Pendahuluan
Buku ini merupakan kumpulan karangan dari beberapa ahli yang ingin memaparkan mengenai
pengaruh dari Yudaisme dan Hellenisme terhadap ajaran dan pandangan teologi Kristen Paulus.
Tetapi paparan tersebut tidak hanya berhenti sampai pada kesimpulan mengenai pengaruh-
pengaruh Yudaisme dan Hellenisme terhadap teologi Paulus, melainkan para penulis dalam buku
ini hendak memperlihatkan juga kepada para pembaca bahwa dalam kenyataan yang
sesungguhnya teologi Paulus bukan sekadar dilatarbelakangi oleh pemikiran Yudaisme dan
Hellenisme tetapi justru semua pikiran, sikap dan teologi Paulus – pada akhirnya – melampaui
semua unsur yang ada dalam Yudaisme dan Hellenisme. Dengan perkataan lain, para penulis
dalam buku ini hendak menunjukkan bahwa di samping pengaruh Yudaisme dan Hellenisme,
teologi Paulus pun memiliki warna baru yang berada di luar bingkai Yudaisme dan Hellenisme;
dan hal inilah yang menjadi ciri khas dari warna teologi Paulus.
Hal ini disebabkan oleh kondisi Yahudi diaspora yang – umumnya – hidup dan berkembang di
daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Romawi; dan seperti yang kita ketahui, budaya
yang dibawa oleh bangsa Romawi adalah budaya Hellenisme. Dengan demikian, apabila
kekristenan tumbuh di daerah yang telah diwarnai oleh budaya Hellenisme, maka secara
langsung maupun tidak langsung kita dapat memprediksikan bahwa perkembangan kekristenan
awal pun dipengaruhi oleh Hellenisme (di samping oleh Yudaisme).
Pendapat di atas sangat didukung oleh pendapat Eusebius yang mengatakan bahwa pada
prinsipnya kekristenan tidak sama dengan Hellenisme maupun Yudaisme, tetapi kekristenan
memiliki kandungan ajaran-ajaran terbaik dari Hellenisme dan Yudaisme. Dengan demikian,
kekristenan merupakan perkembangan seluruh ajaran terbaik dari Hellenisme dan Yudaisme.
Namun perlu digarisbawahi bahwa kehadiran Hellenisme dan Yudaisme sebagai kekuatan
budaya yang mempengaruhi warna kekristenan – pada akhirnya – menciptakan dikotomi pada
tubuh kekristenan itu sendiri. Dikotomi yang timbul lebih mengarah pada munculnya pandangan
dualistik dalam kekristenan. Namun hal ini dapat dimaklumi/dimengerti, sebab jika ditilik
keberadaan dari budaya Hellenisme dan Yudaisme, pada dasarnya kedua budaya tersebut
merupakan dua budaya yang saling bertolak belakang satu sama lain. Hellenisme dapat
dipandang sebagai representasi budaya yang bersifat universal (dan mencakup segala sesuatu
yang ada dibumi) sedangkan Yudaisme dipandang sebagai representasi budaya yang bersifat
partikular (dan selalu mengarahkan perhatiannya pada eksistensi pribadi). Dengan percampuran
tersebut, tidaklah mengherankan apabila timbul dikotomi dalam pandangan-pandangan teologis
kristen.
Pendapat di atas semakin dipertegas dan dipertajam dengan menghadirkan realitas bahwa
ajaran para Rabi Yahudi (Rabinisme dalam Yudaisme) banyak dipengaruhi oleh Hellenisme
(misalnya: Talmud Yahudi dan juga Ajaran-ajaran Alexandrian Yudaisme dari Philo). Jika
demikian halnya, maka Rabinisme – Yudaisme adalah ajaran Yudaisme yang telah tercampur
dengan Hellenisme, sehingga ajaran tersebut dapat dikatakan sebagai ajaran Rabinisme –
Yudaisme – Hellenisme.
