Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Morbus Hansen (kusta/ lepra) adalah penyakit granulomatosa kronis yang

disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. M.

leprae menyerang saraf perifer, kulit, dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan

saraf pusat. Kusta masih terdapat di daerah tropis dan sub-tropis. Di seluruh dunia

249.007 kasus baru terdaftar pada tahun 2008 dengan India mendaftarkan 134.184

kasus. Di Indonesia sendiri tercatat 33.739 orang penderita kusta. Indonesia

merupakan Negara ketiga terbanyak penderitanya setelah India dan Brasil dengan

prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk. Cara penularan penyakit ini belum diketahui

secara pasti namun hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu kontak langsung antar

kulit yang lama dan secara inhalasi. Kusta mempengaruhi saraf perifer menyebabkan

pembesaran, kehilangan sensori dan kelemahan motorik, dan serat saraf di kulit

menyebabkan hilangnya sensasi di area kulit yang terkena. Infeksi M. leprae diobati

dengan Multi Drug Therapy (MDT) dan semua pasien menerima terapi baik ganda

atau tiga obat sampai 12 bulan. MDT sangat efektif dengan tingkat kekambuhan 1 %.

Kerusakan saraf baru diobati dengan terapi steroid, tetapi hanya sekitar 50 % dari

pasien akan mengalami perbaikan dalam fungsi saraf setelah pengobatan dengan

steroid. Permasalahan kusta juga dipengaruhi oleh episode lanjut dari peradangan

yang mempengaruhi kulit dan saraf. Ini mungkin merupakan reaksi tipe 1 yang terkait

dengan jenis hipersensitivitas tertunda (delayed) yang menyebabkan peradangan yang

mempengaruhi kulit dan saraf. Tipe 2 atau eritema nodosum leprosum (ENL)

merupakan reaksi yang berhubungan dengan deposisi kompleks imun dan peradangan

1
sistemik yang terlihat dengan adanya keterlibatan kulit, saraf, mata, tulang, dan testis.

Laporan ini mempresentasikan kasus Morbus Hansen (kusta/ lepra).

2
BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Definisi Lepra (Morbus Hansen)

Lepra (Morbus Hansen, kusta) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang diseb

abkan oleh M. leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas p

ertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke org

an lain kecuali susunan saraf pusat.1,3 Lepra merupakan infeksi bakteri granulomatosa

kronis, terutama mempengaruhi kulit dan saraf perifer yang disebabkan oleh M. lepra

e.

B. Epidemiologi Lepra

Lepra dapat terjadi dimanapun seperti di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tr

opis dan subtropis serta masyarakat dengan sosioekonomi yang rendah. Tingkat ende

misitaspenyakitlepraterjadi di 15 negaradengan 83% ditemukan di India, Brazil, danB

irmania.1,9 Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2011 tercatat 226

626 kasus baru lepra dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 232.857 kasus. Tahun 2

012 jumlah kasus baru di Indonesia sejumlah 18.994 kasus, sedangkan di Jawa Tenga

h pada tahun 2012 dilaporkan terdapat kasus baru tipe Multibasilar (MB) sebanyak 1.

308 kasus dan pada lepra tipe Pausibasilar (PB) sebanyak 211 kasus dengan Newly Ca

se Detection Rate (NCDR) sebesar 4,57 per 100.000 penduduk.

Indonesia berhasil mencapai eliminasi lepra pada tahun 2000 di 19 provinsi da

n sekitar 300 kabupaten/kota. Eliminasi dilakukan dengan menurunkan angka kesakita

n lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk dan lebih dari 10 juta penderita telah disemb

uhkan dan lebih dari 1juta penderita telah diselamatkan dari kecacatan. Prevalensi pen

derita lepra di Indonesia turun sebesar 81% dari 107.271 pada tahun 1990 menjadi 21.

3
026 pada tahun 2009. Hal itu dicapai setelah dilakukan program rehabilitasi melalui o

perasi, rekonstruksi, protesa dan pembentukan kelompok perawatan diri.

Lepra merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat

menyebabkan ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita lepra bukan hanya menderit

a penyakitnya tetapi juga pengucilan dari masyarakat sekitar. Hal ini akibat kerusakan

saraf besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik serta deng

an adanya kerusakan yang berulang pada daerah anestesia yang disertai paralisis dan a

trofi otot.

C. Etiologi Lepra

Kuman penyebab lepra adalah M. leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen pa

da tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam

media artifisial. Mycobacterium leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi

pararel dengan kedua ujung bulat dengan ukuran 3-8 μm x 0,5μm. Basil ini berbentuk

gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora dapat tersebar atau dalam berbagai uku

ran bentuk kelompok, termasuk massa irreguler besar yang disebut globi. Dengan mik

roskop elektron, M. leprae terlihat mempunyai dinding yang terdiri dari dua lapisan y

aitu lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan transparan lipopolisak

arida dan kompleks protein lipopolisakarida pada bagian luar. Dinding polisakarida in

i adalah suatu arabinogalaktan yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan ketebalan

2 nm. Peptidoglikan terlihat mempunyai sifat spesifik pada M. lepra, yaitu adanya asa

m amino glisin, sedangkan pada bakteri lain mengandung alanin. Faktor-faktor yang

mempengaruhi timbulnya penyakit meliputi bangsa atau ras, sosioekonomi, kebersiha

n dan keturunan. Pada ras kulit hitam insiden bentuk tuberkuloid lebih tinggi, sedangk

an pada kulit putih cenderung tipe lepramatosa. Banyak terjadi pada negaranegara ber

kembang dan golongan sosioekonomi rendah dan lingkungan yang kurang memenuhi

4
kebersihan. Faktor genetik berperan penting dalam penularan penyakit lepra. Penyakit

ini tidak diturunkan pada bayi yang dikandung ibu lepra.

