”San hoa li, memang tidak salah aku telah merasakan kenikmatan
tubuhmu, akan tetapi jikalau bukan karena aku, mungkin hari ini
kamu sudah menemui ajal!”
”Anjing, karena kau hendak melampiaskan nafsu kebinatanganmu,
tujuan kau anjing hina dina ini, bukankah hendak mengangkangi
”Hiat-kiam” (Pedang darah)….”
Wajah si anak dari hijau telah berubah ungu gelap, berkelejetan
semakin menjadi-jadi, rasa sakit yang sangat tengah menyiksa
nyawa kecil yang sudah diambang pintu kematian itu.
San hoa li memeluk anaknya semakin kencang, kedua matanya
yang redup kuyu mengalirkan air darah dengan suara yang sangat
memilukan ia berkata, ”Nak, ibumu tak dapat menolong kau, tapi
aku dapat membuatmu tidak menderita terlalu lama, nak kau tidak
akan menderita lagi selamanya!”
”Sret!” tangan San hoa li tahu-tahu sudah menghunus sebilah
cundrik yang berkilauan, sambil menggertak gigi ia tusukkan
cundrik itu ke ulu hati anaknya, namun cundrik itu hanya menusuk
satu dim tangannya sudah gemetaran hampir tak kuat lagi
memegang cundrik itu, Setelah berkelejetan dua kali lagi si anak
kecil itu berhenti bergerak.
”Anakku, kau tidurlah tenang menyusul ayahmu….” Diletakkannya
jenasah anakanya dipinggir mayat yang penuh berlepotan darah
itu, lalu ia berdiri, ” Lo Tju-gi, kau ingat pada suatu hari tentu
cundrik ini akan menusuk kedalam ulu hatimu, termasuk juga dada
anak muridmu!”
Mendadak San hoa li mendongak dan tertawa panjang histeris,
sekali berkelebat dengan cepat ia berlari turun gunung.
”Dia sudah gila!” Loh Tju-gi menggumam, dimana tanganya
menyapu jenasah anak kecil itu terpental terbang masuk ke dalam
jurang yang dalam di samping sana, lalu sekali melejit
tubuhnyapun terbang menghilang dari pandangan mata.
Sipemuda tidak peduli dan bagai tak merasa apa2, kakinya masih
tetap melangkah maju, ”Plak – plok: dua suara nyaring menggema,
seketika kedua hwesio tua merasakan pukulan mereka membal
atau dirutul balik menerjang mereka sendiri, kontan tubuh mereka
tergetar mundur sempoyongan, ditengah suara keluhan mereka,
sipemuda sudah memasuki pintu biara dengan tenangnya.
Karena ribut2 ini sudah menggemparkan para hwesio lain dalam
biara, waktu si pemuda melenggang melalui samping patung
pemujaan, belasan hwesio sudah bersiaga mencegat didepannya,
dari belakang terdengan seruan gusar kedua hwesio tua tadi;
“Kedatanganya bermaksud jahat, cegat dia!”
Serentak belasan hwesio itu berjajar menghadang ditengah jalan,
sambil berjalan si pemuda berkata mengancam, “Kalau kalian
tahu diri lebih baik menyingkir, aku tidak ingin melukai kalian.”
”Bocah sombong rasakan ini!” serempat kepelan dan jotosan
beruntun dilancarkan untuk merintanginya.
Sekilas berkelebat sinar merah dalam mata sipemuda, sebelah
tangan diangkat dan diayun, seketika terbit angin badai
menghembus deras kedepan, sontak terdengar suara keluhan dan
kesakitan, beberapa hwesio yang memberondong tiba terpental
jauh oleh gulungan angin kencang yang menerjang mereka, hanya
sekali berkelebat bayang sipemuda tahu2 sudah tiba dipekarangan
dalam.
”Tang-tang-tang!” lonceng tanda bahaya bergema keras maka
ributlah suasana dalam biara itu, para hwesio yang tak terhitung
banyaknya bergegas berlarian keluar dari empat penjuru sambil
membekal golok dan pentungannya, mereka berdiri rapi bagai
pagar mengepung sipemuda.
“Kalian mundur!” mendengar suara keras berwibawa ini serempat
para hwesio membungkuk tubuh dan merangkap tangan terus
mundur kesamping, Ditengah ruangan sana
keras seperti orang hendak muntah dari mulut Tji Kong tubuhnya
terhuyung surut ting langkah ke belakang.
