Anda di halaman 1dari 8

KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN

A. Kerajaan Pontianak

1) Kondisi Geografis
Kerajaan Pontianak didirikan di persimpangan antara Sungai Landak, Kapuas Kecil, dan
Kapuas Besar. Pusat pemerintahan Kerajaan Pontianak ditandai dengan berdirinya Masjid Sultan
Syarif Abdurrahman dan Istana Kadriah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis,
Kecamatan Pontianak Timur. Struktur tanah di Pontianak termasuk jenis tanah liat. Jenis tanah
ini merupakan bekas endapan lumpur Sungai Kapuas. Keadaan tanah ini sangat labil dan daya
dukungnya bagi pertanian sangat indahan rendah.
2) Kehidupan Politik
Berdirinya Kerajaan Pontianak tidak lepas dari peranan rombongan dakwah dari Tarim.
Rombongan tersebut terdiri atas beberapa ulama yang bertujuan untuk mengajarkan Alquran,
ilmu fikih, dan ilmu hadis. Salah satu rombongan dakwah tersebut adalah Syarif Idrus. Syarif
Idrus bersama anak buahnya menyusuri Sungai Kapuas sambil berdakwah hingga menetap di
suatu tempat yang kemudian berkembang menjadi pusat Kota Pontianak. Pada perkembangan
selanjutnya Syarif Idrus diangkat sebagai pemimpin masyarakat Pontianak dengan gelar Syarif
Idrus Abdurrahman al-Alydrus. Syarif Idrus kemudian membangun Istana Kadriah dan benteng
pertahanan dari kayu. Sejak saat itu, rakyat Pontianak menganggap Syarif Idrus sebagai raja
Pontianak. Penobatan Syarif Idrus Abdurrahman al-Alydrus sebagai raja Pontianak dilakukan
oleh Sultan Raja Haji, penguasa Kesultanan Riau. Penobatan tersebut dihadiri oleh para
pemimpin dari sejumlah kerajaan, antara lain Kerajaan Matan, Sukadana, Kubu, Simpang,
Landak, Mempawah, Sambas, dan Banjar. Syarif Idrus Abdurrahman al-Alydrus memang
memiliki kedekatan hubungan dengan keluarga Kesultanan Riau. Syarief Idrus adalah menantu
Opu Daeng Manambon, sedangkan Sultan Raja haji adalah putra Daeng Celak, saudara
sekandung Opu Daeng Manambon. Syarif Idrus memerintah Kerajaan Pontianak pada tahun
1771-1808.
3) Kehidupan Ekonomi
Perekonomian kerajaan Pontianak sangat bergantung pada kegiatan perdagangan. Kegiatan
perdagangan Kerajaan Pontianak berkembang pesat karena letak Pontianak berada di
persimpangan tiga sungai. Selain itu, kerajaan Pontianak membuka pelabuhan sebagai tempat
interaksi dengan pedagang dari luar.
Komoditas utama perdagangan Pontianak antara lain garam, berlian, emas, lilin, rotan,
tengkawang, karet, tepung sagu, gambir, pinang, sarang burung, kopra lada, dan kelapa.
Perdagangan garam menyebabkan banyak pedagang dari luar Pontianak tertarik berdagang di
Pontianak. Melalui perdagangan pula VOC dapat menanamkan pengaruhnya di Pontianak. Selain
dengan VOC, pedagang Pontianak melakukan hubungan dagang dengan pedagang dari berbagai
daerah. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad Alqadrie banyak pemilik modal yang
berasal dari Riau, Palembang, Batavia, Malaka, dan India menanamkan modalnya di bidang
perkebunan. Bersama petani dari Bugis dan Melayu, para pemilik modal membuka perkebunan
karet, kelapa, dan kopra di Pontianak.
4) Kehidupan Agama
Islam merupakan agama yang mendominasi Kerajaan Pontianak. Perkembangan agama
Islam di Pontianak tidak dapat dilepaskan dari peranan rombongan pendakwah dari Tarim. Salah
satu ulama terkenal dan melakukan syair Islam adalah Habib Husein al-Gadri. Dengan
kesaktiannya, Habib Husein berhasil menarik simpati rakyat Pontianak memeluk Islam. Habib
Husein melaksanakan kegiatan dakwahnya secara berpindah-pindah. Setelah berdakwah di
matan. Habib Husein memindahkan dakwahnya ke Mempawah hingga wafat. Setelah wafat,
peranan dakwah Habib Husein akan digantikan putranya yang bernama Pangeran Sahid
Abdurrahman Nurul Alam.
5) Kehidupan Sosial
Secara sosial masyarakat Pontianak dikelompokkan berdasarkan perbedaan etnis. Pada saat
itu masyarakat Pontianak terbagi atas tiga etnis, yaitu masyarakat asli(Dayak), kelompok
pedagang(Melayu, Bugis, dan Arab) dan imigran Cina. Suku Dayak sebagai penduduk asli
Kalimantan biasanya tinggal didaerah pedalaman. Komunitas ini dikenal tertutup, lebih
mengutamakan kesamaan dan kesatuan sosio-kultural. Kelompok pedagang Melayu, Bugis, dan
Arab dikenal sebagai pengaruh Islam terbesar di Pontianak. Kelompok pedagang ini lebih
menekankan aspek sosio-historis sebagai kelas penguasa. Adapun imigran dari Cina lebih
memilih tinggal di daerah pesisir yang dikenal sebagai satu kesatuan sosio-ekonomi.
B. Kerajaan Banjar