D. Patogenesis Lepra

Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah k

arena penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejal

a yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi

dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah

reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif

Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai penyebab imunologik. Kelompo

k umur terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35 tahun.

Onset lepra adalah membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit dan

mata. Hal ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring), testis, gin

jal, otot-otot halus, sistem retikuloendotel dan endotelium pembuluh darah.Basil masu

k kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki patogenisitas rendah d

an hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi menimbulkan tanda-tanda penyakit. Ma

sa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah memasuki tubuh basil bermigrasi ke

arah jaringan saraf dan masuk kedalam sel Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan da

lam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel endotel pembuluh darah. Setelah memasuki sel

Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada perlawanan dari individu ya

ng terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak perlahan (sekitar 12-14 hari untuk satu bak

teri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat dibebaskan dari sel-sel hancur dan mema

suki sel terpengaruh lainnya. Basil berkembang biak, peningkatan beban bakteri dala

m tubuh dan infeksi diakui oleh sistem imunologi serta limfosit dan histiosit (makrofa

g) menyerang jaringan terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul s

ebagai keterlibatan saraf disertai dengan penurunan sensasi dan atau skin patch. Apabi

5
la tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan

oleh kekuatan respon imun pasien. Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindunga

n terhadap penderita lepra. Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dala

m tubuh, lesi akan menghilang secara spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe Pa

usibasilar (PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbul

kan lepra dengan tipe Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon imun tiba-tiba berub

ah baik setelah pengobatan atau karena status imunologi yang menghasilkan peradang

an kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra (tipe 1 dan 2).

E. Klasifikasi Lepra

Menurut Kongres Internasional Madrid (1953), lepra dibagi atas tipe

Indeterminan(I), tipe Tuberculoid (T), tipe Lepromatosa dan tipeBorderline (B).

Ridley Jopling (1960) membagi lepra kedalam berbagai tipe yaituIndeterminan (I),

Tuberculoid polar (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid Borderline (BB),

Borderline Lepromatous (BL), dan Lepromatosa polar (LL).

Tipe I tidak termasuk dalam spektrum. Tipe TT adalah tipe tuberculoid polar y

aitu tuberculoid 100% yang merupakan tipe stabil sehingga tidak mungkin berubah tip

e. Begitu juga dengan tipe LL yang merupakan tipe lepromatosa polar, yaitu lepramat

osa 100% , mempunyai sifat stabil dan tidak mungkin berubah lagi. BB merupakan tip

e campuran yang terdiri atas 50% tuberculoid dan 50% lepromatosa. Pada tipe BT lebi

h banyak tuberculoid, sedangkan pada tipe BL lebih banyak lepromatosa. Tipe-tipe ca

mpuran ini adalah tipe yang labil yang berarti bahwa dapat dengan bebas beralih tipe,

baik ke arah tipe TT maupun tipe LL.1 Menurut WHO pada 1981, lepra dibagi menja

di dua tipe yaitu tipe Multibasilar (MB) dan tipe Pausibasilar (PB).1

6
1. Lepra tipe PB ditemukan pada seseorang dengan SIS baik. Pada tipe ini berarti m

engandung sedikit kuman yaitu tipe TT, tipe BT dan tipe I. Pada klasifikasi Ridle

y-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) kurang dari 2+.

2. Lepra tipe MB ditemukan pada seseorang dengan SIS yang rendah. Pada tipe ini

berarti bahwa mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, tipe BL dan tipe BB. Pa

da klasifikasi Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+.

Berkaitan dengan kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perub

ahan yaitu lepra PB adalah lepra dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jari

ngan kulit, yaitu tipe I, tipe TT dan tipe BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Apab

ila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif maka akan dimasukkan kedalam lepra

tipe MB. Sedangkan lepra tipe MB adalah semua penderita lepra tipe BB, tipe BL da

n tipe LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan

regimen MDT (Multi Drug Therapy)-MB.1

F. Manifestasi Klinis Lepra

Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu multiplika

si dan diseminasi kuman M. leprae, respon imun penderita terhadap kuman M. leprae

serta komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.11

Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi:1,4

1. Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat, saraf yang t

erlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi penebalan saraf yang menyeba

bkan gangguan motorik, sensorik dan otonom.

2. Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar, perlahan tetapi pr

ogresif, beberapa tahun kemudian terjadi hipoestesi (bagian-bagian dingin pad

a tubuh), simetris pada tangan dan kaki yang disebutglove dan stocking anaest

7
hesia terjadi penebalan saraf menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan ot

onom dan ada keadaan akut apabila terjadi reaksi tipe 2.

3. Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe tuberculoid dan tipe

lepromatosa.

Tabel 2.1Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra tipe MB.1

Tabel 2.2.Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra tipe PB.1

Sifat Tuberkuloid Borderline Intermedinate (I)

(TT) Tuberkuloid (BT)

8
Lesi
- Bentuk Makula saja, Makula dibatasi Hanya makula

makula infiltrat, infiiltrat saja

dibatasi

infiltrat
- Jumlah Satu, dapat Beberapa atau satu Satu atau beberapa

beberapa dengan satelit


- Distribusi asimetris Masih simetris variasi
- Permukaan Kering Kering bersisik Halus, agak berkilat

bersisik
- Batas jelas jelas Dapat jelas, atau

tidak jelas
-Anestesia jelas jelas Tidak ada sampai

tidak jelas
BTA
- Lesi kulit Hampir Negatif atau hanya Biasanya negatif

selalu negatif 1+
- Tes Lepromin Positif kuat Positif lemah Dapat positif lemah

3+ atau negatif

G. Reaksi Lepra

Reaksi lepra adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit ya

ng kronik disebabkan karena sistem kekebalan tubuh yang menyerang kuman M. lepr

ae. Penderia lepra dapat mengalami reaksi hampir setiap saat yaitu sebelum pengobata

n, saat diagnosis ditegakkan, selama pengobatan maupun setelah pengobatan selesai.

Sebagian besar reaksi terjadi dalam satu tahun setelah diagnosis. Pada penderita tipe

MB, reaksi dapat timbul setiap saat selama pengobatan bahkan sampai dengan bebera

pa tahun setelah pengobatan.1,15

9
Berikut ini adalah tanda-tanda terjadinya reaksi lepra:1,4

1. Pada kulit: peradangan bercak kulit

2. Pada saraf: rasa sakit atau nyeri tekan pada saraf, timbul kehilangan rasa raba

baru dan timbul kelemahan otot baru

3. Pada mata: rasa sakit atau kemerahan pada mata, timbu penurunan daya pengli

hatan yang baru, timbul kelemahan otot-otot penutup mata yang baru

Reaksi lepra dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu:

1. Reaksi tipe 1 disebut juga reaksi reversal.

Reaksi tipe 1 ini disebabkan peningkatan aktivitas sistem kekebalan tub

uh dalam melawan basil lepra atau bahkan sisa basil yang mati. Peningkatan a

ktivitas ini menyebabkan terjadi peradangan setiap terdapat basil lepra pada tu

buh, terutama kulit dan saraf. Penderita lepra dengan tipe MB maupun PB dap

at mengalami reaksi tipe 1. Sekitar seperempat dari seluruh penderita lepra ke

mungkinan akan mengalami reaksi tipe 1.4

Reaksi tipe 1 paling sering terjadi dalam enam bulan setelah mulai minu

m obat. Beberapa penderita mengalami reaksi tipe 1 sebelum mulai berobat di

mana belum terdiagnosis. Reaksi merupakan tanda penyakit yang sering munc

ul pertama yang menyebabkan penderita datang untuk berobat. Sebagian kecil

penderita mengalami reaksi lebih lambat, baik selama masa pengobatan maup

un sesudahnya.15

2. Reaksi tipe 2 disebut juga reaksi Erythema Nodusum Leprosum (ENL).

Reaksi tipe 2 ini terjadi apabila basil leprae dalam jumlah besar terbun

uh dan secara bertahap dipecah. Protein dari basil yang mati mencetuskan rea

ksi alergi. Reaksi tipe 2 akan mengenai seluruh tubuh dan menyebabkan gejal

a sistemikkarena protein ini terdapat dialiran pembuluh darah.4

10
Erythema nodusum leprosumhanya terjadi pada penderita tipe MB, teru

tama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada tipe BL, serta pa

da ENL tidak terjadi perubahan tipe, berarti bahwa semakin tinggi tingkat mul

tibasilarnya semakin besar kemungkinan timbulnya ENL. Secara imunopatolo

gis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenomena kompleks imun ak

ibat reaksi antara antigen M. leprae, antibodi (IgM, IgG) dan komplemen, ma

ka ENL termasuk didalam golongan penyakit kompleks imun, karena salah sa

tu protein M. leprae bersifat antigenik maka antibodi dapat terbentuk. Kadar i

munoglobulin penderita lepra lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberculo

id. Hal ini terjadi oleh karena tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebih bany

ak daripada tipe tuberculoid. ENL lebih sering terjadi pada masa pengobatan.

