. Hal ini
terwujud lewat pembangunan rumah ini, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai
budaya yang merupakan perwujudan dari sikap dan tingkah laku masyarakat Kaili
yang bersahaja dan menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan kebersamaan dalam
hidup serta juga kepatuhan terhadap status sosial.
Selama proses pembangunan, baik untuk bangunan
tradisional Souraja dilaksanakan dengan cara bekerja sama atau bergotong royong
serta tolong menolong antara pemilik rumah, tukang kayu (pande), para pembantu
tukang, kaum kerabat, tetangga, dan anggota masyarakat lainnya. Pengerahan
tenaga yang cukup banyak diatur oleh kepala kampung atau pemimpin desa.
Namun, khusus untuk bangunan Souraja pembangunannya lebih ketat dan
syarat dengan berbagai nuansa magis tidak terlepas dari instruksi dan petunjuk
dari raja atau permaisuri dengan melibatkan paranormal. Hal ini dilakukan
sebab Souraja merupakan cerminan dan representasi dari status sosial dan
pelegitimasian dari kekuasaan.
Berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan rumah
tradisional senantiasa didahului dengan upacara-upacara adat untuk memohon
keselamatan lahir dan batin kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip hubungan
antara manusia dan Pencipta sudah dilakukan sejak zaman dahulu hingga kini
pada orang Kaili.
Arsitektur tradisional orang Kaili saat ini mengalami stagnasi dengan
munculnya berbagai pengaruh kebudayaan dari daerah lain. Pengaruh ini dapat
dilihat dari segi pemanfaatan teknologi, penerapan sistem ekonomi, dan

4
perkembangan ilmu pengetahuan. Pengaruh ini dapat merubah bentuk arsitektur
tradisional atau bahkan dapat menghilangkan identitas keaslian apabila mengganti
dengan arsitektur modern. Hal ini terlihat dengan penggunaan bahan-bahan yang
dianggap lebih praktis dan lebih kuat, seperti bahan bangunan dari semen, batu
bata, besi beton, seng, paku, dan berbagai alat lainnya. Bahan-bahan ini dapat
diperoleh dengan mudah jika kita memiliki kemampuan ekonomi yang cukup.
Hanya masyarakat yang tidak mampu yang memanfaatkan bahan-bahan dengan
tehnologi yang sederhana yang diperoleh secara turun-temurun.
Pengaruh perkembangan sistem perekonomian dalam masyarakat Kaili yang
semakin pesat, maka tingkat kemakmuran mulai meningkat secara global, maka
orang-orang mulai tidak merasa puas lagi memiliki rumah-rumah berbentuk
tradisional dengan kondisi yang sederhana. Oleh karena itu, mereka akan berusaha
sekuat tenaga untuk membangun rumah dengan gaya arsitektur modern dan
terkesan mewah, sehingga juga berdampak pada pelegitimasian status sosial
dalam masyarakat.
Pengaruh perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan orang Kaili,
yang akhirnya mempengaruhi perubahan arsitektur tradisional. Pengetahuan
makin maju akan mempengaruhi masyarakat dalam menentukan struktur dan
bentuk bangunan rumahnya, yang disesuaikan dengan pola hidup modern serta
memperhatikan syarat-syarat yang dianggap indah dari segi tata lingkungan serta
memenuhi syarat kesehatan rumah maupun lingkungannya.
Arsitektur tradisional yang tercermin dalam bangunan Souraja merupakan
salah satu aset kebudayaan daerah di wilayah Sulawesi Tengah yang saat ini
mendekati kepunahan. Oleh karena itu, usaha-usaha pelestarian harus dilakukan,
sebab tinggalan budaya ini merupakan ciri khas dan identitas orang Kaili yang
kemungkinan akan hilang eksistensinya sekaligus musnah dengan data-data yang
dimiliki. Untuk itu, perlu upaya pencegahan kepunahannya melalui revitalisasi
dan inventarisasi kebudayaan dengan melakukan pendataan, penelitian,
rekonstruksi, dan bila perlu melakukan renovasi pada sisa bangunan yang ada.
Tentunya usaha revitalisasi dan inventarisasi kebudayaan daerah harus dilakukan
oleh pemerintah dan berbagai instansi terkait serta didukung oleh kesadaran
sejarah dan apresiasi yang positif dari berbagai elemen masyarakat lainnya.

5
DAFTAR PUSTAKA

https://kurniawanpagaralam.wordpress.com/2015/07/01/rumah-bahgi-rumah-adat
besemah-yang-kaya-filosofi/

http://eprints.radenfatah.ac.id/540/5/BAB%20V.pdf

Anda mungkin juga menyukai