Gowa merupakan salah satu kerajaan yang pernah ada di Indonesia (Nusantara) dan pernah
memainkan peran penting dikawasan timur nusantara. Kerajaan ini tidak hanya terkenal sebagai
kerajaan yang berorientasi sektor pertanian, melainkan juga memanfaatkan laut sebagai modal
utama dalam membangun eksistensi politik dan perekonomian di kawasan timur. Atau dalam
bahasa lain Kerajaan Gowa memanfaatkan darat dan laut. Kerajaan Gowa memiliki pelabuhan
Somba Opu sebagai bandar transit yang memberikan satu efek yang luar biasa bagi perkembangan
ekonomi Kerajaan Gowa. Hal ini dilihat dari; Pertama, letak strategis Kerajaan Gowa yang berada
di antara jalur pelayaran dan perdagangan Malaka dan Maluku. Kedua, hasil bumi Kerajaan Gowa
seperti padi (beras), kapas, pala, ikan, teripang dan kulit penyu. Ketiga, politik pintu terbuka yang
dijalankan Kerajaan Gowa. Di mana semua pedagang dari Melayu, Arab, India, China, Belanda,
Spanyol, Portugis, Denmark dan Inggris diberikan kesempatan yang sama dalam berdagang.
Langkah awal yang ditempuh Kerajaan Gowa dalam mengembangkan pengaruh
kekuasaannya, yaitu menaklukan kerajaan saudara dan tetangganya yaitu Tallo dan sekutu-
sekutunya seperti Maros dan Polombangkeng. Kemudian kerajaan Gowa memperluas pengaruh
kekuasaannya dengan menaklukan kerajaan - kerajaan lainnya seperti Garassi, Katingang, Parigi,
Siang, Suppa,Sidenreng, Lembangang, Bulukumba, dan Selayar. Politik perluasan kekuasaan dan
besarnya perhatian yang dilandasi oleh sikap terbuka dari penguasa Gowa terhadap kehidupan
perniagaan akhirnya berhasil menempatkan Makassar sebagai satu-satunya pusat perdagangan dan
pangkalan kegiatan maritim di wilayah itu. Bagi pihak Belanda yang telah menanamkan
kekuasaannya setelah mengusir Portugis dan Spanyol melakukan gangguan terhadap perahu
dagang Makassar diperairan Maluku untuk dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Karena itu Kerjaan Gowa bergiat membangun benteng - benteng pertahanan diawali dengan
Benteng Tallo di bagian utara dan benteng Panakukang di bagian selatan , Benteng ujung Tanah,
Ujung Pandang, Baroboso, Mariso, Garasi, dan Barombong, untuk melindungi kedudukan mereka
dari ancaman, juga dipersiapkan pembuatan jenis perahu gorab atas perintah Karaeng Matoaya
atau Raja Tallo yang berkuasa saat itu.
Posisi Makasaar dalam Jaringan Perdagangan dan Sistem Perdagangan
Terdapat lima jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan
Teluk Bengal yang meliputi pesisir Koromandel di India selatan, Seilon, Bima, serta pesisir utara
dan barat Sumatra. Kedua, jaringan perdagangan Selat Makassar. Ketiga, jaringan perdagangan
yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand dan Vietnam selatan (sebut saja
dengan jaringan perdagangan Laut Cina selatan). Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu,
meliputi pesisir barat barat Luzon, mindoro, Cebu, Mindanao dan pesisir utara Kalimantan (Brunei
Darussalam). Kelima, jaringan Laut Jawa yang meliputi Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan
Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatra. Transaksi dagang pada waktu
itu umumnya dilakukan secara barter. Beras dan barang lainnya yang dibeli di pelabuhan bagian
barat oleh pedagangan Bugis Makassar, kemudian dijual secara barter dengan rempah-rempah.
Penukaran secara barter ini didasarkan pada perbandingan kesatuan yang telah ditetapkan
oleh kedua belah pihak. Di bandar Somba Opu orang Portugis sering membawa tunai berupa mata
uang timah Cina untuk kemudian diserahkan kepada pedagang Bugis – Makassar.Uang timah itu
dianggap sebagai uang muka dan diberlakukan jaminan secara tertulis. Surat tanda terima ini di
tulis dalam bahasa Melayu. Adapun alat tukar uang di bandar Somba Opu sekitar abad XVII, yaitu
telah dibuat mata uang dari emas disebut dinarayang berbentuk besar dan kupa yang berbentuk
kecil, semua menggunakan tulisan Arab. Mata uang dari timah disebut benggolo. Adapun aturan
yang berlaku dalam kerajaan Gowa tentang tata cara berdagang maupun berlayar, dan daftar sewa
bagi orang yang berlayar, adalah sebagai berikut:
“ Apabila orang naik di perahu, di daerah Makassar, di daerah Bugis, di Paser, di Sumbawa, di
Kaili, pergi ke Aceh, ke Kedah, ke Kamboja, sewanya tujuh rial dari tiap-tiap seratus. Apabila
orang naik di perahu di Makassar pergi ke Selayar, sewanya dua setengah dari tiap-tiap seratus.
Apabila orang naik di perahu di Paser atau Sumbawa dan pergi ke daerah Buton, ke daerah Bugis,
ke Timor, sewanya empat rial dari tiap seratus”.
Sedangkan aturan tata cara berjualan, diungkapkan dalam pasal 7, bahwa ada lima jenis
cara berjualan:
1.Berkongsi sama banyak (yaitu cara berdagang dengan menanggung resiko sama-sama, memikul
bersama keuntungan dan kerugian).
2.Samatula (yang empunya barang jualan yang memikul segala kerusakannya).
3.Utang tanpa bunga.
4.Utang kembali (Jikalau setelah diterima, barulah diketahui tidak cukup pembayarannya, atau
robek bagi barang yang berlembar, dicukupkanlah yang robek).
5.Kalula (disebut juga anak guru, merupakan orang yang dipercayakan menjual barang dagangan).