Hal ini dapat terjadi karena banyak kuman lepra yang mati dan hancur, berarti

banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengakti

fkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkula

si darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.1

Tabel 2.3Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 2.1

11
Tabel 2.4 Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi lepra tipe 1

12
dan tipe 2.1

H. Deformitas atau Kecacatan

Deformitas atau kecacatan lepra sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi

menjadi deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer terjadi sebagai akibat lan

gsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae yang mendes

ak dan merusak jaringan disekitarnya yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tul

ang-tulang jari dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformit

as primer terutama kerusakan saraf (sensorik, motorik dan otonom) antara lain kontra

ktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.1

13
Gejala-gejala kerusakan saraf:1

1. Nervus Ulnaris akan terjadi anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari mani

s, clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua o

tot lubrikalis medial.

2. Nervus Medianus terjadi anestesia pada ujung jari sebagian anterior ibu jari, jari telunj

uk dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari

tengah, ibu jari kontraktur dan atrofi otot tenar dan kedua otot lubrikalis lateral.

3. Nervus Radialis terjadi anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, t

angan gantung (wrist drop), dan tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangn.

4. Nervus Poplitea laterallis dapat terjadi anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dor

sum pedis, kaki gantung (foot drop), dan kelemahan otot peroneus.

5. Nervus Tibialis posterior terjadi anestesia telapak kaki, claw toes, dan paralisis otot int

rinsik kaki dan kolaps arkus pedis.

6. Nervus Fasialis yaitu cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus, caba

ng bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegag

alan mengatubkan bibir.

7. Nervus Trigeminus terjadi anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata, atrofi

otot tenar dan kedua otot lubrikalis lateral.

Kerusakan mata pada lepra juga dapat terjadi secara primer dan sekunder. Primer men

gakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata serta dapat mendesak jaringan mata lain

nya. Kerusakan sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang dapat membuat paral

isis N. Orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya yang mengakibatkan lagoftalmu

s, selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri

atau bergabung yang akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.1,4

14
Infiltrasi granuloma kedalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar

palit, dan folikel rambutmenyebabkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa da

pat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan infiltrasi granulom

a pada tubulus seminiferus testis.1

Kecacatan akibat kerusakan saraf tepi dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu:

1. terjadi kelainan pada saraf, berbentuk penebalan saraf, nyeri tanpa gangguan fungsi ge

rak namun telah terjadi gangguan sensorik,

2. terjadi kerusakan pada saraf, timbul paralisis tidak lengkap atau paralisis awal, termas

uk pada otot kelopak mata, otot jari tangan dan otot kaki. Pada stadium ini masih dapa

t terjadi pemulihan dan kekuatan otot. Bila berlanjut dapat terjadi luka (di mata, tanga

n dan kaki) dan kekakuan sendi,

3. terjadi penghancuran saraf serta kelumpuhan menetap. Pada stadium ini dapat terjadi i

nfeksi yang progesif dengan kerusakan tulang dan kehilangan penglihatan.4

Derajat kecacatan pada lepra terbagi atas tiga tingkatan yaitu:

1. Kecacatan tingkat 0 berarti tidak ada cacat.1

2. Kecacatan tingkat 1 adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensoris ya

ng tidak terlihat seperti hilangnya rasa raba pada kornea mata, telapak tangan dan t

elapak kaki. Gangguan fungsi sensoris pada mata tidak diperiksa dilapangan oleh k

arena itu tidak ada cacat tingkat 1 pada mata. Kecacatan tingkat 1 pada telapak kaki

beresiko terjadinya ulkus plantaris, namun dengan perawatan diri secara rutin hal i

ni dapat dicegah. Mati rasa pada bercak bukan merupakan kecacatan tingkat 1 kare

na bukan disebabkan oleh kerusakan saraf perifer utama, tetapi rusaknya saraf loka

l kecil pada kulit.1

3. Kecacatan tingkat 2 berarti cacat atau kerusakan yang terlihat. Pada mata yaitu terj

adi ketidakmampuan menutup mata dengan rapat (lagoftalmus), kemerahan yang je

15
las pada mata(terjadi pada ulserasi kornea atau uveitis), gangguan penglihatan berat

atau kebutaan.Sedangkan pada tangan dan kaki dapat terjadi luka dan ulkus di telap

ak serta deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki semper atau jari k

ontraktur) dan atau hilangnya jaringan (atrofi) atau reabsorbsi parsial dari jar-jari.1,4,

I. Diagnosis Lepra

Diagnosis penyakit lepra didasarkan oleh gambaran klinis, bakterioskopis, hist

opatologis dan serologis. Diantara pemeriksaan tersebut, diagnosis secara klinis adala

h yangterpenting dan paling sederhana dilakukan. Hasil bakterioskopis memerlukan w

aktu paling sedikit (15-30 menit), sedangkan pemeriksaan histopatologi memerlukan

waktu 10-14 hari. Tes lepromin (Mitsuda)juga dapat dilakukan untuk membantu pene

ntuan tipe yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe lepra

perlu dilakukan supaya dapat menetapkan terapi yang sesuai.1

Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan, p

ada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis lepra berdasarkan pen

ghitungan lesi kulit dan saraf yang terkena. Pada tahun 1997, diagnosis klinis lepra be

rdasarkan tiga tanda kardinal yang dikeluarkan oleh “WHO’s Committe on Leprosy”

yaitu lesi pada kulit berupa hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa, penebalan sar

af tepi, serta pada pemeriksaan skin smear atau basil pada pengamatan biopsi positif. 1,
9
Seseorang dikatakan sebagai penderita lepra apabila terdapat satu atau lebih dari tand

a-tanda terssebut.

