Anda di halaman 1dari 5

Pengantar Ilmu Fikih

Oleh : Djati Purnomo Sidhi

1. Pengertian Fikih

Fikih secara bahasa diartikan sebagai pemahaman (‫)الفهم‬. Sedangkan


secara istilah didefinisikan sebagai ‘ilmu yang mempelajari cara mengetahui
hukum-hukum syariah yang berupa amalan dengan dalil-dalil terperinci1.

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa ilmu Fikih berbicara seputar
amalan-amalan seorang hamba. Tidak berhubungan dengan aqidah / keyakinan.

2. Tumbuh Kembang Ilmu Fikih

a. Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Pada masa beliau ilmu Fikih belum begitu dikenal dan belum dibukukan.
Karena saat itu wahyu masih terus turun kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Para sahabat mempelajari Fikih dengan cara melihat
langsung amalan yang dilakukan oleh Nabi. Apabila Nabi berwudhu’, para
sahabat melihatnya lalu mempraktekannya. Apabila Nabi shalat, para
shahabat memperhatikannya dengan seksama lantas menirukannya. Tanpa
mengetahui apakah hal itu termasuk rukun, wajib, ataupun sunah dari suatu
amalan. Ada juga yang meminta fatwa secara langsung kepada Nabi,
kemudian beliau berfatwa. Begitu pula ada yang mengadukan suatu perkara,
lalu beliau memutuskan hukumnya2.

Contoh nyata adalah kisah Khaulah binti Tsa’labah yang mendebat


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia mengadukan sang suami yang
telah mendhiharnya. Ia terus mendesak nabi agar memutuskan hukum untuk
suaminya hingga turun ayat.

‫ير‬
ٌ ‫ص‬ِ َ‫س ِمي ٌع ب‬ ‫َّللاُ يَ ْس َم ُع ت َ َح ُاو َر ُك َما إِ هن ه‬
َ َ‫َّللا‬ ‫َّللاُ قَ ْو َل الهتِي ت ُ َجا ِدلُكَ فِي زَ ْو ِج َها َوتَ ْشت َ ِكي إِلَى ه‬
‫َّللاِ َو ه‬ َ ْ‫قَد‬
‫س ِم َع ه‬

1
Al-Ushul min ‘ilmil ushul, hal. 7
2
Lihat : Shahih Fikih Sunnah, hal. 18

1|Page
Pada akhirnya Allah ta’ala menurunkan hukum Fikih mengenai dzihar
melalui wahyu-Nya.

b. Pada Masa Shahabat radiyallahu ‘anhum

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, sahabat-sahabat


beliau terpencar di negeri-negeri yang berbeda. Setelah itu terjadilah
berbagai kejadian dan peristiwa. Banyak dari kalangan rakyat yang meminta
fatwa kepada para sahabat. Kemudian mereka berfatwa sesuai dengan apa
yang dihafal dari Nabi atau beristinbat dengan dalill. Jika tidak ditemukan
pada keduanya, mereka berijtihad menggunakan pemikirannya dan
mendefinisikan ilah (sebab penghukuman) yang digunakan oleh Rasulullah
ketika menghukumi suatu perkara3.

c. Pada Masa Tabi’in

Pada periode ini ringkasnya telah terjadi perbedaan pada madzhab para
sahabat. Kemudian para Tabi’in mengambil ilmu dan pendapat dari para
sahabat yang berbeda-beda, yang mudah didapatkan oleh mereka. Di setiap
negeri terdapat Imam-imam ahli Fikih.

Sa’id bin al-Musayyib dan Salim bin Abdullah bin Umar di Madinah,
setelah ada az-Zuhri, Yahya bin Sa’id, dan Rabi’ah bin Abdurrahman. Kota
Mekah memiliki Atho’ bin Abu Rabah. Ibrahim an-Nakha’I dan Asy-Sya’bi
berada di Kufah. Al-Hasan di Bashrah. Thowus bin Kaisan di Yaman.
Terakhir Makhul di Syam4.

d. Masa Imam Madzhab

Pada masa-masa setelahnya munculah para pakar Fikih yang dikenal


dengan imam madzhab. Namun, di antara imam-imam tersebut yang paling
masyhur adalah imam madzhab yang empat. Mereka adalah :

1. Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit (w. 150 H)

3
Idem, hal. 19
4
Lihat : shahih Fikih sunnah, hal. 21

2|Page
2. Imam Malik bin Anas (w. 179 H)

3. Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’I (w. 204 H)

4. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)5

Para imam tersebut memiliki murid-murid yang banyak dan oleh murid-
muridnya tersebut, pendapat-pendapat mereka mulai dibukukan. Sehingga
dapat kita baca dan tela’ah pada hari ini.