Bersamaan dengan itu dua batang tongkat besar dan tiga sinar
pedang berbareng memberondong mengurung tubuh Go Bing
dengan serangan yang tidak kalah hebatnya.
Tanpa berpaling lagi, sebelah tangan diajun kebelakang terbitlah
angin deras bergulung2 menerpa kebelakang hingga tujuh hwesio
yang menyerang didirnya terpental pontang panting keempat
penjuru, hampir saja mereka tidak kuat lagi mencekal senjata
masing2, masih untung Go Bing masih belu mau turunkan tangan
jahatnya,
Sebat luar biasa tubuh Tji Khong berkelebat lari memasuki
Tay-hiong-po-tian.
”Tji Khong, kemana kau hendak lari?” seru Go Bing, belum habis
ucapannya tubuhnyapun sudah melejit tiba bagai kilat
menghadang dihadapan Tji Khong.
Terasa semangat Tji Khong bagai terbang ke awang2 dilihatnya
bibit bencana yang menyertai kedatangan anak muda ini
berkepandaian tidak kalah lihay dari Sia sin Kho Djiang dulu, jelas
bahwa dirinya tentu bukan tandingan musuh, Elmaut kematian
terbayang didepan matanya hingga wajahnya yang pucat lesi
berobah kehijau2an.
Go Bing kerahkan tenaganya di jari tengah, maka menyoronglah
sinar dingin dari ”cincin Iblis” itu lebih lebar dan terang, perlahan2
tangan bergerak dimana sinar dingin itu menyambar, terdengarlah
suara jeritan panjang yang menyayat hati. Kepala Tji Khong yang
gundul terbang meninggalkan tubuhnya, darahpun menyembur
keras bagai mata air dari luka dillehernya, mayatnya terkapar di
lantai tanpa bergerak lagi.
Seketika para hwesio yang memburu tiba didepan pintu Tay hiong
po tian terkesima menyaksikan adengan pembunuhan
yang aneh dan kejam ini, Mereka terlongong bagai patung dan
kehilangan semangat dan kesadaran.
Dengan tenang dan seenaknya Go bing mengeluarkan sebuah
kantongan dan memasukkan kepala Tji Khong kedalamnya, sekali
melejit tubuhnya terbang melewati kepala para hwesio dan
menghilang ditengah udara dalam sekejap mata.
Sayup2 terdengar gema lonceng pertanda dukacita dari pada biara
pek hun ko sat.
Dalam pada itu begitu sampai diluar dengan kecepatan yang
susah diukur Go Bing berlarian keras, cuaca masih tetap gelap,
namun hujan dan angin badai sudah lama berhenti, ditengah
keremangan cuaca itulah dia berlari tiba didepan sebuah gua.
”Siapa?” bentakan dingin dan serak terdengar dari dalam gua.
”Murid sudah kembali, Su….” ”Apa tugasmya sudah kau
selesaikan?” ”Sudah selesai menurut perintah!” ”Masuklah!”
Sambil menjinjing kantongannya Go Bing berkelebat
memasuki gua, gua itu tidak terlalu dalam, ditengah gua tersulut
api unggun, dibawah penerangan api unggun itulah terlihat
dipojok dinding sebelah dalam sana berduduk sila seorang aneh
yang rambut dan cambang bauknya menutupi mukanya, matanya
tinggal sebelah dan merem melek, kedua kakinya sudah buntung
tinggal tulang keringnya saja yang masih kelihatan memutih.
Go Bing meletakkan buntalan kantongnya serta berkata, “Suhu….”
Bing malah melihat tegas, cara orang baju hijau ini bergerak
sungguh sangat aneh dan menakjubkan ginkang orang ini.
”Nona berhenti sebentar!” seru orang berkedok itu, suaranya
dingin menggiriskan tubuh membuat bergidik pendengarnya.
Berdetak jantung Siang Siau hun, serangannya dibatalkan lalu
mundur satu langkah, baru sekarang ia melihat kehadiran si baju
hijau berkedok yang berdiri didepannya. Suara kata dingin tadi
terang diucapkan olehnya, Maka dengan gemes ia bertanya ,
“Siapa tuan ini?”
”Orang lewat!” sahut siorang berkedok seenaknya. ”Hm, apa
tujuan tuan muncul disini?’ ”Untuk melerai!” ”Apa maksudmu?”