Dalam perkembangan selanjutnya, ajaran inilah yang diterima dan dikembangkan oleh
Paulus (jadi Paulus tidak pernah menerima ajaran Rabinisme murni Yudaisme, melainkan telah
tercampur dengan Hellenisme). Hal ini dapat terjadi karena keberadaan Paulus sebagai seorang
Yahudi diaspora yang berada di daerah Hellenisme. Namun perlu diketahui bahwa ajaran
2
tb4 – book report
Rabinisme – Yudaisme – Hellenisme yang telah diterima Paulus, selanjutnya disebarkan dan
dikembangkan Paulus dengan ditambah warna baru, yaitu ajaran yang didasarkan atas
pemahaman Paulus mengenai Pribadi Yesus Kristus. Hal inilah yang menjadi ciri khas dari
ajaran/teologi Paulus, yaitu percampuran antara Rabinisme – Yudaisme – Hellenisme yang
kemudian disatukan dan dimasukkan ke dalam jiwa “en kristo”
3
tb4 – book report
beragama jemaat Korintus sangat dekat dengan gaya kehidupan sinkretistik – filsafati. Melalui
gaya hidup yang khas tersebut, jemaat Korintus pun memiliki moralitas kehidupan yang khas
pula, yang cenderung bergaya campuran antara Yudaisme dengan filsafat-filsafat Hellenisme.
Gaya kehidupan yang semacam ini semakin unik pada saat Paulus mengarahkan jemaat Korintus
untuk hidup dengan mempertahankan gaya hidup mereka selama ini, tetapi dengan menempatkan
“sesuatu yang baru” dalam kehidupan mereka, yaitu: menempatkan Yesus Kristus sebagai titik
sentral keimanan dan moralitas mereka. Dengan demikian jemaat Korintus hidup dalam “life-
style” yang unik, yang merupakan percampuran berbagai macam budaya tetapi memiliki sentral
kehidupan di dalam diri Yesus Kristus. Agaknya dalam masalah ini Paulus telah melakukan
upaya kontekstualisasi teologi.
Tanggapan
Tulisan-tulisan yang dihadirkan dalam buku “Paul Beyond The Judaism/Hellenism Divide” pada
dasarnya hendak mendukung pendapat yang mengatakan bahwa ada latar belakang khusus dari
setiap surat Paulus, dan latar belakang ini diduga berasal dari budaya Hellenisme, yang
merupakan percampuran antara kebudayaan Yunani dari jaman Athena (abad ke-5 dan ke-4
sebelum Masehi) dengan unsur-unsur yang berasal dari Asia Barat 1 (dan lebih khusus lagi
dengan aliran Gnostik, bagian dari budaya Hellenis) yang menekankan tentang unsur-unsur
mistik dalam pandangan dan pengajarannya. Di samping berlatarbelakangkan budaya Hellenis,
surat-surat Paulus pun seringkali disinyalir sebagai surat yang bernuansakan budaya Israel, yaitu:
Yudaisme, sehingga komposisi surat Paulus sering dipandang sebagai hasil percampuran antara
Yudaisme – Hellenisme – Gnostisisme.2
Hal ini akan semakin dapat kita pahami apabila kita mau meneliti keberadaan Kitab Suci
(Alkitab) Kristen pada dirinya sendiri. Dalam sejarah kita mengetahui bahwa pada mulanya yang
disebut dengan kekristenan adalah Kristen Yahudi. Dan jika kita berbicara mengenai Kristen
Yahudi, maka kita tidak dapat melupakan bahwa yang dimaksud dengan Yahudi di sini mengacu
3
pada masyarakat/agama Yahudi pasca pembuangan, yang biasa disebut dengan Yudaisme.