Tabel 2.5 Diagnosis klinis, klasifikasi dan penanganan lepra menurut

“WHO’s Cardinal Sign” (1997) .

16
Pada diagnosis secara klinis dan secara histopatologik ada kemungkina

n terdapat persamaan maupun perbedaan tipe. Diagnosis klinis harus didasarka

n hasil pemeriksaan seluruh tubuh penderita, sebab ada kemungkinan diagnosi

s klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahk

an pada satu lesi (kelainan kulit) dapat berbeda tipe dengan lesi lainnya. Begit

u pula dasar diagnosis histopatologik tergantung pada beberapa tempat dan dar

i mana biopsi tersebut diambil. Diagnosis klinis dimulai dengan inspeksi, palp

asi lalu dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat sederhana berupa jar

um, kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pens

il tinda dan sebagainya.1,4

Ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis.

Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, dan k

apas terhadap rasa raba. Apabila belum jelas dapat dilakukan dengan pengujia

n terhadap rasa suhu yaitu panas dan dingin menggunakan dua tabung reaksi.

Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada tidak

nya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas ataupun tidak, yang dipertegas de

ngan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya dimulai

dari tengah lesi kearah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit nor

mal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula

17
diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi. Gangguan fungsi motoris diperiks

a dengan Voluntary Muscle Test (VMT).1,4

Saraf perifer yang perlu diperhatikan adalah mengenai pembesaran, ko

nsistensi, ada tidaknya nyeri spontan dan atau nyeri tekan. Hanya beberapa sar

af superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu N. Fasialis, N. Aurikularis

magnus, N. Radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, dan N. Tib

ialis posterior.1

J. Penunjang Diagnosis Lepra

1. Pemeriksaan bakterioskopik

Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang diperoleh

melalui irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberi pewarnaan ta

han asam untuk melihat M. leprae. Pemeriksaan ini digunakan untuk membant

u menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari ker

okan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai de

ngan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA) yaitu dengan menggunakan

Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita bukan berarti or

ang tersebut tidak mengandung kuman M. leprae. 1

Pertama harus ditentukan lesi kulit yang diharapkan paling padat oleh kum

an, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Unt

uk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk pemeriksaan rutin sebaiknya mini

mal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yan

g paling aktif yaitu yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan ke

dua cuping telinga tersebut tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat tersebut,

karena pada tempat tersebut mengandung kuman paling banyak.1

18
Mycobacterium leprae tergolong BTA tampak merah pada sediaan. Dibeda

kan atas batang utuh (solid), batang terputus (fragmented) dan butiran (granula

r). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan pada bentuk fragmented dan

granular adalah kuman mati. Kuman dalam bentuk hidup lebih berbahaya kare

na dapat berkembang biak dandapat menularkan ke orang lain.1

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non-solid pada sebuah sediaa

n dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan rentang nilai dari 0 sampai 6+

menurut Ridley. Interpretasi hasil adalah sebagai berikut:1

a) 0 apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).

b) 1+ apabila 1-10 BTA dalam 100 LP

c) 2+ apabila 1-10 BTA dalam 10 LP

d) 3+ apabila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP

e) 4+ apabila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

f) 5+ apabila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

g) 6+ apabila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Indeks bakteri seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sed

iaan. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan

minyak emersi pada pembesaran lensa objektif 100 kali.1

Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk soliddibandingkan de

ngan jumlah solid dan non-solid yang berguna untuk mengetahui daya penular

an kuman dan untuk menilai hasil pengobatan dan membantu menentukan resi

stensi terhadap obat.1,4

2. Pemeriksaan histopatologi

Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan untuk memastika

n gambaran klinik, misalnya lepra Indeterminate atau penentuan klasifikasi lep

19
ra. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gamb

aran histopatologi tipe tuberculoid adalah tuberkel dengan kerusakan saraf lebi

h nyata, tidak terdapat kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepro

matosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu sua

tu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Dida

pati sel Virchow dengan banyak kuman. Terdapat campuran unsur-unsur terseb

ut pada tipe Borderline.1,4

3. Pemeriksaan serologis

Pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi tu

buh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat b

ersifat spesifik dan tidak spesifik. Antibodi yang spesifik terhadap M. lepraeya

itu antibodi antiphenolic glycolipid-1(PGL 1) dan antibodi antiprotein 16kD se

rta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipo

arabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.1

Pemeriksaan serologis ini dapat membantu diagnosis lepra yang meraguka

n karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Selain itu dapat juga memb

antu menentukan lepra subklinis, karena tidak terdapat lesi kulit, misalnya pad

a kontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik lepra adalah uji ML

PA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzym Linked

Immuno-sorbent Assay), ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick), da

n ML flow test (Mycobacterium leprae flow test).1

K. Penatalaksanaan Lepra

Obat-obatan yang digunakan dalam World Health Organization- Multydrug Th

erapy (WHO-MDT) adalah kombinasi rifampisin, klofazimin dan dapson untuk pende

rita lepra tipe MB serta rifampisin dan dapson untuk penderita lepra tipe PB. Rifampis

20
in ini adalah obat anti lepra yang paling penting dan termasuk dalam perawatan kedua

jenis lepra. Pengobatan lepra dengan hanya satu obat antilepra akan selalu menghasilk

an mengembangan resistensi obat, pengobatan dengan dapson atau obat antilepra lain

yang digunakan sebagai monoterapi dianggap tidak etis.1

Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi,

memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan.

Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan efek terapeutik obat, efek sampin

g obat, ketersediaan obat, harga obat, dan kemungkinan penerapannya.1

Prosedur pemberian MDT adalah sebagai berikut:

1. MDT untuk lepra tipe MB

Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600 mg setiap

bulan, klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan dapsone 100

mg setiap hari. Sedangkan pada anak-anak, diberikan selama 12 bulan dengan

kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan, klofamizin 150 mg setiap bulan da

n 50 mg setiap hari, serta dapsone 50 mg setiap hari. 1

2. MDT untuk lepra tipe PB

Pada dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 60

0 mg setiap bulan dan dapsone 100 mg setiap bulan. Pada anak-anak diberikan

selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan dan dapsone

50 mg setiap bulan.4

Sedangkan pada anak-anak dengan usia dibawah 10 tahun, diberikan k

ombinasi rifampisin 10 mg/kg berat badan setiap bulan, klofamizin 1 mg/kg be

rat badan diberikan pada pergantian hari, tergantung dosis, dan dapsone 2 mg/

kg berat badan setiap hari.4

Untuk pengobatan timbulnya reaksi lepra adalah sebagai berikut:

21
1. Pengobatan reaksi reversal (tipe 1)

Pengobatan tambahan diberikan apabila disertai neuritis akut, obat pilihan p

ertama adalahkorikosteroid. Biasanya diberikan prednison 40 mg/hari kemudia

n diturunkan perlahan. Pengobatan harus secepatnya dan dengan dosis yang ad

ekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara menndadak. Anggot

a gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Apabila diperlukan da

pat diberikan analgetik dan sedativa.1

2. Pengobatan reaksi ENL (tipe 2)

Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain pred

nison dengan dosis yang disesuaikan berat ringannya reaksi, biasanya diberika

n dengan dosis 15-30 mg/hari. Dosis diturunkan secara bertahap sampai berhe

nti sama sekali sesuai perbaikan reaksi. Apabila diperlukan dapat ditambahkan

analgetik-antipiretik dan sedativa. Ada kemungkinan timbul ketergantungan te

rhadap kortikosteroid, ENL akan timbul apabila obat tersebut dihentikan atau

diturunkan pada dosis tertentu sehingga penderita harus mendapatkan kortikos

teroid secara terus-menerus.1

Penderita lepra dengan diagnosis terlambat dan tidak mendapat MDT mempun

yai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi lepra te

rutama reaksi reversal lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri j

uga memiliki risiko tersebut.1

Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan ber

kurangnya kekuatan otot. Keluhan yang timbul berupa nyeri saraf atau luka yang tida

k sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya, serta

adanya kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju,

memegang benda kecil atau kesulitanberjalan.1

22
Pencegahan kecacatan yang terbaik atau prevention of disability (POD) adalah

dengan melaksanakan diagnosis dini lepra, pemberian pengobatan MDT yang cepat d

an tepat, mengenali gejala dan tanda reaksi lepra yang disertai gangguan saraf serta m

emulai pengobatan dengan kortikosteroid secepatnya. Memberikan edukasi pada pasie

n tentang perawatan misalnya memakai kacamata, merawat kulit supaya tidak kering

dan lainnya apabila terdapat gangguan sensibilitas.1

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien :

1. Nama : Tn. R.A

2. Umur : 19 tahun

3. Alamat :Abepura,

4. Pekerjaan :Mahasiswa

5. No. RM :088688.

6. Tanggal Berobat :6 Desember 2017

B. Keluhan Utama Keluhan Utama

23
Pasien datang dengan keluhan bercak putih di badan

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan bercak putih di badan pada perut, dada, punggu

ng, tangan, kaki dan wajah sejak 1 tahun yang lalu. Bercak awal muncul pertama kali

pada bagian punggung kemudian menyebar. Dari hasil anamnesis didapatkan bercak y

ang terasa tebal, tidak ada gatal, tidak ada nyeri, tidak ada kesemutan pada telapak tan

gan dan kaki, dan badan pasien tidak panas..

D. Riwayat Pengobatan

Riwayat pengobatan terdahulu pasien di puskesmas oleh dokter diberi obat tet

api pasien lupa nama obatnya, dan diberi pengantar periksa darah ke LABKESDA, pa

sien menyampaikan jika hasilnya dokter mengatakan alergi biasa.

E. Riwayat Alergi

Tidak ada riwayat alergi baik obat maupun makanan.

F. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit dalam keluarga disangkal,. Tidak ditemukan adanya penyakit penyert

a.

G. Pemeriksaan Fisik

Status internus pasien dalam batas normal. status lokalis kelainan pada mukosa badan,

bagian perut, dada, punggung, lengan, kaki dan wajah terdapat makula Hipopigmentasi,

bentuk oval, batas tidak tegas, ukuran milier sampai lentikular, bentuk lesi teratur dan ti

dak teratur. Lokasi universalis. Tidak terdapat erosi pada mukosa. Pada rambut tidak ter

jadi alopesia. Pembesaran kelenjar limfe dan pembesaran saraf tidak ada. Pemeriksaan s

ensibilitas pada lesi raba, nyeri normal, terdapat anestesi perabaan pada regio punggung

menggunakan kapas.

24
Gambar l. lesi pada punggung

gambar 2. Bercak pada dada dan perut

gambar 3 .gejala -gejala pembesaran

gambar 4 .gejala -gejala penurunan fungsi saraf N. radialis

Diagnosis Banding : tinea versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis alba, dan psoriasis.

Pemeriksaan Penunjang : BTA MH dan Kerokan KOH


25
Diagnosa kerja : Morbus Hansen + Tinea Corporis

BAB IV

PEMBAHASAN

26
Kusta, juga dikenal sebagai Morbus Hansen, adalah penyakit infeksi kronis ya

ng disebabkan oleh Mycobacterium leprae di mana kerentanan terhadap mikobakteri

dan manifestasi klinis dikaitkan dengan respon imun host. Meskipun prevalensi kusta

telah menurun secara dramatis, tingginya jumlah kasus baru menunjukkan transmisi a

ktif. Kusta adalah salah satu penyebab paling umum dari neuropati perifer nontraumat

ic di seluruh dunia. Proporsi pasien dengan cacat dipengaruhi oleh jenis kusta dan ket

erlambatan diagnosis.

Kusta merupakan penyakit yang utamanya menyerang kulit dan sistem saraf p

erifer. Namun terkadang dapat mengenai mata, tulang, kelenjar getah bening, struktur

hidung, dan testis juga mungkin terlibat. Manifestasi klinis penyakit itu dibagi menjad

i dua, tuberkuloid (TT) atau pausibasiler (PB) dan lepromatosa (LL) atau multibasiler

(MB), dengan beberapa bentuk peralihan ( indeterminate [I] , tuberkuloid borderline

[BT] , mid borderline [BB] , dan borderline lepromatosa [BL] ). Klasifikasi WHO dite

ntukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari pemeriksaan slit skin smear. Secara klin

is, pasien dengan kusta lepromatosa memiliki jumlah BTA yang tinggi pada spesimen

biopsi kulit (multibasiler) ; beberapa lesi kulit terdiri dari makula, papula, plak, atau n

odul, dan saraf perifer menebal dengan anestesi dan akhirnya dapat mengembangkan

keratitis, uveitis, kehilangan rambut alis, ulserasi hidung, kerusakan tulang, kulit men

yerupai lilin karena infiltrasi oleh makrofag, limfosit, dan sel plasma. Pasien dengan k

usta tuberkuloid (TT dan BT) memiliki jumlah BTA yang rendah (pausibasiler) pada s

pesimen biopsi kulit, dengan lesi kulit anestesi tunggal dengan atau tanpa saraf perifer

yang menebal.

Pada kasus, keluhan bercak putih pada bada, dada, punggung, tangan, kaki dan

wajah sejak 1 tahun. Dari hasil anamnesis didapatkan bercak yang terasa tebal, tidak a

da gatal, tidak ada nyeri, ada kesemutan pada tangan dan kaki, dan badan pasien tidak

27
panas. Riwayat pengobatan terdahulu pasien berobat kepuskesmas. Status internus pas

ien dalam batas normal. Status venerologi lokalisasi kelainan pada mukosa badan, pun

ggung, dada, lengan, kaki, wajah. Pada eflorisensi terlihat makula hipopigmentasi, be

ntuk oval. Punched – out lesion (+). Diagnosis bandingnya adalah tinea versikolor, pit

iriasis rosea, pitiriasis alba, dan psoriasis.

Berdasarkan lesi yang terlihat pada wajah dan tubuh pasien, didapatkan eflores

ensi berupa makula hipopigmentasi, berbentuk oval, punched-out lesion (+).

Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan neurologis yang mendukung u

ntuk gejala klinis morbus hansen yaitu pemeriksaan pembesaran saraf-saraf perifer, ke

kuatan motorik dan pemeriksaan sensorik. Dari hasil yang didapatkan, tidak terdapat a

danya pembesaran saraf-saraf perifer, dan kelemahan kekuatan motorik pada pasien.

