Anda di halaman 1dari 5

Erythema Multiformis

Erythema Multiforme adalah penyakit mukokutaneus dengan reaksi akut sebagai akibat dari
reaksi hipersensitivitas. 1,2,3. Secara karakteristik ditandai oleh lesi target pada kulit atau lesi ulserasi
pada mucosa rongga mulut3. Pada kasus yang parah disebut sebagai sindrom Steven Johnson yang
menyerang mulut, mata, genital, dan kulit3. Pasien Erythema Multiforme 20-30 % kasus terjadi pada
mukosa mulut, berupa lesi dengan vesikula multiple yang pecah dan meninggalkan daerah erosi luas
yang ditutupi psedomembran putih1. Penyakit ini sering terjadi pada dewasa muda, terutama laki-
laki, sangat jarang menyerang anak-anak dan orang tua.4

Erythema Multiforme adalah penyakit mukokutaneus dengan reaksi akut yang menyerang
kulit dan mukosa sebagai akibat dari reaksi hipersensitivitas.1,2,3 Secara karakteristik ditandai oleh lesi
target pada kulit atau lesi ulserasi pada mukosa rongga mulut3. Ini sering terjadi pada dewasa muda,
terutama laki-laki, tetapi juga bisa menyerang anak-anak dan orang tua, walaupun sangat jarang4

Erythema Multiforme ada 2 jenis yaitu Erythema Multiforme tipe minor dan tipe mayor.
Erythema Multiforme tipe mayor memiliki derajat keparahan yang tinggi yang disebut sindrom
Steven Johnson. Penyakit ini terjadi akut, diawali gejala umum demam, pusing, dan malaise. Kurang
dari 24 jam akan timbul lesi yang eksplosif pada kulit dan mukosa. Yang paling ringan berupa makula
dan papula diameter 0,5-2 cm. Sedangkan lesi pada rongga mulut diawali vesikula dan bula yang
cepat pecah adalah merupakan gambaran klinis yang khas. Hal ini sering menimbulkan kematian
karena infeksi sekunder atau ketidakseimbangan cairan elektrolit.3,5 .

Etiologi penyakit ini belum jelas. Erythema Multiforme dianggap sebagai suatu penyakit
imunologi.1 Kemungkinan terjadi karena adanya faktor pencetus seperti efek samping obat-obatan.2
Obat-obatan yang paling sering menyebabkan Erythema Multiforme adalah antibiotik, barbiturat,
phenylbutazone, dan karbamazepin. 6

Karbamazepin dipakai sebagai pengobatan terhadap trigeminal neuralgia, disamping dapat


dipakai sebagai pengobatan sakit kepala karena neuropathic pain7. Tetapi efek samping pengobatan
dengan karbamazepin ini sering terjadi. Seperempat dari jumlah pasien yang diobati mengalami efek
samping. Pemberian jangka lama dapat menyebabkan pusing, vertigo, ataksia, diplopia, dan
penglihatan kabur. Efek samping lainnya adalah reaksi alergi berupa sindrom Steven Johnson dan
dermatitis. Sindrom Steven Johnson relatif sering dilaporkan terjadi, sehingga pasien harus
diperingatkan agar segera kembali ke dokter bila timbul vesikula di kulit atau mukosa8.
Pasien didiagnosa sebagai Erythema Multiforme, berdasarkan anamnesa dan diagnosa klinis.
Hasil anamnesa pasien menunjukkan sariawan dan bibir terkelupas setelah sehari meminum obat
Karbamazepin, dimana obat ini sering menimbulkan efek samping, antara lain sindrom Steven
Johnson yang merupakan bentuk dari Erythema Multiforme yang berat.4 Sebelumnya diawali gejala
sistemik dimana badan terasa sakit, tidak nyaman, diikuti pusing, dan kenaikan suhu tubuh.3
Kemudian muncul serangan lesi dengan cepat dalam mulut, diawali vesikula bula, tetapi klinisi jarang
menemukannya karena lesi mudah sekali pecah dan membentuk ulser tidak beraturan. Pada bibir
terkelupas luas dan tampak deskwamasi, timbul perdarahan dan krusta6,9

Diagnosa banding erythema multiforme pada rongga mulut adalah Stomatitis herpetika
primer dan Toxic epydermal necrolysis. Perbedaannya dengan Stomatitis herpetika primer dapat
dilihat secara klinis, dimana pada erythema multiforme selalu terdapat ulserasi dengan
pseudomembran putih pada mukosa rongga mulut. Psedomembran putih ini adalah fibrin akibat
perdarahan vaskulitis. Dan pada bibir selalu terdapat krusta dan perdarahan yang tidak didapat pada
herpetik stomatitis primer. Letak ulserasi juga berbeda, erythema multiforme tidak pernah terjadi
pada ginggiva, dimana khas terjadi pada stomatitis herpetika primer. Demikian juga dengan gejala
prodromal yang mengawali erythema multiforme tidak separah seperti pada herpetik stomatitis
primer. Selain dari manifestasi klinis tersebut, ada riwayat pemakaian obat tertentu secara sistemik
yang dapat menyebabkan suatu reaksi hipersensitivitas.5,6