1
Lih. Th. van den End, Harta dalam Bejana (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), h. 9-10
2
JB Lightfoot. “The Colossians Heresy”, dalam Fred O. Francis & Wayne A. Meeks (Ed.). Conflict at
Colossae, Sources for Biblical Study 4. (Society of Biblical Literature & Scholar Press, 1975), h. 13-15
3
Ada beberapa pandangan yang berbeda dengan kemunculan Yudaisme ini. Hengel mengatakan bahwa
Yudaisme muncul pertama kali pada peristiwa penganiayaan orang Yahudi di jaman Antiochus IV Epiphanes (2
Mak. 2:21, 8:1 dan 14:38). Isitlah ini digunkan oleh kelompok Yahudi berbahasa Yunani (Iodaismoj) untuk
membedakan identitas mereka dengan kelompok lain yang sedang dilanda Hellenistis, lih. Martin Hengel, Judaism
4
tb4 – book report
Kalau kita mau menyadari keadaan ini, maka kita melihat bahwa pengaruh ajaran Yudaisme
terhadap kekristenan awal tidak dapat diragukan keabsahannya, karena dalam kenyataan sejarah
diungkapkan bahwa Alkitab pertama dalam gereja mula-mula adalah Alkitab Yahudi.4 Namun
harus disadari bahwa yang dimaksud dengan “Kristen Yahudi” di sini bukan menunjuk pada
bentuk partikularistik dari sebuah bangsa, melainkan lebih mengarah pada sekelompok orang
yang berada dalam “payung pemahaman/kepercayaan” (termasuk di dalamnya adalah kelompok
Ebionite dan kelompok Kristen ortodox) yang menempatkan Yesus sebagai “nabi dan mesias”
dari agama tersebut.5
Dalam perkembangan selanjutnya, melalui proses kanonisasi dan beberapa
sidang/konsili, Alkitab Yahudi secara perlahan diganti dengan “Alkitab Kristen” (seperti yang
dikenal sekarang). Namun tetap harus diakui bahwa pengaruh Yahudi sangat terasa dan sangat
kental dalam setiap tulisan yang ada di dalam Alkitab Kristen. Secara khusus, bila kita amati
hasil tulisan Paulus (yang merupakan bagian dari Alkitab Kristen) kita dapat menemukan bahwa
surat-surat Paulus sarat dengan unsur keyahudiannya (meskipun dalam beberapa hal “ciri khas
keyahudian” Paulus telah mengalami perubahan dan pembaharuan).6 Dengan demikian, setiap
uraian kata/kalimat dalam Alkitab (termasuk tulisan-tulisan Paulus) masih memiliki latar
belakang dan pengaruh dari pemikiran Yahudi.
Bila ditelusuri lebih jauh, timbul sebuah permasalahan mengenai bentuk keyahudian yang
bagaimana yang sangat mempengaruhi pemikiran dan pemberitaan Paulus di dalam surat-
suratnya ? W.D. Davies berpendapat bahwa pengaruh terkuat yang membentuk pribadi,
pengajaran dan pandangan Paulus adalah pengaruh dari Yudaisme pada abad pertama (yaitu
Yudaisme pasca pembuangan). Dalam pendapat selanjutnya Davies juga menegaskan bahwa
Yudaisme abad pertama ini pun mendapat pengaruh yang sangat kuat dari kebudayaan
and Hellenism (Philadelphia: Fortress Press, 1974), h. 1-2. Sedangkan Malatesta berpendapat bahwa istilah
Yudaisme ini sudah muncul semenjak abad 20 SM, hal ini sesuai dengan pembagian Yudaisme menurut dia, yaitu:
1. Yudaisme Alkitabiah (abad 20-4 SM), 2. Yudaisme Hellenis (abad 4 SM-2 M), 3. Yudaisme Rabbinis (abad 2-18),
Yudaisme Modern (1750-1970) dan Yudaisme Masa Kini (sesudah 1970). lih. Edward Malatesta, The Spirituality of
Judaism (England: Anthony Clark Books, 1977), h. 1, namun Yudaisme yang dimaksud dalam tulisan ini lebih
mengarah pada Yudaisme pasca pembuangan Babel.