”Kepandaian nona tidak lemah, tapi kau masih bukan lawan
engkoh kecil ini!”. Siang siau hun mengangkat alis, serunya
geram, “Aku ingin
mencacah hancur tubuhnya.” “Karena adikmu dibunuh dan
diperkosa?” ”Ya, tuan orang lewat, silahkan lanjutkan
perjalananmu!”. ”Dengan alasan apa nona memastikan bahwa
engkoh kecil
ini adalah sipembunuh yang memperkosa adikmu itu?” ”Ini….”
Siang siau hun melengak bungkam, tergugahlah
hatinya, karena pertanyaan ini seketika ia terhenyak ditempatnya,
bola matanya melirik kearah Li bun siang yang berdiri disamping
sana.
Dengan haru dan rasa terima kasih yang tak terhingga Go Bing
meliring kearah siorang berkedok, terdengan si orang berkedok
bicaa lagi, “dalam peristiwa ini Lohu dapat menjadi saksi.”
Suara siorang berkedok kini tidak lagi dingin dan menggiriskan, tapi
berobah haru dan sember, “Adikmu ini bukan mati lantaran
diperkosa, tapi karena keracunan!”
“Keracunan?” tergetar suara Siang Siau hun. ”Ya, setelah Lohu
meliat bocah ini baru mendadak aku
teringat, kalau dugaanku tidak salah racun jahat ini adalah yang
sering dikabarkan sebagai bisa paling lihai bernama racun tanpa
bayangan….”
”Racun tanpa bayangan?” ”Ya, racun tanpa bayangan! racun
tanpa bayangan ini
boleh dikata merupakan racun yang paling jahat dikolong langit
ini, kalau racun ini bekerja dalam tubuh terasa sangat panas,
seluruh tubuh gatal2 susah ditahan, maka sipenderita menggaruk
dan mencakar badan sendiri, setelah mati darah merembes keluar
dari panca indra, selayang pandang tidak kentara adanya bekas2
keracunan, hampir mirip benar karena mati tergetar remuk oleh
pukulan berat, maka itu dinamaakan racun tanpa bayangan.”
Mendengar keterangan ini Go Bing menghela napas dalam,
sungguh ajaib bahwa didunia ini ternyata ada bisa yang
sedemikian jahat.
Siang Siau hun sesungukan menutupi mukanya, Lagi2 suara
siorang berkedok bertanya, “Apa nona
mempunyai musuh besar atau….” ”Tidak ada!” jawab Siang Siau
hun sambil mengusap air
mata, “Apalagi adikku belum penuh berusia enam belas, selama ini
belum pernah kelana di kangouw, sudah tentu tak perlu diragukan
adanya musuh besar apa segala, adalah kematiannya ini yang
membuat aku tak habis mengerti.”
”Lalu saudara kecil ini?”
Dengan rasa pedih dan pilu Siang Siau hun memandang jenasah
adiknya, sahutnya, “Mendadak teringat olehku suatu perstiwa….”
“Peristiwa apa?” Karena heran dan ingin tahu perkembangan
selanjutnya Go
Bing urungkan niatnya hendak tinggal pergi, ia maju mendekat
sambil pasang kuping.
Kata Siang Siau hun, “Kira2 sepuluh li didepan jalan tadi kita
bertiga bertemu dengan seorang tua yang sudah hampir menemui
ajalnya, karena terluka berat, dititipkan kepada kita bertiga sebuah
barang yang minta tolong supaya dihantarkan ke Yok-ong bio
diluar kota Seng-toh, barang itu harus langsung diserahkan kepada
ketua kelenteng itu, karena kasihan kita….”
“Lalu kalian melulusi hendak menyampaikan barang itu?” tukas
siorang berkedok cepat.
”Ya, memang tujuan kitapun hendak ke Seng-toh.” ”Barang
apakah itu?” ”Agaknya sebuah kotak panjang yang dibungkus
kain
berminyak.” ”Mana barang itu?” ”Disimpan oleh adikku!, justeru
tadi aku hendak memeriksa
apa barang itu masih ada ditubuhnya.” ”Coba nona periksa
menggunakan dahan pohon.” Siang Siau hun menjemput
sebatang dahan pohon sebesar
lengan lalu mengcungkil-cungkil baju yang hancur lebur dan
membalikkan juga tubuh adiknya, tapi apapun tidak kelihatan,
dengan kejut dan keheranan ia berseru, “Sudah hilang!”