3. Sumber Rujukan Ilmu Fikih

Ilmu Fikih mengambil dasar pendalilan dari 2 sumber utama, yaitu Al-
Qur’an dan Hadits. Karena telah banyak dalil-dalil yang memerintahkan untuk
menjadikan 2 hal tersebut sebagai rujukan utama. Lantas sumber rujukan yang
selanjutnya adalah ijma’ dan qiyas yang shahih. Akan tetapi, dua sumber utama
di atas haruslah didahulukan dari segala sesuatu, sekalipun harus bertentangan
dengan pendapat para Imam Madzhab. Bahkan para imam tersebut berwasiat
untuk meninggalkan pendapatnya apabila menyelisihi hadits yang shahih.
Syaikh Shalil al-Fulaniy dalam kitabnya yang berjudul Iqadhul himam
menukilkan perkataan para imam madzhab yang termasyhur. Antara lain sebagai
berikut :

a. Imam Abu Hanifah

‫ إذا كان خبر رسول هللا يخالفه‬: ‫ فقيل‬.‫ اتركوا قولي لكتاب هللا‬: ‫ قال‬,‫إذا قلت قوال و كتاب هللا يخالفه‬
‫ اتركوا قولي لقول‬: ‫ إذا كان قول الصحابة يخالفه؟ قال‬: ‫ فقيل‬,‫ اتركوا قولي لخبر رسول هللا‬: ‫؟ قال‬
.‫الصحابة‬

“Apabila aku mengeluarkan pendapat yang menyelisihi al-Qur’an,


tinggalkanlah pendapatku karena al-Qur’an.” Lalu ditanyakan kepada
beliau,”bagaimana kalau menyelisihi hadits rasulullah?”, beliau
menjawab:”tinggalkanlah pendapatkan karena hadits rasulullah.”
Ditanyakan lagi,”bagaimana kalau menyelisihi perkataan para sahabat?”,
dijawab :”tinggalkanlah perndapatku karena perkataan para sahabat.”

5
Ahammiyatul ‘inayah bit tafsir wal hadits wal Fikih, hal. 30

3|Page
b. Imam Malik bin Anas

“Aku hanyalah seorang manusia yang bisa salah dan bisa benar, maka
periksalah pendapatku. Apabila bersesuaian dengan al-Qur’an dan as-
Sunnah maka ambilah. Dan semua yang tidak bersesuaian denga al-Qur’an
dan as-Sunnah maka tinggalkanlah.”

c. Imam Syafi’i

“Manusia telah berijma’ (konsensus) bahwasanya bagi orang yang telah


terang baginya suatu sunah rasulullah tidak pantas baginya untuk
meninggalkan sunah itu dengan sebab perkataan seorang pun.”

“Jika telah shahih suatu hadits, maka itulah madzhabku.”

d. Imam Ahmad bin Hanbal

“Janganlah kalian taklid kepadaku, atau kepada Malik, Syafi’I, Auza’I, dan
Imam ats-Tsauriy. Tapi ambilah pendapat dari tempat mereka
mengambilnya.”6

4. Seputar Kesalahan Dalam Ilmu Fikih

Kadang kala kita menemukan kesalahan seorang Imam di dalam


pendapatnya, bahwa pendapatnya itu menyelisihi dalil yang shahih. Maka kita
harus memberikan udzur kepada para Imam tersebut seraya tetap mengamalkan
dalil yang shahih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan ada 3 alasan
pokok, mengapa ada pendapat Imam ahli Fikih yang menyelisihi dalil yang
shahih. Ketiga hal tersebut adalah sebagai berikut :

a. Mereka tidak meyakini bahwa dalil tersebut diucapkan oleh Nabi


shallallahu ‘alaihi wasallam

b. Tidak meyakini bahwa dalil itu tepat untuk suatu permasalahan yang
dihadapi.

6
Idem, hal. 38-39

4|Page
c. Meyakini bahwa hukum permasalahan tersebut telah dihapus
(mansukh).

Apabila anda ingin memperdalam permasalahan ini lebih lanjut, dapat


menelaah kitab beliau yang berjudul “‫(”رفع المالم عن أئمة األعالم‬raf’ul
malaam ‘an a’imatil a’lam)7.

5. Hukum Taklid Kepada Salah Satu Madzhab

Taklid, kata tersebut terkadang berkonotasi jelek. Menunjukkan


ketidakinginan untuk menelaah hukum-hukum Fikih dan memilih menjadi ekor.
Akan tetapi dalam beberapa keadaan diperbolehkan bagi seseorang untuk
bertaklid. Yaitu bagi orang yang tidak mampu untuk mengetahui kebenaran dari
suatu permasalahan Fikih, dan tidak menemukan orang alim yang menerangkan
kebenaran padanya, maka boleh baginya untuk bertaklid mengikuti salah satu
madzhab Fikih8. Karena ia adalah orang yang lemah dan tidak tahu. Akan tetapi
bagi orang yang mampu untuk mengambil kebenaran dari al-Qur’an dan hadits
maka tidak boleh untuk taklid kepada siapapun, dan baginya untuk mengambil
perkataan yang paling mendekati kebenaran ketika terjadi khilaf. Apabila ia
tidak mengetahui hendaknya bertanya kepada para ulama9.

7
Idem, hal. 42-43
8
Idem, hal. 45
9
Idem, hal. 46-47

5|Page

Anda mungkin juga menyukai