4
Everett Fergusson (ed.). Studies in Early Christianity. (New York & London: Garland Publishing, Inc.,
1993) h. xii
5
Kraft mengidentifikasi kelompok Ebionitsebagai kelompok heterodoks yang mempercayai Yesus sebagai
Mesias dan Nabi tetapi bukan Anak Allah, sedangkan Kelompok Kristen Ortodoks menunjuk pada kelompok Di
Yerusalem (yang kadangkala disebut sebagai kelompok Nazarenes) yang mempercayai bahwa Yesus adalah Mesias
dan mempercayai juga nilai keillahian Yesus, lih keterangan lebih lanjut dalam pendapat R.A. Kraft. “In Search of
“Jewish Christianity” and Its “Theology” dalam Everett Fergusson, ibid h. 7-8
6
Alan F. Segal. Paul the Convert (New Haven & London: Yale University Press, 1990) h. 4-6
5
tb4 – book report
Helenisme yang berkembang pada saat itu.7 Namun budaya Helenisme tidak seluruhnya diadopsi
oleh ajaran Yudaisme, karena Yudaisme tetap mempertahankan ajaran mengenai “gerakan
apokaliptik” sebagai ciri khas pengajarannya. Oleh sebab itu, Yudaisme yang dipahami dan
mempengaruhi kehidupan Paulus adalah Yudaisme yang tetap mempertahankan pengaruh dari
ajaran-ajaran para Rabi Yudais (dengan istilah lain disebut dengan Rabinisme Yudais).8
Menurut J.B. Lightfoot 9, ajaran Rabinisme Yudais yang mempengaruhi Paulus secara
khusus memiliki ciri khas mistis karena budaya Hellenisme yang diadopsi oleh Yudaisme lebih
cenderung mengarah pada pemikiran dan ajaran Gnostik, yang kala itu dipandang cukup populer.
Dengan demikian Rabinisme Yudais yang mempengaruhi Paulus ini dapat disebut dengan
Gnostisime-Yudaisme. Uraian ini membawa kita pada sebuah pemahaman bahwa di jaman
Paulus ajaran murni Yudaisme sudah tidak dapat ditemui lagi karena Yudaisme telah mengalami
banyak pengaruh dari pelbagai macam ajaran yang melingkupinya, dan ajaran inilah yang –
kemudian – membentuk Paulus seperti yang digambarkan dalam Alkitab.
Namun dari semua pendapat di atas, kita melihat bahwa pemikiran dan teologi Paulus
yang dibangun di bawah pengaruh Yudaisme dan Hellenisme tetap memiliki nuansa baru, yaitu
nuansa titik sentral teologi Paulus yang terletak dalam diri Yesus Kristus. Hal ini tampak dalam
istilah “en kristo/kuriou”, yang selalu ditekankan oleh Paulus dalam setiap suratnya. Melalui ciri
khas tersebut, pada hakikatnya mau disampaikan bahwa teologi Paulus bukanlah teologi yang
berkembang dalam terang Yudaisme dan Hellenisme, melainkan teologi yang berkembang dalam
terang pribadi Yesus Kristus yang diakui Paulus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Dengan
demikian dapat kita katakan bahwa teologi Paulus telah “melayang jauh melampaui” budaya
Hellenisme dan Yudaisme, meskipun ada beberapa bagian dari kedua budaya tersebut yang
dipakai oleh Paulus dalam menjelaskan ajaran dan teologinya.
Daftar Pustaka
Davies, W.D.
1965 Paul and Rabbinic Judaism. London: S.P.C.K.
7
Lih. W.D. Davies. Paul and Rabbinic Judaism. (London: S.P.C.K., 1965), h. 1-3; bdk. juga dengan Martin
Hengel. Judaism and Hellenism, vol. I (Philadelphia: Fortress Press, 1974) h. 55-57
8
W.D. Davies. Paul and ... h. 9.
9
JB Lightfoot. “The Colossians ..., h. 13-15
6
tb4 – book report