Siorang berkedok manggut2, ujarnya, “disitulah pangkal mula
peristiwa ini, barang itu pasti suatu benda berharga di
bulim, mungkin siorang tua yagn sudah dekat ajal itu memang
terluka berat dan terpaksa minta bantuan kalian untuk
mengantarkanb enda itu, dan juga mungkin karena dikejar2 musuh
besar, lalu pura2 terluka berat dan hendak mati, menitipkan barang
itu kepada kalian adalah untuk mengelabuhi musuhnya itu, tapi
bagaimana adikmy lantas bisa keluyuran seorang diri….”
”Adikku masih bersifat kanak2 karena sedikit selisih mulut dia
lantas berlari mendahului kita, aku dan Li Bun siang tidak ambil
perhatian, berjalan seenaknya dibelakang, akhirnya karena kuatir
seorang diri Li Bun siang berlari menyusul kedepan dan aku
bejalan paling belakang, sungguh tak terduga….” bicara sampai
disitu Siang siau hun tidak kuat lagi meneruskan penuturannya, air
mata mengucur semakin deras.
Siorang berkedok berdehem berat, lalu katanya, “Benar, menurut
dugaan Lohu, buntalan itu pasti berisi suatu benda pusaka apa
yang sangat berharga di Bulim, sipembunuh mungkin adalah
siorang tua yang pura2 terluka dan hampir mati itu, setelah
tipunya dapat mengelabuhi musuh2nya, secepat terbang dia
menyusul tiba dan membunuh adikmu untuk menutupi mulutnya,
bahwa dia menggunakan racun tanpa bayangan tujuannya adalah
hendak sekaligus secara tidak langsung hendak membunuh kalin
bertiga, dalam perhtitungannya setelah adikmu mati tentu kalian
akan menyentu tubuhnya dan ini berarti sekali panah terkena tiga
ekor burung, akan tetapi juga kemungkinan adalah perbuatan
musuh yang mengejar siorang tua hampir mati itu, setelah dapat
mengetahui tipu licik orang tua hampir mati itu dia menyusul tiba
terus membunuh adikmu!”
Tanpa terasa Go Bing mendengus sekali dan menggumam,
“jahat, harus dibunuh!”
Mendengar itu Siang siau hun melirik kearah Go bing, tergerak
hatinya baru kini didapatinya pemuda yang salah sangkanya
sebagai pembunuh adiknya ini ternyata adalah
seorang pemuda yang cakep ganteng, tapi wajah yang ganteng itu
bersemu hawa pembunuhan yang lebat, daya tarik laki2 jantan
menyedot hatinya, tanpa terasa ia membungkuk minta maaf;
“Sukalah dimaafkan kecerobohan ku tadi”
”Tidak menjadi soal,” sahut Go Bing kaku. ”Bolehkan kuketahui
nama besarmu?” Berputarlah otak Go Bing, waktu di Pek hun
ko sat ia
pernah menyebut namanya sebagai Go Bing kalau sekarang
dikatakan bukankah akan membuka rahasia dirinya, hal itu tentu
tidak menguntungkan dirinya untuk menuntut balas sakit hati
gurunya kelak. Apabila Go Bing itu berarti dirinya tidak mempunyai
nama, karena pikiran ini dengan tawar dia menyahut, “Aku
seorang keroco dari kangouw, kiranya tidak perlu nona
mengetahui namaku.”
Merah jengah wajah siang Siau hun, berpaling muka dia bertanya
kepada siorang berkedok, “Apakah cianpwe mengetahui siapa2
kiranya yang menggunakan racun tanpa bayangan itu dikalangan
kangouw?”
Sejenak siorang berkedok berpikir lalu berkata, “Racun tanpa
bayangan hanya kudenganr dari cerita orang saja, menurut
keadaan kematian adikmu itu persis benar dengan kabar cerita itu,
jadi itu hanya dugaanku saja, benar atau tidak belum tentu dapat
dipastikan, namun dikalangan kangouw sekarang ini yang merajai
menggunakan racun berbisa terhitung Pak-tok Tangbun Lu
seorang….”
”Apa tidak mungkin Pak-tok (racun utara) yang turun tangan?”
“Tidak mungkin!” ”Kenapa?” ”Selain pandai menggunakan
racun juga ilmu silat Tangbun
Lu lihat jarang ada tandingannya didunia persilatan. Selama hidup
ini dia hanya punya seorang musuh yang paling ditakuti,
itulah Sia-sin simalaikat sesat Kho Djiang yang berjuluk Lam- sia
(sesat dari selatan)….”
Bicara sampai disini dengan sengaja siorang berkedok merandek
dan entah sengaja atau tidak matanya melerok kearah Go Bing.