1) Kondisi Geografis
Kerajaan Banjar terletak di Kalimantan Selatan. Pusat Kerajaan Banjar diperkirakan terletak
di Hulu Sungai Nagara, Banjarmasin. Sungai Nagara memiliki peran penting bagi perkembangan
Kerajaan Banjar dan kerajaan pendahulunya. Sungai Nagara digunakan sebagai sumber
kehidupan bagi hampir seluruh masyarakat di Kalimantan baik di Banjarmasin maupun wilayah
lainnya seperti Balikpapan, Kandangan, dan Amuntai. Daerah sekitar Sungai Nagara merupakan
wilayah paling subur di Kalimantan. Faktor kesuburan inilah yang menyebabkan wilayah Sungai
Nagara berkembang menjadi pusat Kerajaan Banjar.
2) Kehidupan Politik
Raja pertama Kerajaan Banjar adalah Sultan Suryanullah. Selain sebagai raja pertama,
dalam Hikayat Banjar Diceritakan bahwa Sultan Suryanullah merupakan pendiri Kerajaan
Banjar. Nama asli Sultan suryanullah adalah Pangeran Samudra. Sebelum masuk Islam,
Pangeran Samudra adalah seorang bangsawan Kerajaan Daha dalam memerintah Kerajaan
Banjar Pangeran Samudra dibantu oleh beberapa patih yaitu sejak masa pemerintahan Patih
Masin, Muhur, Balit, dan Kuwin.
Sejak masa pemerintahan Sultan Suryanullah Kerajaan Banjar meluaskan wilayah
kekuasaannya hingga Sambas, Bantanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madani, dan
Sambangan. Pada masa Sultan Mustain Billah, ibu kota Kerajaan Banjar dipindahkan dari Hulu
Sungai Nagara ke Martapura. Sultan Mustain Billah dianggap raja terbesar Banjar karena
memiliki kekuatan cukup besar dengan 50.000 prajurit. Pada masa ini pula Kerajaan Banjar
terlihat konfrontasi dengan kerajaan Mataram yang saat itu dipimpin Sultan Agung. Akan tetapi,
karena Banjar memiliki pasukan yang kuat, usaha Mataram untuk menguasai Banjar akhirnya
gagal. Pada masa pemerintahan Sultan Mustain Billah, Kerajaan Banjar berusaha meluaskan
wilayah kekuasaan. Wilayah yang berhasil dikuasai Kerajaan Banjar meliputi Kalimantan Timur,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Utara. Bahkan, Kesultanan Brunei pun
tunduk kepada Kerajaan Banjar dengan selalu mengirim upeti sebagai bentuk ketaatan.
3) Kehidupan Ekonomi
Perekonomian Kerajaan Banjar bergantung pada kegiatan perdagangan dan pertanian.
Kegiatan perdagangan Banjar cukup berkembang karena letaknya berada di tepi Sungai Nagara
yang cukup lebar. Lada merupakan komoditas dagang utama Kerajaan Banjar yang
diperjualbelikan oleh banyak pedagang dari Demak dan Gowa. Kegiatan pertanian Kerajaan
Banjar berkembang karena Sungai Nagara memiliki debit air cukup deras dan membawa
endapan aluvial yang berguna bagi kegiatan pertanian. Pada tahun 1967 terjadi migrasi
perdagangan Mataram dari Jawa akibat agresi yang dilakukan VOC terhadap Mataram.
Kedatangan imigran dari Jawa memiliki pengaruh cukup besar bagi Banjar. Pelabuhan Banten
menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa. Perang Makassar yang terjadi antara Kerajaan Gowa
Tallo dan VOC juga menyebabkan banyak pedagang memilih memindahkan kegiatan
perdagangannya dari pelabuhan Sombaopu ke Banjar.
4) Kehidupan Agama
Kehidupan keagamaan Kerajaan Banjar tidak dapat dilepaskan dari peranan raja dan ulama.
Sultan Suryanullah adalah raja pertama yang memeluk agama islam dan menjadikan islam
sebagai agama resmi kerajaan. Perhatian sultan terhadap agama Islam cukup besar yang
dibuktikan dengan pembangunan masjid Kesultanan Banjar sebagai pusat ibadah umat islam.
Selain itu, sultan dan ulama merupakan satu-kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan syariat islam di Kerajaan Banjar. Hubungan baik antara
ulama dan Sultan Suryanullah terlihat jelas dalam kitab Sabilul Muhatadin dan Parukunan yang
ditulis atas permintaan Sultan Suryanullah. Kedua kitab tersebut kemudian dijadikan pedoman
hukum Kerajaan Banjar.
5) Kehidupan Sosial
Dalam masyarakat Banjar terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk segitiga
piramida. Lapisan teratas adalah golongan penguasa yang merupakan golongan minoritas.
Lapisan kedua adalah orang-orang Belanda. Lapisan terbawah adalah petani, pedagang, dan
nelayan yang merupakan golongan mayoritas.
KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI

A. Kerajaan Gowa Tallo

1) Kondisi Geografis
Kerajaan Gowa Tallo memiliki letak strategis karena berada di pantai Barat Sulawesi
Selatan, Kerajaan Gowa Tallo beribu kota di Makassar dibatasi oleh Selat Makassar di sebelah
barat, Laut Flores di sebelah selatan, dan Teluk Bone di sebelah timur. Keadaan alam tersebut
mendorong masyarakat Makassar menjadi pelaut ulung. Selain itu, Makassar memiliki kondisi
tanah relatif datar. Dengan keberadaan dua sungai, yaitu Sungai Tallo dan Sungai Jeneberang,
tanah di sekitar Kota Makassar dapat dikelola menjadi lahan pertanian. Kedua sungai tersebut
sering mengendapkan sedimen lumpur yang kemudian membentuk tanah aluvial. Tanah ini
bersifat subur dan cocok untuk pertanian. Dengan kondisi tanah yang subur dan letak strategis,
Kerajaan Gowa Tallo dapat berkembang sebagai kerajaan besar di Indonesia Timur.
2) Kehidupan Politik
Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin (1593-1639), Kerajaan Gowa Tallo berkembang
menjadi kerajaan Islam. Sultan Alaudin berusaha untuk mengislamkan berbagai kerajaan di
Sulawesi Selatan. Upaya ini mendapatkan perlawanan dari Kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng
yang kemudian membentuk persekutuan Tellum Pocco (tiga kekuasaan). Akan tetapi, satu
persatu kerajaan tersebut dapat ditaklukan oleh Sultan Alaudin. Selain menaklukkan kerajaan-
kerajaan tetangga Sulawesi Selatan, Sultan Alaudin memperluas pengaruh Gowa Tallo hingga ke
bagian timur kepulauan Nusa Tenggara. Berbagai penaklukan yang dilakukan oleh Sultan
Alaudin telah mendorong perkembangan pelayaran dan perdagangan Gowa Tallo perkembangan
pelayaran dan perdagangan menyebabkan kesejahteraan masyarakat Gowa Tallo meningkat.
Kerajaan Gowa Tallo mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan
Hasanuddin (1653-1669). Ia berhasil membangun Gowa Tallo menjadi kerajaan maritim yang
menguasai jalur perdagangan di Indonesia Timur. Sultan Hasanudin sangat menentang tindakan
VOC untuk melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia Timur. Upaya
Sultan Hasanudin tersebut menimbulkan kemarahan VOC. Oleh karena itu, pada tahun 1666
VOC mengirimkan armada perangnya ke Makassar. Selanjutnya pada tahun 1667 Sultan
Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya yang berisi kesepakatan berikut.
a) VOC memperoleh monopoli dagang rempah-rempah di Makasar.
b) VOC mendirikan benteng pertahanan di Makasar.
c) Gowa Tallo harus melepaskan daerah-daerah kekuasaannya.
d) Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.
3) Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Gowa Tallo memiliki letak strategis. Kedekatan geografis dengan Maluku
menyebabkan Kerajaan Gowa Tallo menjadi pintu gerbang perdagangan rempah-rempah.
Pelabuhan Sombaopu berkembang menjadi bandar transito yang berperan sebagai penghubung
jalur perdagangan antara Malaka, Jawa, dan Maluku. Kondisi ini kemudian mendorong Gowa
Tallo berkembang menjadi kerajaan maritim yang menitikberatkan pada perekonomian
perdagangan dan pelayaran. Selain mengembangkan sektor perdagangan maritim, Kerajaan
Gowa Tallo merupakan negeri penghasil beras di Pulau Sulawesi. Wilayah pedalaman yang
subur di Gowa Tallo dikembangkan sebagai lahan pertanian padi. Selain itu Kerajaan Gowa