Pada Toxic epydermal necrolysis, lesi timbul juga melalui pencetus penggunaan obat.
Persamaan lain dengan Erythema Multiforme adalah sehari sebelum timbulnya lesi juga diawali
demam, malaise, sakit pada persendian tubuh dan kemudian muncul lesi pada rongga mulut berupa
kemerahan, vesikula, erosi pada bibir, mukosa, lidah, dan palatum. Selain itu sering terjadi
perdarahan spontan pada lesi rongga mulut yang mirip dengan Erythema Multiforme. Yang
membedakan dengan erythema multiforme adalah pada lesi Toxic epidermal necrolysis terdapat
Nikolsky sign dan tidak memiliki lesi target yang khas pada Erythema Multiforme. Selain itu lesi Toxic
epydermal necrolysis dapat bermanifestasi pada kulit, mukosa rongga mulut, mata dan genital.
Sedangkan Erythema Multiforme lesi hanya terdapat pada mukosa rongga mulut dan kulit.10 Oleh
sebab itu untuk menegakkan diagnosa perlu anamnesa yang harus digali lebih dalam.

Etiologi Erythema Multiforme pada pasien ini karena reaksi hipersensivitas tipe III akibat
pemakaian obat Karbamazepin. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan kadar kompleks antigen-
antibodi yang menyebabkan vaskulitis. Faktor-faktor spesifik penyebab vaskulitis kompleks imun
adalah alergi makanan, reaksi terhadap mikroorganisme, radioterapi, penyakit sistemik, dan
keganasan.6 Pada kasus ini, terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III yang diperantarai oleh
pengendapan kompleks antigen-antibodi, diikuti dengan aktivasi komplemen, dan akumulasi limfosit
polimorfonuklear. Dimanapun kompleks imun mengendap akan timbul kerusakan jaringan yang
membentuk lesi patologis.11,12

Dari segi imunopatologinya, erythema multiforeme pada pasien tersebut terjadi karena
reaksi hipersensitivitas tipe III yaitu adanya reaksi komplek imun antigen antibodi, dimana menurut
Regezi (2003), terbukti pada biopsi pembuluh darah, didapatkan adanya Ig M, komplemen, dan
deposit dari fibrin pada dindingnya. Hal ini sudah membuktikan adanya suatu vaskulitis yang
disebabkan reaksi kompleks imun antigen antibodi.3 Patogenesisnya terbagi menjadi 3 tahap: 1.
Pembentukan kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi. 2. Kemudian terjadi pengendapan
kompleks imun diberbagai jaringan. 3. Munculnya reaksi radang diberbagai tempat pada tubuh.11

Pada tahap pertama, ketika antigen masuk dalam tubuh akan dihasilkan antibodi spesifik.
Kemudian dalam sirkulasi keduanya membentuk kompleks antigen antibodi. Apabila antigen tidak
segera disingkirkan atau sel fagosit lambat melakukan tugasnya maka antigen akan berada lama
pada sirkulasi. Hal ini bisa disebabkan juga adanya disfungsi makrofage, sehingga akhirnya terjadi
kompleks imun yang mengendap di berbagai jaringan dan dapat menyebabkan vaskulitis.11,12

Kompleks imun yang meninggalkan sirkulasi akan mengendap didalam atau diluar dinding
pembuluh darah, akan mengakibatkan terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Keadaan
ini ditandai dengan adanya kompleks imun yang berikatan dengan sel radang melalui reseptor Fc
dan C3b dan memicu pelepasan sel mast dan basofil yang mengeluarkan berbagai mediator
vasoaktif dan sitokin. Komplemen dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks mengendap di
berbagai jaringan. Bahan vasoaktif yang dibentul sl mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas vaskuler, dan inflamasi. Neutrofil akan keluar mengeliminasi kompleks,
tetapi bila neutrotrofil terkepung dijaringan sulit untuk memakan kompleks, akibatnya neutrofil akan
menheluarkan granulnya yang makin meningkatkan kerusakan jaringan11,13

Saat kondisi kompleks imun mengendap dijaringan, terjadilah reaksi radang pada tahap
ketiga. Pada tahap ini muncul gejala seperti demam, urtikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah
bening.11,12 Hal ini terjadi pada awal terjadinya erythema multiforme pada pasien, sehingga
kemudian muncul manifestasi klinisnya dengan cepat. Tetapi gejala prodromal yang mengawalinya
tidak separah yang terjadi pada penyakit karena infeksi virus.