Mendengar orang menyinggung nama gurunya, tergerak hati Go
Bing, namun sejak kecil dia sudah digembleng simalaikat sesat,
tindak tanduk Sia-sin yang bertentangan dengan kebiasaan umum
sedikit banyak membawa pengaruh pada jiwanya, perobahan
perasaan hatinya tidak kentara dari lahir wajahnya, pikirnya : kalau
kepandaian racun utara sudah jarang menemui lawan didunia
persilatan apalagi merupakan musuh bebuyutan suhuna, bukankah
itu berarti bahwa kepandaian suhu mungkin lebih tinggi dari racun
utara ini, lalu bagaimana terjadinya suhu sampai celaka dibawah
tangan orang? Tanpa merasa mulutnya terpentang bicara, “Antara
sesat dari selatan dan racun utara itu siapakah lebih kuat dan
lemah?”
”Ilmu Hian-In-kang dari racun utara boleh dikata sukar dicari
tandingannya, tapi Kiy-yan-sin-kang dari Lamsia justeru
merupakan lawan mematikan bagi ilmu Hian-In-kang itu, tapi
karena racun utara berkelbihan pandai menggunakan bisa maka
mereka masing2 memiliki kelebihan dan kelemahan sendiri2”
”Tadi cianpwe belum memberi penjelasan mengapa racun utara
tidak mungkin turun tangan?” Siang Siau hun mengajukan
pertanyaan lagi.
Siorang berkedok manggut2, sahutnya, “Pertama: racun utara
sangat menjunjung tingkatan dan kepandaianya tentu tidak
mungkin ia turunkan tangan jahat kepada tingkatan rendah, hal ini
semua orang dikalangan kangouw tentuk maklum, kedua
seumpama terdesak oleh keadaan dengan kepandaian silatnyapun
tidak perlu dia menggunakan racun,
sangkut pautnya dengan orang lain dan orang lainpun tidak perlu
memberi pendapat.”
Ucapan yang seakan2 benar tapi juga seolah2 tidak mengenal
perasaan ini membuat Siang Siau hun serba susah, serunya
jengkel, “ saudara yang menjadi korban adalah adikku….”
”Adikmu adalah orang persilatan.” tukas Go Bing tegas, “Sudah
tentu sipembunuh itu jug aorang persilatan, orang persilatan
mengurus persoalan bulim, lalu apanya lagi yang salah?”
”Orang aneh ucapannyapun aneh” gerutu Siang Siau hun sambil
berpaling muka, tapi setelah mengatakan itu ia merasa ucapannya
rada2 kurang sopan, merah jengahlah raut wajahnya.
Siorang berkedok turut bicara lagi, “Nona Siang, urusan
selanjutnya disini biarlah kau bereskan sendiri, Lohu akan mencari
jejak siorang tua luka berat hampir mati itu, akan kuperiksa
sepanjang jalan sepuluh li ini, jikalau benar jenasah orang itu itu
berada disana, maka kau harus mencari tahu ke Yong-ong-bio di
Seng-toh itu, atau sebaliknya inilah tipu muslihat orang2 licik dari
dunia persilatan, kalau tidak bisa mencari tahu barang macam
apakah dalam buntalan itu, maka susahlah untuk mencari tahu
siapakah sipenyebar racun itu.”
Siang Siau hun terharu dan dan sangat berterima kasih. ”Cianpwe
seorang budiman yang suka membantu kesukaran oran glain, tapi
bagaimana baik menyukarkan….”
“Hahahaha, nona Siang, bukankah Thay-kek-tjhiu siang Se-ing
adalah ayahmu?”
”Lho apa cianpwe kenal pada ayah?” “Boleh dikata sahabat
lama, maka sudah tentuk dalam
peristiwa ini Lohu harus turut campur!”
”Aku sih menurut saja.” ”Saudara kecil kalau kau tiada apa2
yang perlu
dikerjakan….” ”Yang dimaksud tiada tujuan tertentu adalah
sekarang ini,”
demikian tukas Go Bing memberi penjelasan, “Kelak tidak
termasuk dalam maksudku itu.”
”Baiklah kita persoalkan sekarang ini, kau ikut aku pergi ke suatu
tempat, lalu kita sama2 pergi menyelidiki barang yang dititipkan
non Siang dan telah tercuri hilang itu, asal kita dapat menemukan
barang itu, tentu mudah saja kita mengejar sipembunuh yang
telah meracuni adik nona Siang dan Li Bun siang itu.”