Tallo berusaha menaklukan Bone yang menjadi salah satu daerah penghasil beras di Sulawesi
Selatan. Dengan melimpahnya beras, penduduk Gowa Tallo dapat mencapai swasembada
pangan.
4) Kehidupan Agama
Perkembangan Islam di Gowa Tallo berkaitan erat dengan peran Datuk ri Bandang dari
Minangkabau. Bersama Datuk Patimang dan Datuk ri Tiro, Datuk ri Bandang menyebarkan
agama Islam di Sulawesi Selatan. Berkat usaha mereka, pada tahun 1605 penguasa Gowa Tallo,
Karaeng Matoaya memeluk agama Islam dan bergelar Sultan Alaudin. Setelah Sultan Alaudin
memeluk Islam, proses Islamisasi di Sulawesi Selatan berkembang pesat. Pada masa
pemerintahan Sultan Alaudin, Kerajaan Gowa Tallo menjadi pusat perdagangan dan penyebaran
Islam di Sulawesi. Pada pertengahan abad XVII Masehi di Gowa Tallo berkembang ajaran
sulfisme dari tarekat khalwatiyah yang diajarkan oleh Syekh Yusuf al-Makasari.
5) Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan sosial masyarakat Gowa Tallo cenderung bersifat feodalisme. Masyarakat Gowa
Tallo dibedakan atas tiga kelas, yaitu karaeng (golongan bangsawan), tumasaraq (rakyat biasa),
dan ata (budak). Rakyat Gowa Tallo sangat setiap pada rajanya. Kesetiaan ini terlihat saat Sultan
Alaudin memeluk Islam, rakyat Gowa Tallo kemudian mengikuti agama yang dianut oleh
rajanya. Untuk menghindari sistem feodalisme, banyak rakyat Gowa Tallo yang memiliki hidup
sebagai pelaut.

B. Kerajaan Wajo

Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di wilayah yang
menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo
adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya
dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai
dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang
dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung.
Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge
Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda
alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung
yang berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi.
Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang
memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini
kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya
Puang ri Timpengeng.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke datang dan
mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung
Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui,
putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung
Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La
Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi
bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut
Lipu Tellu Kajuru.
La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah sabbamparu
dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali.
La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut
Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian
meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri
Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar
Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang
disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi
Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang
kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri
Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.

Anda mungkin juga menyukai