Terapi pada pasien yang utama adalah menghentikan pemakaian obat . Kemudian diberikan
Antihistamin dan kortikosteroid serta obat kumur topikal sebagai bterapi paliatif. Pengobatan yang
dianjurkan untuk Erythema Multiforme adalah pemberian kortikosteroid oral. Pada dosis awal,
pasien mendapat predinison 30 mg perhari. Untuk kasus yang ringan diberikan prednison 20-40 mg
perhari selama 4-6 hari. Dosis kemudian diturunkan secara tapering dosis, diberikan tidak lebih dari
2 minggu. Prednison adalah kortikosteroid oral yang diberikan untuk mngurangi inflamasi dan
menekan reaksi imun pada Erythema Mutiforme agar tidak menimbulkan kerusakan jaringan lebih
lanjut.7

Untuk pengobatan topikal dalam rongga mulut diberikan obat kumur dengan anastesi
topikal dan kortikosteroid topikal, serta antibiotik topikal untuk mencegah adanya infeksi sekunder.1
Hal ini sudah seperti yang diberikan pada pasien tersebut. Pasien diberikan obat kumur Benzydamin
Hcl yang berisi anastetik topikal yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dalam rongga mulut
dan salep dengan kortikosteroid dan antibiotik topikal yang berisi hidrokortison 0,25 g, kemisitin 0,5
g, lanolin 0,5 g, dan vaselin dioleskan pada bibir untuk menghilangkan inflamasi, rasa tidak nyaman
dan mencegah adanya infeksi sekunder pada bibir.1

Dapat disimpulkan bahwa Erythema Multiforme yang timbul pada kasus ini dipicu oleh
pemakaian obat karbamazepin yang semula dipergunakan untuk merawat Trigeminal Neuralgia.
Obat ini menimbulkan efek samping reaksi hipersensitivitas. Diagnosa ditegakkan berdasarkan
anamnesa riwayat pemakaian obat Karbamazepin sebelum timbulnya lesi dan manifestasi klinis yang
khas dari Erythema Multiforme. Pengobatan yang diberikan adalah antihistamin, kortikosteroid oral,
dan obat kumur dengan anastesi topikal untuk mengurangi rasa sakit dan tidak nyaman pada pasien,
serta antibiotik untuk mencegah adanya infeksi sekunder.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Laskaris George. Treatment of Oral Disease : A Concise Textbook, Thieme, 2005 ; p.66-7.
2. Cawson R.A, Odell E.W. Cawson’s Essentials of Oral Pathology And Oral Medicine, 7 th Ed .
Churchill Livingstone, 2002 ; p.205-7.
3. Regezi, Sciuba, Jordan. Oral Pathology : Clinical Pathologic Correlations, 4 th Ed . Saunders,
2003 : p. 44-6.
4. Langlais R.P, Miller C.S. Color Atlas of Common Oral disease, 3 rd Ed. Lippincott Williams &
Wilkins, 2003 ; p.151
5. Wray D, Lowe, Dagg, Felix, Scully. Textbook of General And Oral Medicine, Churchill
Livingstone, 2001 ; p.238-9.
6. Lynch, Brightman, Greenberg. Burket: Ilmu Penyakit Mulut, Diagnosa dan Terapi, Edisi
Sembilan, Binarupa Aksara, 2003 ; p.208-11
7. Yagiela, Dowd, Neidle. Pharmacology and Theurapeutics for Dentistry, 5 th Ed. Elsevier
Mosby, 2004 ; p. 392-3.
8. Tim Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi Dan Terapi, Edisi 5.
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007 ; p. 252, 495-8.
9. Field A, Longman L. Tyldesley’s Oral Medicine, 5 th Ed. Oxford, 2004 ; p. 135-6.
10. Laskaris George. Pocket Atlas Of Oral Disease, Thieme, Sttugert New York, 2006 ;p.108-13
11. Kumar, Cotran, Robbins. Buku Ajar Patologi, Vol 1, Edisi 7. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2007 ; p. 128-30.
12. Roeslan Boedi Oetomo. Imunologi Kelainan Di Dalam Rongga Mulut. Abadi Dhaya Insani,
Jakarta, 2000. hal. 69-76,86-9.
13. Baratawidjaja KG. Imunologi Dasar, Edisi 6. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 2004. hal. 180-6.

Anda mungkin juga menyukai