“Kemana Bong-bian-heng hendak pergi?” panggilan ini boleh
dikata tidak berarturan dalam garis sopan santun, dasar murid
Sia-sin yang terkenal sesat dan suka membangkang dari garis
umum sedikit banyak Go Bing ketularan sifat gurunya itu,
sedikitpun ia tidak ambil peduli pendapat itu, justeru siorang
berkedokpun tidak ambil perhatian malah ia tertawa geli dalam
hati.
”Pergi menyambangi seorang sahabat lama.” ”orang macam
apakah dia?” ”Sahabatku itu sudah meninggal dunia.” ”Lalu….”
”Pergi sembayang dideapan kuburannya.” ”Oh, jadi begitu!”
Selama dua jam Go Bing mengintil dibelakang siorang
berkedok sampailah mereka didepan sebuah lereng gunung kecil,
benar juga disana dilihatnya sebuah gundukan tanah tinggi
diantara semak2 rumpun bambu.
”Inilah dia.”
banyakan banyak orang, ada tosu ada hwesio dan ada juga orang
preman sekitara lima puluhan orang.
Tiga orang tua berpakaian serba hitam terkepung ditengah2 dan
disebelah sana seorang laki2 pertengahan umur berbaju abu2
tengah bertempur seru melawan seorang Thau- to (hwesio yang
memelihara rambut), teriakan dan bentakan mereka yang keras
terdengar sampai jauh.
Bergegas Go Bing dan siorang berkedok menyembunyikan diri
diantara rumpun lebat diatas sebuah pohon besar dan dari
ketinggian inilah mereka diam2 menonton pertempuran seru ini.
Sebuah bentakan keras disertai suara jeritan yang mengerikan
menggetarkan seluruh hadirin, darah segar menyembur deras
bagai anak panah dari mulut si Thau-to ”Blang” tubuhnya terkapar
keras diatas tanah.
Laki2 pertengahan umur baju abu2 menyapu pandang keempat
penjuru, suaranya dingin melengking, “masih ada kawan mana
yang menginginkan pedang berdarah ini, silahkan….”
Seorang hwesio gendut yang menyeret Hong-piang-djan (tongkat
kaum hwesio) melangkah maju masuk gelanggang.
Go Bing tidak tahan bertanya kepada siorang berkedok dengan
suara lirih, “Mereka tengah memperebutkan ”pedang berdarah”
apa….”
”Ya, pedang berdarah merupakan gbenda pusaka dari dunia
persilatan, juga benda keramat yang membawa bencana.”
”Bagaimana maksudnya ini?” ”Setiap orang yang memiliki
Pedang berdarah, tiada
seorangpun yang selamat jiwanya.”
”Ya, tidak salah!” seru Tjui hun siu merah padam. ”Justeru aku
belum pernah dengar kalin bersaudara ada
hubungan erat apa segala dengan Mo-san-dji-kui?” ”He he,
hubungan kita sangat erat bagai saudara sepupu
dengan Mo-san-dji-kui, kini Mo-san-dji-kui sudah menggeletak
diluar Kim-pi-tong, tapi pedang berdarah itu berada di
tanganmu….”
”Lalu apa maksud kalian?” “Menebus keadilan kepadamu.”
”Bagaimana aku harus membayar?” ”Serahkan dulu pedang
berdarah, urusan belakang.” ”Jadi tujuan kalian bertiga hendak
menuntut keadilan bagi
Mo-san atau hendak minta pedang berdarah?” ”Orang she Tjong,
pedang berdarah itu adalah milik
sahabat kami, sudah selayaknya harus kami minta kembali
tentang utang darah itu sudah tentu harus ditagih.”
Sekonyong2 diantara para hadirian diluar gelanggang terdengar
suara orang tertawa dingin menjengel, suaranya tidak keras
namun semua hadirin mendengar dengan jelas, lalu disusul satu
suara dingin berkata, “Kiranya diseluruh jagat ini masih ada
manusia yang tidak kenal rasa malu seperti kalian
Lam-hon-sam-hiong!”
Lam-hon-sam-hiong sudah biasa malang melintang dan
bersimaharaja didaerah selatan, sudah tentu mereka sangat
mendongkol dan murka mendengar ejekan yang menghina ini,
berbarang mereka memutar tubuh, segera To-bing-siu (aki
pencabut nyawa) tokoh nomor dua dari tiga manusia aneh dari
selatan itu membentak gusar, “Kurcaci darimana yang bicara itu
kalau berani silahkan keluar, biar kita bertiga belajar kenal.”