Dilakuan juga pemeriksaan rangsang raba,dan nyeri. Penemuan klinis ini mengarah pa

da diagnosis morbus hansen. Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan adalah pem

eriksaan slit skin smear untuk memastikan diagnosis kerja morbus hansen dan pemeri

ksaan kerokan kulit dengan KOH untuk dapat memastikan atau menyingkirkan diagno

sis banding. Pada pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan KOH dan BTA MH di dapa

tkan hasil BTA tahan asam bentuk globi (+1), fragmen (+1), solid (+2) dan spora > 30

/ LP, hifa 2-4/LP. Maka diagnosa kerja yang di dapat adalah Morbus Hansen dengan

Pitiriasis versikolor atau tinea versikolor yaitu kelainan kulit yang umum, jinak, infek

si jamur superfisial yang biasanya ditandai dengan makula hipopigmentasi atau hiperp

igmentasi di dada dan punggung. Kadang penderita dapat merasakan gatal yang ringa

n. Diagnosisnya dapat dikuatkan dengan hasil pemeriksaan KOH yang didapat.

Maka dapat disingkirkan beberapa diagnosis yaitu :

1. Pitiriasis rosea, merupakan penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya,

dimulai dengan sebulah lesi inisal (herald patch) berbentuk eritema dan skuam

28
a halus, yang kemudian diikuti oleh lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan

paha atas yang membentuk lesi sejajar dengan kostae, hingga membentuk poh

on cemara terbalik. Pada pasien ini tidak didapatkan bentuk lesi tersebut.

2. Pitiriasis alba umumnya asimptomatis, tetapi mungkin saja sedikit gatal. Pasie

n mungkin memiliki riwayat keluarga atau pasien seperti sakit asma, demam k

arena

alergi atau eksema dalam area yang sesuai ciri khas dermatitis atopik. Pitiriasis

alba ditandai dengan hipopigmentasi, bulat sampai oval, bercak makula di daer

ah muka, lengan bagian atas, leher, atau bahu. Kaki dan tangan lebih sedikit te

rkena. Pada sekitar setengah dari semua pasien, luka terbatas di daerah wajah.

3. Pada psoriasis keluhan penderita biasanya sedikit gatal dan panas di samping k

osmetik. Lesi kulit yang pertama kali timbul biasanya pada tempat-tempat yan

g mudah terkena trauma antara lain : siku, lutut, sakrum, kepala dan genitalia,

berupa makula eritematus dengan batas jelas, tertutup skuama tebal dan transp

aran yang lepas pada bagian tepi dan lekat di bagian tengah.

Pengobatan MDT untuk multibasiler adalah dengan diberikan 12 strip obat, di

mana setiap strip dihabiskan dalam 28 hari. Walaupun demikian, 12 strip tersebut dap

at dihabiskan dalam kurun waktu maksimal 18 bulan. Menurut program WHO yaitu d

ilakukan pengobatan MH-tipe MB dengan menggunakan blister, yaitu, hari pertama d

engan dapson 100 mg, rifampisin 600 mg, dan klofazimin 300 mg. Pada hari pertama,

pasien harus meminum obat langsung didepan petugas kesehatan. Sedangkan pada har

i selanjutnya, diberikan klofazimin 50 mg, dan dapson 100 mg, setiap hari dari hari k

e-2 hingga hari ke-28, diminum sekali sehari pada waktu dan jam yang sama. Pasien h

arus datang untuk mengambil obat baru setiap hari ke-29 dan mendapatkan paket blist

29
er yang sama. Pengobatan ini harus terus diulang hingga 12 bulan minimal dan maksi

mal 18 bulan.

Setiap hari pertama untuk tiap bulannya, pasien terus dilakukan pemeriksaan n

eurologis ulang, disamping itu juga dilakukan pemeriksaan mata, pemeriksaan efek sa

mping obat dan resistensi obat serta pemeriksaan reaksi kusta. Selain itu dilakukan pe

meriksaan bakterioskopis setiap 3 bulan sampai selesai pengobatan dengan memperha

tikan indeks bakteri dan indeks morfologis untuk mengetahui kemungkinan resistensi.

Setelah selesai pengobatan dilanjutkan masa Release From Treatment (RFT) selama 5

tahun dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan pengobatan setiap tahun.

BAB V

PENUTUP

1. KESIMPULAN

30
Pada pria berumur 19 tahun dengan keluhan bercak putih pada badan, dada, tangan,

kaki dan wajah sejak 1 tahun sesuai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang dapat diagnosis sebagai Morbus Hansen tipe (LL). Pasien

mendapatkan terapi medikamentosa berupa MDT MB paket I, vitamin B1, B6, B12

dan untuk tinea vesicolor pasien mendapatkan terapi folcanox 100 mg caps 1x1,

Neurosanbe 1x1.

2. Saran

Masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini dikarenakan

diharapkan penulis mampu menggali lagi hal-hal yang berkaitan dengan kasus morbus

hansen.

DAFTAR PUSTAKA

31
1. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Edisi 7. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2015. hal. 73-83

2. RSCM. Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : RS
CM, 2007. Halaman 147. (download pdf.)

3. Ida ayu devi, IGK Darmada . Morbus Hansen. Denpasar : Bagian/SMF Ilmu Kesehatan K
ulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 2015.

4. Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran .Jilid I edisi ke IV . Jakarta : Media Aesculapius.20


14

32

Anda mungkin juga menyukai